Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

DERMATOMIKOSIS

Disusun oleh :
Cresia Adelia Wibowo
406192066

Pembimbing :
dr. Sri Ekawati Sp.,KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PATI SOEWONDO
PERIODE 02 MARET 2020 – 05 APRIL 2020

1
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
BAB I
PENDAHULUAN

Mikosis terbagi dalam 3 bentuk, yakni mikosis superfisial yang melibatkan stratum
korneum, rambut, dan kuku; mikosis subkutan yang melibatkan dermis/jaringan subkutan; dan
mikosis sistemik yang mewakili penyebaran organisme secara hematogen.1 Pada mikosis
superfisial, tidak terjadi reaksi inflamasi atau terjadi reaksi inflamasi ringan, contohnya pada
penyakit pityriasis versicolor, folikulitis Malassezia, Piedra, dan tinea nigra; atau biasa disebut
dengan kelompok non dermatofitosis.2
Sedangkan pada mikosis subkutan, yakni kelainan akibat jamur yang melibatkan
jaringan dibawah kulit, dapat terjadi reaksi inflamasi yang diakibatkan metabolit jamur, yaitu
pada kelompok dermatofitosis.2 Kelompok dermatofitosis, misalnya misetoma, kromomikosis,
zigomikosis subkutan, sporotrikosis, rinosporidiosis.2 Tetapi, kasus yang paling sering
ditemukan di daerah tropis, termasuk Indonesia adalah mikosis superfisial. Sedangkan untuk
mikosis subkutan, kelainan ini relatif jarang dijumpai.2
Kandidosis adalah penyakit jamur yang banyak ditemukan dan penyebabnya adalah
Candida spp yang bersifat oportunistik dan dapat memberikan berbagai macam gambaran
klinis baik superfisial maupun sistemik.2

2
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nondermatofitosis
2.1.1 Piedra
Definisi:
Piedra adalah infeksi jamur superfisial asimptomatik pada batang rambut yang juga
dikenal sebagai trichomycosis nodularis. Piedra hitam disebabkan oleh Piedraia hortae,
sedangkan piedra putih disebabkan oleh spesies patogen dari genus Trichosporon, yaitu
Trichosporon asahii, Trichosporon ovoides, Trichosporon inkin, Trichosporon mucoides,
Trichosporon asteroides, dan Trichosporon castereum.3
Epidemiologi :
Piedra hitam umumnya ditemukan pada manusia dan primate di daerah tropis di
Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik, dan Timur Jauh, dan lebih jarang di Afrika dan Asia. 3
Piedra hortae dapat ditemukan di tanah, genangan air, dan tanaman.3 Piedra hitam paling sering
menyerang rambut kulit kepala.3 Sedangkan Piedra putih paling sering mengenai rambut
wajah, aksila dan genital, dan jarang mengenai rambut kulit kepala.3 T.ovoides umumnya
ditemukan pada rambut kulit kepala, T.inkin pada rambut kemaluan.3 Penularan dari orang ke
orang jarang terjadi dan infeksi tidak ada hubungannya dengan berpergian ke daerah endemis.3
Etiopatogenesis :
Piedraia hortae, penyebab Piedra hitam, ditemukan di tanah dan air tergenang.4
Penyebab Piedra putih, genus Trichosporon, dapat ditemukan baik di tanah, udara, air,
tumbuhan, dan permukaan kulit.4 Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh adanya faktor higiene.4
Jamur penyebab masuk ke dalam kutikula rambut, kemudian tumbuh mengelilingi rambut dan
membentuk benjolan-benjolan 4 Setelah itu menimbulkan rupture atau trikoresis dan patah
rambut.4 Transmisi dari orang ke orang jarang, namun pernah dilaporkan Piedra putih
berhubungan dengan transmisi seksual.4
Gejala Klinis :
Piedra hitam dicirikan oleh lekuk-lekuk berwarna coklat-hitam yang melekat kuat,
keras atau berpasir pada batang rambut yang ukurannya bervariasi dari kisaran mikroskopis
hingga beberapa milimeter.3 Paling sering ditemukan pada kulit kepala bagian depan.3 Piedra
hitam melemahkan batang rambut dan menyebabkan kerusakan rambut.3 Sedangkan Piedra
putih terdiri dari struktur yang lebih halus, berwarna krem, mempengaruhi lapisan luar rambut
tetapi dapat dengan mudah di lepaskan.3 Piedra putih lebih jarang menyebabkan adanya
kerusakan rambut bila dibandingkan dengan Piedra hitam.3
Diagnosis :
Diagnosis Piedra ditegakkan berdasarkan atas adanya temuan klinis dan pemeriksaan
sediaan langsung dan biakan.4
3
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Pada pemeriksaan mikroskopik Piedra hitam dengan larutan KOH, tampak benjolan-
benjolan terpisah yang terdiri atas anyaman padat hifa berwarna coklat hitam, tersusun regular
dalam substasi seperti semen.4 Di bagian tepi dapat ditemukan artrokonidia berdiameter 4-
8µm, dan ditengah dapat ditemukan askus yang berisi 8 askospora berbentuk fusiformis.4
Pada Piedra putih, benjolan cenderung menyatu, terdiri atas anyaman hifa yang tersusun
kurang regular, dan membentuk massa seperti gelatin menyelubungi rambut.4 Benjolan Piedra
putih kadang memberikan fluoresensi pada pemeriksaan dengan lampu Wood.4
Diagnosis Banding :
Piedra perlu dibedakan dengan pediculosis, trikomikosis aksilaris dan juga tinea capitis.
Dan juga pertimbangkan kemungkinan adanya monilethrix.3
Tatalaksana :
Mencukur rambut yang terinfeksi adalah salah satu cara pengobatan terbaik untuk
Piedra hitam dan putih.3 Namun pendekatan ini harus disertai dengan pemberian azole topikal.3
Karena tingkat kekambuhan yang tinggi, serta bukti untuk organisme intrafollicular pada
piedra putih, beberapa menganjurkan penggunaan agen antijamur sistemik seperti itrakonazol.3

2.1.2 Folikulitis Malassezia


Definisi :
Folikulitis Malassezia adalah penyakit kronis pada folikel pilosebasea yang disebabkan
oleh jamur Malassezia spp., berupa papul dan pustule folikular, yang biasanya gatal dan
terutama berlokasi di batang tubuh, leher, dan lengan bagian atas.5 Kelainan ini sering salah di
diagnosis sebagai akne vulgaris.5
Epidemiologi :
Kelainan ini biasanya mengenai dewasa muda sampai usia pertengahan, dan lebih
banyak ditemui di daerah tropis, mungkin karena kelembapan tinggi dan suhu panas, tetapi
juga dilaporkan pada daerah beriklim dingin saat musim panas.5
Etiopatogenesis :
Jamur penyebab adalah spesies Malassezia, yang merupakan flora normal kulit, bersifat
lipofilik.5 Dilaporkan bahwa spesies predominan ditemukan pada lesi adalah M.globosa dan
M.Sympoidalis, meskipun peneliti lain menemukan juga M.Restricta.5
Bila pada hospes terdapat faktor predisposisi, spesies Malassezia tumbuh berlebihan
dalam folikel sehingga folikel dapat pecah, menyebabkan reaksi peradangan terhadap lemak
bebas yang dihasilkan lipase jamur dan memberikan gambaran klinis folikulitis.5
Faktor predisposisi antara lain adalah suhu dan kelembapan udara yang tinggi,
hyperhidrosis, pakaian oklusif, penggunaan bahan-bahan berlemak untuk pelembab badan
yang berlebihan, penggunaan antibiotic (sering pada akne vulgaris), kortikosteroid

4
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
lokal/sistemik, sitostatik dan penyakit serta keadaan tertentu, misalnya : diabetes mellitus,
keganasan, kehamilan, keadaan imunokompromais dan Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS), serta sindrom Down.5
Gambaran Klinis :
Folikulitis Malassezia memberikan keluhan gatal pada tempat predileksi.5 Klinis
morfologi terlihat papul dan pustule perifolikular berukuran 2-3mm diameter, dengan
peradangan minimal.5 Tempat predileksi adalah dada, punggung dan lengan atas. Kadang-
kadang dapat di leher dan jarang di wajah.5

Gambar 1.a. Folikulitis Malassezia pada bagian dada depan. Tampak lesi papul dan pustul.6
1.b. Histopatologi menunjukkan bentuk ragi dalam infundibulum folikel dgn pewarnaan
hematoxylin dan eosin.6
Diagnosis :
Diagnosis berdasarkan keluhan gatal dan lokasi serta morfologi lesi, dikonfirmasi
dengan menemukan kelompokan sel ragi dan spora bulat atau blastospora Malassezia pada
pemeriksaan isi folikel yang dikeluarkan dengan ekstrator komedo.5 Pemeriksaan dilakukan
dengan larutan KOH dan tinta Parker biru hitam.5 Mengingat Malassezia spp. merupakan flora
normal kulit, Jacinto-Jamora menambahkan kriteria yakni dianggap folikulitis Malassezia jika
temuan jumlah organisme lebih dari ≥3+; yakni lebih dari 2-6 spora dalam kelompok atau 3-
12 spora tunggal tersebar.5
Diagnosis Banding :
Diagnosis banding utama adalah akne vulgaris, selain folikulitis bakterial, erupsi
akneiformis, dan folikulitis eosinofilik.5 Pada akne vulgaris, ditemukan banyak komedo, dan
umumnya tidak gatal.5
Tatalaksana :
Pengobatan first line Malassezia folikulitis dengan menggunakan antifungal topikal dan
keratolitik (propylene glycol) dan pengobatan second line menggunakan itraconazole oral.7
Dapat juga digunakan antimikotik oral, misalnya :

5
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Ketokonazole 200g/hari selama 4 minggu, Itrakonazole 200g/hari selama 2 minggu,
Flukonazol 150g seminggu selama 4 minggu.5
Prognosis :
Secara umum prognosis baik, tetapi jika faktor predisposisi tidak dapat di hilangkan
maka akan bersifat kambuhan.5

2.1.3 Pitiriasis Versikolor


Definisi :
Infeksi superfisial kronik yang disebabkan oleh ragi genus Malassezia, umumnya tidak
memberikan gejala subyektif, ditandai oleh area depigmentasi atau diskolorasi berskuama
halus, tersebar diskret atau konfluen dan terutama terdapat pada badan bagian atas.8
Epidemiologi :
PV merupakan penyakit universal, terutama ditemukan di daerah tropis.8 Tidak terdapat
perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia,
yakni ditemukan pada remaja dan dewasa muda, jarang pada anak dan orang tua.8 Di Indonesia,
kelainan ini merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan diantara berbagai penyakit kulit
akibat jamur.8
Etiologi :
PV disebabkan oleh Malassezia spp., ragi bersifat lipofilik yang merupakan flora
normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa. 8
Dahulu ragi ini digolongkan sebagai genus Pityrosporum (terdiri atas Pityrosporum ovale dan
Pityrosporum orbiculare), tetapi kemudian mengalami reklasifikasi sebagai genus Malassezia.8
Berdasarkan analisis genetic, diidentifikasi 6 spesies lipolifik pada kulit pada kulit
manusia yakni M.furfur, M.sympodialis, M.glabosa, M.restricta, M.slooffiae, M.obtusa; dan
satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit hewan, M.pachydermatis.8
Selanjutnya dilaporkan spesies lain: M.dermatis, M.yaponica, M.nana, M.caprae, M.equine.8
Sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak berkolonisasi pada area yang kaya sekresi kelenjar
sebasea.8 Beberapa studi terpisah menunjukkan bahwa M.globosa banyak berhubungan dengan
PV, tetapi studi lain menunjukkan bahwa M.sympoidalis dan M.furfur yang predominan pada
PV.8
Patogenesis :
Malassezia spp., yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk
miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV.8 Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga
dapat menyebabkan perubahan tersebut berupa suhu, kelembapan lingkungan yang tinggi dan
tegangan CO2 tinggi, permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hyperhidrosis, kondisi
immunosupresif, dan malnutrisi.8
Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan warna pada lesi kulit
yakni Malassezia sp., memproduksi asam dekarboksilat (antara lain asam azaleat) yang
mengganggu pembentukan pigmen melanin, dan memproduksi metabolit (pityriacitrin) yang
mempunyai kemampuan absorbsi sinar UV sehingga menyebabkan lesi hiperpigmentasi.8
6
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Mekanisme terjadinya hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menunjukan pada
pemeriksaan mikroskop electron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal.8
Lapisan keratin yang lebih tebal dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.8
Gambaran Klinis :
Lesi PV terutama terdapat pada bagian atas, leher, perut, ekstremitas sisi proksimal.
Kadang ditemukan pada wajah, dan scalp; dapat juga ditemukan pada aksila, lipat paha, dan
genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan
kadang eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus (pitiriasiformis).
Umumnya tidak disertai gejala subyektif, hanya berupa keluhan kosmetis, meskipun kadang
ada pruritus ringan.

Gambar 1. Pitiriasis Versikolor.


(a).Tampak lesi lebih gelap karena hiperemis dan peningkatan melanin. (b).Makula
hipopigmentasi berbentuk uniform dengan skuama halus dan dapat dengan mudah dikikis
dengan kaca objek. (c).Makula berwarna seperti salmon dengan skuama yang bergabung
membentuk lesi lebih besar. (d).Skuama halus yang terlihat6

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi kekuningan akibat
metabolit asam dekarboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk lesi PV dan mendeteksi
sebaran lokasi lesi.8 Perlu diwaspadai hasil pemeriksaan fluoresensi positif palsu yang antara
7
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
lain daoat karena penggunaan salep yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin.8 Hasil
negative palsu dapat terjadi pada orang yang rajin mandi.8
Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menunjukkan kumpulan
hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval.8 Gambaran demikian menyebabkan sebutan serupa
‘spaghetti and meatballs’ and ‘bananas and grapes’.8 Sediaan diambil dengan kerokan ringan
kulit menggunakan scalpel atau dengan merekatkan selotip.8 Pemeriksaan dengan
menggunakan larutan KOH 20%, dan dapat ditambahkan sedikit tinta biru-hitam untuk
memperjelas elemen jamur.8

Gambar 2.Pemeriksaan KOH pada kerokan kulit pada penderita PV. Tampak gambaran
spaghetti and meatball.9
Diagnosis :
Dugaan diagnosis PV jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di daerah predileksi
berupa makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan, sampai dengan hitam, yang
berskuama halus.8 Pemeriksaan dengan lampu Wood untuk melihat fluoresensi kuning keemas
an akan membantu diagnosis klinis.8 Konfirmasi diagnosis dengan didapatkannya hasil positif
pada pemeriksaan mikologis kerokan kulit.8
Diagnosis Banding :
Pitiriasis alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroik, pityriasis rosea, morbus Hansen
tipe tuberkuloid, dan tinea.8
Tatalaksana :
Mengidentifikasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat dihindari
merupakan hal yang penting dalam tatalaksana PV selain terapi.8 Terapi dapat menggunakan
terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa pertimbangan, antara lain luas lesi, biaya,
kepatuhan pasien, kontra indikasi dan efek samping.8
Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain selenium sulfide bentuk sampo 1,8%
atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan tiap hari selama 15-30 menit dan kemudian dibilas.8
Aplikasi yang dibiarkan sepanjang malam dengan frekuensi 2 kali seminggu juga dapat
digunakan, dengan perhatian akan kemungkinan reaksi iritasi.8 Pengolesan dianjurkan

8
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
diseluruh badan selain kepala dan genitalia.8 Ketokonazol 2% bentuk sampo juga dapat
digunakan serupa dengan sampo selenium sulfid.8 Alternatif lain adalah solusio natrium
hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%.8 Untuk lesi terbatas, berbagai krim derivate azol
misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol, dan ekonazol dapat digunakan; demikian pula
krim tolsiklat, tolnaftate, siklopiroksolamin, dan haloprogin.8 Obat topikal sebaiknya
diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan dengan lampu Wood dan pemeriksaan
mikologis langsung kerokan kulit negative.8
Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan terapi
topikal, antara lain dengan ketokonazol 200mg/hari selama 5-10 hari atau itrakonazol
200mg/hari selama 5-7 hari.8
Pengobatan rumatan (maintenance) dipertimbangkan untuk menghindari kambuhan
pada pasien yang sulit menghindari faktor predisposisi; antara lain dengan sampo selenium
sulfide secara periodis atau dengan obat sistemik ketokonazol 400mg sekali setiap bulan atau
200mg sehari selama 3 hari tiap bulan.8
Prognosis :
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta faktor
predisposisi dapat di hindari.8 Lesi hipopigmentasi dapat bertahan sampai beberapa bulan
setelah jamur negatif.8

2.1.4 Tinea Nigra Palmaris


Definisi :
Tinea nigra adalah infeksi jamur superfisial yang asimptomatik pada stratum korneum,
yang disebabkan oleh dematiaceous, berpigmen gelap, disebabkan oleh Hortaea werneckii
(sebelumnya bernama Phaeoannellomyces werneckii dan Exophiala werneckii).10 Biasanya
pada telapak tangan, walaupun telapak kaki dan permukaan kulit lain dapat terkena. Kelainan
kulit berupa makula cokelat sampai hitam.10
Epidemiologi :
Penyakit terdapat sporadic, di daerah tropis dan subtropics, terutama Amerika Selatan
dan Tengah, Afrika dan Asia termasuk di Indonesia, kadang-kadang ditemukan di Amerika
Serikat dan Eropa.11 Penularan orang ke orang jarang terjadi. Tinea nigra memiliki predileksi
wanita disbanding laki-laki 3: 1.11
Etiopatogenesis :
Organisme penyebab adalah jamur dematiaceae atau jamur berpigmen hitam-Hortaea
werneckii atau Cladosporium werneckii ( yang dulu disebut yang biasa hidup di tanah, saluran
pembuangan air, dan tanaman busuk.11 Infeksi timbul akibat inokulasi jamur setelah trauma,
dengan masa inkubasi 2-7 minggu.11 Penularan dari orang lain jarang terjadi.11 Tidak ada
faktor predisposisi.1

9
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gejala Klinis :

Tinea nigra ditemukan pada orang sehat dan biasanya asimptomatik, bintik
kecokelatan sampai makula hijau kehitaman atau patch minimal pada telapak tangan atau
telapak kaki.10 Kelainan kulit umunya di telapak tangan, meskipun juga dapat ditelapak kaki
dan permukaan kulit kakinya, berupa macula cokelat hitam yang berbatas tegas, tidak bersisik.
Sangat jarang ditemui lesi bersisik.10 Makula tergelap diperbatasan.10 Karena warnanya dan
lokasinya pada telapak tangan dan telapak kaki, tinea nigra sering salah didiagnosis sebagai
lentiginous acral melanoma.10 Penderita umunya berusia muda dibawah 19 tahun dan
penyakitnya langsung berlangsung kronik sehingga dapat dilihat pada orang dewasa diatas 19
tahun.10 Perbandingan penderita wanita 3x lebih banyak daripada pria.10 Faktor- faktor
predisposisi penyakit belum diketahui kecuali hyperhidrosis dan tidak ada hubungan dengan
gangguan respon imun. 10

Gambar 1. Tinea Nigra Palmaris. Lesi makula hitam kecoklatan irregular pada telapak
tangan disebabkan Phaeoannollomyces werneckii.10

Pemeriksaan Penunjang :
Kerokan lesi untuk pemeriksaan mikroskopik dengan larutan KOH menunjukkan hifa
coklat atau kehijauan dan sel ragi.12
Diagnosis :

10
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan kerokan kulit dan
biakan. Pada pemeriksaan sedian langsung dalam larutan KOH jamur terlihat sebagi hifa
bercabang, bersekat ukuran sampai 5 μm, bewarna cokelat muda sampai hijau tua di sepanjang
dengan sel ragi berbentuk oval hingga spindel yang terjadi secara tunggal atau berpasangan
dengan septum transversal sentral.10
Biakan pada agar Sabaouraud (suhu kamar) menghasilkan koloni yang tampak sebagai
koloni yang semua menyerupai ragi dan koloni filament bewarna hijau tua atau hitam. Kultur
dilakukan pada SDA dengan cycloheximide dan kloramfenikol tumbuh dalam 1 minggu.
Koloni itu awalnya seperti ragi dengan warna coklat sampai hitam mengkilap dan muncul
sebagai bentuk ragi 2-sel khas di bawah pemeriksaan mikroskopis. Seiring waktu,
pertumbuhan miselia mendominasi membuat koloni hitam keabu-abuan. 10
Diagnosis Banding :

Tinea nigra dapat menyerupai nevus junctional, dermatitis kontak, kulit yang terkena
zat kimia, pigementasi pada penyakit Addison, sifilis, pinta dan melanoma.10
Tatalaksana :
Tinea nigra dapat diobati dengan obat-obat antijamur konvensional dan kombinasi
bahan antijamur dengan keratolitik, misalnya salep salisil sulfur, Whitfield, dan tinctura jodii,
selain dengan antijamur topical golongan azol. Pengobatan harus dilanjutkan selama 2 hingga
4 minggu setelah resolusi klinis untuk mencegah kekambuhan. Meskipun ketoconazole oral,
itrakonazol, dan terbinafin juga efektif, terapi sistemik jarang diindikasikan. 10
Prognosis :
Tinea Nigra Palmaris merupakan asimptomatik sehingga tidak memberikan
keluhan kecuali keluhan estetik, kalau tidak diobati penyakit akan menjadi kronik.11

2.2 Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur
dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum dan menghasilkan
gejala melalui aktivasi respon imun pejamu. Sinonim dari dermatofitosis adalah tinea,
ringworm, kurap, dan herpes sirsinata.13
Etiologi :
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur
ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang
terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat
11
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
keratofilik masih banyak sifat yang sama diantara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis,
antigenic, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.13
Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies
Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Telah juga ditemukan
bentuk sempurna (perfect stage) pada spesies dermatofita tersebut. Adanya bentuk sempurna
yang terbentuk oleh dua koloni yang berlainan “jenis kelaminnya” ini menyebabkan
dermatofita dapat dimasukkan ke dalam family Gymnoascaceae. Dari beberapa spesies
dermatofita, misalnya genus Nannizzia dan Arthroderma masing-masing dihubungkan dengan
genus Microsporum dan Trichophyton.13
Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang menginfeksi manusia
dibagi berdasarkan tempat hidupnya, yaitu geofilik untuk jamur yang berasal dari tanah antara
lain M.Gypseum; golongan zoofilik berasal dari hewan, misalnya M.Canis; antropofilik khusus
untuk jamur yang bersumber dari manusia contohnya T.rubrum.13
Klasifikasi :
Terdapat berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, hal ini bergantung pada
spesies penyebab, ukuran inoculum jamur, bagian tubuh yang terkena, dan system imun
pejamu. Selanjutnya untuk kemudahan diagnosis dan tatalaksana maka dermatofitosis dibagi
menjadi beberapa bentuk, yaitu :13
- Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
- Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitocrural, sekitar anus, bokong dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah
- Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
- Tinea korporis, dermatofitosis pada kulit glabrosa pada bagian lain yang tidak termasuk
bentuk 5 tinea diatas. 13

Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus yaitu :
- Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan
disebabkan Trichophyton concentricum
- Tinea favosa atau favus : dermatofitosis yang terutama disebabkan Trichophyton
schoenleini : secara klinis antara lain terbentuk scutula dan berbagai seperti tikus
(mousy odor)
- Tinea fasialis, tinea aksilaris, juga menunjukkan daerah kelainan
- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis
Keempat istilah tersebut dapat dianggap sebagai tinea korporis. Selain itu, dikenal
istilah incognito, yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh
karena telah diobati dengan steroid topikal kuat. 13

12
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
2.2.1 Tinea Kapitis
Definisi :
Tinea kapitis menggambarkan infeksi dermatofit pada rambut dan kulit kepala yang
biasanya disebabkan oleh spesies Trichophyton dan Microsporum, dengan pengecualian
Trichophyton concentricum.14 Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-
merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut
kerion.15
Epidemiologi :
Tinea kapitis paling sering diamati pada anak-anak antara usia 3-14 tahun. Efek
fungistatic dari asam lemak dalam sebum dapat membantu menjelaskan mengapa terjadi
penurunan angka kejadian tinea kapitis pada masa setelah pubertas.14 Tinea capitis banyak
dijumpai pada anak-anak keturunan Afrika. Transmisi meningkat dengan adanya personal
hygiene yang buruk, kepadatan penduduk, dan rendahnya status social ekonomi.14
Klasifikasi :
a) Grey patch ringworm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum
dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit dimulai dengan papul merah kecil
disekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan
bersisik. Keluhan penderita merasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan terlepas
dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di
daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.
Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch yang batasnya tidak jelas/tidak pasti.15
Pemeriksaan menggunakan lampu Wood terlihat fluoresensi hijau kekuning-
kuningan pada rambut yang sakit melampaui batas-batas grey patch tersebut. Pada
kasus yang tidak disertai dengan keluhan, pemeriksaan dengan lampu Wood sangat
membantu diagnosis. Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum audouini
biasanya disertai peradangan ringan, hanya sekali-sekali dapat terbentuk kerion.15

13
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 1.Tinea Kapitis tipe “grey patch”. Plak bulat hiperkeratotik disertai dengan alopesia
karena kerusakan dari batang rambut. Batang rambut yang masih utuh memberikan
fluoresensi kuning kehijauan pada pemeriksaan lampu Wood. Dari pemeriksaan kultur
didapatkan Microsporum canis.14
b) Kerion
Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan menyerupai
sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila penyebabnya
Microsporum canis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering
dilihat, jarang pada Trichophyton tonsurans, dan Trichophyton violaceum. Kelainan ini
dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut
yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk.15

Gambar 2.Tinea kapitis disebabkan oleh Microsporum canis. Tampak adanya alopesia,
papul, pustule, dan nodul.14

14
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
c) Black dot ringworm
Terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum.
Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan
oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel,
dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam
didalam folikel ini memberikan gambaran khas yaitu black dot. Ujung rambut yang
patah, kalua tumbuh kadang-kadang masuk kebawah permukaan kulit.15

Gambar 3.”Black dot” pada tinea kapitis disebabkan oleh Trichophyton


tonsurans.14
Diagnosis Banding :
Diagnosis banding pada Tinea Kapitis antara lain adalah dermatitis seboroik, dermatitis
kontak, psoriasis plak/ pustular, dermatitis atopic, pioderma, liken planopilaris, selulitis
pada kulit kepala.14

2.2.2 Tinea Unguium

Definisi :
Kelainan kuku yang disebabkan jamur dermatofita.

Klasifikasi:
a) Bentuk subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke
proksimal dan dibawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan
terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku
yang rapuh menyerupai kapur.15

15
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 1.Tinea Unguium tipe subungual distalis. Terjadi diskolorasi, penebalan dan
debris subungual pada bagian distal kuku jari kaki.16

b) Leukonikia trikofita atau lekonikia mitotika


Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di
permukaan kuku yang dapat di kerok, untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan
ini dihubungkan dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya.15

Gambar 2. Tipe Superfisial putih. Terdapat plak putih irregular pada berbagai bagian plate kuku.16

c) Bentuk subungual proksimalis


Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku
dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal masih
utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Biasanya penderita tinea unguium mempunyai
dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih
sering diserang daripada kuku tangan.15

Gambar 3.Tipe Subungual Proksimalis. Terjadi diskolorasi dan penebalan kuku proksimal
pada pasien dengan AIDS.16

Diagnosis Banding :
Diagnosis banding tinea unguium antara lain psoriasis, liken planus, trauma, dan
onikogriposis.

16
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
2.2.3 Tinea Pedis
Definisi :
Dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki.15

Klasifikasi :
a) Bentuk Interdigitalis
Diantara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.
Kelainan ini dapat meluas dibawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh
karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa
kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat
kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat
berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan
sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri
sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi erisipelas yang
disertai gejala-gejala umum.15

Gambar 1.Tipe Interdigital. Pada tipe interdigital terlihat maserasi dengan skuama warna
putih dan erosi.17

b) Bentuk Moccasin Foot


Pada seluruh kaki, dari telapak tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal
dan bersisik, eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
Bersifat kronik dan sering resisten pada pengobatan. Di bagian tepi lesi dapat pula
dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.15

Gambar 2. Tipe mokasin. Eritema dan skuama distribusi di kaki.17

c) Bentuk Subakut
Dapat terlihat vesikel, vesikulo-pustul, dan kadang-kadang bula. Kelainan ini
dapat dimulai pada daerah selain jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak
kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut
meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret, infeksi sekunder
oleh bakteri juga dapat terjadi pada bentuk ini. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel.
17
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Untuk menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa secara
sediaan langsung atau untuk dibiak.15

Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari
banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan
kaki yang selalu atau sering basah. Penderita biasanya orang dewasa.15

Gambar 3.Tipe bulosa. Bula yang rupture, dengan erosi dan eritema pada plantar jempol
kaki. Didapatkan hifa pada kerokan kulit dengan menggunakan pemeriksaan KOH 10%.17

Gambar 4.Tinea pedis dan manus. Karakteristik “Dua kaki satu tangan” menunjukkan
Trichophyton rubrum. Skuama pada tangan kanan di garis tangan.17

Diagnosis Banding :
Diagnosis banding tinea pedis antara lain erosion interdigitalis blastomycetica,
eritrasma, koinfeksi bakteri, dishidrosis, psoriasis, dermatitis kontak, dermatitis atopic,
psoriasis pustular, bakteri pioderma, scabies.17

2.2.4 Tinea Kruris


Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitocrural saja, atau meluas
ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau ke bagian tubuh yang lain.15
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan
pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk
yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak

18
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea kruris
merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.15

Gambar 1.Tinea Kruris. Plakat eritematosa anular dengan tepi berskuama dan meninggi dari
inguinal sampai ke paha dan daerah pubik.17

Diagnosis Banding :
Diagnosis banding tinea kruris antara lain adalah eritrasma, kandidiasis kutan,
intertrigo, dermatitis kontak, psoriasis, dermatitis seboroik, liken simpleks kronik, folikulitis.17

2.2.4 Tinea Korporis

Definisi :
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous
skin).15
1) Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang disertai vesikel dan papul ditepi. Daerah tengahnya
biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi
pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit
dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi
kulit menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada
anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama
kali.15
2) Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya sudah tidak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan disertai dengan kelainan pada sela
paha. Kelainan ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.
Bentuk menahun yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-
sama dengan tinea unguium.15
3) Bentuk khas tinea corporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea
imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-
lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan
melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah sehingga
terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba
dari bagian tengah ke bagian luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam.
Lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan
lingkaran-lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada
permulaan infeksi penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang menahun
tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun, lesi kulit kadang-kadang

19
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
dapat menyerupai iktiosis, Kulit kepala penderita dapat terserang, akan tetapi rambut
biasanya tidak.15
4) Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa atau
favus. Penyakit ini biasanya dimulai dikepala sebagai titik kecil dibawah kulit yang
berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (scutula) dengan
berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila
krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak
berkilat lagi dan akhirnya terlepas, Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala
dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis, yang disebabkan oleh
jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil balik.15

Gambar 1. Tinea Favus disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Tampak scutula


kuning.17

Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada penderita favus. Kadang-kadang
penyakit ini dapat menyerupai dermatitis seboroika. Tinea favosa pada kulit dapat dilihat
sebagai kelainan papulovesikel dan papuloskuamosa disertai dengan kelainan kulit
berbentuk cawan yang khas, yang kemudian menjadi jaringan parut. Favus pada kuku tidak
dapat dibedakan dengan tinea unguium pada umumnya. Tiga spesies dermatofita yang
menyebabkan favus, antara lain Trichophyton schoenleini, Trichophyton violaceum, dan
Microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak, tidak bergantung pada
spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan,
umur dan ketahanan penderita sendiri.15

20
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 2.Tinea korporis a)Annular. Tinea korporis menunjukkan gambaran klasik annular
atau cincin cacing konfigurasi dan tepi yang meninggi eritematosa dan berskuama.
b)Polisiklik. Tinea korporis dengan multiple polisiklik plakat eritematosa dengan tepi
meninggi berskuama. c)Psoriasiform. Tinea korporis yang mirip dengan psoriasis.17

Gambar 3. Majocchi’s granuloma. Papul folikular dan nodul dengan skuama membentuk
plakat annular pada kaki yang diberikan kortikosteroid topikal.17

Diagnosis Banding :
Diagnosis banding tinea korporis antara lain eczema nummular, psoriasis, tinea
versicolor, lupus eritematosus kutan subakut, kandidiasis kutan.17

2.2.5 Tinea Barbe


Terutama terjadi pada laki-laki. Insiden tinea barbe telah menurun karena perbaikan
sanitasi telah mengurangi transmisi oleh pisau cukur yang terkontaminasi.17
Paling sering disebabkan oleh zoophilic strains dari T.interdigitale (former
T.mentagrophytesvar, mentagrophytes), T.verrucosum, dan yang kurang M.canis. Tinea barbe
mengenai wajah secara unilateral dan melibatkan area jenggot lebih sering daripada kumis atau
bibir atas.
Tinea barbe dibagi menjadi 2 tipe :
a) Tipe superfisial : disebabkan oleh Anthropophiles seperti T.violaceum, bentuk tinea barbe
ini kurang inflamasi dan menyerupai tinea corporis atau folikulitis bakteri. Perbatasan aktif
menunjukkan papula perifolikular dan pustule disertai eritema ringan.
b) Tipe inflamasi : biasanya disebabkan oleh T.interdigitale atau T.verrucosum, inflamasi
tinea barbe adalah presentasi klinis yang paling umum menyajikan pembentukan kerion
analog pada tinea capitis dengan boggy-crusted plaques and a seropurulent discharge.
Rambut tidak berkilat, rapuh, dan mudah dicabut untuk menunjukkan massa purulent
disekitar akar.17

Diagnosis banding :
Folikulitis bakteri, pseudofolikulitis barbe, akne vulgaris, rosasea, dermatitis kontak,
dermatitis perioral, folikulitis candida.17

21
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 1.Tinea barbe a) Tipe superfisial papul folikular, pustule, dan nodul. b) Tipe kerion,
nodul edema eritematosa dengan pustule multiple.17
Penunjang Diagnosis secara umum :
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk dermatofitosis yaitu pemeriksaan
mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan
basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang
dan imunologik tidak diperlukan.15
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang
dapat berupa kerokan kulit, rambut dan kuku. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil
dan dikumpulkan sebagai berikut : terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus
70%, kemudian untuk :
• Kulit tidak berambut (glaborous skin) dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian
sedikit diluar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril
• Kulit berambut, rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan; kulit di
daerah tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kelit, pemeriksaan dengan lampu
Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah
yang terkena infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-kasus tinea
kapitis tertentu
• Kuku, bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya
sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku diambil pula.15

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan


pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran
10x100 biasanya tidak diperlukan. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas
alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan
rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan
KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat
proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai
keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan
terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen
jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker
superchroom blue black.15

22
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi
oleh sekat, bercabang maupun spora berderet (artospora) pada kelainan kulit lama dan atau
sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar
(makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ekrotriks) atau di dalam rambut (endotriks).
Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.15
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung
sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini
adalah medium agar dekstrosa Saboraoud.15

Diagnosis banding secara keseluruhan:


Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak
jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Adanya vesikel-vesikel steril pada
jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat merupakan reaksi id, yaitu akibat setempat hasil
reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang berada di lokasi lain. Efek samping obat topical
juga dapat memberi gambaran serupa yang menyerupai eksim atau dermatitis, sehingga perlu
dipikirkan adanya dermatitis kontak. Pada hyperhidrosis terlihat kulit mengelupas atau
maserasi. Kalau hanya terlihat vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam dan terbatas pada
telapak kaki dan tangan. Kelainan tidak meluas sampai di sela-sela jari.15
Penyakit lain yang harus mendapat perhatian adalah kandidosis (erosi interdigitalis
blastomisetika), membedakannya dengan tinea pedis murni kadang-kadang agak sulit. Infeksi
sekunder dengan spesies Candida atau bakteri lain juga sering mnyertai tinea pedis, sehingga
pemeriksaan laboratorium dan interpretasi bijaksana diperlukan untuk membedakan satu
dengan yang lain.15
Sifilis II dapat berupa kelainan kulit di telapak tangan dan kaki. Lesi yang merah dan
basah dapat merupakan petunjuk. Dalam hal ini umumnya akan terdapat tanda-tanda lain sifilis.
Tinea unguium yang disebabkan macam0macam dermatofita memberikan gambaran akhir
yang sama berupa kuku distrofik.15
Psoriasis yang menyerang kuku pun berakhir dengan kelainan yang sama. Lekukan-
lekukan pada kuku (nail pits), ang terlihat pada psoriasis tidak didapati pada tinea unguium.
Lesi-lesi psoriasis pada bagian lain badan dapat menolong membedakannya dengan tinea
unguium. Banyak penyakit kulit yang menyerang bagian dorsal jari-jari tangan dan kaki dapat
menyebabkan kelainan yang berakhir dengan distrofi kuku, misalnya : paronikia, dermatitis,
akrodermatitis perstans.15
Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya,
namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosis itu, misalnya dermatitis
seboroika, psoriasis dan pityriasis rosea. Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat
menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya
dikulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan
sebagainya.15
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah
ekstensor, misalnya lutut, siku, punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena pada
penyakit ini. Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat menolong menegakkan diagnosis.
Pitiriasis rosea yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian
proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat
membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
memastikan diagnosisnya. Tinea korporis kadang-kadang sukar dibedakan dengan dermatitis
23
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
seboroika pada sela paha. Lesi-lesi di tempat-tempat predileksi sangat menolong menentukan
diagnosis.15
Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi-lesi pada psoriasis
biasanya lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Kandidosis pada daerah lipat paha
mempunyai konfigurasi hen and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada
wanita ada tidaknya fluor albus dapat membantu pengarahan diagnosis. Pada penderita-
penderita diabetes melitus, kandidosis merupakan penyakit yang sering dijumpai.15
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokasi di sela paha. Efloresensi yang
sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini.
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah (coral
red). 15
Tinea barbe kadang-kadang sukar dibedakan dengan sikosis barbe, yang disebabkan
oleh piokokus. Pemeriksaan sediaan langsung dapat membedakan kedua penyakit ini.15
Berbagai kelainan pada kulit kepala berambut harus dibedakan dengan tinea kapitis.
Pada umumnya pemeriksaan dengan lampu Wood pada kasus-kasus tertentu dan pemeriksaan
langsung bahan klinis dapat menentukan diagnosis. Pada alopesia areata rambut dibagian
pinggir kelainan mula-mula mudah dicabut dari folikel, akan tetapi pangkal yang patah tidak
nampak. Pada kelainan ini juga tidak terdapat skuama. Bercak-bercak seboroika pada kulit
kepala yang berambut kadang-kadang membingungkan. Biasanya lesi dermatitis seboroika
pada kulit kepala lebih merata. Dermatitis seboroika biasanya mempunyai lesi-lesi kulit yang
simetris distribusinya. Psoriasis pada kulit kepala berambut biasanya disertai kelainan-kelainan
ditempat lain yang memberi pengarahan diagnosis yang baik.15
Impetigo yang menyertai pedikulosis kapitis menimbulkan kelainan yang kotor dan
berkrusta, tanpa rambut yang putus. Kerion kadang-kadang sukar dibedakan dengan karbunkel,
walaupun tidak begitu nyeri. Trikotilomania merupakan kelainan berupa rambut putus tidak
tepat pada kulit kepala, daerah kelainan tidak pernah botak seluruhnya dan batas kelainan tidak
tegas. Pada orang dewasa, lupus eritematosus dan bentuk-bentuk alopesia yang menimbulkan
sikatriks (pseudopelade Brocq) memerlukan pemeriksaan lebih lengkap untuk
membedakannya dengan favus. Pemeriksaan dengan lampu Wood menunjukkan fluoresensi
pada rambut yang terserang oleh favus.15

Pengobatan secara umum :


Tersedia bermacam pengobatan topikal maupun sistemik untuk berbagai tipe
dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi dermatofita ke dalam folikel rambut, maka infeksi
yang mengenai daerah berambut memerlukan pengobatan oral. Selama ini pengobatan standar
untuk tinea kapitis di AS adalah griseofulvin, sedangkan golongan trizol dan alilamin
menunjukkan keamanan, efikasi dan manfaat lebih karena penggunaannya yang memerlukan
waktu singkat, namun semenjak tahun 2007, terbinafin juga direkomendasi untuk pengobatan
tinea kapitis pada anak berusia diatas 4 tahun khususnya yang disebabkan T.tonsurans.15
Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk
fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5g untuk
anak0anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Diberikan 1-2x sehari, lama pengobatan bergantung
pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh
klinis pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu. Untuk mempercepat waktu penyembuhan,
kadang-kadang diperlukan tindakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan.15
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah
sefalgia, dizziness dan insomnia. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestivus ialah nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat
mengganggu fungsi hepar.15

24
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketoconazole yang bersifat
fungistatic. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut
sebanyak 200mg/hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketoconazole
merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.15
Sebagai pengganti ketoconazole yag mempunyai sifat hepatotoksik terutama bila
diberikan lebih dari 10 hari, dapat diberikan suatu obat triazole yaitu itrakonazol yang
merupakan pilihan yang baik. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lender
oleh penyakit jamur biasanya cukup 2x100-200mg sehari dalam kapsul selama 3 hari. Khusus
untuk onikomikosis dikenal sebagai dosis denyut selama 3 bulan. Cara pemberiannya sebagai
berikut, diberikan 3 tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap selama 1 minggu dengan dosis
2x200mg sehari dalam kapsul.15
Hasil pemberian itrakonazol dosis denyut untuk onikomikosis hampir sama dengan
pemberian terbinafin 250mg sehari selama 3 bulan. Kelebihan itrakonazol terhadap terbinafine
adalah efektif terhadap onikomikosis.15
Obat antijamur golongan azol dan golongan alilamin mengalami proses metabolism
oleh enzim sitokrom P450 sehingga dapat terjadi interaksi dengan berbagai obat lain yang
mengalami metabolisme oleh kelompok enzim yang sama, misalnya rifampisin, simetidin.15
Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin
selama 2-3minggu, dosisnya 6,25mg-250mg sehari bergantung pada berat badan.
Efek samping terbinafine ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang sering terjadi
adalah gangguan gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare,
konstipasi, umumnya ringan. Efek sasmping yang lain dapat berupa gangguan pengecapan,
presentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa
minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi
hepar dilaporkan pada 3,3-7% kasus. Interaksi obat dapat terjadi antara lain dengan
enmetideine dan ritompisin. 15

Tabel 1.Interaksi Obat yang menurunkan kadar obat triazol dalam darah

CYP Induser Flukonazol Itrakonazol Vorikonazol Posakonazol


Rifampisin + + + +
Fenitoin + + + +
Fenobarbital x + x x
Karbamazepin x + x x

(+) : Interaksi tercatat dalam studi klinis atau serial kasus

x : tidak ada data publikasi

Pada masa kini selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam salisilat 2-4%,
asam benzoate 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%, dikenal banyak obat
topikal baru. Obat-obat baru ini diantaranya tolnaftate 2%, tolsiklat, haloprogin, derivat-derivat
imidazole, siklopiroksolamin, dan naftifine masing-masing 1%. 15

25
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 1. Pengobatan dermatofita.18

2.3 Kandidosis
Jamur Candida spp, terutama C.albicans pada manusia bersifat komensal dan dapat
berubah menjadi patogen pada kondisi daya tahan tubuh pejamu terhadap infeksi menurun;
local maupun sistemik. Infeksi candida dapat bersifat superfisial, lokal invasive maupun
diseminata.19

Definisi:
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh Candida spp, misalnya spesies
C.albicans. Infeksi dapat mengenai kulit, kuku, membrane mukosa, traktus gastrointestinal,
juga dapat menyebabkan kelainan sistemik.19

26
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Epidemiologi :
JamurnCandida ditemukan di seluruh lingkungan dan juga merupakan komensal umum
kulit manusia, orofaringeal, pernapasan, GI, dan mukosa genital. Kolonisasi kandida telah
dilaporkan dalam mukosa oral lebih dari 40% orang dewasa yang sehat, dengan tingkat
kejadian yang lebih tinggi pada wanita dan perokok. Setidaknya 15 dari lebih dari 200 spesies
Candida telah terlibat dalam penyakit manusia. Meskipun Candida albicans adalah spesies
Candida yang paling sering terlibat dalam kandidiasis mukokutan yang terlokalisasi, semakin
banyak spesies lain yang terlibat dalam penyakit mukokutan, termasuk Candida glabrata,
Candida krusei, Candida krusei, Candida parapsilosis, dan Candida dubliniensis. Selain itu,
walaupun albicans masih merupakan spesies tunggal yang paling umum, spesies non-albicans
secara kolektif sekarang menjadi penyebab sebagian besar kandidiasis invasif dan
kandidemia.20

Etiologi :
Jamur candida hidup sebagai saprofit, terutama terdapat di traktus gastrointestinal,
selain itu di vagina, uretra, kulit dan dibawah kuku. Dapat juga ditemukan di atmosfir, air, dan
tanah.19
Agen penyebab tersering untuk kelainan di kulit, genital dan mukosa oral adalah
C.albicans, sedangkan spesies non albicans yang sering menimbulkan kelainan adalah
C.dubliniensis, C.glabrata, C.guillermondii, C.Kr usei, C.lusitaniae. C.parapsilosis, C.
pesudotropicalis dan C.tropicalis.19

Klasifikasi :
Infeksi Candida dapat diklasifikasikan sebagai berikut :19
I. Kandidosis oral
a. Kandidosis oral (oral trush)
b. B. Perleche (keilitis angular atau kandidal keilosis)
II. Kandidosis kutis dan selaput lendir genital
a. Lokalisata
1. Daerah intertriginosa
2. Daerah perianal dan scrotal
b. Vulvovaginitis
c. Balanitis atau balanopostitis
d. Diaper candidosis
e. Kandidosis kutis granulomatosa
III. Paronikia candida dan Onikomikosis candida
IV. Kandidosis kongenital
V. Kandidosis mukokutan kronik
VI. Reaksi Id (kandidid)

Patogenesis :
Infeksi candida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi baik endogen maupun eksogen:19

a) Perubahan fisiologik : usia, kehamilan, dan haid


b) Faktor mekanik : trauma (luka bakar, aberasi), oklusi lokal, kelembaban, maserasi,
kegemukan
c) Faktor nutrisi : avitaminosis, defisiensi zat besi, malnutrisi
d) Penyakit sistemik : penyakit endokrin (misal : diabetes mellitus, sindroma Cushing),
Down Syndrome, acrodermatitis, enteropatika, uremia, keganasan, dan imunodefisiensi
27
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
e) Iatrogenik : penggunaan kateter, iradiasi sinar X, penggunaan obat-obatan (misal :
glukokortikoid, agen imunosupresi, antibiotika, dll)

Gejala Klinis :
2.3.1 Kandidosis Oral
a. Oral trush
Biasanya mengenai bayi, pasien terinfeksi HIV, AIDS. Tampak pseudomembran putih
colat muda kelabu yang menutup lidah, palatum mole, pipi bagian dalam, dan
permukaan rongga mulut yang lain. Lesi dapat terpisah-pisah, dan tampak seperti
kepala susu pada rongga mulut. Bila pseudomembran terlepas dari dasarnya tampak
daerah yang basah dan merah.19
b. Perleche
Lesi berupa fisur pada sudut mulut; lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah, dan
dasarnya eritematosa. Faktor predisposisinya antara lain adalah defisiensi riboflavin
dan kelainan gigi.19

Gambar 1. Kandidosis Oral.20

2.3.2 Kandidosis kutis dan selaput lendir genital


a. Lokalisata
1. Kandidosis intertriginosa
Lesi di daerah lipatan kulit ketiak, genitocrural, intergluteal, lipat payudara, interdigital,
dan umbilikus, serta lipatan kulit dinding perut berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan eritematosa.19
Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustule-pustul
kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah erosif, dengan pinggir yang kasar
dan berkembang seperti lesi primer.19

28
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 2. Kandidosis Intertriginosa.20

2. Kandidosis perianal
Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit ini menimbulkan
pruritus ani.19

b. Vulvovaginitis
Biasanya sering terdapat pada penderita diabetes mellitus karena kadar gula darah
dalam urin yang tinggi dan pada perubahan hormonal (kehamilan dan siklus haid).
Rekurensi dapat terjadi juga karena penggunaan cairan pembersih genital, antibiotic,
dan imunosupresi.19
Keluhan utama ialah gatal di daerah vulva. Pada yang berat terdapat pula rasa
panas, nyeri sesudah miksi, dan dyspareunia. Pada pemeriksaan yang ringan tampak
hyperemia pada labia minora, introitus vagina, dan vagina terutama bagian 1/3 bagian
bawah. Sering pula terdapat kelainan khas ialah bercak-bercak putih kekuningan.19
Pada kelainan yang berat juga terdapat edema pada labia minora dan ulkus-
ulkus yang dangkal pada labia minora dan sekitar introitus vagina. Fluor albus pada
kandidosis vagina berwarna kekuningan. Tanda yang khas ialah disertai gumpalan-
gumpalan sebagai kepala susu berwarna putih kekuningan.19

c. Balanitis atau balanopostitis


Faktor predisposisi adalah kontak seksual dengan pasangan yang menderita
vulvovaginitis, diabetes mellitus dan kondisi nonsirkumsisi. Lesi berupa erosi, pustula
dengan dindingnya yang tipis, terdapat pada glans penis dan sulkus koronarius
glandis.19

29
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 3. Balanoposthithis.20
d. Diaper-rash (Candidal diaper dermatitis)
Kelainan dipicu oleh adanya kolonisasi ragi di traktus gastrointestinal. Infeksi dapat
terjadi karena oklusi kronik area popok oleh popok yang basah. Lesi berawal dari area
perianal meluas ke perineum dan lipat inguinal berupa eritema cerah.19
e. Kandidosis kutis granulomatosa
Penyakit ini sering diderita menyerang anak-anak, lesi berupa papul kemerahan tertutup
krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya. Krusta ini
dapat menimbul seperti tanduk sepanjang 2cm, lokalisasinya sering terdapat dimuka,
kepala, kuku, badan, tungkai, dan laring.19

2.3.3 Paronikia kandida dan onikomikosis


Sering diderita oleh orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan air, bentuk
ini tersering didapat. Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah dan
nyeri di area paronikia disertai reaksi kutikula ke arah lipat kuku proksimal.
Kelainan kuku berupa onikolisis, terdapat lekukan transversal dan berwarna
kecoklatan.19
Penyebab onikomikosis kandidda umumnya adalah C.albicans dengan kelainan
dikuku berupa distrofi total menyerupai onikomikosis yang disebabkan oleh jamur
golongan dermatofita.19

30
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 4. Onikia kronik dan paronikia.20
2.3.4 Kandidosis kongenital
Ditemukan kelainan pada kulit dan selaput lender bayi baru lahir, lesi khas berupa
vesikel atau pustule dengan dasar eritematosa pada wajah, dada yang meluas
generalisata.19

2.3.5 Kandidosis mukokutan kronik (KMK)


Penyakit ini ditandai dengan sindrom klinis berupa infeksi kandida superfisial pada
kulit, kuku dan orofaring, berssifat kronis, dan resisten terhadap pengobatan. Pada
banyak kasus kelainan imunitas dapat spesifik pada system imun selular atau bersifat
global.19

Gambar 5. Kandidosis Mukokutan.20


2.3.6 Reaksi Id (kandidid)
Reaksi terjadi karena reaksi alergi terhadap jamur atau antigen lain yang terbentuk
selama proses inflamasi, klinisnya berupa vesikel eritematosa yang bergerombol,
terdapat pada lateral jari dan telapak tangan. Bila infeksi diobati, kelainan akan
menyembuh.19
Selain penggolongan diatas, terdapat bentuk yang tidak biasa, ditandai oleh
erupsi difus, berawal dari vesikel yang meluas dan konfluen di daerah badan dan
ekstremitas. Keluhan subyektif berupa pruritus terutama di daerah inguinal, anal, aksila,
sela jari tangan dan kaki.19

a) Kandidosis sistemik
Aspek klinis kandidosis sistemik sangat bervariasi, dapat berupa demam tanpa
manifestasi kelainan organ hingga sekumpulan gejala dan tanda termasuk sepsis
berat.19
b) Kandidosis diseminata
Kelainan dapat timbul antara lain akibat penyebaran hematogen Candida spp.
dari orofaring atau traktus gastrointestinal dengan barrier mukosa kompromis.
Lesi berupa papul eritem dengan pustule hemoragis di bagian tengah dibadan
dan ekstremitas.19

31
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 6. Kandidosis diseminata.20

Penunjang diagnosis :
1) Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 20% atau dengan
pewarnaan gram, terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.19
2) Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud, dapat
pula agar ini dibubuhi antibiotic (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37derajat celcius, koloni
tumbuh setelah 2-5 hari, berupa koloni mukoid putih.19

Diagnosis Banding :
Kandidosis kutis lokalisata dengan :
a. Eritrasma : lesi di lipatan, lesi lebih merah, batas tegas, kering tidak ada satelit,
pemeriksaan dengan lampu Wood positif
b. Dermatitis intertriginosa
c. Dermatofitosis (tinea) dll

Kandidosis kuku dengan tinea unguium


Kandidosis vulvovaginitis antara lain dengan :
a. Trikomonas vaginalis
b. Gonore akut

32
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Pengobatan :
Pengobatan infeksi candida bergantung pada spesies penyebab, sensitifitas terhadap
obat antijamur, lokasi infeksi, penyakit yang mendasari dan status imun pasien.19
1. Upayakan untuk menghindari atau menghilangkan faktor pencetus dan predisposisi
2. Pengobatan topikal untuk :
a. Selaput lendir
• Larutan ungu gentian 1/2 – 1% untuk selaput lendir, 1 – 2% untuk kulit,
dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari.
• nistatin : berupa krim, suspense (untuk kelainan kulit dan mukokutan)
• Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500mg per vaginam
dosis tunggal, sistemik bila perlu dapat diberikan ketoconazole 1x200mg
atau itrakonazol 2x200 mg dosis tunggal atau dengan fluconazole 150mg
dosis tunggal
b. Kelainan kulit
Grup azol antara lain :
• Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
• Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan, dank rim
• Tiokonazol, bufonazol, isokonazol
• Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
• Antimikotik yang lain yang berspektrum luas
3. Pengobatan sistemik :
Pengobatan ini diberikan untuk berbagai kelainan, antara lain kasus refrakter, kandida
diseminata, dan kandidosis mukokutan kronik. Flukonazol adalah lini pertama untuk
pasien non-neutropenik, dengan kandidemia atau kandidosis invasive (dosis 100-
400mg/hari). Pilihan lain adalah itraconazole dengan dosis haruan 200mg/hari atau
dosis denyut. 19

Prognosis :
Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.19

2.4 Mikosis Subkutan

Definisi :
Mikosis subkutan adalah infeksi jamur yang mengenai dermis atau jaringan subkutan
akibat penetrasi langsung, misalnya trauma, sering dihubungkan dengan jenis pekerjaan
tertentu. Infeksi subkutan yang tersering secara berurutan adalah sporotrikosis, misetoma,
diikuti dengan kromomikosis, dan zigomikosis subkutan. Lobomikosis sangat jarang ditemukan
di Indonesia.21
2.4.1 Sporotrikosis
Definisi :
Sporotrikosis adalah infeksi jamur subkutan atau sistemik yang disebabkan oleh jamur dimorfik
Sporothrix xchenkii. Jamur dialam ditemukan dalam bentuk kapang, dan berubah menjadi
bentuk infeksius berupa ragi. Infeksi tersering di dermis dan subkutis, namun tidak jarang pula
terjadi infeksi sistemik misalnya di paru, sendi, hingga selaput otak.21

33
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Sporotrikosis banyak mengenai pekerja lapangan seperti petani, atau peladang. Di Indonesia,
infeksi banyak dilaporkan dari daerah sumatera dan beberapa kasus di Jawa dan Bali.21

Gambaran Klinis :
Infeksi subkutan terbagi dalam 2 bentuk yaitu limfangitik dan fikstum. Biasanya
mengenai daerah terpajan, misalnya lengan dan tungkai. Secara klinis tampak nodus dan ulkus,
kadang timbul nodus satelit disekitar lesi primer. Bentuk limfangitik tampak nodus berjajar
sepanjang aliran limfe.21

Gambar 7. Sporotrikosis.22

Pemeriksaan Penunjang :
Terbaik dilakukan pemeriksaan spesimen dari kerokan atau eksudat dan biopsy. S.schenkii
jarang ditentukan dari pemeriksaan langsung. Kultur dilakukan dengan menggunakan media
agar Sabouroud. Secara histopatologis tampak reaksi granulomatosa campuran dengan
mikroabses netrofil dan badan asteroid.21
Diagnosis Banding :
Sporotrikosis subkutan kadang sulit dibedakan dengan infeksi mikobakterial dan
leishmaniasis.21

Tatalaksana :
Kalium yodida jenuh 4-6ml/hari diberikan hingga 3-4 minggu sembuh klinis. Terapi pilihan
lain adalah itrakonazol 200mg/hari atau terbinafine 250mg/hari.21

34
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
2.4.2 Misetoma
Definisi :
Misetoma adalah infeksi kronis terlokalisir yang disebabkan oleh berbagai spesies jamur atau
Actynomycetes. Ditandai oleh pembentukan granul, abses, sinus serta kadang meluas
menyebabkan osteomyelitis. Organisme berasal dari tanah atau tanaman bersifat oportunis
pathogen.21
Etiologi :
Eumisetoma : granul hitam disebabkan oleh Madurella sp., Leoptosphaeria sp., Exoviala sp.,
dan Pyrenochaeta sp., sedangkan granul putih disebabkan oleh Fusarium sp., Acremonium sp.,
Scedosporium sp., dan lain-lain.21
Aktinomisetoma : granul putih kuning disebabkan oleh Actinomadura dan Nocardia
brasiliensis, granul kuning cokelat disebabkan Streptomyces somaliensis, sedangkan granul
merah muda hingga merah disebabkan Actinomadura pelletieri.21

Gambar 8. Misetoma.22

35
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambaran klinis :
Gambaran klinis eumisetoma dan aktinomisetoma serupa. Tempat predileksi adalah kaki,
tungkai bawah, atau tangan. Lesi awal berupa nodul indolen selanjutnya terjadi pembengkakan
jaringan, pembentukan sinus, dan abses. 21
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan langsung granul, tampak actinomycetes atau filament jamur. Kultur dilakukan
untuk menentukan spesies, sedangkan pada pemeriksaan histopatologi ditemukan granuloma
dengan abses neutrophil serta giant cell, tampak granul di bagian tengah reaksi radang.21
Diagnosis Banding :
Osteomielitis karena infeksi bakterial atau tuberculosis kutis.21
Tatalaksana :
Aktinomisetoma biasanya responsive dengan sulfametoksazol, trimethoprim, atau kombinasi
dapson dengan streptomisin. Eumisetoma diobati dengan itrakonazol atau terbinafine.21
2.4.3 Kromomikosis
Definisi :
Kromomikosis adalah infeksi jamur kronis pada kulit dan subkutan yang disebabkan oleh jamur
Dematiasesus melalui kontak langsung. 21
Etiologi:
Infeksi disebabkan oleh berbagai jamur dematiasea, antara lain : Phialophora verrucose,
Fonsecaea pedrosoi, Fonsecaea compactum, Wangiella dermatitidis, dan Cladophialophora
carrionii. Melalui kontak langsung dengan kayu, tanaman atau tanah. 21
Gambaran Klinis :
Lesi awal umumnya pada tungkai kaki, lengan, dan tubuh bagian atas. Lesi diawali dengan
adanya papul verukosa, berkembang lambat membentuk plak verukosa yang tebal. Komplikasi
berupa limfedema lokal, elephantiasis hingga karsinoma sel skuamosa. 21

36
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambar 9. Kromomikosis.22

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH tampak sel jamur muriformis. Pemeriksaan
histopatologik tampak granuloma campuran dengan abses netrofil disertai dengan hyperplasia
epidermal. Ditemukan pula sel jamur berbentuk muriformis, yaitu sel berwarna coklat, bersepta
tunggal atau ganda, dan berdinding tebal. Kultur penting dilakukan untuk menentukan spesies
dan pengobatan yang tepat. 21
Diagnosa Banding :
Veruka vulgaris, tuberculosis kutis verukosa, hingga limfedema kronis. 21
Tatalaksana :
Terapi pilihan adalah itrakonazol 200mg/hari ; terbinafine 250mg/hari; dan pada kasus luas
amfoterisin B, intravena, dengan dosis hingga 1 mg/kgBB/hari. 21
2.4.4 Zigomikosis
Definisi :
Zigomikosis adalah infeksi jamur yang ditandai dengan pembengkakan kronis di jaringan
subkutan, keras, dan tidak nyeri. 21
Etiologi :
Terdapat 2 bentuk, tersering disebabkan oleh Basidiobolus ranarum (B.haptosporus) umumnya
ditemukan pada anak-anak. Bentuk lain disebabkan oleh Conidiobolus coronatus yang
ditemukan pada pasien dewasa. Jamur dapat di isolasi dari tanah, tanaman, dan serangga. 21

37
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
Gambaran Klinis :
Lesi berupa pembengkakan yang kerasm violaseus, kadang disertai tanda radang berupa eritema
dan skuama. 21

Gambar 10. Zigomikosis.22

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan histopatologis tampak granuloma eosinophil disertai hifa asepta. Umumnya
dikelilingi material eosinofilik (fenomena Splendore-Hoeppli). Kultur dilakukan pada media
agar Saboroud. 21
Tatalaksana :
Lesi umumnya memberi respons baik dengan pengobatan kalium yodida atau itrakonazol 100-
200mg/hari. 21

38
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis superfisialis adalah
jamur yang menyerang lapisan luar daripada kulit, kuku dan rambut. Dibagi dalam 2 bentuk
yakni :
a) Dermatofitosis, terdiri dari :
1. Tinea Kapitis
2. Tinea Kruris
3. Tinea Korporis
4. Tinea Pedis atau manus
5. Tinea Unguium (onikomikosis)
b) Non dermatofitosis, terdiri dari :
1. Pitiriasis Versikolor
2. Folikulitis Malassezia
3. Piedra
4. Tinea Nigra Palmaris

Perbedaan antara dermatofitosis dan nondermatofitosis disebabkan karena letak


infeksinya pada kulit. Golongan dermatofitosis menyerang atau menimbulkan kelainan di dalam
epidermis mulai dari stratum korneum sampai stratum basalis, sedangkan golongan non-
dermatofitosis hanya bagian superfisialis dari epidermis. Hal ini disebabkan karena
dermatofitosis mempunyai afinitas terhadap keratin yang terdapat pada epidermidis, rambut,
kuku, sehingga infeksinya lebih dalam.

39
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
DAFTAR PUSTAKA
1. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2959p.
2. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Nondermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW,
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 103p.
3. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2974p.
4. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Nondermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW,
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 107p.
5. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Nondermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW,
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 103-6p.
6. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2995p.
7. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2997p.
8. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Nondermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW,
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 103-5p.
9. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2996p.
10. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2947p.

40
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
11. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Nondermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW,
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 108-9p.
12. Menaldi S.L.SW, Novianto E, Sampurna A.T. Atlas Berwarna dan Sinopsis
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2015. 68-70p.
13. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Dermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 110-16p.
14. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2941-2p.
15. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Dermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 110-116p.
16. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2938p.
17. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2944-49p.
18. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2934p.
19. Bramono Kusmarinah, Indriatmi Wresti. Dermatofitosis. In: Menaldi S.L.SW
editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI;2016. 117-120p.
20. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2952-59p.
21. Menaldi S.L.S.W, Novianto E, Sampuna A.T. Atlas Berwarna dan Sinopsis
Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2015.80-4p.

41
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati
22. Craddock Lauren N., Schleke Stefan M.. Superficial Fungal Infection. In:
Fitzpatrick TB, Goldsmith LA, Wolff K. Fitzpatricks dermatology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2019. 2968p.

42
Universitas Tarumanagara
RSUD RAA Soewondo Pati

Anda mungkin juga menyukai