TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan
garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi
lebih dari satu titik. Astigmatisme mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu
fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea
atau lensa kristalina.2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai
2,3 milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama
pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.2,3
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur,
negara, jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor lainnya.
Prevalensi miopia bervariasi berdasar negara dan kelompok etnis, hingga
mencapai 70-90% di beberapa negara. Sedangkan menurut Maths Abrahamsson
1
dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian astigmat bervariasi antara 30%-
70%.2,3
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca), dan
panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media
penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan
benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea.
Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
2
bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi
atau istirahat melihat jauh.1
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan
lainnya misalnya : kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium
dengan densitas yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya juga
berlaku). Berkas cahaya mengubah arah perjalanannya jika mengenai medium
baru pada tiap sudut selain tegak lurus. 1
Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2 media (semakin
besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya
berkas cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan).
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea
dan lensa. Permukaan kornea, struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu
masuk mata, yang melengkung berperan besar dalam reftraktif total karena
perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar dari pada perbedaan
3
densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Kemampuan refraksi
kornea seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak pernah
berubah. Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan
mengubah kelengkungannya sesuai keperluan untuk melihat dekat/jauh.1
Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya dekat memerlukan jarak
yang lebih besar di belakang lensa agar dapat memfokuskan daripada sumber
cahaya jauh, karena berkas dari sumber cahaya dekat masih berdivergensi sewaktu
mencapai mata. Untuk mata tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu sama.
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina (dalam jarak
yang sama), harus dipergunakan lensa yang lebih kuat untuks umber dekat.
Kekuatan lensa dapat disesuaikan melalui proses akomodasi.2
2.4 Etiologi
4
ii. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin
bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami
kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus.
2.5 Klasifikasi
1) Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang
yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu
bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain.
Astigmatisme jenis ini, jika mendapat koreksi lensa cylindris yang tepat, akan
bisa menghasilkan tajam penglihatan normal. Tentunya jika tidak disertai
dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular ini
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
i. Astigmatisme With the Rule
Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada
bidang horizontal.sering ditemukan pada anak-anak dan orang muda.
ii. Astigmatisme Against the Rule
Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari
pada bidang vertikal. Serinng ditemukan pada orang tua.
2) Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi
sebagai berikut:
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
5
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada tepat pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias
terkuat sedangkan titik B adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola
ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau
Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama.
6
Gambar 6. Astigmatisme Miopia Kompositus
5. Astigmatisme Mixtus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini
adalah Sph +X Cyl -Y, atau Sph -X Cyl +Y, di mana ukuran tersebut tidak
dapat ditransposisi hingga nilai X menjadi nol, atau notasi X dan Y
menjadi sama - sama + atau -.
7
Gambar 8. Astigmatisme Mixtus
8
astigmatismus juga menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti
membaca.
- Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan
mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk
memperbesar bayangan, meskipun bayangan di retina tampak buram.
2.7 Diagnosis
Selain dari anamnesis, diagnosis astigmatisme dapat dilakukan dengan melakukn
beberapa pemeriksaan diantaranya :
1) Pemeriksaan pin hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam
penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media
penglihatan, atau kelainan retina lainnya. Bila ketajaman penglihatan bertambah
setelah dilakukan pin hole berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi
yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada
pasien terdapat kekeruhan media penglihatan atau pun retina yang menggangu
penglihatan.5
2) Uji refraksi
i. Subjektif
Optotipe dari Snellen & Trial lens
Metode yang digunakan adalah dengan Metoda ‘trial and error’ Jarak
pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu Snellen yang
diletakkan setinggi mata penderita, Mata diperiksa satu persatu dibiasakan
mata kanan terlebih dahulu Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-
masing mata. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila
9
dengan lensa sferis positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 5/5,
6/6, atau 20/20 maka pasien dikatakan menderita hipermetropia, apabila
dengan pemberian lensa sferis positif menambah kabur penglihatan
kemudian diganti dengan lensa sferis negatif memberikan tajam
penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien menderita miopia. Bila
setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak tercapai tajam penglihatan
maksimal mungkin pasien mempunyai kelainan refraksi astigmat. Pada
keadaan ini lakukan uji pengaburan (fogging technique).5,6
ii. Objektif
- Autorefraktometer
Yaitu menentukan myopia atau besarnya kelainan refraksi dengan
menggunakan komputer. Penderita duduk di depan autorefractor,
cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata terhadap cahaya diukur.
Alat ini mengukur berapa besar kelainan refraksi yang harus dikoreksi
dan pengukurannya hanya memerlukan waktu beberapa detik.
- Keratometri
Adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea.11 Keratometer dipakai klinis secara luas dan
sangat berharga namun mempunyai keterbatasan.
3) Uji pengaburan
Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka tajam penglihatannya
dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang 2
baris pada kartu Snellen, misalnya dengan menambah lensa spheris positif 3.
Pasien diminta melihat kisi-kisi juring astigmat, dan ditanyakan garis mana
yang paling jelas terlihat. Bila garis juring pada 90° yang jelas, maka tegak
lurus padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau lensa silinder
ditempatkan dengan sumbu 180°. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder
negatif ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmat vertikal sama
tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau semua juring sama
jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder ditentukan yang ditambahkan.
10
Kemudian pasien diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh
lensa negatif sampai pasien melihat jelas.7
4) Keratoskop
Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan astigmatisme.
Pemeriksa memerhatikan imej “ring” pada kornea pasien. Pada
astigmatisme regular, “ring” tersebut berbentuk oval. Pada astigmatisme
irregular, imej tersebut tidak terbentuk sempurna.7,8
5) Javal ophtalmometer
Boleh digunakan untuk mengukur kelengkungan sentral dari kornea,
diaman akan menentukan kekuatan refraktif dari kornea.7,8
11
2.9 Terapi
1) Koreksi lensa
Astigmatismus dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder.
Karena dengan koreksi lensa cylinder penderita astigmatismus akan dapat
membiaskan sinar sejajar tepat diretina, sehingga penglihatan akan bertambah
jelas.
2) Orthokeratology
Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak, lebih
dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar dan
menurunkan myopia. Kekakuan lensa kontak yang digunakan sesuai dengan
standar. Pada astigmatismus irregular dimana terjadi pemantulan dan
pembiasan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan kornea maka
dapat dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan memakai lensa kontak
maka permukaan depan kornea tertutup rata dan terisi oleh film air mata.
3) Bedah refraksi
Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:8,9
· Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral.
Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata. Jumlah
hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan kedalaman
dari insisi.
12
· Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada
pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa terjadi setelah
photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan akan kembali jernih.
Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang menyatakan penglihatannya
lebih baik pada waktu sebelum operasi.
13
Flap Kornea Dicipta dan Diangkat
2.10 KOMPLIKASI
Astigmatisme yang tidak dirawat pada orang dewasa dapat menyebabkan
ketidaknyamanan pada mata, mata menjadi penat dan terkadang sakit kepala.
Rabun pada anak-anak memerlukan perhatian khusus dan penjagaan mata benar.
Hal ini disebabkan karena apabila mata tidak dirawat dengan benar dapat
menyebabkan terjadinya ambliopia (mata malas).10,11
2.11 PROGNOSIS
Sekitar 30 % dari semua orang memiliki Silindris . Dalam sebagian besar kasus,
kondisi tidak berubah banyak setelah usia 25 tahun. Astigmatisme progresif dapat
terjadi pada trauma kornea , infeksi berulang dari kornea, dan penyakit degeneratif
seperti keratoconus.10,11
14
BAB III
KESIMPULAN
Terdapat 2 etiologi, yaitu kelainan pada lensa dan kelainan pada kornea. Adapun
gejala klinis dari astigmatisme adalah penglihatan kabur atau terjadi distorsi.
Pasien juga sering mengeluhkan penglihatan mendua atau melihat objek
berbayang-bayang. Sebahagian juga mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri pada
mata.
Koreksi dengan lensa silinder akan memperbaiki visus pasien. Selain lensa
terdapat juga pilihan bedah yaitu dengan LASIK, Radial keratotomy (RK) dan
Photorefractive keratectomy (PRK).
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and Cassidy L,
Ophtalmology at a Glance. New York: Blackwell Science, 2005; 22-23.
2. James B, Chew C and Bron A, Lecture Notes on Ophtalmology. New York:
Blackwell Publishing, 2003; 20-26.
3. Whitcher J P and Eva P R, Low Vision. In Whitcher J P and Eva P R,
Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology. New York: Mc Graw Hill,
2007.
4. Wijana N. Astigmatisme. Ilmu Penyakit Mata. 3theditions. Jakarta, 1983;200-
3.
5. Ilyas S, Mailangkay H, Taim H, Saman R dan Simarmata M, 2003. Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan mahasiswa Kedokteran Edisi Ke-2.
Jakarta.
6. A. K. Khurana, Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and
Refraction, New Age International (P) limited Publishers, 12: 36-38, 2007.
7. Gerhard K. Lang, Ophthalmology A Short Textbook :Optics and Refractive
Errors, Thieme, p. 127-136, 2000.
8. Deborah, Pavan-Langston,Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 6th
Edition:Refractive Surgery, Lippincott Williams and Wilkins, 5:73-100,2008.
9. Roque M., 2009. Astigmatism, PRK. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1220845-overview#a0101
[Diakses tanggal 28 Juni 2011]
10. Harvey M. E., 2009. Development and Treatment of Astigmatism-Related
Amblyopia. Optom Vis Sci 86(6): 634-639. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2706277/pdf/nihms114434.pd
f??tool=pmcentrez
[Diakses tanggal 26 Juni 2011]
11. Choi H. Y., Jung J. H. and Kim. M. N., 2010. The Effect of Epiblepharon
Surgery on Visual Acuity and With-the-Rule Astigmatism in Children. Korean
J Ophthalmol 2010; 24(6) : 325-330. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3016080/pdf/1545-
6110_v108_p077.pdf??tool=pmcentrez
16