Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Guillain Barre Syndrome

Oleh :
Yoki Oktavani
030.13.180

Pembimbing :
dr. ……….., Sp.S

PERIODE 14 JANUARI – 15 FEBRUARI 2019

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD CILEGON
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama :
NIM :
Judul Referat : Guillain Barre Syndrome

Telah menyelesaikan tugas penyusunan referat dalam rangka kepaniteraan klinik


pada bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD
Cilegon

Cilegon, November 2019


Pembimbing

dr. ……………………….. Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Guillain
Barre Syndrome”.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Cilegon.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian referat ini, terutama
kepada:
1. dr. Novi Anita, Sp.M selaku pembimbing dalam referat ini.
2. Dokter dan staf-staf SMF Mata di RSUD Budhi Asih.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Mata RSUD Budhi Asih atas bantuan
dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan referat ini masih banyak
terdapatkekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang ilmu penyakit saraf.

Jakarta, November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..………. i

KATA PENGANTAR…………………………………………..………………..ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………….... iii

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI………………………………………….…………………….........2

2.2 STRUKTUR DAN FUNSGI NORMA SISTEM SARAF…………….……..2

2.3 EPIDEMIOLOGI……....................................................................................3

2.4 ETIOLOGI……............................................................................................. 4

2.5 PATOFISIOLOGI……………………………….......................................... 4

2.6 KLASIFIKASI……………………………………………………………......7

2.7 MANIFESTASI KLINIS.................................................................................7

2.8 DIAGNOSIS....................................................................................................9

2.9 DIFERENTIAL DIAGNOSIS…………………………….…………………11

2.10PENATALAKSANAAN..............................................................................12

2.11PROGNOSIS.................................................................................................15

BAB III. PENUTUP……………………………………………………………...16

DAFTARPUSTAKA………………………………………………………….…17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sindroma Guillain Barre atau secara klinis sering disebut “Poli Radikulo
Neuropati inflamasi demylinating polyneuropathy yang disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post Infections
Polyneuritis yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan akut dan difus dari
sistem saraf yang mengenai radiks spinalis, saraf perifer, dan kadang-kadang saraf
kranialis setelah suatu infeksi. Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi
virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai
penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologis baik
secara primary immune response maupun immune mediated process. Infeksi
saluran pernafasan dan gastrointestinal sering mendahului gejala neuropathy
dalam 1 sampai 3 minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira 60%
penderita dengan Sindroma Gullain Barre. 1,2,3
Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan
arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk
demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan

dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.3 Sindrom ini dapat terjadi pada segala
usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30-50 tahun. Kejadian
penyakit SGB ini tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, penyakit ini ditemukan lebih
sering dialami oleh laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1.14

SGB menyebabkan peningkatan frekuensi dari akut flaccid paralisis di


seluruh dunia dan mendasari satu dari keadaan darurat yang serius pada bidang
neurologi, 20% pasien berkembang menjadi kelumpuhan yang berat dan kira-kira
5% meninggal. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang
baik. SGB perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan
cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.1,2,3

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah inflamasi demielinisasi
polineuropati akut (AIDP) dengan karakterisitik gejala perifer akut dan disfungsi
saraf kranial dan sering dipicu oleh proses infeksi akut, infeksi akut ini
menyebabkan sistem kekebalan tubuh manusia menyerang bagian dari susunan
saraf tepi dirinya sendiri dan menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf tersebut.2

2.2 Struktur dan Fungsi Normal Sistem saraf

Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan


informasi ke sel lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan
memanjang yang menerima informasi dari lingkungan atau dari neuron lain;
badan sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang panjangnya dapat mencapai
1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain. Sebagian
besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa
dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di
ganglion cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion
sensorik spinal mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu
tonjolan yang keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu
memanjang ke medula spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan
dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya.
Percabangan dendrit dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat
menerima ribuan masukan. Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di
sinaps, yakni suatu struktur khusus untuk menyalurkan informasi dari akson ke
otot, ke kelenjar atau ke neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di sepanjang

akson.1

Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin


terutama terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet

2
yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian
membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi
terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi
akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls
pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan
kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin

menggangu perambatan potensial aksi.7

Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen


yang berasal dari susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak
patologik selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi karena suatu sebab,
toleransi imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-
imunopatologik yang mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan Menurut teori
yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh proses
imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang dianggap
imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka yang

dinamakan imunosupresor.8

2.3 Epidemiologi

Guillain-Barré Syndrome merupakan penyakit neurologi yang cukup


jarang, angka insidensi GBS dari 2 penelitian epidemiologi terdahulu dapat
dilihat pada penelitian yang dilakukan Ress, dkk (1998) dengan metode dan
subyek yaitu prospektif 1 tahun, 97 pasien didiagnosa GBS dimana angka
insiden per 100.000 penduduk adalah 1,2 dan peneltian yang dilakukan
Casmiro dkk (1998) dengan metode dan subyek yaitu prospektif studi 2 tahun,
87 pasien didiagnosa GBS, dimana angka insiden per 100.000 penduduk adalah
1,1.13

Penelitian yang dilakukan oleh Ress, dkk (1998) menunjukkan bahwa


rasio laki-laki dan perempuan adalah 0.8/1. Rata-rata umur (SD) adalah 47.7
tahun (19.5) dan berkisar antara 5 sampai 85 tahun. Sementara penelitian

3
Casmiro, dkk (1998) menunjukkan bahwa puncak insidensi adalah pada usia

60-69 tahun dengan angka insidensi 2,34/100.000 penduduk.3 Data di

Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra


menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan
laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi
pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.13

2.4 Etiologi 3,4,18


Tidak ada etiologi yang akurat dan belum secara lengkap dapat
dimengerti namun sejumlah besar penelitian mengindikasikan bahwa
penyebabnya adalah inflamasi autoimun neuropati perifer, yang dipicu oleh
berbagai faktor termasuk infeksi bakteri ataupun virus, dan vaksinasi.
Agen spesifiknya tidak diketahui, terlihat pada infeksi citomegelovirus,
Epstein-Barr virus, dan HIV atau infeksi bakteri seperti mycoplasma pneumoni
dan lyme disease. Campylobacter Jejuni mungkin adalah bakteri yang paling
banyak dihubungkan dengan SGB.
Meskipun tidak terdapat bukti sensitisasi antigen virus maupun bakteri
pada manusia dengan SGB spontan, aktivitas penyakit ini terlihat berkorelasi
dengan adanya antibodi serum pada myelin saraf perifer sehingga menyebabkan
terjadinya peradangan dan kerusakan mielin.

2.5 Patofisiologi
Patologi klasik pada acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
adalah infiltasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan makrofag) dan area segmental
sarafnya mengalami proses demielinisasi, sering juga dihubungkan dengan tanda
degenerasi akson sekunder yang mana dapat dideteksi pada akar spinal sama
halnya pada saraf sensorik-motorik kecil maupun besar. T sel yang teraktivasi di
perifer, mengindikasikan terjadinya perubahan ekspresi antigen, major

4
histocompatibility complex (MHC) kelas II dan ko-stimulatori faktor, berbagai
sitokin proinflamasi seperti interferon gama (IFN) dan tumor necrosis faktor alpha
(TNF α) dan reseptor sitokin. Ini akan mengawali aktivasi daripada komplemen,
yang mengikat ikatan antibodi pada permukaan sel schwaan dan memulai
terjadinya vesikulasi dari myelin. Invasi makrofag diamati terjadi pada waktu 1
minggu sesudah kerusakkan myelin terjadi. 1,2,8
Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG dan aktivasi komplemen
berikatan dengan aksolema pada serat motorik dari nodus ranvier, diikuti oleh
pembentukkan kompleks membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan degenerasi
akson dari serat motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun demielinisasi.
1,2,8

Gambar 1. Kemungkinan patofisiologi dari Sindrom Guillain Barre1

5
Gambar 2. Patogenesis Guillain Barre Syndrome 13

6
2.6 Klasifikasi Subtipe 12
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Mediasi oleh antibody, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul
setelah reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di
Eropa dan Amerika.
b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Bentuk murni dari neuropathy axonal, 67% pasien seropositif untuk
Campylobacteriosis, elektrofisiologi menunjukkan absen/ turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik, penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada
anak, merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
c. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degenerasi myelin dari serabut saraf motorik dan sensorik, mirip dengan
AMAN hanya tipe ini juga mempengaruhi sensorik, seringkali terdapat
pada dewasa.
d. Miller Fisher Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia
dan oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam
waktu 1-3 bulan.
e. Acute panautonomic neuropathy
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi system simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi,
disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan
pada mata dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak sempurna,
sering dijumpai juga gangguan sensorik.

2.7 Manifestasi Klinis


SGB merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke-empat
ekstremitas yang bersifat asendens.3,4,5,7,9 Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.

7
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf
motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus, biasanya
berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan
dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.3,7
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak-anak. Kelainan saraf otonom
tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat
menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest,
facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.3,5,7
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral
facial palsy. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai SGB adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan
penglihatan kabur (blurred visions).3,5,7,9
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes:12
0 : Sehat
1 : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan
manual
2 : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3 : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5 : Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian

8
2.8 Diagnosis
Diagnosis dari SGB biasanya ditegakkan berdasarkan klinisnya. Gejala
klinis utama dari SGB adalah kelemahan bilateral yang progresif dan relatif
simetris dari anggota tubuh dengan atau tanpa keterlibatan dari otot respirasi atau
otot yang diinervasi saraf kranial.3,4,6,8
Diagnosis SGB sering secara langsung, terutama ketika kelemahan
didahului dengan infeksi antara 1-3 minggu, dari onset. Pada beberapa pasien
bagaimanpun, diagnosis dapat menjadi lebih sulit terutama ketika nyeri muncul
sebelum gejala kelemahan atau ketika kelemahan pada awalnya hanya muncul
pada kaki.3,4,6,7,8
Dari anamnesis dapat ditanyakan, ada atau tidaknya infeksi virus yang
mengawali 2-4 minggu sebelum muncul gejala, menanyakan ada atau tidaknya
retensi urin, untuk anak biasanya nyeri 50% sehingga membuat anak menjadi
rewel. Untuk pemeriksaan fisik pada Guillain Barre Syndrome didapatkan antara
lain: 3
a. Akut, simetris, dan kelemahan biasanya asendens dari anggota tubuh
b. Arefleksia atau hiporefleksia dan kelemahan otot, menurunnya posisi dan
sensasi getar
c. Paralisis otot pernapasan 30% jika tanpa terapi
d. Keterlibatan saraf kranial <50%, biasanya kelemahan wajah, 10-20%
ophthalmoparesis
e. Disautonomia (50%): tekanan darah yang labil, aritmia, ileus, retensi urin,
dapat terjadi quadriparesis yang berat hingga paralisis otot pernafasan.
f. Ataksia (23%).

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menyokong diagnosis Sindroma


Guillain Barre adalah adanya disosiasi sito albuminemik yaitu adanya kenaikkan
jumlah protein didalam cairan serebrospinal tanpa adanya kenaikkan jumlah sel
yang melebihi 10 sel mononuclear per mm3, ini didapatkan pada 80 sampai 90%
dari pasien dengan SGB pada minggu pertama sesudah onset dari gejala.

9
Pemeriksaan darah tepi antara lain hemoglobin, leukosit dan laju endap darah
biasanya normal, kecuali ada infeksi pada paru-paru dan saluran kencing.3,4,6,7,8,9
Untuk pemeriksaan MRI, sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah
timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras
gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah
lumbosakral terutama di kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB
adalah 83%.3,6,7,8,9
Untuk follow-up dan pemeriksaan spesifik dari pasien SGB yang dapat
dipertimbangkan: 3,4
a. Tes spesifik. Titer serum anti-GM1 antibodi pada axonal yang berbeda.
30% pasien mempunyai peningkatan antibody anti-GM1.
b. Anti GQ1b pada ophthalmoplagia dari SGB (jenis Miller-Fisher)
c. Kelainan yang mungkin di dapatkan pada hasil laboratorium: demielinisasi
neuropati DM mungkin mempunyai hasil pemeriksaan CSF yang sama
dengan SGB, tetapi bagaimanapun SGB biasanya mempunyai protein CSF
tinggi ( > 0,4 g/dL).
d. Protein normal pada 50% pasien pada minggu pertama penyakit.
Kriteria diagnosis umum yang dipakai adalah kriteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu:3
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang

10
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu.
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
 Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

2.9 Diferensial Diagnosis 2,7


Diferensial diagnosis dari Sindrome Guillain Barre
1. Neuropati perifer
 Neuropati vasculitis
 Neuropati difterik
 Acute intermittent porphyria
 Critical illness neurophaty
 Lymphomatous neurophaty
 Heavy metal intoxication
 Post-rabies vaccine neurophaty
 Diabetic-uremic neuropathy with acute peritoneal dialysis
2. Gangguan neuromuscular jungtion
 Myasthenia gravis
 Eaton-lambert syndrome

11
 Biological or industrial toxin poisoning
3. Disorder of muscle
 Inflammatory myopathy
 Toxic myopathy/ acute rhabdomyolysis
 Periodic paralysis
 Hypokalemia
 Hypophoshatemia
 Infeksi
4. Gangguan system saraf pusat
 Brainstern stroke
 Brainstern encephalitis
 Acute myelopathy (high cervical)
 Acute anterior poliomyelitis

2.10 Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Pasien dengan SGB terutama membutuhkan perhatian yang
multidisiplin untuk mencegah dan menangani potensi komplikasi yang fatal.
Pasien membutuhkan kehati-hatian dan monitoring teratur dari fungsi paru
(kapasitas vital dan frekuensi respirasi) dan kemungkinan disfungsi autonom
(frekuensi denyut jantung dan tekanan darah) serta infeksi membutuhkan
pencegahan. Pasien dengan gejala yang berat juga membutuhkan ketepatan
waktu untuk memindahkan pasien ke Intensive Care Unit (ICU). 2,4,5,10
Kegagalan sistem pernapasan hingga membutuhkan ventilasi mekanik
terjadi pada 20 hingga 30 pasien SGB. Seorang neurologi harus memonitor
tanda klinis dari kegagalan pernapasan seperti takipnea, penggunaan otot-otot
aksesoris untuk pernapasan, asinkronya gerakan dari dada dan perut serta
takikardi. Pada pasien dengan nyeri membutuhkan oral atau parenteral
analgesik ataupun dengan morphin intravena (1-7 mg/ jam). Gabapentin
(15mg/kg/ hari) dilaporkan efektif menurunkan nyeri pada pasien dengan

12
SGB. Terapi tambahan lainnya (mexiletine, tramadol, tricyclic antidepresan)
mungkin membantu pada jangka panjang dan jangka pendek dalam
menangani nyeri neuropati. Asetaminofen atau NSAID dapat juga dicoba
pada terapi lini pertama tetapi sering kali tidak efektif.2,3,4,7,10

2. Terapi khusus
Sekarang dua pilihan terapi yang tersedia termasuk plasmaparesis dan
intravenous immunoglobulin.
a. Plasmaparesis
Bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Penggunaan plasmaferesis sebagai terapi pada SGB pertama kali
dilaporkan pada tahun 1978 yang kemudian mengarah kepada enam uji
klinis acak yang membandingkan antara plasmaferesis dengan terapi
suportif. Hasil yang didapat adalah terapi dengan plasmaferesis terbukti
efektif, sehingga pada tahun 1986 terapi plasmaferesis direkomendasikan
pada kasus SGB berat. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250
ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Bahan pengganti
plasma yang digunakan adalah albumin atau Fresh Frozen Plasma (FFP).
Pada proses plasmaferesis, plasma dipisahkan dalam mesin dialysis dan
kemudian diganti dengan albumin atau FFP, dengan demikian antigen
asing dalam plasma pasien dapat dibuang. 1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18
Pada plasmaferesis efek samping yang sering ditemui adalah hipotensi,
pneumonia, thrombosis, sepsis, dan gangguan hemodinamik. 12
b. Intravenous immunoglobulin (IVIg)
IVIg efektif sebagai pengganti plasma untuk terapi SGB. Pasien dengan
bentukkan klinis yang lebih berat, mungkin diuntungkan dengan
penggunaan IVIg karena durasinya yang lama pada tubuh dan juga karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg diduga
dapatmenetralisasi antibody myelin yang beredar dengan berperan sebagai
antibody anti-idiotipik, menurunkan sitokin proinflammatory dan

13
menghadang kaskade komplemen serta mempercepat proses mielinisasi.
Dosis maintenance 0.4- 0,5 gr/kg BB/hari selama 4-5 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg memiliki beberapa
kelebihan yaitu sediaan lebih muda didapat dan pemberiannya tidak
memerlukan alat khusus.1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18

Tabel 3. Penanganan SGB selama penyakit berlangsung7,18


Diagnosis:
 Diagnosis SGB didasarkan terutama dari temuan klinis dan CSS
 Investigasi laboratorium termasuk darah dan EMG
Berikan perawatan yang terbaik:
 Monitoring progesnya, pencegahan serta penanganan komplikasi yang fatal, terutama:
 Monitor secara teratur fungsi paru (kapasitas vital, frekuensi respirasi),
diawali setiap 2 – 4 jam, pada fase stabil setiap 6 – 12 jam
 Cek disfungsi autonom (tekanan darah, pacu jantung, pupil dan ileus)
 Cek disfungsi menelan
 Pengenalan dan terapi nyeri (guideline WHO). Coba untuk hindari opioid
 Pencegahan (dan terapi) infeksi dan emboli paru
 Pencegahan dekubitus dan kontraktur
Pertimbangkan terapi spesifik dengan IVIG dan PE:
 Indikasi untuk memulai IVIg atau PE
 Pasien yang berat (pasien tidak mampu berjalan tanpa bantuan = ketidakmampuan
SGB skala 3
 Mulainya terapi lebih baik dalam 2 minggu pertama sesudah munculnya gejala
 IVIg: 0,4 g/kg untuk 5 hari, (tidak diketahui apakah 1,0 g/kg untuk 2 hari adalah
unggul)
 PE: standar 5 x PE dengan total penggantian dari 5 volume plasma
 Tidak diketahui apakah IVIg efektif pada pasien SGB sedang (skala ≤ 2) atau pasien
MSF
 Indikasi untuk terapi ulangan dengan IVIg: perburukan sekunder sesudah awalnya
membaik atau stabil (terapi mengalami fluktuasi): diterapi dengan 0,4 g/kg untuk 5
hari
 Tidak ada bukti efek dari terapi ulangan dengan IVIg pada pasien yang berlanjut
menjadi buruk.
Adakah indikasi untuk masuk ICU:
 Kelemahan berat yang progresnya cepat sering dengan kegagalan respirasi (kapasitas
vital < 20 ml/kg)
 Membutuhkan ventilasi buatan (mekanik)
 Penurunan refleks menelan dengan perkiraan infeksi yang tinggi
 Disfungsi autonom berat
 Penggunaan model prognostik untuk mendeterminasi indikasii untuk ventilasi artificial
Fluktuasi dari penyakit atau berlanjut dengan progress yang lambat

14
 Pertimbangkan treatment-related fluctuation (TRF): terapi ulangan
 Pertimbangkan onset akut CIDP dan terapi yang sesuai
Rehabilitasi dan kelelahan:
 Mulailah fisioterapi sedini mungkin selama proses penyakit
 Memulai rehabilitasi saat penyembuhan dimulai.

2.11 Prognosis 3,4,7,14,15


Secara keseluruhan SGB mempunyai prognosis yang baik, sekitar 90
sampai 95% penderita akan mengalami penyembuhan sempurna 6 sampai 12
bulan. Bahaya yang paling besar dan mengancam jiwa penderita adalah pada fase
akut dimana dapat terjadi paralisis otot pernapasan dan aritmia jantung. Walaupun
mempunyai prognosis baik tapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal
atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam
waktu 3 bulan, bila dengan keadaan antara lain:
a. Pada pemeriksaan NCV-EMG relative normal
b. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. Progesifitas penyakit lambat dan pendek
d. Pada penderita berusia 30 – 60 tahun.
Tiga puluh persen pasien SGB mengalami kelemahan residual sesudah 3
tahun. Tiga persen mengalami relaps lemah otot dan sensasi tertusuk-tusuk
bertahun-tahun sesudah serangan awal.

15
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara klinis digambarkan dengan
kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi, terapi fisik,
dan prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi
aksonal, dan umur pasien. Penatalaksaan yang cepat dapat memberikan prognosis
yang baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuki N, MD, Hartung H P. Guillain Barre Syndrome. The new England


journal of medicine. 2012; 366: 2294-304
2. Pithadia A B, Kakadia N. Guillain barre syndrome (GBS). Pharmacological
reports. 2010; 62: 220-32
3. Support and information for those affected by Guillain-Barré syndrome, CIDP
& associated inflammatory neurophaties. Issue 1.0. 2014
4. Wakerley B R. Uncini A, Yuki N. Guillain barre and miller fisher syndromes-
new diagnostic classification. Nature review neurology. 2014; 10: 537-44
5. Winer J B. An update in guillain barre syndrome. Hindawi publishing
corporation autoimmune disease. 2014
6. Walling A D, Dickson G. Guillain barre syndrome. American Family
Physician. 2013; 87(3): 191-97
7. Van doorn P A. Diagnosis, treatment and prognosis of guillain barre syndrome
(GBS). Nature reviews neurology. 2013; 42: 193-201
8. Beth A, Rosen. Guillain barre syndrome. American academy of pediatrics.
2012; 33(4): 164-71
9. Rinaldi S. Update on guillain barre syndrome. Journal of the peripheral
nervous system. 2013; 18: 99-112
10. Inawati. Sindrome Guillain Barre. Departemen patologi anatomi. 2011
11. Lukito V, Mangunatmadja I, Pudjiadi A H, Puspandjono T M. Plasmaferesis
sebagai terapi syndrome guillain-barre berat pada anak. Sari pediatric. 2010;
11(06): 448-55
12. Sebastian S. A case of guillain-barre syndrome in a primary care setting. The
journal for nurse practitioners-JPN.2012; 8(8):643-8
13. Jarpadi, Iskandar. Sindoma Guillain Barre. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
14. Mardjono, M. Neurologi klinis dasar. Jakarta : Dian Rakyat. 2014.
15. Djmal N. Prognosis Guilain Barre Syndrome. Bagian neurologi fakultas
kedokteran universitas hasanudin. Makassar. 2011.

17

Anda mungkin juga menyukai