Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

MENINGITIS

Disusun oleh:

Cresia Adelia Wibowo (406192066)

Pembimbing:

dr. Riri Gusnita Sari, Sp. S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF
RSUD KRMT WONGSONEGORO SEMARANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Saraf Rumah Sakit Umum Daerah KRMT
Wongsonegoro Semarang periode 29 November 2021 – 25 Desember 2021.

Nama : Cresia Adelia Wibowo


NIM : 406192066
Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Bagian : Ilmu Saraf RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Periode : 29 November 2021 – 25 Desember 2021
Judul : Meningitis
Pembimbing : dr. Riri Gusnita Sari, Sp.S

Telah diperiksa dan disahkan tanggal:

Semarang, Desember 2021

dr. Riri Gusnita Sari, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkan-
Nya, sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan referat dengan topik “Meningitis”.

Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka kami menerima segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan referat ini.

Pada kesempatan ini juga kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:

1. dr. Riri Gusnita Sari, Sp. S

yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan klinik
ilmu bedah sejak tanggal 29 November 2021 – 25 Desember 2021.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga referat ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Semarang, Desember 2021

Penulis,

Cresia Adelia Wibowo


BAB I
PENDAHULUAN

Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula spinalis
yang dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis. Meningitis juga merupakan
kasus kegawatdaruratan dibidang neurology sehingga diperlukan diagnosa dan
pengobatan sedini mungkin untuk mengurangi angka kematian dan kecacatan. Pada
umumnya meningitis disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang menginvasi meninges
melalui pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa, fungus,
protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. 1,2
Akan tetapi
meningitis dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker atau
kondisi lainnya.
Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat dilaporkan ras kulit hitam
lebih banyak menderita meningitis dibandingkan ras kulit putih. Pada sebagian besar
kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun dan orang tua
diatas usia 60 tahun. Insidens rate meningitis akibat bakteri di Amerika Serikat
mengenai 3 per 100.000 penduduk pertahun, sedangkan karena virus di Amerika Serikat
10 per 100.000 penduduk pertahun.2,3
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka kematian akibat
meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh kematian yang terjadi pada semua
golongan umur. Pada penelitian tersebut didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati
peringkat ke-7 atau 3,2% dari seluruh kematian akibat penyakit menular.4
Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus menjadi perhatian
bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu pemahaman yang baik
tentang etiologi dan patofisiologi meningitis merupakan bagian kunci untuk membantu dokter
dan tenaga medis lainnya dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Meningitis


Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula spinalis.
Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau jamur) tetapi dapat juga
terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya.5 
Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang
belakang. Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan
yaitu:2 
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip
sarang laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang
mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges. Ruang-
ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah yang berperan penting
dalam penyebaran infeksi pada meninges.

2.2 Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya meningitis :2 
1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun
2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
4. Infeksi HIV
5. Anemia sel sabit dan splenektomi
6. Alkoholisme, sirosis hepatis
7. Talasemia mayor
8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis
9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
10. Ventriculoperitoneal shunt
2.3 Etiologi dan Klasifikasi Meningitis
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai
dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis
purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.6
Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman mencakup sekaligus kausa
meningitis, yaitu :
1. Meningtis virus
2. Meningitis bakteri
3. Meningitis spiroketa
4. Meningitis fungus
5. Meningitis protozoa
6. Meningitis metazoa
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan
meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang
disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. 7 Agen infeksi  meningitis
purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus
paling banyak disebabkan oleh  Escherichia Coli, Streptococcus beta haemolyticus dan
Listeria monocytogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh
H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun
disebabkan oleh
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan
pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus,
Staphylocccus, Streptococcus dan Listeria. 8 Penyebab meningitis serosa yang paling
banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis dan virus.7 Meningitis yang disebabkan oleh
virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri.
Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan
Coxsackie virus, sedangkan Herpes simplex, Herpes zoster , dan enterovirus jarang
menjadi penyebab meningitis aseptik (viral ).10
2.4 Epidemiologi
1. Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis. Penyakit ini
lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih
nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena
sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna. 10 Puncak insidensi kasus meningitis
karena Haemophilus influenzae di negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6
bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan.
Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus influenzae tipe
b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur
< 5 tahun.11 Insidens Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. 12 Setelah 10
tahun penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000.11
2. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio- ekonomi rendah,
lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah haji), dan penyakit
ISPA.6 Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang
dibandingkan
pada negara maju. 10
Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the African
Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi
21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20
per 100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik. 11 Di daerah
Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan oleh
Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.13
3. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus- kasus
infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika utara insidensi infeksi
Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi sedangkan di daerah Sub-
Sahara puncaknya terjadi pada musim panas.14 Meningitis karena virus berhubungan dengan
musim, di Amerika sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih
sering terpapar agen pengantar virus.9
4. Agen Infeksi
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitis purulenta
paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenzae
sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh Mycobacteriu tuberculosa dan virus.15
Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalanga jemaah haji
dan dapat menyebabkan karier disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A, B,
C, X, Y, Z dan W 135. Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan
Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab utama sedangkan di Afrika dan Asia
penyebabnya adalah grup A.16 Wabah meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab
Saudi selama ibadah haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135
dan 36% serogroup A. Hal ini merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama
di dunia yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup A, B, dan C
paling banyak menimbulkan penyakit.8 Meningitis karena virus termasuk penyakit yang
ringan. Gejalanya mirip sakit flu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri.Pada
waktu terjadi KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus
meningitis aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan
penyebab dari 33% kasus meningitis aseptik, Echovirus dan Enterovirus merupakan
penyebab dari 50% kasus.11

2.5 Anatomi dan Fisiologi


1. Meninges
Meninges merupakan selaput atau membran yang terdiri dari jaringan ikat yang
membungkus susunan syaraf pusat, dan tersusun atas 3 lapis yaitu :
Gambar 1. Struktur Meninges (diambil dari kepustakaan 17)

a. Dura Mater

Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan
langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus medulla spinalis
dipisahkan dariperiosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena
berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari
arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga
permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari
mesenkim.18
b. Arachnoid
Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura mater dan
sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara
trabekel membentuk ruang subarachnoid, yang berisi cairan serebrospinal dan terpisah
sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi
syaraf pusat dari trauma. Ruang subarachnoid berhubungan dengan ventrikel otak. Arachnoid
terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis
gepeng seperti duramater.
Karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah
dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk
juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi
oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan
serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.18
c. Pia Mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh
darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel
atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang- cabang
neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari
susunan saraf pusat yang memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu
bersama pembuluh darah pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh
piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi
menjadi kapiler. Dalam susunan syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh
perluasan cabang neuroglia.18

Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya (diambil dari kepustakaan 11)

2. Sawar Darah Otak


Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah masuknya beberapa
substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan toksin bakteri dari darah ke jaringan syaraf.
Sawar darah otak ini terjadi akibat kurangnya permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah
jaringan saraf. Taut kedap, yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini secara sempurna
merupakan unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma sel-sel andotel ini tidak bertingkap, dan
terlihat sangat sedikit vesikel pinositotik di sini. Perluasan cabang sel neuroglia yang
melingkari kapiler ikut mengurangi permeabilitasnya.18
Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan otak. Sawar juga
terdapat pada plexus koroideus dan membran kapiler jaringan, pada dasarnya di seluruh
parenkim otak kecuali di beberapa daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema,
tempat zat berdifusi dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah otak pada
umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida, oksigen, dan sebagian besar zat
larut lipid, seperti alkohol dan zat anestesi; sedikit permeabel terhadap elektrolit, seperti
natrium, klorida, dan kalium; dan hampir tidak permeabel terhadap protein plasma dan
banyak molekul organik berukuran besar yang tidak larut lipid.20

Gambar 3. Potongan Melintang Susunan Sawar Darah Otak (diambil dari


Kepustakaan 12)
Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa lumen kapiler darah
dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh :12 
a) Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell), disatukan oleh tight
juction.
b) Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit
c) Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding kapiler.

Gambar 4. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak (diambil dari kepustakaan 12)

3.   Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal


Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang menyusup ke
bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan keempat dan
sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan struktur vaskular yang
terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar
dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik
sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan
serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel,
kanal sentral dari medula spinalis, ruang subarachnoid, dan ruang perivasikular. Ia penting
untuk metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan
dalam ruang subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml),
dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan
dua sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari
sana ia memasuki ruang subarachnoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk
absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau
penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut
hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan
gangguan mental dan kelemahan otot.18
Gambar 5. Fisiologi Cairan Serebrospinal (diambil dari kepustakaan 11)
2.6 Patofisiologi
1. Meningeal Invasion
Mekanime masuknya kuman ke dalam lapisan meninges masih belum diketahui
sepenuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan pejamu, agen infeksi dan faktor lingkungan.
Pada bayi yang belum menghasilkan antibody spesifik dapat mudah terkena meningitis oleh
bakteri gram negatif, sedangkan pada bayi yang agak besar telah kehilangan IgG yang
diperolehnya melalui plasenta dan mudah terkena infeksi meningokokus dan H. Influenzae.1,8 
Pada orang dewasa dengan gangguansistem imun seperti pada keganasan sistem
retikuloendotelial dapat mempermudah infeksi susunan syaraf pusat. 1 Konsentrasi kuman
yang tinggi didalam darah akibat suatu infeksi dibagian lain tubuh atau karena proses
transmisi kuman karena kontak antar individu dapat menyebabkan invasi kuman pada
meninges.1 
Virus setelah melakukan perlekatan dan invasi terhadap sel pejamu dapat bereplikasi
dan menyebar yang kemudian menyebabkan destruksi sel pejamu.13  Meningitis pada
umumnya terjadi sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan tubuh
yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya
pada
 penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan
organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media,
Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga
terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. 14  Invasi
kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan
araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.15

2. Induksi Inflamasi
Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses inflamasi
melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor necrosis factor-α  (TNF-α),
interferon, prostaglandin, nitrit oksida, platelet activation factor  (PAF) dan mediator
lainnya. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi;
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat yang
terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear
dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.2,15

3. Perubahan Sawar Darah Otak


Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang datang dari lintasan
hematogen. Proses radang juga menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas dari kapiler
otak yang sebelumnya kedap dan selektif terhadap berbagai macam zat, menjadi permeabel
sehingga terjadi kebocoran plasma dan dapat menyebabkan kuman masuk kedalam cairan
serebrospinal dan ruang subarachnoid. Dengan demikian peradangan akan terus terjadi tidak
hanya pada pembuluh darah. Selain itu Proses radang yang mengenai vena-vena di korteks
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron- neuron.
Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan
kranialis. Pada meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih
dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.8,15

4. Perubahan Aliran Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial


Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi trombosis atau perlekatan
vili vena pada sinus akibat peradangan yang  berperan dalam absorbsi cairan serebrospinal
sehingga menimbulkan hidrosefalus. Selain itu, plexus koroideus yang berfungsi untuk
memproduksi cairan serebrospinal jika terkena radang akan meningkatkan
produksinya sehingga timbul hidrosefalus komunikans. Jika terus berlanjut akan
menyebabkan edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga terjadi
kompresi pada otak dan pembuluh darah, menurunkan aliran suplai nutrisi dan
oksigen. Jika proses ini tidak dicegah dapat menimbulkan atrofi jaringan otak, defisit
neurologis, berupa parese nervus kranialis dan hemiparese, penurunan kesadaran dan bahkan
kematian.1,8,20

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44% penderita
meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut :2 
1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Kaku kuduk.
Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi,
mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot, fotofobia, mudah mengantuk, bingung,
gelisah, parese nervus kranialis dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.2,8,17 
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh
Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh
pembesaran kelenjar parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada
meningitis yang disebabkan oleh  Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah,
sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang
tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada
meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah
dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku kuduk, dan
nyeri punggung.9 
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala
panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang,
dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung.
Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 %
oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh
infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan
saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi,
nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.15 
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodormal
selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-
anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu
makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola
tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas
yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.15 
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1  –  3 minggu dengan gejala penyakit
lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat, gangguan kesadaran
dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan
meningeal mulai nyata, terjadi parese nervus kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh
tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan
kelumpuhan semakin parah dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya.15
2.8 Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri kepala dan
kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan, mudah
mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang dan penurunan kesadaran.2,17 Anamnesa dapat
dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya dilakukan
pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut :18
a) Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda
kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
b) Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi
tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+)
bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

c) Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada
pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga
dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan

gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d) Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

e) Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa
tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi
involunter extremitas superior.

f) Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)


Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu  jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter
extremitas inferior.
g) Pemeriksaan Laseque
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu tungkai
diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+)
jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60°
  pada lansia.

3. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Pungsi Lumbal15 
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
 Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur negatif.
 Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000 mm3), protein
meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen infeksi pada cairan
serebrospinal, yaitu :
Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi (diambil dari
kepustakaan 2)

b) Pemeriksaan Darah2 
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum
dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1. Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB

2. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear dengan


shift ke kiri.
3. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.

4. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada cairan


serebrospinal.
5. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan
penyesuaian dosis terapi.
6. Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.

c) Kultur 2 
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal pungsi atau jika tidak
dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil dari:
1. Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S. Pneumoniae, N.
Meningitidis.
2.  Nasofaring

3. Sputum

4. Urin

5. Lesi kulit

d) Pemeriksaan Radiologis2 

Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT-Scan dan
MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya
pada pneumonia dan tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada
mastoid dan sinus paranasal. Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan
pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya
enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis dapat
disingkirkan. Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of
America (IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum
dilakukan lumbal pungsi yaitu :
1. Dalam keadaan Immunocompromised
2. Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi fokal)
3. Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4. Papiledema
5. Gangguan kesadaran
6. Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus, enhancement
kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula ditemukan infark vena dan
hidrosefalus komunikans.

Gambar 8. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced, didapatkan


leptomeningeal enhancement (diambil dari kepustakaan 15)
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif,
komplikatif dan suportif.2
1) Meningitis Virus

Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan umum


meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang
adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang
spesifik, kecuali jika terdapat hipogamaglobulinemia dapat diberikan imunoglonbulin.
Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun dapat diberikan sesegera mungkin jika
kemungkinan besar meningitis disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak
menganjurkan pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis. Dosis
asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).2 Gansiklovir efektif untuk infeksi
Cytomegalovirus (CMV), namun karena toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat
dengan kultur CMV positif atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis induksi
selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB IV/24
jam.2 
2) Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu pemberian
antibiotik empirik yang segera dapat memberikan hasil yang baik.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri (diambil dari
kepustakaan 2)
a) Neonatus-1 bulan
1. Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2. Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan gentamicin 2.5
mg/kgBB IV/ 12 jam.
b)   Bayi usia 1-3 bulan
1. Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam) Ditambah ampicillin
(50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
3. Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12 jam)
ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).
c) Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1. Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4 g/hari)
d) Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1)  Dosis anak
a. Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
b. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
c. Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam

2)  Dosis dewasa


a. Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
b. Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
c. Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam

Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20 mg/kgBB/hari


IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai infeksi listeria ditambahkan ampicillin
(50 mg/kgBB IV/
6 jam).

e) Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun


1. Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2. Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin  –  750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15
mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika dicurigai basil gram
negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam). Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat
pula diberikan kortikosteroid (biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6 jam
selama 2-4 hari). meskipun pemberian kortikosteroid masih kontroversial, namun telah
terbukti dapat meningkatkan hasil keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H.
Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian yang
dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat mengurangi gejala gangguan
pendengaran dan gejala neurologis sisa tetapi secara umum tidak dapat
mengurangi mortalitas.
3) Meningitis Sifilitika
Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua dengan dosis 2-4
juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering pula diikuti pemberian penisilin G
benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pilihan alternatif adalah penisilin G prokain dosis
2.4 juta unit/hari IM dan probenesid dosis 500 mg oral setiap 6 jam selama 14 hari, diikuti
pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pasien dengan meningitis
sifilitika disertai HIV dapat diberikan yang serupa. Oleh karena penisilin G merupakan obat
pilihan, pasien dengan alergi penisilin harus menjalani penisilin desensitisasi. Setelah
dilakukan pengobatan, pemeriksaan cairan serebrospinal harus dilakukan secara teratur setiap
6 bulan sekali, hal ini penting dilakukan untuk melihat keberhasilan terapi.
4) Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial amphotericin B (0.7
mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk
mempertahankan kadar dalam serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi resolusi,
sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu.  Dapat pula diberikan sebagai follow-
up golongan azol seperti flukonazol dan itrakonazol.2
5) Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama dengan
tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai berikut :
a) Isoniazid 300 mg/hari
b) Rifampin 600 mg/hari
c) Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d) Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e) Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam
Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah mendapat
obat antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan tergantung kategori. Pemberian
kortikosteroid diindikasikan pada meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat mengurangi
inflamasi pada proses lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis. Biasanya dipilih
dexamethason dengan dosis 60-80 mg/hari yang diturunkan secara bertahap selama 6
minggu.2 
6) Meningitis Parasitik
Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif seperti analgesia yang
adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal dan antiinflamasi seperti kortikosteroid.
Pemberian obat antihelmintic dapat menjadi kontraindikasi karena dapat memperparah
gejala klinis dan bahkan menyebabkan kematian sebagai akibat dari peradangan hebat yang
merupakan respon terhadap proses penghancuran cacing. Meningitis amuba yang diakibatkan
oleh  Naegleria fowleri  adalah fatal. Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV
amfoterisin B atau mikonazol dan rifampisin dapat memberikan manfaat terapi.2
2.9 Diagnosis Banding
Meningitis dapat didiagnosis banding dengan penyakit dibawah ini :2 
1. Abses serebral
2. Ensefalitis
3. Neoplasma serebral
4. Perdarahan Subarachnoid

 2.10 Komplikasi Meningitis


Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status mental, edema
serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, empiema atau efusi subdural, parese
nervus kranialis, hidrosefalus, defisit sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan.
Pada onset lanjut dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual
yang menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik,
disseminated intravascular coagulaton  (DIC), gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi
endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan dapat menyebabkan kematian.20

2.10 Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan
lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa
tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian.19 Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).
Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5  –  10% penderita
mengalami kematian.14 
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh
umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal
dalam waktu 6-8 minggu.15 Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala
klinis yang lebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki
prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan
dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.14 

2.11 Pencegahan Meningitis


a. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis
bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.15 
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar
dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti  Haemophilus
influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),
Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV),  Meningococcal conjugate vaccine
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).14  Imunisasi Hib Conjugate vaccine (H  b- OC
atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal
imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.8  Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari
kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang
telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan
interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu
bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan
diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.16 
Meningitis  Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik)
kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.11  Vaksin yang
dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.14 
Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan
cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi
syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10  – 
20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.17 
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan penderita
dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak,
sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan
personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih
tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan
penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga
untuk mengenali gejala awal meningitis.17 Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi
test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru .20  Selain itu juga dapat dilakukan
surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat
lainnya untuk menemukan penderita secara dini.14
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini
bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu
penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya
tuli atau ketidakmampuan untuk belajar. 12  Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan
untuk
mencegah dan mengurangi cacat.15
2.12 Kesimpulan
Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi pada selaput otak
yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya faktor resiko tertentu seperti pada
usia yang kurang dari 5 tahun atau lebih dari 60 tahun, kekebalan tubuh yang menurun,
adanya penyakit sistemik atau penyakit lain sebelumnya seperti tuberkulosis, mastoiditis
dan sinusitis, atau adanya riwayat kontak dengan penderita meningitis. Kejadian meningitis
berhubungan dengan suatu wilayah dan musim tertentu. Misalnya pada afrika ada suatu
istilah yang disebut the african meningitis belt , yang menunjukkan kecenderungan
meningitis pada wilayah-wilayah tertentu. Meningitis terjadi karena berbagai penyebab, pada
umumnya karena infeksi berbagai macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi
terbanyak adalah virus dan bakteri. Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh dengan
sendirinya, sementara meningitis karena bakteri dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi, morbiditas yang lama akibat gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan
kematian. Pembuatan diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai
dapat menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Prognosis meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen
penyebab infeksi dan respon pengobatan. Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk
mencegah terjadinya meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit
dengan pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk mengurangi komplikasi dan
gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien dapat tetap menjalani aktivitas sehari-
harinya secara mandiri. Jika upaya pencegahan-pencegahan ini dilakukan secara maksimal
dalam ruang lingkup yang luas, kematian dan kecacatan akibat meningitis dapat diturunkan
secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT. Dian Rakyat,
Jakarta.
2. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall
3. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://www.who.int/topics/meningitis/en/
4. Soedarto, 2004.Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press, Surabaya.

5. Nelson, 1999. Ilmu Kesehatan Anak , Bagian 2. EGC, Jakarta. Muliawan, S., 2008.

6. Haemophilus Influenzae As a Cause of Bacterial Meningitis in Children.


Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58, No.11, Hal 438-443, Jakarta.
7. Devarajan, V., Jan 10, 2012. Haemophilus Influenzae Infection. Article. Available
at http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview#a0199
8. Harsono, 2009. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. GadjahMada University Press,
Yogyakarta.
9. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition.

10. McGraw-Hill Companies, New York.  R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta :
EGC. Hal : 261.
11. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC, Jakarta.
12. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak . Vol. 9. Jurnal Kedokteran. Bagian
Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat.
13. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta.
14. Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at
http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis- neurologi.html
15. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
16. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis.
Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).
17. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis.Edisi 2. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
18. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech. Available
at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
19. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.
20. Mansjoer, A.,dkk., 2016.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media Aesculapius,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai