Anda di halaman 1dari 19

KEGIATAN ILMIAH

FAKTOR-FAKTOR KEKAMBUHAN SKIZOFRENIA

Disusun oleh:

Siti Nur Khasanah 21710095


Kadek Barbieandry 21710040
Muhammad Nidal Syauthin 21710003
Agnes Angelia Manuputty 21710023
Raditya Wirasuta 21710078
Putu Ayu Harpendani 21710106

Pembimbing:

dr. Yunita Retno Budiarti, Sp. KJ

SMF ILMU KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2023
LEMBAR PENGESAHAN KEGIATAN ILMIAH

Kegiatan ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas

dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu

Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

Surabaya, 04 Mei 2023


Pembimbing

dr. Yunita Retno Budiarti, Sp. KJ

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN KEGIATAN ILMIAH ........................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3

A. Tekanan Peristiwa Kehidupan .............................................................. 4

B. Kurangnya Peran/Dukungan Keluarga ................................................ 5

C. Ketidakpatuhan dan Keteraturan Minum Obat ................................. 8

D. Dukungan Sosial ................................................................................... 10

E. Keterbatasan Obat/Pendampingan Keluarga .................................... 11

F. Jarak Tempat Tinggal Dengan Pelayanan Kesehatan....................... 13

G. Faktor Genetik ...................................................................................... 13

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang berat ditandai dengan adanya

delusi, halusinasi, ketidakmampuan untuk mengorganisasi ide pada saat berbicara

dan kekacauan dalam tingkah laku. Secara umum penderita Skizofrenia mengalami

distorsi dalam berpikir, emosi, bahasa, mempersepsikan suatu hal dan berperilaku.

Gejala psikosis semakin memperburuk kondisi karena pasien dengan skizofrenia

kesulitan dalam membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri (Bratha et al,

2020). Penyebab dari skizofrenia biasanya berhubungan dengan teori somatogenik

dan teori psikogenik (Maramis, 2009)

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis dan parah, berdasarkan data

WHO pada tahun 2019 diperkirakan kasus skizofrenia ini menyerang 20 juta orang

di seluruh dunia. Dari data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2018

di Indonesia terdapat skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7

per 1.000 penduduk (Hadiansyah dan Pragholapati, 2020).

Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang berpotensi tinggi untuk

menimbulkan kekambuhan. Kekambuhan (relapse) adalah suatu kondisi dimana

munculnya kembali tanda dan gejala suatu penyakit penyakit setelah mereda.

Penelitian yang dilakukan di Hongkong menemukan bahwa dari 93 pasien

skizofrenia masing-masing memiliki potensi kekambuhan sebesar 21%, 33%, dan

40% pada tahun pertama, kedua, dan ketiga. Kekambuhan pada pasien skizofrenia

menjadi permasalahan yang serius. Hal tersebut dikarenakan kekambuhan

1
menyebabkan 72% orang dengan skizofrenia tidak mampu bekerja, 69%

direhospitalisasi, 22% melakukan percobaan bunuh diri, dan 20% dipasung (Antari

dan Suariyani, 2021). Selain itu, kekambuhan Skizofrenia pada merugikan pasien

dan membahayakan pasien, keluarga, dan masyarakat. Ketika tanda-tanda

kekambuhan muncul, pasien bisa saja berperilaku menyimpang seperti mengamuk,

bertindak kekerasan seperti menghancurkan barang-barang atau yang lebih parah

lagi pasien akan melukai bahkan membunuh orang lain atau dirinya sendiri. Jika

hal itu terjadi masyarakat akan menganggap bahwa gangguan yang diderita pasien

tersebut sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Keluarga pun akan dirugikan dari segi

materi karena jika pasien kembali menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jiwa maka

akan banyak biaya yang harus mereka keluarkan untuk pengobatan (Aini, 2015).

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk menggambarkan

mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan pada penderita

skizofrenia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kekambuhan merupakan suatu kondisi pemunculan kembali tanda dan

gejala suatu penyakit setelah mereda. Kekambuhan biasanya terjadi karena adanya

kejadian-kejadian buruk yang terjadi sebelum mereka kambuh. Gejala-gejala

kekambuhan pada Skizofrenia cenderung tumpang tindih, dan diagnosis dapat

berpindah dari satu subtipe seiring berjalannya waktu (baik dalam satu episode atau

dalam episode berikutnya). Sehingga faktor penyebab kekambuhan pada gangguan

Skizofrenia sifatnya cenderung menyeluruh tidak mengacu pada subtipe tertentu

(Aini, 2015).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita

gangguan jiwa meliputi:

1. Pasien yang gagal meminum obat secara teratur mempunyai

kecenderungan untuk kambuh

2. Dokter yang memberi resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi

dosis terapeutik yang dapat mencegah kambuh dan menurunkan efek

samping

3. Penanggung jawab pasien (case manager) atau perawat puskesmas tetap

bertanggung jawab atas program adaptasi pasien di rumah setelah pasien

pulang ke rumah

4. Pasien yang tinggal dengan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi

diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan

3
5. Lingkungan sekitar tempat tinggal pasien yang tidak mendukung dapat

juga meningkatkan frekuensi kekambuhan (Aini, 2015).

Sehingga dapat dikatakan faktor-faktor seperti tekanan peristiwa

kehidupan, kurangnya peran keluarga, ketidakpatuhan dan ketidakteraturan minum

obat, dan keterbatasan obat dan pendampingan petugas dapat meningkatkatkan

terjadinya risiko kekambuhan terhadap pasien dengan gangguan jiwa skizofrenia

(Aini, 2015). Berikut akan dibahasa mengenai faktor-faktor yang

A. Tekanan Peristiwa Kehidupan

Tekanan yang berasal dari peristiwa kehidupan dapat menjadi pencetus

kekambuhan pada pasien dengan skizofrenia. Kebutuhan merupakan penentu

tingkah laku yang berasal dari dalam individu, tekanan adalah bentuk penentu

tingkah laku yang berasal dari lingkungan. Kebutuhan yang tidak dapat

terpenuhi ini menjadi tekanan bagi mereka. Selain itu tekanan dari suatu obyek

(bisa berupa manusia, benda, atau situasi) adalah apa yang dapat dilakukan

lingkungan itu kepada subjek (penerima tekanan). Seperti tekanan yang mereka

dapat akhirnya mempengaruhi perilaku mereka. Para penderita skizofrenia yang

kondisinya masih labil setelah keluar dari Rumah Sakit jiwa kembali rentan

mengalami kekambuhan karena masalah yang membuat mereka tertekan,

cemas dan tidak tenang sehingga menyebabkan mereka mengalami

kekambuhan (Aini, 2015).

Terdapat beberapa contoh dari suatu pasien yang merupakan subjek

penelitian, dimana dari keluarga mengatakan Subjek SA sudah dapat

menjalankan aktivitas sehari-hari setelah pulang dari Rumah Sakit dan

4
dinyatakan sembuh, namun sebulan kemudian tiba-tiba SA teringat suaminya

yang sudah meninggalkannya. Berikut penuturan yang diberikan oleh keluarga

pasien SA (Aini, 2015):

“Setiap kali dari Rumah Sakit itu kelihatan seperti orang waras. Pernah di

Magelang, di Semarang juga pernah. Mau sholat, resikan, cara bicaranya juga

bagus, nyaut. Kondisi seperti itu biasanya seminggu sampai satu bulan. Kalau

sudah ingat suaminya, nanti dia kumat lagi. Pergi ke pasar, keluyuran”

Peristiwa pemicu kekambuhan yang lain adalah karena keinginan SP yang

tidak terpenuhi. Sepulang dari Rumah Sakit, keluarga mengakui kondisi SP

membaik, ditunjukkan dengan perilaku yang tidak begitu kasar, mau dimintai

tolong tetangga menebang pohon dan lain sebagainya. Akan tetapi ketika SP

kehabisan uang dan ingin membeli motor, dia kembali mengamuk karena orang

tua tidak memiliki sejumlah uang yang diminta SP (Aini, 2015).

B. Kurangnya Peran atau Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan penerimaan keluarga

terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan informasi, dukungan

penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Dukungan keluarga

merupakan salah satu faktor penting dalam upaya meningkatkan motivasi

seseorang, sehingga berpengaruh positif terhadap kesehatan psikologis (Antari

dan Suariyani, 2021).

Dukungan yang dapat diberikan pada penderita skizofrenia yaitu dukungan

penilaian. Dukungan penilaian merupakan dukungan yang diberikan kepada

pasien skizofrenia yang meliputi yang meliputi penghargaan positif atas hasil

5
kerja yang dilakukan pasien, dorongan untuk maju, dan menengahi pemecahan

masalah pertolongan, serta mengontrol an mengingatkan pasien skizofrenia

minum obat (Antari dan Suariyani, 2021).

Penderita Skizofrenia tidak mampu mengatur dirinya untuk teratur dalam

minum obat. Selain itu efek samping yang membuat penderita skizofrenia

merasa tidak nyaman sehingga penderita skizofrenia menolak untuk minum

obat. Tidak jarang obat yang diberikan tidak ditelan dan dibuang oleh penderita

skizofrenia, maka dari itu diperlukan pengawasan oleh keluarga dalam minum

obat sehingga obat yang diberikan benar-benar ditelan. Permasalahan yang

umum terjadi di keluarga para penderita skizofrenia adalah keluarga merasa

tidak mampu untuk mengawasi dan mengingatkan pemberian obat kepada

penderita skizofrenia (Aini, 2015).

Salah satu faktor penyebab kurangnya peran keluarga dalam perawatan

penderita skizofrenia adalah karena keluarga tidak tahu cara menangani

perilaku penderita skizofrenia di rumah, keluarga jarang mengikuti proses

keperawatan penderita, keluarga dengan aktivitas yang tinggi dan tim kesehatan

di Rumah Sakit juga jarang melibatkan keluarga. Selain itu kekambuhan yang

tinggi disebabkan juga oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit

Skizofrenia sehingga peran serta keluarga rendah. Selain ketidakmampuan

untuk mengingatkan penderita skizofrenia meminum obat dan kesibukan

masing-masing keluarga penderita juga mengaku tidak tahu jenis obat dan

fungsinya serta cara memperlakukan penderita skizofrenia ketika mengamuk.

Untuk mengurangi perawatan ulang atau frekuensi kekambuhan dan untuk

6
mengurangi klien Skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa, perlu adanya

pendidikan kesehatan jiwa yang ditujukan kepada penderita skizofrenia dan

keluarga yang merawat, sebagai upaya meningkatkan pengetahuan penderita

dan keluarga tentang Skizofrenia dan kepatuhan dalam pengobatan (Aini,

2015).

Frekuensi kekambuhan penderita skizofrenia bertambah. Pasien skizofrenia

yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan ekspresi emosi yang kuat

(highly expressed emotion) atau gaya afektif negatif secara signifikan lebih

sering mengalami kekambuhan dibandingkan dengan yang tinggal dalam

lingkungan keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah (low expressed

emotion) atau gaya afektif yang normal. Apabila keluarga memperlihatkan

emosi yang diekspresikan secara berlebih, misalnya klien sering diomeli atau

dikekang dengan aturan yang berlebihan, kemungkinan kambuh akan

bertambah besar (Zahnia dan Sumekar, 2016).

Selain pengetahuan, faktor ekonomi keluarga juga menjadi penyebab

terjadinya kekambuhan pada para penderita skizofrenia baik secara langsung

maupun tidak langsung. Keuangan bisa mengganggu keteraturan pasien dalam

pengobatan saat rawat jalan karena beberapa pasien mungkin tidak mampu

untuk membeli obat (Aini, 2015).

Dukungan keluarga dipandang sebagai kepekaan dan empati seluruh

anggota keluarga dalam berusaha untuk selalu siap dalam memberikan

pertolongan selama pengobatan. Dukungan keluarga yang positif akan

memberikan dampak yang baik bagi pasien skizofrenia dalam menurunkan

7
stressor, memudahkan untuk memecahkan masalah, sehingga penderita merasa

diterima dan memiliki harapan yang tinggi dalam hidupnya. Dukungan negatif

dari keluarga meningkatkan kekambuhan pada penderita skizofrenia yang

berada di tengah keluarga dan hal itu dianggap sebagai kegagalan keluarga

untuk melakukan dukungan dengan baik (Bratha et al, 2020).

C. Ketidakpatuhan dan Ketidakteraturan Minum Obat

Kepatuhan minum obat merupakan hal penting yang harus diperhatikan

dalam proses penyembuhan pasien skizofrenia. Ketidakpatuhan minum obat

dapat menimbulkan dampak negatif seperti kekambuhan, dirawat kembali di

rumah sakit dan percobaan bunuh diri (Antari dan Suariyani, 2021).

Kondisi penderita skizofrenia yang tidak mau minum obat sesuai aturan

karena efek obat yang sangat mengganggu aktivitas dan pekerjaan mereka,

merasa tidak sakit, merasa sudah sembuh dan juga terjadi kebosanan minum

obat karena berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pasien mungkin

menderita efek samping dari obat-obatan yang dikonsumsinya dan meyakini

hanya akan menimbulkan lebih banyak permasalahan dibanding menemukan

jalan keluar (Aini, 2015).

Dalam buku Minister Supply dan Service Canada (2005) menjelaskan

bahwa pasien mungkin menderita efek samping dari obat-obatan yang

dikonsumsinya dan meyakini hanya akan menimbulkan lebih banyak

permasalahan dibanding menemukan jalan keluar. Menurut Keliat (1996)

makan obat secara teratur dapat mengurangi frekuensi kekambuhan, namun

pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping

8
Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan

tidak terkontrol. Selain karena ketidaknyamanan yang dirasakan akibat obat

yang dikonsumsi, alasan lainnya adalah karena merasa tidak sakit. Hal ini

dialami oleh keseluruhan subjek (Aini, 2015).

“Orang kalau di suruh minum obat itu malah bilangnya gini kok bu: coba

saja minum sendiri obatnya, biar tau rasanya seperti apa. orang tidak sakit kok

disuruh minum obat terus-terusan” (Keluarga SA).

“Ya kalau di suruh minum obat ya bilangnya begini: Tidak mau…orang

tidak sakit kok disuruh minum obat” (Keluarga SP).

Para subjek merasa tidak sakit karena mengalami gangguan realitas. mereka

tidak mampu menyadari bahwa mereka sedang dalam kondisi mengalami

gangguan jiwa dan membutuhkan obat. Hal ini dapat dijelaskan dengan

pendapat Keliat (1996) bahwa pasien dengan gangguan jiwa Skizofrenia

biasanya sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya gangguan realitas

dan ketidakmampuan mengambil keputusan. Hal berbeda dialami oleh WD.

Setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, kondisi WD membaik dan dapat

menjalankan aktivitas sebagai petani. Setiap bulan WD rajin berkunjung ke

Puskesmas untuk mengambil obat. Diketahui dari petugas jiwa Puskesmas

bahwa tiga bulan terakhir WD tidak mengambil obat di Puskesmas (Aini, 2015).

“Mboten nopo-nopo kok bu…sudah baik” (WD, 32 tahun)

Selain itu, beberapa pasien tidak melanjutkan pengobatannya karena merasa

obat yang diminum tidak efektif atau efek obat yang rendah, banyak pasien

menghentikan pengobatannya karena merasa lebih baik (Aini, 2015).

9
Pasien dengan gangguan jiwa Skizofrenia biasanya sukar mengikuti aturan

minum obat karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil

keputusan. Beberapa pasien tidak melanjutkan pengobatannya karena merasa

obat yang diminum tidak efektif atau efek obat yang rendah, banyak pasien

menghentikan pengobatannya karena merasa lebih baik (Aini, 2015).

D. Dukungan Sosial

Dukungan sosial pada penderita skizofrenia di masyarakat dititik beratkan

pada penghilangan stigma negatif masyarakat. Stigma negatif terhadap

penderita skizofrenia masih tergolong tinggi yang membuat penderita

terkucilkan sehingga dapat memunculkan kekambuhan (Bratha et al, 2020).

Dukungan sosial merupakan suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang

diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu

bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.

Individu yang mendapat dukungan sosial terbukti lebih sehat daripada individu

yang tidak mendapat dukungan sosial, dengan meminta serta menerima

dukungan sosial ketika penderita membutuhkan merupakan langkah vital dalam

proses penyembuhan. Dukungan sosial yang dimiliki oleh seseorang dapat

mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Keluarga

sebagai sumber dukungan sosial dapat menjadi faktor kunci dalam

penyembuhan penderita gangguan jiwa. Walaupun anggota keluarga tidak

selalu merupakan sumber positif dalam kesehatan jiwa, mereka paling sering

menjadi bagian penting dalam penyembuhan (Win M et al, 2022).

10
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab

terjadinya kekambuhan penderita skizofrenia adalah kurangnya peran serta

dukungan sosial yang diberikan keluarga dalam perawatan terhadap anggota

keluarga yang menderita penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah

karena keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita di rumah.

Keluarga jarang mengikuti proses keperawatan penderita karena jarang

mengunjungi penderita di rumah sakit dan tim kesehatan di rumah sakit juga

jarang melibatkan keluarga. Disinilah dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam

memberikan perawatan pada penderita skizofrenia, karena dukungan sosial dari

orang lain menjadi sangat berharga dan akan menambah semangat hidupnya

(Win et al, 2022).

E. Keterbatasan Obat dan Pendampingan Petugas

Ketersediaan obat yang yang terkadang kurang dari rangkaian resep yang

disarankan oleh Rumah Sakit Jiwa tempat perawatan sebelumnya. Hal ini di

sebabkan karena keterbatasan anggaran dari pemerintah untuk penderita

gangguan jiwa. Selain pelayanan dalam pemberian obat, petugas kesehatan juga

melakukan pendampingan dan kunjungan ke rumah subjek. Kunjungan

dilakukan untuk memberikan arahan, motivasi maupun konseling kepada

pasien dan keluarga (Aini, 2015).

Selain pelayanan dalam pemberian obat, petugas kesehatan juga melakukan

pendampingan dan kunjungan ke rumah subjek. Kunjungan dilakukan untuk

memberikan arahan, motivasi maupun konseling kepada pasien dan keluarga.

Kendala yang dialami oleh Petugas Kesehatan Jiwa adalah minimnya

11
sumberdaya manusia. Setiap Puskesmas hanya memiliki satu petugas jiwa yang

juga merangkap sebagai perawat umum. Akibatnya, tidak setiap pasien dapat

terpantau secara optimal (Aini, 2015).

“Mas WD ini sebenarnya sudah baik, sudah mandiri kontrol ke puskesmas

setiap bulan. Tapi sudah tiga bulan ini tidak datang ke Puskesmas.karena

kesibukan saya belum bisa mengunjungi dan mencari tau kenapa” (Petugas

Kesehatan Jiwa Puskesmas Gabus II pada tahun 2013).

“Kurangnyaa tenaga bu. Saya sendirian mengurusi penderita gangguan jiwa

sekecamatan. masih harus menjalankan tugas di Puskesmas. Akibatnya waktu

untuk kunjungan jadi sebisanya” (Petugas kesehatan Jiwa Puskesmas Batangan

pada tahun 2013).

Kendala yang dialami oleh Petugas Kesehatan Jiwa adalah minimnya

sumberdaya manusia. Akibatnya, tidak setiap pasien dapat terpantau secara

optimal. Penanggung Jawab Pasien (case manager) atau perawat Puskesmas

tetap bertanggung jawab atas program adaptasi pasien di rumah setelah pasien

pulang ke rumah (Aini, 2015).

Petugas kesehatan berperan penting dalam memberikan dukungan dan

motivasi pada pasien dan keluarga, sehingga baiknya dukungan petugas

kesehatan akan mempengaruhi sikap dan perilaku pasien serta keluarga dalam

pengobatan yang akan dilajankan (Tanjung et al, 2021).

12
F. Jarak Tempat Tinggal Pasien Skizofrenia dengan Pelayanan Kesehatan

Jiwa

Jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan jiwa dalam penelitian ini

diukur berdasarkan jarak tempuh dari tempat tinggal pasien skizofrenia yang

menjadi sample dalam penelitian ini menuju ke pelayanan kesehatan jiwa

(Puskesmas 1 Abiansemal dan RSUD Mangusada). Rata-rata jarak tempuh

pasien skizofrenia menuju pelayanan kesehatan jiwa adalah 8,4 km. Jarak

terjauh yang ditempuh pasien skizofrenia menuju pelayanan kesehatan jiwa

yaitu 36 km, dan jarak terdekat 0,4 km. Rata-rata waktu tempuh dari tempat

tinggal pasien jiwa yaitu 15 menit, sedangkan waktu tempuh terlama yaitu 60

menit dan tercepat adalah 1 menit. Sebagian besar jenis transportsi yang

digunakan oleh pasien skizofrenia menuju ke pelayanan kesehatan jiwa adalah

kendaraan pribadi, dengan rata-rata biaya transportasi sebesar Rp. 20.000,00.

Hasil menunjukkan sebagian besar pasien skizofrenia dalam penelitian ini

dengan jarak yang dekat dengan pelayanan kesehatan jiwa, dengan proporsi

sebesar 73,2% (Antari dan Suariyani, 2021).

G. Faktor Genetik

Faktor genetik lebih dominan pengaruhnya pada kekambuhan, dikarenakan

faktor genetik menjadi pemicu seseorang tersebut mengalami terjadinya

skizofrenia, sehingga kekambuhan pada pasien juga tidak terhindarkan,

dikarenakan faktor genetik yang sudah ada sebelumnya dan dibawa sejak lahir.

Dan faktor genetik ini juga tidak dapat dirubah, sehingga faktor genetik ini

13
merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi seseorang untuk

mengalami kekambuhan pada skizofrenia (Tanjung et al, 2022).

14
BAB III

KESIMPULAN

Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang berpotensi tinggi untuk

menimbulkan kekambuhan. Kekambuhan (relapse) adalah suatu kondisi dimana

munculnya kembali tanda dan gejala suatu penyakit penyakit setelah mereda.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita skizofrenia

meliputi tekanan peristiwa kehidupan, kurangnya peran dan dukungan olahraga,

ketidakpatuhan terhadap pengobatan, dukunngan sosial, keterbatasan obat atau

pendampingan petugas, jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan, dan

adanya faktor genetik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aini, S. Q. 2015. Faktor-Faktor Penyebab Kekambuhan Pada Penderita Skizofrenia

Setelah Perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Jurnal Litbang, Vol. XI; No. 1.

Antari, N. P. G., dan Suariyani, N. L. P. 2021. Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia di Kabupaten Badung. Arc.

Com. Health, Vol. 8; No. 2.

Bratha, S. D. K., Febristi, A., Surahmat, R., Khoeriyah, S. M., Rosyad, Y. S., Fitri,

A., dan Rias, Y. A. 2020. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Kekambuhan Pasien Skizofrenia. Jurnal Kesehatan Vol. 11.

Hadiansyah, T., dan Pragholapati, A. 2020. Kecemasan Keluarga Dalam Merawat

Klien Skizofrenia. Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah, Vol. 7; No. 1.

Maramis, W. F., dan Maramis, A. A. 2009. Skizofrenia. Catatan Ilmu Kedokteran

Jiwa Edisi 2.

Tanjung, A. I., Naherta, M., dan Sarfika, R. 2022. Faktor-faktor yang Berhubungan

dengan Kekambuhan Orang dengan Skizofrenia yang Berobat di Poli-

Klinik Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Tahun

2021. Jurnal Ilmuah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 22; No. 1.

Win M, R., Angkasa, M. P., dan Astuti, D. P. 2022. Literatur Review: Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Angka Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa

(Skizofrenia). Jurnal PENA Vol. 36.

Zahnia, S., dan Sumekar, D. W. 2016. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Majority,

Vol. 5; No. 4.

16

Anda mungkin juga menyukai