Oleh :
Yoki Oktavani
030.13.180
Pembimbing :
dr. ……….., Sp.S
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Guillain
Barre Syndrome”.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Cilegon.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian referat ini, terutama
kepada:
1. dr. Novi Anita, Sp.M selaku pembimbing dalam referat ini.
2. Dokter dan staf-staf SMF Mata di RSUD Budhi Asih.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Mata RSUD Budhi Asih atas bantuan
dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan referat ini masih banyak
terdapatkekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang ilmu penyakit saraf.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………..………………..ii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
2.1 DEFINISI………………………………………….…………………….........2
2.3 EPIDEMIOLOGI……....................................................................................3
2.4 ETIOLOGI……............................................................................................. 4
2.5 PATOFISIOLOGI……………………………….......................................... 4
2.6 KLASIFIKASI……………………………………………………………......7
2.8 DIAGNOSIS....................................................................................................9
2.10PENATALAKSANAAN..............................................................................12
2.11PROGNOSIS.................................................................................................15
DAFTARPUSTAKA………………………………………………………….…17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Guillain Barre atau secara klinis sering disebut “Poli Radikulo
Neuropati inflamasi demylinating polyneuropathy yang disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post Infections
Polyneuritis yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan akut dan difus dari
sistem saraf yang mengenai radiks spinalis, saraf perifer, dan kadang-kadang saraf
kranialis setelah suatu infeksi. Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi
virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai
penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologis baik
secara primary immune response maupun immune mediated process. Infeksi
saluran pernafasan dan gastrointestinal sering mendahului gejala neuropathy
dalam 1 sampai 3 minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira 60%
penderita dengan Sindroma Gullain Barre. 1,2,3
Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan
arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk
demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan
dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.3 Sindrom ini dapat terjadi pada segala
usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30-50 tahun. Kejadian
penyakit SGB ini tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, penyakit ini ditemukan lebih
sering dialami oleh laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1.14
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah inflamasi demielinisasi
polineuropati akut (AIDP) dengan karakterisitik gejala perifer akut dan disfungsi
saraf kranial dan sering dipicu oleh proses infeksi akut, infeksi akut ini
menyebabkan sistem kekebalan tubuh manusia menyerang bagian dari susunan
saraf tepi dirinya sendiri dan menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf tersebut.2
akson.1
2
yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian
membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi
terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi
akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls
pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan
kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin
dinamakan imunosupresor.8
2.3 Epidemiologi
3
Casmiro, dkk (1998) menunjukkan bahwa puncak insidensi adalah pada usia
2.5 Patofisiologi
Patologi klasik pada acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
adalah infiltasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan makrofag) dan area segmental
sarafnya mengalami proses demielinisasi, sering juga dihubungkan dengan tanda
degenerasi akson sekunder yang mana dapat dideteksi pada akar spinal sama
halnya pada saraf sensorik-motorik kecil maupun besar. T sel yang teraktivasi di
perifer, mengindikasikan terjadinya perubahan ekspresi antigen, major
4
histocompatibility complex (MHC) kelas II dan ko-stimulatori faktor, berbagai
sitokin proinflamasi seperti interferon gama (IFN) dan tumor necrosis faktor alpha
(TNF α) dan reseptor sitokin. Ini akan mengawali aktivasi daripada komplemen,
yang mengikat ikatan antibodi pada permukaan sel schwaan dan memulai
terjadinya vesikulasi dari myelin. Invasi makrofag diamati terjadi pada waktu 1
minggu sesudah kerusakkan myelin terjadi. 1,2,8
Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG dan aktivasi komplemen
berikatan dengan aksolema pada serat motorik dari nodus ranvier, diikuti oleh
pembentukkan kompleks membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan degenerasi
akson dari serat motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun demielinisasi.
1,2,8
5
Gambar 2. Patogenesis Guillain Barre Syndrome 13
6
2.6 Klasifikasi Subtipe 12
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Mediasi oleh antibody, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul
setelah reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di
Eropa dan Amerika.
b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Bentuk murni dari neuropathy axonal, 67% pasien seropositif untuk
Campylobacteriosis, elektrofisiologi menunjukkan absen/ turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik, penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada
anak, merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
c. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degenerasi myelin dari serabut saraf motorik dan sensorik, mirip dengan
AMAN hanya tipe ini juga mempengaruhi sensorik, seringkali terdapat
pada dewasa.
d. Miller Fisher Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia
dan oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam
waktu 1-3 bulan.
e. Acute panautonomic neuropathy
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi system simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi,
disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan
pada mata dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak sempurna,
sering dijumpai juga gangguan sensorik.
7
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf
motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus, biasanya
berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan
dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.3,7
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak-anak. Kelainan saraf otonom
tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat
menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest,
facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.3,5,7
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral
facial palsy. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai SGB adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan
penglihatan kabur (blurred visions).3,5,7,9
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes:12
0 : Sehat
1 : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan
manual
2 : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3 : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5 : Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian
8
2.8 Diagnosis
Diagnosis dari SGB biasanya ditegakkan berdasarkan klinisnya. Gejala
klinis utama dari SGB adalah kelemahan bilateral yang progresif dan relatif
simetris dari anggota tubuh dengan atau tanpa keterlibatan dari otot respirasi atau
otot yang diinervasi saraf kranial.3,4,6,8
Diagnosis SGB sering secara langsung, terutama ketika kelemahan
didahului dengan infeksi antara 1-3 minggu, dari onset. Pada beberapa pasien
bagaimanpun, diagnosis dapat menjadi lebih sulit terutama ketika nyeri muncul
sebelum gejala kelemahan atau ketika kelemahan pada awalnya hanya muncul
pada kaki.3,4,6,7,8
Dari anamnesis dapat ditanyakan, ada atau tidaknya infeksi virus yang
mengawali 2-4 minggu sebelum muncul gejala, menanyakan ada atau tidaknya
retensi urin, untuk anak biasanya nyeri 50% sehingga membuat anak menjadi
rewel. Untuk pemeriksaan fisik pada Guillain Barre Syndrome didapatkan antara
lain: 3
a. Akut, simetris, dan kelemahan biasanya asendens dari anggota tubuh
b. Arefleksia atau hiporefleksia dan kelemahan otot, menurunnya posisi dan
sensasi getar
c. Paralisis otot pernapasan 30% jika tanpa terapi
d. Keterlibatan saraf kranial <50%, biasanya kelemahan wajah, 10-20%
ophthalmoparesis
e. Disautonomia (50%): tekanan darah yang labil, aritmia, ileus, retensi urin,
dapat terjadi quadriparesis yang berat hingga paralisis otot pernafasan.
f. Ataksia (23%).
9
Pemeriksaan darah tepi antara lain hemoglobin, leukosit dan laju endap darah
biasanya normal, kecuali ada infeksi pada paru-paru dan saluran kencing.3,4,6,7,8,9
Untuk pemeriksaan MRI, sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah
timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras
gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah
lumbosakral terutama di kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB
adalah 83%.3,6,7,8,9
Untuk follow-up dan pemeriksaan spesifik dari pasien SGB yang dapat
dipertimbangkan: 3,4
a. Tes spesifik. Titer serum anti-GM1 antibodi pada axonal yang berbeda.
30% pasien mempunyai peningkatan antibody anti-GM1.
b. Anti GQ1b pada ophthalmoplagia dari SGB (jenis Miller-Fisher)
c. Kelainan yang mungkin di dapatkan pada hasil laboratorium: demielinisasi
neuropati DM mungkin mempunyai hasil pemeriksaan CSF yang sama
dengan SGB, tetapi bagaimanapun SGB biasanya mempunyai protein CSF
tinggi ( > 0,4 g/dL).
d. Protein normal pada 50% pasien pada minggu pertama penyakit.
Kriteria diagnosis umum yang dipakai adalah kriteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu:3
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan
Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
10
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu.
Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
Varian:
Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
11
Biological or industrial toxin poisoning
3. Disorder of muscle
Inflammatory myopathy
Toxic myopathy/ acute rhabdomyolysis
Periodic paralysis
Hypokalemia
Hypophoshatemia
Infeksi
4. Gangguan system saraf pusat
Brainstern stroke
Brainstern encephalitis
Acute myelopathy (high cervical)
Acute anterior poliomyelitis
2.10 Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Pasien dengan SGB terutama membutuhkan perhatian yang
multidisiplin untuk mencegah dan menangani potensi komplikasi yang fatal.
Pasien membutuhkan kehati-hatian dan monitoring teratur dari fungsi paru
(kapasitas vital dan frekuensi respirasi) dan kemungkinan disfungsi autonom
(frekuensi denyut jantung dan tekanan darah) serta infeksi membutuhkan
pencegahan. Pasien dengan gejala yang berat juga membutuhkan ketepatan
waktu untuk memindahkan pasien ke Intensive Care Unit (ICU). 2,4,5,10
Kegagalan sistem pernapasan hingga membutuhkan ventilasi mekanik
terjadi pada 20 hingga 30 pasien SGB. Seorang neurologi harus memonitor
tanda klinis dari kegagalan pernapasan seperti takipnea, penggunaan otot-otot
aksesoris untuk pernapasan, asinkronya gerakan dari dada dan perut serta
takikardi. Pada pasien dengan nyeri membutuhkan oral atau parenteral
analgesik ataupun dengan morphin intravena (1-7 mg/ jam). Gabapentin
(15mg/kg/ hari) dilaporkan efektif menurunkan nyeri pada pasien dengan
12
SGB. Terapi tambahan lainnya (mexiletine, tramadol, tricyclic antidepresan)
mungkin membantu pada jangka panjang dan jangka pendek dalam
menangani nyeri neuropati. Asetaminofen atau NSAID dapat juga dicoba
pada terapi lini pertama tetapi sering kali tidak efektif.2,3,4,7,10
2. Terapi khusus
Sekarang dua pilihan terapi yang tersedia termasuk plasmaparesis dan
intravenous immunoglobulin.
a. Plasmaparesis
Bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Penggunaan plasmaferesis sebagai terapi pada SGB pertama kali
dilaporkan pada tahun 1978 yang kemudian mengarah kepada enam uji
klinis acak yang membandingkan antara plasmaferesis dengan terapi
suportif. Hasil yang didapat adalah terapi dengan plasmaferesis terbukti
efektif, sehingga pada tahun 1986 terapi plasmaferesis direkomendasikan
pada kasus SGB berat. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250
ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Bahan pengganti
plasma yang digunakan adalah albumin atau Fresh Frozen Plasma (FFP).
Pada proses plasmaferesis, plasma dipisahkan dalam mesin dialysis dan
kemudian diganti dengan albumin atau FFP, dengan demikian antigen
asing dalam plasma pasien dapat dibuang. 1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18
Pada plasmaferesis efek samping yang sering ditemui adalah hipotensi,
pneumonia, thrombosis, sepsis, dan gangguan hemodinamik. 12
b. Intravenous immunoglobulin (IVIg)
IVIg efektif sebagai pengganti plasma untuk terapi SGB. Pasien dengan
bentukkan klinis yang lebih berat, mungkin diuntungkan dengan
penggunaan IVIg karena durasinya yang lama pada tubuh dan juga karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg diduga
dapatmenetralisasi antibody myelin yang beredar dengan berperan sebagai
antibody anti-idiotipik, menurunkan sitokin proinflammatory dan
13
menghadang kaskade komplemen serta mempercepat proses mielinisasi.
Dosis maintenance 0.4- 0,5 gr/kg BB/hari selama 4-5 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg memiliki beberapa
kelebihan yaitu sediaan lebih muda didapat dan pemberiannya tidak
memerlukan alat khusus.1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18
14
Pertimbangkan treatment-related fluctuation (TRF): terapi ulangan
Pertimbangkan onset akut CIDP dan terapi yang sesuai
Rehabilitasi dan kelelahan:
Mulailah fisioterapi sedini mungkin selama proses penyakit
Memulai rehabilitasi saat penyembuhan dimulai.
15
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara klinis digambarkan dengan
kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi, terapi fisik,
dan prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi
aksonal, dan umur pasien. Penatalaksaan yang cepat dapat memberikan prognosis
yang baik.
16
DAFTAR PUSTAKA
17