Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2021


UNIVERSITAS PATTIMURA

PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA

Oleh
Kristi N. Pesireron
2020-84-037

Pembimbing
dr. Sherly Yakobus, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KEJIWAAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITASPATTIMURA
AMBON
2020
ii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat dengan
judul “PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA”. Penyusunan referat ini bertujuan
memenuhi salah satu tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian ilmu
Kejiwaan RSKD Nania Ambon.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam referat ini, untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan refarat ini. Semoga referat ini dapat memberikan
manfaat ilmiah bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ambon, Juni 2021

Penulis
iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………………………………………..……..... ii

DAFTAR ISI………………………………………………..……..….. iii

BAB I PENDAHULUAN …..……………………….….…….. 1

1.1 Latar Belakang ………………………..……….….…... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………..….…………..……. 2

2.1 Definisi Skizofrenia………...……………..……….…… 2

2.2 Epidemiologi Skizofrenia.................................................. 2

2.3 Etiologi Skizofrenia…..………………………..…...…… 3

2.4 Patofisiologi Skizofrenia…...…………………………..... 7

2.5 Diagnosis skizofrenia……………………………............ 11

2.6 Diagnosis banding skizofrenia……………....……….…. 15

2.7 Terapi skizofrenia…………..……………………….….. 15

2.8 Prognosis.......................................................................... 20

BAB III KESIMPULAN ……………….…………………….…… 21

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 22


iv

BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini


ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi,
halusinasi, gangguan kognitif, dan persepsi, dan gejala-gejala lainnya.1 Gejala
skizofrenia ini akan menyebabkan pasien skizofrenia mengalami penurunan fungsi
ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat
produktivitasnya dan nyaris terputus relasinya dengan orang lain.
Prevelensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 7 persen per mil dan
biasanya timbul pada usia sekitar 18 – 45 tahun, namun ada juga yang berusia lebih
dini. Skizofrenia ini tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi penderitanya, tetapi
juga bagi orang-orang terdekatnya. Biasanya keluargalah yang terkena dampak
hadirnya Skizofrenia di keluarga mereka. Tidak sedikit pula mereka yang mengalami
skizofrenia pernah dipasung dalam keluarganya sendiri. Tercatat pada 2018, 14%
rumah tangga pernah memasung anggota keluarga mereka yang menderita
skizofrenia.2 Pengetahuan tentang skizofrenia dan pengenalan tentang gejala-gejala
munculnya skiofrenia oleh keluarga dan lingkungan sosialnya akan sangat membantu
dalam pemberian penanganan pasien penderita skizofrenia lebih dini sehingga akan
mencegah berkembangnya gangguan mental yang sangat berat ini.
v

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan ganggguan jiwa yang kompleks dengan berbagai
ekspresi fenotip dan merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau "deteriorating") yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.1,2
Pada umumnya ditandai dengan oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul.
Kesadarn jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.1 Biasanya muncul pada
usia remaja akhir atau dewasa muda. Awitan pada laki-laki biasanya antara 15-25
tahun dan pada perempuan antara 23-35 tahun.

2. Epidemiologi Skizofrenia
Menurut WHO jika 10% dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa
maka harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa. Satu dari
empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar
450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia diperkirakan
mencapai 264 dari 1000 jiwa penduduk yang mengalami gangguan jiwa.Salah satu
gangguan jiwa Psikosa Fungsional yang terbanyak adalah Skizofrenia. Studi
epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi Skizofrenia secara
umum berkisar antara 0,2% hingga 2,0% tergantung di daerah atau negara mana studi
itu dilakukan. Insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun sekitar 0,01%. Data
dari Riskesdas 2018 menyatakan prevalensi pasien gangguan jiwa berat di Indonesia
vi

sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7 per
mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa
Tengah (2,3 per mil). Di Indonesia sendiri, kasus klien dengan Skizofrenia 25 tahun
yang lalu diperkirakan 1/1000 penduduk dan diperkirakan dalam 25 tahun mendatang
akan mencapai3/1000 penduduk.2
Data dari Schizophrenia Information & Treatment Introduction di Amerika
penyakit Skizofrenia menimpa kurang lebih 1% dari jumlah penduduk. Lebih dari2
juta orang Amerika menderita skizofrenia pada waktu tertentu. Separuh dari pasien
gangguan jiwa yang dirawat di RSJ adalah pasien dengan skizofrenia. Jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237,6 juta. Dengan asumsi angka 1 %
tersebut di atas maka jumlah penderita Skizofrenia di Indonesia pada tahun 2012
sekitar 2.377.600 orang. Angka yang fantastis dibanding jumlah daya tampung 32
rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia sebanyak 8.047 tempat tidur. Daya tampung
tetap, pasien gangguan jiwa meningkat. 2

3. Etiologi Skizofrenia3,4
Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit yang tunggal
namun katagori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan,mungkin dengan
kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak yang
serupa. Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai skizofrenia, tetapi hasil
penelitian menyebutkan etiologi skizofrenia yaitu:
a. Biologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik yang
ditemukan pada penderita skizofrenia. Gangguan organik dapat terlihat pada
sub populasi pasien. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu pelebaran
ventrikel 3 dan lateral yang stabil dan terkadang sudah terlihat sebelum awitan
penyakit, atrofi bilateral lobus temporal medial dan lebih spesifik pada girus
parahipocampus, hipocampus dan amygdala, disorientasi spasial sel piramid
hipocampus dan penurunan volume korteks prefrontal dorso lateral. Beberapa
vii

penelitian melaporkan bahwa semua perubahan ini statis dan telah dibawa
sejak lahir dan beberapa kasus perjalanannya progresif. Lokasinya
menunjukkan gangguan perilaku yang ditemui gangguan skizofrenia,
misalnya gangguan hipocampus dikaitkan dengan infermen memori dan atrofi
lobus frontalis dihubungkan dengan gejala negatif skizofrenia. 4

b. Biokimia
1) Hipotesis Dopamin
Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas
dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua
pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat
antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin), berkorelasi dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2
(D2). Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang
terkenal adalah afetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak
menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan
dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak,
hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi
mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak yang terlibat juga tidak dirinci
dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan mesolimbik paling sering
disebut. Peran signifikan dopamin dalam patofisiologi skizofrenia sejalan
dengan studi yang mengukur konsentrasi plasma metabolit utama
dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan adanya korelasi positif
antara konsentrasi asam homovanilat dan tingkat keparahan gejala yang
timbul pada pasien.
2) Norepinefrin
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik jangka
panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus seruleus dan
bahwa efek terapeutik beberapa obat antipsikotik mungkin melibatkan
aktivitasnya pada reseptor adrenergik alfa-1 dan adrenergik alfa-2. Meski
viii

hubungan antara aktivitas dopaminergik dan noradrenergik masih belum


jelas, terdapat peningkatan jumlah data yang menyatakan bahwa sistem
noradrenergik memodulasi sitem dopaminergik dalam suatu cara
sehingga abnormalitas sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien
untuk mengalami relaps yang sering.1
3) Glutamat
Gluamat telah terlibat karena konsumsi phencyclidine, antagonis
glutamat, memproduksi sindrom akut yang serupa dengan skizofrenia.
Hipotesis tentang glutamat termasuk hoperkatifitas, hipoaktifitas, dan
glutamate induced neurotoxicity. 1

4) Asetilkolin dan Nikotin.


Pada data postmortem (data yang diambil dari orang yang telah
meninggal) pasien skizofrenia menunjukkan adanya penurunan kadar
muskarinik dan reseptor nikotin di daerah putamen bagian kaudal,
hipokampus, dan beberapa bagian prefrontal cortex. Reseptor-reseptor ini
berperan penting dalam regulasi neurotransmiter yang berperan dalam
kesadaran sebagai individu pada seorang, yang mengalami gangguan pada
pasien skizofrenia.
c. Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna,
kompleks dan poligen. Skizofrenia adalah gangguan yang bersifat familial,
semakin dekat hubungan kekerabatan semakin tinggi risiko terjadinya
skizofrenia. Frekuensi kejadian gangguan non psikotik meningkat pada
keluarga skizofrenia serta secara genetik dikaitkan dengan gangguan
kepribadian ambang dan skizotipal, gangguan obsesif - kompulsif, dan
kemungkinan dihubungkan dengan gangguan kepribadian paranoid dan
antisosial.
ix

d. Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam
menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang berisiko
adalah pasien yang tinggal bersama keluarga yang tidak harmonis,
memperlihatkan kecemasan berlebihan, sangat protektif, terlalu ikut campur,
sangat mengritik, dan sering tidak dibebaskan oleh keluarganya. Beberapa
peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologis dan aneh pada
keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak
jelas dan sedikit tidak logis. Penelitian terbaru menyampaikan bahwa pola
komunikasi keluarga tersebut mungkin disebabkan dampak memiliki anak
skizofrenia.
e. Model Diatesis Stress
Model Diatesis Stress ini yaitu untuk mengintegrasikan faktor biologis,
psikososial, dan lingkungan. Seseorang memiliki kerentanan spesifik
(diathesis), yang jika mengalami stress akan dapat memicu munculnya gejala
skizofrenia. Stressor atau diathesis ini bersifat biologis, lingkungan atau
keduanya. Komponen lingkungan biologikal (seperti infeksi) atau psikologis
(seperti kematian orang terdekat).
f. Psikososial
1) Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar.
Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap munculnya gejala
skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi
terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam. Pada
pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap
berbagai stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan
selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Gejala positif diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap
x

faktor pemicu dan erat kaitanya dengan adanya konflik. Gejala negatif
berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan gangguan dalam
hubungan interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis,
namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.
2) Teori Belajar
Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenian mempelajari reaksi dan
cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang
juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan
interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada
masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk
3) Teori Tentang Keluarga
Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non
psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang
pagtologis yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang
harus dihadapi oleh pasien skizofrenia.
4) Teori Sosial
Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan
gangguan skizofrenia. Data pendukung mengenai penekanan saat ini
adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset
dan keparahan penyakit.

4. Patofisiologi Skizofrenia5
Hipotesis dopamin, teori patofisiologis tertua, mengemukakan bahwa psikosis
disebabkan oleh dopamin berlebihan di otak. Hipotesis ini mengikuti penemuan
bahwa klorpromazin, obat antipsikotik pertama, adalah antagonis dopamin
postsinaps. Sebuah meta-analisis terbaru dari tinjauan sistematis yang dilakukan sejak
tahun 2000 menemukan penurunan materi abu-abu yang konsisten di beberapa
wilayah otak, termasuk lobus frontal, cingulate gyri, dan daerah temporal medial.
Peningkatan ukuran ventrikel yang sesuai juga diamati dan juga penurunan materi
xi

putih di korpus callosum. Perubahan volume hipokampal mungkin terkait dengan


penurunan dalam pengujian neuropsikologis. Alih-alih penurunan jumlah neuron di
daerah otak yang terkena, penurunan dalam komunikasi aksonal dan dendritik antara
sel dapat mengakibatkan hilangnya konektivitas yang dapat menjadi hubungan
penting dengan adaptasi neuron dan homeostasis SSP.

Gambar 1. Jalur Dopaminergik pada Otak Manusia

Dopamin adalah modulator neurotransmiter yang lama dipahami memainkan


peran penting dalam skizofrenia. Empat jalur dopamin utama telah terlibat dalam
neurobiologi skizofrenia dan efek samping obat antipsikotik: (1) mesolimbik, (2)
mesokorteks, (3) nigrostriatal, dan (4) tuberoinfundibular.
xii

1. Hiperaktif jalur dopamin mesolimbik dapat mendasari beberapa gejala positif


skizofrenia. Proyek jalur dopamin mesolimbik memproyeksikan dari sel-sel
tubuh dopaminergik di daerah tegmental ventral batang otak ke terminal akson di
salah satu daerah limbik otak, yaitu nucleus accumbens pada striatum ventral.
Jalur ini diperkirakan memiliki peran penting dalam beberapa perilaku
emosional, termasuk gejala positif psikosis, seperti delusi dan halusinasi. Jalur
dopamin mesolimbik juga penting untuk motivasi, kesenangan, dan penghargaan.

Gambar 2.2 aktivitas hiperdopaminergik pada jalur mesolimbik


xiii

2. Jalur mesokorteks juga muncul dari batang otak namun diproyeksikan ke daerah
korteks. Gejala negatif dan kognitif skizofrenia mungkin terkait dengan
penurunan aktivitas di jalur mesokorteks, yang dapat menyebabkan penurunan
neurotransmisi dopamin di daerah korteks seperti korteks prefrontal.

Gambar 2.3 aktivitas hipodopaminergik pada jalur mesokortek

3. Proyek jalur nigrostriatal dari substantia nigra ke ganglia basal. Jalur dopamin
nigrostriatal adalah bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal, dan mengendalikan
gerakan motorik. Kekurangan dalam dopamin di jalur ini menyebabkan
gangguan gerakan termasuk penyakit Parkinson, ditandai dengan kekakuan,
akinesia / bradikinesia (mis., Kurang pergerakan atau perlambatan gerakan), dan
tremor. Kekurangan Dopamin di ganglia basalis juga bisa menghasilkan akathisia
(sejenis kegelisahan), dan distonia (gerakan memutar terutama wajah dan leher).
Jalur ini merupakan tempat utama tindakan antipsikotik klasik, yang dianggap
sebagai situs utama antipsikotik pemblokiran dopamin.
4. Jalur tuberoinfundibular, yang memproyeksikan dari hipotalamus ke hipofisis
anterior. Biasanya, neuron ini aktif dan menghambat pelepasan prolaktin.
Namun, dalam keadaan pasca persalinan, aktivitas neuron dopamin ini menurun.
Tingkat prolaktin dapat meningkat selama menyusui sehingga laktasi akan
xiv

terjadi. Jika fungsi neuron dopamin tuberoinfundibular terganggu oleh lesi atau
obat-obatan, tingkat prolaktin juga dapat meningkat. Peningkatan tingkat
prolaktin dikaitkan dengan galaktorea (sekresi payudara), amenore (kehilangan
ovulasi dan periode menstruasi), dan kemungkinan masalah lain seperti disfungsi
seksual.

Klasifikasi Simtom dibagi menjadi empat rana utama :

a. Gejala positif
Yaitu sangat berlebihannya fungsi normal. Gejala-gejala ini disebut positif
karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain. Yang
termasuk dalam gejala ini antara lain adalah halusinasi, delusi, pembicaraan
dan perilaku disorganisasi.
b. Gejala negative
Yaitu berkurangnya ekspresi emosi dan fungsi mental, misalnya afek tumpul,
avolisis, alogia, anhedonia, dan defisit interaksi social. 2 yang paling mrnonjol
: berkurangnya ekspresi emosi dan avolisi.
c. Gejala afektif misalnya mood depresi dan ansietas
d. Gejala kognitif misalnya defisit memori kerja, episodic, atensi, verbalisasi dan
fungsi eksekutif

5. Diagnosis Skizofrenia1,3
Pedoman Diagnosis Berdasarkan DSM-V dan PPDGJ-III
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (dua gejala atau
lebih bila gejala tersbut tidak jelas)1
1. Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau penyisipan
(thought withdrawal atau thought insertion), dan penyiaran pikiran
(thought broadcasting).
2. Waham dikendalikan (delusion of being control), waham
dipengaruhi (delusion of being influenced), atau “passivity”, yang jelas
xv

merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau


pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; waham persepsi.
3. Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau
sekelompok orang yang sedang mendiskusikan pasien, atau bentuk
halusinasi suara lainnya yang datang dari beberapa bagian tubuh.
4. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya
dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya
mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan
kemampuan “manusia super” (tidak sesuai dengan budaya dan sangat
tidak mungkin atau tidak masuk akal, misalnya mampu berkomunikasi
dengan makhluk asing yang datang dari planit lain).
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
1. Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-
ide berlebihan (overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus
2. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi)
yang berakibat inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau
neologisme.
3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement),
sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativism,
mutisme, dan stupor.
4. Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan
yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
xvi

tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.


 Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri
(self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
 Adanya gejala tersebut berlangsung dalam kurun waktu 1 bulan atau
lebih.
Klasifikasi Skizofrenia :
a. Tipe Paranoid
Tipe paling stabil dan paling sering. Awitan subtipe ini biasanya terjadi
lebih belakangan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk skizofrenia lain.
Gejala terlihat sangat konsisten, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai
dengan wahamnya. Pasien sering tak kooperatif dan sulit untuk bekerjasama,
mungkin agresif, marah, atau ketakutan, tetapi pasien jarang sekali
memperlihatkan perlikau disorganisasi. Waham dan halusinasi menonjol
sedangkan afek dan pembicaraan hampir tidak terpengaruh. Beberapa contoh
gejala paranoid yang sering ditemui:
1) Waham kejarm rujukan, kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi,
dan cemburu
2) Halusinasi akustik berupa ancaman, perintah, atau menghina
b. Tipe disorganisasi
Gejala-gejalanya adalah:
1) Afek tumpul, ketolol-tololan, dan tak serasi
2) Sering inkoheren
3) Waham tak sistematis
4) Perilaku disorganisasi seperti menyeringai dan menerisme (sering
ditemui)
xvii

c. Tipe Katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari (atau kombinasi) beebrapa
bentuk katatonia:
1) Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap
lingkungan atau orang
2) Negativisme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah
atau usaha-usaha untuk menggerakan fisiknya.
3) Rigiditas katatonik yaitu pasien mempertahankan posisi yang tidak
biasa atau aneh
4) Postur katatonik yaitu pasien mempertahankan posisi yang tidak biasa
atau aneh
5) Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat gembira. Mungkin dapat
mengancam jiwanya (misalnya karena kelelahan)
d. Tipe hebefrenik
Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa
gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan, untuk memastikan
bahwa gambaran khas berikut ini memang bertahan:
1) Perilaku tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary),
dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar sering disertai cekikikan atau
perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap tinggi hati,
tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan
hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentuk
serta inkoheren.
e. Tipe Tak terinci
xviii

Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif


yang menonjol (misalnya; kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria
skizofrenia tetapi tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid, katatonik,
hebeferenik.
f. Tipe residual
Persyaratan berikut harus dipenuhi:
1) Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol seperti perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk, serta posisi tubuh, perawatan diri,
dan kinerja sosial yang buruk
2) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
3) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatid dari
skizofrenia
4) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lainnya
g. Depresi pasca-skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit dua minggu.
h. Skizofrenia simpleks
xix

Diagnosis skizofrenia sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada


pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
1) Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik,
dan
2) Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
seusatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

6. Diagnosis Banding Skizofrenia1,3,5


Skizofrenia harus dibedakan dengan semua kondisi yang menimbulkan psikosis
aktif. Semua kemungkinan-kemungkinan harus disisikan dengan hati-hati, misalnya
gangguan skizoafektif, gangguan afektif berat, dan semua kondisi organic yang
sangat mirip dengan skizofrenia, misalnya stadium awal Khorea Huntington, stadium
awal penyakit Wilson, epilepsy lobus temporalis, tumor lobus temporalis atau
frontalis, stadium awal multiple sclerosis dan sindroma lupus eritematous, porfiria,
paresis umum, penyalahgunaan obat yang kronis dan halusinasi alkoholik kronik.

7. Terapi Skizofrenia3,6,7

Tatalaksana disesuaikan dengan fase penyakit. American Psychiatric Association


(APA) membagi dalam beberapa fase :

a) Fase psikotik akut : Seseorang dengan skizofrenia mengalami episode pertama


atau eksaserbasi. (4-8 minggu)
b) Fase Stabilisasi : fase akut yang suda terkontrol tetapi masi beresiko terjadi
episod baru bila mengalami stressor atau penghentian obat (6 bulan setelah
pulih dari simtom akut
c) Fase stabil atau rumatan : berada dalam stadium remisi. Tujuan pengobatan:
mencegah kekambuhan dan membantu pasien kembaliu ke fungsi
xx

sebelumnya. Dinilai dengan PANSS (positive and negatif symptoms scale) : 8


poin (nilainya tidak boleh > 3, dan harus bertahan selama 6 bulan)  Waham,
kekacauan proses pikir, perilaku halusinasi, isipikir tidak biasa, menerisme
dan postur tubuh, penurunan afek, penarikan diri secara sosial, kurangnya
spontanitas dan arus percakapan.

Terapi fase akut

Tujuan terapi untuk mengontrol simtom psikotik yang berat seperti halusinasi,
waham dan perilaku gaduh gelisa. Instrumen PANSS-EC (Positif and Negative
Symptoms Scale- Excited Component) terdiri dari 5 butir yaitu ketegangan,
ketidakkooperatifan, hostilitas, buruknya pengendalian impuls dan gaduh gelisa
dengan kisaran nilai tiap butir : 1-7. Dikatakan gaduh gelisa apabila skore > 15.
Pengobatan gaduh gelisa lebih dianjurkan menggunakan obat APG-II.

Obat-obatan :

Olanzapin 10 mg/Injeksi/Im/dapat diulang setiap 2 jam/ dos maksimum : 30 mg/hari

Aripiprazol 9.75 mg/Injeks/Im/dapat diulang setiap 2 jam/ dos maksimum : 29.25


mg/hari

Diazepam 10 mg/Injeks/Im/Iv/dos maksimum : 30 mg/hari

Haloperidol 5 mg/Injeks/Im/dapat diulang setiap setenga jam/ dos maksimum : 20


mg/hari

Terapi fase stabilisasi

Tidak ada penentuan yang jelas pada terapi fase ini. Dan pasien rentan terhadap
eksaserbasi pada fase ini. Dosis dan jenis obat yang sama harus dipertahankan pada
fase ini

Terapi fase rumatan


xxi

Tujuan terapi untuk mencegah kambuhnya gejala psikotik, agar pasien patuh dengan
terapi psikososial dan rehabilitasi. Perlu edukasi pasien dan keluarga untuk
mengurangi efek samping dan menyederhankan cara pemberian obat. Misalnya : Obat
injeksi jangka panjang 1 kali dalam 4 minggu.

a. Farmakologis
Tatalaksana pertama untuk skizofrenia sering melibatkan berbagai medikasi
antipsikotik. Target pengobatan antipsikotik umumnya pada gejala skizofrenia
namun tidak pada akar penyebabnya, seperti stress atau penyalahgunaan obat.
Obat ini dibagi dalam dua kelompok berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu
dopamine receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I (APG-I) dan
serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II (APG-II).
Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikal sedangkan APG-
II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal.
Jenis-jenis APG-I :
Nama generik Nama dagang Dosis akut mg/hari Dosis pemeliharaan mg/hari
Fenotiazin
Klorpromazin Promaktil 200-1000 50-400
Tioridazin Melleril 200-800 50-400
Perfenazin Trilafon 12-64 8-24
Trifluoperazin Stelazine 10-60 4-30
Butirofenon
Haloperidol Haldol 5-20 1-15
Difenilbutlpiperidin
Pimozid Orap 2-10 2-10
Prepara injeksi jangka pajang
Flufenazin dekanoat
*Modecate injeksi
Haloperidol dekanoat **Haldol deconate
*dosis 12,5 mg setiap 1-4 minggu
**dosis 25-200 setiap 2-4 minggu

Antipsikotika generasi II (APG-II)


xxii

Obat-obatan antipsikotika yang baru dengan efikasi yang lebih baik dan efek efek
samping minimal. Klozapin, risperidon, paliperidon, risperidon injeksi jangka
panjang, paliperidon palmita injeksi jangka panjang (Depo), Olanzapin, quetiapin,
aripiprazole, ziprasidon.

Obat Dosis terapeutik efektif Rentang dosis lazim per hari


minimum (mg)
Chlorpromazine 100 100-1000
Thioridazine 100 100-800
Trifluoperazine 5 5-60
Perphenazine 10 8-64
Fluphenazine 2 2-60
Thiothixene 2 2-120
Haloperidol 2 2-60
Loxapine 10 20-160
Molindone 10 20-200
Clozapine 50 300-600
Olanzapine 5 10-30
Quetiapine 150 150-800
Risperidone 4 4-16
Ziprasidone 40 80-160
Aripiprazole 10 10-30
Tabel 2.1 Pilihan obat antipsikotik7

Efek samping yang dapat timbul oleh penggunaan obat antipsikotik ini seperti:
1. Efek perilaku. Suatu keadaan pseudodeopresi akibat drug-induced akinesia
2. Efek neurologis. Reaksi ekstrapiramidal dapat terjadi pada penggunaan APG I
seperti sindrom Parkinson, akathsia, acute dystonic reactions (retrocolis dan
torticolis), tardive diskinesia, serta kejang.
3. Efek sistem saraf otonom. Retensi urin, hipotensi ortostatik, dan gangguan
ejakulasi
4. Efek endokrin-metabolik. Penambahan berat badan khususnya penggunaan
klozapin dan olanzapin. Hiperglikemia dapat timbul. Hiperprolaktinemia pada
wanita, serta hlangnya libido, impotensi, dan infertilitas pada pria.
5. Reaksi alergi dan toksik. Agranulositosis, kolestatik jaundice, dan erupsi obat
dapat terjadi
xxiii

6. Komplikasi okuler. Deposit pada bagian anterior mata sering didapat pada
pengguna klorpomazine. Thioridazine merupakan satu-satunya antipsikotik
yang menyebabkan deposit retina.
7. Toksisitas jantung. Thioridazine yang melebihi 300 mg/hari jampir selalu
berhubungan dengan abnormalitas gelombang T. Overdosis obat ini dapat
menimbulkan berbagai bentuk aritmia ventrikuler. Ziprasidone dapat
membuat gelombang QT memanjang. Klozapin kadang berhubungan dengan
kejadian myocarditis
8. Dismorphogenesis. Wanita hamil dianjurkan untuk tidak meminum obat
antipsikotik karena efek neurotransmitter sangat berperan pada perkembangan
neuron.
9. Sindrom Neuroleptik Maligna. Merupakan kondisi yang mengancam nyawa
pada pasien yang sangat sensitif terhadap efek ekstrapiramidal. Gejalanya
berupa demam tinggi (39-40˚C), rigiditas otot, perubahan status mental, dan
disfungsi autonom. Sindrom ini diduga akibat penghambatan reseptor
dopamin pasca-sinaps yang cepat dan berlebihan.

b. Non-farmakologi
1) Terapi Kejang Listrik
Mengontrol dengan cepat beberapa psikosis akut. Beberapa pasien tidak
beresepon dengan obat-obatan dan berespon denga terapi kejnag listrik.
2) Psikososial
Psikoterapi jangka panjang yang berorientasi tilikan, tempatnya sangat
terbatas, dan tidak direkomendasikan. Di sisi lain, metode terapi psikososial
berorientasi suportif sangat bermanfaat terutama pada terapi jangka panjang
skizofrenia.
Pasien skizofrenia harus didekati secara baik dan penuh empati.
Bangunlah hubungan yang nyaman dengan pasien. Komunikasi yang baik
dengan pasien sangat diperlukan;
xxiv

a) Katakanlah kepada pasien Anda, agar ia santai, berikan kesan


kepada pasien Anda bahwa Anda percaya ia dapat berespon baik
terhadap anda
b) Lebih spesifik misalnya ajukan pertanyaan-pertanyaan faktual
yang penting. Coba identifikasi ketakutan-ketakutan pasien saat
ini dan perhatikan tetapi jangan terlibat dengan diskusi panjang
tentang waham dan halusinasi yang kompleks.
c) Lakukan observasi khusus tentang perilaku pasien (misalnya,
“Anda terlihat takut”, “Anda tampak marah” tetapi jangan
terlibat dalam “interpretasi” berlebihan. Bila ingin interpretasi
lihat kondisi pasien, apakah sudah siap, bila belum dia akan
defensif atau mungkin marah. Jangan membuat kesimpulan yang
salah tentang keadaan emosi dari afek yang tak serasi
d) Jelaskan kepada pasien apa yang dilakukan terhadapnya, dan
mengapa anda melakukannya
e) Bila percakapan berlangsung (misalnya; pasien menolak bicara),
hentikan wawancara dengan memberi harapan positif (misalnya;
Kita akan kembali berbicara setelah perasaan Anda lebih baik
atau setelah Anda mau berbicara)
Bila pasien skizofrenia berada dalam keadaan delirium, ancaman bunuh
diri, atau membunuh, dan atau tidak mempunyai dukungan dari masyarakat,
hendaklah dirawat. Bila memungkinkan berobat jalan lebih baik guna
menghindari hospitalisasi jangka lama. Efek buruk hospitalisasi kronik sangat
jelas (regresi dan sangat menarik diri, kehilangan ketrampilan, dll).
Kecenderungan saat ini adalah perawatan singkat selama episode akut dan
untuk pemeliharaan di antara episode akut dilakukan dengan berobat jalan.
Selama dirawat, biarkan pasien sebebas mungkin tetapi dibatasi pada
lingkungan yang aman. Lingkungan terapeutik (misalnya komunitas
terapeutik, token ekonomi, dll) semua bergantung dari dukungan masyarakat
xxv

(staf pasien) – mesti hati-hati dengan perilaku pasien dan berikan “umpan
balik koreksi”.
Sebagian pasien skizofrenia dapat diobati sebagai pasien rawat jalan.
Beberapa prinsip mesti diingat;
a) Kunjungi pasien sesering mungkin untuk memantau keamanan
pasien dan untuk mendeteksi deteriorasi awal
b) Komunikasikan kepada pasien dengan jelas dan tidak ragu-ragu.
Hindari diskusi berlebihan tentang halusinasi dan waham. Bantu
pasien dengan hal-hal realita dan menghindari stres yang
berlebihan. Kenalilah bahwa semakin produktif dan terampil
pasien, makin besar kemungkinannya untuk mempertahankan
kesembuhan. Doronglah pasien untuk mendapatkan pekerjaan
yang sesuai. Berikan latihan ketrampilan sosial.
c) Bicaralah tentang obat (misalnya; kebutuhan terhadap obat,
perasaan pasien tentang pemakaian obat, dll)
d) Kembangkanlah hubungan penuh kepercayaan yang konsisten.
e) Pelajarilah kekuatan dan kelemahan pasien. Bila ada, ketahuilah
faktor presipitasinya. Pasien ini berisiko untuk bunuh diri ketika
ia sakit.
f) Selalulah mengevaluasi keluarga. Apakah mereka berkontribusi
dalam terjadinya dekompensasi pada pasien? Apakah keluarga
dapat menerima baik penyakit pasien? Apakah mereka
bermusuhan? Curiga? Terlalu melindungi?
g) Pertimbangkan terapi kelompok. Terapi kelompok membantu
resosialisasi, mendorong interaksi interpersonal, dan
memberikan dukungan.
h) Ketahui dan gunakan sumber-sumber masyarakat. Apakah
pasien hidup menggelandang di jalan.
xxvi

i) Jangan berharap terlalu banyak. Kebanyakan pasien mempunyai


disabilitas kronik.

2.8 Prognosis
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik. Pasien secara
berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri. Pasien dapat mempunyai waham
dengan taraf ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas (samar-samar). Sebagian
gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dalam berjalannya waktu, tetapi
pasien secara kronik membutuhkan perlindungan atau menghabiskan waktunya
bertahun-tahun di dalam rumah sakit jiwa.
Keterlibatan dengan hukum untuk pelanggaran ringan kadang-kadang terjadi
(misalnya menggelandang, mengganggu keamanan) dan sering dikaitkan dengan
penyalahgunaan obat. Sebagian kecil pasien menjadi demensia. Secara keseluruhan
harapan hidupnya pendek, terutama akibat kecelakaan, bunuh diri, dan
ketidakmampuannya merawat diri.
Meskipun ada variabilitas besar, tipe disorganisasi secara umum mempunyai
prognosis buruk, tetapi tipe paranoid-dan beberapa tipe katatonik-mempunyai
prognosis baik. Prognosis menjadi lebih buruk bila pasien menyalahgunakan zat atau
hidup dalam keluarga yang tak harmonis.

BAB III
KESIMPULAN
xxvii

Berdasarkan teori dapat disimpulkan bahwa Skizofrenia merupakan suatu


gangguan jiwa yang ditandai dengan munculnya gangguan pikiran, emosi, gerakan
dan perilaku yang aneh pada individu. Gangguan skizofrenik umumnya ditandai oleh
distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Belum ditemukan etiologi yang pasti
mengenai skizofrenia, tetapi hasil penelitian menyebutkan etiologi skizofrenia yaitu:
biologi, biokimia, genetika teori keluarga dan teori psikososial. Skizofrenia adalah
penyakit kronis dengan gejala heterogen.
Diagnosis yang tepat akan skizofrenia serta penggolongannya dapat membuat
klinisi memperoleh pendekatan terapi yang tepat baik secara farmakologi maupun
non-farmakologi mengingat bahwa penyakit ini adalah kronis dan perlu
penatalaksanaan jangka panjang bahkan seumur hidup.

DAFTAR PUSTAKA
xxviii

1. Maslim R. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Ringkasan Ringkas dari PPDGJ-III.


Jakarta: PT. Nuh Jaya
2. Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama Riskesdas 2018. p107-112
3. Sadock, K. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis
Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara.
4. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 3. Badan
Penerbit FK UI; Jakarta: 2017.
5. Buchanan RW, Carpenter WT. Concept of Schizophrenia. In: Sadock BJ,
Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock`s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8
th ed. Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.p.1329.
6. Mueser, KT and Dilip, VJ. 2008. Clinical Handbook of Schizophrenia Chapter
16: Antipsychotics by Eric,C. The Guilford Press: 159-167
7. Ganguly P, Soliman A, Moustafa AA. Holistic management of schizophrenia
symptoms using pharmacological and non-pharmacological treatment. Frontiers
in Public Health. 2018;(6).p1-9
8. Meltzer H. Antipsychotic agents & lithium in Katzung Basic 7 Clinical
Pharmacology. 12th Ed. Philadelphia: Lange McGraw Hill. p510

Anda mungkin juga menyukai