Anda di halaman 1dari 19

REFARAT

Gangguan Neuropsikiatri terkait Covid-19

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir


Kepaniteraan Klinik Madya Di bagian Psikiatri
Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura

Pembimbing:
dr. Manoe Bernd Paul, Sp. KJ., M. Kes.

Oleh :
Bedlia Joulanda Dimara
Fitri Nurdiana
Lenny Tri Selviani
Loys Billin Wakerkwa
Pitria Bato
Thania Mayananta

KEPANITERAAN KLINIK PSIKIATRI


RUMAH SAKIT JIWA DAERAH ABEPURA
PERIODE 15 Maret – 11 April 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji

Refarat dengan Judul:

“Gangguan Neuropsikiatri terkait Covid-19”

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya Pada SMF
Psikiatri Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura.

Yang dilaksanakan pada:

Hari :
Tanggal :
Tempat :

Menyetujui Dosen
Penguji/ Pembimbing

dr.Manoe Bernd Paul, Sp. KJ., M.Kes.


BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan neuropsikiatri adalah istilah medis yang mencakup berbagai kondisi medis
yang melibatkan neurologi dan psikiatri.Gangguan neuropsikiatri adalah bahwa gejalanya
cenderung memengaruhi fungsi otak, emosi, dan suasana hati.Ciri-ciri gejala neuropsikiatri yaitu,
kecemasan, keluhan neurotik, apatis, gangguan mood, halusinasi, delusi, perubahan perilaku dan
kepribadian, delirium, dan gangguan kognitif (demensia).1,2
Pandemi Covid-19 yang terjadi di akhir tahun 2019 hingga saat ini menimbulkan
berbagai stressor yang cukup berat bagi sebagian besar masyarakat dunia, tidak terkecuali di
Indonesia.Kita dapat melihat bagaimana respon masyarakat terhadap adanya pandemi ini.Respon
yang diberikan oleh individu selama pandemi ini dapat menimbulkan permasalahan mental
terutama bagi individu yang rentan.8
Pada kondisi pandemi seperti ini, kerentanan untuk munculnya gangguan mental
meningkat. Rasa takut dan cemas akan ketidakpastian penyakit ini menyebabkan stresor tertentu
pada masyarakat. Cemas, depresi, dan insomnia adalah gejala gangguan mental yang paling
sering dialami selama pandemi.Gejala tersebut dapat menimpa pasien yang terdiagnosis Covid-
19, populasi umum, orang-orang dengan komorbid gangguan jiwa sebelumnya, pekerja medis,
dan kelompok rentan. Ada beberapa kelompok pada populasi umum yang rentan untuk
mengalami gangguan mental selama masa pandemi seperti orang lanjut usia, orang dengan
gangguan jiwa, dan wanita hamil.2,8
Pasien yang terdiagnosis Covid-19 dapat memberikan gejala neuropsikiatrik yang
beragam.Studi yang dilakukan oleh Rogers et al (2020) menunjukkan pada fase infeksi akut
gejala neuropsikiatrik yang dialami sebagai berikut: insomnia (42%), gangguan konssentrasi
perhatian (38%), cemas (36%), gangguan memori (34%), mood depresi (33%), kebingungan
(28%), dan perubahan kesadaran (21%).4,8
Penanganan gangguan mental pada masa pandemi secara umum melibatkan berbagai
pihak. Pasien yang sedang menjalani perawatan akibat Covid-19 dengan gejala penyerta berupa
gangguan neuropsikiatrik membutuhkan dukungan dari psikiater dan atau psikolog untuk
menangani gejala yang dirasakan.Dukungan yang dimaksud bisa berupa psikoterapi dan
konseling.Jika diperlukan pengobatan dengan psikofarma/obat-obatan psikiatrik seperti
antidepresan, anticemas, atau antipsikotik disesuaikan dengan gejala yang muncul.8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Gangguan Neuropsikiatri terkait Covid-19


Neuropsikiatri adalah subspesialisasi dalam ilmu kedokteran dan klinisyang
menggabungkan neurologi (kajian dan pengobatan gangguan sistem saraf) dan psikiatri
(kajian dan pengobatan gangguan mental). Neuropsikiatri berkaitan dengan masalah fungsi
otak pada tingkat yang lebih tinggi yang dapatmenyebabkan masalah ketidaknormalan atau
kejiwaan. Contohnya, gangguan yang berkaitan dengan kesadaran, emosi, dan perilaku
pasien, Selain itu,neuropsikiatri juga mempelajari kelainan perilaku yang dikaitkan atau
disebabkanoleh berbagai kondisi neurologis.1,2
COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 telah muncul sebagai ancaman
kesehatan masyarakat global. Efek langsung SARS-CoV-2 pada sistem saraf pusat (SSP)
tetap sulit dipahami. Penelitian terkait wabah Coronavirus (CoV) sebelumnya (seperti
SARS dan MERS) menunjukkan sifat neurotropik CoV dan sejumlah besar efek
neuropsikiatri yang dapat ditimbulkannya. Covid-19 ini dapat menyebabkan Delirium,
ensefalopati, gangguan penciuman, perubahan perilaku akut, sakit kepala dan kecelakaan
serebrovaskular adalah komplikasi neuropsikiatri yang umum.2

2.2. Epidemologi Neuropsikiatri terkait Covid-19


Menurut WHO, di Tiongkok pada 31 Desember 2019, dunia tidak menyadari dampak
penuh penyakit virus korona 2019 (COVID-19) yang di miliki pada kesehatan masyarakat
global. Per 6 Desember 2020, terdapat 20.296.503 kasus dan 449.793 kematian terkait
COVID-19 di seluruh dunia.Tidak diragukan lagi, pandemi COVID-19 telah berdampak
besar pada kesehatan fisik dan mental populasi global.4,8
Data survey kesehatan mental selama masa pandemi yang dilakukan oleh
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia yang melibatkan 2.364
responden swab periksa menunjukkan 69% responden mengalami masalah psikologis.
Pada survey tersebut didapatkan 68% responden merasakan gejala cemas, 67% mengalami
gejala depresi, 77% mengalami trauma psikologis, dan sebanyak 49% responden merasa
lebih baik mati atau kecenderungan melukai diri sendiri.8
2.3. Etiologi
Neuropsikiatri adalah subspesialisasi dalam ilmu kedokteran dan klinis yang
menggabungkan neurologi (kajian dan pengobatan gangguan mental) dan psikiatri (kajian
dan pengobatan gangguan mental). Neuropsikiatri berkaitan dengan masalah fungsi otak
pada tingkat yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan masalah ketidaknormalan atau
kejiwaan. Gangguan yang berkaitan dengan kesadaran, emosi, dan perilaku pasien, selain
itu, neuropsikiatri merupakan perilaku yang disebabkan oleh berbagai kondisi neurologis.
Neuropsikiatri (situasi kejiwaan yang dipengaruhi masalah) dan perilaku yang
disebabkan oleh kondisi kejiwaan) sehingga pemeriksaan neuropsikiatri dirancang untuk
menilai masalah emosional, perilaku, kognitif yang terkait dengan gangguan neurologis
dan disesuaikan dengan gejala, kemampuan, dan ganguan pasien. 1
Pandemi adalah wabah penyakit menular berskala besar yang dapat membebani
toleransi psikologis dan emosional petugas kesehatan dan masyarakat. Stres psikologis
yang terkait dengan rasa takut akan penyakit dan ketidakpastian masa depan dapat
mengakibatkan trauma langsung dan perwakilan. Secara biologis, respons imun pejamu
terhadap virus itu sendiri juga dapat memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) dengan
memicu gejala sisa neuropsikiatri yang diinduksi virus. 13
2.3. Faktor Resiko
COVID-19 adalah penyakit baru.Sampai saat ini, data dan informasi terbatas tentang
dampak dari banyak kondisi medis yang meningkatkan risiko penyakit akibat COVID-19
yang parah. Orang dewasa dari segala usia dengan kondisi berikut mungkin berisiko lebih
tinggi terkena penyakit akibat virus penyebab COVID-19 yang berat11 :

 Asma (sedang hingga berat)


 Penyakit serebrovaskular (mempengaruhi pembuluh darah dan suplai darah ke otak)
 Cystic fibrosis
 Hipertensi atau tekanan darah tinggi
 Keadaan immunocompromised (sistem kekebalan yang lemah) dari darah atau
transplantasi sumsum tulang, defisiensi kekebalan, HIV, penggunaan kortikosteroid,
atau penggunaan obat-obatan pelemahkan kekebalan lainnya
 Kondisi neurologis, seperti demensia
 Penyakit hati
 Obesitas (BMI> 25 kg / m2, tapi <30 kg / m2)
 Fibrosis paru (memiliki jaringan paru-paru yang rusak atau terluka)
 Thalassemia (sejenis kelainan darah)
 Diabetes melitus tipe 1

Orang dewasa dari segala usia dengan kondisi medis tertentu memiliki risiko lebih
tinggi terkena penyakit akibat virus COVID-19 yang berat. Penyakit akibat virus COVID-
19 yang berat dicontohkan pasien masuk rawat inap, masuk ke ICU, terpasang intubasi
atau ventilasi mekanis, atau kematian. Orang dewasa dari segala usia dengan kondisi
berikut berisiko lebih tinggi terkena penyakit akibat virus COVID-19 yang berat:
 Kanker
 Penyakit ginjal kronis
 COPD (penyakit paru obstruktif kronik)
 Sindrom Down
 Kondisi jantung, seperti gagal jantung, penyakit arteri koroner, atau kardiomiopati
 Keadaan immunocompromised (sistem kekebalan yang lemah) dari transplantasi organ
padat
 Obesitas (indeks massa tubuh [BMI] 30 kg / m2 atau lebih tinggi tetapi <40 kg / m2)
 Obesitas Berat (BMI ≥ 40 kg / m2)
 Kehamilan
 Penyakit sel sabit
 Merokok
 Diabetes melitus tipe 2

2.4. Patofisiologi ganguan Neuropsikiatri terkait Covid-19


SARS-COV-2 dapat mengambil dua jalur untuk melibatkan otak; jalur langsung dan tidak
langsung :
Jalur langsung

1. Rute hematogen
 Virus memperoleh akses dengan menginfeksi sel-sel endotel dari sawar darah
otak atau menggunakan sel-sel inflamasi untuk mendapatkan akses SSP
 Pengamatan partikel mirip virus di endotel kapiler otak dan secara aktif bertunas
diseluruh sel endotel sangat menunjukkan rute hematogen sebagai jalur untuk
SARS-COV-2 ke otak.
2. Transportasi saraf
 Virus dapat menggunakan transport aksonal retrograde (perjalanan terminal akson
melintasi akson) untuk mencapai badan sel neuron di system saraf pusat
Transpor aksonal retrograde dapat terjadi melalui jaringan system saraf olfaktorius,
pernapasan dan enteric 13

Gambaran neuropsikiatri dan kemungkinan patofisiologi terkait :

a. Anosmia
Transport neuronal retrograde melalui jalur penciuman rute ini yang menyebabkan
kerusakan penciuman
SARS-CoV-2 juga tampaknya sangat terkonsentrasi di lubang hidung pasien yang
terkena menyebabkan peradangan saraf penciuman dan kerusakan struktural pada
reseptor dan dengan demikian menyebabkan anosmia.

b. Kegagalan pernafasan sentral


Menurut Yan-Chao Li, dkk, SARS-CoV-2 menginfeksi sel saraf, terutama neuron
di medula oblongata melalui transportasi neuron retrograde dan akson saraf perifer,
yang berfungsi sebagai pusat kendali jantung dan paru-paru. Kerusakan pada area
ini dapat menyebabkan kegagalan pernapasan akut pada pasien COVID-19. Hasil
otopsi pasien COVID-19 menunjukkan bahwa jaringan otak di dekat batang otak
mengalami hiperemik dan edema dengan degenerasi saraf. Sebaliknya, ada
beberapa laporan kasus yang menyebutkan tidak ada penetrasi virus ke dalam
sistem saraf pusat sebagaimana dibuktikan dengan tidak adanya SARS-CoV-2 di
CSF dan bahwa efek SSP sekunder untuk penanda inflamasi yang meningkat
sebagai analisis CSF selama analisis stadium akut menunjukkan pleositosis dengan
peningkatan konsentrasi IL-8 dan TNF-α . Para peneliti telah melaporkan bahwa
banyak jenis sel manusia mengekspresikan ACE2, termasuk paru-paru, jantung,
ginjal, usus, dan jaringan otak. Setidaknya ada beberapa cara virus dapat
menyerang sistem saraf pusat beredar melalui darah dan kemudian menyerang
reseptor ACE2 di endotel yang melapisi kapiler darah di otak, menembus sawar
darah otak dan menyerang neuron. Sawar darah otak yang rusak dapat
menyebabkan pembengkakan otak, menekan batang otak dengan memengaruhi
pernapasan. Terlepas dari kedua mekanisme ini, telah dibuktikan juga bahwa
beberapa coronavirus dapat menyebar melalui transfer sinaptik dari kemoreseptor
dan mekanisme di paru-paru ke pusat kardiorespirasi meduler. Proses ini bisa
menjadi faktor yang mempengaruhi kegagalan pernapasan onset akut pada
beberapa pasien COVID-19. 5

Mekanisme tidak langsung yang melibatkan otak meliputi :


a. Disregulasi sitokin
Sitokin pro-inflamasi (misalnya, IL-6 dan TNF-α) secara signifikan lebih tinggi di
antara pasien COVID-19 yang meninggal, yang sebelumnya telah dikaitkan
dengan ensefalitis terkait sindrom sitokin.

b. Transmigrasi sel imun perifer


Virus korona manusia dapat memainkan peran yang mungkin dalam
perkembangan gejala kejiwaan melalui infeksi oportunistik sel myeloid perifer
(mekanisme Trojan Horse), yang kemudian diperdagangkan ke otak menyebabkan
peradangan saraf dan neuropatologi yang disebabkan virus.

c. Peradangan saraf
Sitokin yang dilepaskan melalui peradangan perifer dapat meningkatkan
permeabilitas yang menyediakan jalur bagi virus untuk memasuki otak.
Begitu berada di SSP, ia dapat menginfeksi astrosit dan mikroglia yang
mengaktifkan kaskade peradangan saraf dan neurodegenerasi melalui pelepasan
TNF, sitokin, ROS, dan mediator inflamasi lainnya.

d. Autoimunitas pasca infeksi

Infeksi virus telah disarankan untuk menginduksi proses auto-reaktif yang dapat
mempotensiasi perkembangan respon autoimun pada individu yang rentan.
Faktanya, literatur telah menggambarkan kasus autoimunitas setelah infeksi
SARS-CoV-1 atau MERS-CoV. 
e. Cedera hipoksia

Hipoksia di otak dapat terjadi melalui infeksi langsung pada jaringan paru-paru
tetapi juga dapat terjadi karena potensi neuroinvasif virus yang secara langsung
mempengaruhi pusat kardiorespirasi meduler. 

Hipoksia otak meningkatkan metabolisme anaerobik di mitokondria sel otak, dan


asam laktat yang dihasilkan menyebabkan edema serebral, aliran darah berkurang,
tekanan intrakranial meningkat, yang secara klinis dapat muncul dengan berbagai
gejala neuropsikiatri.

f. Perawatan imunomodulator

Ada bukti bahwa beberapa pasien telah diobati dengan kortikosteroid dosis tinggi
selama fase akut. jenis terapi ini dikaitkan dengan efek neuropsikiatri akut seperti
gangguan tidur, delirium, mania, depresi, dan psikosis

g. Keterlibatan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2) 

Virus menggunakan reseptor ACE2 untuk masuk ke dalam sel dan mengakibatkan
kerusakan jaringan penghasil ACE2. ACE2 dianggap sebagai pengatur penting
dari sistem renin-angiotensin (RAS) yang penting untuk fungsi jantung dan kontrol
tekanan darah. ACE-2 adalah regulator negatif dari RAS.

ACE2 membelah Ang I dan Ang II menjadi Ang 1-9 dan Ang 1-7 yang tidak aktif,
masing-masing mencegah hipertensi. Hilangnya ACE2 dapat merugikan, karena
menyebabkan kerusakan fungsional jantung dan sperkembangan patologi jantung,
ginjal, dan vaskular.
Hiperkoagulabilitas terlihat pada kasus COVID-19 yang lebih parah. Status
peradangan yang persisten pada pasien COVID-19 yang parah dan kritis bertindak
sebagai pemicu penting untuk kaskade koagulasi. Mekanisme potensial termasuk :

 Sitokin tertentu, termasuk IL-6, dapat mengaktifkan sistem koagulasi dan


menekan sistem fibrinolitik. Cedera endotel paru dan perifer akibat
serangan virus langsung. Cedera sel endotel dapat dengan kuat
mengaktifkan sistem koagulasi melalui paparan faktor jaringan dan jalur
lainnya. Koagulasi disfungsional dapat memperburuk respon imun agresif
yang membentuk lingkaran setan Mikroangiopati trombotik yang
disebabkan oleh endoteliopati dengan predisposisi hemoragik [ Hernández-
Fernández F et al., 2020] Produksi antibodi anti-kardiolipin dan anti-
β2GP1 Patogenesis keterlibatan neuropsikiatri melalui antibodi
antifosfolipid [Rege S & Mackworth-Young C, 2015] dapat memberikan
beberapa petunjuk menuju patogenesis keterlibatan otak dalam COVID-
1913

2.5. Klasifikasi
1. GangguanNeurokognitif Ini adalah gangguan yang ditandai dengan perubahan struktur
otak dan fungsi yang mengakibatkan gangguan belajar, penilaian orientasi fungsi mental,
memori, dan intelektual. (Mereka sebelumnya biasa disebut demensia, delirium,
amnestik, dan kognitif lainnya gangguan di DSM-IV.)Mereka dibagi menjadi tiga
kategori. Igauan. Delirium ditandai dengan kebingungan jangka pendek dan kognisi yang
disebabkan oleh keracunan atau penghentian zat (kokain, opioid, phencyclidine),
pengobatan (kortisol), umum kondisi medis (infeksi), atau penyebab lain (kurang tidur).
a. Gangguan Neurokognitif Ringan. Neurokognitif ringan adalah gangguan penurunan
fungsi kognitif ringan atau sedang. Harus dibedakan dari perubahan kognitif terkait usia
normal (penuaan terkait usia normal).
b. Gangguan Neurokognitif Utama. Neurokognitif utama gangguan (istilah yang dapat
digunakan secara sinonim dengan demensia, yang masih disukai oleh kebanyakan
psikiater) ditandai dengan gangguan yang parah dalam memori, penilaian, orientasi, dan
kognisi. Ada 13 subtipe (Tabel): Penyakit Alzheimer, yaitu biasanya terjadi pada orang
yang lebih tua dari usia 65 tahun dan manifestasi dipenuhi oleh kemunduran intelektual
progresif dan demensia; demensia vaskular, yang merupakan perkembangan bertahap
dalam kognitif kerusakan yang disebabkan oleh trombosis pembuluh darah atau
perdarahan; frontotemporal degenerasi lobus, yang ditandai dengan perilaku
penghambatan (juga dikenal sebagai penyakit Pick); Penyakit Lewy body, yang
melibatkan halusinasi dengan demensia; otak traumatis cedera akibat trauma fisik;
Penyakit HIV; penyakit prion, yaitu disebabkan oleh protein prion menular yang tumbuh
lambat; Parkinson penyakit; Penyakit Huntington; disebabkan oleh kondisi medis; zat /
obat-diinduksi (misalnya, alkohol menyebabkan Korsakoff sindroma); banyak etiologi;
dan demensia tidak spesifik. 8

Table
Major Subtypes of Neurocognitive Disorder
(Dementia)
Alzheimer’s disease
Vascular dementia
Lewy body disease
Parkinson’s disease
Frontotemporal dementia ( Pick’s disease)
Traumatic brain injury
HIV infection
Substance/medication-induced dementia
Huntington’s disease
Prion disease
Other medical condition (known as amnestic syndrome in DSM-IV-TR)
Multiple etiologies
Unspecified dementia

2.6. Gejala Klinis


Pandemi COVID-19 tak cuma memengaruhi kesehatan mental masyarakat
umum.Kebijakan pembatasan fisik membuat banyak orang harus beraktivitas tak
sebagaimana biasanya.Akibat “dirumahkan” banyak masyarakat mulai merasakan penat.Di
tingkat kelompok yang lebih tua, kebijakan ini juga berdampak pada penurunan
kognitif/demensia, menjadikan mereka lebih mudah cemas, marah, stres, dan gelisah.3
1. Manifestasi Klinis Covid-19
Tanda dan gejala COVID-19 bervariasi, tetapi selama perjalanan penyakit banyak
orang dengan COVID-19 akan mengalami hal berikut:
 Demam atau kedinginan
 Batuk
 Sesak napas atau kesulitan bernapas
 Kelelahan Nyeri otot atau tubuh
 Sakit kepala
 Kehilangan rasa atau bau baru
 Sakit tenggorokan
 Hidung tersumbat atau meler
 Mual atau muntah
 Diare10

2.7. Diagnosis
1. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis COVID-19 memerlukan deteksi SARS-CoV-2 RNA atau antigen dari spesimen
pernapasan.Deteksi RNA virus SARS-CoV-2 lebih baik pada sampel nasofaring dibandingkan
dengan sampel tenggorokan.Sampel saluran pernapasan bawah mungkin memiliki hasil virus
yang lebih baik daripada sampel saluran pernapasan atas.SARS-CoV-2 RNA juga telah
terdeteksi dalam tinja dan darah.Deteksi SARS-CoV-2 RNA dalam darah dapat menjadi penanda
penyakit parah. Dokter didorong untuk mempertimbangkan pengujian virus lain penyebab
penyakit pernapasan, misalnya influenza, selain pengujian SARS-CoV-2 tetapi tergantung pada
usia pasien, musim, atau klinis. Dokter juga harus mempertimbangkan penyebab bakteri dan
jamur pneumonia pada pasien yang PCR-negatif untuk SARS CoV-2 sesuai dengan klinis yang
ditampilkan pasien.
Limfopenia adalah temuan laboratorium yang paling umum di antara orang dengan COVID-19
dan ditemukan pada 83% pasien rawat inap. Limfopenia, neutrofilia, peningkatan serum alanin
aminotransferase dan aspartat aminotransferase, peningkatan laktat dehidrogenase, C- tinggi
protein reaktif (CRP), dan kadar feritin yang tinggi dapat dikaitkan dengan penyakit yang lebih
berat. Peningkatan D-dimer dan limfopenia dikaitkan dengan kematian.Prokalsitonin biasanya
normal pada saat masuk rawat inap tetapi dapat meningkat di antara pasien yang dirawat di ICU.
2. Radiografi
Radiografi thorax pasien dengan COVID-19 biasanya menunjukkan konsolidasi ruang udara
bilateral, meskipun beberapa pasien memiliki foto rontgen dada biasa-biasa saja pada awal
penyakit.Gambar Computerized Tomography (CT) dada dari pasien dengan COVID-19 biasanya
menunjukkan peripheral ground glassopacities yang bilateral. Karena pola pencitraan CT dada
ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh infeksi lain, nilai
diagnostik pencitraan CT dada untuk COVID-19 mungkin rendah dan bergantung pada
interpretasi radiografi . Mengingat variabilitas dalam temuan pencitraan dada, radiografi dada
atau CT saja tidak disarankan untuk diagnosis COVID-19.American College of Radiology juga
tidak merekomendasikan CT untuk skrining, atau sebagai tes lini pertama untuk diagnosis
COVID-19. 11

2.9 Tatalaksana
a. Pada Pasien Rawat Jalan
Penyediaan pelayanan pada pasien rawat jalan dilakukan pada bentuk virtual.Sistem perawatan
kesehatan nasional dan diseluruh dunia juga memanfaatkan telehealth untuk memberikan akses
berkelanjutan pada perawatan pasien.Untuk pasien yang tidak memiliki smartphone atau
computer dapat menggunakan telepon biasa yang telah menjadi standar perawatan.Karena hal
inilah maka diperlukan penyesuaian dalam penggunaannya, pada sebagian besar pasien telah
beradaptasi dengan kunjungan virtual karena tidak adanya hambatan dalam transportasi.Namun
hal ini juga memiliki kekurangan yaitu koneksi yang lambat, atau tidak adanya akses internet,
atau pasien yang tidak terbiasa dengan teknologi tertentu dan sebagian pasien juga lebih
menyukai dengan konsultasi tatap muka serta beberapa juga ragu jika memulai pengobatan tanpa
pertemuan langsung dengan dokter spesialis kejiwaan. 12
b. Tatalaksana pada pasien IGD
Instalasi gawat darurat mengalami kenaikan dalam kunjungan pasien, hal ini dikarenakan
kemungkinan karena susahnya untuk kontak dengan dokter spesialis mereka.Beberapa fasilitas
melakukan skrining pada pasien, Pada awal pandemi pasien dengan resiko tinggi atau yang
menunjukkan gejala covid 19 dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap untuk dilakukan
evaluasi tambahan dan beberapa pengujian.Namun sekarang sebagian besar perwatan kesehatan
melakukan pemeriksaan cepat covid – 19 sebelum dilakukan evaluasi oleh dr spesialis pskiatri
dan merawat inapkan pasien.Karena banyak pasien yang takut tertular covid bila berada di IGD
dan untuk mengurangi resiko tertularnya antar pasien dan petugas kesehatan, maka konsultasi
dan evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan telepon.Jika terpaksa melakukan tatapmuka
pada kasus-kasus yang harus ditangani maka dokter dapat melakukan dengan menjaga jarak
fisik. 12
c. Pada Pasien Rawat Inap
Saat melakukan perawatan pada pasien rawat inap tetap melakukan jarak aman.Menerapkan
protokol kesehatan agak sulit dilakukan pada pasien rawat inap dikarenakan adanya kontak yang
dekat misalnya pemeriksaan harian, sesi terapi kelompok dan saat makan bersama, penggunaan
kamar mandi bersama dan kamar tidur bersama.
Ada beberapa perencanaan yang dapat dilakukan misalnya:
1. Tindakan Pencegahan Penyakit (melakukan skrining, alat pelindung diri, penggunaan pakaian
khusus, melakukan sanitasi lingkungan, dan desinfeksi)
2. Melakukan pembatasan pengunjung dan meminimalkan kontak yang tidak penting (misalnya
Mahasiswa kedokteran).
3. Perubahan kelompok terapi (membatasi jumlah pien dalam kelompok, menghindari dari
aktivitas fisik)
4. Melakukan perubahan operasional (membuat ruang isolasi dirawat inap, dan melakukan
skrining ketat untuk masuk ke rawat inap)

Beberapa perubahan yang dilakukan diatas, meskipun dilakukan untuk tujuan pengendalian
infeksi, namun hal ini dapat juga menyebabkan situasi yang lebih terisolasi pada pasien maupun
dokter.Misalnya pada pasien dengan depresi berat yang mengalami nafsu makan dan kesulitan
bangun dari tempat tidur sebenarnya dapat mengalami perbaikan dengan menghadiri kegiatan
makan bersama dan bersosialisasi.Adanya kebijakan untuk tidak mengijinkan pengunjung, hal
ini juga berefek pada penurunan efektivitas dari pengobatan yang dapat dilakukan di rawat inap
psikiatri. 12

2.10. Prognosis
Prognosis gangguan neuropsikiatri terkait covid-19 masih belum diketahui pasti. Gejala-gejala

neuropsikiatri akan sangat mempengaruhi pasien dengan komorbid gangguan psikiatrik dan
lansia jika tidak diperhatikan secara khusus. Pasien dengan kormobiditas gangguan mental akan

lebih mudah relaps dan hendaya dalam fungsi sehari-hari. Stress yang bersumber dari pandemik

akan meningkatkan gejala psikotik, mania, depresi, anxietas, penyalahgunaan zat dan resiko

bunuh diri sehingga meningkatkan penggunaan obat-obat psikotropika khususnya antipsikosis

dan benzodiazepine. Pasien lansia digolongkan sebagai pasien yang rentan karena memiliki

resiko penularan yang lebih tinggi dan memiliki keterbatasan untuk mengakses layanan

kesehatan.Gejala depresi sering ditemui sebagai akibat keterbatasan yang dimiliki.Gejala

neuropsikiatri tersebut dapat bersifat menetap ataupun mengalami perbaikan setelah diatasi. 6

2.11. Pencegahan
Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial oleh individu yaitu sikap mental pada

saat menghadapi COVID-19 ini dapat berupa :

 Sikap Reaktif

Sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat, tegang, agresif terhadap

keadaan yang terjadi dan akan menyebabkan kecemasan dan kepanikan. Contohnya

seperti memborong bahan makanan, masker, hands-sanitizer, vitamin dll. Sikap

reaktif ini dapat dikendalikan dengan mancari berbagai informasi atau masukan dan

saran dari banyak orang sebelum mengambil keputusan.

 Sikap Responsif

Sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang, terukur, mencari tahu apa yang harus

dilakukan dan memberikan respon yang tepat dan wajar. Sikap responsif dapat

dikembangkan agar tidak terjadi masalah kesehatan jiwa dan psikososial. 7

Untuk mencegah dan mengurangi gejala gangguan mental yang dirasakan akibat pandemi

anatara lain sebagai berikut :


1). “News diet” mengurangi melihat atau menonton berita tentang informasi negatif mengenai

COVID-19

2). Batasi koneksi dengan media sosial; sebaiknya masyarakat menerima informasi dari

sumber/media terpercaya.

3). Tetap aktif bergerak; berolahraga, bermeditasi atau aktivitas lain yang menyenangkan.

4). Makan makanan yang bergizi dan mengatur pola tidur dengan baik.

5). Tetap berhubungan/ berkomunikasi dengan keluarga dan teman. 7


BAB III
KESIMPULAN

Pandemi COVID-19 merupakan bencana non alam yang dapat memberikan dampak pada
kondisi kesehatan jiwa dan psikososial setiap orang. Gejala yang terjadi dapat meliputi cemas,
depresi, insomnia dan distress psikososial. Kondisi mental yang sehat pada setiap individu
berbeda artinya bahwa kondisi inilah yang semakin membuat pentingnya pembahasan kesehatan
mental terutama dimasa pandemi COVID-19 yang mengarah kepada bagaimana memberdayakan
individu, keluarga, maupun komunitas dalam menjaga kesehatan mental dalam menghadapi
perubahan kehidupan sehari-hari dimasa pandemi COVID-19.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agrawal Niruj, Rafey Faruqui dan Mayur Bodani 2020. Oxford Textbook of Neuropsychiatry.
United kingdom: Oxford University Press.
2. Banerjee D, Viswanath B., 2020. Neuropsychiatric manifestations of COVID-19 and possible
pathogenic mechanisms: Insights from other coronaviruses. Department of Psychiatry,
National Institute of Mental Health and Neurosciences (NIMHANS), Bengaluru, India. Asian
Journal of Psychiatry 54(2020)
3. Santoso H Didik, Santosa Awan, et all. Juni 2020, COVID-19 DALAM RAGAM
TINJAUAN PERSPEKTIF.Jl. Ringroad Utara, Condong Catur, Depok, Kabupaten Sleman,
D.I. Yogyakarta.
4. Hossain, Mahbub MD,.Et all. 2020. Epidemiology of Mental Health Problems in Covid-19; A
review . National Institute Of Mental. Bangladesh
5. Jasti, Maju., Krishna n.,Sabjeeva o., (2020) A Review of Pathophysiology and
Neuropsychiatric Manifestations of Covid-19. Journal of Neurology (Diakses 18 maret,
2021 )
6. Kemenkes RI. (2020b). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus disease
(covid-19) revisi ke-4.Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Sub Direktorat Penyakit
Infeksi Emerging.Kemenkes RI. (2020). Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Mental
Psikososial pada masa Pandemi COVID-19.Direktorat Jenderal Kesehatan Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan RI.
7. Sadock J Sadock, Virginia Sadock dan Pedro Ruiz 2015. Kaplan and Sadock’s synopsis of
psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry eleven edition. Philadelphia: Hal 297
8. Yudhantara, S. 2021. Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid 19.The CovidPedia.Media Nusa
Creative.Malang. Hal: 90-95
9. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/clinical-guidance-management-patients.html
diakses tanggal 18 Maret 2021
10. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/people-with-
medical-conditions.html diakses tanggal 18 Maret 2021
11. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/clinical-guidance-management-
patients.html diakses tanggal 18 Maret 2021
12. https://psychscenehub.com/psychinsights/covid-19-and-the-brain-pathogenesis-and-
neuropsychiatric-manifestations-of-sars-cov-2-cns-involvement diakses tanggal 21 maret
2021

Anda mungkin juga menyukai