Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ORTHOPEDI & TRAUMATOLOGI CBL

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

OSTEOPOROSIS

Oleh:

Fadil Efendi Azis 11120191022


Nurfidya K. Patuma 11120192116

PEMBIMBING:

dr. Syarif Hidayatullah M.Kes, Sp.OT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ORTHOPEDI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


2021
BAB I
PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah berkurangnya densitas dan penipisan korteks tulang yang


disebabkan oleh berkurangnya pembentukan dan atau meningkatnya resorpsi tulang.
Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah penyakit tulang
sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan
mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah, yang biasanya
melibatkan pergelangan tangan, tulang belakang, tulang panggul, tulang rusuk, pelvis,
dan humerus.1

Seiring bertambahnya usia, orang tua mengalami penurunan massa tulang dan
peningkatan risiko patah tulang sehingga osteoporosis merupakan masalah kesehatan
utama di dunia. Beban sosial dan ekonomi dari osteoporosis terus meningkat karena
populasi usia tua yang terus meningkat.1

Penatalaksanaan osteoporosis sejak awal mempunyai prognosis lebih baik


sehingga dilakukan pemeriksaan skrining pada kelompok berisiko. Pemeriksaan
radiologi merupakan salah satu modalitas untuk mengukur massa tulang yang berkurang
pada osteoporosis.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang
keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau
berkurang, disertai gangguan mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan
tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Dengan kata lain osteoporosis
adalah kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan
dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan, kekuatan tulang
merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang.2
ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG

Tulang dalam garis besarnya dibagi menjadi :


1. Tulang Panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya seperti femur, tibia, fibula,
ulna dan humerus. Dimana daerah batasnya disebut diafisis dan daerah yang
berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Derah ini merupakan
suatu daerah yang sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit,
oleh karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak
mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan perkembangan
daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.2
2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek adalah antara lain tulang vertebra dan
tulang-tulang karpal
3. Tulang pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scapula, dan
tulang pelvis.

Pada tulang yang aktif tumbuh, terdapat empat jenis sel:2


1. Osteoprogenitor
Seperti jaringan ikat lain, tulang semula berkembang dari mesenkim
embrional yang memiliki potensi perkembangan sangat luas, menghasilkan
fibroblast, sel lemak, otot, dan sebagainya. Sel osteoprogenitor ini tetap ada
semasa kehidupan pasca lahir dan ditemukan pada atau dekat semua
permukaan bebas tulang: dalam osteum, lapis dalam periosteum, dan pada
trabekel tulang rawan mengapur pada metafisis tulang tumbuh.
Sel ini paling aktif selama pertumbuhan tulang namun diaktifkan
kembali semasa kehidupan dewasa pada pemulihan fraktur tulang dan
bentuk cedara lainnya.
2. Osteoblast
Osteoblast berhubungan dengan pembentukan tulang, kaya alkaline
phosphatase dan dapat merespon produksi maupun mineralisasi matriks.
Pada akhir siklus remodelling, osteoblast tetap berada di permukaan tulang
baru, atau masuk ke dalam matriks sebagai osteocyte.
3. Osteocyte
Osteocyte berada di lakunare, fungsinya belum jelas. Diduga di bawah
pengaruh hormone paratiroid (PTH) berperan pada resorbsi tulang
(osteocytic osteolysis) dan transportasi ion kalsium. Osteocyte sensitif
terhadap stimulus mekanik dan meneruskan rangsang (tekanan dan
regangan) ini kepada osteoblast.
4. Osteoclast
Osteoclast adalah mediator utama resorbsi tulang, dibentuk oleh
prekursor monosit di sumsum tulang dan bergerak ke permukaan tulang oleh
stimulus kemotaksis. Dengan meresorbsi matriks akan meninggalkan
cekungan di permukaan tulang yang disebut Lakuna Howship.
Tulang secara periodik dan konstan memperbaharui diri melalui suatu
proses yang disebut remodeling. Remodeling tulang merupakan suatu proses
aktif dan dinamik yang mengandalkan pada keseimbangan yang benar antara
penyerapan tulang oleh osteoklas, yang dirangsang oleh hormon paratiroid, dan
deposisi tulang oleh osteoblas. Tulang dibentuk oleh sel yang bersifat osteogenik
yaitu osteoblas, yang merupakan sel pembentuk tulang, dan berfungsi
mensintesis jaringan kolagen dan komponen organik matriks. Osteoblas
dirangsang oleh hormon pertumbuhan, dan pada perkembangan selanjutnya
menjadi osteosit, yang merupakan sel tulang dewasa.1,2

Sel tulang terdiri atas osteoblas, osteosit dan  osteoklas yang dalam
aktifitasnya mengatur homeostasis kalsium yang tidak  berdiri sendiri melainkan
saling berinteraksi. Homeostasis kalsium pada  tingkat seluler didahului
penyerapan tulang oleh osteoklas  yang memerlukan waktu 40 hari disusul fase
istirahat dan kemudian disusul fase pembentukan tulang kembali oleh osteoblas
yang memerlukan waktu 120 hari.1,2

2.2 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB OSTEOPOROSIS


Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang bukan baru lagi, namun masih
banyak yang belum memahami penyebabnya. Menurut Eri D. Nasution (2003:
14-29) faktor-faktor yang menyebabkan osteoporosis adalah sebagai berikut:3
1. Faktor Riwayat Keluarga dan Reproduktif
Riwayat patah tulang dalam keluarga sangat penting untuk menentukan
resiko seseorang mengalami patah tulang. Anak perempuan dari wanita yang
mengalami patah tulang, rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah
dari normal usianya. Tingkat hormon estrogen turun setelah menopause,
sehingga menyebabkan tulang mengalami resorpsi lebih cepat. Wanita yang
mempunyai rentang reproduktif lebih pendek karena menopause dini akan
memiliki massa tulang yang rendah, dan efeknya tetap bertahan sampai usia
tua.3
2. Faktor Gaya Hidup
a. Merokok
Tembakau dapat meracuni tulang dan menurunkan kadar estrogen.
Perokok mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar mengalami patah
tulang pinggul, pergelangan tangan serta tulang punggung.
b. Penggunaan Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengubah metabolisme vitamin
D atau penyerapan kalsium terganggu yang dapat mengakibatkan tulang
lemah dan tidak normal.
c. Aktivitas Fisik
Seseorang yang terlalu lama istirahat di tempat tidur dapat mengurangi
massa tulang. Hidup dengan aktivitas fisik yang teratur dapat
menghasilkan massa tulang yang besar.
3. Faktor Pemakaian Obat
Obat-obatan yang menyebabkan osteoporosis meliputi: steroid, tiroid,
Gonadotropin Releasing Hormone (GNRH agonist), diuretik dan antasid.
Obat tersebut apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama, dapat
mengubah pergantian tulang dan meningkatkan risiko osteoporosis.
4. Faktor Kondisi Medis
Kondisi medis dapat mempercepat proses berkurangnya massa tulang.
Kondisi ini seperti operasi perut, kelumpuhan, kanker, dll. Operasi perut
dapat menyebabkan massa tulang berkurang karena penyerapan kalsium
berkurang. Kelumpuhan pada salah satu anggota tubuh menyebabkan tidak
aktif bergerak sehingga tulang menjadi rapuh.
Menurut Emma S. W. (2000: 10) faktor penyebab osteoporosis adalah
faktor endogenik. Faktor endogenik terkait dengan proses penuaan, yaitu
perusakan sel yang berjalan seiring perjalanan waktu. Perubahan yang terjadi
pada lansia seperti perubahan struktural (massa tulang) dan penurunan
fungsional tubuh.3,4

2.3 PATOGENESIS

         Dalam penyerapannya osteoklas melepas Transforming Growth Factor


yang merangsang aktivitas awal osteoblas dalam keadaan normal kuantitas dan
kualitas penyerapan tulang oleh osteoklas sama dengan kuantitas dan kualitas
pembentukan tulang baru oleh osteoklas. Pada osteoporosis penyerapan tulang
lebih banyak dari pada pembentukan baru.4
Klasifikasi
Osteoporosis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu osteoporosis primer
(involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah
osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan, osteoporosis
sekunder adalah osteoporosis yang diketahi penyebabnya. Osteoporosis primer
dibagi menjadi dua, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Osteoporosis tipe 1 disebut juga
osteoporosis pasca menopause karena defisiensi estrogen akibat menopause.
Osteoporosis tipe 2 disebut juga osteoporosis tipe senilis karena gangguan
absorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian terakhir, konsep itu berubah karena
ternyata peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe 2. 4,5
1. Osteoporosis Primer
 Osteoporosis Primer tipe 1 (Osteoporosis Postmenopausal)
Osteoporosis tipe 1 disebabkan karena kekurangan hormon estrogen
(hormon utama pada wanita) yang membantu mengatur pengangkutan kalsium
ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia
di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat.
Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis
pascamenopause, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita
penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
Setelah menopause, resorbsi tulang akan meningkat, terutama pada
dekade awal setelah menopause sehingga insiden fraktur terutama fraktur
vertebra dan distal radius meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada
tulang trabekular karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat
dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorbsi tulang dan formasi tulang
keduanya meningkat menunjukkan bone turnover. Estrogen juga berperan
menurunkan produksi berbagai produksi sitokin oleh bone marrow stromal cells
dan sel-sel mononklear seperti IL-1, IL-6 dan TNF-ά yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian, penurunan kadar estrogen
akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin sehingga
aktivitas osteoklas meningkat.4,5
Patogenesis osteoporosis tipe 1

Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan


absorbsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain
itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa
1,25(OH)2D sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi
1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan
meningkatkan sintesis protein tersebut karena estrogen transdermal tidak
diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat
meningkatkan absorbsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi
vitamin D. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause
maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause sehingga osteoporosis
akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar
kalsium serum dan hal ini disebabkan oleh menurunnya kadar volume plasma,
meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat sehingga meningkatkan kadar
kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam
kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan
rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. Walaupun terjadi
peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin dan kalsium dalam garam
kompleks, kadar ion kalsium tetap sama dengan keadaan premenopausal.4,5
 Osteoporosis tipe 2
Osteoporosis pada orang tua baik laki-laki maupun perempuan.
Demikian juga kadar testosteron pada laki-laki. Defisiensi estrogen pada laki-
laki juga berperan pada massa tulang. Penurunan kadar estriol dibawah 40 pMol
pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah
mengalami menopause (penurunan kadar estrogen yang mendadak) maka
kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi.
Falahati-Nini, dkk. menyatakan bahwa estrogen pada laki-laki berlangsung linier
sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula pada
wanita disebabkan karena peningkatan resorbsi yang berlebihan akibat
penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause. 5
Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan
menurun sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SBHG) akan
meningkat. Peningkatan SBHG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan
testosteron membentuk kompleks yang inaktif. Laki-laki yang menderita kanker
prostat dan diterapi dengan antagonis androgen atau agonis gonadotropin juga
akan mengalami kehilangan massa tulang dan peningkatan risiko fraktur.5
Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan
terhadap peningkatan resorbsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen (DHEA
dan DHEA-S) ternyata menunjukkan hasil yang kontroversial terhadap
penurunan massa tulang pada orang tua. Faktor lain yang juga ikut berperan
terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan
lingkungan (merokok, alkohol, imobiliasi lama dan obat-obatan). Dengan
bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat
sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal, misalnya pada
femur proksimal. Total permukaan tulang untuk remodelling tidak berubah
dengan bertambahnya umur, hanya berpindah dari tulang trabekular ke tulang
kortikal. Pada laki-laki tua, peningkatan resorbsi endokortikal tulang panjang
akan diiikuti peningkatan formasi periosteal sehingga diameter tulang panjang
akan meningkat dan menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua. Risiko fraktur
yang juga harus diperhatikan adalah risiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang
tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural,
gangguan penglihatan, lantai yang licin dan tidak rata dan lain sebagainya. Pada
umumnya, risiko terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab
tunggal. 5

Patogenesis osteoporosis tipe 2 dan fraktur


2. Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis. Kondisi osteoporosis
sekunder ini sendiri disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-
obatan. Bisa juga disebabkan oleh kondisi medis seperti gagal ginjal kronis dan
kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan
(misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa
memperburuk keadaan osteoporosis.5
2.4 PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Secara anamnesa mendiagnosis osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang
menunjang terjadi osteoporosis, seperti:5,6
a. Tinggi badan yang makin menurun
b. Obat-obat
c. Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi, klimakterium
d. Jumlah kehamilan dan menyusui
e. Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi
f. Apakah sering beraktivitas di luar rumah sehingga mendapat paparan matahari
g. Apakah sering minum susu dan asupan kalsium lainnya
h. Apakah sering merokok, minum alkohol
2. Pemeriksaan fisik
Penderita (terutama wanita tua) biasanya datang dengan nyeri tulang terutama tulang
belakang, bungkuk dan sudah menopause.
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Densitometer (Lunar)
Pemeriksaan ini menggunakan teknologi DXA (dual-energy x-ray
absorptiometry). Pemeriksaan ini merupakan gold standard diagnosis
osteoporosis. Pemeriksaan kepadatan tulang ini aman dan tidak menimbulkan
nyeri serta bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit. DXA sangat berguna untuk
wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis, penderita yang
diagnosisnya belum pasti, dan penderita yang hasil pengobatan osteoporosisnya
harus dinilai secara akurat.6
2. Densitometer-USG.
Pemeriksaan ini lebih tepat disebut sebagai screening awal penyakit
osteoporosis. Hasilnya pun hanya ditandai dengan nilai T dimana nilai lebih -1
berarti kepadatan tulang masih baik, nilai antara -1 dan -2,5 berarti osteopenia
(penipisan tulang), nilai kurang dari -2,5 berarti osteoporosis (keropos tulang).
Keuntungannya adalah kepraktisan dan harga pemeriksaannya yang lebih
murah.6
3. Pemeriksaan laboratorium untuk osteocalcin dan dioksipiridinolin, CTx.
Proses pengeroposan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda
biokimia CTx (C-Telopeptide). CTx merupakan hasil penguraian kolagen tulang
yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darahsehingga spesifik dalam menilai
kecepatan proses pengeroposan tulang. Pemeriksaan CTx juga sangat berguna
dalam memantau pengobatan menggunakan antiresorpsi oral. Proses
pembentukan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda bioklimia
N-MID-Osteocalcin. Osteocalcin merupakan protein spesifik tulang sehingga
pemeriksan ini dapat digunakan saebagai penanda biokimia pembentukan tualng
dan juga untuk menentukan kecepatan turnover tulang pada beberapa penyakit
tulang lainnya. Pemeriksaan osteocalcin juga dapat digunakan untuk memantau
pengobatan osteoporosis.6
T-Score dan Z-Score:
Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko
fraktur untuk menilai hasil pemeriksaan densitometri tulang, digunakan kriteria
kelompok kerja WHO (T-Score) yaitu :
 Normal : densitas massa tulang di atas – 1 SD
 Osteopenia : densitas massa tulang diantara – 1 SD dan - 2,5 SD
 Osteoporosis : densitas massa tulang dibawah – 2,5 SD
 Osteoporosis berat : densitas masa tulang dibawah -2.5 SD yang
disertai dengan fragility fracture

Untuk setiap SD penurunan pada BMD, terjadi peningkatan resiko patah


tulang sebanyak 1.5-3 kali. Penggunaan diagnosis T-Score ini sebaiknya tidak
digunakan pada wanita premenopause, pria dengan usia dibawah 50 tahun, dan
anak-anak.6
Z-Score merupakan perbandingan antara densitas tulang seseorang dengan
nilai rata rata dari orang yang berumur dan berjenis kelamin sama. Nilai Z-Score
(dibawah –2,0) merupakan pertanda bahwa seseorang mempunyai masa tulang
yang lebih sedikit daripada yang diharapkan pada orang yang berumur sama.6
4. Radiologi
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan
daerah trabekuler yag lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang – tulang
vertebra yang memberikan gambaran picture–frame vertebra.
2.6. TATALAKSANA
Farmakologi
 Terapi siklik dengan penggantian pada esterogen, dianjurkan pemberiannya pada
masa peri-menopause.
 Pemberian kalsitonin kepada penderita osteoporosis yang sudah terdiagnosis.
 Penggunaan kalsium suplemental lebih pada pasien yang tidak memiliki batu
ginjal.
 Penambahan asupan vitamin D pada pasien yang mengalami defisiensi.
 Pemberian biphosphonate.7

Rehabilitasi
 Terapi dan rehabilitasi. Rasa nyeri yang dialami oleh pasien osteoporosis dapat
diatasi, selain dengan obat-obatan juga dengan terapi modalitas fisik (terapi
panas, terapi dingin, juga terapi relaksasi yang memosisikan tubuh secara tepat
dan benar). Pada nyeri kronis, perlu diterapkan modifikasi sehari-hari dan
penggunaan alat bantu.
 Pemakaian ortosis spinal. Alat ini, ortosis spinal di-gunakan untuk imobilitasi
tulang punggung. Ortose artinya tegak dan spinal artinya tulang belakang/tulang
punggung. Bentuknya seperti jaket dengan bahan kerangka besi. Bisa juga
menggunakan ortoplast yang dipasang pada tubuh dan bermanfaat memosisikan
tubuh pada posisi yang benar. Alat ini mengurangi posisi membungkuk,
mencegah terjadinya patah tulang, dan membantu menegakkan tubuh pada otot-
otot tulang punggung yang lemah.
 Uji gangguan kestabilan. Pada usia lanjut, orang cenderung sering terjatuh. Ini
disebabkan ketidakstabilan ketika berjalan karena proses penuaan mengubah
pola jalan seseorang. Ketidakstabilan pada lansia disebabkan menurunnya input
proprioseptif (penerimaan rangsangan dari dalam tubuh sendiri), refleks yang
melambat, menurunnya kekuatan otot, dan lain-lain. Tindakan dalam hal
mencegah terjatuh, seyogianya memerhatikan faktor-faktor tersebut.7

Edukasi
 Menghindari mengangkat sesuatu/ barang yang berat 
 Menghindari jatuh dengan menghindari lantai licin, alas kaki licin, tangga yang
curam, dan penerangan ruangan yang redup. Bila ada gangguan penglihatan
harus dikoreksi (misalnya dengan kacamata), penggunaan tongkat saat berjalan,
penggunaan pegangan tangan di kamar mandi, penggunaan kloset duduk.
 Postur: menghindari postur yang bungkuk, harus tegak, dapat dibantu dengan
korset.
 Olahraga: awalnya tanpa beban kemudian bertahap diberikan beban sesuai
toleransi. 
- Latihan pembebanan harus dalam pengawasan dokter SpKFR (Spesialis
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi) atau SpKO (Kedokteran Olahraga). 
- Latihan keseimbangan. 
- Latihan kelenturan7
BAB III
KESIMPULAN
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah
rapuh dan patah. Osteoporosis dibagi dua, yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis
sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya
sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya.
Diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang sangat berperan adalah
pemeriksaan massa tulang yang dapat dinilai dengan tiga cara yaitu, kuantitatif, semi
kuantitatif, dan kualitatif. Osteoporosis dapat ditatalaksana secara farmakologik
dan non- farmakologik. Prognosis osteoporosis baik kehilangan massa tulang
terdeteksi sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hough, S., Ascott Evan B., Brown S., Cassim B., De Villiers T., Lipschitz S., et al.

NOFSA Guideline for the Diagnosis and Management of Osteoporosis. South

Africa: NOFSA; 2010.

2. Lane, Nancy E. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis. American

Journal of Obstetrics and Gynecology. 2006;194:S3–11

3. Setiyohadi, Bambang. Struktur dan Metabolisme Tulang dalam Aru W. Sudoyo dkk,

editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra: Interna Publishing; 2006:

1106.

4. Salter, Robert B. Textbook of Disorder and Injuries of the Muskuloskeletal System.

Edisi ketiga. Pennsylvania : Lippincott William and Wilkins; 1999.

5. Setiyohadi, Bambang. Osteoporosis dalam Aru W. Sudoyo dkk, editor. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra: Interna Publishing; 2006: 1269-84

6. Bianchi, Maria L. Osteoporosis in children and adolescents. Bone.

2007;41:486–95.
7. Kanis, J.A., E. V. Mc Closkey, H. Johansson, C. Cooper, R. Rizzoli, dan J. Y.

Reginster. European guidance for the diagnosis and management of osteoporosis in

postmenopausal women. Springer : International Osteoporosis Foundation and

National Osteoporosis Foundation; 2012.

Anda mungkin juga menyukai