Lylys Surjani
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia
e-mail: surjani.lylys@gmail.com
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
Keratitis mikrobial adalah infeksi pada kornea yang disebabkan oleh berbagai
patogen non-viral. Organisme penyebab keratitis mikrobial adalah bakteri, protista
(contohnya acanthamoeba) dan fungi. Keratitis mikrobial dikarakteritik oleh adanya
nyeri yang bersifat akut atau subakut, kemerahan pada konjungtiva dan ulserasi pada
kornea dengan infiltrat berbentuk stroma.1
Faktor predisposisi keratitis mikrobial berupa penyakit pada permukaan kornea,
trauma pada kornea, pemakaian lensa kontak dan penyakit sistemik. Pemakaian lensa
kontak merupakan faktor resiko utama keratitis mikrobial.2 Insidensi keratitis mikrobial
pada pengguna lensa kontak meningkat dari 40% menjadi 52% selama tahun 2008-
2012.3 Insidensi keratitis mikrobial sebesar 0,5-5,2 dalam 10.000 orang/ tahun pada
pengguna lensa kontak yang kaku, sedangkan pada pengguna lensa kontak yang halus
sebesar 20 orang dalam 10.000 orang/ tahun.4 Kejadian keratitis mikrobial lebih banyak
terjadi pada pengguna lensa kontak usia muda, tetapi infeksi dapat lebih parah terjadi
pada pasien usia tua yang disebabkan oleh banyaknya faktor resiko lain, sehingga
pencegahan sulit dilakukan. Infeksi bakteri terjadi pada 90% keratitis mikrobial. Pada
pengguna lensa kontak umumnya berhubungan dengan infeksi bakteri gram negatif
2. TINJAUAN PUSTAKA
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis
dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan
distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan
kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelial stromal, atau endotelial.
Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan
berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu
bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan
kornea, sedangkan keratitis noninfeksius merupakan inflamasi kornea tanpa penyebab
yang jelas. Kondisi ini sangat mengancam tajam penglihatan dan merupakan
kegawatdaruratan di bidang oftalmologi.6
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular. Faktor risiko lain
untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi
dan meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan sistemik maupun topikal.
Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif
insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicellazoster atau
herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion. Faktor predisposisi
keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah jahitan, penggunaan steroid
topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek epitel
persisten. Trauma umumnya terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan
tumbuhan. Faktor resiko lainnya yaitu penggunaan lensa kontak akibat
Acremonium,Alternaria, Aspergillus, Candida, Collectotrichum, and Curvularia. Jamur
dapat tumbuh di dalam matriks lensa kontak soft. Penyakit sistemik juga merupakan
faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi. Biasanya penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik pada
mata.8
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial. Tanda klinis yang
dapat membantu penegakan diagnosis keratitis jamur filamentosa adalah ulkus kornea
yang bercabang dengan elevasi, batas luka yang iregular dan seperti kapas, permukaan
yang kering dan kasar, serta lesi satelit Tampilan pigmentasi coklat dapat
mengindikasikan infeksi oleh jamur dematiaceous Keratitis jamur juga dapat memiliki
tampilan epitel yang intak dengan infiltrat stroma yang dalam . Walaupun terdapat
tanda-tanda yang cukup khas untuk keratitis jamur, penelitian klinis gagal membuktikan
bahwa pemeriksaan klinis cukup untuk membedakan keratitis jamur dan bakterial.8,9
Gambar 1. Lesi Satelit pada Keratitis Jamur.9
Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya
mekanisme pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum
terjadi adalah penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea, kelainan
permukaan bola mata, penyakit sistemik dan imunosupresi. Penyebab terbanyak adalah
spesies stafilokokus dan pseudomonas.8
Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi
organisme dan durasi infeksi. Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma yang
terlokalisir ataupun difus. Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat stromal
nekrotik yang berwarna putih-keabu-abuan. Tampilan umum lainnya adalah abses
stroma di bawah epitel yang intak. Infiltrat dan edema kornea dapat terletak jauh dari
lokasi infeksi primer. Ulserasi kornea dapat berlanjut menjadi neovaskularisasi. Jika
proteinase menyebabkan stromal melting maka akan terbentuk descemetocele. Gejala
yang dikeluhkan dapat berupa rasa nyeri, pembengkakan kelopak mata, mata merah
atau mengeluarkan kotoran, silau, dan penglihatan yang buram.10
3. PEMBAHASAN
Tn F, laki-laki, usia 33 tahun, datang ke Rumah Sakit Methodist Medan pada
tanggal 17 Oktober 2016 dengan keluhan mata merah dan pandangan kabur. Keluhan
diawali dengan mata merah sejak 3 hari yang lalu. Setelah muncul keluhan mata merah,
pasien ke apotik dan pasien diberi obat tetes mata yang mengandung dexamethason,
neomisin dan polimisin. Pasien meneteskan obat tetes tersebut setiap pasien merasa
matanya pedih dan kering. Setelah 3 hari, pasien melihat adanya bercak putih pada
matanya dan pandangan menjadi kabur.
Pasien merupakan pengguna lensa kontak sejak 10 tahun yang lalu. Kebiasaan tidur
dengan lensa kontak dan jarang membersihkan lensa kontak dijumpai. Riwayat
berenang menggunakan lensa kontak tidak dijumpai. Riwayat trauma pada mata tidak
dijumpai.
Visus saat pasien datang ke klinik : mata kanan 6/45, mata kiri 1/300. Hasil
evaluasi slit lamp ditemukan adanya kemerahan yang difus pada konjungtiva, ulcus
cornea seluas (8mm x 6mm x 2mm). hipopion pada 1/3 anterior chamber. Kelopak
mata atas dan bawah dalam keadaan normal.
Adapun diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan untuk kasus ini adalah :
a. Keratitis bakterial (ulkus pada kornea) ditandai dengan hilangnya stroma dan defek
pada epitel. Ulkus berhubungan dengan penggunaan lensa kontak yang jarang
dilepaskan. Dapat dijumpai nyeri, kemerahan, kotoran mukopurulen, fotofobia dan
reaksi pada anterior chamber.
b. Keratitis fungal berhubungan dengan cedera atau trauma pada kornea. Lesi yang
disebabkan oleh fungi umumnya memiliki batas halus dan dapat dikelilingi oleh
infiltrat berbentuk satelit.
c. Keratitis Acanthamoeba memiliki manifestasi klinis berupa infiltrat berbentuk
cincin yang sangat nyeri, berhubungan dengan penggunaan lensa kontak saat
berenang atau membersihkan lensa kontak dengan air keran. Pasien umumnya
memiliki nyeri yang sangat berat.
d. Keratitis Herpes Simplex berhubungan dengan reaktivasi virus Herpes Simplex 1
yang bermigrasi turun ke axon dari cabang nervus trigeminus ke kornea. Sensitivitas
kornea dapat menurun.
e. Keratitis Herpes Zoster menunjukkan adanya lesi pseudodendritik pada kornea.
Umumnya, disertai vesikel pada kulit yang muncul di sepanjang distibusi dermatom
dan tidak melewati setengah bagian dari tubuh. Kondisi ini disebabkan oleh
reaktivasi virus Herpes Zoster dan bermigrasi ke cabang pertama nervus trigeminus
ke kulit dan mata. Keratitis Herpes Zoster sering terjadi pada immunocompromised.
f. Keratitis marginal merupakan reaksi eksotoksin Staphylococcus. Keratitis marginal
umumnya muncul berdampingan dengan blepharitis atau rosacea. Kondisi ini
umumnya bilateral dan rekuren. Kemerahan pada konjungtiva umumnya tidak difus.
Pasien sering tidur dengan lensa kontak yang merupakan tanda klasik pada keratitis
mikrobial yang disebabkan oleh lensa kontak. Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan slit
lamp pasien didiagnosa dengan keratitis ulcerative bakterial.
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotik gatifloxacin 2 tetes / 2 jam dan
artificial tears 2 tetes/ 2 jam diberikan selama 1 bulan. Tablet ciprofloxacin 500 mg 2
kali sehari dan tablet methylprednisolon 16 mg 2 kali sehari selama 1 minggu.
Methylprednisolone dilakukan tapping off setelah 1 minggu pemakaian. Tropicamide
1% diberikan 2 kali sehari, selama 2 minggu. Acetazolamide 250mg , diberikan 2 kali
sehari 1 tablet dan kalium L-aspartate 2 kali sehari 1 tablet, diberikan selama 1 minggu.
Berikut adalah follow-up pasien pada kunjungan berikutnya.
OD OS
Visus 6/45 1/300
Pupil Normal Bulat dan reaktif terhadap cahaya
Temuan pada segmen Normal Konjungtiva hiperemis
anterior Dijumpai hipopion pada 1/3 anterior chamber
Slit lamp dengan Normal Pewarnaan positif dengan defek kornea
fluoresensi
DISKUSI
Keratitis mikrobial akibat lensa kontak merupakan kondisi yang parah dan memiliki
potensi menyebabkan kebutaan, sehingga membutuhkan pengobatan yang cepat untuk
mencegah kerusakan dan memperbaiki prognosis. Keratitis mikrobial terjadi kira-kira
pada 5 dari 10.000 pengguna lensa kontak.6 Pada studi sebelumnya, menunjukkan
bahwa lensa kontak dapat menyebabkan keratitis sebesar 3,2%. 7 Penggunaan lensa
kontak yang tidak dilepaskan lebih dari 1 hari merupakan faktor resiko yang paling
sering menyebabkan keratitis. Berdasarkan studi Lam et al., resiko terjadi keratitis
mikrobial akibat penggunaan lensa kontak berhari-hari sebesar 5 kali.8
Pada kasus, pasien datang dengan ulkus pada kornea sebesar dengan panjang 8 mm,
lebar 6 mm, tinggi 2 mm dan hipopion pada anterior chamber. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, prevalensi keratitis mikrobial akibat lensa kontak yang memiliki gambaran
seperti infiltrasi stroma pada kornea dengan ulkus yaitu 38,7%. 9 Terdapat beberapa
faktor yang memiliki peran terjadinya ulkus pada kasus ini, yaitu adanya adhesi bakteri
pada lensa, formasi biofilm pada lensa dan tempat penyimpanan lensa, resistensi
mikroorganisme terhadap desinfektan, stagnasi air mata di belakang lensa kontak, serta
penurunan resistensi kornea terhadap infeksi.10 Pada keratitis bakterial, bakteri masuk
ke stroma kornea menyebabkan kerusakan dan respon inflamasi, sehingga terjadi
gangguan penglihatan. Hipoksia dapat meningkatkan penempelan bakteri dan
menganggu penyembuhan luka. Perubahan permukaan mata di bawah lensa kontak
menyebabkan pengguna lensa kontak gampang terinfeksi.11 Lensa kontak merupakan
permukaan yang cocok untuk adhesi bakteri dan pembentukan biofilm. Lensa kontak
dapat menampung jumlah organime yang banyak. Semakin kasar permukaan lensa
kontak, semakin ekstensif adhesi bakteri dan kolonisasi mikroorganisme pada
permukaan lensa.12
Pada kasus, pasien datang dengan keluhan pandangan kabur. Pandangan kabur
terjadi akibat adanya infeksi pada kornea, sehingga menyebabkan inflamasi dan
kerusakan. Prevalensi gangguan penglihatan akibat keratitis mikrobial sebesar 12-
14%.13
Oleh karena tidak adanya gejala yang khas pada keratitis mikrobial akibat lensa
kontak, kultur merupakan diagnostik yang bagus untuk menentukan kuman penyebab
keratitis. Di Amerika Serikat, kultur dilakukan setelah pengobatan antibiotik empiris
gagal. Sebelum memulai pengobatan, kultur dilakukan dengan indikasi yang
mengancam penglihatan atau keratitis berat. Hapusan dan kultur dilakukan apabila
ulkus sentral (3 mm visual axis), ulkus jelas dan purulen, adanya hipopion, kedalaman
ulkus > 1/3 ketebalan kornea, diameter ulkus > 2-3 mm, tidak respon terhadap
antibiotik, infeksi luas, gejala klinis atipikal yang mengarah ke infeksi seperti jamur
atau acanthamoeba. Kultur mengurangi toksisitas dengan mengeliminasi pengobatan
yang tidak membantu.14 Pada kasus, kultur tidak dilakukan karena pasien telah
menerima antibiotik sebelumnya. Berdasarkan penelitian Marangon et al., 56% pasien
dirujuk dengan terapi antibiotik sebelum kultur. Apabila terapi sudah dimulai, akan sulit
untuk mendapatkan organisme pada kultur untuk identifikasi dan sensitivitas.15 Pada
penelitian McDonnel et al., pasien yang sudah melakukan pengobatan sebelum kultur
menunjukkan adanya keterlambatan dalam penyembuhan ulkus, kemungkinan
disebabkan oleh efek toksik dari terapi antibiotik yang lama dan tidak efektif.
Konsentrasi sub-optimal antibiotik tidak akan mengizinkan pertumbuhan bakteri pada
media kultur.16
Keratitis mikrobial dianggap keratitis bakterial hingga ada pembuktian melalui
kultur. Tujuan terapi adalah eradikasi cepat bakteri penyebab. Gold standard
pengobatan ulkus kornea adalah antibiotik, seperti cefrazolin 5% dan tobramycin 1,3%
atau monoterapi dengan fluorokuinolon generasi ke 2. Bakteri gram positif yang
berhubungan keratitis bakterial harus segera diberi fluorokuinolon dan eritromisin,
sedangkan keratitis bakterial yang disebabkan gram positif diberi kombinasi
aminoglikosida dan eritromisin.17 Pada pasien diberikan pengobatan antibiotik golongan
fluorokuinolon yaitu obat tetes gatifloxacin dan ciprofloxacin tablet. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, pemberian ciprofloxacin dapat menurunkan koloni kuman
sejumlah 6,67 CFU menjadi 2,75 CFU dalam 10-20 jam post-infeksi. Ciprofloxacin
merupakan antibiotik yang paling sering diresepkan, diresepkan pada kira-kira 90%
pasien denga keratitis.18 Pada penelitian Shah, antibiotik gatifloxacin memiliki minimum
inhibitory concentration yang lebih rendah dibandingkan fluorokuinolon generasi
kedua. Bagian inhibitori pada DNA topoisomerase IV menurunkan kemungkinan
resistensi terhadap gatifloxacin.19
Sebelum pasien berobat, pasien menggunakan obat tetes mata yang mengandung
steroid yaitu dexamethasone. Berdasarkan beberapa penelitian, penggunaan
kortikosteroid masih kontroversial. Pada penelitian Herres et al., menyatakan bahwa
penggunaan kortikosteroid dapat memperlambat re-epitalisasi ulkus pada kornea sebesar
53%.20
Pengobatan awal dapat mencegah terjadinya parut dan hilangnya penglihatan yang
disebabkan oleh keratitis mikrobial akibat lensa kontak. Bahkan diagnosis dan
pengobatan yang tertunda dapat meningkatkan resiko prognosis yang jelek.
4. KESIMPULAN
Pada kasus keratitis mikrobial ini, menunjukkan cepatnya diagnosis dan manajemen
yang efektif pada tahap awal menghasilkan kondisi dengan resolusi cepat dan mencegah
hilangnya penglihatan. Adanya penelitian selanjutnya tentang patogenesis keratitis
mikrobial serta edukasi pasien tentang prosedur penggunaan lensa kontak yang benar
diharapkan dapat menurunkan insidensi keratitis mikrobial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dyavaiah, M., Phaniendra, A., Sudharshan, S., 2015. Microbial Keratitis in
Contact Lens Wearers. JSM Opthalmology, 3(3) : 1-9.
2. Khuu, T., Denial, A., 2011. Contact Lens- Related Corneal Ulcer : A Teaching
Case Report. Optometric Education, 37(1) : 1-7.
3. Stapleton, F., et al., 2008. The Incidence of Contact-Lens Related Microbial
Keratitis. American Academy of Opthalmology, 115(2) : 1655-1662.
4. Dart J.K., 2003. Predisposing factors in microbial keratitis: the significance of
contact lens wear. Br J Ophthalmol : 72 (3) : 926-930.
5. Tuft, S., Burton, M., 2013. Microbial Keratitis. The Royal College of
Opthalmologist, 2(2) : 1-2.
6. Al-Yousuf N., 2009. Microbial keratitis in kingdom of Bahrain: clinical and
microbiology study. Middle East Afr J Ophthalmol, 16(3) : 3-7.
7. Yilmaz S, Ozturk I, Maden A., 2007. Microbial keratitis in West Anatolia, Turkey:
aretrospective review. Int Ophthalmol , 27(3) : 261-268.
8. Lam DS, Houang E, Fan DS, Lyon D, Seal D, Wong E, et al., 2002. Incidence and
Risk Factors for Microbial Keratitis in Hong Kong: comparison with Europe and
North America. Eye. 16(6) : 608-18
9. Musa F, Tailor R, Gao A, Hutley E, Rauz S, Scott R.A.., 2010. Contact lens-related
microbial keratitis in deployed British military personnel. BR J Ophthalmol, 94(3) :
988-993.
10. Poggio E.C. et al., 2008. The .incidence of ulcerative keratitis among users of
daily-wear and extended-wear soft contact lenses. N Engl J Med 321 (298) : 779–
783.
11. Fleiszig S.M., Evans D.J., 2010. Pathogenesis of contact lens-associated microbial
keratitis. Optom Vis Sci, 87 (5) : 225-232.
12. Giraldez MJ, Resua CG, Lira M, et al. Contact lens hydrophobicity and roughness
effects on bacterial adhesion. Optom Vis Sci, 84 (26) : 431.
13. Keay L, Edwards K, Naduvilath T, Forde K, Stapleton F, 2006. Factors affecting
the morbidity of contact lens-related microbial keratitis: a population study. Invest
Ophthalmol Vis Sci, 47 (32) : 4302–8.
14. Fleiszig S.M., Evans D.J., 2010. Pathogenesis of contact lens-associated microbial
keratitis. Optom Vis Sci : 87 (28) : 225-232.
15. Marangon FB, Miller D, Alfonso EC, 2008. Impact of prior therapy on the
recovery and frequency of corneal pathogens. Cornea, 23 (20) :158–64.
16. McDonnell PJ, Nobe J, Gauderman WJ, Lee P, Aiello A, Trousdale M., 2009.
Community care of corneal ulcers. Am J Ophthalmol, 114 (110) : 531–8.
17. Ehlers JP, Shah CP. The Wills eye manual: of ce and emergency room diagnosis
and treatment of eye disease. 5th Ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins;
2008. p. 62-86.
18. American Optometric Association; Optometric Clinical Practice Guideline: Care of
the Contact Lenses Patient. St.Louis, MO. Retrieved January 14, 2017 Available
http://www.aoa.org/documents/CPG-19.pdf 40-46.
19. Shah VM, Tandon R, Satpathy G, et al.,2011. Randomized clinical study for
comparative evaluation of fourth-generation fluoroquinolones with the
combination of fortified antibiotics in the treatment of bacterial corneal ulcers.
Cornea, 29 (21) : 751-757.
20. Herretes S, Wang X, Reyes JMG. Topical corticosteroids as adjunctive therapy for
bacterial keratitis. Cochrane Database of Systematic Reviews 2014, Issue 10.
Available at : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0013463/
[ Accessed 10 January 2017].
THE RELATIONSHIP OF AGE AND OCCUPATION ON THE INCIDENCE OF
KERATITIS AND CORNEAL ULCERS IN PATIENTS VISITING AT HOSPITAL
DR.H.ABDOEL MOELOEK LAMPUNG PROVINCE IN 2013-2014
1
Rahmat Syuhada , Rakhmi Rafie
ABSTRACT
k
r
o
n
i
s
d
a
n
p
e
n
g
g
u 4 j
kelainan mata.
n
a Insidensi dari ika keratitis tidak
a keratitis di ditangani dengan
negara benar maka
n
berkembang penyakit ini akan
l lebih tinggi berkembang
e dibandingkan di menjadi suatu
n negara maju ulkus yang dapat
s berkisar antara merusak kornea
a 5,9-20,7 per secara permanen
100.000 orang sehingga akan
k tiap tahun. Di menyebabkan
o
n Indonesia gangguan
t Insidensi penglihatan
a keratitis dan bahkan dapat
k ulkus kornea sampai
pada tahun menyebabkan
y yang1993
terjadiadalah
di kornea,
5,3 kebutaan
a per sehingga
n 100.000 pengobatan
g penduduk di keratitis haruslah
Indonesia, cepat dan tepat
b perbandingan
e agar tidak
laki-laki dan
r menimbulkan
perempuan tidak
l begitu bermakna komplikasi yang
e pada angka merugikan di
b kejadian masa yang akan
i 4 datang.
h keratitis. Data dari
a Di World Health
n Provinsi Organization
Lampung (WHO)
d sendiri
a menyebutkan
n berdasarkan terdapat 39 juta
data yang orang mengalami
k diperoleh dari kebutaan.
u Dinas Kebutaan kornea
r Kesehatan menempati
a Provinsi urutan kelima
n Lampung sebagai penyebab
g menunjukan kebutaan
bahwa pada penduduk di
b tahun 2013
a dunia setelah
i katarak,
k glaukoma,
. degenerasi
3 makula,
Insidensi sampai 11 per dan kelainan
7
tahunan dari 100.000 refraksi.
keratitis di orangper tahun. Sedangkan di
negara maju telah Di Amerika
Serikat negara-negara
meningkat
karenaangka frekuensi
keratitis sebesar berkembang
penggunaan lensa beriklim
5% diantara
kontak yang seluruh kasus tropis,
tinggi yaitu 2
kebutaan
kornea
merupakan
urutan kedua setelah katarak sebagai hubungan antara variabel yang satu
penyebab kebutaan 6dan penurunan dengan variabel nominal lainnya 28 (C =
ketajaman Coefisien of
penglihatan. contingency). Dari
Sedangkan dari hasil
penelitian di D
RSUD dr.
Soedarso O
Pontianak
menyebutkan
bahwa usia yang L
paling banyak
mengalami O
keratitis yaitu
usia 28-35 tahun G
sedangkan usia
yang paling I
sedikit
mengalami
keratitis
yaitu usia
8 P
52-59 tahun.
Kemudian E
orang-orang
yang bekerja
sebagai petani N
juga
meningkatkan E
resiko terjadinya
6
keratitis. L
Berdasar
kan latar I
belakang di atas,
peneliti tertarik
T
untuk meneliti
“Hubungan Usia
dan Pekerjaan I
Terhadap
Kejadian A
Keratitis dan
Ulkus Kornea N
pada Pasien Di
RSUD Dr. H. Jenis
Abdoel penelitianini
Moeloek Bandar menggunakan
Lampung Tahun jenis penelitian
2013-2014.” analitik
retrospekstif
M
dengan
rancangan
E penelitian yang
digunakan
T yaitu cross
sectional.
O
Analisis data uji tersebut bahwa faktor
Analisis menghasilkan tiga yang diteliti
data yang nilai, yaitu : nilai merupakan
dilakukan dalam kemaknaan (p), faktor risiko.
penelitian ini nilai Interval 3. Nilai Odds
adalah analisis Komulatif (IK) Ratio kurang
univariat yang dan nilai Odds dari satu (<1),
dilakukan pada Ratio (OR). menunjukan
masing- masing Untuk bahwa faktor
variabel yang menentukan yang diteliti
akan diteliti. kemaknaan hasil merupakan
Hasil analisis ini perhitungan faktor protektif
nantinya akan statistik digunakan
memberikan batas kemaknaan
gambaran 0.05.dengan
deskripsi dari demikian jika nilai Alur Penelitian
variabel- variabel p kurang dari 0,05 - Identifikasi
yang diteliti. (p<0,05) maka Masalah
Kemudian hasil hasil perhitungan - Menentukan
analisi disajikan secara statistik Tujuan Penelitian
secara tekstular, tidak bermakna. - Pengumpulan
tabular, grafikal. Untuk Tinjauan Pustaka
Analisis mengetahui besar Penelitian
ini dilakukan atau kekuatan - Identifikasi
untuk hubungan antara Variabel
mengetahui variabel dependen Penelitian
hubungan antara dengan variabel - Pembuatan
variabel independen Proposal
independen digunakkan Odds Penelitian
( faktor usia dan Ratio (OR)
pekerjaan ) dengan 95% IK - Penyajian
dengan dependen (Interval Proposal
( keratitis ). Uji Komulatif). Penelitian
hipotesis Interpretasi - Pengumpulan
dilakukan dengan nilai Odds Ratio Data Penelitian
uji Chi- disertai interval - Analisis dan
2
Square (X ). Uji kumulatif sebesar Pengolahan Data
Chi 95% adalah : - Pembuatan
Square 1. Nilai Odds Laporan
digunakan bila Ratiosama Penelitian
data yang dengan satu - Penyajian Hasil
digunakan (=1), Penelitian
bersifat nominal menunjukan - Kesimpulan
atau ordinal dan bahwa pajanan -
berguna untuk atau faktor
menguji yang diteliti
hubungan atau bukan
pengaruh dua merupakan
buah variabel faktor risiko
nominal dan maupun faktor
mengukur protektif.
kuatnya 2. Nilai Odds
Ratio lebih
dari satu (>1),
menunjukan
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Tempat Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
H. Abdul Moeloek pada mulanya
merupakan Rumah Sakit Onderneming
Pemerintahan hindia belanda yang
didirikan pada tahun 1914 untuk buruh
perkebunan.Saat itu bangunan Rumah
Sakit masih semi permanen dengan
kapasitas seratus tempat tidur.Setelah
Indonesia merdeka RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek menjadi RSU
Pemerintah Sumatera Selatan tahun
1950-1964 untuk selanjutnya menjadi
RSU Tanjung Karang-Teluk Betung saat
Lampung menjadi provinsi sendiri.
Setelah menjadi RSUD Provinsi
Lampung pada tahun 1965 sesuai SK
Gubernur Lampung 07 agustus 1984
Rumah Sakit ini berubah nama menjadi
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek hingga
saat ini. Tahun 1993 sesuai SK Menkes
RI Nomor :1163/Menkes/SK/XII/1993
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
dikategorikan menjadi RSUD Kelas B
Non Pendidikan.
Hasil PenelitianAnalisis Univariat
Usia
Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen (usia dan pekerjaan) dengan dependen 2
(keratitis dan ulkus kornea).
Uji hipotesis dilakukan dengan uji Chi-Square (X ).
Dari hasil uji tersebut menghasilkan 3 nilai, yaitu : nilai kemaknaan (p),
nilai Interval Komulatif (IK) dan nilai Odds Ratio (OR). Dengan batas
kemaknaan p=0,05. Jika dari hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (p-
value) <0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan yang
bermakna dan jika nilai probabilitas (p-value) > 0,05 maka Ho diterima dan Ha
28
ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna.
Tabel 5 Hubungan Antara Usia dengan Pekerjaan Pada Pasien
Keratitis di RSUD Dr.H.Abdoel Moeleok Provinsi Lampung Tahun
2013-2014
No Variabel Usia Total P OR 95%
<20 >20 IK
N % N % N %
1. Pekerjaan
Di Dalam 12 40,0 18 60,0 30 100Ref
Ruangan
3
5
3
18 30 >20 Tahun
0
2 <20 Tahun
5 12
20 4
1
5
Di Dalam RuanganDi Luar Ruangan
1
0
5
0 Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa d ari 64 pasien keratitis
didapatkan kategori usia <20 tahun yang bekerja di dalam ruangan sebanyak 12
pasien (40,0%) dan yang bekerja di luar ruangan
sebanyak 4 pasien (11,8%), sedangkan pada ka tegori usia >20 tahun yang
bekerja d i dalam ruangan sebanyak 18 pasien (60,0%) dan yang bekerja di luar
ruangan sebanyak 30 pasien (88,2%).
Tabel 6 Hubungan A ntara Usia dengan Pekerjaan Pada Pasien Ulkus Kornea
dan di RSUD Dr.H.Abdoel M oeleok Provinsi Lampung Tahun 2013-2014
No Variabel Usia Total P OR 95%
<20 >20 IK
N % N % N %
1. Pekerjaan
Di Dalam 13 31,7 28 32,5 41 100 Re f
Ruangan
Di Luar 7 12,5 49 44,5 56 100 0,021 3,250 1,161
Ruangan -
9,099
60
50
40 49
30 28 >20 Tahun
20 <20 Tahun
10 13 7
0
Di Dalam Di Luar
Ruangan Ruangan
Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa dari 97 pasien ulkus kornea
didapatkan kategori usia <20 tahun yang bekerja di dalam ruangan sebanyak 13
pasien (31,7%) dan yang bekerja di luar ruangan sebanyak 7 pasien (12,5%),
sedangkan pada kategori usia >20 tahun yang bekerja di dalam ruangan sebanyak
28 pasien (32,5%) dan yang bekerja di luar ruangan sebanyak 49 pasien (44,5%).
K E R AT I T I S
FAD I L E F E N D I
AZ I S 111 2 0 1
91022
S TAT U S PA S I E N
IDENTITAS PASIEN
• Nama : Tn. T
• Umur : 51 tahun
• Alamat : Menawan Gebog Kudus
• Pekerjaan : Buruh
A N A M N E SI S
Keluhan Utama
Mata kanan merah dan rasa mengganjal
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli mata RSUD KUDUS dengan keluhan mata kanan
merah dan terasa ngganjel ± sejak 1 minggu yang lalu . Mata kanan juga
terkadang terasa nyeri dan sering berair serta terasa silau. Sebelum
terjadi keluhan ini pasien mengaku pernah kelilipan 1 minggu yang lalu
dan masih terasa sampai sekarang. Keluhan lain pandangan kabur (-),
gatal (-), kemeng (-), belekan (-) pusing mual muntah (-). Pasien sudah
pernah mengobati keluhan ini dengan tetes mata insto tetapi keluhan tidak
juga hilang.
.
Riwayat Penyakit Riwayat Riwayat Sosial
Dahulu Penyakit Ekonomi
Keluarga
• Riwayat penyakit yang • Riwayat • Kesan ekonomi
sama (-) menderita cukup.
• Riwayat kemasukan penyakit yang
benda asing (+) sama dalam
• Riwayat trauma pada keluarga (-)
mata (-) • Riwayat hipertensi
• Riwayat Alergi (-) (+)
• Riwayat Hipertensi (-) • Riwayat diabetes
• Riwayat Diabetes melitus (-)
Mellitus (-)
• Riwayat Memakai
kacamata (-)
• Riwayat operasi mata (-)
PEMERIKSAAN FISIK
• Status Umum
• Keadaan Umum : Baik
• Kesadaran : Compos mentis
• Aktivitas : Normoaktif
• Status gizi : Baik
• Vital Sign
• TD : 120/80 mmHg
• Nadi : 88 x/menit
• RR : 20 x/menit
• Suhu : tidak dilakukan
S TAT U S O F TA L M O L O G I
OD OS
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
Obyektif
- Injeksi siliar OD (+)
- Fluorescein test OD (+)
D I A G N O S AK E R J A
OD