Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

RADIAL NERVE PALSY

DISUSUN OLEH:

Fadil Efendi Azis

111 2019 1022

SUPERVISOR:

dr. Andi Dhedie Prasatia Sam, M.Kes, Sp.OT(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Drop Hand atau yang secara internasional dikenal dengan Wrist Drop, dikenal
dalam dunia medis sebagai Radial Nerve Palsy, merupakan kondisi dimana
seseorang tak mampu mengekstensikan pergelangan tangannya dan pergelangan
tangan tersebut bergantung dalam kondisi flaksid. Seseorang dengan wrist drop
tidak dapat melakukan gerakan dimana jemarinya harus mengarah ke atas langit-
langit. Walaupun penyebab wrist drop bervariasi, neuropati nervus radialis
seringkali terjadi oleh karena cidera kompresi yang melingkupi kematian sel saraf
radialis. Pada umumnya, nyeri merupakan sinyal bahaya sebelum neuropati
radialis berkembang sebagaimana lengan menahan tekanan pada periode
berkepanjangan. Namun, suatu saat terdapat kondisi dimana nyeri tersebut tidak
terasa atau diabaikan seperti pada stupor oleh pengaruh zat kimia atau secara
psikis. Satu contoh adalah ketika duduk bergelayut pada kursi atau tidur semalam
dengan pasangan yang kepalanya istirahat diatas lengan.

Kompresi pada nervus radialis atau trauma dapat terjadi pada berbagai titik
pada jaras anatomisnya dan dapat memiliki berbagai macam etiologi. Lokasi
kompresi tersering adalah pada lengan bawah proksimal pada area otot supinator
dan melingkupi cabang interoseus posterior.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Nervus radialis adalah cabang terbesar dari pleksus brakhialis. Mulai pada tepi
bawah muskulus pektorialis minor sebagai lanjutan dari trunkus posterior pleksus
brakllialis. Berasal dari radiks spinalis servikalis V sampai VIII. Sesudah
meninggalkan aksila, saraf ini mengikuti lekukan spiral (musculospiral groove)
pada humerus dan menempel erat pada tulang bersama cabang profunda dari arten
brakhialis. Setelah mencapai septum intermuskularis lateralis sedikit dibawah
insersio muskulus deltoideus, saraf ini dapat diraba. Pada fossa antekubiti, pada
bagian depan bawah lengan atas setinggi kondilus lateralis humerus, saraf ini
membagi diri dalam 2 cabang terminal yaitu:

a. cabang motoris profundus (nervus interosseus posterior)

b. cabang kutaneus superflsialis

Gambar 1. Plexus brachialis


Percabangan ini biasanya terletak pada bagian proksimal lengan bawah, tetapi
dapat bervariasi dalam jarak 4 sampai 4,5 cm dibawah epikondilus lateralis. N.
interosseus posterior menembus muskulus supinator untuk mencapai sisi posterior
lengan bawah dan memberi persarafan motorik Cabang kutaneus mencapai
superfisial kira-kira 10 cm diatas pergelangan tangan. Turun sepanjang sisi lateral
lengan bawah dan berakhir dengan memberi persarafan sensorik kekulit dorsum
tangan, ibu jari, telunjuk dan jari tengah. Nervus radialis pada lengan atas,
memberi persarafan motorik untuk:

a. m.triseps dan m.ankoneus; ekstensor lengan bawah

b. m.brakhioradialis; fleksor lengan bawah pada posisi semipronasi

c. m.ekstensor karpi radialis longus dan brevis; ekstensor radial tangan

Pada lengan bawah, melalui cabang motoris profunda memberi persarafan


motorik untuk:

a. m. supinator; supinator lengan bawah

b. m. ekstensor digitorum; ekstensor ruas jari telunjuk, jari tengah, jari manis
dan kelingking

c. m.ekstensor digiti minime; ekstensor ruas kelingking dan tangan

d. m.ekstensor karpi ulnaris; ekstensor ulnar tangan

e. m.abduktor pollicis longus; abduktor ibu jari dan ekstensor radial tangan

f. m.ekstensor pollicis brevis dan longus; ekstensor ibu jari dan ekstensor
radial tangan

g. m.ekstensor indicis; ekstensor telunjuk dan tangan


Gambar 2. Inervasi motorik dan sensorik nervus radialis

Fungsi utama dari nervus radialis ini adalah untuk ekstensi sensi siku,
pergelangan tangan dan jari.

Cabang sensorik nervus radialis biasanya mempersarafi sisi posterior


lengan atas, lengan bawah, tangan dan jari jari kecuali kelingking dan sisi ulnar
jari manis, tetapi karena ada anstomosis dan persarafan yang tumpang tindih,
maka distribusi sensoriknya ini sulit ditentukan. Jika ada, terdapat terutama pada
daerah dorsum ibu jari dan telunjuk.

2.2. Definisi

Cedera nervus radialis adalah kerusakan dari nervus radialis yang


menyebabkan suatu kelainan fungsional dan struktural pada nervus radialis.
Kelainan dapat dihubungkan dengan adanya bukti klinis, elektrografis dan atau
morfologis yang menunjukkan terkenanya saraf tersebut atau jaringan
penunjangnya.

Pada umumnya cedera nervus radialis disebabkan oleh trauma, baik karena
trauma atau akibat penekanan langsung pada sarafnya atau dapat juga terjadi
akibat dislokasi atau fraktur yang mengenai lengan atas.

Gangguan dalam fungsi motorik akibat parese nervus radialis lebih


menimbulkan kecacatan dari pada parese nervus medianus atau nervus ulnaris.

2.3. Etiologi

Kelainan nervus radialis dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor


mana mungkin terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan (multiple factors).
Misalnya, diabetes melitus yang pada mulanya subklinis akan menjadi
simptomatis sesudah adanya suatu trauma atau kompresi yang mengenai saraf.

1. Trauma
Pada fraktur dan dislokasi, neuropati terjadi karena penekanan safar oleh
fragmen tulang, hematom, kallus yang berbentuk sesudah fraktur, atau
karena peregangan saraf akibat suatu dislokasi. Neuropati radialis sering
terjadi pada fraktur kaput humerus. Paresis nervus radialis juga dapat
terjadi akibat tidur dengan menggantungkan lengan diatas sandaran kursi
(Saturday night palsy), atau tidur dengan kepala diatas lengan atas
(Honeymoon palsy) akibat penekanan pada waktu saraf ini menembus
septum intermuskularis lateralis. Disamping itu trauma pada waktu olah
raga, kerja, pemakain kruk (Crutch palsy), atau posisi tangan pada waktu
operasi dapat menyebabkan terjadinya parese Nervus Radialis.
2. Infeksi.
Dapat terjadi karena: sifilis, herpes zoster, lepra dan TBC. Dapat mengenai
satu saraf atau lebih.
3. Toksik.
Lebih spesifik mengenai nervus radialis adalah pada lead intoxication.
4. Penyakit vaskuler
5. Neoplasma

Gambar 3. Berbagai penyebab cedera nervus radialis. Kiri atas: Saturday night
palsy. Kanan atas: Honeymoon palsy. Kiri Bawah: Crutch palsy. Kanan
bawah: Handcuff syndrome.

2.4. Patofisiologi

Trauma ataupun kompresi pada nervus radialis di berbagai titik sepanjang


jarasnya akan menyebabkan denervasi dari otot-otot ekstensor/supinator juga
parastesia pada distribusi sensorik nervus radialis, yang menyebabkan nyeri,
kelemahan dan disfungsi.

Cedera saraf dari kompresi maupun traksi bergantung pada intensitas dan
durasi. Saddon mengklasifikasikan cedera saraf menjadi 3 kategori:

➢ Neuropraksia, pada tipe ini terjadi kerusakan myelin namum akson tetap intak.
Dengan adanya kerusakan myelin dapat menyebabkan hambatan konduksi
saraf. Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal
sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan
paling ringan. Biasanya fungsi saraf akan kembali normal setelah 2-4 minggu.
➢ Aksonotmesis, terjadi keusakan akson namun semua struktur selubung saraf
termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen
saraf distal dari lesi. Degenerasi distal dikenal sebagai degenerasi Wallerian.
Axon akan mengalami regenerasi dengan kecepatan 1mm/ hari. Secara
bermakna fungsi akan kembali normal setelah 18 bulan. Regenerasi saraf
tergantung jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi tersebut.
Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan dengan motorik.
➢ Neurometsis, terjadi rupture saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi
meskipun dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak
sempurna dan dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan
derajat kerusakan paling berat.

Sunderland membagi derajat kerusakan serabut saraf menjadi 5 derajat.


Dikutip dari Wackym dll, menurut Sunderland dan Seddon, kerusakan saraf
dibagi 5 derajat atau tingkatan yaitu :
Derajat 1: Neuropraksia. Kompresi tanpa adanya kehilangan struktur,
penyembuhan sempurna.
Derajat 2: Aksonotmesis. Transeksi akson dengan endoneurium yang intak.
Degenerasi Akson: regenerasi berlangsung cepat dan penyembuhan baik,
Derajat 3: Neurotmesis. Kehilangan lapisan serat saraf (Akson dan
Endoneurium) dengan perineurium yang intak, dan penyembuhan inkomplit
dengan sinkinesis,
Derajat 4: Neurotmesis dengan kerusakan lapisan perineurium, dan
penyembuhan sangat sulit.
Derajat 5 : Neurotmesis dengan kerusakan total. Tidak ada penyembuhan
spontan.
Gambar 4. Derajat Kerusakan Serabut Saraf

2.5. Gejala Klinis


1. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik secara klinis adalah tahap terpenting dalam
mengelola semua cedera saraf. Pemeriksaan harus menentukan apakah kehilangan
distal sisi cedera terjadi secara total atau tidak. Pemeriksaan motorik perlu
dilakukan secara seksama dan teliti karena pemeriksaan motorik menjadi suatu
acuan yang cukup berguna sebagai bukti terjadinya regenerasi saraf bila terdapat
pemulihan yang jelas. Pengamatan klinis fungsi motorik volunter dapat juga
ditentukan dengan respons motor terhadap stimulasi. Stimulasi saraf terutama
berguna dalam pengenalan awal adanya pemulihan nerus radialis memadai dan
mengurangi tindakan operasi yang beresiko.
2. Tanda Tinel
Tanda Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut halus dan tidak
menunjukkan apapun tentang kuantitas dan kualitas yang sebenarnya dari serabut
yang baru. Disisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh tidak adanya respons
sensori distal (tanda Tinel negatif) setelah waktu yang memadai telah berlalu
untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu). Tanda Tinel negatif lebih
bernilai dalam penilaian klinis dibanding tanda Tinel positif.
3. Berkeringat

Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut


simpatis yang bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pemulihan motorik
atau sensorik dalam beberapa minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih
dengan cepat. Pemulihan aktivitas otonom tidak selalu berarti akan diikuti oleh
fungsi motorik atau sensorik. Pada beberapa kasus, pemulihan fungsi motorik atau
sensorik tidak berlangsung.

4. Pemulihan Sensorik

Pemulihan sensorik adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi


didaerah inervasi otonom nervus radialis dimana tumpang tindih antar sarafnya
minimal. Daerah otonom saraf median meliputi permukaan volar dan dorsal
telunjuk dan permukaan volar jempol.

Saraf radial tidak mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi
kehilangan sensori pada distribusi ini, biasanya mengenai sejumlah daerah
anatomis tertentu.

Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada daerah otonom, tidak pasti


diikuti pemulihan motorik.
2.6. Diagnosis

Gejala yang timbul dipengaruhi oleh lokasi lesi:


a. Pada level lengan atas lesi pada n.radialis dapat terjadi pada aksila, pada
waktu melilit humerus di musculoradialis groove, atau sewaktu berjalan
superfisial pada sisi lateral lengan atas. Menyebabkan parese semua otot yang
diper sarafinya yaitu triseps, ekstensor pergelangan tangan, ekstensor jari dan
brakhioradialis, dan disertai defisit sensorik pada daerah yang dipersarafi
yaitu sisi lateral-dorsal tangan, ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah. Lesi pada
aksila dapat disebabkan kompresi oleh kruk, dislokasi sendi bahu, fraktur
humerus dan luka tembus.
b. Lesi neuropati radialis
Lesi neuropati radialis sewaktu melilit humerus atau sewaktu berjalan
seperfisial pada aspek lateral lengan atas, sering akibat kelamaan
menggantung lengan diatas sandaran kursi (Saturday nigth palsy), akibat
tertekannya lengan karena posisi yang tidak tepat selama anestesi atau tidur,
penggunaan tomiket yang tidak benar atau akibat iritasi dan kompresi oleh
kallus sesudah fraktur tulang. Gejalanya:
 tidak dapat ekstensi siku karena parese triseps
 tidak dapat fleksi siku pada posisi lengan bawah antara pronasi dan
supinasi karena parese m.brakhioradialis
 tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m.brakhioradialis
 tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m. supinator
 wrist drop dan finger drop karena parese ekstensor pergelangan
tangan dan jari.
 gangguan abduksi ibu jari tangan
 refleks triseps negatif atau menurun
 gangguan sensorik berupa parestesi atau baal pada bagian dorsal distal
lengan bawah, sisi leteral dan dorsal tangan, ibu jari, telunjuk dan jari
tengah.
c. Lesi pada bagian saraf yang berjalan antara septum intermuskularis lateralis
dan tempat dimana n.interosseus posterior menembus m.supinator
mengakibatkan jari yang dipersarafi oleh nerpus ini. Gejalanya:
 tidak dapat supinasi dan meluruskan jari
 tidak ada wrist drop
 refleks triseps positif
 tidak ada gangguan sensorik
d. Lesi pada punggung pergelangan tangan, hanya akan menimbulkan gejala
sensorik, tanpa defisit motorik.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Elektrofisiologis
Elektromiografi

Pemeriksaan EMG dasar 2-3 minggu setelah cedera menunjukkan perluasan


denervasi dan menegaskan pola atau distribusi cedera. Pemeriksaan EMG harus
dilakukan serial untuk mencari tanda-tanda reinervasi atau denervasi yang persisten.
Pada regenerasi, aktifitas insersional mulai pulih dan fibrilasi serta potensial
denervasi berkurang dan terkadang digantikan oleh potensial aksi motor yang timbul
sewaktu-waktu. Setiap perubahan menunjukkan bahwa beberapa serabut yang
mengalami regenerasi mencapai otot dan terjadi beberapa rekonstruksi hubungan
akson-motor end plate.Tanda-tanda tersebut tidak berarti apa-apa atas kemungkinan
perluasan atau kualitas regenerasi. Bila terjadi pengurangan fibrilasi atau timbulnya
potensial terjadi pada otot pada distribusi saraf yang cedera, dianjurkan tindakan
konservatif selanjutnya untuk interval yang singkat. EMG menjadi penting karena
dapat membuktikan regenerasi beberapa minggu atau bulan sebelum fungsi motor
volunter tampak. Ia juga melacak adanya sisa unit motor yang berarti lesi parsial
segera setelah cedera.
EMG terutama membantu menentukan tingkat cedera lesi pleksus brakhial
hingga bisa menyeleksi pasien untuk dioperasi beserta jenis operasi yang akan
dilakukan. Denervasi otot paraspinal mengarahkan pada lesi proksimal pada satu atau
lebih akar dan karenanya merupakan temuan negatif. Kerusakan proksimal pada tiga
akar terbawah dapat berakibat denervasi paraspinal ekstensif dimana akar C5 dan
bahkan C6 mungkin cedera lebih kelateral dan karenanya dapat diperbaiki.
Elektromiografer memiliki kesulitan membedakan tingkat spinal didalam otot
paraspinal karena sangat tumpang tindih.Operasi biasanya diindikasikan pada lesi
pleksus brakhial bila terjadi kerusakan lengkap pada satu atau lebih akar saraf atas
(C5,C6,C7) dan hantaran kedistal tidak mulai pulih secara klinis maupun elektrik
pada bulan-bulan awal pasca cedera. Adanya perubahan EMG yang menunjukkan
reinervasi tidak menjamin pemulihan fungsi, dan pemeriksaan harus digabung dengan
temuan klinis dan data elektrikal lain. Karena EMG dapat terus menunjukkan
perubahan denervasi berat bahkan walau otot berkontraksi volunter, EMG tidak
pernah menggantikan pemeriksaan klinis yang teliti. Namun hanya melengkapi
pemeriksaan klinis. EMG terutama bernilai mengenal anomali dari inervasi, seperti
sering terjadi pada lengan bawah dan tangan.

Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)

Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera


pleksus brakhialis. Lesi tingkat radiks yang terbatas didaerah preganglion dan
tidak meluas kedaerah postganglion akan berakibat hilangnya sensori distal
proximal namun tetap mempertahankan konduksi sensori distal. Konduksi sensori
dari daerah anestetik dapat diperiksa dengan merangsang jari pada distribusi C6
(jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jari tengah) dan C8-T1 (kelingking dan jari manis)
dan pencatatan saraf median, radial dan ulnar diproksimal.

Adanya potensial aksi saraf sensori campuran memastikan cedera


preganglionik pada distribusi satu radiks atau lebih. Karena distribusi sensori
radiks didistal tumpang tinduh dengan satu atau lebih radiks lain, sulit
menentukan dengan pemeriksaan ini bahwa satu radiks, misalnya C6, adalah suatu
cedera preganglionik.

Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan


SNAP pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7,
rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk menentukan pada
pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini
kurang jelas pada akar C5 karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau
daerah pencatatan untuk hantaran ini: Penilaian teliti akar sebelah atas dengan
pencatatan SNAP tidak mungkin pada tingkat ini.

Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)

Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera, apakah


praganglionik atau postganglionik, pada lesi pleksus brakhial. Ia bernilai terbatas
pada bulan-bulan pertama cedera.Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat
operasi atas cedera brakhial karena regangan atau kontusi. Bila cedera
postganglionik, stimulasi akar proksimal dari tingkat cedera membangkitkan
potensial somatosensori diatas tulang belakang servikal (SSP) dan
membangkitkan (evoked) respons kortikal diatas kranium kontralateral (ECR).
Bila cedera praganglionik atau pra dan post ganglionik, stimulasi terhadap akar,
bahkan didalam atau dekat foramen intervertebral, tidak akan membangkitkan
respons apapun. Reparasi jarang berhasil.Sayangnya, timbulnya SSP atau ECR
mungkin hanya memerlukan beberapa ratus serabut yang intak antara daerah yang
distimulasi dan daerah perekaman, hingga respons positif hanya memastikan
keutuhan minimal saraf atau akar spinal. ECR negatif lebih penting dari ECR
positif.

Pemeriksaan Radiologis

Foto polos

Fraktura tulang belakang servikal sering berhubungan dengan cedera


regang proksimal yang berat yang tidak dapat direparasi, paling tidak pada tingkat
akar ruas tulang belakang bersangkut-an. Fraktura tulang lain seperti humerus,
klavikula, skapula dan/atau iga, bila diamati memberi-kan perkiraan kasar atas
kekuatan yang menghantam bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu
membantu menentukan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya
lebih proksimal dibanding sisi fraktura yang tampak, sering pada tingkat akar.
Fraktura humerus tengah terutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktura
kominuta radius dan ulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan
cedera saraf median dan ulner, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus
posterior.

Foto thorax bisa menunjukkan elevasi diafragma yang berarti terjadi


paralisis saraf frenikus. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar
saraf C5 setelah cedera tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada
tingkat leher.

Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)

CT scan dengan kontras dimanfaatkan pada cedera peregangan walau


terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karena irisan biasanya tidak cukup
rapat untuk mencakup semua daerah akar pada setiap tingkat. Akibatnya,
mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis yang digunakan. Pencitraan
resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf. Pemeriksaan
MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya.

2.7. Tatalaksana

Terdapat beberapa terapi terhadap carpal tunnel syndrome yang masih


dipergunakan hingga saat ini, antara lain:

1. Splint (Bidai Immobilisasi)

Splint atau bidai pada pergelangan tangan membantu mengurangi mati rasa
dengan mengurangi fleksi pergelangan tangan. Bidai digunakan pada malam hari
untuk mereposisi tangan, mencegah fleksi atau ekstensi tangan saat tidur yang
bisa meningkatkan tekanan. Bidai biasanya digunakan pada pasien dengan gejala
yang ringan sampai sedang yang berlangsung kurang dari 1 tahun.

2. Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)

Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan membantu


menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk menghilangkan nyeri
ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi awal biasanya adalah ibuprofen.
Untuk pilihan lainnya ada ketoprofen dan naproxen.

3. Fisioterapi dan Terapi Okupasi

Prosedur fisioterapi ini harus dilakukan secaraspesifik terhadap pola


nyeri/gejala dan disfungsi yang ditemukan. Terapi okupasi memberikan
penyaranan ergonomik untuk mencegah gejala yang semakin parah. Terapi
okupasi memfasilitasi fungsi tangan melalui terapi adaptif tradisional. Olahraga
dengan gerakan merelaksasi dan meregangkan otot – otot lengan dan tangan dapat
mengurangi resiko trauma ganda pada N. radialis.

Dengan istirahat yang sesering mungkin dapat berguna jika jadwal kerja dapat
dikurangi kepadatannya. Sebuah hasil penelitian baru – baru ini menunjukkan
dengan istirahat singkat beberapa kali saat aktivitas yang cukup menegangkan
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan istirahat dalam waktu
yang lama. Beragam jenis perangkat aksesoris komputer yang dapat digunakan
untuk menopang tangan dari kelelahan karena aktivitas berlebihan.

Olahraga dengan gerakan merelaksasi dan meregangkan otot – otot lengan dan
tangan dapat mengurangi resiko trauma ganda pada N. Radialis.

4. Terapi Operatif

2.8. Prognosis

Pasien neuropati radialis akibat fraktur atau dislokasi, dapat mengalami


perbaikan spontan. Pasien dengan Saturday night palsy biasanya membaik dalam
6-8 minggu atau dapat lebih lama. Operasi pada keadaan terdorongnya nervus
radialis oleh tulang atau jaringan lunak, juga adanya entrapment pada muskulus
supinator dapat membaik dalam beberapa minggu atau bulan.
Secara keseluruhan kesembuhan menyangkut nervus radialis umumnya
baik setelah manajemen konservatif dan operasi. Jika belum memperoleh hasil
maksimal maka dapat dilakukan perbaikan melalui transfer tendon.

BAB 3

KESIMPULAN

Radial nerve palsy yang juga dikenal sebagai drop hand atau wrist drop
yang menyebabkan kelemahan untuk mendorsofleksikan lengannya dan
mengekstensikan jari-jari tangannya. Neuropati radial dihasilkan dari cedera
akibat luka tembus atau patah tulang lengan, kompresi, atau iskemia. Pola
keterlibatan klinis tergantung pada lokasi dan tingkat cedera.

Untuk mendiagnosa adanya neuropati radialis dapat dilakukan dengan


pemeriksaan fisik dan penunjang yaitu dengan elektromiografi (EMG).
Tatalaksana untuk paralisis nervus radialis ini dapat dilakukan dengan fisioterapi
dan operasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam RD ; Victor M. Principles of neurology. 4th ed. New York:


McGraw Hill, 1989
2. Chusid JG and deGroot J. Correlative neuroanatomy. 20th ed. A Lange
Medical Book, 1988:p.92-96
3. De Jong. The Neurological examination.4t ed. 1979:p.576-588
4. Dyck PJ, Low PA. Disease of peripheral nerves, in Clinical neurology,
Baker (ed). Philadelphia: Harper & Row, 1987
5. Gilroy, J. Basic neurology. New York : Pergamon, 1992:p. 363-364
6. Goldstein NP. Metal neuropathy, in Peripheral neuropathy. Dyck PJ (ed.).
Philadelphia : WB Sounders, 1975:p. 1240-1248
7. Patten J. Neurological differential diagnosis, London: Harold Starke,
1977: p.194-202
8. Thomas PK. Symptomatoly and differential diagnosis of peripheral
neuropathy, in peripheral neuropathy. Dyck P. (ed.). philadelphia : WB
Saunders, 1975
9. Walton JN. Brain’s diseases of the nervus system. 8th ed. New York :
Oxford University, 1977: 779-781 dan 949-952
10. WHO. Peripheral neuropathies, Report of WHO Study Group, Jeneva,
1980

Anda mungkin juga menyukai