MENINGITIS
Disusun oleh:
Pembimbing:
Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Saraf Rumah Sakit Umum Daerah KRMT
Wongsonegoro Semarang periode 29 November 2021 – 25 Desember 2021.
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkan-
Nya, sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan referat dengan topik “Meningitis”.
Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka kami menerima segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan referat ini.
Pada kesempatan ini juga kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan klinik
ilmu bedah sejak tanggal 29 November 2021 – 25 Desember 2021.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga referat ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Penulis,
Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula spinalis
yang dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis. Meningitis juga merupakan
kasus kegawatdaruratan dibidang neurology sehingga diperlukan diagnosa dan
pengobatan sedini mungkin untuk mengurangi angka kematian dan kecacatan. Pada
umumnya meningitis disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang menginvasi meninges
melalui pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa, fungus,
protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. 1,2
Akan tetapi
meningitis dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker atau
kondisi lainnya.
Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat dilaporkan ras kulit hitam
lebih banyak menderita meningitis dibandingkan ras kulit putih. Pada sebagian besar
kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun dan orang tua
diatas usia 60 tahun. Insidens rate meningitis akibat bakteri di Amerika Serikat
mengenai 3 per 100.000 penduduk pertahun, sedangkan karena virus di Amerika Serikat
10 per 100.000 penduduk pertahun.2,3
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka kematian akibat
meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh kematian yang terjadi pada semua
golongan umur. Pada penelitian tersebut didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati
peringkat ke-7 atau 3,2% dari seluruh kematian akibat penyakit menular.4
Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus menjadi perhatian
bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu pemahaman yang baik
tentang etiologi dan patofisiologi meningitis merupakan bagian kunci untuk membantu dokter
dan tenaga medis lainnya dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Dura Mater
Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan
langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus medulla spinalis
dipisahkan dariperiosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena
berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari
arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga
permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari
mesenkim.18
b. Arachnoid
Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura mater dan
sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara
trabekel membentuk ruang subarachnoid, yang berisi cairan serebrospinal dan terpisah
sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi
syaraf pusat dari trauma. Ruang subarachnoid berhubungan dengan ventrikel otak. Arachnoid
terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis
gepeng seperti duramater.
Karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah
dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk
juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi
oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan
serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.18
c. Pia Mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh
darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel
atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang- cabang
neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari
susunan saraf pusat yang memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu
bersama pembuluh darah pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh
piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi
menjadi kapiler. Dalam susunan syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh
perluasan cabang neuroglia.18
Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya (diambil dari kepustakaan 11)
Gambar 4. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak (diambil dari kepustakaan 12)
2. Induksi Inflamasi
Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses inflamasi
melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interferon, prostaglandin, nitrit oksida, platelet activation factor (PAF) dan mediator
lainnya. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi;
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat yang
terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear
dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.2,15
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya dilakukan
pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut :18
a) Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda
kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
b) Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi
tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+)
bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.
gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Pungsi Lumbal15
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur negatif.
Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000 mm3), protein
meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen infeksi pada cairan
serebrospinal, yaitu :
Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi (diambil dari
kepustakaan 2)
b) Pemeriksaan Darah2
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum
dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1. Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB
c) Kultur 2
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal pungsi atau jika tidak
dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil dari:
1. Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S. Pneumoniae, N.
Meningitidis.
2. Nasofaring
3. Sputum
4. Urin
5. Lesi kulit
d) Pemeriksaan Radiologis2
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT-Scan dan
MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya
pada pneumonia dan tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada
mastoid dan sinus paranasal. Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan
pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya
enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis dapat
disingkirkan. Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of
America (IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum
dilakukan lumbal pungsi yaitu :
1. Dalam keadaan Immunocompromised
2. Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi fokal)
3. Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4. Papiledema
5. Gangguan kesadaran
6. Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus, enhancement
kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula ditemukan infark vena dan
hidrosefalus komunikans.
Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri (diambil dari
kepustakaan 2)
a) Neonatus-1 bulan
1. Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2. Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan gentamicin 2.5
mg/kgBB IV/ 12 jam.
b) Bayi usia 1-3 bulan
1. Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam) Ditambah ampicillin
(50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
3. Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12 jam)
ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).
c) Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1. Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4 g/hari)
d) Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
a. Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
b. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
c. Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2.10 Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan
lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa
tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian.19 Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).
Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita
mengalami kematian.14
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh
umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal
dalam waktu 6-8 minggu.15 Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala
klinis yang lebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki
prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan
dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.14
1. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT. Dian Rakyat,
Jakarta.
2. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall
3. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://www.who.int/topics/meningitis/en/
4. Soedarto, 2004.Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press, Surabaya.
5. Nelson, 1999. Ilmu Kesehatan Anak , Bagian 2. EGC, Jakarta. Muliawan, S., 2008.
10. McGraw-Hill Companies, New York. R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta :
EGC. Hal : 261.
11. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC, Jakarta.
12. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak . Vol. 9. Jurnal Kedokteran. Bagian
Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat.
13. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta.
14. Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at
http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis- neurologi.html
15. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
16. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis.
Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).
17. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis.Edisi 2. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
18. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech. Available
at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
19. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.
20. Mansjoer, A.,dkk., 2016.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media Aesculapius,
Jakarta.