Anda di halaman 1dari 106

Penurunan visus dengan kondisi mata tenang

Seorang penderita pria usia 55 tahun datang ke Sultan Agung Eye Center dengan keluhan tajam penglihatan kedua matanya semakin buram. Keluhan tersebut
dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Dari anamnesis didapatkan riwayat memakai kacamata sejak usia 15 tahun dan sejak usia 40 tahun kacamata yang dipakai
adalah untuk jalan dan baca (bifocal). Penderita mengaku menderita Diabetes Mellitus (DM) dan hipertensi sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan
didapatkan VOD 3/60 dikoreksi dengan lensa sferis -1,75D menjadi 6/24nbc, VOS 6/60 dikoreksi dengan lensa sferis -1.50 D menjadi 6/12 nbc, addisi dengan
sferis +2,50 dapat membaca sampai Jagger 4, segmen anterior tenang, lensa keruh tidak merata, tekanan intraokuler (TIO) OD:18,5mmHg, OS:19,0mmHg. Pada
pemeriksaan segmen posterior didapatkan adanya kelainan pada retina dan vitreusnya. Dokter mata merencanakan laser fotokoagulasi retina dan injeksi anti VEGF
(Vasscular Endothelial Growth Factor) intravitreal sebelum dilakukan operasi pengambilan lensa mata yang keruh. Penderita juga dikonsultasikan ke dokter
spesiaslis penyakit dalam untuk pengelolaan faktor risiko yang ada.
STEP 1
 jalan dan baca (bifocal).: lensa untuk jalan dan baca  digunakan untuk usia lanjut yang sudah menderita presbiopi dan perlu tambahan atau addisi
sferis positif bergantung ada usia
40 tahun: S+1
50 tahun : S+2
50 tahun : S+3
Setiap 5 tahun, tambah 0,5 D, setiap 2 atau 3 tahun tambah 0,25D
JENIS LENSA
2.1 Material lensa
Terdapat berbagai macam material penyusun lensa, di antaranya kaca / glass dan plastik. Crown glass dengan indek refraksi 1.5223
merupakan material yang paling sering digunakan sebagai lensa kacamata. Bahan ini tersusun atas silika (70%), kalsium oksida (12%), sodium oksida
(15%) dan beberapa material lainnya dalam persentase yang kecil seperti potasium, borak dan sebagainya. Flint glass dengan indek refraksi 1.620
digunakan dalam membuat lensa bifokal atau lensa akromatik. Bahan ini tersusun atas lead oxide (60%), silika (30), dan bahan lainnya seperti potash
dan arsenik. Barium crown merupakan jenis material lensa yang telah menggantikan flint glass saat ini. Material ini tersusun atas barium oksida (35%),
silika (30%) dan sejumlah kecil bahan lainnya seperti lime, zinc, zincorim, alumunium dan sebagainya. 9,10
Lensa plastik secara umum terbuat dari dua materi yang berbeda yaitu polymethylmethocrilate (PMMA) dan resin. Lensa resin terbuat dari
allyl diglycol carbonate, merupakan alternatif dari crown glass. Resin ini lebih ringan, tidak mudah pecah dan antigores. Lensa plastik bahannya lebih
ringan dan tidak mudah patah, tapi mudah mengalami goresan dan melengkung.9,10

2.2 Jenis-jenis Lensa


2.2.1 Lensa sferis
Lensa didefenisikan sebagai sebuah medium refraksi yang dibatasi leh dua permukaan dengan aksis yang sama. Jika bentuk permukaannya
melengkung maka lensa tersebut dinamakan lena sferis. Lensa sferis terdiri dari dua jenis, lensa konveks atau lensa positif dan lensa konkaf atau lensa
negatif. Lensa konveks menyebabkan cahaya berkonvergen, sedangkan lensa konkaf menyebabkan sinar berdivergen. Kekuatan vergen total dari
sebuah lensa sferis tergantung dari kekuatan vergen dari tiap permukaannnya dan ketebalan lensa. 1,11,23,17
Sebuah lensa konveks jika dibagi dalm beberapa bagian dapat merupakan sebuah serial dari lesa prisma yang semakin membesar ke bagian
perifer, hal ini mengakibatkan sinar berkonvergensi. Pada lensa konkaf terjadi dalam prinsip yang hampir sama tetapi sinar yang lewat berdivergen. 20

Gambar 2. Perjalanan Sinar pada lensa sferis plus dan minus 20

2.2.2 Lensa astigmat


Seluruh meridian pada masing-masing permukaan lensa sferis memiliki kurvatura yang sama, sehingga menghasilkan refraksi yang simetris.
Pada lensa astigmat, meridian pada lensa tidak memiliki kurvatura yang sama, sehingga titik bayangan dari titik objek tidak terbentuk. Ada dua macam
lensa astigmat yaitu lensa silindris dan lensa torik. 1,11,23,17
Lensa silindris memiliki permukaan yang datar pada salah satu sisinya. Pada sisi dimana lensa tidak memiliki kekuatan vergen, hal ini
disebut dengan aksis dari silinder. Pada meridian yang sama dengan aksis tersebut, lensa silindris berperan sebagai lensa sferis. Efek total dari lensa ini
membentuk sebuah garis dari titik - titik bayangan, disebut dengan focal line, dan paralel terhadap aksis dari slinder.1,23

Gambar 2.1 Lensa


silindris 1

Lensa torik adalah


lensa yang memiliki
permukaan torik,
dimana permukaan
pada lensa silindris
memiliki kelengkungan yang berbeda-beda pada masing-masing meridiannya. Meridian dengan kurvatura maksimum dan minimum disebut dengan
meridian utama (membentuk sudut 90º satu sama lain).1,11,23

2.2.3 Lensa Prisma


Lensa prisma terdiri dari dua buah permukaan datar yang membentuk sudut tertentu. Sinar yang melewati prisma akan dibelokkan ke arah
basis dari prisma. Besarnya sudut deviasi tersebut tergantung dari besarnya sudut prisma tersebut. Besarnya kekuatan pisma yang digunakan dalam
praktik klinis diukur dalam prisma dioptri. Satu prisma dioptri mendeviasikan sinar yang lewat sebesar 1 cm sejauh jarak 1 meter dari prisma. 20,22,23,17
Gambar 2. Perjalanan sinar melewati lensa prisma 20

2.3 Lensa Bifokal


2.3.1 Sejarah Lensa Bifokal
Lensa multifokal (termasuk juga lensa bifokal) terutama digunakan untuk penatalaksanaan pada presbyopia. Penggunaan lainnya juga bisa
ditemukan pada kelainan disfungsi akomodasi pre-presbiopia seperti berkurangna amplitudo akomodasi atau acomodative infacility.
Lensa bifokal pertama kali ditemukan oleh Benjamin Franklin, dengan menggabungkan dua pasang kaca mata (kacamata jauh dan kacamata
baca) dengan cara memotong lensanya dua bagian dan menempatkan setengah bagiannya pada tiap-tiap lensa yang lain. Pada tahun 1837 Isaac
Schnaitmann membuat dan mematenkan sebuah lensa bifokal dengan mengasah pinggir atas dari stengah bagian bawah lensa yang digunakan untuk
lensa baca dan membuat setengah bagian atas untuk lens melihat jauh, lensa ini dinamakan dengan solid upcurved bifocal. Tahun 1888 August Morck
memperkenalkan bahan perekat bifokal dan mulai banyak dipakai hingga tahun 1920. Segmen bifokal dilekatkan ke lensa jauh dengan memakai balsem
kanada. Segmen menjadi luntur dan kadang-kadang jatuh dan kotorannya menumpuk pada pinggir segmen. Penyatuan lensa bifokal diperkenalkan oleh
J.R.Borsch, Jr seorang Oftalmologist Philadelphia. Tahun 1926 Univis Company memperkenalkan flat top bifokal pertama atau D segmen. Bifokal tipe
ini meminimalisir area yang tak terpakai pada bagian atas dari round segment dan mengurangi image jump 4,7,8,15,16

2.3.2 Dimensi segmen lensa bifokal


Ukuran bifokal ditentukan oleh lebar segmen bifokal (seg width) yaitu pada bagian paling lebar dari segmen ini. Lebar segmen ini diukur
dalam milimeter. Sebagai contoh, flat-top 25 (FT 25) adalah segmen bifokal berbetuk flat top dengan lebar segmen sebesar 25 mm. Dimensi lainnya
yang berkaitan dengan lensa bifokal adalah seg depth, yaitu dimensi vertikal dari segmen bifokal, hal ini tidak sama dengan tinggi segmen ( seg height)
yaitu jarak antara bagian pinggir bawah dari lensa hingga segmen atas dari segmen bifokal. Tinggi segmen bifokal tergantung dari dimensi vertikal dari
gagang lensa dan posisi apertura lensa terhadap titik referensi utama / major reference point (MRP). MRP biasanya juga merupakan pusat optis dari
lensa jauh. Seg drop adalah jarak vertikal MRP dengan pinggir atas segmen bifokal. 8

Gambar 2.3 Dimensi segmen bifokal 8

2.3.3 Bentuk Konstruksi Lensa Bifokal


Ada empat bentuk konstruksi lensa bifokal, yaitu split bifokal (franklin design), cemented bifokal, fused bifokal dan solid bifokal.

2.3.3.1 Split bifokal


Split bifokal merupakan desain pertama dari lensa bifokal. Lensa ini terdiri dari dua jenis lensa (lensa jauh dan lensa dekat) yang masing-
masing dipotong menjadi dua bagian kemudian digabungkan menjadi satu, setengah bagian atas untuk lensa jauh dan setengah agian bawah untuk lensa
dekat. Pusat optik dari bagian atas (jarak jauh) adalah pinggir bawah dan pusat optik dari bagian bawah (jarak dekat) adalah pinggir atas lensa dengan
demikian pusat optik ditempatkan bersebelahan satu sama lain. 1,12,13,14

Gambar 2.4 Split bifokal 1

2.3.3.2 Cemented bifokal


Pada lensa ini segmen lensa dekat dengan indeks refraksi yang sama dengan lensa jauh ditempelkan pada permukaan lensa jauh dengan
menggunakan balsam kanada (tree resin). Pinggir segmen dekat pada lensa ini sangat tipis sehingga lensa ini tampak seperti sebuah lensa tunggal.
Penggunaan balsam kanada sebagai material adhesif untuk menyatukan kedua segmen ini karena material ini memiliki indek refraksi yang hampir sama
dengan kaca. Keuntungan dari tipe ini adalah segmen tersebut dapat dibuat dalam berbagai macam kekuatan refraksi dan dapat diposisikan dimana saja
pada lensa utama. Lensa tipe ini sangat membantu pada pasien dengan tajam penglihatan yang rendah yang memerlukan kekuatan addisi yang tinggi
(+20 D).1,10

Gambar 2.5. Cemented bifokal 1

2.3.3.3 Fused bifokal


Pada fused bifokal ini segmen dekat yang memiliki indek refraksi yang berbeda dengan lensa utama (lensa jauh) digabungkan dengan cara
heat fusing. Penyatuan bifokal segmen baca dibuat dengan membenamkan kaca seperti kancing dari indek tinggi dalam cekungan lensa utama yang
terbuat dari kaca crown. Permukaan lensa segmen dekat kemudian di gerinda sehingga memiliki kurvatura yang sama dengan lensa utama. Peningkatan
kekuatan dioptri dibedakan oleh peningkatan indek refraksi bottom dan radius kelengkungan yang terbenam. 1,10,12,13,14

Gambar 2.6 Fused bifokal 1

2.3.3.4 Solid bifokal


Solid bifokal merupakan desain lensa bifokal dimana kekuatan addisi dihasilkan dengan cara membuat kurvatura yang berbeda pada pada
permukaan depan atau belakang dari sebuah lensa dengan material yang sama. Material lensa solid bifokal biasanya terbuat dari plastik. 1,10

Gambar 2.7 Solid bifokal 1

2.3.4 Model dari Segmen Bifokal


2.3.4.1 Round segment
Round segment secara klasik memiliki diameter segmen sebesar 22 mm dan merupakan pengembangan dari tipe kryptok, tetapi juga tersedia
dalam ukuran lain. Kelebihan dari bifokal tipe ini adalah secara kosmetik lebih baik karena segmen ini tidak begitu terlihat. Kekurangan dari lensa tipe
ini adalah efek image jump yang dihasilkan cukup besar karena jarak antara puncak segmen dengan pusat optik cukup lebar, selain itu, karena puncak
dari segmen ini melengkung menyebabkan lebar area untuk penglihatan dekat tidak cukup.15
Sebuah variasi lain dari tipe round segment adalah blended bifocal. Batas antara segmen jauh dan segmen dekat dipadukan sehingga tidak
tampak dan tampilan secara kosmetik lebih baik. 15,17

Gambar 2.8 Round segment bifocal 12

2.3.4.2 Flat Top


Flat top bifokal adalah jenis bifokal yang paling sering diresepkan. Flat top bifokal atau D segmen diperkenalkan pada tahun 1926. Univis
Lens Company pertama kali mempromosikan bentuk bifokal ini, dinamakan D karena segmen berbentuk huruf D yang ditempatkan dalam posisi
horizotal. Bentuk lensa ini dibentuk oleh beberapa pabrik dengan lebar segmen antara 20 mm-45 mm. 5,16,17
Dengan mengurangi bagian bundar pada bagian puncak segmennya, area untuk penglihtan dekat langsung berada di bawah pinggir atas
segmen, dan oleh karena pusat optiknya berada 5 mm di bawah dari segmen bagian atas, besarnya efek image jump lebih sedikit dibanding jenis round
top. selain itu kelebihan dari lensa tipe ini adalah relatif lebih ringan, dapat memberikan luas lapang pandang yang baik dan secara kosmetik lebih
menarik.15

Gambar 2.9 Flat top bifocal 12

2.3.4.3 Round Top / Ultex


Bifokal tipe ultex memiliki efek image jump yang sangat besar (pusat optik berada 19-20 mm di bawah pucak segmen) dan juga zona
penglihatan jauh yang sedikit pada bagian bawah dari lensa ini, oleh karena itu lensa ini tidak cocok untik penggunaan secara umum. Tetapi lensa ini
sangat cocok diberikan pada pasien hipermetropia yag memiliki pekerjaan pada jarak yang cukup dekat. 15
Ultex AA diresepkan untuk pasien yang pekerjaan utamanya melihat dekat, membutuhkan segmen di atas pusat pupilnya. Metoda standar
dengan membuat atas dari segmen dari pinggir di bawah kelopak mata bawah.6,14,18

Gambar 2.10 Round top bifocal 12

2.3.4.4 Executive bifokal


Executive bifokal adalah one piece / solid bifokal, kadang-kadang disebut juga dengan istilah franklin bifokal. Lensa tipe ini tidak memiliki
efek image jump karena pusat optik dari segmen addisi berada pada puncak segmen. Lensa ini memiliki zona untuk penglihatan yang sangat lebar
dibanding tipe bifokal lainnya. Tipe ini sangat cocok digunakan pada pasien yang memiliki pekerjaan dengan jarak penglhatan yang sangat dekat. 8,15

Gambar 2.11 Executive bifocal 12

ASPEK KLINIS LENSA BIFOKAL

3.1 Tinggi Segmen Bifokal


Pinggir atas dari segmen bifokal diukur dari pinggir kelopak mata bawah. Ini dimodifikasi menurut kepuasan pasien dengan tinggi segmen
yang dipakai pasien, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk pekerjaannya. Kadang-kadang pasien tidak senang dengan bifokal karena letak segmennya
terlalu tinggi atau rendah, sehingga pasien mengangkat kacamatanya dengan tangan ketika membaca. 7
Tinggi segmen harus dipilihkan pada tiap pasien, terutama untuk yang bekerja di meja atau untuk pengawasan area baca yang luas, seperti
pemegang buku yang menggunakan alat pembesar, segmen atas harus mencapai batas bawah atau pusat pupil. Sekarang jarang dibuat segmen lebih dari
20 mm. Kadang-kadang mungkin dibutukan untuk keadaan segmen 7 mm atau 20 mm di bawah kelopak mata bawah, ini diindikasikan sebagai
permintaan dari pasien yang ingin segmennya agak ke bawah karena takut jatuh turun tangga.7,19

3.2 Kemiringan Lensa


Lensa harus dimiringkan dengan sudut 10 o - 20o pada bottom, jadi aksis visual tegak lurus pada permukaan lensa ketika pasien membaca,
dengan demikian mencegah astgmat oblik. Idealnya aksis visus tegak lurus pada permukaan lensa untuk melihat jauh dan dekat. Secara klinis
kemiringan lensa tidak cukup tidak mempunyai pengaruh terhadap penglihatan jika tidak lensa kuat, seperti pada koreksi afakia atau minus tinggi.
Sferis kuat tidak dimiringkan menghasilkan peningkatan sferis dan silinder posiif pada aksis 180 o untuk penglihatan dekat atau meningkatkan kekutan
dari silindris positif pada aksis 180 o. Kegagalan memiringkan bottom ke arah dalam pada lensa kuat menyebbkan timbulnya astigmat sudut oblik
melalui lensa. Besarnya slindris yang timbul sebanding dengan derajat oblik.7

3.3 Efek Prisma Pada Bifokal


Semua lensa bertindak sebagai prisma ketika sinar tidak melewati pusat optis dari lensa tersebut. Besarnya efek prisma tergantung dari
kekuatan lensa dan jarak terhadap pusat optis lensa. Berdasarkan hukum Prentice besarnya efek prisma (dalam prisma dioptri) adalah besarnya
kekuatan lensa (dioptri) dikali dengan jarak pinggir segmen dari pusat optis nya (cm).16,19
Δ=h x D Δ = Besar efek prisma dioptri
h = Jarak dari pusat optik
D = Besarnya kekuatan lensa

3.3.1 Image Jump


Image jump adalah sensasi perpindahan bayangan yang dirasakan pasien ketika mata melirik ke arah bawah melewati segmen bifokal.
Ketika mata berhadapan dengan segmen bifokal, maka mata akan dihadapkan dengan sebuah lensa plus baru dengan pusat optis yang berbeda, sehingga
objek kelihatan melompat ke atas, hal ini tidak terjadi jika pusat optis dari segmen addisi berada pada sisi paling atas dari segmen bifokal ini. 16,19
Oleh karena adanya bayangan ganda dan adanya fokus yang berlawanan di dekat puncak segmen bifokal, para pengguna bifokal biasanya
memiliki kebiasaan untuk menghindari fiksasi pada garis pertemuan segmen bifokal ini dan menggunakan pergerakan mata sakadik untuk berpindah
dari zona penglihatan jauh ke zona peglihatan dekat.15

Gambar 3.1 Image Jump pada Lensa Bifokal 16

3.3.2 Image Displacement


Image displacement adalah total kekuatan vertikal prisma, kombinasi antara lensa jauh dan segemen dekat antara kedua mata pada posisi
membaca. Untuk meminimalisir image displacement sebuah round top segmen diberikan pada lensa plus sedangkan untuk flat top diberikan pada lensa
minus. 16,19

Gambar 3.2 Image displacement pada lensa bifokal 16


 VOD 3/60
Visus mata kanan: Orang normal dapat melihat hitung jari di jarak 60 meter, sedangkan pasien hanya bisa melihat di jarak 3 meter
Bila mata kanan pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan
pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.

Dengan Optotype Snellen dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan melihat seseorang, seperti : 
1) Bila visus 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
2) Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
3) Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
4) Bila visus adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
5) Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal
pada jarak 60 meter.
6) Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan
pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
7) Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan visus pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau
lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti visus adalah 1/300.
8) Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam
penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
9) Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total. Visus dan penglihatan
kurang dibagi dalam tujuh kategori.
 lensa sferis -1,75D menjadi 6/24nbc, : dengan lensa sferis -1,75 visus pasien menjadi 6/24
 VOS 6/60 dikoreksi dengan lensa sferis -1.50 D menjadi 6/12 nbc, :
Bila pasien hanya dapat melihat huruf terbesar dengan visus 6/60 berarti ia hanya dapat melihat huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf
tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
 addisi dengan sferis +2,50 dapat membaca sampai Jagger 4, :
kartu jagger
Berbeda dengan jenis kartu lainnya yang berguna untuk mengukur ketajam penglihatan dari jarak jauh, kartu Jaeger merupakan kartu yang digunakan
untuk mengukur tajam penglihatan jarak dekat.
Kartu ini dibaca dalam jarak 30 cm, jarak membaca yang baik dan benar. Masing-masing baris pada kartu ini berisikan kalimat, bukan satu huruf atau
angka seperti kartu lainnya, dan penilaian tajam penglihatan dapat dilakukan tanpa perlu menutup salah satu mata terlebih dahulu.

Pada pasien berusia 40 tahun ke atas, perlu ditambahkan lensa addisi sesuai usia, sampai bisa membaca kartu Jaeger J 30 atau reading card 30 pada
jarak ±33 cm.
Tes dibawah ini merupakan tes yang disebut tes Jaeger. Berbeda dengan sebelumnya, tes ini untuk menguji kondisi rabun dekat dan dilakukan dengan
meminta pasien membaca kertas yang ada diatas meja didekatnya, tidak dipampang jauh seperti tes Snellen. Penanganan dari rabun dekat adalah
penggunaan kacamata berlensa plus. Berikut adalah bentuk tes Jaeger.

Teknik Pemeriksaan:
a) Setelah mendapatkan koreksi terbaik untuk penglihatan jauh (BCVA) pasien diinstruksikan untuk membaca tulisan pada Jaeger Chart pada jarak
33 cm.
b) Cek mata kanan terlebih dahulu, setelah itu cek mata kiri baru kemudian cek dengan kedua mata terbuka. Catat sampai angka berapa pasien dapat
membaca dengan jelas dan benar.
c) Apabila pasien tidak dapat membaca tulisan yang paling kecil maka diberikan koreksi tambahan dengan lensa plus hingga pasien dapat melihat
dengan jelas seluruh tulisan pada Jaeger Chart

Tes Jaeger
Alat pemeriksaan visus untuk jarak dekat adalah dengan menggunakan Jaeger eye chart (dengan jarak baca 30-40 cm). Jaeger eye chart digunakan
untuk membaca dekat dan untuk menentukan penglihatan jarak dekat seseorang. Pada chart tersebut, ada notasi J1 kemudian ada paragraf dengan teks
yang paling kecil, selanjutnya tulisan di paragraf berikut (seterusnya) menjadi lebih besar ditandai dengan peningkatan nomor J (misalnya J2, J3).
Nomor 15 pada gambar di atas berada di tengah atas dari baris tulisan yang paling kecil yang ditandai dengan J1. Nomor ini mewakili penglihatan
20/15. J2 punya nomor 20, untuk penglihatan 20/20. Semakin besar huruf pada paragraf, menunjukkan penurunan kejelasan penglihatan. Standar
kejauhan Jaeger eye chart untuk memeriksa seseorang adalah 12-14 inci, atau 305-356 mm.

 tekanan intraokuler (TIO) OD:18,5mmHg, OS:19,0mmHg.


Tekanan intraokular normal rata-rata 15 mmhg, (12-20 mmhg)/ N: 10-20 mmHg
OD:18,5mmHg, OS:19,0mmHg.  terjadi sedikit peningkatan tekanan intraokular tapi masih dalam batas normal
 laser fotokoagulasi retina dan injeksi anti VEGF (Vasscular Endothelial Growth Factor) intravitreal

Pendahuluan

Glaukoma neovaskular (neovascular glaucoma/NVG) adalah glaukoma sekunder yang dapat menyebabkan kebutaan, ditandai dengan perkembangan
neovaskularisasi iris, peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan, dalam banyak kasus, memiliki prognosis visus yang buruk. Dahulu, NVG disebut
sebagai glaukoma kongestif, glaukoma rubeotik atau glaukoma hemoragik diabetik. Pada tahun 1963, Weiss et al. mengajukan terminologi NVG.1
Angka insidensi dan prevalensi NVG hingga kini belum dilaporkan secara akurat. Diperkirakan tingkat prevalensi NVG sekitar 3,9%.2 Pada sebuah
penelitian di Rumah Sakit selama tahun 2005-2007 ditemukan insidensi glaukoma neovaskular mencapai 8%.3 Glaukoma neovaskular berhubungan
erat dengan iskemia retina, yang biasanya sekunder dengan proliferative diabetic retinopathy (PDR) dan oklusi vena retina sentral.4 Sekitar 23-60%
NVG terjadi setelah oklusi vena retina sentral,5 32% terkait dengan PDR dan 13% terjadi setelah obstruksi arteri karotis. Glaukoma neovaskular lebih
banyak ditemukan pada pasien usia lanjut yang memiliki faktor risiko kardiovaskuler seperti hipertensi dan diabetes, dan lebih agresif pada pasien yang
memiliki sindrom obstructive sleep apnea.2

Vascular Endothelial Growth Factor atau VEGF berperan penting dalam memperantarai neovaskularisasi intraokular aktif pada pasien dengan penyakit
iskemik retinal.1 VEGF biasanya dilepaskan setelah iskemi retina,  dan menyebar melalui aqueous humor ke segmen anterior mata  sehingga
terjadi neovaskularisasi iris, sudut iridokornea dan membran jaringan ikat.  Kemudian, diikuti sinekia dari iris perifer dan trabecular meshwork, 
yang menyebabkan peningkatan TIO dan  bahkan dapat terjadi kebutaan.4 Terapi glaukoma neovaskular saat ini masih belum memuaskan karena
kompleksitas penyakit. Onsetnya mendadak dan menginduksi peningkatan tekanan intraokuler (TIO) yang dapat menyebabkan kebutaan jika tidak
segera mendapatkan penanganan. Umumnya obat antiglaukoma tidak efektif menurunkan TIO pada NVG dan bedah antiglaukoma tradisional juga
tidak dapat dilakukan karena banyaknya pembuluh darah baru di permukaan iris dan sudut iridokornea, dan cedera pembuluh darah ini dapat memicu
perdarahan intraoperatif.4 Tatalaksana yang tepat diperlukan untuk mengelola glaukoma neovaskular untuk mencegah kebutaan. Pemberian anti-
VEGF melalui injeksi intraokular telah dilaporkan dapat menyebabkan regresi neovaskularisasi yang terjadi.6 Oleh karena itu, artikel ini akan
membahas peran anti-VEGF pada glaukoma neovaskular.

Isi

Glaukoma neovaskuler adalah bentuk yang berat dari glaukoma, yang terjadi akibat perkembangan pembuluh darah baru yang menyebabkan obstruksi
aliran aqueous humor, sekunder terhadap iskemia segmen porsterior. NVG berhubungan dengan perkembangan membran fibrovaskular pada
permukaan anterior iris dan sudut iridokorneal dari kamera okuli anterior.  Invasi kamera okuli anterior oleh membran fibrovaskular awalnya akan 
menghambat aliran aqueous humor pada kondisi sudut terbuka dan  selanjutnya berkontraksi untuk menghasilkan glaukoma sudut tertutup sinekia
sekunder dengan TIO yang tinggi.1

Iskemia retina telah dilaporkan menyebabkan  peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF),  yang memicu kaskade
angiogenik  yang mendorong perkembangan neovaskularisasi iris dan sudut kamera anterior. Kadar VEGF pada aqueous humor berkorelasi erat
dengan tingkat neovaskularisasi, dan inhibisi VEGF melalui injeksi antibodi monoklonal anti-VEGF intravitreal pada mata primata non-manusia
dewasa telah dilaporkan dapat mencegah neovaskularisasi iris terkait dengan iskemia retina.6 Banyak penyakit sistemik dan kondisi mata yang
menyebabkan galukoma neovaskular, namun semuanya menunjukkan etiologi yang sama, yaitu iskemia retina.

Hipoksia  memicu kaskade pro-angiogenik yang menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah baru dengan gangguan permeabilitas.

Penyebab NVG yang paling umum ditemukan adalah proliferative diabetic retinopathy dan oklusi vena retina sentral.2

Neovaskularisasi adalah proses yang melibatkan interaksi kompliks berbagai faktor angiogenik. Pembentukan pembuluh baru pada mata sangat
dipengaruhi oleh ketidakseimbangan antara faktor proangiogenik (seperti VEGF) dan faktor antiangiogenik lainnya (seperti pigment-epitheliumderived
factor).7 Faktor pertumbuhan VEGF dan insulin growth-1 factor diproduksi secara lokal di mata manusia oleh berbagai sel termasuk sel Mueller, sel
epitel pigmen retina, perisit kapiler retina, sel endotel dan sel ganglion. Neovaskularisasi  ditemukan bersama dengan peningkatan insulin growth-1
factor dan induksi ekspresi VEGF pada sel glial retina. Insulin growth-1 factor yang terakumulasi dalam aqueous humor menyebabkan rubeosis
iridis (Neovaskularisasi pada iris) dan  selanjutnya adhesi antara kornea dan iris  bisa menghalangi aliran aqueous humor.  Konsentrasi VEGF
bisa menurun setelah regresi neovaskularisasi iris. Epitel silier tak-berpigmen adalah lokasi penting dari sintesis VEGF pada pasien dengan
NVG.1
Untu
k membedakan dalam pemberian terapi yang spesifik, glaukoma neovaskular diklasifikasikan menjadi tiga derajat berdasarkan karakteristik sudut, iris
dan TIO. Derajat glaucoma neovaskular terdiri dari:2,6

o Stage 1, terdapat bukti neovaskularisasi iris dan/atau sudut iridokornea, namun TIO normal.
o Stage 2, sudut kamera anterior terbuka, namun pertumbuhan jaringan fibrovaskula rdi atas trabecular meshwork menekan aliran aqueous
humor sehingga meningkatkan TIO
o Stage 3, jaringan fibrovaskular berproliferasi dan berkontraksi, memicu penutupan sudut progresif, TIO sangat tinggi (kadang dapat
mencapai 60-70 mmHg) dan dapat ditemukan eversi tepi pupil.

Hifema dapat terjadi secara spontan pada stage 2 dan 3 akibat rupturnya pembuluh dari baru iris atau sudut iridokornea yang rapuh.6

Gambar 1. Neovaskularisasi iris.1

Gambar 2. Neovaskularisasi sudut iridokornea.1

Talaksana NVG terdiri dari dua komponen utama: (1) pengelolaan elevasi TIO dan (2) mengurangi iskemik, yang secara tradisional melalui
photocoagulation panretinal (PRP). Jika diterapkan lebih awal, PRP dapat menginduksi regresi neovaskularisasi anterior dan posterior. Namun,
respons terhadap PRP yang adekuat seringkali inkomplit, dan perawatan laser yang efektif mungkin terhambat oleh adanya media berawan sekunder
yang terjadi akibat edema kornea, hifema, katarak, dan/atau perdarahan vitreus. Selain itu, efek PRP sering memakan waktu beberapa minggu untuk
diterapkan; selama periode ini, penutupan sudut dan kerusakan mata lebih lanjut dapat terjadi karena peningkatan TIO yang terjadi secara terus
menerus.6

Meskipun siklokrioterapi dan siklofotokoagulasi dapat secara efektif menurunkan TIO, atrofi okular dan kebutaan dapat terjadi pada banyak pasien
NVG. Terapi yang saat ini sedang populer untuk NVG adalah injeksi antibodi anti-VEGF intravitreus. Melalui obat ini, diharapkan terjadi
penurunan kadar VEGF intraokular dan regresi neovaskularisasi retina, sudut iridokornea dan iris. Selain itu, bevacizumab intravitreal telah digunakan
secara luas untuk mencegah pembentukan sinekia ireversibel pada rubeosis awal dan untuk mengontrol TIO pada pasien dengan neovaskularisasi iris
saja dan pada tahap awal NVG tanpa sudut tertutup.4 Efek VEGF pada pemulihan luka terkait dengan perannya dalam vaskularisasi dan fibrosis
jaringan. Setiap isoform VEGF bekerja secara akif pada pertumbuhan dan permeabilitas endotel vaskular normal dan patologis. Faktor pertumbuhan ini
menyebabkan fibrosis dan deposisi kolagen pada pemulihan luka normal. Agen antivascular endothelial growth factor (anti-VEGF) dapat digunakan
untuk memodifikasi perjalanan penyakit glaukoma neovaskular. Anti-VEGF menginduksi regresi cepat dari neovaskularisasi segmen anterior. Selain
itu, agen anti-VEGF juga digunakan untuk memodifikasi respon penyembuhan luka pada operasi glaukoma tradisional.8

Injeksi anti-VEGF dapat menyebabkan regresi neovaskularisasi iris dan sudut iridokorneal, dan kontrol tekanan intraokular saat sudut tetap terbuka.
Namun, efek agen anti-VEGF sepertinya hanya menimbulkan regresi neovaskularisasi sementara di sudut kamera anterior serta penurunan TIO,
umumnya antara empat sampai enam minggu.1,7 Pemberian anti-VEGF preoperatif juga mengurangi mencegah perdarahan masif selama operasi.
Selain itu, anti-VEGF efektif untuk menghambat progresi penyakit pada pasien yang tidak dapat menjalani complete pan-retinal photocoagulation
(PRP) karena berbagai alasan. Anti-VEGF dapat diulang jika diperlukan.4 Manajemen NVG yang paling efektif adalah PRP, efeknya dengan
memperbaiki keadaan sirkulasi darah retina danmencegah pelepasan VEGF.  Penekanan VEGF berkontribusi pada regresi neovaskular pada
iridokornea dan iris. Dibandingkan terapi anti-VEGF, PRP secara radikal memperbaiki iskemia retina dan dengan demikian menghambat pelepasan
VEGF, namun obat anti-VEGF yang diinjeksi intraokular hanya bertahan secara lokal dalam jangka pendek karena waktu paruhnya yang
pendek (20 hari) sehingga anti-VEGF tidak menghambat pelepasan VEGF dalam jangka panjang. Reaktivasi proses neovaskularisasi dilaporkan
terjadi antara 4-10 minggu post injeksi.6,9 Dengan demikian, terapi anti-VEGF sebaiknya dikombinasikan dengan PRP atau sebaga itambahan
pada intervensi bedah karena dapat meningkatkan keluaran setelah intervensi.

Angiogenesis terjadi ketika VEGF berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel endotel, yang menyebabkan pertumbuhan dan proliferasi
pembuluh darah baru.9

Banyak efek samping dari agen anti-VEGF yang telah dilaporkan, antara lain perdarahan vitreus, cedera pada lensa, abalsio retina, oklusi arteri retina
sentral, perubahan morfologis pada fibroblast kornea, dan endoftalmitis. Peningkatan TIO, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang, seringkali
menjadi perhatian pada pasien dengan hipertensi okuli atau glaucoma sebelumnya. Pada terapi awal NVG, volume intraocular tambahan dari injeksi
dapat memburuk TIO, sehingga membutuhkan parasintesis kamera okuli anterior atau terapi medis yang agresif. 8 Terapi anti-VEGF juga saat ini
sedang dikembangkan dalam bentuk topikal. Anti-VEG drop dapat menembus jaringan kornea menuju kamera anterior. Sediaan ini juga lebih aman
untuk diberikan pada pasien dibandingkan dengan injeksi intravitreal, yang memiliki risiko seperti perdarahan vitreus, katarak traumatik, ablasio retina,
endoftalmitis dan peningkatan TIO sementara dan/atau jangka panjang.9,10 Pada akhirnya, masih ada perdebatan tentang efektivitas anti-VEGF
dalam tatalaksana NVG. Ada bukti yang menunjukkan bahwa praterapi dengan anti-VEGF sebelum operasi glaukoma untuk menurunkan TIO secara
signifikan menurunkan frekuensi hifema. Tapi lebih jauh lagi penelitian masih diperlukan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang kontrol IOP,
ketajaman penglihatan dan efektivitas biaya injeksianti-VEGF. Penting untuk diingat bahwa injeksi intravitreal kontinyu anti- VEGF dapat
menyebabkan peningkatan TIO baik sementara dan berkelanjutan.1,11
Ringkasan

Glaukoma neovaskular adalah glaukoma sekunder akibat iskemia retina yang terjadi setelah berbagai kondisi sistemik atau okular. Penyebab utama
glaukoma neovaskuler adalah proliferative diabetic retinopathy dan oklusi vena retina sentral. VEGF berperan dalam patogenesis penyakit ini melalui
sifatnya sebagai faktor pertumbuhan pro-angiogenik. Pemberian anti-VEGF telah menjadi teroboson untuk terapi glaukoma neovaskuler. Namun,
karena injeksi anti-VEGF intravitreal memiliki masa kerja singkat maka sebaiknya terapi ini dikombinasikan dengan terapi lain seperti PRP atau
intervensi bedah.

Simpulan

Anti-VEGF dapat dijadikan terobosan terbaru dalam pengobatan glaukoma neovaskular.

Sumber: Istighfariza Shaqina dan Rani Himayani | Anti-VEGF Sebagai Tatalaksana Terbaru Neovaskular Glaukoma Majority ǀ Volume 7 Nomor 1 ǀ
November 2017 ǀ 169 Anti-Vascular Endothelial Growth Factor sebagai Tatalaksana Terbaru Neovaskular Glaukoma Istighfariza Shaqina1; Rani
Himayani2 1Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

2.1 Kajian Pustaka

Retinopati diabetik adalah suatu kelainan vaskular retina yang didapatkan pada penderita diabetes mellitus tipe 1 dan 2 setelah 10 – 15 th, dan dapat
berkembang ke dalam beberapa tingkat penyakit. Gambaran klinis awal penyakit ini meliputi mikroaneurisma dan pendarahan retina.9 Pada keadaan
yang lebih lanjut, kelainan ini dapat ditandai dengan pertumbuhan abnormal pembuluh darah retina yang disebabkan oleh iskemia retina. Pembuluh
darah yang abnormal tersebut akan menjalar kearah retina yang iskemik untuk memperdarahinya.10,11 Penatalaksanaan Retinopati diabetik, dibuat
berdasar pada tingkat kelainan penyakitnya. Salah satu cara adalah dengan menggunakan fotokoagulasi laser yang digunakan pada Retinopati diabetik.8

2.1.1 Patogenesis Retinopati Diabetik

Hiperglikemia yang cukup lama  dapat menyebabkan perubahan endotel vaskular, yang ditandai dengan dilatasi pembuluh darah, mikroaneurisma,
eksudasi, pendarahan dan terbentuknya neovaskularisasi. Kelainan vaskular ini disebabkan oleh hilangnya perisit yang melekat pada membrana basalis
yang berfungsi mengatur kontraktilitas kapiler , mempertahankan struktur pembuluh darah dan membantu fungsi sawar.

Keadaan lain yang mungkin timbul adalah penebalan membrana basalis yang terjadi karena gangguan sintesis matriks ekstraseluler, yang berakibat 
hilangnya hubungan antara perisit dengan endotel sehingga terjadi proliferasi endotel yang berlebihan.  Hal ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan perlekatan platelet dan agregasi trombosit, kadar serum lipid dan fibrinolisis yang abnormal, serta jumlah hormon yang tidak normal
seperti vascular endothelial growth factor (VEGF). 9,11

2.1.2 Klasifikasi Retinopati Diabetika

International Clinical Diabetic Retinopathy and Diabetic Macular Edema Disease Severity Scales (2002) mengemukakan klasifikasi retinopati diabetik
berdasarkan penelitian ETDRS sebagai

o nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR), yang juga dikenal sebagai background diabetic retinopathy (BDR)
NPDR dibagi menjadi
- NPDR ringan ( hanya terdapat mikroaneurisma),
- NPDR sedang ( lebih dari hanya mikroaneurisma ringan tetapi lebih ringan dari NPDR berat), dan
- NPDR berat (lebih dari 20 perdarahan intra retina di setiap kuadran pada 4 kuadran , atau venous beading yang terjadi pada dua
kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran).
o Proliferatif diabetic retinopathy (PDR). 9,11 Proliferatif diabetic retinopathy (PDR) didiagnosis jika didapatkan neovaskularisasi dan atau
perdarahan vitreus/preretina yang dibagi menjadi
- PDR awal ( adanya neovaskularisasi di diskus/NVD (neovaskularization of the disc ) atau tempat lain / NVE (neovascularization
elsewhere) ),
- PDR resiko tinggi ( NVD ≥ ⅓ - ¼ daerah diskus atau NVD disertai perdarahan vitreus/ preretina, atau NVE ≥ ½ daerah diskus
dan perdarahan preretina/ vitreus), serta
- PDR berat ( polus posterior tertutup oleh perdarahan preretina/vitreus) 11 Selama progresifitas retinopati diabetik berjalan,
edema makula diabetik ( Diabetic macular edema/ DME) dapat terjadi, karena rusaknya sawar darah retina sehingga terjadi
kebocoran pembuluh kapiler yang hiperpermiabel. DME dapat dibagi menjadi
 non CSME dan
 CSME (Clinically significant macular edema), 11 termasuk CSME bila terdapat penebalan retina pada jarak 500 m
dari sentral makula, atau terdapat eksudat keras pada daerah tersebut, atau terjadi penebalan retina yang lebih luas dari
1 area diskus dalam jarak 1 diameter diskus dari sentral makula.8,11

2.1.3 Penatalaksanaan Retinopati Diabetik

2.1.3.1 Pemeriksaan rutin

Kelainan metabolik pada diabetes melitus mempunyai pengaruh besar pada komplikasi yang mungkin terjadi. Kelainan sistemik dan beberapa keadaan
juga dapat berpengaruh terhadap tingkat retinopati diabetik, misalnya peningkatan serum lipid dan hpiertensi. Peningkatan serum lpi id dapat
menyebabkan terjadinya eksudat retina pada NPDR dan edema makula.11 Hipertensi yang tidak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas edema
makula dan Retinopati diabetik secara umum. 11

2.1.3.2 Pemeriksaan tambahan

 Pada penderita retinopati diabetik, diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan yang berguna untuk mengontrol derajat progresifitas
retinopati diabetik. Angiografi fluoresin (FFA) berguna untuk membantu mengetahui derajat penyakit dengan mengetahui banyaknya
kebocoran pada retina dan neovaskularisasi yang terjadi.
 Ultrasonografi (USG) membantu pemeriksaan Retinopati diabetik yang disertai kekeruhan media.
 Optical coherence tomography (OCT ) dapat memberikan gambaran vitreoretina, retina dan ruang dibawah retina dengan resolusi yang
tinggi, sehingga dapat digunakan untuk memonitor edema makula dan mengetahui traksi vitreo makula.11

2.1.3.3 Fotokoagulasi Laser


Fotokoagulasi laser dilakukan untuk mengurangi resiko penurunan penglihatan yang disebabkan oleh retinopati diabetik, dan bertujuan untuk
membatasi kebocoran vaskular pada daerah retina yang mengalami kerusakan, dapat dilakukan pada edema makula dan daerah yang mengalami
kebocoran yang difus. Pasien dengan NPDR tanpa edema makula bukan indikasi terapi fotokoagulasi laser. Hal terpenting pada pasien – pasien ini
adalah disiplin dalam memonitor kadar gula darah secara teratur tiap 4 – 6 bulan sekali. 6,7,8,9

Terdapat beberapa tekhnik fotokoagulasi laser, yaitu :

1. Panretinal photocoagulation (PRP)/Scatter


Pada retinopati diabetik, fotokoagulasi yang digunakan adalah PRP ( Panretinal photocoagulation), yang dilakukan dalam pola menyebar
( scatter) pada retina, yang berguna untuk regresi neovaskularisasi, tetapi intensitas dan besarnya bakaran pada PRP bervariasi tergantung
dari setiap kasus dan protokol yang ditetapkan. 7,8,9
2. Focal dan Grid Laser Photocoagulation
Penatalaksanaan edema makula pada retinopati diabetik dapat menggunakan dua metoda yang berbeda dengan PRP, yaitu
1) Focal laser photocoagulation
diarahkan langsung pada pembuluh darah yang abnormal dengan tujuan mengurangi kebocoran cairan yang kronis.8,9
2) Grid laser Photocoagulation
digunakan pada kebocoran difus, dan dilakukan dengan pola grid pada area yang edema.8,9

Indikasi tindakan fotokoagulasi laser.8 yaitu :

1) NPDR yang dIsertai dengan CSME. Pada dasarnya semua pasien denganCSME memerlukan terapi fotokoagulasi untuk melindungi makula dan
penglihatan sentral8
2) PPDR (preproliferative retinopathy)
merupakan indikasi terapi laser, karena resiko perkembangan penyakit kearah PDR tinggi ( 10 – 50 % dalam 1 tahun kecuali diterapi dengan
laser). Keadaan ini mengindikasikan iskemi retina yang progresif, ditandai dengan perdarahan di seluruh kuadran retina, atau didapatkan kaliber
vena yang abnormal ( beading ) di dua kuadran atau setidaknya terdapat IRMA ( intraretinal microvascular abnormalities ) di satu kuadran, dan
cotton wool spot.8
3) Early/moderate PDR ( proliferative diabetic retinopathy )
Penderita early/moderate PDR merupakan indikasi terapi laser, karena sudah didapatkan pertumbuhan neovaskularisasi yang tidak normal
sehingga fotokoagulasi laser dapat meregresi neovaskularisasi ini. Keadaan ini ditandai dengan perdarahan luas, eksudat lunak, cotton wool spot,
dan perdarahan intraretina yang multiple disertai NVE ( neovascularization elsewhere ) 8
4) PDR dengan CSME
Keadaan ini merupakan indikasi fotokoagulasi laser untuk meregresi neovaskularisasi yang tidak normal dan untuk melindungi makula juga
penglihatan sentral.
Keadaan ini ditandai dengan perdarahan subretinal yang luas disertai eksudat. Focal/grid dan PRP ( panretinal photocoagulation) merupakan
pilihan terapi pada keadaan ini8
5) PDR lanjut yang disertai neovaskularisasi
Keadaan ini merupakan stadium lanjut retinopati diabetik, biasanya ditandai dengan neovaskularisasi pada diskus ( NVD ) pada area yang lebih
besar dari ¼ ukuran diskus, atau perdarahan vitreus dan perdarahan preretina yang disertai NVD, atau perdarahan vitreus dan preretina yang
disertai neovaskularisasi lebih besar dari ½ diameter diskus tetapi jauh dari diskus optikus ( NVE ).8

Pada keadaan ini, laser merupakan pilihan terapi untuk meregresi neovaskularisasi yang tidak normal dengan syarat, operator dapat melihat fundus
retina secara adekuat, karena jika terjadi perdarahan vitreus yang hebat, akan sulit bagi operator untuk melakukan laser, sehingga pada keadaan ini
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan vitrektomi.8

2.1.3.4 Operatif

Tindakan bedah yang dilakukan adalah vitrektomi pars plana, yang dilakukan bila terdapat media yang keruh, perdarahan vitreus, ablasio retina traksi
yang mengenai makula dan ablasio retina kombinasi traksi dan regmatogen (Retina orang yang mengalaminya akan berlubang, robek atau rusak).11

Sumber: TERAPI FOTOKOAGULASI LASER PADA PASIEN RETINOPATI DIABETIK DI RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 – DESEMBER 2004 Disusun Oleh : Shanti F Boesoirie Telah disetujui dan diperiksa oleh Pembimbing Unit
Retina Dr. Djonggi Panggabean, SpM(K) Dr. Iwan Sovani, SpM, MkesBAGIAN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN RS MATA CICENDO BANDUNG 2005

 operasi pengambilan lensa mata yang keruh


STEP 2
1. Mengapa pasien mengeluh tajam penglihatan kedua matanya semakin buram?
2. Apa hubungan riwayat memakai kacamata sejak usia 15 tahun dan sejak usia 40 tahun kacamatan yang dipakainya bifokal dengan keluhan pasien?
(hubungan usia dengan keluhan pasien?
3. Bagaimana proses penuaan yang terjadi pada mata?
4. Apa hubungan riwayat menderita DM dan hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dengan keluhan pasien?
5. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan? (Pada pemeriksaan didapatkan VOD 3/60 dikoreksi dengan lensa sferis -1,75D menjadi 6/24nbc, VOS 6/60
dikoreksi dengan lensa sferis -1.50 D menjadi 6/12 nbc, addisi dengan sferis +2,50 dapat membaca sampai Jagger 4, segmen anterior tenang, lensa keruh
tidak merata, tekanan intraokuler (TIO) OD:18,5mmHg, OS:19,0mmHg. Pada pemeriksaan segmen posterior didapatkan adanya kelainan pada retina dan
vitreusnya)
1. Apa saja kelainan yang ada pada retina dan viterus yang berhubungan dengan keluhan?
2. Mengapa pada px mata kiri didapatkan segmen anterior tenang dan lensa keruh tdk rata?
3. Mengapa didapatkan kekeruhan pada kornea lensa?
6. Mengapa Dokter mata merencanakan laser fotokoagulasi retina dan injeksi anti VEGF (Vasscular Endothelial Growth Factor) intravitreal sebelum dilakukan
operasi pengambilan lensa mata yang keruh?
7. Diagnosis dan diagnosis banding?
8. Faktor resiko dan etiologi?
9. Manifestasi klinis?
10. Patofisiologi dan patogenesis?
11. Penularan/klasifikasi?
12. Pemeriksaan penunjang?
13. Tatalaksana?
14. Komplikasi?
15. Pencegahan?

STEP 3
1. Mengapa pasien mengeluh tajam penglihatan kedua matanya semakin buram?
Anatomi dan Fisiologi Lensa Mata
Anatomi

Lensa  mata  adalah  badan  bikonveks  yang  transparan,  terbungkus  oleh kapsul transparan juga. Terletak dibelakang iris, didepan corpus vitreus serta
dikelilingi  processus  ciliares. tebal  lensa  sekitar  4  mm  dan  diameternya  9 mm.

Lensa terdiri atas (1) Kapsul elastis, yang membungkus struktur ini, (2) epitel kuboid yang  terbatas  pada  permukaan  anterior  lensa;  dan  (3)  serat-
serat  lensa yang  dibentuk  dari  epitel  kuboid  equator  lensa.Serat- serat  ini menyusun bagian terbesar lensa.

Kapsul  lensa  adalah  suatu  membran  yang  semi  permeabel  (sedikit  lebih permeabel  daripada  dinding  kapiler)  yang  akan  memperbolehkan  air  dn
elektrolit masuk.
Disebelah  depan  dari  lensa  mata  terdapat  selapis  epitel  sub  kapsular.Nukleus  lensa  lebih  keras  daripada  korteksnya.  Sesuai  dengan
bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Lensa ditahan
ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula (zonula ziin) yang
tersusun  dari  banyak  fibril  dari  permukaan  korpus  siliare  dan  menyisip  ke
dalam equator lensa

Kondisi patologis yg sebabkan koagulasi protein lensa ?

Pada umunya lensa terbentuk dari air dan protein. Protein akan mengatur agar lensa tetap bersih sehingga cahaya bisa melewatinya. Tetapi seiring usia, akan
terjadi perubahan kimia dalam protein lensa yang dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengaburkan pandangan dengan dengan menghambat jalannya
cahaya ke retina. Penurunan penyerapan oksigen dan peningkatan kandungan air di lensa pun menjadi penyebab terjadinya katarak.
Pada pasien diabetes, terjadi akumulasi sorbitol pada lensa akibat tingginya gula darah. Sorbitol pada lensa akan  meningkatkan tekanan
osmotik dan menyebabkan cairan bertambah dalam lensa sehingga lensa menjadi keruh.
Pandangan buram

kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-
duanya. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu . Lensa mata normal transparan dan
mengandung banyak air, sehingga cahaya dapat menembusnya dengan mudah. Walaupun sel-sel baru pada lensa akan selalu terbentuk, banyak faktor yang dapat
menyebabkan daerah di dalam lensa menjadi buram, keras, dan pejal. Lensa yang tidak bening tersebut tidak akan bisa meneruskan cahaya ke retina untuk
diproses dan dikirim melalui saraf optik ke otak. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi
bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan kabur atau redup

2. Apa hubungan riwayat memakai kacamata sejak usia 15 tahun dan sejak usia 40 tahun kacamatan yang dipakainya bifokal dengan keluhan pasien?
(hubungan usia dengan keluhan pasien?

Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi mata karena adanya perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan
kapsul sehingga lensa menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis) dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi
cembung, dengan demikian kemampuan melihat dekat makin berkurang.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya: Laboratorium/ UPF Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
3. Bagaimana proses penuaan yang terjadi pada mata?

Perubahan panca indra pada lanjut usia


1) Penglihatan
a) Kornea lebih berbentuk skeris.
b) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).
d) Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam cahaya gelap.
e) Hilangnya daya akomodasi.
f) Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas pandang.
g) Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna hijau pada skala.

4. Apa hubungan riwayat menderita DM dan hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dengan keluhan pasien?

SKEMA PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK

Patofisiologi Retinopati Diabetik

Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel
organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk
kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya retinopati
diabetik, antara lain:

 1)      Akumulasi Sorbitol

Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat
pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang
tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.  Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang
bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.

Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD + sehingga menurunkan uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis
fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi
saraf.

Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau
memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati. 3, 5, 6

Peningkatan aktivitas aldosa reduktase.


Akibat hiperglikemia  dalam jaringan terjadi peningkatan kadar glukosa  Oleh aldosa reduktase, glukosa akan dirubah menjadi sorbitol  meningkatnya
kadar sorbitol didalam sel  Akumulasi sorbitol  akan meningkatkan osmolaritas didalam sel terjadi perubahan fisiologi sel Sel dengan kadar
sorbitol yang tinggi menunjukan aktivitas penurunan aktivitas protein kinase C dan Na+, K+ - ATPase membran.

 2)      Pembentukan protein kinase C (PKC)

Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan
suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan
vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.

Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan
peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan
proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah
dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses tersebut terjadi secara bersamaan,
hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 7

 3)      Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)

Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari
AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1 sekaligus
menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 8

AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa. Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi
pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan
akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel. 8

Glikosilasi non enzimatik.


Glukosa adalah suatu aldehid yang bersifat reaktif, yang dapat bereaksi secara spontan, walaupun lambat dengan protein. Melalui proses yang disebut dengan
glikosilasi non enzimatik  protein mengalami modifikasi  Gugus aldehid glukosa bereaksi dengan gugus amino yang terdapat pada suatu protein 
membentuk produk glikosilasi yang bersifat reversible  Produk ini mengalami serangkaian reaksi dengan gugus NH2 dari protein dan mengadakan
ikatan silang membentuk advanced glycoliation end-product (AGE)  Akumulasi AGE pada kolagen  dapat menurunkan elastisitas jaringan ikat 
menimbulkan perubahan pada pembuluh darah dan membrane basalis.

 4)      Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)

ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS
meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang
menambah kerusakan sel. 3, 8

Strees oksidatif.
Strees oksidatif timbul bila pembentukan reactive oxygen species (ROS) melebihi kemampuan mekanisme seluler dalam mengatasi yang melibatkan
sejumlah enzim dan vitamin yang bersifat antioksidan. Strees oksidatif diabetes mellitus dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan redoks akibat
perubahan metabolisme karbohidrat dan lipid, peningkatan reactive oxygen species akibat proses glikosilasi/glikoksidasi lipid dan penurunan kapasitas
antioksidan.perubahan pupil cycle time pada penderita diabetes melitus
SKEMA 2 PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK (lanjutan)

 Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan
lensa. Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan menghambat
penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan
kabur juga dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan
funduskopi. 2-4

Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya disebut
Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan
penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga
tampak sebagai mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga
terjadi bercak perdarahan pada retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita dengan floaters atau
benda yang melayang-layang pada penglihatan. 2-4, 9

DM 
Mekanisme terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus dapat diterangkan melalui:

1. Peningkatan aktivitas aldosa reduktase.


Akibat hiperglikemia  dalam jaringan terjadi peningkatan kadar glukosa  Oleh aldosa reduktase, glukosa akan dirubah menjadi sorbitol  meningkatnya
kadar sorbitol didalam sel  Akumulasi sorbitol  akan meningkatkan osmolaritas didalam sel terjadi perubahan fisiologi sel Sel dengan kadar
sorbitol yang tinggi menunjukan aktivitas penurunan aktivitas protein kinase C dan Na+, K+ - ATPase membran.

2. Glikosilasi non enzimatik.


Glukosa adalah suatu aldehid yang bersifat reaktif, yang dapat bereaksi secara spontan, walaupun lambat dengan protein. Melalui proses yang disebut dengan
glikosilasi non enzimatik  protein mengalami modifikasi  Gugus aldehid glukosa bereaksi dengan gugus amino yang terdapat pada suatu protein 
membentuk produk glikosilasi yang bersifat reversible  Produk ini mengalami serangkaian reaksi dengan gugus NH2 dari protein dan mengadakan
ikatan silang membentuk advanced glycoliation end-product (AGE)  Akumulasi AGE pada kolagen  dapat menurunkan elastisitas jaringan ikat 
menimbulkan perubahan pada pembuluh darah dan membrane basalis.
3. Pembentukan senyawa dikarbonil.
Monosakarida seperti glukosa dapat mengalami oksidasi yang dikatalis oleh Fe dan Cu,  membentuk radikal OH, O2, H2O2 dan senyawa dikarbonil toksik
Senyawa dikarbonil yang terbentuk dapat bereaksi dengan gugus –NH2 protein membentuk AGE.

4. Strees oksidatif.
Strees oksidatif timbul bila pembentukan reactive oxygen species (ROS) melebihi kemampuan mekanisme seluler dalam mengatasi yang melibatkan
sejumlah enzim dan vitamin yang bersifat antioksidan. Strees oksidatif diabetes mellitus dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan redoks akibat
perubahan metabolisme karbohidrat dan lipid, peningkatan reactive oxygen species akibat proses glikosilasi/glikoksidasi lipid dan penurunan kapasitas
antioksidan.perubahan pupil cycle time pada penderita diabetes melitus

- Non proliferative

Iskemia retina telah dilaporkan menyebabkan  peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF),  yang memicu kaskade
angiogenik  yang mendorong perkembangan neovaskularisasi iris dan sudut kamera anterior. Kadar VEGF pada aqueous humor berkorelasi erat
dengan tingkat neovaskularisasi, dan inhibisi VEGF melalui injeksi antibodi monoklonal anti-VEGF intravitreal pada mata primata non-manusia
dewasa telah dilaporkan dapat mencegah neovaskularisasi iris terkait dengan iskemia retina.6 Banyak penyakit sistemik dan kondisi mata yang
menyebabkan galukoma neovaskular, namun semuanya menunjukkan etiologi yang sama, yaitu iskemia retina.

Hipoksia  memicu kaskade pro-angiogenik yang menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah baru dengan gangguan permeabilitas.

- Proliverative

Penyebab pasti retinopati diabetika belum diketahui secara pasti, namun diduga sebagai akibat
paparan hiperglikemi dalam waktu yang lama  terjadi berbagai proses biokimiawi dalam sel  peningkatan aktifitas enzim aldosa reduktase (jalur
poliol/sorbitol menjadi aktif)  akumulasi sorbitol  Perubahan vaskuler retina adalah hilangnya perisit dan penebalan membran basal  adanya daerah
yang lemah pada dinding pembuluh darah dan tidak adanya efek antiproliferatif yang dimiliki perisit  mikroaneurisma permeabilitas pembuluh darah
meningkat menimbulkan eksudasi. Kerusakan lebih lanjut akan menyebabkan hilangnya komponen seluler pada pembuluh darah  Kapiler aseluler
tersebut apabila berkonfluen dapat menyebabkan obliterasi arteriol Daerah nonperfusi tersebut merupakan patogenesis utama terjadinya neovaskularisasi.
Perdarahan retina dan dilatasi segmental (venous beading) berhubungan dengan banyaknya daerah iskemik.

HIPERTENSI 
Hipertensi yang lama menyebabkan penyempitan arteriol seluruh tubuh. Pada pembuluh darah mata, kelainan ini berhubungan dengan rusaknya inner blood
retinal barrier, ekstravasasi dari plasma dan sel darah merah. penyempitan arteriol ini menyebabkan perubahan ratio arteri-vena. Apabila penyempitan
arteriol disebabkan oleh spasme dari arteriol, maka bersifat reversibel, tetapi apabila disebabkan oleh edema atau adanya fibrosis pada dinding pembuluh
darah, maka bersifat irreversibel.
Akibat hipertensi yang lama juga menyebabkan terjadinya arteriosklerosis dan aterosklerosis. Arteriosklerosis diawali dengan meningkatnya jaringan elastin
pada lapisan intima,  kemudian secara bertahap intima akan digantikan dengan jaringan hialin dan lapisan otot akan menjadi fibrosis. Dalam keadaan
akut rusaknya dinding vaskuler akan  menyebabkan masuknya komponen darah ke dinding vaskuler. Aterosklerosis merupakan perubahan lapisan intima
pembuluh darah yang kalibernya lebih besar dari arteriol.
Dengan bertambahnya ketebalan dinding vaskuler akan menyebabkan  perubahan reflek cahaya yang ditimbulkan oleh arteriol. Dalam keadaan normal
dinding pembuluh darah tidak tampak, yang terlihat adalah sel darah merah yang berada dalam lumen yang akan memberikan gambaran garis merah . Bila
pembuluh darah tersebut terkena sinar,  maka akan menimbulkan pantulan berupa garis tipis pada daerah vaskuler tersebut. Apabila terjadi penebalan
dinding pembuluh darah, maka pantulan cahaya akan berkurang, lebih lebar dan difus.ini menandakan awal dari arteriosklerosis.
Dengan semakin bertambahnya ketebalan dari dinding pembuluh darah maka pantulan cahaya yang diberikan oleh pembuluh darah akan semakin berkurang
dan timbul reflek cahaya reddish brown. Ini dinamakan reflek copper wire. Apabila keadaan ini berlanjut maka akan terjadi penebalan yang disertai
pengecilan lumen vaskuler. Apabila tidak dapat ditemukan lagi collum of blood walaupun hanya pantulan garis tipis maka keadaan ini disebut dengan silver
wire.
Selain adanya penebalan dinding vaskuler, pada arteriosklerotik timbul pula kelainan pada arteriolovenous crossing. Arteriol dan venula biasanya berada
dalam satu pembungkus adventisial ditempat penyilangan. Adanya sklerotik pada dinding arteriol akan dapat menyebabkan  kompresi pada venula yang
menyebabkan  obstruksi pada venula dan  mengakibatkan arteriolovenous nicking. Tanda ini disebut dengan Gunn’s sign. Selain tanda tersebut dapat
pula ditemui Sallu’s sign yaitu defleksi venula ketika bersilangan dengan arteriol. Dalam keadaan normal venula akan bersilangan dengan arteriol dengan
membentuk sudut yang tajam. Dengan adanya sklerotik maka penyilangan tersebut membentuk sudut yang lebih lebar.

Bagaimana system nutrisi dari lensa?


Bagian belakang dari kapsul lensa anterior adalah selapis tipis sel epitel. Sel-sel ini bermetabolisme secara aktif dan mempengaruhi semua aktifitas normal
sel, termasuk biosintesa DNA, RNA, protein, dan lemak; menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi lensa. Sel epitel bermitosis, dengan aktifitas
premitotik tertinggi (replikasi, atau fase-S) sintesis DNA yang terjadi pada cincin sekitar lensa anterior yang dikenal sebagai zona germinatif. Sel yang baru
terbentuk bermigrasi ke equator,dimana berdifferensiasi menjadi serat-serat. Dimana sel epitel bermigrasi melalui daerah lengkung lensa dan memulai proses
diferensiasi terminal kedalam serat-serat lensa (gambar 4).
Mungkin perubahan morfologi yang significan terjadi ketika sel epitel memanjang dan membentuk sel serat lensa. Perubahan ini dihubungkan dengan
peningkatan yang dahsyat dari massa protein selular pada membrane sel serat pada masing-masing individu. Pada saat yang sama, sel kehilangan organela,
termasuk sel nucleus, mitokondria, dan ribosom. Kehilangan dari organelle ini bermanfaat secara optikal karena cahaya yang melewati lensa diabsorbsi oleh
struktur ini. Namun, karena sel serat lensa yang baru kehilangan fungsi metabolic sebelumnya yang dibawa oleh organelle tersebut, maka sel ini tergantung
pada glikolisis untuk produksi energy.

5. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan? (Pada pemeriksaan didapatkan VOD 3/60 dikoreksi dengan lensa sferis -1,75D menjadi 6/24nbc, VOS 6/60
dikoreksi dengan lensa sferis -1.50 D menjadi 6/12 nbc, addisi dengan sferis +2,50 dapat membaca sampai Jagger 4, segmen anterior tenang, lensa keruh
tidak merata, tekanan intraokuler (TIO) OD:18,5mmHg, OS:19,0mmHg. Pada pemeriksaan segmen posterior didapatkan adanya kelainan pada retina dan
vitreusnya)
1) Apa saja kelainan yang ada pada retina dan viterus yang berhubungan dengan keluhan?
 media refrakta

a. kornea

Ulkus Kornea
Ulkus Kornea adalah luka terbuka pada lapisan kornea yang paling luar.

PENYEBAB
Ulkus biasanya terbentuk akibat: 
- Infeksi oleh bakteri (misalnya stafilokokus, pseudomonas atau pneumokokus), jamur, virus (misalnya herpes) atau protozoa akantamuba
# Kekurangan vitamin A atau protein
# Mata kering (karena kelopak mata tidak menutup secara sempurna dan melembabkan kornea).

Faktor resiko terbentuknya ulkus:


- Cedera mata
- Ada benda asing di mata
- Iritasi akibat lensa kontak.

GEJALA
Ulkus kornea menyebabkan nyeri, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan peningkatan pembentukan air mata, yang kesemuanya bisa bersifat ringan.
Pada kornea akan tampak bintik nanah yang berwarna kuning keputihan.

Gejala lainnya adalah:


- gangguan penglihatan
- mata merah
- mata terasa gatal
- kotoran mata.

Dengan pengobatan, ulkus kornea dapat sembuh tetapi mungkin akan meninggalkan serat-serat keruh yang menyebabkan pembentukan jaringan parut
dan menganggu fungsi penglihatan.
Komplikasi lainnya adalah infeksi di bagian kornea yang lebih dalam, perforasi kornea (pembentukan lubang), kelainan letak iris dan kerusakan mata.

Keratitis Pungtata Superfisialis


Keratitis Pungtata Superfisialis adalah suatu keadaan dimana sel-sel pada permukaan kornea mati.

PENYEBAB
Penyebabnya bisa berupa: 
# Infeksi virus
# Infeksi bakteri
# Mata kering
# Sinar ultraviolet (sinar matahari, sinar lampu, sinar dari las listrik)
# Iritasi akibat pemakaian lensa kontak jangka panjang
# Iritasi atau alergi terhadap obat tetes mata
# Efek samping obat tertentu (misalnya vidarabin).

GEJALA
Mata biasanya terasa nyeri, berair, merah, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan penglihatan menjadi sedikit kabur.

Jika penyebabnya adalah sinar ultraviolet, maka gejala-gejala biasanya munculnya agak lambat dan berlangsung selama 1-2 hari.
Jika penyebabnya adalah virus, maka kelenjar getah bening di depan telinga akan membengkak dan nyeri bila ditekan.

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan adalah mata terasa perih, gatal dan mengeluarkan kotoran.

Keratitis Ulserativa Perifer


Keratitis Ulserativa Perifer adalah suatu peradangan dan ulserasi (pembentukan ulkus) pada kornea yang seringkali terjadi pada penderita penyakit
jaringan ikat (misalnya artritis rematoid).

PENYEBAB
Keratitis ulserativa perifer bisa disebabkan oleh: 
# Penyakit non-infeksi
- Artritis rematoid
- Lupus eritematosus sistemik
- Sarkoidosis
- Rosasea
- Arteritis sel raksasa
- Penyakit peradangan saluran pencernaan
- Kelainan metabolisme
- Blefaritis
- Keratitis marginalis
- Pemakaian lensa kontak
- Cedera mata karena bahan kimia, trauma ataupu pembedahan
# Penyakit infeksi
- Tuberkulosis
- Sifilis
- Hepatitis
- Disentri basiler
- Keratitis (karena virus, bakteri, jamur maupun akantamuba).

Faktor resiko utama terjadinya penyakit ini adalah penyakit jaringan ikat dan penyakit pembuluh darah.

GEJALA
Terjadi gangguan penglihatan, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan penderita merasa ada benda asing di matanya.

Gejala lainnya adalah:


- mata berair
- peradangan konjungtiva dan episklera.

Keratomalasia
Keratomalasia (Xeroftalmia, Keratitis Xerotik) adalah suatu keadaan dimana kornea menjadi kering dan keruh akibat kekurangan vitamin, A, protein
dan kalori.

Keratomalasia biasanya menyerang kedua mata.

PENYEBAB
Keratomalasia biasanya terjadi akibat kekurangan vitamin A yang berat.
Vitamin A penting untuk fungsi penglihatan yang normal, juga untuk pertumbuhan tulang, kesehatan kulit dan melindungi selaput lendir pada saluran
pencernaan, saluran pernafasan dan saluran kemih.
GEJALA
Gejala awal berupa rabun senja (penglihatan berkurang pada keadaan gelap) dan mata yang kering (disebut xeroftalmia), diikuti oleh pembentukan
kerutan, kekeruhan dan perlunakan kornea (disebut keratomalasia).

Pada kekurangan vitamin A yang berat, pada konjungtiva terlihat adanya endapan kering dan berbusa yang berwarna abu-keperakan (bintik Bitot).

Jika tidak diberikan pengobatan yang adekuat maka perlunakan kornea akan menyebabkan infeksi, perforasi serta perubahan jaringan yang bersifat
degeneratif, sehingga akhinya terjadi kebutaan.

Keratokonus
Keratokonus adalah perubahan bentuk (penipisan) kornea yang terjadi secara bertahap, sehingga bentuknya menyerupai kerucut.

Keratokonus mulai terjadi pada usia 10-20 tahun.

PENYEBAB
Penyebabnya tidak diketahui.
Keratokonus lebih sering ditemukan pada pemakai lensa kontak dan penderita rabun dekat.(hipermetropi)

kemungkinan terjadi karena beberapa hal berikut: # Kelainan kornea bawaan


# Cedera mata (misalnya menggisik-gisik mata atau memakai lensa kontak yang keras selama bertahun-tahun)
# Penyakit mata tertentu (misalnya retinitis pigmentosa, retinopati, konjungtivitis vernal)
# Penyakit sistemik (misalnya amorosis kongenitalis Leber, sindroma Ehlers-Danlos, sindroma Down dan osteogenesis imperfekta).

GEJALA
Keratokonus terjadi jika bagian tengah kornea menipis dan secara bertahap menonjol ke arah luar sehingga bentuknya menyerupai kerucut.
Kelainan kelengkungan ini menyebabkan perubahan pada kekuatan pembiasan kornea. Sebagai akibatnya terjadi astigmata sedang sampai berat dan
rabun dekat.

Keratokonus juga bisa menyebabkan pembengkakan dan pembentukan jaringan parut yang menghalangi penglihatan.

Keratopati Bulosa (Pembengkakan Kornea)


Keratopati Bulosa adalah pembengkakan kornea yang paling sering terjadi pada usia lanjut.

Ada 2 macam keratopati bulosa: 


# Keratopati Bulosa Afakik : jika lensa alami telah diangkat dan tidak diganti dengan lensa buatan
# Keratopati Bulos Pseudofakik: jika lensa alami telah diganti oleh lensa buatan.

PENYEBAB
Kesehatan kornea berhubungan erat dengan jumlah sel endotelial.
Sel endotelial adalah sel-sel yang terletak di kornea bagian belakang dan berfungsi memompa cairan dari kornea sehingga kornea relatif tetap kering
dan bersih.

Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadi pengikisan sel-sel endotel yang terjadi secara bertahap.
Kecepatan hilangnya sel endotel ini berbeda pada setiap orang.

Setiap pembedahan mata (termasuk operasi katarak dengan atau tanpa pencangkokan lensa buatan), bisa menyebabkan berkurangnya jumlah sel
endotel.
Jika cukup banyak sel endotel yang hilang, maka kornea bisa membengkak.

Peradangan intraokuler (uveitis) dan trauma pada mata juga bisa menyebabkan hilangnya sel endotel sehingga meningkatkan resiko terjadinya
keratopati bulosa.

GEJALA
Penglihatan penderita menjadi kabur, yang paling buruk dirasakan pada pagi hari tetapi akan membaik pada siang hari.

Ketika tidur kedua mata terpejam sehingga cairan tertimbun di bawah kelopak mata dan kornea menjadi lebih basah. Jika mata dibuka, cairan
berlebihan ini akan menguap bersamaan dengan air mata.

Pada stadium lanjut akan terbentuk lepuhan berisi cairan (bula) pada permukaan kornea.
Jika bula ini pecah, akan timbul nyeri yang hebat dan hal ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi kornea (ulserasi).

b. Humor aquos

GLAUKOMA
Penyakit yang ditandai dengan peninggian TIO, yang disebabkan :
1. Bertambahnya produksi humor aquosus oleh proc. Ciliaris
2. Berkurangnya pengeluaran humor aquos di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil
Glaukoma sudut tertutup
Glaukoma sudut tertutup terjadi jika saluran tempat mengalirnya humor aqueus terhalang oleh iris.
Setiap hal yang menyebabkan pelebaran pupil (misalnya cahaya redup, tetes mata pelebar pupil yang digunakan untuk pemeriksaan mata atau obat
tertentu),  bisa menyebabkan penyumbatan aliran cairan karena terhalang oleh iris.  Iris bisa menggeser ke depan dan  secara tiba-tiba menutup
saluran humor aqueus,  sehingga terjadi peningkatan tekanan di dalam mata secara mendadak.
Serangan bisa dipicu oleh pemakaian tetes mata yang melebarkan pupil, atau bisa juga timbul tanpa adanya pemicu. Glaukoma akut lebih sering
terjadi pada malam hari karena pupil secara alami akan melebar di bawah cahaya yang redup.
Akut :
·         rasa sakit berat (cekot-cekot) di mata, dapat sampai sakit kepala dan muntah-muntah.
·         mata merah, berair
·         penglihatan kabur
Kronik :
·         gejala hampir sama dengan yang akut tetapi rasa sakit, merah dan kabur dapat hilang dengan sendirinya, dan terjadi serangan berulang beberapa
kali. Biasanya rasa sakit kurang berat dibandingkan dengan yang akut.

Pemeriksaan:
Akut :
·         visus turun
·         konjungtiva hiperemi
·         kornea keruh/udem
·         bilik mata depan dangkal
·         pupil lebar/lonjong
·         oftalmoskopik: papil mungkin masih normal
·         tonometrik : tekanan intraokuler tinggi, bisa sampai 60 mmHg
·         gonioskopik: sudut tertutup
·         lapang pandang: terdapat kelainan yang tidak khas, atau mungkin masih normal.

Kronik:
·         seperti tanda akut tetapi biasanya lebih ringan
·         dijumpai tanda-tanda bahwa proses telah berlangsung berulang dan lama yaitu: degenerasi koenea, atrofi iris, neovaskularisasi iris,glaukoma
flecken dan sinekia anterior perifer.

Pengobatan glaukoma sudut tertutup :


- Minum larutan gliserin dan air bisa mengurangi tekanan dan menghentikan serangan glaukoma. Bisa juga diberikan inhibitor karbonik anhidrase
(misalnya asetazolamid).
- Tetes mata pilokarpin menyebabkan pupil mengecil sehingga iris tertarik dan membuka saluran yang tersumbat. Untuk mengontrol tekanan
intraokuler bisa diberikan tetes mata beta bloker.

c. Lensa

kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari
kedua-duanya. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Lensa mata normal
transparan dan mengandung banyak air, sehingga cahaya dapat menembusnya dengan mudah. Walaupun sel-sel baru pada lensa akan selalu terbentuk,
banyak faktor yang dapat menyebabkan daerah di dalam lensa menjadi buram, keras, dan pejal. Lensa yang tidak bening tersebut tidak akan bisa
meneruskan cahaya ke retina untuk diproses dan dikirim melalui saraf optik ke otak. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan
bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan kabur atau redup

d. Corpus vitreum
ABLASIO RETINA
Keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel epitel pigmen retina. Lepasnya retina dari choroid akan mengganggu nutrisi retina dari
pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yg menetap. Ada 3 bentuk ablasi retina :
 Ablasi retina rematogenosa
Robekan pada retina  cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina  pendorongan retina oleh carian di corpus vitreum ( masuk
melalui robekan )  mengapungkan retina  terlepas dari pigmen choroid
Mata yg berbakat mengalami ablasi adalah : miopia tinggi, pasca renitis, retina dgn degenerasi perifer. Gejala pada ablasio retina  gangguan visus
terlihat seperti tabir yang menutup.
 Ablasi retina eksudatif
Akibat tertimbunnya eksudat dibawah retina dan mengangkat retina. Penimbunan sebagai akibat dari keluarnya cairan pembuluh darah retina dan
choroid.
 Ablasi retina tarikan atau traksi
Lepasnya jaringan akibat tarikan jaringan parut ke corpus vitreum  ablasi retina  visus turun tanpa rasa sakit. Pada badan kaca terdapat jaringan
fibrosis yg dapat disebabkan DM proliferatif, trauma, pendarahan corpus vitreum akibat bedah atau infeksi.

2) Mengapa pada px mata kiri didapatkan segmen anterior tenang dan lensa keruh tdk rata?

Pada pasien DM  hiperglikemi  peningkatan sorbitol


Perubahan bentuk keruhnya lensa :
1. Pada asien DM dgn asidosis, dehidrasi berat dan hiperglikemi nyata  keruhnya berbentuk garis ( karena kapsul lensanya agak berkerut )  bisa
hilang kalau di rehidrasi dan kadar gulanya kembali normal
2. Pada pasien DM juvenil dan pada orang tua yg DM tidk terkontrol  keruhnya dikedua mata barengan dalam waktu 48 jam  bentuk snow flakes
( piring subkapsuler )
3. Pada pasien DM dewasa  gambaran keruhnya sama kayak yg non-DM

Kekeruhan lensa karena penambahan cairan( karena sinar UV banyak  triptofan  jadi foto sensitisizer  kerusakan protein lensa, bisa karena viteus
humor  bipolirase  visksitas vitreus humor) & denaturasi protein lensa

Pembentuk lensa  air (paling banyak) , protein ( ada 2  protein yg mudah larut & sulit larut )  tidak imbang  lensa keruh  ada pengaruh ke
tingkat glukosa pada darah  perberat kadar gula darah > 200

Usia 65 th  snelis degenerasi


Stadium katarak 
Insipien  keruh sebgain pada korteks, nucleus, kapsul, belum ada penurunan visus
Imatur terjadi sebgaian pada korteks, nucleus, sudah ada penurunan visus
Matur  keruh seluruhnya
Hipermatur  kekeruhan masif

3) Mengapa didapatkan kekeruhan pada kornea dan lensa?


kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari
kedua-duanya. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Lensa mata normal
transparan dan mengandung banyak air, sehingga cahaya dapat menembusnya dengan mudah. Walaupun sel-sel baru pada lensa akan selalu terbentuk,
banyak faktor yang dapat menyebabkan daerah di dalam lensa menjadi buram, keras, dan pejal. Lensa yang tidak bening tersebut tidak akan bisa
meneruskan cahaya ke retina untuk diproses dan dikirim melalui saraf optik ke otak. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan
bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan kabur atau redup

Dalam keadaan normal transparansi lensa terjadi karena adanya keseimbangan atara protein yang dapat larut dalam protein yang tidak dapat larut dalam
membran semipermiabel. Apabila terjadi peningkatan jumlah protein yang tdak dapat diserap  dapat mengakibatkan penurunan sintesa protein,
perubahan biokimiawi dan fisik dan protein tersebut mengakibatkan jumlah protein dalam lensa melebihi jumlah protein dalam bagian yang lain 
sehingga membentuk suatu kapsul yang dikenal dengan nama katarak.
Terjadinya penumpukan cairan/degenerasi dan desintegrasi pada serabut tersebut  menyebabkan jalannya cahaya terhambat dan  mengakibatkan
gangguan penglihatan.

Lensa mengandung 65% air, 35% protein dan sisanya adalah mineral. Dengan bertambahnya usia, ukuran dan densitasnya bertambah . penambahan
densitas ini akibat kompresi sentral pada kompresi sentral yang menua. Serat lensa yang baru dihasilkan di korteks ,serat yang tua ditekan ke arah
sentral. Kekeruhan dapat terjadi pada beberapa bagian lensa. Katarak terbentuk bila masukan 02 berkurang [ vaugan dan asbori,1986], kandungan air
berkurang, kandungan kalsium meningkat, protein yang seluble menjadi insoluble[Hewel,1986]. Kekeruhan sel selaput lensa yang terlalu lama
menyebabkan kehilangan kejernihan secara progresif,yang dapat menimbulkan nyeri hebat dan sering terjadi pada kedua mata.

6. Mengapa Dokter mata merencanakan laser fotokoagulasi retina dan injeksi anti VEGF (Vasscular Endothelial Growth Factor) intravitreal sebelum dilakukan
operasi pengambilan lensa mata yang keruh?

EKEK merupakan teknik operasi katarak dengan cara membuka kapsul anterior lensa untuk mengeluarkan masa lensa (kortek dan nukleus) dan
meninggalkan kapsul posterior. Pengembangan dari teknik ini adalah PHACOEMULSIFIKASI dengan memanfaatkan energi ultrasonik untuk
menghancurkan masa lensa. Pada kantong kapsul lensa selanjutnya dipasang lensa intra okuler (IOL)

7. Diagnosis dan diagnosis banding?


DD
- Katarak
DEFINISI
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yg dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat
kedua2nya.
Ilmu Penyakit Mata, Prof. dr. H. Sidarta Ilyas, Sp.M

Etiologi

- Bahan toksik khusus (kimia & fisik)


- Keracunan obat (eserin, kortikosteroid, ergot, antikolinesterase topikal)
- Kelainan sistemik / metabolic (DM, galaktosemi, dan distrofi miotonik)
Ilmu Penyakit Mata, Prof. dr. H. Sidarta Ilyas, Sp.M

Katarak dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor (multifactorial)


dan belum sepenuhnya diketahui. Berbagai faktor tersebut antara lain:
a. Kelainan kongenital/herediter
b. Proses degenerasi
c. Komplikasi penyakit di mata maupun penyakit sistemik
d. Efek samping obat
e. Radiasi: ultraviolet, infrared, X-ray, microwafe
f. Trauma penetrans dan perforans\

klasifikasi katarak
a. Developmental:
o Congenital
o Juvenil
b. Degeneratif/senilis:
o Insipiens
o Immatura
o Matura
o Hypermatura
c. Komplikata: oleh karena penyakit/kelainan di Mata atau tempat lain
o Glaucoma
o Iridocyclitis
o DM, galaktosemia, hipoparatiroid, miotonia distrofi
o Efek samping obat: steroid, amiodaron, miotika antikolinesterase, klorpromazine, ergot, naftalein, dinitrofenol, triparanol
(MER-29)
d. Traumatika

o Manifestasi klinik
Gejala yang sering dikeluhkan penderita katarak adalah
 penurunan visus tanpa disertai rasa sakit
 silau (glare) terutama saat melihat cahaya
 perubahan status refraksi
tanda yang dapat dijumpai pada mata adalah adanya kekeruhan pada lensa (Letak kekeruhan yang terjadi dapat nuklear, kortikal, subkapsularis posterior atau
kombinasinya)
Perbedaan stadium katarak senil
Insipien Imatur Matur Hiperatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah (air masuk) Normal Berkurang (air+masa
lensa keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Penyulit - Glaukoma - Uveitis + glaukoma
(ILMU PENYAKIT MATA, Prof.Dr.H.Sidarta ilyas , SpM)

Penatalaksanaan
Secara umum dikenal dua macam teknik operasi katarak yaitu EKEK (Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular) dan EKIK (Ekstraksi Katarak Intra Kapsular).
a. EKEK merupakan teknik operasi katarak dengan cara membuka kapsul anterior lensa untuk mengeluarkan masa lensa (kortek dan nukleus) dan meninggalkan
kapsul posterior. Pengembangan dari teknik ini adalah PHACOEMULSIFIKASI dengan memanfaatkan energi ultrasonik untuk menghancurkan masa lensa. Pada
kantong kapsul lensa selanjutnya dipasang lensa intra okuler (IOL)

b. EKIK merupakan teknik operasi katarak dimana seluruh masa lensa dikeluarkan bersama kapsulnya. Teknik ini memerlukan irisan kornea yang lebih besar dan
jahitan lebih banyak. Saat ini hanya dipakai pada keadaan khusus seperti luksasi lensa.
(ILMU PENYAKIT MATA, Prof.Dr.H.Sidarta ilyas , SpM)

 Bedah katarakdengan prosedur intrakapsuler atau ekstrakapsuler


 Intrakapsulerjarang dilakukan lagi sekarangadalah mengangkat lensa in toto yakni di dalam kapsulnya melalui insisi limbus superior
140-160 derajat
 Ekstrakapsulerinsisi limbus superior, again anterior kapsul dipotong dan diangkat, nucleus di ekstraksi, korteks dibuang dari mata dengan
irigasi dengan atau tanpa aspirasi sehingga menyisakan kapsul posterior
 Fakofragmentasi atau fakoemulsi dengan irigasi atau aspirasi (atau keduanya) adalah teknik ekstrakapsuler yang menggunakan getaran-
getaran ultrasonic untuk mengangkat nucleus dan korteks melalui insisi limbus yang kecil (2-5 mm) sehingga mempermudah peyembuhan pasca
operasiteknik ini bermanfaat untuk katarak senilis, congenital, traumatic. Kurang efektif pada katarak senilis yang padat
 Indikasi ekstraksi katarak :
o Pda bayi< 1 tahunbila fundus tak terlihat
o Pada umur lanjut
indikasi kliniskalau katarak menimbulkan penyulit uveitis atau glaukoma
indikasi visualtergantung dari katarak monokuler (bila sudah masuk ke stadium matur, visus pasca bedah sebelum dikoraksi lebih baik sebelum operasi) atau
binokuler (bila sudah masuk ke stadium matur, visus meskipun telah dikoreksi tidak cukup)
 Sebelum operasi harus dilakukan beberapa pemeriksaan:
o Fugsi retina harus baik
o Tidak boleh ada infekai mata atau jaringan sekitarya
o Tidak boleh ada glaukoma
o Visus
o Keadaan umum harus baik

- Retinopati diabeticum
 Definisi
 Aalah suatu mikroangiopti progresif yang ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus
 Risiko mengalaminya meningkat sejalan dengan lamany diabetes
 Etiologi
 Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun keadaan hiperglikemi yang berlangsung lama dianggap sebagai factor
risiko utama
 penyebab
Retinopati diabetikum terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah yang menuju ke retina. Kadar gula darah (glukosa) yang tinggi pada diabetes
menyebabkan penebalan pembuluh darah yang kecil.
Pada stadium awal (retinopati non-proliferatif), pembuluh darah menjadi berlubang-lubang dan isinya merembes ke dalam retina, menyebabkan penglihatan
menjadi kabur.
Pada stadium lanjut (retinopati proliferatif), terjadi pertumbuhan pembuluh darah yang baru di dalam mata. Pembuluh darah yang baru ini sangat rapuh dan bisa
mengalami perdarahan sehingga menyebabkan penurunan fungsi penglihatan.
Beratnya retinopati dan penurunan fungsi berhubungan dengan kadar glukosa dan lamanya seseorang menderita diabetes. Biasanya retinopati baru terjadi dalam
waktu 10 tahun setelah seseorang menderita diabetes.

Retinopati diabetik terdiri dari 2 stadium, yaitu :


 Retinopati nonproliferatif. Merupakan stadium awal dari proses penyakit ini. Selama menderita diabetes, keadaan ini menyebabkan dinding
pembuluh darah kecil pada mata melemah. Timbul tonjolan kecil pada pembuluh darah tersebut (mikroaneurisma) yang dapat pecah sehingga membocorkan
cairan dan protein ke dalam retina. Menurunnya aliran darah ke retina menyebabkan pembentukan bercak berbentuk “cotton wool” berwarna abu-abu atau putih.
Endapan lemak protein yang berwarna putih kuning (eksudat yang keras) juga terbentuk pada retina. Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan
kecuali cairan dan protein dari pembuluh darah yang rusak menyebabkan pembengkakan pada pusat retina (makula). Keadaan ini yang disebut makula edema,
yang dapat memperparah pusat penglihatan seseorang.

 Retinopati proliferatif. Retinopati nonproliferatif dapat berkembang menjadi retinopati proliferatif yaitu stadium yang lebih berat pada penyakit
retinopati diabetik. Bentuk utama dari retinopati proliferatif adalah pertumbuhan (proliferasi) dari pembuluh darah yang rapuh pada permukaan retina. Pembuluh
darah yang abnormal ini mudah pecah, terjadi perdarahan pada pertengahan bola mata sehingga menghalangi penglihatan. Juga akan terbentuk jaringan parut yang
dapat menarik retina sehingga retina terlepas dari tempatnya. Jika tidak diobati, retinopati proliferatif dapat merusak retina secara permanen serta bahagian-
bahagian lain dari mata sehingga mengakibatkan kehilangan penglihatan yang berat atau kebutaan.

SUMBER LAIN (usu)


 Manifestasi klinik
Kelainan retina penderita DR dpt berupa :
 Mikroaneurisma
 Perdarahan intra & ekstraretina
 Eksudat keras
 Venous turtuosity, venous beading
 Intra Retinal Microvascular Abnormalities (IRMA)
 Eksudat lunak (cotton wool spots)
 Daerah nonperfusi
 Neovaskularisasi ( NVD, NVE, NVI )
 Edema makula
 Ablasio retina (TRD, RRD)
(ILMU PENYAKIT MATA, Prof.Dr.H.Sidarta ilyas , SpM)
PATOLOGI DR
Gangguan vaskular
 Loss of pericytes
 Penebalan membrana basalis
 Outpouching berdinding tipis (mikroaneurisma/MA)
 Capillary network (venous>>)
 Peningkatan permeabilitas terhadap air dan makromolekul
 Kebocoran dari MA dan kapilar (difus)
Gangguan hemodinamik
• Abnormalitas eritrosit :
- ¯ kemampuan release oksigen
- ¯ deformabilitas
- rouleaux formation
• Hiperviskositas : protein plasma BM tinggi
• Hiperagregasi
• Hiperkoagulasi
Lima perubahan dasar dari proses patologi pada retina :
1. Mikroaneurisma
2. Peningkatan permeabilitas vaskuler
3. Oklusi vaskuler
4. Proliferasi pembuluh darah baru dan jaringan fibrous
5. Kontraksi vitreous dan proliferasi fibrovaskuler

 Pathogenesis
 Ada 3 proses biokimiawi yang terjadi pada hierglikemi yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetic yaitu :
 Jalur poliol
 Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu
senyawa gula dan alcohol, dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optic. Salah satu sifat dari poliol adalah tidak dapat
melewati membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak di dalam sel.Senyawa poliol menyebabkan
peningkatan tekanan osmotic sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel.
 Glikasi enzimatik
 Glikasi enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang terjdi selama hiperglikemia dapat
menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan
perubahan fungsi sel
 Protein Kinase C
 PKC memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskuler, kontraktilitas, sintesis membrane basalis dan proliferasi sel
vaskuler.Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkata sintesis de novo dari
diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC dari glukosa
 Selain pengaruh hiperglikemia melalui berbagai jalur metaboisme, sejumlah factor lain yang terkait dengan DM seperti peningkatan
agregasi trombosit, peningkatan agregasi eritrosit, viskositas darah, hipertensi, peningktan lemak darah, dan faktorertumbuhan, diduga juga ikut
berperan dalam tmbulnya retinopati diabetic
mekanisme Cara kerja Terapi
Aldose reduktase Meningkatakan produksi soritol, Aldose reduktase inhibitor
menyebabkan keruskan sel
inflamasi Meingkatkan perlekatan leukosit pada Aspirin
endotel kapiler, hipoksia, kebocoran,
edema makula
PKC Mengaktifkan VEGF (vascular endhotel Inhibitor terhadap PKC β-isoform
growth factor), diaktifkan oleh DAG
(diacylglicerol) pada hiperglikemia
ROS (reactive oxygen species) Menyebabkan keruakan enzim dan Antioksidan
komponen sel yang penting
AGE (advanced glycation end-product) Mengaktifkan enzim-enzim yang Aminoguanidin
merusak
Nitrit oxide synthase Meningkatkan produksi radikal bebas, Aminoguaidin
mengaktifkan VEGF
Menghambt ekspresi gen Menyebabkan hambatan terhadap jalur Belum ada
metabolism sel
Apoptosis sel perisit dan sel endotel Penurunan aliran darah ke retina, Belum ada
meningkatkan hipoksia
VEGF Meningkat pada hipoksia retina, Fotokoagulasi pan-retinal
menimbulkan kebocoran, edem macula,
neovaskular
PEDF (pigment epithelium derived Menghambat neovaskularisasi, menurun Induksi produksi PEDF oleh gen PEDF
factor) pada hiperglikemia
GH dan IGF-I Merangsang neovaskularisasi Hipofisektomi, GH-receptor blocker,
ocreotide

 Patofisiologi
 Kesehatan dan aktivitas metabolism retina sangat tergantung pada jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh
permukaan retina kecuali suatu daerah yan.diabetic terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding kailer retina terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam, yaitu
sel perisit, membrane basalis, dan sel endotel.
 Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori ag terdapat pada membrane sel yang terletak di antara keduanya. Dalam keadan normal perbandingan
jumlah sel erisit dan selendotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain 20:1.
o Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapler , mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier dan transportasi
kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel.
o Membrane basalis berfungsi sebagai barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran
o Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel dari membrane basalis membentuk barier yang
bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil
 Perubahan histopatologis kapiler retina pada retinpati diabetic dimulai dari penebalan membrane basalis, hilngnya perisit dan proliferasi endotel.
Ptofisiologi retinopati diabetic melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler, yaitu :
o Pembentukan mikroaneurisma
o Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
o Penyumbatan pembuluh darahiskemia retina
o Prolierasi pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan fibrosa di retina
o Kontraksi dari jaringan fibrosa kapiler dan jaringan viterus
 Kebutaan akibat RD dapat terjadi melalui mekanisme berikut :
o Edema macula atau noperfusi kapiler
o Pembentukan embuluh darah baru dan kntraksi jaringan fibrsa menyebabkan ablasio retina
o Pembuluh darah baru menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus
o Pebentukan pembuluh darah baru dpat menimbulkan glaukoma
 Klasifikasi, manifestasi, diagnosis
 Retinopati diabetic nonproliferatif
 Bentuk yang paling ringan, dan sering tidak memperlihatkan gejala.
 Mikroaneurisma yang terjadi pada kapier retina merupakan tanda paling awal dengan oftalmoskop tampak berupa bintik
merah dengan diameter 15-60 im dan sering kelihatan pada bagian posterior. Terjadinya mikroaeurisma diduga berhubungan dengan factor
vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya sel erisit, meningkatnya tekanan intraluminar
kapiler
 Kelainan morfologi lainvena retina menglami dilatasi danberkelok-kelok, penebalan membrane basalis, perdarahan ringan
(akibat kebocora eritrosit), eksudat keras (akibat kebocoran dan deposisi lipoprotein plasma) yang tampak sebagai bercak kuning dan
eksudat lunak yang tamak sebagai cotton wool spot (daerah retina dengan gambaran bercak warna ptih pucat dimana kapiler mengalami
sumbatan), edema macula (rusaknya sawar retina-darah bagian dalam pada tingkat endotel kapiler retina sehingga terjadi kebocoran cairan
dan konstituen plasma ke dalam retina di sekitarnya)
 Dalam waktu 1-3 tahun nonproliferatif sering berkembang menjadi proliferatif.
 Retinopati diabetic proliferative
 Ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru (hanya terdiri dari satu lapis sel endotel tanpa sel perisit dan membrane
basals sehingga sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan). Dapat meluas ke vitrus, menimbulkan perdarahan di sana dan
mengakibatkan kebutaan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosa atau sikatriks pada retina, sikatrik dapat menarik
retina sampai terlepasablasio retina
 Pembuluh darah baru juga dapat terbentuk di stroma iris dan bersama dengan jaringan fibrosa yang terjadi dapat meluas sampai
ke sudut chamber anteriormenghambat aliran keluar humor akuosglaukoma neovaskuler
 Kebutaan dapat terjadi jika ditemukan pembuluh darah baru yang meliputi ¼ daerah diskus, adanya perdarahan preretina,
pembuluh darah baru dimana saja yang disertai perdarahan, perdarahan di lebih dari separuh diskus atau vitreus
 Penatalaksanaan
secara umum langkah work-up untuk retinopati diabetika adalah:
a) Lakukan pemeriksaan iris untuk mencari neovaskularisasi, sebaiknya sebelum dilatasi dengan midriatikum. Periksa sudut bilik mata depan dengan
gonioskopi, khususnya bila terdapat peninkatan TIO.
b) Lakukan pemeriksaan fundus dengan biomikroskopi lampu celah menggunakan lensa 90 atau 60 dioptri atau lensa kontak untuk memperoleh
gambaran stereoskopik polus posterior. Cari neovaskularisasi dan edema makula. Gunakan oftalmoskop indirek untuk memeriksa retina perifer.
c) Periksa gula darah puasa, glycocylated hemoglobin, dan jika perlu tes toleransi glukosa apabila diagnosis belum tegak.
d) Periksa tekanan darah.
e) Pertimbangkan angiografi fluoresein untuk menentukan daerah dengan abnormalitas perfusi, iskemia fovea, mikroaneurisma, dan
neovaskularisasi yang tidak secara klinis.
f) Pertimbangkan tes darah untuk hiperlipidemia jika terdapat eksudat luas.
The Diabetic Complication Control Trial (DCCT) menyatakan bahwa pengontrolan gula darah yang intensif akan menurunkan insiden maupun progresifitas
retinopati diabetika. Pengobatan medikamentosa masih memberikan hasil yang tidak jelas. Penggunaan aspirin dan antiplatelat lain tidak memberikan
keuntungan yang nyata.

Pada kondisi tertentu mungkin diperlukan tindakan invasif antara lain:


a) Fotokoagulasi laser
b) Injeksi intravitreal triamcinolone acetonide (IVTA)
c) Injeksi intravitreal antiangiogenik
d) Vitrektomi.

 Control glukosa darah


 Control hipertensi
 Ablasi kelenjar hipofisis
 Fotokoagulasi
 Indikasi : RD proliferative, edem macula, neovaskuler di sudut chamber anterior
 Metode :
 Scatter (panretinal)pada kasus dengan kemunduran visus cepat dan untuk menghilangkan
neovaskularisasi pada saaf optikus dan permukaan retina atau pada sudut chamber anterior
 Focal fotocoagulationpada mikroaneurisma di fundus posterior yang mengalami kebocoran
untuk megurangi atau meghilangkan edem makula
 Grid fotocoagulationpembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema
 Vitrektomipada pasien yang mengalami kekeruhan vitrus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif
komplikasi
 glaukoma
 ablasio retina
 kebutaan
 prognosis
 mikroaneurisma jarangprognosis baik
hubungan DM dan retinopati :

Penyebab pasti retinopati diabetika belum diketahui secara pasti, namun diduga sebagai akibat paparan hiperglikemi dalam waktu yang lama. Akibat paparan
hiperglikemi yang lama menyebabkan terjadi berbagai proses biokimiawi dalam sel yang berperan dalam terjadinya komplikasi DM seperti retinopati
diabetika. Hal ini disebabkan karena peningkatan aktifitas enzim aldosa reduktase (jalur poliol/sorbitol menjadi aktif). Perubahan vaskuler retina akibat
akumulasi sorbitol adalah hilangnya perisit dan penebalan membran basal. Hilangnya perisit akan menimbulkan mikroaneurisma akibat adanya daerah yang
lemah pada dinding pembuluh darah dan tidak adanya efek antiproliferatif yang dimiliki perisit.

Mikroaneurisma akan menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga menimbulkan eksudasi. Kerusakan lebih lanjut akan menyebabkan
hilangnya komponen seluler pada pembuluh darah. Kapiler aseluler tersebut apabila berkonfluen dapat menyebabkan obliterasi arteriol. Daerah nonperfusi
tersebut merupakan patogenesis utama terjadinya neovaskularisasi. Perdarahan retina dan dilatasi segmental (venous beading) berhubungan dengan
banyaknya daerah iskemik.

- Retinopati hipertensi
a. Definisi
Adalah kelainan2 retina & pembuluh darah retina akibat tekanan darah tinggi

b. Klasifikasi
Tipe 1
 Fundus hipertensi dng atau tanpa retinopati, tidak ada sklerose, dan terdapat pada orang muda
 Pada funduskopi : arteri menyempit & pucat, arteri meregang & percabangan tajam, perdarahan ada/tidak ada, eksudat ada/tidak ada
Tipe 2
 Fundus hipertensi dng atau tanpa retinopati sklerose senil, terdapat pada orang tua
 Funduskopi : pembuluh darah tampak mengalami penyempitan, pelebaran & sheathing setempat
Perdarahan retina ada/tidak ada.Tidak ada edema papil
Tipe 3
 Fundus dng retinopati hipertensi dng arteriosklerosis, terdapat pada orang muda
 Funduskopi : penyempitan arteri, kelokan bertambah fenomena crossing,, perdarahan multiple, cotton wool patches, makula star figure
Tipe 4
Hipertensi progresif
 Funduskopi : edema papil, cotton wool patches, hard eksudat, dan star figure exudates yg nyata

c. Hipertensi menyebabkan retinopati


Hipertensi dapat menyebabkan Retinopati
Hipertensi yang lama menyebabkan penyempitan arteriol seluruh tubuh. Pada pembuluh darah mata, kelainan ini berhubungan dengan rusaknya inner blood
retinal barrier, ekstravasasi dari plasma dan sel darah merah. penyempitan arteriol ini menyebabkan perubahan ratio arteri-vena. Apabila penyempitan
arteriol disebabkan oleh spasme dari arteriol, maka bersifat reversibel, tetapi apabila disebabkan oleh edema atau adanya fibrosis pada dinding pembuluh
darah, maka bersifat irreversibel.
Akibat hipertensi yang lama juga menyebabkan terjadinya arteriosklerosis dan aterosklerosis. Arteriosklerosis diawali dengan meningkatnya jaringan elastin
pada lapisan intima, kemudian secara bertahap intima akan digantikan dengan jaringan hialin dan lapisan otot akan menjadi fibrosis. Dalam keadaan akut
rusaknya dinding vaskuler akan menyebabkan masuknya komponen darah ke dinding vaskuler. Aterosklerosis merupakan perubahan lapisan intima
pembuluh darah yang kalibernya lebih besar dari arteriol.
Dengan bertambahnya ketebalan dinding vaskuler akan menyebabkan perubahan reflek cahaya yang ditimbulkan oleh arteriol. Dalam keadaan normal
dinding pembuluh darah tidak tampak, yang terlihat adalah sel darah merah yang berada dalam lumen yang akan memberikan gambaran garis merah. Bila
pembuluh darah tersebut terkena sinar, maka akan menimbulkan pantulan berupa garis tipis pada daerah vaskuler tersebut. Apabila terjadi penebalan dinding
pembuluh darah, maka pantulan cahaya akan berkurang, lebih lebar dan difus.ini menandakan awal dari arteriosklerosis.
Dengan semakin bertambahnya ketebalan dari dinding pembuluh darah maka pantulan cahaya yang diberikan oleh pembuluh darah akan semakin berkurang
dan timbul reflek cahaya reddish brown. Ini dinamakan reflek copper wire. Apabila keadaan ini berlanjut maka akan terjadi penebalan yang disertai
pengecilan lumen vaskuler. Apabila tidak dapat ditemukan lagi collum of blood walaupun hanya pantulan garis tipis maka keadaan ini disebut dengan silver
wire.
Selain adanya penebalan dinding vaskuler, pada arteriosklerotik timbul pula kelainan pada arteriolovenous crossing. Arteriol dan venula biasanya berada
dalam satu pembungkus adventisial ditempat penyilangan. Adanya sklerotik pada dinding arteriol akan dapat menyebabkan kompresi pada venula yang
menyebabkan obstruksi pada venula dan mengakibatkan arteriolovenous nicking. Tanda ini disebut dengan Gunn’s sign. Selain tanda tersebut dapat pula
ditemui Sallu’s sign yaitu defleksi venula ketika bersilangan dengan arteriol. Dalam keadaan normal venula akan bersilangan dengan arteriol dengan
membentuk sudut yang tajam. Dengan adanya sklerotik maka penyilangan tersebut membentuk sudut yang lebih lebar.

d. Stadium retinopati hipertensi


Klasifikasi
stadium ( Keith-Wagener / KW ) :
Stadium 1 : konstriksi fokal pemb drh arteri. copper wire / silver wire pd arteri
Stadium 2 : konstriksi fokal & difus pd arteri crossing phenomene pd persilangan A & V
Stadium 3 : std 2 + cotton wool exudate & perdrhan
Stadium 4 : std 3 + edema papil, macular star figure.
Menurut Scheie adalah sbb :
stadiu : Terdapat penciutan setempat pada pemb darah
mI kecil
Stadiu : penciutan pemb darah arteri menyeluruh, dng
m II kadang2 penciutan setempat sampai spt benang,
pemb darah arteri tegang, membentuk cabang
keras
stadiu : lanjutan stadium II dng eksudat cotton, dng
m III perdarahan yg terjadi akibat diastole > 120
mmHg, kadang2 terdapat keluhan berkurangnya
penglihatan
stadiu : Seperti stadium III dng edema papil dng eksudat
m IV star figure, disertai keluhan penglihatan
menurun dng tekanan diastole kira2 150 mmHg

Menurut Keith Wagener Barker, dimana dibuat berdasarkan meninggalnya penderita dlm waktu 8 thn :
Derajat : Penciutan ringan pembuluh darah
1
Dalam periode 8 th : 4% meninggal
Derajat : Penambahan penciutan, ukuran pembuluh nadi
2 dalam diameter yg berbeda-beda & tdp
fenomena crossing
Dalam periode 8 th : 20% meninggal
Derajat : Tanda2 pd derajat 2 + perdarahan retina &
3 cotton wool patches
Dalam periode 8 th : 80% meninggal
Derajat : Tanda2 derajat 3 dng edema papil yg jelas
4 Dalam periode 8 th : 98% meninggal
Sumber : Ilmu Penyakit Mata ; Prof.dr.H.Sidarta Ilyas, SpM

e. Penegakan diagnosis
Anamnesis :
Gejala :
 Penglihatan kabur dan episode hilangnya penglihatan temporer
 asimptomatik
Pemeriksaan fisik
Tanda :
tanda  sesuai stadiumnya
dengan angiografi fluoresens : pada pasien berusia muda dng hipertensi , dijumpai penipisan & sumbatan arteriol, adanya nonperfusi kapiler dapat
diverifikasi dlm hubungannya dng bercak cotton wool, yg dikelilingi oleh kapiler2 yg melebar abnormal & mikroaneurisma yg meningkat
permeabilitasnya pada angiografi flourescens

sumber : oftalmologi umum edisi 14 ; Daniel G.Voughan, dkk


kelainan pada retina berupa arteri yg besarnya tidak teratur, eksudat pada retina, edema retina & perdarahan retina
kelianan pembuluh darah dapat berupa :
o penyempitan umum / setempat, berupa :
 pemb darah(terutama arteriol retina) yg berwarna lebih pucat
 kaliber pemb yg menjadi lebih kecil/ ireguler (krn spasme lokal)
 percabangan arteriol yg tajam
o percabangan pemb darah yg tajam
o fenomena crossing / sklerose pembuluh darah tampak :
 refleks copper wire
 refleks silver wire
 sheating
 lumen pembuluh darah yg irreguler
 terdapat fenomena crossing sbb :
- elevasi : pengangkatan vena oleh arteri yg berada di bawahnya
- deviasi : penggeseran posisi vena oleh arteri yg bersilangan dng vena tsb dng sudut persilangan yg lebih kecil
- kompresi : penekanan yg kuat oleh arteri yg menyebabkan bendungan vena
Sumber : Ilmu Penyakit Mata ; Prof.dr.H.Sidarta Ilyas, SpM

f. Pengelolaan
Terapi hipertensi dan menghindari penurunan cepat yg dapat mempresipitasi oklusi vaskular akan menghasilkan resolusi tanda retina.Hal ini dapat
memakan waktu beberapa bulan
sumber : Lecture notes “oftalmologi” ;Bruce James,dkk
• Kontrol tekanan darah, diberikan terapi medikamentosa dengan obat anti hipertensi bertujuan mencegah progresivitas kerusakan organ target.
• Apabila telah dijumpai retinopati hipertensi maligna disertai kenaikan tekanan darah (TD diastolik  130 mmHg), maka pengelolaan dengan cara
menurunkan tekanan darah sesuai dengan penatalaksanaan krisis hipertensi.

- Refraksi anomaly

a. Definisi
keadaan dimana bayangan tegas tidak terbentuk pada retina (macula lutea atau bintik kuning).
Kelainan Refraksi dan kacamata, Dr. Dwi Ahmad Yani, SpM
b. Klasifikasi
1. Rabun jauh (miopia)
Merupakan kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar tanpa akomodasi dibiaskan di depan retina
Causa myopia :
 Axis mata terlalu panjang.
 Lensa terlalu kedepan (karena luxatie misalnya).
 Index bias terlalu besar.
 Curvatura cornea terlalu mencembung (mis. keratoconus)

Bentuk
 Myopia Axial : Dalam hal ini, terjadinya myopia akibat panjang sumbu bola mata (diameter Antero-posterior), dengan kelengkungan
kornea dan lensa normal, refraktif power normal dan tipe mata ini lebih besar dari normal
 Myopia Kurvatura : Dalam hal ini terjadinya myopia diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan
dari pada lensa seperti yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana
ukuran bola mata norma
 Perubahan Index Refraksi : Perubahan indeks refraksi atau myopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang
terjadi pada penderita Diabetes Melitus sehingga pembiasan lebih kuat
 Perubahan Posisi Lensa : Pergerakan lensa yang lebih ke anterior setelah operasi glaucoma berhubungan dengan terjadinya myopia

Klasifikasi klinis
 Berdasarkan besarnya dioptri lensa koreksi secara klasik.
- Myopia ringan : 0,25 – 3,00 D
- Myopia sedang : > 3,00 – 6,00 D
- Myopia berat : > 6,00 D

Secara klinik dan berdasarkan perkembangan patologik yang timbul pada mata maka miopy dapat dibagi menjadi dua yaitu
 Miopi simplek : miopy yang biasanya tidak disertai kelainan patologik fundusakan tetapi dapat disertai kelainan fundus ringan. Kelainan
fundus ringan ini dapat berupa kresen miopy (myopic crescent) yang ringan yang berkembang sangat lambat. Biasanya tidak terdapat
perubahan organik. Tajam Penglihatan denan koreksi yang sesuai dapat mencapai normal. Berat kelainan refraktif biasanya kurang dari -5
D atau -6 D. Keadaan ini juga disebut miopy fisiologik.
 Miopi patologi

c. Keluhan:
 Melihat jauh kabur
 Melihat dekat terang
 M. ciliaris kurang dipakai untuk accomodasi maka akan mengalami atrophie. Karena itu pada saat melihat
dekat kaca-mata perlu dipakai supaya ada akomodasi dan tidak terjadi atrophie m. ciliaris.
d. Gejala objektif:
 COA dalam
 Pupil lebih lebar
 Vitreus floaters
e. Komplikasi:
 tergantung pada derajat miopianya
 Strabismus divergen
 Ablatio retina
f. Terapi :
 Lebih dulu mengukur derajat myopianya (menggunakan lensa coba), Kemudian diberi kacamata minus Atau lensa kontak
 Atau dilakukan operasi dengan sinar laser (LASIK) (laser-assisted in situ keratomileusis)

1. Rabun dekat (hipermetropia)


Merupakan kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar tanpa akomodasi dibiaskan dibelakang retina
 Causa hypermetropia:
• Axis antero-posterior terlalu pendek (axial)à terbanyak.
• Kelainan posisi lensa (lensa bergeser kebelakang ).
• Curvatura cornea terlalu datar.
• Index bias mata kurang dari normal

Klasifikasi
 Laten Hypermetropia
Adalah bagian dari kelainan refraksi yang dikoreksi hanya dengan akomodasi, dimana kelainan hypermetropia tanpa sikloplegia ( atau dengan obat
melemahkan akomodasi) diimbangi seleruhnya dengan akomodasi. Hypermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. Makin muda, makin
besar komponen hypermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hypermetropia laten menjadi
hypermetropia fakultatif dan kemudian menjadi hypermetropia absolute. Hypermetropia laten sehari-hari diatasi dengan akomodasi terus-menerus, terutama
bila pasien muda dan akomodasinya masih kuat.
 Manifest facultative hyperopia
Bagian dari hyperopia yang dapat dikoreksi oleh power akomodasi pasien sendiri, dikoreksi dengan lensa ataupun keduanya. Penglihatan dapat normal
dengan atau tanpa dikoreksi dengan lensa+, tetapi akomodasi tidak sempurna tanpa kaca mata. Pasien hanya mempunyai hypermetropia fakultatif akan
melihat normal tanpa kaca mata, yang bila diberikan kaca mata positif yang memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan beristirahat.
 Manifest absolute hyperopia
Bagian dari kelainan refraksi yang tidak dapat dikompensasi hanya dengan akomodasi dari pasien. Penglihatan masih kabur, walaupun seberapa besar
akomodasi dari pasien. Pasien seperti ini secepatnya memerlukan kaca mata positif untuk melihat jauh. Pengaruh umur pada hyperopia dimulai dari
penurunan secara progresif dari power akomodasi, kemudian beralih menjadi laten dan fakultatif hyperopia ke tingkat yang lebih tinggi yaitu absolute
hyperopia.

Keluhan-keluhan:
Untuk melihat jauh perlu berakomodasi, apalagi untuk melihat dekat.
Akibatnya:
 Bila daya akomodasi masih ada akan merasa pusing, kemeng dimata karena akomodasi terus menerus,disebut astenopia.
 Bila daya akomodasi sudah kurang/ tidak ada maka melihat jauh kurang terang, apalagi melihat dekat.
 Makin tua, elastisitas lensa makin berkurang karena timbulnya nulceus lentis. Daya akomodasi juga semakin berkurang sehingga keluhan akan
bertambah berat.
Terapi :
 Lebih dulu mengukur derajat hypermetropianya (dengan pemeriksaan subyektif menggunakan lensa coba) Kemudian diberi kacamata
plus
 LASIK

 Mata dengan silinder (astigmatisma)


Keadaan dimana refraksi pada tiap bidang meridian tidak sama. Dalam satu bidang meridian, sinar-sinar sejajar dibiaskan pada satu titik, tetapi pada bidang
meridian lain tidak pada titik ini

Kausa : Biasanya terjadi akibat kelengkunan permukaan kornea tidak sama pada semua bidang meridian, sehingga nilai kekuatan refraksi untuk semua
bidang meridian tersebut tidak sama.
Terapi : penggunaan lensa silinder.

- ARMD
a. Definisi
suatu kelainan pada makula akibat proses degenerasi, yang ditandai dengan penurunan penglihatan sentral yang bermakna.

b. Etiologi
Dalam keadaan normal, makula mengalami perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh proses penuaan. Perubahan ini antara lain berupa:
 Berkurangnya jumlah sel-sel fotoreseptor,
 Perubahan-perubahan ultrastruktural epitel pigmen retina (RPE) seperti pengurangan granula melanin, terbentuknya granula lipofuchsin, serta
timbunan residual bodies,
 Timbunan basal laminar deposit
 Perubahan pada kapiler khoroid.
Beberapa faktor risiko terjadinya ARMD antara lain adalah:
 Riwayat keluarga,
 Merokok,
 Hipertensi,
 Wanita,
 Hipermetropia,
 Warna iris yang muda.
Ras kulit hitam, konsumsi sayuran berdaun hijau tua yang tinggi, konsumsi ikan, konsumsi asam lemak tak jenuh, serta kadar karotenoid serum yang tinggi
merupakan faktor pelindung terjadinya ARMD.

c. Klasifikasi
AMD ( Degenerasi Makula terkait Usia )
1. Dini
Drusen minimal, perubahan pigmentasi, atau atrofi epitel pigmen retina.
Drusen secara klinis digambarkan sebagai endapan kuning yang terletak dalam membran bruch, bervariasi dlm ukuran dan bentuk bisa diskret atau
menggumpal.
2. Lanjut
 Artrofi geografik
Daaerah2 atrofi epitel pigmen retina dan sel2 fotoreseptor yang berbatas tegas, lebih besar dari 2 meter diskus, yg memungkinkan pembuluh2 koroid
dibawahnya terlihat secara langsung.
 Penyakit neovaskular
Neovaskularisasi koroid atau pelepasan epitel pigmen retina serosa.
Vaughan Ophtalmology, EGC

d. Manifestasi klinik
Gejala-gejala klinik yang biasa didapatkan pada penderita degenerasi makula antara lain
i. Distorsi penglihatan, obyek-obyek terlihat salah ukuran atau bentuk
ii. Garis-garis lurus mengalami distorsi (membengkok) terutama dibagian pusat penglihatan
iii. Kehilangan kemampuan membedakan warna dengan jelas
iv. Ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan
v. Kesulitan membaca, kata-kata terlihat kabur atau berbayang
vi. Secara tiba-tiba ataupun secara perlahan akan terjadi kehilangan fungsi penglihatan tanpa rasa nyeri.

e. penatalaksanaan (indikasi dan kontraindikasi pembedahan)


 terapi vitamin dan antioksidan oral, yg terdiri dari Vit E 500 mg, Vit E 400 IU, betacarotine 15 mg, seng 80 mg, dan tembaga 2 mg
 fotokoagulasi laser retina
mengurangi ukuran drusen tetapi meningkatkan neovaskularisasi koroid.
hanya digunakan untuk membran neovaskular koroid yg berjarak lebih dari 200 micron dari pusat zona avaskular fovea.
 Pemberian triamcinolone intravitreal atau sub tenon akan mengurang reaksi radang.
 Terapi bedah
Pengangkatan membran neovaskular dan transplantasi epitel pigmen retina.
Voughan Ophtalmology, EGC

Menurut Quigley (1998) glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan utama di dunia setelah katarak atau kekeruhan lensa, dengan jumlah penderita
diperkirakan sebanyak + 70.000.000 orang. Di antara jumlah penderita kebutaan tersebut, sebanyak 50%-70% berasal dari bentuk glaukoma sudut
terbuka primer. Namun menurut Vaughan (1995), jumlah tersebut berkisar antara 85%-90% dari jumlah penderita glaukoma, dan hanya sebagian kecil
penderita yang tergolong pada glaukoma sudut tertutup primer, atau disebut juga dengan glaukoma sudut sempit yang dapat melalui stadium akut,
subakut dan khronik, serta bentuk glaukoma lainnya. Menurut survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang dilaporkan tahun 1996 (Ilyas,
2001), glaukoma merupakan penyebab kebutaan utama yang ketiga untuk kedua mata, setelah katarak dan kebutaan karena kelainan refraksi, dengan
prevalensi sekitar 0.16% jumlah penduduk Indonesia. Di Amerika, jumlah penderita glaukoma sudut terbuka primer yang berasal dari kelompok
pendatang (imigran) dengan ras kulit berwarna, 3–4 kali lebih besar daripada jumlah pendatang yang berkulit putih. Sementara itu, pada glaukoma
sudut terbuka primer seringkali ditemukan pada kelompok umur di atas 40 tahun, dan prevalensinya terus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.
Vaughan (1995) menyatakan bahwa prevalensi glaukoma sudut terbuka primer pada usia 40 tahun sekitar 0.4%–0.7%, sedangkan pada usia 70 tahun
sekitar 2%–3%. Pernyataan yang hampir sama dikeluarkan oleh Framingham Study dan Ferndale Glaucoma Study (1994), yang menyebutkan bahwa
prevalensi glaukoma sudut terbuka primer pada penduduk berusia 52–64 tahun sekitar 0.7%, dan 1.6 % pada penduduk usia 65–74 tahun, serta 4.2%
pada penduduk usia 75–85 tahun.
I. Pengertian Glaukoma
Menurut Chandler & Grant (1977), glaukoma adalah suatu keadaan pada mata, dimana ditemukan kenaikan tekanan bola mata yang sudah
menyebabkan kerusakan/kelainan pada diskus optikus dan lapang pandangan/yojana penglihatan. Sedangkan menurut Kolker & Hetherington (1983),
glaukoma adalah suatu penyakit mata dengan tanda yang lengkap berupa kenaikan tekanan bola mata, degenerasi dan ekskavasi diskus optikus dan
gangguan khas serabut saraf, yang menimbulkan gangguan lapang pandangan/ yojana penglihatan. Sementara itu, Liesegang (2003) menyatakan bahwa
glaukoma adalah sekumpulan gejala dengan tanda karakteristik berupa adanya neuropati optik glaukomatosa bersamaan dengan defek atau gangguan
penyempitan lapang pandangan yang khas, disertai dengan kenaikan tekanan bola mata. Goldberg (2003) juga menyatakan bahwa glaukoma sudut
terbuka primer adalah neuropati yang khronik progresif dengan karakteristik perubahan papila syaraf optik dan atau lapang pandangan tanpa disertai
penyebab sekunder.

2.1. GLAUKOMA
Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan pencekungan “cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang
disertai dengan peningkatan tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko terjadinya glaukoma. Mekanisme peningkatan tekanan intraokuler pada
glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran keluar humor aquos.4,9

V. DIAGNOSIS
Diagnosa Glaukoma
a. Pengukuran tekanan intra okular (TIO)
Rentang tekanan intraokular normal adalah 10-21 mmHg. Pada usia lanjut, rerata tekanan intraokularnya lebih tinggi sehingga batas atasnya
adalah 24 mmHg. Tekanan bola mata untuk satu mata tak selalu tetap, tetapi dapat dipengaruhi seperti pada saat bernapas mengalami
fluktuasi 1-2 mmHg dan pada jam 5-7 pagi paling tinggi, siang hari menurun, malam hari naik lagi. Hal ini dinamakan variasi diurnal
dengan fluktuasi 3 mmHg. Pada glaukoma sudut terbuka primer, 32-50% individu yang terkena akan memperlihatkan tekanan intraokular
yang normal saat pertama kali diperiksa. Sebaliknya, peningkatan tekanan intraokular semata tidak selalu diartikan bahwa pasien mengedap
glaukoma sudut terbuka primer; untuk menegakkan diagnosis diperlukan bukti-bukti lain seperti adanya diskus optikus glaukomatosa atau
kelainan lapangan pandang. Apabila tekanan intraokular terus-menerus meninggi sementara diskus optikus dan lapangan pandang normal
(hipertensi okular), pasien dapat diobservasi secara berkala sebagai tersangka glaukoma. Pada penderita tersangka glaukoma, harus
dilakukan pemeriksaan serial tonometri. Variasi diurnal tekanan intraokular pada pada orang normal berkisar 6 mmHg dan pada pasien
glaukoma variasi dapat mencapai 30 mmHg.
Tonometer aplanasi Goldman merupakan instrumen yang paling luas digunakan.

b. Gonioskopi
Pada pemeriksaan gonioskopi, dapat dilihat struktur sudut bilik mata depan. Lebar sudut bilik mata depan dapat diperkirakan dengan
pencahayaan bilik mata depan. Apabila keseluruhan trabecular meshwork, scleral spur dan prosesus siliaris dapat terlihat, sudut dinyatakan
terbuka. Apabila hanya Schwalbe’s line atau sebagian kecil dari trabecular meshwork yang dapat terlihat, dinyatakan sudut sempit. Apabila
Schwalbe’s line tidak terlihat, sudut dinyatakan tertutup.

c. Pemeriksaan Diskus Optikus


Diskus optikus normal memiliki cekungan di bagian tengahnya (depresi sentral). Atrofi optikus akibat glaukoma menimbulkan kelainan-
kelainan diskus khas yang terutama ditandai oleh pembesaran cawan diskus optikus dan pemucatan diskus di daerah cawan. Selain itu, dapat
pula disertai pembesaran konsentrik cawan optik atau pencekungan (cupping) superior dan inferior dan disertai pembentukan takik
(notching) fokal di tepi diskus optikus. Kedalaman cawan optik juga meningkat karena lamina kribrosa tergeser ke belakang dan terjadi
pergeseran pembuluh darah di retina ke arah hidung. Hasil akhirnya adalah cekungan bean-pot, yang tidak memperlihatkan jaringan saraf di
bagian tepinya. Pada penilaian glaukoma, rasio cawan-diskus adalah cara yang berguna untuk mencatat ukuran diskus optikus. Apabila
terdapat kehilangan lapangan pandang atau peningkatan tekanan intraokuli, rasio cawan-diskus lebih dari 0,5 atau terdapat asimetri yang
bermakna antara kedua mata sangat diindikasikan adanya atrofi glaukomatosa.

d. Pemeriksaan Lapangan Pandang


Pemeriksaan lapangan pandang secara teratur penting untuk diagnosis dan tindak lanjut glaukoma. Gangguan lapangan pandang akibat
glaukoma terutama mengenai 30º lapangan pandang bagian sentral. Perubahan paling dini adalah semakin nyatanya bintik buta. Perluasan
akan berlanjut ke lapangan pandang Bjerrum (15O dari fiksasi) membentuk skotoma Bjerrum, kemudian skotoma arkuata. Daerah-daerah
penurunan lapangan pandang yang lebih parah di dalam daerah Bjerrum dikenal sebagai skotoma Seidel. Skotoma arkuata ganda di atas dan
dibawah meridian horizontal, sering disertai oleh nasal step (Roenne) karena perbedaan ukuran kedua defek arkuata tersebut. Pengecilan
lapangan pandang cenderung berawal di perifer nasal sebagai konstriksi isopter. Selanjutnya, mungkin terdapat hubungan ke defek arkuata,
menimbulkan breakthrough perifer. Lapangan pandang perifer temporal dan 5-10 derajat sentral baru terpengaruh pada stadium lanjut
penyakit. Pada stadium akhir, ketajaman penglihatan sentral mungkin normal tetapi hanya 5 derajat lapangan pandang (Salmon, 2009). Alat-
alat yang dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan lapanganpandang pada glaukoma adalah automated perimeter (misalnya
Humphrey,Octopus, atau Henson), perimeter Goldmann, Friedmann field analyzer, dan layar tangent.

Normal Glaukoma
Perubahan-perubahan lapangan pandang pada glaukoma

Glaukoma

I. Definisi
Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita
glaucoma.
Glaukoma adalah suatu keadaan dimana tekanan bola mata tidak normal atau lebih tinggi dari pada normal yang mengakibatkan kerusakan
saraf penglihatan dan kebutaan. (Sidarta Ilyas)
Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang dikarakterisasi dengan adanya kerusakan pada sel ganglion dan saraf optik. Jika kondisi ini
dibiarkan tanpa penanganan, dapat menyebabkan terjadinya kehilangan kemampuan melihat (dengan derajat bervariasi), dan bahkan sampai kebutaan.
(J. Douglas Wurtzbacher)
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama tekanan intraocular yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu
penggaungan dan atrofi syaraf optic serta defek lapang pandang yang khas. (Von Graefe)

II. Prevalensi

Prevalensi glaukoma Indonesia sebesar 0,4 %, masih berada di bawah Jamaika (1,4 %), Inggris (0,64 %) dan Swedia (0,86 %). Survey pada
tahun 2002 menempatkan glaukoma menjadi urutan kedua penyebab kebutaan di seluruh dunia setelah katarak (WHO).
Sekitar 40% dari penderita glaukoma di Indonesia mengalami kebutaan. Penyakit ini menjadi penyebab ketiga terjadinya kebutaan di
Indonesia dan penyebab kebutaan nomor dua di seluruh dunia dengan jumlah penderita diperkirakan mencapai 50 juta orang. Diperkirakan di Amerika
serikat ada 2 juta orang yang menderita glaukoma dengan hampir setengahnya mengalami gangguan penglihatan dan hampir 70.000 benar-benar buta
yang mengakibatkan penderita kebutaan bertambah 5500 orang tiap tahun (Sidarta Ilyas).
 Insidensi 1,8% pada usia lebih dari 40 tahun
 Kebutaan karena glaukoma tidak bisa disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus glaukoma dapat dikendalikan
 Glaukoma disebut sebagai “pencuri penglihatan” karena sering berkembang tanpa gejala yang nyata.
 Diperkirakan 50% penderita glaukoma tidak menyadari mereka menderita penyakit tersebut.
Congenital
Glaucoma

Primary
Open Angle
Glaucoma
With
Pupillary Block
Angle Closure
Without
Puppilary Block

Glaucoma Pra-trabecular

Open Angle Trabecular

Secondary Post-trabecular
Glaucoma
With
Pupillary Block
Angle Closure
Without
Puppilary Block
Keterangan :
 Glaukoma Primer : glaukoma yang tidak disebabkan oleh penyakit lain ataupun karena cacat ketika dilahirkan.
 Glaukoma Sekunder : glaukoma yang disebabkan oleh penyakit lain.
Contoh:
 Pupillary block : kondisi adanya hambatan aliran aqueous humor normal dari bilik posterior ke bilik anterior melalui pupil.
 Congenital glaucoma : glaukoma yang terjadi pada bayi baru lahir akibat kelainan dalam pengembangan bilik mata bagian depan yang
menghambat aliran aqueous humor tanpa adanya anomali secara sistemik.

Pendahuluan
Glaukoma akut adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekana intra okuler (TIO) secara mendadak akibat aposisi iris dengan jalinan
trabekular pada sudut bilik mata. Kondisi iris yang terdorong atau menonjol ke depan menyebabkan outflow humour aquous terhambat sehingga TIO
meningkat. Penutupan sudut yang terjadi secara mendadak menimbulkan gejala yang berat seperti: nyeri pada mata, sakit kepala, pandangan kabur,
halo, mual dan muntah. Pasien glaukoma akut seringkali misdiagnosed karena keluhan sistemik yang dirasa lebih dominan seperti nyeri kepala, mual
dan muntah.1-3
Insidensi glaukoma akut meningkat seiring meningkatnya pertambahan usia dengan puncak usia pada dekade ke-enam dan tujuh. Faktor resiko lain
meliputi ras Asia, 2-4x lebih sering terjadi pada populasi wanita, hiperopia dan adanya riwayat glaukoma pada keluarga.4,5
Glaukoma dapat menyebabkan kebutaan yang bersifat ireversibel dalam hitungan jam maupun hari. Berdasarkan data dari World Health Organization
(WHO) tahun 2002, dilaporkan bahwa glaukoma merupakan penyebab kebutaan paling banyak kedua dengan prevalensi sekitar 4,4 juta (sekitar 12,3%
dari jumlah kebutaan di dunia).6 Pada tahun 2020 jumlah kebutaan akibat glaukoma diperkirakan akan meningkat menjadi 11,4 juta. Prevalensi
glaukoma diperkirakan juga akan mengalami peningkatan, yaitu dari 60,5 juta (2010) menjadi 79,6 juta (2020). 7 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi glaukoma di Indonesia adalah 4,6%.8
Glaukoma akut merupakan kasus kedaruratan medis yang membutuhkan tatalaksana cepat dan tepat untuk memperoleh prognosis yang baik. Pada
makalah ini disajikan sebuah kasus glaukoma primer sudut tertutup akut yang belum mengalami komplikasi. Tujuan dari penulisan kasus ini adalah
mengemukakan temuan klinis pada glaukoma akut dan pentingnya terapi awal yang diberikan dalam menurunkan TIO.
Kasus
Seorang wanita usia 60 tahun mengeluhkan mata kanan tiba-tiba buram disertai mata merah dan nyeri sejak 2 harisebelum masuk rumah sakit.
Berdasarkan anamnesa didapatkan, mula-mula pasien mengalami nyeri kepala sebelah kanan yang menjalar hingga kepala sebelah kanan terusmenerus
disertai mata merah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan mata merah disertai rasa berpasir dan penglihatan kabur mendadak. Tidak ada
keluhan mata gata ldan mengeluarkan kotoran. Pasien juga tidak mengalami benturan pada mata. Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan
serupa. Tidak ada riwayat penggunaan obat mata topikal maupun sistemik. Sebelumnya, pasien berobat ke dokter spesialis saraf karena merasa keluhan
nyeri kepala lebih mengganggudan didiagnosa migrain dengan penurunan visus sehingga segera dirujuk ke RSUD Ahmad Yani Metro. Pasien tidak
sedang mengkonsumsi obatobatan apapun. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun lalu, tidak ada riwayat diabetes mellitus dan tidak ada
riwayat sakit mata sebelumnya. Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi : 82x/menit reguler, isi dan tegangan cukup, pernafasan 17 kali per menit, suhu 37˚C.
Pada pemeriksaan oftalmologis mata kanan didapatkan visus 2/60 dengan konjungtiva mix injection, kornea edema dan keruh, bilik mata anterior
tampak dangkal, pupil mid dilatasi (d ± 3mm) tanpa refleks cahaya, kripta pada iris tidak jelas, lensa keruh dan palpasi bola mata keras (tonometri
digitalis N+3 atau >40 mmHg). Sedangkan mata kiri didapatkan visus 6/60 dan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan umum tidak didapatkan kelainan. Diagnosis pasien adalah glaukoma primer akut sudut tertutup dengan hipertensi grade I. Pasien
diberikan terapi obat antiglaukoma untuk mata kanan yaitu timolol 0,5% 2x2 tetes, pilokarpin 2% 4x2 tetes, asetazolamide 2x250 mg, dan KCl 1x1 tab
dan dipersiapkan untuk tindakan operatif. Keesokan harinya, setelah pemberian terapi <24 jam, dilakukan pemeriksaan tonometri ulang pada kedua
mata. Hasil tonometri mata kanan 20 mmHg dan mata kiri 17 mmHg. Pasien siap dilakukan intervensi tindakan operatif berupa iridektomi perifer.
Pembahasan
Glaukoma primer sudut tertutup akut atau juga dikenal sebagai glaukoma kongestif adalah glaukoma primer akibat sudut bilik mata depan tertutup
secara tiba-tiba oleh jaringan iris sehingga TIO mendadak meningkat sangat tinggi.9 Gejala yang timbul adalah rasa sakit yang hebat disertai dengan
penglihatan kabur, mata merah, kornea keruh, mual, dan muntah.
Pada kasus ini, wanita usia 60 tahun dengan keluhan penglihatan kabur mendadak disertai mata merah dan nyeri pada mata kanan serta nyeri kepala
sebelah kanan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat memicu terjadinya glaukoma seperti
obat midriatik topikal dan antihistamin. Memiliki hipertensi sejak 2 tahun lalu dan tidak memiliki riwayat diabetes mellitus. Tidak ada riwayat keluarga
yang mengalami keluhan serupa. Sebelumnya pasien mengatakan berobat ke dokter spesialis saraf karena merasa keluhan nyeri kepala lebih
mengganggu dan dirujuk ke rumah sakit dengan diagnosis migrain dan penurunan visus.
Dari uraian di atas, keluhan yang muncul sesuai dengan gambaran klinis glaukoma akut berupa nyeri merupakan tanda khas pada serangan akut, terjadi
secara mendadak dan sangat nyeri pada mata di sekitar daerah inervasi cabang nervus kranial V. Mual, muntah dan lemas sering berhubungan dengan
nyeri. Penurunan visus secara cepat dan progresif, Hiperemis, fotofobia dapat terjadi pada semua kasus. 4,10,11 Beberapa hal yang perlu ditanyakan
untuk riwayat penyakit pasien meliputi penggunan medikasi yang membuat pupil dilatasi, riwayat efek penggunaan obat antikolinergik, obat
simpatomimetik yang bekerja pada otot dilator iris, dan obat yang menyebabkan pergerakan anterior dari diafragma iris-lensa (sulfonamide).5
Diperlukan anamnesis yang baik untuk mengumpulkan riwayat penyakit pasien saat ini. Seringkali terjadi kesalahan diagnosis pada pasien dengan
glaukoma akut. Beberapa pasien yang mengalami serangan akut mungkin datang dengan keluhan nyeri kepala hebat hingga mual muntah tanpa
menyadari adanya penurunan fungsi penglihatan. Pada kasus ini dikemukakan bahwa pasien lebih dulu berobat ke dokter spesialis saraf karena merasa
nyeri kepala sebelah yang hebat. Pada pemeriksaan oftalmologi, hal-hal yang perlu diperhatikan saat pemeriksaan meliputi kemampuan visual,
gangguan refraksi, ukuran dan reaksi pupil, tampilan edem kornea, bilik mata depan, tampilan iris atau pembuluh darah sudut baru indikasi
neovaskularisasi, adanya inflamasi bilik mata depan, TIO, dan tampilan lensa.5 Pada kasus ini, didapatkan hasil pemeriksaan oftalmologis bermakna
pada mata kanan berupa penurunan visus hingga 2/60, hiperemis konjungtiva dengan mix injection, kornea edem dan suram, bilik mata depan tampak
dangkal, pupil mid dilatasi tidak bereaksi terhadap cahaya, perabaan bola mata keras pada palpasi, dan lensa keruh. Kekeruhan lensa pada keadaan
glaukoma akut dikenal sebagai lensa katarak Vogt.12 Hasil pemeriksaan tersebut merupakan tanda khas yang mengarah pad akelainan mata merah
dengan penurunan visus mendadak, yaitu glaukoma kongestif atau glaukoma akut. Hasil pemeriksaan sesuai dengan temuan klinis kasus glaukoma akut
sudut tertutup primer yang umumnya ditandai dengan mata merah oleh karena terjadinya mix injection pada konjungtiva, teraba keras pada palpasi,
kornea edem dengan penampakan suram/keruh, bilik mata depan dangkal dengan pupil irregular semidilated.12 Pupil oval vertical, tetap pada posisi
semi-dilatasi dan tidak ada reaksi terhadap cahaya dan akomodasi. Flare dan sel akuos dapat dilihat setelah edem kornea dapat dikurangi. TIO
meningkat tajam (50-100 mmHg). 4,10,11
Pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan pada kasus glaukoma antara lain pemeriksaan gonioskopi untuk menilai kedalaman bilik mata depan
namun pada kasus ini tidak dapat dilakukan karena kondisi edem dan keruh pada kornea. Pemeriksaan oftalmoskopi untuk evaluasi kelainan optik-disk
pada glaukoma akut biasanya sering ditemukan optik-disk edem dan hiperemis.4, 14, 15
Diagnosis glaukoma akut dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik. Pada kasus ini, anamnesis dan gambaran klinis yang
dikemukakan jelas mengarah pada tanda-tanda glaukoma kongestif. Selain itu tidak adanya penyebab sistemik, penggunaan obat-obatan maupun
penyakit mata primer yang mengawali serangan, mengarahkan diagnosis glaukoma primer. Sehingga dapat ditegakkan diagnosis pada kasus ini adalah
glaukoma akut - glaukoma primer sudut tertutup. Diagnosis banding yang mungkin untuk kelainan mata merah dengan penurunan visus mendadak
antara lain uveitis dan keratitis. Gejala klinis yang membedakan dengan glaukoma akut antara lain pada keratitis terdapat defek epitel kornea dan pada
uveitis didapatkan flare dan sel pada bilik mata depan, keratik presipitat serta terjadinya sinekia posterior. Terapi pada pasien glaukoma bertujuan untuk
menurunkan dan menstabilkan TIO, antara lain dengan antiglaukoma topikal, laser trabekulo-plasti, dan operasi filtrasi glaukoma. Tindakan operasi
dapat menurunkan TIO secara drastis; namun operasi dapat meimbulkan beberapa kompli-kasi yang cukup berat, seperti katarak, makulopati hipotonik,
dan bleb-related infection. Oleh karena itu, pemberian obat antiglaukoma merupakan jenis terapi yang paling banyak direko-mendasikan.16
Penatalaksanaan glaukoma primer sudut tertutup akut pada dasarnya dapat dibagi dalam 4 tahap, yaitu segera menghentikan serangan akut dengan obat-
obatan untuk menurunkan TIO, melindungi mata sebelahnya dari kemungkinan terkena serangan akut, melakukan iridektomi perifer pada kedua mata
sebagai terapi definitif serta penatalaksanaan sekuele jangka panjang.17
Pada serangan akut sudut tertutup, biasanya digunakan terapi medikasi menurunkan TIO untuk mengurangi nyeri dan menjernihkan kornea yang edem
sebagai persiapan iridotomi.18 Pada kasus ini, pilihan terapi kombinasi yang diberikan yaitu timolol 5%, pilocarpine 2% dan asetazolamide peroral.
Pilihan terapi tersebut sesuai dengan terapi glaukoma akut yang biasa melibatkan kombinasi 2-4 obat berbeda fungsi untuk mendapatkan efek sesegera
mungkin. Prinsip terapi pada glaukoma akut adalah menjaga fungsi visual pasien dengan menurunkan TIO dan re-evaluasi target tekanan intraokukar.
Pemeriksaan TIO diperlukan dalam menetapkan target TIO yang diinginkan dan berapa kombinasi obat yang digunakan. TIO normal adalah 10-21
mmHg. Antiglaukoma topikal yang sering dipakai dalam praktik klinik adalah β blocker dan analog prostaglandin.12,16 Timolol maleat merupakan
obat golongan antagonis beta adrenergik (β blocker) yang menjadi pilihan terapetik utama untuk sebagian besar jenis glaukoma. Merupakan penyekat
beta non selektif yang memiliki efek menurunkan TIO dengan cara menurunkan produksi akuos dengan memblok reseptor beta-2 dalam prosesus
siliaris. Timolol dapat bekerja secara langsung pada epitel siliaris untuk memblok transport aktif atau ultrafiltrasi.
Dosis penggunaan timolol larutan 0,5 % dua kali sehari dengan waktu kerja lebih dari 7 jam. Beta blocker akan menurunkan TIO sekitar 26% sampai
27% dari baseline.22,23,24 Pilokarpin adalah obat kolinergik (miotik) yang bekerja langsung. Obat ini meningkatkan aliran keluar akuos melalui
trabekula dengan menimbulkan kontraksi badan siliar yang mengakibatkan penarikan tapis sklera dan penguatan clamp trabekula. Pada glaukoma sudut
tertutup, efek miotik dari obat melepaskan blok pupil dan juga menarik iris menjauh dari sudut bilik mata depan. Konsentrasi yang umum digunakan
adalah 0.5-4%. Diberikan 1-2 tetes, 3-4 kali sehari. Awitan efek miotik dimulai 10-30 menit dan lama kerja adalah 6 jam. Pada keadaan akut yang
membutuhkan penurunan segera TIO, pemberian pilokarpin dapat ditingkatkan hingga 6 kali dengan pengawasan dan penurunan dosis segera pada
perbaikan.
Terapi sistemik pilihan pada kasus ini adalah asetazolamide. Asetazolamide merupakan inhibitor karbonik anhidrase yang paling sering digunakan.
Obat ini memblok enzim karbonik anhidrase secara reversibel pada badan siliar sehingga mensupresi produksi cairan akuos. Ketika diberikan secara
oral, konsentrasi puncak pada plasma diperoleh dalam 2 jam, bertahan 4-6 jam dan menurun secara cepat karena ekskresi pada urin. Tersedia dalam
bentuk tablet dan kapsul dengan dosis umum 125 - 250 mg 2-4 kali sehari.23,25 Dewasa ini, mulai diperkenalkan terapi baru yang dapat
dipertimbangkan yaitu analog prostaglandin. Analog prostaglandin menurunkan TIO dengan meningkatkan aliran keluar (outflow) akuos humor melalui
jalur uveoskleral. Hal tersebut terjadi melalui dua mekanisme, yaitu relaksasi otot siliaris dan dilatasi atau pelebaran ruang antar-otot siliaris.23,26,27
Kelebihan utamanya adalah efek samping sistemik analog prostaglandin yang lebih rendah jika dibandingkan beta blocker.16 Selain itu, analog
prostaglandin lebih efektif dalam menurunkan TIO dengan dosis pemberian satu kali per hari. Menurunkan TIO baik pada saat tidur (malam hari)
maupun saat siang hari, analog prostaglandin dapat menurunkan TIO sekitar 31%-33% dari baseline.
Serangan akut pada glaukoma primer sudut tertutup harus segera diatasi agar meminimilkan kerusakan trabekulum, saraf optik, dan lensa serta
mencegah pembentukan sinekhia posterior dan sinekhia perifer anterior. Jika TIO berhasil diturunkan, maka iridektomi perifer sebagai terapi definitif
harus segera dikerjakan untuk mencegah terjadinya serangan akut yang berulang. 8
Kadang-kadang dengan obat-obatan TIO tidak dapat diturunkan, sehingga tindakan iridektomi perifer sulit dilakukan akibat epitel kornea yang edem.
Pada keadaan tersebut, salah satu alternatif menurunkan TIO adalah dengan melakukan iridoplasti ( peripheral iridoplasty, gonioplasty) sebelum
iridektomi laser dapat dilakukan.
Simpulan
Pendekatan klinis yang cermat berperan besar dalam penegakan diagnosis dan pemilihan terapi yang efektif. Penatalaksanaan glaukoma akut primer
sudut tertutup memerlukan pemberian terapi awal dengan perujukan tepat dan segera agar komplikasi kebutaan dapat dicegah.
Sumber: [ LAPORAN KASUS ] ACUTE GLAUCOMA ON RIGHT EYE Laras Maranatha Tobing Faculty of Medicine, Universitas Lampung,
Laras Maranatha Tobing | A 60 Years Old Woman with Acute Glaucoma J Agromed Unila | Volume 1 Nomor 2 | September 2014 | 102

Pendahuluan
Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan utama di dunia setelah katarak atau kekeruhan lensa, dengan jumlah penderita diperkirakan sebanyak
}70.000.000 orang di seluruh dunia.1 Glaukoma adalah penyakit mata yang dapat mengakibatkan neuropati optik yang diikuti gangguan pada lapang
pandang yang khas dan atrofi saraf optik.1-3 Glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi glaukoma primer, glaukoma sekunder, dan glaukoma
kongenital. Sebagian besar glaukoma merupakan glaukoma primer yaitu glaukoma sudut terbuka (primary open angle glaucoma) yang proporsinya
paling banyak, diikuti glaukoma primer sudut tertutup (primary angle closure glaucoma).4 Glaukoma akut merupakan salah satu glaukoma sudut
tertutup primer yang memerlukan penanganan segera akibat terjadi aposisi iris dengan jalinan trabekular pada sudut bilik mata. Hal tersebut
menghambat aliran akuos humor dan mengakibatkan peningkatan tekanan intra okular (TIO). Manifestasi klinik dari glaukoma akut berupa edema
kornea, penglihatan kabur mendadak, mual, kelopak mata bengkak hiperemi konjungtiva, injeksi silier, dan pupil dilatasi. Pengobatan medika mentosa
harus dimulai secepat mungkin untuk menurunkan tekanan intra okular, sebelum terapi definitif iridektomi laser atau bedah dilakukan.5-8
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia saat ini. Hampir 90% dari penderita katarak berada di negara berkembang seperti Indonesia,
India, dan lainya. Katarak juga merupakan peyebab utama kebutaan di Indonesia, yaitu 50% dari seluruh kasus yang berhubungan dengan penglihatan.9
Katarak terjadi akibat kekeruhan pada lensa mata. Kekeruhan lensa mata dapat disebabkan oleh karena hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi
protein lensa, atau keduanya.8
Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling banyak ditemukan (}90%) dibandingkan dengan katarak-katarak lain. Berdasarkan stadiumnya
katarak senilis dibagi menjadi empat stadium, yaitu insipien, imatur, matur, dan hipermatur.10 Dengan bertambahnya usia meningkat pula progesivitas
kekeruhan lensa.11
Kasus
Pasien laki-laki, usia 54 tahun, datang ke Rumah Sakit Abdul Moeloek (RSAM) pada tanggal 29 Maret 2015 dengan keluhan mata kanan dan kiri tiba-
tiba tidak bisa melihat sejak 4 hari yang lalu disertai mata merah. Sejak satu minggu sebelumnya pasien mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh
dengan obat lalu pasien dibawa ke rumah sakit. Keluhan sakit kepala dirasakan di daerah dahi terutama di daerah mata. Keluhan tersebut disertai silau
jika melihat cahaya, dan mata pasien mulai merah. Empat hari sebelum ke rumah sakit pasien merasakan nyeri di kedua mata yang terus menerus,
terutama mata kanan, dan penglihatan kedua mata tiba-tiba kabur secara mendadak. Pasien juga merasa sangat silau dan sakit bila melihat cahaya.
Selain itu, pasien juga mengeluh mual muntah. Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan penurunan penglihatan.
Riwayat trauma dan penggunaan obat-obatan tetes mata yang lama sebelumnya disangkal. Pasien juga mengatakan tidak pernah meggunakan kaca mata
sebelumnya dan tidak pernah operasi mata. Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan steroid sebelumnya, operasi mata, maupun keluhan serupa
sebelumnya. Pasien juga tidak memiliki penyakit hipertensi maupun diabetes melitus (DM). Keluarga pasien juga tidak ada yang memiliki penyakit
glaukoma atau mengalami keluhan yang sama.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran composmentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 67x/menit, pernapasan
20 x/menit, suhu 36,7 oC. Status generalis pasien dalam batas normal.
Status oftalmologis pasien okuli dekstra dan sinistra didapatkan visus 1/300, terdapat injeksi konjungtiva bulbi, hiperemi pada konjungtiva forniks dan
konjungtiva palpebra, terdapat injeksi episklera, edema kornea, camera oculi anterior (COA) dangkal, pupil bulat ireguler letak sentral dan dilatasi
serta tidak terdapat refleks cahaya, lensa keabuabuan. Shadow test positif, TIO N+3. Pada pemeriksaan penyinaran senter secara oblik didapatkan kedua
sudut mata dangkal.
Pasien diberikan terapi obat topikal tetes mata timolol 0,5% 2x1 tetes oculi dextra et sinistra (ODS), carpin 2% 6x1 tetes ODS, Inmatrol 6x1 tetes ODS,
sedangkan untuk pengobatan sistemik diberikan glaucon (asetazolamid) tablet 2x1 mg, KSR tablet 1x1, Asam mefenamat 3x1 tab, dan antasida 3x1 tab.
Pembahasan
Pasien didiagnosis dengan glaukoma akut dan katarak imatur okuli dekstra dan sinitra. Diagnosis ini ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Glaukoma akut sebernarnya merupakan salah satu manifestasi klinis dari glaukoma primer sudut tertutup.12 Gejala
yang dirasakan pada saat serangan glaukoma akut adalah berupa pandangan yang kabur mendadak, terlihat adanya halo atau pelangi, nyeri yang hebat,
sakit kepala, palpitasi, dan nyeri abdomen serta mual muntah. Berbeda dengan gejala glaukoma tertutup kronis, karena pada glaukoma tertutup kronis
penurunan visusnya terjadi perlahan, pasien juga jarang mengeluhkan nyeri dan lebih cenderung merasa tidak nyaman seperti pusing sehingga tidak
sampai mual muntah.13 Gejala glaukoma akut ini mirip dengan gejala penyakit sistemik umum.4
Gejala ini terjadi akibat TIO yang meningkat mendadak. Adanya edema kornea menyebabkan keluhan berupa terihat halo atau pelangi, penglihatan
kabur, dan rasa sakit yang itensif, sedangkan kelelahan dan kecemasan akan menyebabkan mual-mual.
Gejala lain berupa penglihatan sentral yang menurun, kelopak mata bengkak, hiperemi konjungtiva, injeksi silier, dan dilatasi pupil edangyang
disebabkan oleh iskemia sfingter iris, serta COA dangkal.12 Ketika terjadi serangan glaukoma akut primer, terjadi sumbatan sudut kamera anterior oleh
iris perifer. Hal ini menyumbat aliran humor akuos dan TIO meningkat dengan cepat, menimbulkan nyeri hebat, kemerahan, dan kekaburan
penglihatan. Serangan akut biasanya terjadi pada pasien berusia tua seiring dengan pembesaran lensa kristalina yang berkaitan dengan penuaan.14
Pada glaukoma akut, pupil berdilatasi sedang, disertai sumbatan pupil. Rasa nyeri hebat pada mata yang menjalar sampai kepala merupakan tanda khas
glaukoma akut. Hal ini terjadi karena meningkatnya TIO sehingga menekan simpul-simpul saraf di daerah kornea yang merupakan cabang dari nervus
trigeminus. Sehingga daerah sekitar mata yang juga dipersarafi oleh nervus trigeminus ikut terasa nyeri. Pada glaukoma akut, TIO sangat meningkat,
sehingga terjadi kerusakan iskemik pada iris yang disertai edem kornea, hal ini menyebabkan penghilatan pasien sangat kabur secara tiba-tiba dan visus
menjadi menurun. Pada kasus dengan TIO meningkat secara cepat, yaitu pada glaukoma akut sudut tertutup, kornea menjadi penuh air yang terlihat
keruh dengan menggunakan slit lamp dan bermanifestasi terlihatnya halo disekitar cahaya.14-18
Berdasarkan etiologinya glaukoma terdiri dari glaukoma primer, sekunder, dan glaukoma kongenital. Glaukoma primer adalah glaukoma yang tidak
diketahui penyebabnya. Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang disebabkan oleh kelainan penyakit baik berasal dari mata maupun dari kelainan
diluar mata. Sedangkan glaukoma kongenital adalah glaukoma yang dibawa sejak lahir.8,14 Glaukoma lebih sering terjadi pada usia lebih dari 40
tahun. Beberapa faktor lainnya untuk terjadinya glaukoma antara lain jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia, riwayat keluarga glaukoma,
penyakit hipertensi, diabetes, kelainan refraksi berupa miopi, dan etnis Asia Tenggara, Cina, dan Inuit.14,19,20 Pada pasien ini terdapat faktor risiko
yaitu berupa usia yang tua, etnis asia tenggara, dan kelainan refraksi berupa katarak. Serangan akut sering dipresipitasi oleh dilatasi pupil saat
pencahayaan berkurang. Dapat juga disebabkan oleh obat-obatan dengan efek antikolinergik atau simpatomimetik (atropin, antidepresan, bronkodilator,
dekongestan hidung, atau tokolitik). Dan biasanya serangan ini terjadi pada seseorang yang memiliki sudut COA yang dangkal dieksaserbasi oleh
pembesaran lensa karena penuaan.14,21,22 Pada kasus, diketahui keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama, pasien juga
tidak mengalami trauma sebelum kejadian. Penggunaan obatobatan tetes mata maupun obat lain yang mengandung kortikosteroid dalam jangka waktu
lama juga disangkal oleh pasien. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami gangguan penglihatan baik berupa rabun jauh maupun rabun dekat dan
pasien tidak pernah operasi mata. Pada pemeriksaan fisik kedua mata didapatkan edema palpebra, injeksi silier, visus 1/300, hiperemi konjungtiva,
COA dangkal pada penyinaran oblik, pupil berdilatasi dan tidak terdapat refleks cahaya, dan didapatkan kekeruhan lensa sebagian pada pemeriksaan
slit lamp serta shadow test positif.
Pemeriksaan tekanan intraokular dengan digiti dirasakan bola mata sangat keras (N+3). Hasil pemeriksaan tersebut mendukung untuk diagnosis dari
glaukoma akut. Pada pasien didapatkan katarak stadium imatur yang dapat menyebabkan glaukoma karena keadaan lensa yang intumesen (lensa
membesar karna adanya hidrasi cairan) yang menyebabkan lensa mendesak iris kedepan sehingga dapat terjadi glaukoma sudut tertutup.8,14 Pada usia
tua lensa yang degeneratif mulai menyerap cairan mata ke dalam lensa sehingga lensa menjadi cembung. Kemudian terjadi pembengkakan lensa yang
disebut sebagai katarak intumesen. Akibat lensa yang bengkak, iris terdorong ke depan, bilik mata dangkal dan sudut bilik mata akan sempit atau
tertutup, sehingga timbul glaukoma sekunder yang dinamakan glaukoma fakamorfik seperti yang terjadi pada pasien ini.10
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada penderita glaukoma untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan minimal yang dianjurkan untuk dilakukan
yaitu berupa pemeriksaan dengan slit lamp dengan lensa indirek antara 60-90D dan/atau oftalmoskop direk, gonioskopi, tonometer aplanasi Goldman
(atau tonopen), dan perimetri.23 Pada kasus glaukoma akut yang memerlukan penegakan diagnosis dan penatalaksaan segera, cukup dilakukan
pemeriksaan slit lamp untuk memeriksa secara keseluruhan, tonometer untuk mengetahui TIO, dan gonioskopi untuk memastikan keadaan sudut
bilikmata.14 Diagnosis banding pada kasus glaukoma akut adalah iritis akut dan konjungtivitis akut, terutama bila timbul perdangan pada mata.
Perbedaan masing-masing diagnosis banding dapat dilihat pada Tabel 1.14 Selain glaukoma akut, pasien juga didiagnosis dengan katarak imatur.
Katarak adalah kelainan pada lensa berupa kekeruhan lensa yang menyebabkan tajam penglihatan penderita berkurang. Katarak terjadi akibat hidrasi
lensa, denaturasi protein lensa, ataukedua-duanya.8 Diagnosis katarak pada pasien didasarkan pada anamnesis berupa silau saat melihat cahaya. Pada
pemeriksan fisik didapatkan penurunan visus dan dengan penyinaran didapatkan shadow test positif. Hasil shadow test positif menandakan adanya
katarak imatur.11,24 Diagnosis banding untuk katarak imatur adalah berupa katarak insipien, matur, maupun hipermatur yang semuanya merupakan
jenis katarak senilis yang terjadi pada pasien dengan usia tua.8
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat terjadi karena proses fakolitik, fakotopik, maupun fakotoksik. Jika katarak ini muncul
dengan komplikasi glaukoma, maka diindikasikan ekstraksi lensa secara bedah.8 Terapi bedah pada pasien katarak disertai glaukoma dilakukan setelah
glaukoma stabil. Ketika TIO tidak dapat dikontrol atau terjadi kerusakan optik sedang sampai berat maka terapi ekstraksi katarak dan trabekulektomi
dapat dilakukan. Ekstraksi katarak dapat dilakukan dengan tehnik Extracapsular Cataract Extraction (ECCE), Intracapsular Cataract Extraction
(ICCE), Phacoemulsification (PE) ataupun nuclea expression.11
Glaukoma sendiri dapat menyebabkan katarak. Lensa kadang-kadang melekat membengkak, dan bisa terjadi katarak. Lensa yang membengkak
mendorong iris lebih jauh ke depan yang akan menambah hambatan pupil dan pada gilirannya akan menambah derajat hambatan sudut. Glaukoma yang
menyebabkan katarak ini disebut dengan glaucomflecken.14,25
Glaukoma akut merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan pada penyakit mata sehingga penatalaksanaan harus dilakukan segera di rumah sakit.
Jika tekanan intraokular tetap terkontrol setelah terapi akut glaukoma sudut tertutup, maka kecil kemungkinannya terjadi kerusakan penglihatan
progresif. Tetapi bila terlambat ditangani dapat mengakibatkan buta permanen. Tujuan pengobatan pada glaukoma akut adalah untuk menurunkan TIO
secepatnya kemudian apabila tekanan bola mata normal dan mata tenang maka dapat dilakukan pembedahan. Pengobatan pada glaukoma akut harus
segera berupa kombinasi pengobatan sistemik dan topikal.14 Pada kasus, pasien mendapatkan glaucon yang mengandung asetazolamid yang termasuk
dalam golongan karbonik anhidrase inhibitor sistemik.23 Efeknya dapat menurunkan TIO dengan menghambat produksi humor akuos sehingga sangat
berguna untuk menurunkan TIO secara cepat. Obat ini dapat diberikan secara oral dengan dosis 250-1.000 mg per hari atau 2-4 kali sehari. Pada pasien
dengan glaukoma akut yang disertai mual muntah dapat diberikan asetazolamid 500 mg IV, yang disusul dengan 250 mg tablet setiap 4 jam sesudah
keluhan mual hilang. Pemberian obat ini memberikan efek samping hilangnya kalium tubuh, parastesi, anoreksia, diarea, hipokalemia, batu ginjal dan
miopia sementara. Untuk mencegah efek samping tersebut, pada pasien ini diberikan pemberian KSR tablet.26
Timolol merupakan beta bloker non selektif dengan aktivitas dan konsentrasi tertinggi pada COP yang dicapai dalam waktu 30-60 menit setelah
pemberian topikal. Beta bloker dapat menurunkan TIO dengan cara mengurangi produksi akuos humor. Penggunan beta bloker non selektif sebagai
inisiasi terapi dapat diberikan 2 kali dengan interval setiap 20 menit dan dapat diulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian. Pemberian timolol 0,5% 2x1
tetes ODS sudah tepat. Timolol termasuk beta bloker non selektif sehingga perlu diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan asma, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), dan penyakit jantung. Inmatrol tetes mata steril ini mengandung dexamethasone 1 mg dan neomycine sulfate diberi untuk
mengurangi reaksi peradangan yang terjadi akibat proses akut.14 Berdasarkan American optometric Association (2010)27, diketahui bahwa meskipun
penggunaan steroid tidak secara signifikan mengobati serangan akut glaukoma, steroid berguna untuk mengatasi inflamasi pada saat serangan. Dosis
yang sering digunakan adalah prednisolone 1% empat kali satu tetes perhari sampai proses operatif Laser Peripheral Iriditomy (LPI) yaitu berupa
tindakan mebuat lubang pada iris dengan laser (misal, argon, Nd: YAG, diode) untuk membebaskan pupil blok dilakukan.27
Carpin 2% mengandung pilokarpin yang merupakan obat miotik yang berfungsi meningkatkan aliran keluar akuos humor dengan bekerja pada jalinan
trabekular melalui kontraksi otot siliaris, menurunkan TIO (dengan menurunkan resistensi aliran pada akuos humor). Sedangkan pemberian asam
mefenamat sebagai analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.14,28 Secepat mungkin setelah TIO turun dan terkontrol, LPI merupakan langkah
penatalaksanaan selanjutnya. Terapi ini bertujuan untuk mencegah rekurensi dari glaukoma akut dan juga mencegah progresi dari akut glaukoma
menjadi glaukoma sudut tertutup kronik.29
Prognosis pada pasien ini ad vitam dubia ad bonam, ad functionamdubia, ad sanactionam dubia.
Simpulan
Glaukoma akut adalah sebuah kedaruratan dalam kasus oftalmologi yang memerlukan penatalaksaan segera dengan medikamentosa. Tujuan dari terapi
adalah untuk menurunkan TIO sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin. Terapi bedah baik untuk mengatasi glaukoma maupun katarak
dilakukan setelah TIO stabil. Prognosis glaukoma akut tergantung penangan awal, jika terlambat maka dapat mengakibatkan kebutaan permanen.
Sumber: Ellysabet dan Aditya│ Glaukoma Akut dengan Katarak Imatur Okuli Dekstra et Sinistra J Med ula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|46
Glaukoma Akut dengan Katarak Imatur Okuli Dekstra et Sinistra Ellysabet Dian Yunivita Sari, Muhammad Aditya Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung

A. Telaah Pustaka
1. Anatomi dan Fisiologi mata
Mata merupakan organ perifer sistem penglihatan, karenanya perlindungan organ ini sangat penting. Untuk menciptakan suatu keadaan struktural yang
melindungi mata dari adanya jejas yang tidak mengurangi fungsi bahkan mengoptimalkannya, maka bola mata terletak di suatu rongga skeletal yang
disebut orbita (dr.Hartono et al.,2007) (Pasquale et al., 2017). Adapun struktur pada mata :
a. Kelopak mata / Palpebra
Berperan untuk melindungi bola mata dan menyebarkan film air mata melewati mata sambil berkedip secara konstan, yang mencegah permukaan mata
menjadi kering.
b. Konjungtiva
Merupakan lapisan epitel transparan, tipis serta menutupi bagian dalam palpebra dan bagian sklera yang dapat dilihat. Sekresi mukus nya merupakan
komponen film air mata
c. Glandula lacrimalis
Terletak pada sudut luar atas (lateral) orbita, dan banyak kelenjar asesorius (Glandula lacrimales accessoriae) terletak pada kelopak mata,
menghasilkan air mata (Lacrimae). 9
d. Keenam otot ekstraokuler
Otot-otot ini berinsertio di bulbus oculi dan menggerakkannya ke arah yang berbeda. Sebagian besar berasal dari Anulus tendineus communis yang
mengelilingi N.Opticus II pada tempat masuknya orbita (Sobbota,2006).
Bola mata dapat dipandang sebagai organ akhir saraf yang merupakan saraf sensoris. Mata menerima rangsang sinar dan mengubahnya menjadi impuls
saraf yang berjalan di sepanjang lintasan visual yang terdiri atas retina, nervus optikus, khiasma optikum, traktus optikus, dan radiasio optika yang pada
akhirnya mencapai korteks visual di fisura kalkarina sehingga timbul sensasi untuk melihat (Pasquale et al., 2017).
Bola mata (Bulbus Oculi) terdiri dari kornea transparan melengkung dan Nervus Opticus II yang masing masing pada kutub anterior dan posterior. Bola
mata terdiri dari :
a. Lapisan luar (fibrosa) bola mata (Tunika fibrosa bulbi) yang terdiri dari sklera dan kornea serta tersusun atas jaringan ikat kolagenosa kuat.
b. Lapisan tengah (vaskular) bola mata (Tunica vasculosa bulbi) terdiri dari choroidea, corpus ciliare, dan iris. Lapisan tersebut kaya pembuluh darah
dan berpigmen banyak.
c. Lapisan dalam bola mata (Tunica interna bulbi) terdiri dari bagian bebas fotoreseptor (yaitu nonvisual, Pars caeca retinae) dan fotoreseptor (yaitu
visual, Pars optica retinae). (Sobotta, 2006)

Gambar 1. Anatomi Mata


(Sumber:http://www.noweyeknow.com/central-retinal-vein-occlusion/crvo/overview/)

Gambar 2. Bola Mata


(Sumber:https://reader008.dokumen.tips) 11

Mata diisi dengan cairan intraokular yang mempertahankan tekanan yang cukup pada bola mata untuk menjaga distensinya. Cairan ini dibagi menjadi
dua bagian yakni humor aqueous dan humor vitreus, yang berada diantara permukaan posterior lensa dan retina. Humor aqueous adalah cairan yang
mengalir bebas, sedangkan humor vitreus adalah sebuah massa dari gelatin. Humor aqueous secara terus- menerus dibentuk dan direabsorbsi.
Keseimbangan antara pembentukan dan reabsorbsi mengatur volume total dan tekanan cairan intraokuler (Guyton, 2011). Tekanan intraokuler normal
rata-rata sekitar 15 mm Hg, dengan kisaran antara 12 sampai 20 mm Hg. Pengaturan tekanan intraokuler tetap konstan pada mata yang normal,
biasanya kurang lebih 2 mm Hg dari nilai normalnya. Besarnya tekanan ditentukan terutama oleh tahanan terhadap aliran keluar humor aqueous dri
kamera okuli anterior ke dalam kanalis Schlemm (Guyton, 2011).
Cairan aqueous diproduksi oleh badan silier, yaitu pada prosesus siliaris. Humor aqueous berjalan dari Kamera Okuli Posterior (KOP) ke Kamera Okuli
Anterior (KOA) yang kemudian melewati trabekulum menuju kanal Schlemm yang kemudian ke kanal kolektor, yang berujung ke sistem vena
episklera untuk kembali ke jantung. Sehingga dibutuhkan keseimbangan antara produksi cairan aqueous dan pembuangannya agar tekanan bola mata
normal (Hartono et al.,2007). Humor aqueous adalah cairan bening yang mengisi dan membantu membentuk ruang anterior dan posterior mata.
Komponen utama dari humor aqueous adalah organik dan ion anorganik, karbohidrat, glutathione, urea, asam amino dan protein, oksigen, karbon
dioksida dan air (Goel et al., 2010).
Gambar 3. Fisiologi humor aqueous
(Sumber : https://indrabaktip.wordpress.com/2010/12/05/glaukoma/)
2. Histologi Mata
a. Korpus siliaris

Gambar 4. M.Siliaris dan Corpus Siliaris


(Sumber: https://slideplayer.info/slide/12503795/)13

Korpus siliaris atau badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata (aqueous humour), yang dikeluarkan melalui trabekulum
yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera (Ilyas, 2011). Korpus siliaris memiliki panjang 6 mm, berbentuk segitiga pada potongan
melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (Rahmawaty, 2009).

Gambar 5. Histologi Corpus Siliaris


(Sumber:http://www.opt.uh.edu/onlinecoursematerials.pdf)
Korpus siliaris dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Otot siliaris

Terdiri dari otot polos yang tersusun dalam satu cincin yang menutupi prosesus siliaris. Dipersarafi oleh saraf parasimpatis melalui saraf kranialis
ketiga (James, 2005).
2) Prosesus siliaris

Prosesus ini bertugas untuk mensekresi aqueous humour. Tiap prosesus siliaris dibentuk oleh epitel dua lapis (lapisan berpigmen di bagian luar dan
lapisan tanpa pigmen di bagian dalam) (James,2005). 14

3) Pars plana

Pars plana terdiri dari stroma yang relatif avaskular yang ditutupi oleh lapisan epitel 2 lapis (James, 2005). Dibatasi oleh lapisan epitel yang berpigmen
dan tanpa pigmen (Solomon, 2002).
b. Kamera okuli anterior
Kamera okuli anterior yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Kamera
okuli anterior ini berdekatan dengan jalinan trabekulum (trabecular meshwork), kanal Schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris (Ilyas,2011).
3. Glaukoma
a. Definisi

Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma.
Kelainan mata glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf papil saraf optik dan menciutnya lapang pandang (Ilyas et
al., 2015). Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokuler secara patologis, kadang meningkat cepat sampai
60 sampai 70 mm Hg. Tekanan yang meningkat diatas 25 sampai 30 mm Hg dapat menyebabkan hilangnya penglihatan apabila dipertahankan untuk
jangka waktu yang lama (Guyton, 2011). Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler ini, disebabkan karena bertambahnya 15

produksi cairan mata oleh badan siliar serta berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau celah pupil. Pada glaukoma akan
terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan kerusakan anatomi yang berakhir pada kebutaan (Ilyas et al., 2015).
Risiko terjadinya glaukoma, progresifitas penyakit dan kebutaan yang diakibatkannya, dihubungkan dengan berbagai faktor risiko. Selain tingginya
tekanan intraokular yang range normal nya 12-20 mmHg, faktor risiko lainnya antara lain adalah ras, jenis kelamin, usia, jenis/ tipe glaukoma, adanya
riwayat glaukoma dalam keluarga, adanya penyakit yang mempengaruhi vaskular dan penglihatan, dan riwayat pengobatan yang didapatkan (Ismandari
and Helda, 2011).

Gambar 6. Mata glukoma


(Sumber : https://www.deherba.com/mengenal-jenis-jenis-glaukoma-dan-proses-terbentuknya.html) 16
f) Epidemiologi)
(1) Etnis Afrika dibanding dengan Kaukasia pada glaukoma sudut terbuka primer adalah 4:1
(2) Glaukoma berpigmen terutama terdapat pada etnis Kaukasia
(3) Pada etnis Asia, glaukoma sudut tertutup lebih sering dibanding sudut terbuka (Sidarta ilyas et,al 2001
g) Diagnosis

Diagnosis pada penyakit glaukoma ini ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi.
(1) Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan beberapa gejala yang dikeluhkan oleh pasien dengan glaukoma yaitu:
(a) Hilangnya penglihatan sisi samping
(b) Sakit kepala
(c) Penglihatan kabur
(d) Melihat pelangi bila melihat sumber cahaya terang (misalnya lampu) (Ilyas et al.,2007).
(2) Pemeriksaan oftalmologi
(a) Tonometri

TIO diukur pada masing-masing mata dengan menggunakan metode aplanasi kontak seperti tonometer Goldman yang diletakkan ke slitlamp dan
mengukur gaya yang diperlukan untuk meratakan luas kornea tertentu. Ada 4 macam tonometer yang dikenal: tonometer schiotz, tonometer digital,
tonometer aplanasi, tonometer Mackay-Marg. Pengukuran TIO sebaiknya dilakukan pada setiap orang yang berusia diatas 40 tahun pada setiap
pemeriksaan rutin. Tekanan intraokuler normalnya bervariasi antara 10-21mmHg(Suhardjoetal.,2003).

Gambar 11. Tonometri


(Sumber : https://nunabanun.wordpress.com/) 27

(b) Gonioskopi
Gonioskopi dilakukan untuk memeriksa saluran pembuangan yaitu dengan memeriksa sudut iridokornea dengan menggunakan lensa kontak khusus
yang disebut genioskop. Gonioskopi dapat membedakan glaukoma sudut terbuka atau tertutup serta adanya perlekatan iris bagian perifer, abnormalitas
sudut dan adanya benda asing.
Gambar 12. Gonioskopi
(Sumber:http://sjiraffenlaffen.blogspot.co.id/2009/11/gonioskopi.html)
h) Lapangan pandang
Penurunan lapangan pandang akibat glaukoma sendiri tidak spesifik, karena gangguan ini terjadi akibat defek berkas serat saraf yang dapat dijumpai
pada semua penyakit saraf optikus. Perubahan paling dini adalah semakin nyatanya bintik buta. 28

8. Faktor resiko dan etiologi?

III. Faktor Resiko Terjadinya Glaukoma Sudut Terbuka


Primer
Glaukoma mempunyai beberapa faktor resiko, yang akan saya sampaikan untuk melengkapi pengetahuan kita tentang jenis penyakit ini.
1. Tekanan bola mata yang meningkat
Sejumlah faktor yang dapat berhubungan dengan timbulnya glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola mata. Hal ini disebabkan karena
tekanan bola mata merupakan salah satu faktor yang paling mudah dan paling penting untuk meramalkan timbulnya glaukoma di masa mendatang
(Vaughan, 1995). Secara umum dinyatakan bahwa tekanan bola mata yang lebih tinggi akan lebih memungkinkan terhadap peningkatan progresifitas
kerusakan diskus optikus, walaupun hubungan antara tingginya tekanan bola mata dan besarnya kerusakan, sampai saat ini masih diperdebatkan.
Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya tekanan bola mata yang berada di atas normal akan diikuti dengan kerusakan diskus optikus dan
gangguan lapang pandangan dalam beberapa tahun. Sebaliknya, terjadi juga pada banyak kasus, bahwa selama pemeriksaan tekanan bola mata tidak
pernah di atas normal, namun terjadi kerusakan pada papil dan lapang pandangan yang khas glaukoma.
Oleh karena itu, definisi tekanan bola mata yang normal sangat sukar untuk ditentukan dengan pasti. Jika dalam suatupopulasi dinyatakan rerata
tekanan bola mata 16 mmHg dengan standard deviation 3 mmHg, maka nilai tekanan bola mata yang normal berada di antara 10–22 mmHg. Jika
dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata pada populasi umur di atas 40 tahun, maka diperkirakan tekanan bola mata yang di atas 22 mmHg adalah
5%- 10% (Boyd ,2002).
Masalah lain yang harus dipertimbangkan mengenai tekanan bola mata, adalah adanya pengaruh variasi diurnal dari tekanan bola mata itu sendiri, yaitu
bahwa tekanan bola mata sangat fluktuatif, tergantung pada waktu saat pemeriksaan, yaitu pagi, siang, sore atau malam hari (Liesegang, 2003).
Beberapa peneliti menyatakan bahwa, variasi diurnal yang lebih besar dari normal dapat digunakan sebagai pembeda untuk menentukan bentuk
glaukoma-nya.
Di samping itu, terdapat pula pengaruh makanan dan konsumsi cairan. Disebutkan bahwa, variasi diurnal pada orang normal berkisar antara 3.5-5
mmHg. Keadaan ini menjadi lebih nyata pada glaukoma sudut terbuka primer yang tidak diobati. Variasi tekanan bola mata yang luas ini sangat
mempengaruhi kondisi untuk mendiagnosis secara dini dengan cepat, hal ini ditunjukkan dalam suatu survei populasi yang menyebutkan bahwa 50%
penderita terdiagnosis glaukoma sudut terbuka primer tidak menunjukkan adanya kenaikan tekanan bola mata pada saat pemeriksaan pendahuluan, di
samping itu juga ditemukan adanya kenaikan tekanan bola mata tanpa gangguan diskus optikus dan lapang pandangan (hipertensi okuler). Secara
umum dinyatakan bahwa hanya sekitar 0.5%-2% per tahun terjadi kerusakan papil dan lapang pandangan selama pengamatan.
Ironisnya, sebagian besar penderita glaukoma sudut terbuka primer hampir tidak pernah menyadari bahwa tekanan bola matanya mengalami
peningkatan. Seringkali mereka baru menyadari setelah merasakan ada gangguan yang jelas terhadap tajam penglihatan, atau penyempitan lapang
pandangan.
Liesegang (2003), juga menyatakan bahwa kenaikan tekanan bola mata, merupakan salah satu faktor resiko utama terjadinya glaukoma. Sementara itu,
nilai batas normal tekanan bola mata dalam populasi berkisar antara 10 – 22 mmHg. Menurut Sommer (Boyd, 2002), pada populasi, nilai rerata tekanan
bola mata yang normal adalah 16 mmHg dengan standard deviasi 3 mmHg.
2. Pelebaran Gaung Diskus Optikus (Large optic disk cups)
Faktor yang berhubungan dengan kerusakan yang khas glaukoma adalah melebarnya penggaungan pada diskus optikus. Oleh karena itu, pelebaran
penggaungan diskus optikus merupakan salah satu tanda adanya kerusakan khas glaukoma. Jika pada penderita ditemukan adanya penggaungan diskus
optikus, maka untuk sementara harus diduga bahwa, penderita mempunyai tandatanda permulaan dari penyakit glaukoma. Kondisi penggaungan
diskus optikus ini secara normal juga sangat individual. Oleh karena, pada individu yang mengalami pelebaran gaung diskus optikus tidak harus
dinyatakan telah menderita glaukoma, melainkan masih tergantung dari ada/tidaknya kerusakan pada jaringan neuroretinal rim. Hal ini dapat terjadi
akibat adanya penggaungan yang bersifat fisiologis. Sementara dapat dimengerti bahwa cupping atau gaung yang lebih lebar merupakan faktor yang
lebih besar untuk terjadinya kerusakan khas glaukoma daripada cupping yang lebih kecil dengan adanya kenaikan tekanan bola mata .
3. Ras
Wilensky (1994) yang didukung oleh beberapa penelitian menyatakan, bahwa faktor ras dan atau kulit berwarna mempunyai prevalensi glaukoma sudut
terbuka primer yang lebih tinggi daripada orang kulit putih dan penderita yang berasal dari daerah oriental. Di Amerika Serikat perbandingan
prevalensinya sekitar 2:1 untuk ras kulit berwarna. Sementara pada populasi lain tampaknya perbandingan tersebut lebih besar lagi. Hasil survei yang
dilakukan di Kepulauan Karibia pada populasi umur di atas 40 tahun, dinyatakan bahwa prevalensi pada kulit berwarna sekitar 14%, sedang pada kulit
putih hanya sekitar 2%. Diperkirakan juga bahwa beratnya kasus glaukoma pada kulit berwarna lebih berbahaya daripada kulit putih. Sementara, kasus
yang menjadi buta pada orang kulit berwarna insidensinya 8 kali lebih banyak daripada kulit putih. Di samping itu ditinjau dari hasil pengobatan
maupun tindakan pembedahan, hasilnya lebih baik pada kulit putih daripada kulit berwarna.
4. Faktor Umur
Faktor bertambahnya umur mempunyai peluang lebih besar untuk menderita glaukoma sudut terbuka primer. Vaughan (1995), menyatakan bahwa
frekuensi pada umur sekitar 40 tahun adalah 0.4%–0.7% jumlah penduduk, sedangkan pada umur sekitar 70 tahun frekuensinya meningkat menjadi
2%–3% dari jumlah penduduk. Framingham Study dalam laporannya tahun 1994 menyatakan bahwa populasi glaukoma adalah sekitar 0.7% penduduk
yang berumur 52–64 tahun, dan meningkat menjadi 1.6% penduduk yang berumur 65–74 tahun, serta 4.2% pada penduduk yang berusia 75–85 tahun.
Keadaan tersebut didukung juga oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma Study di tahun yang sama.
5. Faktor Keluarga
Glaukoma sudut terbuka primer merupakan suatu penyakit yang dipengaruhi faktor keluarga. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa survei yang
dilakukan, namun hasil survei tersebut tidak lengkap karena tidak mengikut-sertakan anak-anak dan orang yang belum mencapai umur 40 tahun yang
kemungkinan dicurigai menderita glaukoma. Walaupun demikian hasil survei tersebu tcukup bermanfaat karena dapat menunjukkan adanya indikasi
bahwa 1 dari 10 orang pada garis keturunan pertama atau first degree menderita glaukoma seperti yang diderita orangtua mereka.
6. Penyakit Sistemik
Insiden dari glaukoma sudut terbuka primer seringkali dihubungkan dengan dua penyakit sistemik, yaitu Diabetes Mellitus dan Hipertensi arterial.
Sehubungan dengan hal tersebut dilaporkan bahwa glaukoma sudut terbuka primer prevalensinya akan meningkat 3 kali lebih tinggi pada Diabetes
Mellitus daripada non Diabetes Mellitus. Berdasarkan penelitian studi kasus–control, ditemukan perbedaan resiko-relatif antara penderita hipertensi
yang diobati dengan tanpa pengobatan hipertensi. Problem yang sampai saat ini banyak menjadi bahan diskusi para pakar tentang glaukoma adalah
patogenesis terjadinya glaukoma sudut terbuka primer yang masih belum diketahui secara jelas. Beberapa kemajuan sudah mulai tampak, yaitu mulai
muncul kesepakatan diantara mereka, bahwa berkurangnya atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork merupakan penyebab utama terjadinya
hambatan outflow cairan akuos yang berakhir dengan kenaikan tekanan bola mata. Tetapi sampai saat ini, semua peneliti tidak atau belum dapat
menjelaskan tentang bagaimana mekanisme terjadinya pengurangan atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork tersebut. Untuk memberikan
penanganan yang tepat kepada penderita hipertensi okuler dan glaukoma, diperlukan usaha yang maksimal untuk mengungkap mekanisme terjadinya
pengurangan sel endotel trabecular meshwork melalui upaya penelitian, serta melalui berbagai pendekatan.

VI. Faktor Resiko Glaukoma


Glaukoma lebih sering terjadi pada umur di atas 40 tahun. Beberapa faktor
resiko lainnya untuk terjadi glaukoma, antara lain:
 TIO yang tinggi
Tekanan bola mata diatas 21 mmHg beresiko tinggi terkena glaukoma. Meskipun untuk sebagian individu, tekanan bola mata yang lebih rendah sudah dapat merusak saraf optik. Untuk
mengukur tekanan bola mata dapat dilakukan dirumah sakit mata atau pada dokter spesialis mata.
 Genetik (faktor keturunan), riwayat glaukoma dalam keluarga
Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita glaukoma mempunyai resiko 6 kali lebih besar untuk terkena glaukoma.Resiko terbesar adalah kakak adik kemudian hubungan
orang tua dan anak-anak. Glaukoma bisa diturunkan dalam keluarga. Apabila salah satu orangtua Anda mengidap glaukoma, maka resiko Anda terkena
glaukoma mencapai sekitar 20%. Apabila saudara kandung Anda mengidapnya, maka kemungkinan Anda terkena glaukoma mencapai 50%.
 Suku bangsa
Kecenderungan orang kulit hitam terserang glaukoma tiga sampai empat kali lebih besar dibandingkan dengan orang kulit putih, dan enam
kali lebih besar untuk menderita kebutaan permanen akibat glaukoma. Orang Asia, khususnya keturunan Vietnam, juga beresiko lebih besar.
 Penggunaan obat-obat golongan kortison (steroid)
Pemakai steroid secara rutin misalnya pemakai obat tetes mata yang mengandung steroid yang tidak dikontrol oleh dokter, obat inhaler untuk penderita asthma, obat steroid untuk radang
sendi, dan pemakai obat secara rutin lainnya juga bisa meningkatkan resiko Anda terkena glaukoma.
 Usia
Resiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya usia. Terdapat 2 % dari populasi usia 40 tahun yang terkena glaukoma. Angka ini akan bertambah dengan bertambahnya usia.
Glaukoma kronis jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Resiko terkena glaukoma hampir meningkat dua kali setiap 10 tahun setelah usia 50 tahun.
Glaukoma kronis umumnya terjadi pada perempuan usia lanjut.
 Diabetes melitus dan penyakit sistemik lainnya
Bila Anda mengidap diabetes, maka risiko Anda terkena glaukoma tiga kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak mengidap diabetes.
Adanya riwayat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung juga dapat meningkatkan resiko. Selain itu, penyakit radang mata, seperti iritis, tumor
mata, terlepasnya retina serta pembedahan mata juga meningkatkan resiko terjadinya glaukoma.
 Kelainan refraksi berupa Miopi dan hipermetropi
Hasil kajian yang ekstensif menunjukkan bahwa pengidap rabun jauh (miopia) beresiko dua hingga tiga kali lebih besar terkena glaukoma
dibanding mereka yang tidak menderita miopia.
 Cedera fisik
Trauma parah, seperti mata terkena pukulan, dapat meningkatkan tekanan pada mata. Cedera juga dapat mengeser letak lensa, sehingga sudut
drainase tertutup.
 Penyakit hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat secara langsung memicu kenaikan tekanan intraokular yang menjadi faktor utama penyebab glaukoma.
Hipertensi atau sindrom prahipertensi sering dikaitkan dengan sindrom praglaukoma.

IV. Etiologi
a. Etiologi dari Open-Angle Glaucoma
 Genetik
 Terjadi pada usia dewasa
 Penyebab utama adalah: Peningkatan TIO yang mungkin disebabkan karena penurunan fungsi Trabecular meshwork
 Faktor lainnya adalah: Iskemia, penurunan dan ketidakteraturan aliran darah, eksitotoksisitas, reaksi autoimun, dll
 Pada glaukoma sudut lebar sekunder, diakibatkan oleh penyakit lain yang sistemik, inflamasi, obat, operasi, dll
Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, kerusakan saraf optic di POAG (Primary Open-Angle Glaucoma) terjadi pada cakupan luas dari intraokular, dan tingkat
perkembangannya sangat bervariasi. Pasien mungkin menunjukkan tekanan dalam kisaran 20 sampai 30 mmHg selama bertahun-tahun sebelum
penyakit penglihatan ini berkembang. Itulah sebabnya glaukoma sudut terbuka sering disebut sebagai ‘pencuri penglihatan’.
Sumber : DiPiro edisi 6, hal. 1715-1716

b. Etiologi closed-angle glaucoma


 Genetik
 Pupillary Block : Penghambatan jaringan trabekular oleh iris secara mekanik
 Tanpa Pupillary Block : Terjadi pada keadaan plateau iris
Mekanisme peningkatan tekanan intraokular pada closed-angle glaucoma (CAG) adalah karena penyumbatan cairan aqueous humor, yang
terjadi antara bagian iris dan trabecular meshwork pada mata. Dengan adanya sumbatan, terjadi gangguan aliran aqueous humor, padahal tubuh tetap
menghasilkan cairan aqueous humor sehingga tekanan intraokular (IOP) akan meningkat. Nilai IOP yang terlalu tinggi (>40mmHg) dapat
menyebabkan kerusakkan pada saraf mata. Tekanan yang lebih tinggi (>60mmHg) dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dimulai dari hitungan
jam sampai hari. Kontak antara iris dan trabecular meshwork yang terlalu lama akan membentuk luka (synechiae) permanen.
Salah satu tipe closed-angle glaucoma, dikenal sebagai “creeping” pendekatan sudut, terjadi pada pasien dengan sudut sempit yang
menyebabkan iris menempel pada trabecular meshwork.

c. Glaukoma congenital
Glaukoma kongenital merupakan gangguan glaukoma dimana tekanan intraokular meningkat sebagai akibat dari abnormalitas dari
perkembangan struktur okular dari infant. Hal ini mungkin terjadi berkaitan dengan abnormalitas-abnormalitas atau anomali lain yang mungkin terjadi
seperti homocystinuria dan syndrom Marfan.

e) Faktor Risiko

Menurut Sidarta Ilyas (2001), faktor risiko yang mengarah pada kerusakan glaukoma adalah
(1) Fenomena autoimun
(2) Degenerasi primer sel ganglion
(3) Usia diatas 45 tahun
(4) Keluarga yang memiliki riwayat glaukoma
(5) Hipermetropia untuk menjadi glaukoma sudut tertutup atau sempit
(6) Pascabedah dengan hifema atau infeksi

Hal-hal yang memperberat risiko glaukoma :


(1) Tekanan bola mata yang semakin tinggi semakin berat
(2) Semakin tua semakin berat dan menambah risiko terjadinya glaukoma
(3) Risiko kulit hitam 7 kali dibandingkan kulit putih
(4) Hipertensi akan mengakibatkan risiko 6 kali lebih sering
(5) Keluarga penderita glaukoma yang menyebabkan risiko 4 kali lebih sering
(6) Tembakau yang menyebabkan risiko 4 kali lebih sering
(7) Miopia yang menyebabkan risiko 2 kali lebih sering
(8) Diabetes melitus dengan risiko 2 kali lebih sering

9. Manifestasi klinis?

Gejala
1. Glaukoma Sudut Lebar (GSL)
GSL berkembang GSL berkembang dengan pelan dan biasanya asimptomatik sampai onset kehilangan jarak pandang.
2. Glaukoma Sudut Sempit
Mengalami simptom prodromal intermittent (Seperti: pandangan kabur dengan halos di sekitar cahaya dan sakit kepala).
Tahap akut memiliki gejala:
 Kornea berawan
 Edematous
 Nyeri pada ocular
 Mual
 Muntah nyeri abdominal
 diaforesis

10. Patofisiologi dan patogenesis?

RETINOPATI HIPERTENSI

Patogenesis

Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah retina akan mengalami beberapa seri perubahan patofisiologis sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah.
Terdapat teori bahwa terjadi spasme arterioles dan kerusakan endothelial pada tahap akut sementara pada tahap kronis terjadi hialinisasi pembuluh darah yang
menyebabkan  berkurangnya elastisitas pembuluh darah.3,4,5

Pada tahap awal, pembuluh darah retina akan mengalami vasokonstriksi secara generalisata. Ini merupakan akibat dari peningkatan tonus arterioles dari
mekanisme autoregulasi yang seharusnya berperan sebagai fungsi proteksi. Pada pemeriksaan funduskopi akan kelihatan penyempitan arterioles retina secara
generalisata. 3,4,5

Peningkatan tekanan darah secara  persisten  akan menyebabkan terjadinya penebalan intima pembuluh darah, hyperplasia dinding tunika media dan degenerasi
hyalin. Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih berat dan perubahan pada persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai ”arteriovenous
nicking”. Terjadi juga perubahan pada refleks cahaya arteriolar yaitu terjadi pelebaran dan aksentuasi dari refleks cahaya sentral yang dikenal sebagai ”copper
wiring”.3,4,11,12

Setelah itu akan terjadi tahap pembentukan eksudat, yang akan menimbulkan kerusakan pada sawar darah-retina, nekrosis otot polos dan sel-sel endotel,
eksudasi darah dan lipid, dan iskemik retina. Perubahan-perubahan ini bermanifestasi pada retina sebagai gambaran mikroaneurisma, hemoragik, hard exudate dan
infark pada lapisan serat saraf yang dikenal sebagai cotton-wool spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini, dan biasanya merupakan indikasi telah
terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat berat. 3,4,11,12

Akan tetapi, perubahan-perubahan ini tidak bersifat spesifik terhadap hipertensi saja, karena ia juga dapat terlihat pada pnyakit kelainan pembuluh darah
retina yang lain. Perubahan yang terjadi juga tidak bersifat sequential. Contohnya perubahan tekanan darah yang terjadi mendadak dapat langsung
menimbulkan hard exudate tanpa perlu mengalami perubahan-perubahan lain terlebih dulu. 3,4,11,12

Pada dinding arteriol yang terinfiltrasi lemak dan kolesterol  akan menyebabkan pembuluh darah menjadi sklerotik  sehingga pembuluh darah secara bertahap
kehilangan transparansinya, pembuluh darah tampak lebih lebar daripada normalnya  dan refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar. Produk-produk lemak
kuning keabu-abuan di dinding pembuluh darah bercampur dengan warna darah  sehingga menimbulkan gambaran khas “kawat tembaga” (copper wire).
Sklerosis berlanjut menyebabkan refleksi cahaya dinding pembuluh darah mirip dengan “kawat perak” (silver wire). Dapat terjadi sumbatan suatu cabang
arteriol. Oklusi arteri primer atau sekunder akibat aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi vena dapat menyebabkan perdarahan retina. 8

Manifestasi klinis

Perubahan pembuluh darah retina yang disebabkan oleh hipertensi kronik biasanya asimtomatik. Kadang-kadang pasien dengan hipertensi maligna mengalami
gangguan penglihatan akut, tetapi kemungkinan disebabkan oleh edeme diskus optikus. 14

1.      Penyempitan ( spasme ) pembuluh darah tampak sebagai :

 Pembuluh darah ( terutama arteriole retina ) yang berwarna lebih pucat


 Kalliber pembuluh yang menjadi lebih kecil atau ireguler ( karena spasme lokal)
 Percabangan arteriol yang tajam

2.      Bila kelainan yang terjadi adalah sklerosis dapat tampak sebagai :

 Reflex copper wire


 Reflex silver wire
 Sheating

3.       Pembuluh darah yang irregular

4.      Terdapat fenomena crossing sebagai berikut :

 Elevasi : pengangkatan vena oleh arteri yang berada dibawahnya


 Deviasi : penggeseran posisi vena oleh arteri yang bersilangan dengan vena tersebut dengan sudut persilangan yang lebih kecil
 Kompresi : penekanan yang kuat oleh arteri yang menyebabkan bendungan vena.8

                Gambaran fundus pada retinopati hipertensi juga ditentukan oleh derajat peningkatan tekanan darah dan keadaan arteriol retina. Pada pasien muda :
retinopati ekstensif dengan perdarahan, infark retina ( cotton wool patches), infark koroid ( elschnig patches), kadang ablasio retina, dan edema berat pada discus
optic adalah gambaran yang menonjol dan dapat disertai dengan eksudat keras berbentuk macular star. Penglihatan mungkin terganggu dan bias makin memburuk
bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat. Sebaliknya pada pasien usia lanjut yang arteriosklerotik tidak dapat berespons seperti pada pasien muda, dan
pembuluh-pembuluh darah mereka terlindung oleh arteriosklerosis. Karena itu pasien lansia jarang meemperlihatkan gambaran retinopati hipertensif yang jelas. 10
Gambar 3.Mild Hypertensive Retinopathy. Nicking AV (panah putih) dan  penyempitan focal arterioler (panah  hitam) (A). Terlihat AV nickhing (panah hitam)
dan gambaran copper wiring pada arterioles (panah putih) (B).

Gambar 4.Moderate Hypertensive Retinopathy.AV nicking (panah  putih) dan cotton wool spot (panahhitam) (A).Perdarahan retina (panah hitam) dan gambaran
cotton wool spot (panah putih) (B).

Gambar 5.Multipel cotton wool spot (panahputih) danperdarahan retina (panahhitam) danpapiledema.

1. Apa hubungan hipertensi dan DM pada kasus di skenario ?

Jawaban :

PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK

Pengertian Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina
dengan gejala penurunan atau perubahan penglihatan secara perlahan.1

Gejala Retinopati Diabetik

 Pandangan kabur
 Floaters (benda yang melayang-layang pada penglihatan) 2-4
Vision of normal and diabetic people

Tanda Retinopati Diabetik

Dengan pemeriksaan funduskopi didapatkan

 Mikroaneurisma
 Edema makula
 Perdarahan retina
 Neovaskularisasi
 Proliferasi jaringan fibrosis retina 2-4

DM 
Mekanisme terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus dapat diterangkan melalui:

1. Pembentukan senyawa dikarbonil.


Monosakarida seperti glukosa dapat mengalami oksidasi yang dikatalis oleh Fe dan Cu,  membentuk radikal OH, O2, H2O2 dan senyawa dikarbonil toksik
Senyawa dikarbonil yang terbentuk dapat bereaksi dengan gugus –NH2 protein membentuk AGE.

SKEMA PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK

Patofisiologi Retinopati Diabetik


Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel
organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk
kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya retinopati
diabetik, antara lain:

 1)      Akumulasi Sorbitol

Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat
pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang
tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.  Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang
bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.

Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD + sehingga menurunkan uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis
fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi
saraf.

Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau
memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati. 3, 5, 6

Peningkatan aktivitas aldosa reduktase.


Akibat hiperglikemia  dalam jaringan terjadi peningkatan kadar glukosa  Oleh aldosa reduktase, glukosa akan dirubah menjadi sorbitol  meningkatnya
kadar sorbitol didalam sel  Akumulasi sorbitol  akan meningkatkan osmolaritas didalam sel terjadi perubahan fisiologi sel Sel dengan kadar
sorbitol yang tinggi menunjukan aktivitas penurunan aktivitas protein kinase C dan Na+, K+ - ATPase membran.

 2)      Pembentukan protein kinase C (PKC)

Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan
suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan
vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.

Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan
peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan
proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah
dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses tersebut terjadi secara bersamaan,
hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 7

 3)      Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)

Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari
AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1 sekaligus
menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 8

AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa. Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi
pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan
akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel. 8

Glikosilasi non enzimatik.


Glukosa adalah suatu aldehid yang bersifat reaktif, yang dapat bereaksi secara spontan, walaupun lambat dengan protein. Melalui proses yang disebut dengan
glikosilasi non enzimatik  protein mengalami modifikasi  Gugus aldehid glukosa bereaksi dengan gugus amino yang terdapat pada suatu protein 
membentuk produk glikosilasi yang bersifat reversible  Produk ini mengalami serangkaian reaksi dengan gugus NH2 dari protein dan mengadakan
ikatan silang membentuk advanced glycoliation end-product (AGE)  Akumulasi AGE pada kolagen  dapat menurunkan elastisitas jaringan ikat 
menimbulkan perubahan pada pembuluh darah dan membrane basalis.

 4)      Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)

ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS
meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang
menambah kerusakan sel. 3, 8

Strees oksidatif.
Strees oksidatif timbul bila pembentukan reactive oxygen species (ROS) melebihi kemampuan mekanisme seluler dalam mengatasi yang melibatkan
sejumlah enzim dan vitamin yang bersifat antioksidan. Strees oksidatif diabetes mellitus dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan redoks akibat
perubahan metabolisme karbohidrat dan lipid, peningkatan reactive oxygen species akibat proses glikosilasi/glikoksidasi lipid dan penurunan kapasitas
antioksidan.perubahan pupil cycle time pada penderita diabetes melitus

SKEMA 2 PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK (lanjutan)

 Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan
lensa. Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan menghambat
penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan
kabur juga dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan
funduskopi. 2-4

Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya disebut
Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan
penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga
tampak sebagai mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga
terjadi bercak perdarahan pada retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita dengan floaters atau
benda yang melayang-layang pada penglihatan. 2-4, 9

Gambaran retina penderita DM

Kebutaan pada Retinopati Diabetik

Penyebab kebutaan pada retinopati diabetik dapat terjadi karena 4 proses berikut, antara lain:

1)      Retinal Detachment (Ablasio Retina)


Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus. Suatu saat
jaringan fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi,  sehingga retina juga ikut tertarik dan terlepas dari tempat melekatnya di koroid. Proses inilah yang
menyebabkan terjadinya ablasio retina pada retinopati diabetik.3

2)      Oklusi vaskular retina

Penyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya oklusi
vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan menyebabkan terjadinya vena berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial, namun apabila terjadi oklusi total
akan didapatkan perdarahan pada retina dan vitreus  sehingga mengganggu tajam penglihatan penderitanya. Apabila terjadi perdarahan luas, maka tajam
penglihatan penderitanya dapat sangat buruk hingga mengalami kebutaan. Perdarahan luas ini biasanya didapatkan pada retinopati diabetik dengan oklusi vena
sentral, karena banyaknya dinding vaskular yang lemah. 3, 4

Selain oklusi vena, dapat juga terjadi oklusi arteri sentralis retina. Arteri yang mengalami penyumbatan tidak akan dapat memberikan suplai darah yang berisi
nutrisi dan oksigen ke retina, sehingga retina mengalami hipoksia dan terganggu fungsinya. Oklusi arteri retina sentralis akan menyebabkan penderitanya
mengeluh penglihatan yang tiba-tiba gelap tanpa terlihatnya kelainan pada mata bagian luar. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat seluruh retina berwarna
pucat. 3, 4

3)      Glaukoma

Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum jelas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada retinopati
diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk sehingga menambah tekanan intraokular. 3, 9

PATOFISIOLOGI KATARAK DIABETIK

Katarak diabetik merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan yang utama pada pasien diabetes melitus selain retinopati diabetik. Patofisiologi terjadinya
katarak diabetik berhubungan dengan akumulasi sorbitol di lensa dan terjadinya denaturasi protein lensa. 4, 10

Katararak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, atau akibat denaturasi protein lensa. Pada
diabetes melitus terjadi akumulasi sorbitol pada lensa  yang akan meningkatkan tekanan osmotik dan  menyebabkan cairan bertambah dalam lensa.
Sedangkan denaturasi protein terjadi karena stres oksidatif oleh ROS  yang mengoksidasi protein lensa (kristalin).

Steroid-Induced Glaukoma
Bani Adlina Sabrina, S.Farm., Apt.
INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT MATA DR. YAP
          Glaukoma merupakan penyakit akibat neuropati optik progresif yang ditandai dengan degenerasi sel ganglion retina yang dapat menjurus pada kebutaan.
Degenerasi sel ganglion retina berbanding lurus dengan peningkatan tekanan intra okular. Keseimbangan antara sekresi aqueous humor oleh ciliary body
dan saluran pengeluarannya melalui dua jalur independen, yaitu
 trabecular meshwork dan (system vena)
 pengeluaran cairan melalui uveoskelar inilah yang menentukan tekanan intra okular. (otot silier)
Secara garis besar, glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma sudut terbuka dan sudut tertutup.
 Pada glaukoma sudut terbuka, terdapat peningkatan resistensi terhadap aliran aqueous humor melalui trabecular meshwork.
 Sedangkan, pada glaukoma sudut tertutup, terjadi penghambatan jalur pengeluaran aqueous humor (Weinreb dkk., 2014).
Patofisiologi glaukoma dapat dilihat pada gambar 1.
          Steroid-induced glaukoma merupakan salah satu jenis glaukoma sudut terbuka yang disebabkan oleh efek samping dari terapi kortikosteroid (Dada, dkk.,
2005). Terapi kortikosteroid yang biasanya menyebabkan steroid-induced glaukoma, adalah terapi kortikosteroid topikal. Namun demikian, penggunaan terapi
kortikosterodi oral, intravena, inhalasi, maupun periokular (injeksi intra vitreal) juga mampu menyebabkan steroid-induced glaukoma. Sejumlah obat
kortikosteroid yang telah dilaporkan menyebabkan steroid-induced glaukoma, di antaranya, deksametason, betametason, prednisolon, medrison, fluorometholon,
hidrokortison, dan kortison (Shepard, dkk., 2001).
          Steroid-induced glaukoma dapat terjadi pada semua kelompok usia (Biedner, dkk., 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Ohji dkk, melaporkan bahwa
peningkatan tekanan intraokular yang lebih parah terhadap deksametason topikal terjadi pada anak-anak daripada pada dewasa. Steroid-induced glaukoma pada
anak-anak memerlukan perhatian khusus, karena anak-anak tidak mampu mengkomunikasikan gejala dengan jelas, selain itu pengukuran tekanan intra ocular pada
anak-anak juga lebih sulit dibandingkan dengan orang dewasa (Lai dkk., 2014). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Singapura, dilaporkan bahwa
sebanyak 28,3% anak-anak dengan vernal conjunctivitis mengalami peningkatan tekanan intraokular akibat penggunaan steroid topikal (Ang dkk., 2012). Durasi
terapi steroid topikal yang lama pada vernal conjunctivitis, menyebabkan resiko steroid-induced glaukoma (Surekha dkk., 2014). Insidensi steroid-induced
glaukoma akibat penggunaan steroid sistemik belum banyak diketahui, karena tidak dilakukan pengecekan tekanan intra okuler terhadap pasiennya. Sedangkan
insidensi steroid-induced glaukoma pada penggunaan steroid topikal lebih terukur, karena pasien yang menggunakan tetes mata steroid, biasanya dilakukan
pengecekan tekanan intra ocular secara rutin oleh dokter spesialis mata. Sebanyak 5-6% dari populasi normal pasien yang menggunakan tetes mata steroid
mengalami peningkatan tekanan bola mata setelah 4-6 minggu terapi (Becker, 1965; Armaly, 1965; Armaly, 1966; Armaly, 1967).
          Faktor resiko steroid-induced glaukoma akan lebih tinggi pada pasien glaukoma sudut terbuka. Selain itu, individu normal yang dikategorikan sebagai high
steroid responders, juga memiliki faktor resiko steroid-induced glaukoma yang lebih tinggi (Armaly, 1965; Armaly, 1966; Armaly, 1967; Armaly, 1964; Armaly,
1963). Kondisi patofisiologis lain yang menjadi faktor resiko steroid-induced glaukoma  di antaranya, riwayat keluarga glaukoma sudut terbuka primer (Becker
dan Hahn, 1964), mata minus yang tinggi (Podos, dkk., 1966), diabetes mellitus (Becker, 1971), dan rheumatoid arthritis (Gaston, 1983). Sedangkan, pasien
dengan glaukoma sudut tertutup kronik primer dan pasien glaukoma sudut terbuka sekunder, memiliki respon terhadap penggunaan tetes mata steroid yang sama
dengan individu normal (Pohjola dan Horsmanheimo, 1971).
          Efek peningkatan tekanan intra okuler dipengaruhi oleh tingkat potensi steroid dan konsentrasinya. Steroid dengan potensi tinggi seperti, betametason,
deksametason, dan prednisolon, memiliki efek peningkatan tekanan intra okuler yang lebih tinggi dibandingkan steroid potensi rendah seperti, fluorometholon dan
medrison (Shields, 1992; Bedrossain, 1969; Mindel, dkk., 1980). Konsentrasi steroid yang lebih tinggi juga memiliki efek peningkatan tekanan intra okuler yang
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi steroid yang lebih rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap high steroid responders, betametason 0,1%
menyebabkan peningkatan tekanan intra ocular yang lebih tinggi dibandingkan dengan betametason 0,01% (Kitazawa, 1976). Patofisiologi dari steroid-induced
glaukoma adalah akibat efek antiinflamasi berupa penurunan sintesis prostaglandin yang disebabkan oleh penggunaan steroid. Dengan demikian, efek
prostaglandin  dalam regulasi aqueous humor menurun, sehingga berperan dalam peningkatan tekanan intra ocular (Shields, 1992).

          Durasi penggunaan steroid yang mampu meningkatkan tekanan intra ocular bervariasi, tergantung dari bentuk sediaannya.
 Steroid topikal (tetes mata, salep mata) dapat meningkatkan tekanan intra ocular setelah 2-6 minggu penggunaan (Becker, 1965; Armaly, 1967).
 Sedangkan steroid sistemik (oral, topikal untuk kulit, dan injeksi) dapat meningkatkan tekanan intra ocular dalam jangka waktu penggunaan yang
lebih lama (Dada, dkk., 2007).
 Pada terapi steroid intravitreal misalnya, peningkatan tekanan intra ocular dapat terjadi setelah 1-2 bulan terapi dimulai (Smithen, dkk., 2004; Roth,
dkk., 2009).
          Manajemen terapi yang paling efektif dari steroid-induced glaukoma ini adalah dengan penghentian penggunaan steroid hingga tekanan intra ocularnya
menurun. Selain itu, dapat pula dengan substitusi steroid yang digunakan dengan steroid dengan potensi yang lebih rendah, yaitu, fluorometholon atau medrison
(Bedrossain, 1969; Mindel, dkk., 1980). Namun, jika substitusi steroid potensi rendah masih belum dapat menurunkan tekanan intra ocular pasien, maka dapat
dilakukan substitusi dengan antiinflamasi non-steroid, seperti misalnya, diklofenak ataupun ketorolak (Francois, 1977). Jika, intervensi terapi farmakologi belum
dapat menurunkan tekanan intra ocular pasien, maka alternative terapinya adalah dengan laser (selective laser trabeculopalsty) atau bedah (trabeculotomy)
(Thomas dan Jay, 1988; Reiss, dkk., 1991). Hal yang perlu diperhatikan bagi kita sebagai seorang apoteker adalah melakukan pemantauan terapi obat steroid
pasien dengan cara mengedukasi pasien bahwa penggunaan obat steroid hanya dapat digunakan atas resep dokter. Selain itu, kita juga sebaiknya mengedukasi
pasien untuk mematuhi jadwal kontrol rutin ke dokter, supaya efek penggunaan steroidnya dapat terpantau dengan baik.

IV. Perkembangan Patogenesis Glaukoma Sudut Terbuka Primer


Dalam 2-3 dekade terakhir ini, banyak penelitian dilakukan secara perorangan maupun kelompok untuk mencari penyebab timbulnya glaukoma sudut terbuka
primer. Di antaranya dilakukan oleh Hogan dan Zimmerman (1962), Lutjen-Drecoll E & Rohen JW (1994), Tripathi (1994), Vaughan (1995), Quigley HA (1998),
Petrolani M dkk (1999), Cotran (1999), Wallach (1999), Rizzo V & Belfort R (2000), Lutjen-Drecoll E (2000), Liesegang TJ dkk (2001 & 2003), Boyd B & Luntz
M (2002), Ochiai Y & Ochiai H (2002), Gottanka J dkk (2004), Ozcan AA dkk (2004) dll. Menurut etiologinya glaukoma sudut terbuka primer adalah salah satu
bentuk glaukoma primer, yang ditandai oleh terganggunya atau terjadinya hambatan outflow cairan akuos melewati trabecular meshwork. Hambatan ini terjadi
akibat hilang atau berkurangnya jumlah sel endotel trabecular meshwork, namun mekanisme kejadiannya masih belum diketahui secara jelas dan sampai saat ini
masih menjadi obyek penelitian. Lutjen-Drecoll dan Rohen (1994) menemukan bahwa pada glaukoma sudut terbuka primer terjadi pengurangan atau
menghilangnya jumlah sel endotel trabecular meshwork, disertai penebalan lamela daerah uvea dan korneo-skeral.  Penebalan tersebut akan menimbulkan
penyempitan ruang antar-trabekulum  yang berakhir dengan penutupan,  sehingga terjadi hambatan outflow cairan akuos. Akan tetapi peneliti tersebut tidak
atau belum menjelaskan mekanisme kejadian berkurang atau menghilangnya sel endotel trabeculer meshwork pada glaukoma sudut terbuka primer. Vaughan
(1995) menyatakan bahwa kondisi berkurang atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork tersebut terjadi akibat degenerasi, tetapi bukan akibat degenerasi
seperti pada proses penuaan (ageing process). Hogan dan Zimmerman (1962) mengatakan bahwa kondisi tersebut merupakan akibat pembengkakan dan sklerosis
sel endotel trabecular meshwork. Sedangkan Cotran (1999) menerangkan bahwa penyebabnya belum diketahui dengan jelas.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dimunculkan dugaan kuat bahwa penyebab berkurangnya jumlah sel endotel trabecular meshwork, adalah
akibat kematian sel itu sendiri oleh karena berbagai sebab. Menurut Lutjen-Drecoll (1994), berkurangnya jumlah sel endotel trabecular meshwork, disertai
dengan akumulasi matriks ekstra-seluler dan penebalan lamela daerah uvea dan korneo-sklera akan menimbulkan hambatan outflow cairan akuos pada glaukoma
sudut terbuka primer.
Pada hakekatnya, kematian sel dapat terjadi karena rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar atau dari dalam sel itu sendiri (bersifat aktif atau pasif).
 Kematian sel yang berasal dari dalam sel dapat terjadi melalui mekanisme genetik, yang merupakan suatu proses fisiologis dalam usaha mempertahankan
keadaan homeostasis atau keseimbangan fungsinya.
 Proses kematian yang berasal dari luar sel dan bersifat pasif dapat terjadi karena jejas atau injury yang letal akibat faktor fisik, kimia, iskhemia maupun
biologis (Cotran,1999).
 Jejas atau injury biologis dapat terjadi akibat pengaruh infeksi mata akibat mikro-organisme, secara intra maupun ekstra seluler, baik akibat kuman,
jamur, parasit ataupun virus, yang kesemuanya dapat merupakan antigen yang dapat menimbulkan inflamasi.  Akhirnya antigen tersebut dapat
mengaktivasi APC dan limfosit T. Pendapat ini didukung oleh Clancy (1998), Handoyo (2003) dan Judajana (2004) Limfosit T mengekspresikan
molekul untuk mengikat antigen pada membrannya, yang disebut sebagai sel reseptor T.  Reseptor limfosit T ini hanya dapat mengenal antigen
yang terikat pada protein sel membran, yang disebut sebagai molekul MHC (kelas I atau kelas II). Fungsi utama limfosit T adalah sebagai limfosit T
helper (Th) dan limfosit T Cytotoxic (Tc). Antigen akan berpengaruh terhadap limfosit T helper, dan selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi
limfosit Th1, limfosit Th2 dan limfosit Th3, tergantung pada macam antigen yang mempengaruhinya ( Clancy, 1998, Roitt, 2001).
 Limfosit Th1 akan mengekspresikan beberapa sitokin antara lain IL-2, IFN-g , serta TNF-a . Menurut Abbas (1994), sitokin TNF-a
mempunyai peran terbesar sebagai pengatur mediator imun dalam proses inflamasi, yang dapat mengakibatkan lisis sel target, dan
akhirnya mengalami kematian.
 Sementara itu, limfosit Th2 akan mengekspresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Hampir pada semua proses inflamasi ditemukan IL-10,
yang berfungsi sebagai anti inflamasi dan sebagian besar diproduksi oleh monosit (Theze, 1999). Menurut Petrolani (1999) IL-10 dapat
meningkatkan harapan hidup sel dengan cara meningkatkan protein anti apoptosis Bcl2.
 Oppenheim (2001) mengatakan, bahwa limfosit Th3 merupakan sumber utama dalam memproduksi sitokin TGF-β. Menurut Condos
(2004) dan Judajana (2004), TGF-β merupakan sitokin yang dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai sitokin pro-inflammatory dan sitokin
anti-inflammatory. Oppenheim (2001) juga menyatakan bahwa, TGF-β mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses apoptosis sel
akibat pengaruh enzim endonuklease. Tripathi (1994) juga menyatakan, bahwa pada glaukoma ditemukan kadar TGF-b2 yang lebih tinggi
dari orang normal. Kedua pendapat tersebut juga didukung oleh Welge-Luessen (2000), yang menginformasikan juga bahwa TGF-b1 dan
TGF-b2 dapat merangsang peningkatan akumulasi matriks ekstra seluler, fibronectin dan peningkatan enzim Tissue– transglutaminase,
yang sangat berperan dalam proses kematian sel (apoptosis).
Berdasarkan hal tersebut, sitokin TNF-a , IL-10 dan TGF-b , mempunyai pengaruh yang besar pada proses inflamasi, sehingga diperkirakan juga
berperan terhadap kematian sel. Wallach (1999), Petrolani (1999) dan Pimentel (1994) menyebutkan, bahwa ketiga sitokin yaitu TNF-a , IL-10
danTGF-b , memang berpengaruh terhadap kematian sel, namun sampai dengan saat ini, peran ketiga sitokin tersebut khususnya terhadap
kematian sel endotel trabecular meshwork, belum pernah dijelaskan. Oleh karena itu, mekanisme kejadian berkurangnya atau hilangnya sel
endotel trabecular meshwork belum dapat dijelaskan. Akibatnya, pengobatan dan penanggulangan glaukoma sebagai salah satu penyakit mata
yang menyebabkan kebutaan utama masih belum memberikan hasil yang memuaskan.
Jika peran ketiga sitokin tersebut dalam respons inflamasi dan kematian sel tidak diperjelas, maka pemahaman tentang peran ketiga sitokin
tersebut tidak dapat dimanfaatkan bagi kepentingan penanggulangan proses perjalanan dan perkembangan peningkatan tekanan bola mata pada
glaukoma sudut terbuka primer. Hal ini menyebabkan jumlah kecacatan netra akibat glaukoma sudut terbuka primer dengan tekanan bola mata
yang meningkat akan tetap saja tinggi atau bahkan lebih tinggi lagi. Kondisi tersebut secara umum tentu akan berpengaruh terhadap kemampuan
sumber daya manusia dan produktivitasnya. Sebaliknya, jika peran ketiga sitokin tersebut telah menjadi jelas, maka usaha penanganan dan
pencegahan terhadap timbulnya kenaikan tekanan bola mata pada glaukoma sudut terbuka primer, diharapkan akan dapat dilakukan dengan cara
pemberian bahan yang bersifat antagonis terhadap ketiga sitokin tersebut, atau bahkan dengan pemberian sitokinnya sendiri.
V. Hasil Penelitian
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum ini, hanya meneliti sitokin TGF- 2 b , serta juga tidak menerangkan bagaimana proses terjadinya peningkatan
ekspresi sitokin TGF- 2 b dalam cairan akuos penderita glaukoma sudut terbuka primer. Oleh karena itu penelitian yang saya lakukan ini mengutarakan konsep
baru yang ingin menunjukkan proses ekspresi sitokin TNF-a , IL-10 dan TGF-b , sampai peningkatan kadarnya dalam cairan akuos dan perannya terhadap
peningkatan tekanan bola mata pada penderita glaukoma sudut terbuka primer. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan imunologis, yang melibatkan dua
kelompok sampel, yaitu kelompok glaukoma sudut terbuka primer dengan tekanan bola mata yang meningkat dan kelompok non glaukoma, dalam hal ini adalah
katarak lentis dengan tekanan bola mata yang normal atau tidak meningkat. Sebenarnya yang ideal, penelitian yang dipilih adalah jenis penelitian longitudinal pada
seseorang yang memiliki faktor resiko terjadinya glaukoma sudut terbuka primer sampai orang tersebut menjadi penderita glaukoma sudut terbuka primer.
Selanjutnya setiap fase atau setiap rentang waktu tertentu kadar sitokinnya diukur sampai dilakukan tindakan operasi. Mengingat keterbatasan yang ada, di
antaranya waktu penelitian menjadi tidak terbatas, serta teknis pengambilan cairan akuos pada mata orang sehat secara etik tidak dimungkinkan untuk dikerjakan,
maka jenis penelitian ini tidak dipilih.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan sampel yang sesuai dengan perjalanan penyakit dan dapat diperiksa cairan akuosnya, maka diambil sampel secara cross-
sectional atau sesaat, dengan subyek penderita glaukoma sudut terbuka primer dengan tekanan bola mata meningkat yang menjalani operasi anti glaukoma sebagai
kelompok kasus, serta kelompok kedua adalah penderita non glaukoma atau katarak lentis dengan tekanan bola mata normal atau tidak meningkat yang menjalani
operasi katarak sebagai kelompok kontrol.
Mengingat keterbatasan volume cairan akuos pada setiap individu, maka pengambilan sampel pada setiap penderita hanya dilaksanakan sebanyak 0.5 cc saja,
sehingga pengambilan sampel pada setiap penderita tidak dapat dilakukan untuk tiga jenis sitokin sekaligus, tetapi hanya dilakukan untuk mengambil satu jenis
sitokin saja, kecuali untuk pemeriksaan TNF-a dan IL-10 pada penderita katarak, satu penderita untuk dua macam sitokin tersebut. Dari data penelitian diperoleh
nilai rerata kadar ketiga jenis sitokin pada kelompok kasus mempunyai kadar yang berbeda dibandingkan nilai rerata pada kelompok kontrol untuk jenis sitokin
yang sama.
Hasil penilitian saya ini menunjukkan bahwa pada penderita glaukoma sudut terbuka primer dengan peningkatan tekanan bola mata, kadar sitokin TNF-a , IL-10
dan TGF-b secara statistik berpengaruh secara bermakna terhadap tekanan bola mata. Pengaruh terbesar diberikan oleh TGF-b , diikuti oleh IL-10 dan
terakhir TNF-a . Sedangkan pada penderita katarak dengan tekanan bola mata normal, ditemukan bahwa kadar sitokin TNF-a , IL-10 dan TGF-b , secara
statistik tidak berpengaruh secara bermakna terhadap tekanan bola mata. Kenyataan tersebut menimbulkan harapan, bahwa suatu saat dimasa mendatang
dapat ditemukan atau diproduksi suatu bahan bersifat anti ketiga sitokin tersebut (TNF-a, IL-10 dan TGF-b), yang diharapkan dapat menghambat laju
peningkatan tekanan bola mata pada penderita glaukoma sudut terbuka primer. Sejalan dengan upaya tersebut, pemberian bahan anti TNF-a, IL-10 dan TGF-b
dapat dipertimbangkan, sebagai usaha pencegahan terjadinya kenaikan tekanan bola mata penderita dengan tekanan bola mata normal yang mempunyai faktor
risiko terkena glaukoma sudut terbuka primer. Melalui pertimbangan tersebut, maka diharapkan usaha pencegahan terhadap terjadinya peningkatan tekanan bola
mata, yang merupakan faktor resiko utama terjadinya glaukoma sudut terbuka primer, dapat tercapai. Dengan demikian dapat diharapkan terjadi peningkatan
kualitas pengobatan terhadap peningkatan tekanan bola mata yang diakibatkan dari peningkatan kadar sitokin TNF- a, IL-10 dan TGF- b.
VI. Kesimpulan dan Harapan
Kesimpulan
1. Walaupun dijuluki sebagai “maling penglihatan”, Glaukoma sudut terbuka primer sebetulnya dapat dideteksi secara dini. 2. Dengan memperhatikan faktor-
faktor resiko terjadinya glaukoma sudut terbuka primer pada seseorang, diharapkan yang bersangkutan dapat melakukan tindakan yang tepat jika muncul tanda-
tanda awal jenis penyakit mata ini. Misalnya memeriksakan kesehatan mata pada waktu yang tepat, atau memeriksakannya secara rutin dan berkala terutama bagi
seseorang yang termasuk dalam kelompok salah satu atau beberapa faktor resiko.
Sumber: PATOGENESIS GLAUKOMA SUDUT TERBUKA PRIMER DAN USAHA PENCEGAHANNYA Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Penyakit
Mata Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 22 Desember 2008
Oleh : Prof. Dr Admadi Soeroso, dr., Sp.M., MARS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 1

2.1.1. Fisiologi Humor Aquos


Tekanan intraokuler ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor aquos dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Humor aquos merupakan cairan jernih
yang mengisi kamera okuli anterior dan posterior. Volume humor aquos sekitar 250 μL, dan kecepatan pembentukannya 2,5 μL/menit. Komposisi humor aquos
hampir sama dengan komposisi plasma, yaitu mengandung askorbat, piruvat, laktat, protein, dan glukosa. 5

Humor aquos merupakan media refrakta jadi harus jernih. Sistem pengeluaran humor aquos terbagi menjadi 2 jalur, yaitu
- sebagian besar melalui sistem vena dan  Pada sistem vena, humor aquos diproduksi oleh prosesus ciliaris masuk melewati kamera okuli posterior
menuju kamera okuli anterior melalui pupil. Setelah melewati kamera okuli anterior cairan humor aquos menuju trabekula meshwork ke angulus
iridokornealis dan menuju kanalis Schlemm yang akhirnya masuk ke sistem vena. Aliran humor aquos akan melewati jaringan trabekulum sekitar 90
%.
- sebagian kecil melalui otot ciliaris  Sedangkan sebagian kecil humor aquos keluar dari mata melalui otot siliaris menuju ruang suprakoroid untuk
selanjutnya keluar melalui sklera atau saraf maupun pembuluh darah. Jalur ini disebut juga jalur uveosklera (10-15%). 5,10

Gambar 1. Aliran humor aquos normal4


2.1.2. Patofisiologi Glaukoma
Penurunan penglihatan pada glaukoma terjadi karena adanya apoptosis sel ganglion retina  yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan lapisan inti
dalam retina serta berkurangnya akson di nervus optikus. Diskus optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cawan optik.Kerusakan saraf dapat dipengaruhi oleh
peningkatan tekanan intraokuler. Semakin tinggi tekanan intraokuler semakin besar kerusakan saraf pada bola mata. Pada bola mata normal tekanan intraokuler
memiliki kisaran 10-22 mmHg. 5
Tekanan intraokuler pada glaukoma sudut tertutup akut dapat mencapai 60-80 mmHg, sehingga dapat menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris yang disertai
dengan edema kornea dan kerusakan nervus optikus5,11

3.3.4 Patogenesis Glaukoma


Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik mata depan dan belakang. Volumenya sekitar 250 uL dan kecepatan pembentukannya memiliki
variasi diurnal yaitu 2,5 uL/menit. Tekanan osmotiknya lebih tinggi dibandingkan dengan plasma. Komposisi aqueous humor sama dengan plasma, tetapi cairan
ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat yang lebih tinggi, protein, urea dan glukosa yang lebih rendah.2,5
Aqueous humor diproduksi di corpus siliaris. Ultrafiltrat plasma yang dihasilkan di stroma processus siliaris dimodifikasi oleh fungsi sawar dan processus
sekretorius epitel siliaris. Setelah mengisi bilik mata belakang, cairan aqueous hmor akan mengalir melalui pupil ke bilik mata depan. Cairan ini akan keluar
melalui 2 jalur aliran yang berbeda, yaitu melalui
- jalur konvensional dan  Aliran melalui jalur konvensional ( jalur trabekulum ) yang merupakan jalur utama, dimana sekitar 90% aliran aqueous
humor melalui jalinan trabekular menuju kanal Schlemm yang terdiri dari sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena aqueous menyalurkan ke sistem
vena.
- jalur uveoscleral. Jalur uveoscleral dimana sekitar 10% aliran aquoues humor melalui ruang suprakoroid dan ke dalam sistem sistem vena corpus
siliaris, koroid dan sklera.2,5

Gambar Anatomi aliran Aqueous Humor

Setiap hari mata memproduksi sekitar 1 sdt humor aquos yang menyuplai makanan dan oksigen untuk kornea dan lensa dan membawa produk sisa
keluar dari mata melalui anyaman trabekulum ke Canalis Schlemm. Pada keadaan normal tekanan intraokular ditentukan oleh derajat produksi cairan mata oleh
epitel badan siliar dan hambatan pengeluaran cairan mata dari bola mata. Pada glaukoma tekanan intraokular berperan penting oleh karena itu dinamika
tekanannya diperlukan sekali. Dinamika ini saling berhubungan antara tekanan, tegangan dan regangan :2,5
a. Tekanan
Tekanan hidrostatik akan mengenai dinding struktur (pada mata berupa dinding korneosklera). Hal ini akan menyebabkan rusaknya neuron apabila penekan
pada sklera tidak benar.
b. Tegangan
Tegangan mempunyai hubungan antara tekanan dan kekebalan. Tegangan yang rendah dan ketebalan yang relatif besar dibandingkan faktor yang sama pada
papil optik ketimbang sklera. Mata yang tekanan intraokularnya berangsur-angsur naik dapat mengalami robekan dibawah otot rektus lateral.
c. Regangan
Regangan dapat mengakibatkan kerusakan dan mengakibatkan nyeri. Tingginya tekanan intraokuler tergantung pada besarnya produksi aquoeus humor oleh
badan siliar dan pengaliran keluarnya. Besarnya aliran keluar aquoeus humor melalui sudut bilik mata depan juga tergantung pada keadaan sudut bilik mata
depan, keadaan jalinan trabekulum, keadaan kanal Schlemm dan keadaan tekanan vena episklera. 2,5
Tekanan intraokuler dianggap normal bila kurang daripada 20 mmHg pada pemeriksaan dengan tonometer aplanasi.
- Pada tekanan lebih tinggi dari 20 mmHg yang juga disebut hipertensi oculi dapat dicurigai adanya glaukoma.
- Bila tekanan lebih dari 25mmHg pasien menderita glaukoma (tonometer Schiotz ).2
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atrofi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian
dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Iris dan korpus siliar juga menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi hialin. 2
Diskus optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cekungan optikus diduga disebabkan oleh gangguan pendarahan pada papil  yang menyebabkan
degenerasi berkas serabut saraf pada papil saraf optik (gangguan terjadi pada cabang-cabang sirkulus Zinn-Haller), diduga gangguan ini disebabkan oleh
peninggian tekanan intraokuler. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik  menekan papil saraf optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling
lemah pada bola mata. Bagian tepi papil saraf optik relatif lebih kuat daripada bagian tengah  sehingga terjadi cekungan pada papil saraf optik. Serabut atau sel
syaraf ini sangat tipis dengan diameter kira-kira 1/20.000 inci. Bila tekanan bola mata naik  serabut syaraf ini akan tertekan dan rusak serta mati. Kematian sel
tersebut akan mengakibatkan  hilangnya penglihatan yang permanen.2
Glaukoma sekunder sudut tertutup merupakan komplikasi dari katarak. Glaukoma sekunder akibat katarak dapat melalui empat cara, yaitu :6
a. Glaukoma fakomorfik  lensa dapat membengkak (intumesen) dengan menyerap cukup banyak cairan dari kamera anterior yang menimbulkan
sumbatan pupil dan pendesakan sudut sehingga jalinan trabekular terblok serta menyebabkan glaukoma sudut tertutup. 6
b. Glaukoma fakolitik  pada katarak stadium hipermatur terjadi kebocoran protein lensa dan masuk ke dalam kamera anterior dan ditelan oleh makrofag. 
Makrofag menjadi membengkak dan menyumbat jalinan trabekular -yang memacu peningkatan TIO. Glaukoma yang terjadi adalah glaukoma sudut
terbuka.
c. Glaukoma fakotopik  lensa hipermatur dapat mengalami dislokasi dan menyebabkan peningkatan TIO dengan memblok pupil atau sudut secara mekanis,
atau dispalsia korpus vitreus yang menyebabkan blok. Dislokasi korpus vitreus sebagai penyebab glaukom akibat katarak meskipun mekanismenya belum
jelas. 6
d. Glaukoma fakoantigenik yang dahulu dikenal sebagai glaukoma fakoanafilaktik  katarak stadium lanjut dapat mengalami kebocoran kapsula lensa
anterior, dan memungkinkan protein-protein lensa yang mencair masuk ke dalam bilik mata depan,  terjadi akibat tersensitisasi protein lensa nya sendiri,
sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi reaksi peradangan di bilik mata depan, anyaman trabekular menjadi edema. Protein lensa memiliki
keistimewaan secara imunologi, yaitu dapat mulai sentisisasi secara imunologi apabila memasuki aqueous humor. 6

III. Patofisiologi
Mata dibasahi oleh suatu cairan intraokular (aqueous humor) yang diatur oleh suatu sistem irigasi untuk menjaga fungsi normal/ kesehatan mata.
Aqueus humor secara kontinue diproduksi oleh badan silier (sel epitel prosesus ciliary bilik mata belakang untuk memberikan nutrien pada lensa.
Aqueous humor mengalir melalui jaring-jaring trabekuler, pupil, bilik mata depan, trabekuler meshwork dan kanal schlem. Tekanan intra okuler (TIO)
dipertahankan dalam batas 10-21 mmHg tergantung keseimbangan antara produksi dan pegeluaran (aliran) Aqueous Humor di bilik mata depan. Peningaktan TIO
akan menekan aliran darah ke syaraf optik dan retina sehingga dapat merusak serabut syaraf optik menjadi  iskemik dan mati.Selanjutnya menyebabkan
kerusakan jaringan yang dimulai dari perifer menuju ke fovea sentralis. Hal ini menyebabkan penurunan lapang pandang yang dimulai dari derah nasal atas
dan sisa terakhir pada temporal (SunaryoJoko Waluyo, 2009)
Terdapat tiga faktor penting yang menentukan tekanan bola mata, yaitu:
1. Jumlah produksi aqueous oleh badan siliar
2. Tahanan aliran aqueous humor yang melalui system trabekular meshwork-kanalis Schlem
3. Level dari tekanan vena episklera
Umumnya peningkatan TIO disebabkan peningkatan tahanan aliran aqueous humor
Mata dibasahi oleh suatu cairan intraokular (aqueous humor) yang diatur oleh suatu sistem irigasi untuk menjaga fungsi normal/kesehatan mata

Aqueous humor dibentuk oleh proseus siliaris, dimana masing-masing proseus ini disusun oleh epitel lapis ganda, dihasilkan 2-2,5 m L/menit, mengalir
dari kamera okuli posterior, lalu melalui pupil mengalir ke kamera okuli anterior. Sebagian besar akan keluar melalui system vena, yang terdiri dari jaringan
trabekulum, juxta kanalikuler, kanal Schlemn dan selanjutnya melalui saluran pengumpul (Collector channel). Aliran aqueous humor akan melewati jaringan
trabekulum sekitar 90%. Sebagian kecil akan melalui struktur lain pada segmen anterior hingga mencapai ruangan supra khoroid. Untuk selanjtnya akan kleuar
melalui sclera yang intak atau saraf maupun pembuluh darah yang memasukinya. Jalur ini disebut juga dengan jalur uveosklera (10-15%).

Tekanan bola mata yang umum dianggap norma adalah 10-21 mmHg. Pada banyak kasus peningkatan tekanan bola mata dapat disebabkan oleh
peningkatan resistensi aliran aqueous humor. Beberapa faktor resiko dapat menyertai perkembangan suatu glaucoma termasuk riwayat keluarga, umur, sex, ras,
genetic, variasi diurnal, olahraga dan obat-obatan.
Proses kerusakan papil saraf optik (Cupping) akibat tekanan intraokuli yang tinggi atau gangguan vaskuler ini akan bertambah luas seiring dengan terus
berlangsungnya kerusakan jaringan sehingga skotoma pada lapang pandangan makin bertambah luas. Pada akhirnya terjadi penyempitan lapang pandangan dari
yang ringan sampai berat.
Glaucomatous optic neuropati adalah tanda dari semua bentuk glaucoma. Cupping glaucomatous awal terdiri dari hilangnya akson-akson, pembuluh
darah, dan sel glia. Perkembangan glaucomatous optic neuropati merupakan hasil dari berbagai variasi faktor, baik intrinsic maupun ekstrinsik. Kenaikan TIO
memegang peranan utama terhadap perkembangan glaucomatous optic neuropati.
Aqueous Humor adalah:
 Cairan diproduksi di mata dan mengisi ruang (anterior dan posterior) di depan lensa dan lampirannya. (Kamus Medis Dorland untuk Konsumen
Kesehatan)
 Cairan jernih dan encer yang beredar di ruang mata antara kornea dan lensa. (Warisan Amerika - Kamus Kedokteran)
 Cairan transparan, terkandung di dalam mata, yang terdiri dari air, gula, vitamin, protein, dan nutrisi lainnya. (Gale Encyclopedia of Medicine)
Fungsi Aqueous Humor:
1. Memelihara tekanan intraokular (TIO) dan mempertahankan bentuk bola mata.
2. Menyediakan nutrisi untuk keperluan metabolisme jaringan okular yang tidak tervaskularisasi, seperti kornea posterior, jaringan trabekular, lensa, dll.
3. Membuang produk sisa metabolisme
4. Mentransportasikan askorbat sebagai antioksidan
5. Mentransportasikan imunoglobulin

Sistem Irigasi
Aqueous Humor Diproduksi oleh epitel badan silia (kelenjar di belakang iris) à masuk ke bilik posterior melewati bagian antara iris dan lensa à masuk ke pupil à
bilik anterior àjaringan trabekular meshwork à filtrasi melalui kanal Schlemm à masuk ke peredaran darah.
Keterangan : kanal Schlemm membentuk sudut antara iris dan kornea
 laju alir (produksi) normal : 2-2,5 m L/menit
 Volume normal : ± 125 m L
 laju clearance normal : 1-4 mL/ menit/ mmHg
 Tekanan intraokular normal: 10-21 mmHg

Peningkatan Tekanan Intraokular (TIO)


 Terjadi ketika jumlah aliran aqueous humor yang masuk dan yang keluar tidak seimbang
 Aliran aqueous humor yang masuk ditingkatkan oleh:
 Senyawa β-adrenergik
 Dan diturunkan oleh:
 Penghambat α2-, α-, dan β-adrenergik
 Penghambat dopamin
 Penghambat karbonik anhidrase
 Aliran aqueosu humor yang keluar ditingkatkan oleh: Senyawa kolinergik, yang menyebakan kontraksi otot siliari

a. Patofisiologi Glaukoma Secara Keseluruhan


Glaukoma berkaitan dengan adanya gangguan pada tekanan intraokular (TIO). Tekanan ini berkaitan dengan aliran cairan mata (aqueous humor). Gangguan
pada aliran dapat disebabkan oleh :
1. produksi cairan mata yang berlebih
2. adanya sumbatan pada tempat keluarnya cairan mata, yaitu trabecular meshwork, sudut yang terbentuk antara kornea dan iris dangkal atau tertutup.

Sebagian orang yang menderita glaukoma namun masih memiliki tekanan di dalam bola matanya normal, penyebab dari tipe glaukoma semacam ini
diperkirakan adanya hubungan dengan kekurangan sirkulasi darah di daerah syaraf/nervous opticus mata. Meski glaukoma lebih sering terjadi seiring dengan
bertambahnya usia, glaukoma dapat terjadi pada usia berapa saja. Risiko untuk menderita glaukoma diantaranya adalah riwayat penyakit glaukoma di dalam
keluarga (faktor keturunan), suku bangsa, diabetes, migrain, tidak bisa melihat jauh (penderita myopia), luka mata, tekanan darah, penggunaan obat-obat golongan
kortison (steroid).
Efek peningkatan tekanan intraokular di dalam mata ditemukan pada semua bentuk glaukoma, yang manifestasinya dipengaruhi oleh perjalanan waktu
dan besar peningkatan tekanan intraokular. Mekanisme kerja utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atrofi sel ganglion difus, yang menyebabkan
penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Diskus optikus menjadi atrofik, disertai pembesaran cekungan
optikus. Iris dan korpus siliare juga menjadi atrofik, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenarasi hialin.
Pada glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intraokular mencapai 60-80 mmHg, sehingga terjadi kerusakan iskemik pada iris yang disertai edema
kornea.

b. Patofisiologi dari Open-Angle Glaucoma


 Tidak memiliki gejala pada awal terjadi (asimptomatik) sampai terjadi kerusakan berat dari syaraf optik dan penglihatan terpengaruh secara permanen.
 Disebut sudut terbuka karena aqueous humor mempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular.
 Pengaliran dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan trabekular, saluran schleem, dan saluran yang berdekatan.
 Dulu : peningkatan tekanan intraokuler (TIO) diduga satu-satunya penyebab kerusakan glaukoma sudut terbuka.
 Saat ini :
1. Peningkatan kerentanan dari saraf optik menjadi iskemia,
2. Aliran darah berkurang atau disregulasi,
3. Eksitotoksisitas,
4. Reaksi autoimun,
5. Proses fisiologis normal

Dua penyebab spesifik dari neuropati optik glaukoma saat ini belum diketahui. Sebelumnya peningkatan tekanan intraokuler (TIO) dianggap menjadi
satu-satunya penyebab kerusakan, namun saat ini diakui bahwa TIO hanya salah satu dari banyak faktor yang terkait dengan pengembangan dan perkembangan
glaukoma. Peningkatan kerentanan optik saraf ke iskemia, aliran darah berkurang atau disregulasi, eksitotoksik, reaksi autoimun, dan proses fisiologis normal
kemungkinan merupakan fakor penyebab tambahan. Hasil akhir dari proses apoptosis sel-sel ganglion retina diyakini menghasilkan degenerasi aksonal -dan
diakhiri dengan hilangnya penglihatan secara permanen. Hal yang cukup menarik, tampaknya ada cukup banyak kesamaan antara kematian sel saraf oleh apoptosis
pada penyakit Alzheimer dan glaukoma. Memang glaukoma sudut terbuka dapat mewakili sejumlah penyakit yang berbeda atau kondisi yang hanya mewujudkan
gejala yang sama. Kerentanan terhadap hilangnya penglihatan pada TIO bervariasi jauh, dimana beberapa pasien tidak menunjukkan kerusakan pada TIO yang
tinggi, sedangkan pasien lainnya mengalami kehilangan penglihatan yang progresif meskipun TIO dalam batas normal (normal-normal ketegangan glaukoma).
Nilai TIO yang buruk merupakan salah satu cara prediksi pada pasien yang memiliki penglihatan yang buruk, resiko kerugian bidang penglihatan jelas
meningkat dengan peningkatan TIO dalam jangkauan apapun. Bahkan studi terbaru menunjukkan bahwa menurunkan TIO, baik dengan pretreatment TIO dapat
mengurangi resiko perkembangan glaukoma atau bahkan dapat mencegah timbulnya glaukoma awal pada pasien penyakit mata dengan hipertensi.
Mekanisme pada TIO tingkat tertentu meningkatkan kerentanan mata terhadap kerusakan saraf yang masih kontroversial. Beberapa mekanisme
memungkinkan untuk dilakukannya operasi data spektrum kombinasi untuk menghasilkan kematian sel ganglion retina dan akson mereka pada glaukoma.
Tekanan sensitif astrosit dan sel-sel lainnya dalam disk optic yang mendukung matriks dapat menghasilkan perubahan dan remodeling disk, mengakibatkan
kematian aksonal.
- Teori vasogenik menunjukkan bahwa kerusakan saraf mata merupakan hasil dari aliran darah yang tidak cukup untuk retina sekunder dengan tekanan
perfusi yang diperlukan dalam mata, disregulasi perfusi, atau kelainan dinding pembuluh, dan hasil dalam degenerasi serat aksonal retina.
- Teori lain menunjukkan bahwa TIO dapat mengganggu aliran axoplasmal pada disk optik.
Saat ini, glaukoma terfokus pada mekanisme apoptosis sel ganglion retina dan peranan kelebihan glutamat serta oksida nitrat yang ditemukan pada
pasien glaukoma telah memperluas fokus penelitian terapi obat untuk mengevaluasi agen yang bertindak sebagai neuroprotektan. Agen tersebut mungkin sangat
berguna pada pasien dengan tekanan normal glaukoma, diantaranya tekanan faktor independen yang memiliki peran relatif besar dalam perkembangan penyakit.
Agen ini akan menargetkan faktor resiko dan mekanisme patofisiologi yang mendasari penyakit selain TIO.

c. Patofisiologi closed-angle glaucoma


 Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan
menghambat aqueous humor mengalir ke saluran schlemm.
 Peningkatan Tekanan intraokular à terjadi ketika iris secara mekanik menghambat jaringan trabekular
 Pasien biasanya mengalami simptom prodromal intermittent (seperti pandangan kabur dengan halos sekitar cahaya, dan biasanya sakit kepala)
 Peningkatan TIO > 40 mmHg, kerusakan syaraf mata
 Jika TIO > 60 mmHg, kehilangan penglihatan (kebutaan), dalam hitungan jam s/d hari.
 Dapat disebabkan oleh:
 Turunan genetik (anterior chamber sempit)
 Sumbatan pada pupil à iris dan lensa bergesekan à sumbatan aliran aqueous dari pupil ke ruang anterior à pergeseran iris, yang memblok
trabecular meshwork
 Abnormalitas (Plateau iris) à pergeseran iris
Closed-angle glaucoma (CAG) terjadi karena penyumbatan pada trabecular meshwork oleh iris perifer. Penyumbatan ini dapat terjadi secara sebagian atau pun
menyeluruh, di mana terjadi secara berselang, sehingga tekanan intraocular (TIO) terjadi perubahan tajam antara tekanan normal (tanpa gejala), dan tekanan tinggi
(dengan gejala akut CAG). Tekanan intraokular akan normal pada serangan CAG, kecuali pada penderita open-angle glaukoma (POAG) dan closed-angle
glaukoma secara beriringan atau sumbatan stabil (irreversible) yang semakin besar seiring dengan waktu pada mata narrow-angle.
Penderita closed-angle glaucoma, disebabkan oleh turunan genetik yang mempunyai ruangan anterior yang dangkal, yang menyebabkan terjadinya
sudut sempit antara kornea dan iris atau tegangan kontak antara iris dan lensa (sumbatan pada pupil). Pengujian lain melibatkan peningkatan tekanan intraokular
yang diinduksi oleh angle-closure, yang menghasilkan sudut sempit melalui midriasis (tes midriasis).
Closed-angle glaucoma, dibagi menjadi 2 bagian yaitu closed-angle glaucoma dengan sumbatan pada pupil dan tanpa sumbatan pupil.
- Closed-angle glaucoma dengan sumbatan pada pupil terjadi akibat iris dan lensa saling bergesekan, menyebabkan sumbatan pada aliran aqueous dari
pupil ke ruang anterior, sehingga terjadi pergeseran iris, yang memblok trabecular meshwork. Pada umumnya terjadi pada saat pupil mengalami
mid dilatasi. Posisi mid dilatasi ini adalah gabungan penyumbatan pupil dan relaksasi iris, sehingga menyebabkan pergeseran iris. Pendekatan sudut
terjadi selama miosis.
- Akan tetapi, closed-angle glaucoma dapat terjadi tanpa adanya penyumbatan pupil, tetapi karena adanya abnormal yang disebut plateau iris. Siliari
terdapat pada anterior,  yang memajukan iris ke depan dan menyebabkan pendekatan pada trabecular meshwork, terutama pada midriasis.
Midriasis yang disebabkan oleh obat antikolinergik atau obat lain dapat membentuk endapan pada kedua tipe glukoma. Sedangkan obat yang menginduksi
miosis dapat menghasilkan sumbatan pupil.
Sumber:
 Martini F.H., Welch K. Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River. 2001
American Health Asisstance Foundation. 2011. Progression of Glaucoma Symptoms Seen Through The Eyes of The Patient. Di akses di : National Glaukoma
Research http://www.ahaf.org/glaucoma/about/understanding/progression-of-glaucoma.html
d) Patofisiologi
Pada glaukoma akan terdapat karakteristik seperti melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat/pengecilan lapang pandang, peningkatan tekanan intraokular
(TIO) yang disertai oleh pencekungan diskus optikus dan kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta degenerasi papil saraf optik, yang dapat
berakhir dengan kebutaan. Pada umumnya indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan glaukoma adalah pemeriksaan TIO, tajam penglihatan dan
perimetri. Kebutaan pada penderita glaukoma terjadi akibat kerusakan saraf optik yang terjadi melalui mekanisme mekanis akibat tekanan intraokuler yang tinggi
dan/atau adanya iskemia sel akson saraf akibat TIO maupun insufisiensi vaskular yang selanjutnya mempengaruhi progresifitas penyakit (Lalita et al., 2016).
Ada dua teori mekanisme kerusakan saraf optik yang diakibatkan tekanan intraokuler meliputi kerusakan mekanik pada akson saraf optik dan penurunan aliran
darah pada papil saraf optik sehingga terjadi iskemia akson saraf. Pencegahan atau pengendalian faktor risiko, terutama peningkatan tekanan intraokuler ialah
tujuan utama manajemen glaukoma (Lalita et al., 2016).
Gambar 9. Patofisiologi glaukoma
(Sumber : http://xamthonegamat.weebly.com/glaucoma.html) 24 Gambar 10. Trabecular meshwork (Sumber : http://blog.daum.net/eyedoc/428)

11. Penularan/klasifikasi?

II. Klasifikasi Glaukoma


Dalam dunia kedokteran, jenis penyakit mata ini digolongkan pada beberapa klasifikasi. Menurut Vaughan (1995), klasifikasi glaukoma menurut etiologinya
dikelompokkan dalam Glaukoma Primer, Glaukoma Kongenital, Glaukoma Sekunder dan Glaukoma Absolut.
A. Glaukoma Primer :
Glaukoma sudut terbuka disebut juga glaukoma simpleks, glaukoma simpleks menahun. Bentuk glaukoma ini adalah bentuk yang paling sering ditemukan,
dan presentasinya sekitar 85%-90% dari seluruh kasus glaukoma. Sementara itu, glaukoma sudut tertutup disebut juga glaukoma sudut sempit; bentuk
glaukoma ini dapat terjadi melalui beberapa stadium yaitu: akut, subakut, khronik/menahun, dan iris plato/plateau iris.
B. Glaukoma Kongenital :
1. Glaukoma kongenital primer,
2. Glaukoma yang berkaitan dengan anomali kongenital dan perkembangan:
a. Sindroma pembelahan bilik mata depan, yaitu sindroma Axenfeld, sindroma Rieger dan anomali Peter
b. Aniridia
3. Glaukoma berkaitan dengan gangguan perkembangan ekstra okuler, seperti Sindroma Sturge-Weber, Sindroma Marfan, Neurofibromatosis, Sindroma
Lowe, dan Rubela kongenital.
C. Glaukoma Sekunder :
1. Glaukoma berpigmen
2. Sindroma eksfoliatif
3. Karena kelainan lensa, yaitu dislokasi, intumesensi, dan fakolitik
4. Karena kelainan uvea, yaitu uveitis, synechia posterior, dan tumor
5. Sindroma iridokorneo endotelial
6. Trauma, yaitu Hiphema dan pendarahan bilik mata belakang yang masif, serta pergeseran akar iris/cekungan sudut
7. Pasca Operasi :
Ø Ciliary block glaucoma/glaukoma akibat hambatan siliaris
Ø Sinekhia Anterior Perifer
Ø Pertumbuhan epitel ke dalam bilik mata depan
Ø Pasca operasi Keratoplasti
Ø Pasca operasi ablasio retina
8. Glaukoma neovaskuler, oleh karena Diabetes mellitus, serta pembuntuan/ sumbatan pembuluh darah vena retina yang sentral
9. Kenaikan tekanan vena epi sklera, yaitu Fistula kovernosa karotikus, dan Sindroma Sturge-Weber
10. Akibat pemakaian kortikosteroid
D. Glaukoma Absolut
Akhir dari semua glaukoma yang tidak terkontrol akan terjadi glaukoma absolut, dengan cirri-ciri mata teraba keras, tajam penglihatan nol, dan seringkali
disertai dengan nyeri mata hebat. Keadaan ini dapat terjadi pada bentuk Glaukoma sudut terbuka maupun glaukoma sudut tertutup.

2.1.3 Klasifikasi Glaukoma


2.1.3.1. Glaukoma Primer
a. Glaukoma Sudut Terbuka Primer
Glaukoma sudut terbuka primer terdapat kecenderungan familial yang kuat. Gambaran patologi utama berupa proses degeneratif trabekular meshwork
sehingga dapat mengakibatkan penurunan drainase humor aquos yang menyebabkan peningkatan takanan intraokuler. Pada 99% penderita glaukoma primer
sudut terbuka terdapat hambatan pengeluaran humor aquos pada sistem trabekulum dan kanalis schlemm.5,12
Gambar 2. Aliran humor aquos glaukoma sudut terbuka4
b. Glaukoma Sudut Tertutup Primer
Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan predisposisi anatomis tanpa ada kelainan lainnya. Adanya peningkatan tekanan intraokuler karena
sumbatan aliran keluar humor aquos akibat oklusi trabekular meshwork oleh iris perifer. 13

Gambar 3. Glaukoma sudut tertutup4


2.1.3.2. Glaukoma Sekunder
Peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma sekunder merupakan manifestasi dari penyakit lain dapat berupa peradangan, trauma bola mata dan paling
sering disebabkan oleh uveitis. 5
2.1.3.3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat gangguan perkembangan pada saluran humor aquos. Glaukoma kongenital seringkali
diturunkan. Pada glaukoma kongenital sering dijumpai adanya epifora dapat juga berupa fotofobia serta peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma
kongenital terbagi atas glaukoma kongenital primer (kelainan pada sudut kamera okuli anterior), anomali perkembangan segmen anterior, dan kelainan lain
(dapat berupa aniridia, sindrom Lowe, sindom Sturge-Weber dan rubela kongenital). 5,12
2.1.4. Penilaian Glaukoma
2.1.4.1. Tonometri
Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler yang menggunakan alat berupa tonometer Goldman. Faktor yang dapat mempengaruhi biasnya
penilaian tergantung pada ketebalan kornea masing-masing individu. Semakin tebal kornea pasien maka tekanan intraokuler yang di hasilkan cenderung
tinggi, begitu pula sebaliknya, semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler bola mata juga rendah.5
Tonometer yang banyak digunakan adalah tonometer Schiotz karena cukup sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah, kalibrasi alat mudah dan tanpa
komponen elektrik.14
Penilaian tekanan intraokuler normal berkisar 10-22 mmHg. Pada usia lanjut rentang tekanan normal lebih tinggi yaitu sampai 24 mmHg.
Pada glaukoma sudut terbuka primer , 32-50% pasien ditemukan dengan tekanan intraokuler yang normal pada saat pertama kali diperiksa.5
2.1.4.2. Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus yang normal memiliki cekungan di bagian tengahnya. Pada pasien glaukoma terdapat pembesaran cawan optik atau pencekungan sehingga
tidak dapat terlihat saraf pada bagian tepinya.5
2.1.4.3. Pemeriksaan Lapangan Pandang
Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai 30 derajat lapangan pandang bagian central. Cara pemeriksaan lapangan pandang dapat
menggunakan automated perimeter.5
2.1.4.4. Gonioskopi
Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang menggunakan lensa khusus untuk melihat aliran keluarnya humor aquos. Fungsi dari gonioskopi
secara diagnostik dapat membantu mengidentifikasi sudut yang abnormal dan menilai lebar sudut kamera okuli anterior.10,13

b. Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, glaukoma terdiri dari glaukoma primer, sekunder, dan glaukoma kongenital.
1) Glaukoma primer

Merupakan bentuk yang paling sering terjadi, struktur yang terlibat dalam sirkulasi dan reabsorpsi akuos humor mengalami perubahan patologi langsung atau
belum diketahui penyebabnya.
2) Glaukoma sekunder

Adalah glaukoma yang disebabkan oleh kelainan penyakit di dalam mata. Glaukoma sekunder dapat terjadi pada keadaan berikut:
a) Katarak imatur ataupun hipermatur. Katarak imatur menimbulkan glaukoma apabila terdapat kondisi lensa yang mencembung (katarak intumesen) akibat
menyerap air sehingga mendorong selaput pelangi yang akan menutup sudut bilik mata. Katarak hipermatur mengakibatkan glaukoma akibat lensa terlalu
matang bahan lensa yang degeneratif dari kapsul dan menutup jalan keluar cairan mata pada sudut bilik mata.
b) Cedera mata dapat mengakibatkan pendarahan kedalam bilik mata depan (hifema) ataupun hal lain yang menutup cairan mata keluar.
c) Uveitis¸ radang didalam bola mata yang mengakibatkan perlekatan antara iris dengan lensa ( sinekia posterior) atau perlekatan antara pangkal iris dan tepi
kornea (goniosinekia).
d) Tumor didalam mata.
e) Diabetes yang membangkitkan glaukoma neovaskular.
f) Tetes mata steroid yang dipakai terlalu lama.
3) Glaukoma kongenital

Glaukoma ini dapat tidak disertai kelainan mata lain (primer) dan dapat bergabung menjadi dengan suatu sindrom, pasca trauma, pasca operasi, dan radang.
Beberapa istilah glaukoma pada anak anak dibedakan berdasarkan gejala klinis dan usia penderita pada saat diagnosis glaukoma ditegakkan :
a) Glaukoma developmental : yakni semua jenis glaukoma yang disebabkan oleh kelainan perkembangan sistem aliran keluar cairan akuos, yang dapat juga
berhubungan dengan kelainan sistemik lain.
b) Glaukoma kongenital primer : yakni jenis glaukoma yang tejadi pada anak usia tahun pertama, disebabkan oleh gagal atau pembentukan tidak normal dari
anyaman trabekulum. Yang biasanya berjalan sporadik, terdapat 10% dengan herediter, diduga bersifat autosomal resesif. Gejala mulai dilihat dengan tanda-
tanda :
(1) Bola mata membesar
(2) Edema atau kornea keruh akibat endotel kornea sobek
(3) Bayi tidak tahan sinar matahari
(4) Mata berair
(5) Silau
(6) Menjauhi sinar dengan menyembunyikan mata

Beberapa istilah yang lain :


(1) Primary newborn glaucoma yakni glaukoma kongenital primer yang terdiagnosis sejak lahir.
(2) Primary infantile glaucoma yakni glaukoma kongenital primer pada usia 1 bulan sampai dengan 2 tahun.
(3) Late-recognized primary infantile glaucoma yakni glaukoma yang terdiagnosis lebih dari 2 tahun.
c) Juvenille glaucoma yakni glaukoma yang berusia lebih dari 3 tahun sampai dewasa muda dan berhubungan dengan pola pewarisan autosomal dominan.
Biasanya glaukoma jenis ini bersifat herediter yang terdapat pada short arm chromosom 1. Dan terlihat sebagai glaukoma sudut terbuka pada usia antara 10-
35 tahun. Biasanya 35% menderita miopi tinggi.

Sedangkan berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokular, glaukoma terbagi dalam glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup dan NTG
( Normal Tension Glaucoma) 19

(1) Glaukoma sudut tertutup


Glaukoma sudut tertutup ini kurang umum di Barat daripada di Asia. Yang mungkin juga disebut penutupan sudut akut atau kronis atau glaukoma sudut
sempit. Air mata tidak mengalir dengan benar karena sudut antara iris dan kornea terlalu sempit. Yang hal ini dapat menyebabkan tekanan tiba-tiba di mata.
(Eye health center)
Terdapat 2 tipe glaukoma sudut tertutup yaitu akut dan kronis. Glaukoma sudut tertutup akut dimana tempat mengalir keluar cairan pada mata tertutup
mendadak. Apabila terjadinya penutupan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan bola mata mendadak dan akan menyebabkan kerusakan pada saraf optik
disertai dengan gangguan penglihatan. Glaukoma akut akan datang mendadak dengan penglihatan sangat kabur, mata merah disertai dengan rasa sakit pada
sekeliling mata, pelangi di sekitar lampu, mual dan kadang-kadang muntah. Kadang penyakit ini berjalan kronis sehingga dinamakan glaukoma sudut
tertutup kronis yang akan seperti glaukoma sudut terbuka tanpa memperlihatkan gejala dan keluhan. Glaukoma sudut tertutup kronis berjalan perlahan tanpa
adanya peringatan. Perlahan-lahan perlihatan perifer berkurang dan penglihatan sentral masih dapat normal. 20
Penglihatan dapat hilang pada glaukoma lanjut. Glaukoma sudut tertutup biasanya bersifat herediter, lebih sering pada pasien rabun dekat, bilik mata depan
dangkal, pada gonoskopi terlihat iris menempel pada tepi kornea, iris terletak dekat anyaman trabekula, dan pada usia lanjut ukuran lensa bertambah.
(2) Glaukoma sudut terbuka
Glaukoma sudut terbuka atau glaukoma sudut lebar, yakni tipe yang paling umum. Struktur drainase di mata yang disebut meshwork trabekular ini terlihat
normal, namun cairan tidak mengalir keluar seperti seharusnya. Dan gejala serta tanda pada glaukoma akut sudut terbuka ini seringkali tidak bergejala dan
tidak disadari (Eye health center). Penglihatan biasanya baik dan tidak terdapat rasa sakit pada mata. Akan tertapi, apabila proses berjalan lanjut maka pasien
akan merasakan penglihatannya yang menurun. Benda yang terlihat sentral masih terlihat jelas akan tetapi apabila benda diletakkan di perifer tidak terlihat
sama sekali. Pada glaukoma sudut terbuka ini cairan mata setelah melalui pupil masuk kedalam bilik mata bagian depan dan tidak dapat melalui anyaman
trabekulum. Keadaan ini mengakibatkan tekanan bola mata naik yang akan merusak saraf optik. Pada glaukoma sudut terbuka terjadi perubahan didalam
jaringan mata akibat tekanan yang tinggi merusak serabut penglihatan halus dalam mata yang berguna untuk penglihatan, walaupun tekanan bola mata sudah
teratasi penglihatan yang telah hilang tidak dapat diperbaiki lagi (Ilyas et al., 2015).
Gambar 7. Klasifikasi glaukoma
(Sumber : http://dm-ambisius.blogspot.co.id/2011/04/glaukoma-sekunder_24.html) 22

Gambar 8. Mata glaukoma sudut terbuka dan tertutup


(Sumber : https://doktertama.blogspot.co.id/2016/06/glaukoma.html)
(3) NTG (Normal tension glaucoma)
Normal Tension Glaukoma adalah tipe glaukoma dimana nervus optic rusak dan kehilangan kemampuan melihat dan lapangan pandang, muncul pada
glaukoma sudut terbuka namun tekanan intra okuler yang normal (<22 mmHg) (Shock JP et al.,1996).

12. Pemeriksaan penunjang?


13. Tatalaksana?

2.2. TERAPI MEDIKAMENTOSA


2.2.1. Supresi Pembentukan Humor Aqueus
2.2.1.1. Golongan β-adrenergik Bloker
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau dengan kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β-
adrenergic bloker misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol dan lain-lain.5
Timolol maleat merupakan β-adrenergik non selektif baik β1 atau β2. Timolol tidak memiliki aktivitas simpatomimetik, sehingga apabila diteteskan
pada mata dapat mengurangi tekanan intraokuler. Timolol dapat menurunkan tekanan intraokuler sekitar 20-30%.15,16 Reseptor β- adrenergik terletak
pada epitel siliaris, jika reseptornya terangsang aktifitas sekresinya akan meningkatkan inflow humor aquos melalui proses komplek enzim adenyl
cyclase-reseptor sehingga menurunkan produksi humor aquos.16
Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker dengan cara menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler dapat turun. Sedangkan
farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik oleh usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki kadar puncak dalam
plasma mencapai 1 sampa 3 jam. Kebanyakan golongan β-adrenergic bloker memiliki waktu paruh antara 3 sampai 10 jam. Waktu ekskresi yang
dibutuhkan ginjal untuk mengeluarkan obat golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju ke hati atau hambatan
enzim hati.17,18
Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik. Indikasi pemakaian
diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi dengan miotik.
Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma inflamasi, hipertensi okuler dan glaukoma kongenital.17,18.
2.2.1.2. Golongan α2-adrenergik Agonis
Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif misalnya
apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor aquos, meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui trabekula meshwork dengan
menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga meningkatkan aliran keluar uveosklera.5
Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu 1 jam dapat menghasilkan penurunan tekanan intraokuler yang cepat paling sedikit 20%
dari tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari apraklonidin dalam menurunkan tekanan intraokuler dapat terjadi sekitar 3-5 jam setelah pemberian
terapi.18,19
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan akut tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi pemakaian
obat ini apabila pasien dengan mono amin oksidase (MAO) dan trisiklik depresan karena mempengaruhi metabolisme dan uptake katekolamin.5,19,20
2.2.1.3. Penghambat Karbonat Anhidrase
a. Asetasolamid Oral
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan karena dapat menekan pembentukan humor aquos sebanyak 40-60%. Bekerja
efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat bebas dalam plasma ±2,5 μM.16,18 Apabila diberikan secara oral, konsentrasi
puncak pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian dapat bertahan selama 4-6 jam dan menurun dengan cepat karena ekskresi pada
urin.17
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan tekanan introkuler pada
pseudo tumor serebri. Kontraindikasi relatif untuk sirosis hati, penyakit paru obstruktif menahun, gagal ginjal, diabetes ketoasidosis dan urolithiasis. 21
Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan inisial diuresis, sedangkan efek lain yang dapat muncul apabila digunakan dalam jangka
lama antara lain metalic taste, malaise, nausea, anoreksia, depresi, pembentukan batu ginjal, depresi sumsum tulang, dan anemia aplastik.21
b. Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal
Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak sehingga bila digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif rendah. Pemberian
dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen prosesus siliaris sehingga dapat menurunkan produksi
humor aqueus dan HCO3- dengan cara menekan enzim karbonik anhidrase II. Penghambat karbonik anhidrase topikal seperti dorsolamid bekerja
efektif menurunkan tekanan intraokuler karena konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10μM.17 Penghambat karbonat
anhidrase topikal (dorsolamid) dapat menurunkan tekanan intraokuler sebesar 15-20%.14
Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka pendek maupun jangka panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi. Indikasi lain untuk
mencegah kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah intraokuler. Efek samping lokal yang dijumpai seperti mata pedih, keratopati pungtata superfisial,
dan reaksi alergi. Efek samping sistemik jarang dijumpai seperti metalic taste, gangguan gastrointestinal dan urtikaria.21
2.2.2. Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueus
2.2.2.1. Parasimpatomimetik
Golongan obat parasimpatomimetik dapat menimbulkan efek miosis pada mata dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi
muskulus ciliaris supaya iris membuka dan aliran humor aquos dapat keluar.15
2.2.2.2. Analog prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang efektif digunakan pada terapi glaukoma misalnya, latanopros. Latanopros merupakan obat baru
yang paling efektif katena dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan efek samping sistemik.18
Farmakokinetik latanopros mengalami hidrolisis enzim di kornea dan diaktifkan menjadi asam latanopros. Penurunan tekanan intraokuler dapat dilihat
setelah 3-4 jam setelah pemberian dan efek maksimal yang terjadi antara 8-12 jam.18
Cara kerja obat ini dengan meningkatkan aliran keluarnya humor aqueus melalui uveosklera. Obat ini diindikasikan pada glaukoma sudut terbuka,
hipertensi okuler yang tidak toleran dengan antiglaukoma lain. kontrandikasi pada pasien yang sensitif dengan latanopros.18
2.2.3. Penurunan Volume Vitreus
Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus dapat menggunakan obat hiperosmotik dengan cara mengubah darah menjadi hipertonik
sehingga air tertarik keluar dari vitreus dan menyebabkan pengecilan vitreus sehingga terjadi penurunan produksi humor aquos. Penurunan volume
vitreus bermanfaat dalam pengobatan glaukoma sudut tertutup akut dan maligna yang menyebabkan pergeseran lensa kristalina ke anterior yang
menyebabkan penutupan sudut ( glaukoma sudut tertutup sekunder ).5
VII. Penanganan non Farmakologi
Terapi nonfarmakologi untuk glaukoma meliputi terapi laser dan operasi bedah.
a. Terapi Laser pada Glaukoma
1. Trabekuloplasti Laser
Penggunaan laser untuk menimbulkan luka bakar pada jalinan trabekular, untuk memperbaiki aliran keluar akueous. Pada awalnya terapi ini
efektif, namun tekanan intraokular secara perlahan kembali meningkat. Tindakan laser akan menurunkan tekanan pada 80% pasien dengan glaukoma
sudut terbuka.
2. Laser iridotomi
Digunakan untuk terapi glaukoma sudut tertutup. Teknik yang digunakan dalam laser ini adalah menciptakan lubang di iris untuk
memecahkan blokade pupil (penyebab utama glaukoma sudut tertutup). Jika tidak ada laser iridotomi, dapat pula digunakan laser argon (European
Glaucoma Society [EGS], 2003).

3. Laser iridoplasti
Digunakan untuk terapi glaukoma sudut tertutup. Laser ini digunakan ketika setelah terapi dengan laser iridotomi, sudut antara iris dan
trabecular meshwork tetap sempit atau sudah terbuka sedikit tetapi sempit kembali. Laser ini menggunakan kontraksi panas yang diberikan pada iris
perifer untuk menariknya menjauhi trabecular meshwork sudut menjadi tidak sempit lagi.

b. Operasi bedah pada Glaukoma


1. Trabekulektomi
Bedah trabekulektomi merupakan teknik bedah untuk mengalirkan cairan melalui saluran yang ada. Pada trabekulektomi, cairan mata tetap
terbentuk normal akan tetapi pengaliran keluarnya dipercepat atau salurannya diperluas.
Bedah trabekulektomi membuat katup sklera sehingga cairan mata keluar dan masuk di bawah konjungtiva. Untuk mencegah jaringan parut
yang terbentuk diberikan 5 fluorouracil atau mitomisin C. Pada teknik ini, dapat dibuat lubang filtrasi yang besar sehingga tekanan bola mata sangat
menurun.
2. Siklodekstruksi
Pada siklodestruksi dilakukan perusakan sebagian badan siliar sehingga pembentukan cairan mata berkurang.
3. Iridektomi
Iridektomi adalah operasi pengangangkatan sebagian iris. Prosedur ini paling sering dilakukan dalam pengobatan glaukoma sudut tertutup
dan melanoma iris. Kelebihan iridektomi adalah dapat digunakan pada pasien dengan opaque cornea yang tidak berhasil dengan terapi laser. Risiko
iridektomi juga lebih besar dibanding dengan laser seperti pada pasien glaucoma sudut tertutup primer, risiko komplikasi seperti glaukoma malignan
dan hemorrhage koroid dan TIO harus diturunkan dulu sebelum dilakukan operasi bedah.

c. Edukasi
• Akupuntur, meditasi, mengonsumsi vitamin (A) dalam jumlah banyak atau diet khusus àtidak signifikan pengaruhnya dalam pengobatan
glaukoma.
• Gaya hidup sehat dan kestabilan emosi dapat membantu memperlambat keparahan penyakit dan membantu pasien untuk dapat tetap
beraktivitas secara normal.
(National Collaborating Centre for Acute Care, 2009).
• Menjaga mata tetap bersih.
• Kosmetik pada mata, harus berhati-hati dan pilihlah produk yang tidak menyebabkan alergi
• Tidak menggaruk mata
• Saat berenang, menggunakan kacamata berenang
• Menggunakan kaca pembesar untuk membaca
• Pola hidup sehat (istirahat cukup, makan makanan sehat, tidak mengonsumsi kafein terlalu banyak tidak mengonsumsi garam terlalu
banyak, menghindari stres dan melakukan exercise)
• Mengonsumsi obat atau memakai obat tetes secara teratur dan sesuai dosis
Periksa kondisi mata secara teratur

VIII. Penanganan Secara Farmakologi


Golongan Obat- obat yang digunakan
1. β-bloker : produksi aqueous humour $
2. Agonis α2-Adrenergik : produksi aqueous humour $
3. Analog Prostaglandin : meningkatkan aliran aqueous humor
4. CAI (Carbonic Anhydrase Inhibitors) : menurunkan kecepatan pembentukan aqueous humour
5. Parasimpatomimetik/ Kolinergik : terjadinya konstriksi pupil, menstimulasi otot siliari, dan # aliran aqueous humor
6. Agonis Adrenergik Nonspesifik : # laju pengeluaran aqueous humor
7. Hiperosmotik : $ volume cairan vitreous
Berikut adalah obat-obat yang digunakan untuk terapi glaukoma
Efek Samping
Kelas Mekanisme Kerja
Okular Sistemik
 Konstriksi
 Rasa terbakar bronkus
 Menyengat  Hipotensi
 Fotofobia  Bradikardia
β-bloker  Blokade jantung
 Gatal
 Pengeluaran air  Menutupi
Non selektif Mengurangi produksi aqueous
mata hipoglikemia
Timolol humour dengan cara memblok
 Sensitivitas  Perubahan kadar
Levobunolol reseptor β2-adrenergik pada ciliary
korneal lipid
body
menurun  Impotensi
Selektif
Betaxolol  Hiperaemia  Capek
 Punctate  Depresi
keratitis  Syncope
 Diplopia  Bingung
 Alopecia
Agonis α2- Mengurangi produksi aqueous  Reaksi alergi  Depresi SSP
Adrenergik humour; Brimonidin juga diketahui okular  Mulut kering
dapat meningkatkan pengaliran  Rasa terbakar  Sakit kepala
Brimonidin uveoskleral
 Menyengat
 Penglihatan
kabur
 Capek
 Foreign-body
 Mengantuk
sensation
 Bradikardia
 Gatal
 Hipotensi
Apraclonidin  Hiperaemia
 Hipotermia
 Lid retraction
 Apnoea
 Conjunctial
 Gangguan rasa
blanching
 Syncope
 Fotofobia
 Midriasis
(Apraclonidin)
 Penglihatan
kabur
 Rasa terbakar
 Menyengat
Analog  Hiperaemia
Prostaglandi konjungtiva
n
 Foreign-body
sensation
Analog
 Gatal
prostaglandi
n F2α Meningkatkan pengaliran  Peningkatan
pigmentasi Sangat jarang
Latanoprost uveoskleral
pada iris
Analog  Penebalan bulu
prostamide mata
Bimatoprost  Reversible
Travoprost macular
oedema
 Reactivation of
herpetic
infection
 Iritis/uveitis
CAI Menurunkan sekresi aqueous  Rasa terbakar  Sakit kepala
(Carbonic humor dari cilliary body dengan dan menyengat  Muntah
Anhydrase cara memblok secara aktif sekresi sementara  Kelelahan
Inhibitors) natrium dan ion bikarbonat dari  Ketidaknyaman  Mulut kering
ciliary body ke aqueous humor an okular  Pusing
Topikal  Penglihatan  Anafilaksis
Brinzolamid kabur
Dorzolamid sementara
 Jarang terjadi
Sistemik konjungtivitis,
Acetazolamid lid reaction,
Dichlorphena fotofobia
mid
Methazolami
d
Meningkatkan pengeluaran  Sakit mata  Sakit kepala
aqueous humor sebagai hasil dari  Berkurangnya  Salivasi
terbuka dan tertutupnya trabecular ketajaman  Frekuensi urinasi
meshwork pada kontraksi otot penglihatan di meningkat
ciliary sehingga menurunkan malam hari  Kejang perut
Parasimpato resistensi pengeluaran aqueous  Penglihatan  Tremor
mimetik / humor kabur  asma
Kolinergik  Miosis  Hipotensi
 Myopic shift  Muntah dan Mual
Pilokarpin  Retinal
Karbakol detachment
 Ketidaknyaman
an dalam
pemblokan
pupil
 Lakrimasi
Agonis β2-receptor–mediated  Rasa terbakar  Sakit kepala
adrenergik meningkatkan laju pengeluaran  Ocular  Hilang kesadaran
nonspesifik aqueous humor discomfort  Tekanan darah
Dipivefrin  Alis sakit meningkat
 Hiperemia  Takikardia
 Alergi  Aritmia
 Blepharoconju  Tremor
nctivitis  Kegelisahan
 Laju pernafasan
Jarang terjadi: meningkat
 Tidak
menimbulkan
Rontok pada
bulu mata
 Stenosis
saluran
Nasolakrimal
 Penglihatan
kabur

 Penggunaan
dalam waktu
lama (>1
tahun) dapat
menyebabkan
deposisi
pigmen dalam
konjungtiva
dan kornea
Hiperosmoti Mengurangi volume cairan vitreous -  Sakit kepala
k  Menggigil
 Pusing
Manitol,  Hipotensi
Gliserin,  Takikardia
Isosorbid  Mulut kering
 Pulmonary
oedema

Kelas Kontraindikasi Perhatian


 Diabetes
β-bloker
 Hipertiroid
 Kegagalan jantung
Non selektif
 Asma  Penyakit paru-paru
Timolol
 Bradi aritmia  Bradikardia
Levobunolol
 Blokade jantung  Atherosclerosis
 Diabetes
Selektif
 Miastenia gravis
Betaxolol
Agonis α2-Adrenergik  Pasien yang diterapi dengan
MAOI (monoamine oxidase  Penyakit kardiovaskular
Brimonidine inhibitor)  Depresi
Apraclonidine  Anak di bawah 2 tahun
Analog Prostaglandin
 Inflamasi intraokular (iritis/uveitis)
Latanoprost
 Aphakia dan pseudophakia
Bimatoprost
Travoprost
CAI (Carbonic  Cangkok kornea  Keruskan hati dan ginjal yang parah
Anhydrase  Distrofi endotelial dapat
Inhibitors) menyebabkan udem pada kornea
 Alergi sulfonamida mempunyai
Topikal risiko alergi terhadap CAI
Brinzolamide
Dorzolamide

Sistemik
Acetazolamide
Dichlorphenamide
Methazolamide
 Asma
Parasimpatomimetik /  Uveitis
 Obstruksi saluran kemih
Kolinergik  Glaukoma sekunder yang
 Miopi yang parah
berhubungan dengan hambatan
 Aphakia
Pilokarpin pengeluaran cairan aqueous
 Degenerasi perifer retina
Karbakol humor
 Hipertensi
Agonis adrenergik
 Arteriosclerosis
nonspesifik  Glaukoma sudut sempit akut
 Jantung koroner
 Hipersensitif terhadap obat
 Diabetes
Dipivefrin
 Hyperparathyroidism
 Dehidrasi
Hiperosmotik
 Hipersensitif terhadap gliserin,  Gangguan fungsi ginjal dan retensi urin
manitol  Kegalalan jantung kongestif
Manitol, Gliserin,
 Intrakranial hematoma akut  Diabetes insipidus
Isosorbid
 Geriatri
Terapi Farmakologi
1. Terapi Hipertensi Okular
Hipertensi okular adalah kondisi dimana tekanan intraokular mata lebih besar dari tekanan intraokular (TIO) mata normal yaitu > 22 mmHg.
Hipertensi okular ini menyebabkan seseorang memiliki kemungkinan menderita glaukoma akan tetapi belum positif glaukoma. Terapi untuk mengatasi
hipertensi okular diperlukan untuk meminimalisir faktor risiko yang dapat menyebabkan berkembangnya hipertensi okular menjadi glaukoma. OHTS
(Ocular Hypertensive Treatment Study) adalah studi terapi yang dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat dijadikan
pertimbangan untuk terapi hipertensi okular tersebut. Pasien dengan TIO > 25mmHg, rasio vertical cup:disk lebih dari 0.5, ketebalan pusat kornea
kurang dari 555µm mempunyai risiko yang besar berkembang menjadi glaukoma. Faktor risiko lain seperti riwayat keluarga, ras (kulit hitam), miopi
yang parah, dan pasien yang hanya mempunyai satu mata fungsional, juga perlu dipertimbangkan untuk memilih terapi yang tepat. Pasien tanpa faktor
risiko, tidak perlu mendapatkan terapi akan tetapi harus tetap dikontrol untuk mencegah berkembangnya glaukoma.
Pasien dengan faktor risiko yang signifikan harus diterapi dengan agen topikal yang sesuai seperti β-bloker, agonis α2, inhibitor karbonik
anhidrase (CAI), atau analog prostaglandin yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Agar terapi berjalan optimal maka hendaknya dimulai pada satu
mata untuk menilai keberhasilan terapi dan toleransi pasien. Penggunaan agen terapi lini kedua dan ketiga (seperti pilokarpin dan epinefrin) diberikan
ketika agen terapi lini pertama gagal menurunkan tekanan intra okular yang bergantung pada rasio risiko-benefit pada setiap pasien. Pertimbangan
biaya, ketidaknyamanan penggunaan, dan timbulnya efek samping yang sering muncul pada terapi kombinasi, inhibitor antikolinesterase, dan CAI oral
menghasilkan rasio risiko-benefit yang tidak diharapkan oleh pasien.
Tujuan terapi hipertensi okular adalah untuk menurunkan tekanan intra okular (TIO) pada level yang memungkinkan penurunan risiko
kerusakan syaraf optik, umumnya 20% atau 25%-30% penurunan dari TIO awal pasien. Penurunan yang lebih besar mungkin dibutuhkan pada pasien
dengan risiko tinggi atau pasien yang mempunyai TIO awal yang tinggi. Terapi obat sebaiknya dimonitor dengan pengukuran TIO, pemeriksaan optic
disk, penilaian lapang pandang dan evaluasi efek samping obat serta kepatuhan pasien. Pasien yang tidak memberikan respon terhadap obat atau
intoleran terhadap obat maka hendaklah obat tersebut diganti dengan alternatif obat lain. Banyak praktisi yang lebih memilih untuk menghentikan
semua jenis pengobatan pada pasien yang gagal merespon terapi topikal, melakukan monitoring yang intensif terhadap perkembangan perubahan optic
disk atau hilangnya bidang pandangan, kemudian dilakukan pengobatan kembali ketika terjadi perubahan kondisi pa
Algoritma terapi

2. Terapi Glaukoma Sudut Lebar (Terbuka)


Terapi glaukoma sudut terbuka diawali dengan pemberian agen topikal tunggal yang toleran dengan konsentrasi terendah. Tujuan dari terapi
ialah mencegah kehilangan atau penurunan bidang pandang. Target TIO dipilih berdasarkan TIO awal pasien dan penurunan bidang pandang pasien.
Umumnya, target penurunan TIO yang diharapkan sebesar 30%.
Obat yang umumnya digunakan dalam penanganan glaukoma adalah nonselektif β-bloker, analog prostaglandin (latanoprost, travoprost, dan
bimatoprost), α2-agonis (brimonidin), dan kombinasi tetap dari timolol dan dorzolamide.
Terapi dimulai dengan pemberian agen tunggal pada salah satu mata (kecuali pada pasien dengan TIO yang sangat tinggi atau pasien dengan
kehilangan bidang pandang yang parah) untuk mengevaluasi efikasi dan toleransi obat. Pemantauan terapi sebaiknya dilakukan secara individual.
Respon awal terhadap terapi biasanya dihasilkan 4-6 minggu setelah terapi dimulai. Ketika telah mencapai nilai TIO yang diharapkan, pemantauan TIO
dilakukan setiap 3-4 bulan. Perubahan bidang pandang dan optic disc dipantau setiap tahun atau lebih awal jika glaukoma tidak stabil atau bersamaan
dengan kondisi lain yang dapat memperburuk.
Pasien yang memberikan respon tetapi intoleran pada terapi awal yang diberikan dapat beralih ke obat lain atau dosis alternatif dari obat
yang sama. Untuk pasien yang tidak dapat merespon konsentrasi toleran yang tertinggi, harus mengganti obat tersebut dengan agen alternatif setelah
sehari terapi konkuren dengan obat tersebut. Apabila hanya timbul respon parsial, maka dimungkinkan kombinasi dengan agen topikal lainnya yang
ditentukan melalui percobaan. Karena frekuensi efek samping, karbakol, inhibitor kolinesterase topikal, dan CAI oral dipertimbangkan sebagai agen
terakhir yang diberikan pada pasien yang gagal merespon terapi dengan kombinasi topikal yang kurang toksik.

Algoritma terapi hipertensi ocular


Sumber : NHMRC Guidelines, 2010
Sumber : Japan Glaucoma Society, Guidelines for Glaucoma (2nd Edition), Sept 2006

3. Glaukoma Sudut Tertutup


Untuk sudut tertutup yang akut, terapi pertama bertujuan untuk menurunkan TIO, mengurasi rasa sakit, dan menghilangkan udem pada kornea
sebagai persiapan untuk terapi laser iridotomi. Obat kolinergik (agen miotik) dapat meningkatkan efektifitas laser iridotomi atau iridoplasti pada pra
operasi. Untuk kasus yang gawat, sebaiknya digunakan pengobatan sistemik seperti hiperosmotik oral atau parenteral serta CIA oral atau parenteral
untuk menurunkan TIO dengan cepat dan mencegah kerusakan permanen pada posterior chamber dan anterior chamber. Topikal timolol dan
bribrimonidin/apraklonidin juga dapat digunakan secara bersamaan dengan CAI topikal (Singapore Ministry of Health [SMOH] 2005). Topikal anti
infamasi juga disarankan untuk digunakan. Saw, Gazzard dan Friedman (2003) menyarankan untuk memberikan obat aditif latanoprost sebelum
dilakukan terapi menggunakan laser iridotomi. Latanoprost dapat digunakan jika TIO <25 mm.
Kemudian setelah TIO sudah menurun, dilakukan terapi menggunakan laser iridotomi. Jika berhasil, maka dilakukan pengontrolan terhadap
TIO. Jika telah mencapai target TIO yang diharapkan, maka langkah selanjutnya dilakukan follow up yang meliputi pemeriksaan TIO, pemeriksaan
lapang pandang dan optic disc serta pemeriksaan terhadap syaraf optik. Namun jika tidak mencapai target TIO yang diharapkan, maka dilakukan terapi
tambahan dengan menggunakan obat lain yang dikombinasi dengan dan atau terapi laser dan operasi bedah.
Sementara jika terapi menggunakan laser iridotomi belum berhasil maka dilajutkan dengan operasi bedah iridektomi. Lalu TIO kembali dilihat
apakah telah mencapai target yang diharapkan atau tidak. Jika telah mencapai target TIO yang diharapkan, maka langkah selanjutnya dilakukan follow
up yang meliputi pemeriksaan TIO, pemeriksaan lapang pandang dan optic disc serta pemeriksaan terhadap syaraf optik. Namun jika tidak mencapai
target TIO yang diharapkan, maka dilakukan terapi tambahan dengan menggunakan obat lain yang dikombinasi dengan dan atau terapi laser dan
operasi bedah.
Algoritma terapi
IX. Interaksi Obat
Obat A Efek yang terjadi
Obat B

Penggunaan propanolol menyebabkan bradikardia pada


pasien aritmia akibat menggunakan digitalis
Betabloker
Digitalis
optalmik

Kinidin meningkatkan kadar serum metoprolol dan


timolol karena inhibisi enzim CYP2D6, demikian juga
kadar serum propanolol naik, dapat terjadi bradikardia.

Betabloker
Kinidin
optalmik

Pada penggunaan klorpromazin thioridazin dengan


propanolol terjadi peningkatan kadar serum kedua obat,
terjadi hipotensi
Betabloker Senyawa fenotiazin

Dilaporkan karbakol dan pilokarpin menjadi tidak efektif


bila digunakan NSAID topikal
Karbakol,
NSAID
pilokarpin

Terjadi pengendapan sacara invitro, gunakan dengan


interval 5 menit
Obat tetes
Latanoprost mengandung
timerosal
Dilaporkan karbakol menjadi tidak efektif bila
digunakan bersamaan dengan Flubiprofen atau surprofen
Flubiprofen,
Karbakol
surprofen

1. β-Blocker
 Betatoxolol, carteolol, levobunolol, metipranolol, timolol
 Memblok adrenoreseptor β2 pada prosesus siliaris sehingga menurunkan sekresi aqueous. Memblok reseptor β pada pembuluh darah
aferen yang memperdarahi prosesus siliaris. Hal tersebut menyebabkan vasokonstriksi yang kemudian menurunkan ultrafiltrasi dan
pembentukan aqueous. Obat-obat yang diberikan sebagai tetes mata dapat diabsorpsi melalui mukosa nasal dan menimbulkan efek
sistemik. Oleh karena itu, β-bloker dapat menyebabkan bronkospasme pada pasien asma atau bradikardia pada pasien yang peka. Jadi
sebaiknya dihindari pada pasien dengan asma, gagal jantung, blok jantung, atau bradikardia. Efek antiaritmika akan diperkuat oleh β-
bloker dan efek bradikardianya akan diperkuat oleh anestetika umum. Pada penderita diabetes, interaksi yang penting adalah
perlambatan naiknya kadar gula darah setelah pembertian insulin atau antidiabetika oral. Ini menyebabkan bahaya diperpanjangnya
reaksi hipoglikemik.
 ACE inhibitor dan anestetik dapat meningkatkan efek hipotensif. Analgetik (AINS) melawan efek hipotensif. Antiaritmia dapat
meningkatkan risiko depresi miokardium dan bradikardia. Antihipertensi meningkatkan efek hipotensi.
2. α2-Adrenergic Agonis
 Apraclonidine, brimonidine
 Menurunkan pembentukan aqueous melalui stimulasi reseptor α2 pada terminal saraf adrenergic yang menginervasi badan silliaris
sehingga menurunkan pelepasan norefinefrin). Dengan dosis yang amat kecil sudah menurunkan tekanan darah selama periode waktu
tertentu. Oleh karena itu, pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, gangguan ginjal, serebrovaskular, dan diabetes penggunaan
obat ini harus dengan perhatian khusus terkait dengan obat-obatan yang digunakan seperti antihipertensi, obat kardiovaskular,
monoamine oksidator inhibitor, dan antidepresan tetrasiklik.
3. Carbonic Anhydrase Inhibitor
 Brinzolamide, dorzolamide, methazolamide, acetazolamide, dichlorphenamide.
 Termasuk golongan sulfonamide yang dapat memberikan efeksistemik seperti ruam kulit dan bronkospasme. Penggunaan CAI dan
diuretic dapat menyebabkan hipokalemia. penggunaan salisilat dois tinggi menyebabkan asidosis oleh CAI yang mana dapat
menikngkatkan toksisitas salisilat.
 Risiko hipokalemia dapat meningkat bila diberikan dengan bambuterol, efromoterol, pirbuterol, reproterol, rimeterol, dan salmoterol.
dengan asetosal dapat menyebabkan asecosis parah dan meningkatkan efek toksik pada ssp. asetalozamid meningkatkan efek
amfetamin, karbamazepin, efedrin, kuinidin, dan mengurangi efek histamine dan turunannnya. mempengaruhi keseimbangan elektrolit
dan cairan tubuh.

4. Parasympathomimetic Agents
 Carbachol, pilocarpine, echothiophate
 Pilicarpine tidak dapat bercampur dengan benzalkonium klorida.
5. Epinephrine and Dipivefrin
 Penggunaan dengan β-bloker menyebabkan midriasis

Obat Interaksi Obat


β-Blocker
Clonidine: May enhance or reverse antihypertensive effect; potentially life-threatening situations may
occur, especially on withdrawal.
Betatoxolol NSAIDs: Some agents may impair antihypertensive effect.
Prazosin: May increase postural hypotension.
Verapamil: May increase effects of both drugs.
Clonidine: May enhance or reverse antihypertensive effect; may cause potentially life-threatening
increases in BP, especially on simultaneous discontinuation of both drugs.
Epinephrine: May cause initial hypertensive episode followed by bradycardia.
Ergot alkaloids: May cause peripheral ischemia with cold extremities. Peripheral gangrene possible.
NSAIDs: May impair antihypertensive effect.
Carteolol Prazosin: May increase orthostatic hypotension.
Systemic beta-blocker: When administered concomitantly with ophthalmic carteolol hydrochloride
solution, may cause additive effects and toxicity.
Theophyllines: May reduce elimination of theophylline. May cause pharmacologic antagonism, reducing
effects of one or both drugs.
Verapamil: May increase effects of both drugs.
Beta blockers, oral: Additive effects on systemic beta blockade.
Levobunolol
Epinephrine, ophthalmic: Hypertension due to unopposed alpha-adrenergic stimulation.
Clonidine: May enhance or reverse antihypertensive effect; potentially life-threatening situations may
occur, especially on withdrawal.
Epinephrine: Initial hypertensive episode followed by bradycardia may occur.
Ergot alkaloids: Peripheral ischemia, manifested by cold extremities and possible gangrene, may occur.
Timolol Insulin: Prolonged hypoglycemia with masking of symptoms may occur.
NSAIDs: Some agents may impair antihypertensive effect.
Prazosin: Orthostatic hypotension may be increased.
Theophyllines: Elimination of theophylline may be reduced. Effects of both drugs may be reduced.
Verapamil: Effects of both drugs may be increased.
α2-Adrenergic Agonis
Brimonidine Antihypertensives, beta blockers, cardiac glycosides: Brimonidine may reduce pulse and BP; use with
caution.
CNS depressants (eg, alcohol, anesthetics, barbiturates, opiates, sedative): Additive or potentiating CNS
depressant effect.
MAO inhibitors: Concurrent use contraindicated.
Tricyclic antidepressants: May decrease the effect of brimonidine by altering the metabolism and uptake
of circulating amines.
Carbonic Anhydrase
Inhibitor
Diflunisal: May cause significant decrease in IOP.
Primidone: Primidone concentrations may be decreased.
Acetazolamide Quinidine: Quinidine serum levels may be increased.
Salicylates: May cause acetazolamide accumulation and toxicity, including CNS depression and
metabolic acidosis.
Parasympathomimetic
Agents
Anticholinergics: May antagonize action of pilocarpine (PO and ophthalmic).
Pilocarpine Beta-blockers: Potential for cardiac conduction disturbances with oral pilocarpine.
Parasympathomimetics: Additive pharmacologic effects and increased toxicity possible.
Alpha-Adrenergic Blockers (eg, Phentolamine): Vasoconstricting and hypertensive effects are
antagonized.
Antihistamines: Epinephrine effects may be potentiated. Beta
Blocking Agents: May decrease effects of these agents, resulting in hypertension.
Diuretics: Vascular response may be decreased.
Ergot Alkaloids/Phenothiazines/Nitrates: Pressor effects of epinephrine may be reversed.
General Anesthetics (eg, Halothane, Cyclopropane)/Cardiac Glycosides: The potential for the
myocardium to be sensitized to the effects of sympathomimetic amines is increased. Arrhythmias may
Epinephrine
result with coadministration and may respond to beta-blockers.
Guanethidine: May increase pressor response.
Levothyroxine: Epinephrine effects may be potentiated.
Oxytoxic Drugs: May cause severe persistent hypertension.
Rauwolfia Alkaloids, Methyldopa, Furazolidone: May cause hypertension.
Tricyclic Antidepressants: May potentiate epinephrine’s vasopressive effects.
INCOMPATIBILITIES: Epinephrine is unstable in alkaline solutions (eg, sodium bicarbonate); avoid
admixture.

Risiko Kebutaan Mendadak Setelah Operasi Filtrasi Pada Glaukoma Stadium Akhir

FOTIS TOPOUZIS, MD, PARIS TRANOS, MD, ARCHIMIDIS KOSKOSAS,MD, THEOFANIS PAPPAS, MD, ELEFTHERIOS
ANASTASOPOULOS, MD, STAVROS DIMITRAKOS, MD, AND M. ROY WILSON, MD, MS

TUJUAN: Untuk mengevaluasi efek dari operasi filtrasi pada ketajaman visual dan bidang visual dalam pasien dengan endstage glaukoma selama
periode pasca operasi dan untuk menilai risiko terjadinya kebutaan mendadak.

DESAIN: Para calon intervensi, serangkaian kasus secara berturut-turut.

METODE: Penelitian prospektif mencakup pasien secara berurutan dengan stadium akhir glaukoma yang menjalani trabeculectomy dengan mitomycin-
C. Kriteria inklusi adalah lapang pandang sebelum operasi dengan Advanced Glaukoma Intervensi Study skor lebih dari 16. Hasil pengukuran utama
termasuk perubahan terbaik dikoreksi log-MAR ketajaman visual, dalam mean deviasi (MD) tes lapang pandang, di sejumlah titik di antara empat pusat
titik lapang pandang dengan sensitivitas kurang dari 5 dB dan sensitivitas rata-rata dari empat pusat titik lapang pandang setelah operasi. Insiden
intraoperatif dan pasca operasi komplikasi juga dicatat.

HASIL: Dua puluh satu pasien (21 mata) yang terdaftar. Rata-rata usia 64 tahun (kisaran 31-78). Operasi mengakibatkan penurunan tekanan intraokular
(TIO) sebesar 14,1 ± 9.2 mm Hg (P <.001) dan penurunan penggunaan obat pasca operasi antiglaucoma (P <.001). Sebelum operasi ketajaman visual
rata-rata adalah 0,77 ± 0,78, dan nilai rata-rata deviasi rata-rata di tes bidang visual itu - 27.94 ± 2.7 dB. Tiga bulan setelah operasi, tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam ketajaman visual (0,74 ± 0,79, P = .73) Dan rata-rata deviasi ( - 27.50 ± 2.6 dB, P = .1). Demikian pula tidak ada perubahan
signifikan pada parameter bidang visual teruji untuk menilai sensitivitas lapang pandang pusat. Tidak ada komplikasi intraoperatif. Hypotony Transient
terjadi pada tiga pasien mata tersebut.

KESIMPULAN: Dalam kasus kami-rangkaian pasien berturut-turut dengan stadium akhir glaukoma, diikuti selama 3 bulan setelah operasi filtrasi TIO
berkurang secara efektif dan visus dipertahankan tanpa kejadian "wipe-out" fenomena.
Ada kontroversi seputar kebutaan potensial, setelah operasi filtrasi pada pasien dengan stadium akhir glaukoma. Telah dilaporkan bahwa prosedur
penyaringan dalam lanjutan glaukoma dapat dikaitkan dengan risiko langsung dijelaskan pasca operasi kehilangan lapang visual, yang mencakup
fiksasi dengan perubahan yang menyertainya dalam ketajaman visual pusat ("wipe-out" fenomena). 1-4

Penurunan penglihatan setelah operasi glaukoma pada pasien dengan glaukoma stadium lanjut mungkin disebabkan komplikasi yang mudah dikenali
termasuk katarak, edema cystoid makula, perdarahan suprachoroidal atau vitreous, lepasan retina, dan endophthalmitis uveitis. 1 Namun, dalam
sejumlah kasus, kehilangan penglihatan sentral lapangan dapat menyertai suatu operasi dinyatakan sukses dengan tidak ada komplikasi yang disebutkan
di atas ada ,1-4 Ada laporan yang bertentangan, dengan beberapa mengidentifikasi risiko "wipe-out" fenomena, setinggi 14% pada pasien dengan defek
lapang tingkat lanjut, 2 sedangkan yang lain menganggap fenomena ini sebagai .5 sangat jarang terjadi

Kerangka utama dari evidence klinis didasarkan terutama pada studi retrospektif yang memiliki beberapa keterbatasan dan yang gagal untuk
memberikan bukti kuat dan pedoman praktek untuk pengelolaan yang optimal pada pasien dengan stadium akhir glaucoma. 1-9 Penelitian ini dilakukan
untuk prospektif mengevaluasi pengaruh operasi filtrasi pada ketajaman visual dan bidang visual pada pasien dengan stadium akhir glaukoma selama
periode pasca operasi segera dan untuk menilai risiko kehilangan penglihatan mendadak. Hal ini juga bertujuan untuk mengatasi faktor penentu yang
mungkin dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kehilangan penglihatan pasca operasi pada pasien.
Metode dan Pasien

Prospektif, intervensi, berturut-turut studi ini serangkaian kasus terdaftar subyek dengan stadium akhir glaukoma yang karena menjalani operasi filtrasi
antara Maret 2001 dan April 2004 di Rumah Sakit AHEPA, Universitas Aristoteles Thessaloniki, Yunani. Tahap akhir glaukoma didefinisikan
berdasarkan hasil lapangan visual. Pasien dengan risiko tinggi untuk "wipe-out" fenomena yang dipilih. Secara khusus, pasien ini memiliki skor bidang
visual di mata dioperasikan lebih dari 16 menurut Advanced Glaucoma Intervention Study (AGIS) sistem penilaian . 10 Dalam bidang visual dengan
skor AGIS lebih besar dari 16, hanya pulau tengah visi hadir sementara sebagian dari titik-titik bidang visual tidak memiliki sensitivitas sama sekali (0
dB).

Studi ini disetujui oleh Komite Etika lokal dan informed consent tertulis diperoleh dari masing-masing peserta.

Sebelum operasi, wawancara terstruktur dilakukan oleh staf penelitian dan termasuk pertanyaan tentang penggunaan obat antiglaucoma, bersamaan
penyakit sistemik yang sedang diderita atau penyakit mata lainnya, penggunaan obat sistemik, dan prosedur bedah intraokular sebelumnya. Sebuah
pemeriksaan mata awal dilakukan dalam waktu 2 hari sebelum operasi. Koreksi ketajaman visual untuk jarak diukur dengan pencahayaan ambien
standar oleh ETDRS grafik retroilluminated, ditempatkan di 4 m. Visual ketajaman tercatat sebagai jumlah huruf dibaca dengan benar dari 0 (20/250)
sampai 70 (20/10) .11

Selanjutnya, a 30-2 penuh ambang batas uji lapangan visual (Humphrey Field Analyzer 750-A10.1) dan garis dasar pemeriksaan celah-lampu
dilakukan. Selain itu, Goldmann applanasi tonometry, gonioscopy, dan fundoscopy melebar dengan dilakukan penilaian dari cup / disk rasio secara
vertikal. Jenis glaukoma, jenis dan jumlah obat sebelum operasi antiglaucoma digunakan, dan status lensa didokumentasikan.

Teknik bedah adalah standar pada semua subjek dan semua operasi dilakukan oleh dokter bedah yang sama (FT). Teknik ini melibatkan flap
konjungtiva berbasis forniks dan ketebalan 4 mm parsial x 4 mm tutup scleral persegi panjang. Pada semua pasien antimetabolites digunakan sebagai
tambahan untuk operasi filtrasi dengan 0,3 mg / mL mitomycin-C yang diaplikasikan dengan spons di bawah lipatan konjungtiva selama 3 menit
intraoperatively setelah flap scleral dibuat. Daerah ini kemudian diirigasi dengan larutan garam seimbang (BSS). Sebuah saluran paracentesis dibuat
pada kornea perifer. Sclerostomy ini dibuat dengan pisau asurgical dan Vannas gunting (Carl Teufel, GMBH & CO, Liptingen, Jerman) diikuti oleh
iridectomy. The Flap scleral itu dijahit dengan tiga terganggu 10,0 jahitan nilon. Setelah suntikan BSS ke bilik anterior melalui saluran paracentesis,
ruang anterior tetap terbentuk dengan kebocoran ini terlihat di sekitar flap scleral pada kondisi ekuilibrium. The Flap konjungtiva ditutup dengan
jahitan 8.0 Vicryl (Ethicon Inc, Somersville, NJ).

Pasien diamati 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, dan 3 bulan pasca operasi dengan didokumentasi ketajaman visual, TIO, status disk yang optik, dan jumlah
agen antiglaucoma yang diperlukan untuk mencapai tingkat optimal dari IOP. Penilaian disk yang terlibat optik evaluasi cup disk ratio. Kunjungan
tambahan dijadwalkan sebagaimana yang dijaminkan secara klinis. Insiden intraoperatif dan komplikasi pasca operasi seperti ruang COA, hypotony,
edema makula, detasemen choroidal, dan lepuh bocor (Seidel) tercatat pada setiap kunjungan. Hypotony didefinisikan sebagai TIO kurang dari 5 mm
Hg, dan itu dianggap sementara ketika durasi kurang dari 15 hari. Bidang Visual diulangi pada 3 bulan setelah operasi.

Hasil pengukuran utama termasuk terbaik dikoreksi ketajaman visual dan deviasi mean (MD) dari bidang visual 3 bulan setelah operasi dibandingkan
dengan nilai sebelum operasi. Selain itu, empat titik bidang visual sentral dianggap dalam dua cara dalam analisis. Pertama, jumlah titik di antara empat
pusat titik bidang visual dengan sensitivitas kurang dari 5 dB dimasukkan sebagai ukuran hasil utama. Kami ingin titik cut-off dalam sensitivitas yang
akan dianggap oleh konsensus klinis menjadi sangat rendah dan 5 dB secara acak dipilih. Selain itu, sensitivitas rata-rata dari empat titik sentral
digunakan untuk memberikan pendekatan yang berbeda untuk mengevaluasi status dari empat titik pusat.

Tabel dan histogram digunakan untuk meringkas distribusi. Hubungan dari ukuran hasil dengan karakteristik dasar dan variabel penjelas mungkin
dievaluasi dengan uji t independen untuk variabel terdistribusi secara normal. Mann-Whitney U, uji korelasi Spearman rank, dan uji Wilcoxon signed-
rank digunakan untuk variabel yang menunjukkan abnomality. Hubungan antara variabel kategori dievaluasi oleh 2 tes. Semua tes asosiasi dianggap
signifikan secara statistik jika P < .05. Analisis dilakukan dengan menggunakan SPSS (versi 10.0, SPSS Inc, Chicago. Illinois, USA).
Hasil

Dua puluh satu mata berturut-turut 21 pasien (14 laki-laki dan 7 perempuan) memenuhi kriteria inklusi dan direkrut ke dalam penelitian.
Skor rata-rata AGIS mata ini adalah 19,24 ± 0.56 (kisaran 17 sampai 20). Karakteristik klinis demografi dan baseline dari semua pasien dirangkum
pada Tabel 1. Usia rata-rata dari subyek adalah 64 ±13 tahun (kisaran 31-78 tahun), dan interval rata-rata antara diagnosis glaukoma dan operasi filtrasi
adalah 10 ±12 bulan (mulai 1 sampai 37 bulan). Trabeculectomy sendiri dilakukan pada 19 mata (91%) sedangkan pada dua mata (9%), operasi
dikombinasikan dengan fakoemulsifikasi dan implantasi lensa intraokular.

Glaukoma jenis sudut terbuka primer dari tujuh pasien (33%), dua pasien (10%) memiliki glaukoma kronis sudut tertutup, 11 pasien (52%)
memiliki glaukoma pseudoexfoliation, dan satu pasien (5%) memiliki glaukoma disebabkan uveitis kronis. Kasus terakhir memiliki riwayat idiopatik
iritis kronis tanpa melibatkan segmen posterior, yang diam selama minimal 6 bulan sebelum operasi. Satu pasien pseudoexfoliative dihadapkan dengan
penutupan sudut (Tabel 1 dan 2). Enam dari pasien buta di mata lain saat datang. Dalam lima dari pasien ini, kebutaan disebabkan glaukoma. Lima
pasien menjalani operasi filtrasi pada penelitian mata sebelumnya.

Tidak ada komplikasi intraoperatif. Transien hypotony terjadi pada tiga mata saat satu mata dihadapkan dengan hypotony yang lebih luas.
Tiga mata ini mengalami kebocoran bleb (Seidel). Dalam semua kasus kebocoran bleb (Seidel) dianggap ringan. Tidak ada kasus dangkalnya COA,
edema makula, atau ablasi koroid. Sepuluh pasien (48%) yang diperlukan suturelysis dengan Laser argon. Salah satu pasien mengembangkan hypotony
berikutnya untuk jangka waktu lebih dari 15 hari yang berhasil dikelola dengan injeksi pada daerah kebocoran bleb tersebut. Selain itu, suntikan 5-
fluoruracil (5-FU) dilakukan pada sembilan pasien (43%) selama periode pasca operasi.
Kami memperoleh penurunan yang signifikan dari TIO dari 27 ± 9 mm Hg sebelum operasi sampai 12 ± 7 mm Hg, 3 bulan setelah operasi
(Wilcoxon signed-rank, P < 001). Enam belas pasien (76%) memiliki TIO kurang dari 16 mm Hg pada akhir masa studi sedangkan TIO lebih besar dari
21 mm Hg pada tiga pasien (14%). Dalam dua pasien, pengobatan antiglaucoma yang ditentukan sebelum kunjungan 3 bulan sedangkan pasien ketiga
menerima pengobatan selama kunjungan ini. Penurunan TIO mengakibatkan penurunan kebutuhan untuk pasca operasi agen antiglaucoma dari 3,1 ±
0,7 pada awal menjadi 0,5 ± 1.1 pada akhir tindak lanjut (P < 001). Enam belas pasien (76%) mencapai TIO yang optimal dengan tidak perlu untuk
pasca operasi obat topikal atau sistemik dan hanya dua pasien (10%) membutuhkan dua atau lebih agen antiglaucoma.

Visus sebelum operasi adalah 20/40 atau lebih baik dalam sembilan mata (43%) sedangkan lima mata (29%) memiliki ketajaman visual dari
20/200 atau lebih buruk. Tidak ada perubahan yang signifikan dalam mean logMAR ketajaman visual (Wilcoxon signed-rank, P =73) 3 bulan setelah
operasi filtrasi (Tabel 3).

Semua pasien mata glaukoma tingkat lanjut memiliki defek lapang pandang sebelumnya. Sebelum operasi deviasi rata-rata kurang dari 26
dB dalam enam mata (29%), 10 mata (48%) memiliki deviasi rata-rata antara 26 dan 30 dB, dan lima mata (23%) memiliki deviasi rata-rata lebih besar
dari 30 dB. Perubahan minimal (penurunan sebesar 0,4 ± 1,4 dB) yang diamati pada deviasi mean (MD) 3 bulan setelah operasi, tetapi perubahan ini
gagal untuk mencapai tingkat yang signifikan secara statistik (uji Wilcoxon signed-rank, P= 0,159) (Tabel 3).

Demikian pula, jumlah rata-rata dari pusat titik lapang pandang dengan sensitivitas kurang dari 5 dB tetap pada sebelum operasi (2,8 ± 1,0
dan 2,5 ± 1,0 sebelum dan setelah operasi, masing-masing, P = 14). Ketika perubahan sensitivitas rata-rata dari empat titik lapang pandang tengah diuji,
hasil menunjukkan perbaikan sebesar 1,4 ± 3.6 dB (P = .05). Peningkatan ini lebih besar pada pasien dengan skor AGIS awal yang lebih tinggi (P =
0,031). Namun hasil di atas kehilangan signifikansi statistik (uji Wilcoxon signed-rank, P = 0,061 dan P = 0,073, masing-masing) ketika dua pasien
dengan katarak gabungan dan operasi glaukoma tidak termasuk dalam analisis (Tabel 3).

Tak satu pun dari peserta berkembang menjadi "wipe-out" fenomena. Perubahan minimal dalam ketajaman visual dan lapang pandang
diamati dalam beberapa kasus. Dalam dua pasien (Tabel 2, 3 dan 21 pasien), Visus diganti dengan lebih dari satu baris 3 bulan setelah operasi. Pada
pasien 3, ini diyakini karena perkembangan katarak. Enam bulan setelah operasi, dan setelah ekstraksi katarak, Visus adalah 20/20. Pada pasien 21,
penurunan Visus transien 20/80 diamati disebabkan hypotony setelah suturelysis dengan laser argon satu minggu setelah operasi. Pada kunjungan 3
bulan, dan setelah keberhasilan pengelolaan hypotony dengan injeksi darah autologus, ketajaman visual ditingkatkan untuk 20/40 (Tabel 2). Pada 6
bulan setelah operasi, perbaikan lebih lanjut diamati dan Visus kembali ke nilai sebelum operasi. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perubahan
dalam ketajaman visual atau bidang penglihatan setelah trabeculectomy tidak terkait dengan usia, jenis kelamin, jenis operasi (trabeculectomy sendiri
atau dikombinasikan dengan ekstraksi katarak), jenis glaukoma, hidup bersama penyakit sistemik, penggunaan obat sistemik, penggunaan 5 aplikasi-
FU, atau perubahan TIO (uji Spearman rank korelasi, P > .05).

Diskusi

Potensi resiko kehilangan penglihatan pasca operasi filtrasi pada glaukoma stadium akhir telah menjadi perhatian banyak dokter mata sejak
diperkenalkannya prosedur drainase ."Wipe-out" fenomena telah digambarkan sebagai penurunan tiba-tiba visus setelah operasi filtrasi dalam stadium
akhir glaukoma, dan tidak tampak kelainan patologi pada mata yang jelas untuk memperhitungkan penurunan visus ini. 1 Hanya sejumlah studi
retrospektif didominasi ada, dan ini gagal untuk menyediakan data konklusif pada prognosis visual pasien dengan maju cacat bidang visual yang
menjalani prosedur glaukoma.1-9
Kolker dan rekan melaporkan kejadian 13,6% (3/22) kehilangan penglihatan sentral dalam periode pasca operasi. 2 Dalam setiap contoh,
ketajaman visual menurun menjadi <20/200 pada setiap pemeriksaan visus berikutnya. Salah satu pasien yang telah bertahan hypotony pasca operasi
dan yang lain lebih parah, uveitis fibrin dan setelah operasi katarak. Selain itu, para penulis menyatakan bahwa semua pasien, pra operasi cacat bidang
visual yang dengan fiksasi, sehingga menunjukkan bahwa komplikasi ini sangat jarang ketika penglihatan sentral terhindar. Laporan yang lebih baru
menunjukkan bahwa risiko kehilangan pasca operasi dapat dijelaskan dari bidang visual pusat tidak ada tetapi lebih rendah dari 1% dan lebih mungkin
terjadi pada pasien yang lebih tua dengan membelah makula di bidang visual pra operasi. 1 Aggarwal dan rekan, dalam studi prospektif , melaporkan
tiga kasus hilangnya bidang visual pusat setelah trabeculectomy dari sembilan pasien dengan bidang visual sangat kecil (<100) karena glaucoma
stadium akhir.3 Namun, dua kasus tersebut telah mengembangkan pasca operasi edema makula cystoid atau hypotony bertahan dengan hanya pasien
ketiga tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasikan kerugian visual ini. Otto juga melaporkan tentang hilangnya fiksasi setelah cyclodialysis
dan trephining operasi.4 Dia menyatakan bahwa kejadian pada komplikasi ini adalah sangat rendah dan terutama disebabkan oleh insufisiensi jantung
dan gangguan gizi.

Meskipun mekanisme yang tepat dari "wipe-out" fenomena tetap sulit dipahami, telah disimpulkan bahwa dapat berhubungan dengan timbul
mendadak intraoperatif okular hypotony selama operasi glaukoma. Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan saraf optik dan penurunan tekanan perfusi
yang sudah mengganggu suplai darah ke saraf optik. Hal ini juga dapat menyebabkan microemboli yang dapat merusak serat saraf yang tersisa . 5,7

Sebaliknya, peneliti lain menunjukkan bahwa intervensi bedah pada glaukoma tingkat lanjut jarang, jika pernah, dikaitkan dengan
pengurangan kolom visual yang berada di pusat.6 Chandler dan rekan menyatakan bahwa ia belum pernah melihat kasus kehilangan penglihatan secara
mendadak yang tidak dapat dijelaskan pasca operasi terlepas dari sempitnya bidang visual pada praoperasi . 12 Lichter dan Ravin dalam studi retrospektif
dari 52 pasien mata dengan cacat bidang visual glaukoma, dengan atau tanpa keterlibatan fiksasi, melaporkan tidak ada kasus kehilangan ketajaman
visual mendadak, komplikasi yang jarang terjadi penyaringan operasi. 5 Hasil serupa juga telah dilaporkan oleh O'Connell dan rekan, dan lebih baru-
baru ini oleh Martinez dan rekan dalam studi retrospektif yang menunjukkan bahwa pada pasien dengan glaukoma tingkat lanjutpenurunan pasca
operasi mendadak ketajaman visual terlepas dari penyebab yang mendasari (edema makula, hypotony maculopathy , atau keratopathy) sangat jarang. 6,7
Keragaman ini laporan tentang kejadian hilangnya penglihatan yang tidak dapat dijelaskan setelah operasi filtrasi dapat mengakibatkan
kebingungan di kalangan dokter. Hal ini mungkin disebabkan ketidak jelasan definisi nya, karena beberapa studi telah mempertimbangkan kasus
dengan jelas patologi dari makula termasuk edema makula pasca operasi dan lipatan retina sentral sebagai "wipe-out" fenomena. Bahkan di mata tanpa
kerusakan makula pra operasi, penggunaan intraoperatif mitomycin-C dapat mempengaruhi makula dan menyebabkan hilangnya penglihatan. Selain
itu, kurangnya evaluasi yang sistematis penurunan bidang visual dengan cara skor penilaian standar untuk mengklasifikasikan glaukoma berdasar
tingkat kerusakan , Tidak adanya definisi kriteria pasien glaucoma, dan keterbatasan yang terkait dengan sifat retrospektif dari penelitian sebelumnya
telah memberikan kontribusi pada ketidaksesuaian mencatat dalam literatur yang ada.

Studi kami secara prospektif meneliti efek dari operasi glaukoma pada visus dan bidang visual dalam serangkaian pasien secara berturut-
turut . Penggunaan sistem penilaian AGIS memastikan perekrutan kelompok yang homogen dari pasien dengan stadium akhir glaukoma stadium akhir.
Penggunaan empat titik bidang visual berada di pusat di samping berarti deviasi (MD) memungkinkan penghitungan akurat pasca operasi perubahan
bidang visual. Pada stadium akhir glaukoma di mana sebagian besar titik kolom visual yang tidak memiliki sensitivitas sama sekali (0 dB), deviasi
mean (MD) yang mewakili semua titik kolom visual yang mungkin kurang sensitif terhadap perubahan kecil, yang bisa terjadi di pulau tengah yang
tersisa pada penglihatan. Dengan menggunakan empat titik bidang visual berada di pusat sebagai ukuran hasil, kami mampu mengukur perubahan kecil
yang bisa terjadi pada bidang visual berada di pusat yang tersisa. Selain itu, pengukuran ketajaman visual dilakukan dengan metode standar (grafik
ETDRS pada cahaya ambient standar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada peserta mengembangkan "wipe-out" fenomena dalam 3 bulan
pasca operasi.

Penelitian kami termasuk pasien dengan risiko tinggi "wipe-out" fenomena menurut laporan sebelumnya. 1,3 Sebagian besar pasien kami
berada di kelompok usia yang lebih tua, sementara mereka semua memiliki kolom visual yang sangat kecil (<10 0) pada awal. Kurangnya kehilangan
penglihatan atau komplikasi perioperatif penting lainnya didampingi oleh penurunan yang cukup besar dari TIO setelah operasi.filtasi Hal ini
mengakibatkan kontrol optimal lebih TIO dan penurunan besar dari penggunaan obat pasca operasi, dengan hampir 80% dari subyek tidak memerlukan
pengobatan setelah prosedur drainase.

Sebagai kesimpulan, penelitian kami menunjukkan bahwa operasi glaukoma memiliki efek menguntungkan pada sebagian besar pasien
dengan bidang visual yang terancam dan TIO yang tinggi. Karena kita tidak mengidentifikasi kasus hilangnya lapangan penglihatan akibat kelainan
fungsi makula yang tidak dapat dijelaskan, dan sebagai yang terakhir juga telah dijelaskan setelah jenis operasi lainnya intraokular, kita berspekulasi
bahwa kejadian langka ini tidak boleh dianggap hanya khas pada operasi glaukoma. 6,13 kita harus menunjukkan bahwa meskipun ukuran sampel adalah
kecil, hal itu mencapai kekuatan statistik yang cukup dengan nilai tradisional 0,05. Namun, yang terakhir mungkin tidak cukup rendah untuk
mengidentifikasi kasus "wipe-out" yang terjadi dikarenakan sangat jarang. Sebaliknya, calon desain, populasi penelitian homogen dengan pasien
berisiko tinggi untuk "wipe-out" fenomena, standarisasi operasi dilakukan oleh dokter ahli bedah dan follow up secara menyeluruh dari semua peserta
dengan evaluasi sistematis logMAR visus dan bidang visual yang berada di pusat, memberikan tingkat akurasi yang tinggi dan kehandalan dalam
informasi yang diperoleh.

Berdasarkan hasil yang kami peroleh , kami menyimpulkan bahwa mendadak hilangnya penglihatan pasca operasi yang tidak dapat
dijelaskan dari penglihatan pada pasien dengan glaukoma stadium akhir yang menjalani operasi filtrasi paling banyak, komplikasi yang jarang terjadi.
Oleh karena itu kami merekomendasikan intervensi awal bedah meskipun kehadiran tingkat lanjut kerusakan bidang visual ketika kontrol kesehatan
mata denagan TIO yang tinggi telah gagal, dan ada bukti kerusakan glaukoma progresif pada saraf optik. Penelitian prospektif lebih lanjut, dengan
sejumlah besar pasien, akan diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan kami dan lebih baik menentukan risiko dan faktor risiko untuk "wipe-out"
fenomena setelah operasi .
Daftar Pustaka

1. Costa VP, Smith M, Spaeth GL, Gandham S, Markovitz B. Loss of visual acuity after trabeculectomy. Ophthalmology 1993;100:599–612.
2. Kolker AE. Visual prognosis in advanced glaucoma: a comparison of medical and surgical therapy for retention of vision in 101 eyes with
advanced glaucoma. Trans Am Ophthalmol Soc 1977;75:539 –555.

i) Terapi
Pada dasarnya glaukoma dibagi menjadi terapi medikamentosa dan operatif yang bertujuan untuk menurunkan tekanan intraokuler sehingga aman bagi
penderita. Target penurunan tekanan intraokuler pada glaukoma sudut tertutup dan glaukoma sekunder adalah 22 mm Hg, sedangkan pada glaukoma
primer sudut terbuka biasanya 20-60% dari tekanan intraokular awal. Terapi pada glaukoma : (Suhardjo et al., 2003).
(1) Medikamentosa
(a) Obat topikal :
i Golongan kolinergik : pilokarpin, karbakhol.
ii Golongan agonis adrenergik : epinefrin, dipivefrin, brimonidin, apraklonidin.
iii Golongan penyekat reseptor beta/ beta-blockers : timolol, carteolol, betaxolol, levobunolol, metoprolol.
iv Golongan analog prostaglandin : latanoprost, unoprostone
v Golongan inhibitor karbonik anhidrase topikal : brinzolamid, dorzolamid.
(b) Obat sistemik :
i Golongan inhibitor karbonik anhidrase : acetazolamid, methazolamid.
ii Zat hiperosmotik : mannitol, gliserin, urea.
(2) Operatif
(a) Iridektomi atau iridotomi perifer
Merupakan tindakan bedah dengan membuat lubang pada iris untuk mengalirkan cairan akuos langsung dari bilik belakang ke bilik depan mata
mencegah tertutupnya trabekulum pada blok pupil. Iridektomi perifer dilakukan dengan cara menggunting iris bagian perifer, sedangkan iridotomi
perifer melubangi iris dengan menggunakan laser ND-Yag dengan panjang gelombang 1064 nanometer atau laser Argon.
(b) Gonioplasti atau iridoplasti laser
Teknik laser ini digunakan pada pasien penderita glaukoma sudut tertutup dengan tujuan memperdalam sudut iridokornea, misal iris plateu dan
nanoftalmos. Laser ini digunakan pada stroma iris sehingga terjadi kontriksi yang akan menarik iris perifer menjadi lebih datar dan sudut iridokornea
terbuka.
(c) Trabekuloplasti laser
Trabekuloplasti laser dikerjakan dengan membuat sikatriks di trabekulum. Sikatriks sifatnya membuat tarikan, diharapkan bagian yang tidak terkena
laser yang terjadi sikatriks akan tertarik sehingga celah trabekulum melebar. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan glaukoma sudut terbuka yang
sudah tidak toleran atau tidak patuh menggunakan obat obat anti glaukoma.
(d) Trabekulektomi
Trabekulektomi adalah suatu prosedur yang bertujuan membuat saluran atau lubang yang menghubungkan bilik depan mata dengan daerah
subkonjungtiva subtenon, sehingga pada kondisi ini cairan aqueous dapat mengalir langsung ke daerah subkonjungtiva melalui partial thickness flap
sklera sehingga tekanan intraokular turun.
(e) Goniotomi
Operasi ini merupakan salah satu terapi pilihan untuk kongenital maupun infantil baik yang primer maupun yang sekunder seperti pada aniridia
kongenital, iritis anterior kronis, dan glaukoma juvenilis. Prosedur ini dapat dilakukan pada kornea yang masih jernih dan tidak dapat dilakukan apanila
kesehatan bayi tidak stabil. Prinsip dari goniotomi ini adalah membuat irisan pada permukaan depan trabekulum meshwork menggunakan jarum dengan
bantuan lensa gonioskop sehingga trabekulum terbuka, akibatnya cairan aqueous langsung masuk ke kanalis Schlemm.
(f) Trabekulotomi
Prosedur terapi ini merupakan terapi untuk glaukoma kongenital maupun infantil. Operasi trabekulotomi ini menggunakan trabekulotome dari Harms
atau McPherson yang dimasukkan melalui kanalis Schlemm dari luar dibawah flip sklera kemudian trabekulotom diputar 90 ke arah sentral kornea
sehingga trabekulum meshwork terlepas.
Terapi glaukoma selalu memegang prinsip-prinsip tertentu :
(1) Semakin tinggi tekanan intraokular semakin besar risiko kerusakan.
(2) Terdapat faktor lain selain tekanan intraokular dalam glaukoma. Misalnya pada penderita hipertensi, hipotensi, atau DM, aliran darahnya buruk
sehingga mudah terjadi kerusakan optik.
(3) Perlunya follow up yang terus menerus.
(4) Pertimbangkan efek samping dan biaya karena terapi untuk glaukoma bersifat panjang, bahkan seumur hidup.
(5) Pertahankan penglihatan yang baik dengan efek samping minimal dan biaya ringan.
Cara penurunan tekanan intraokular ialah dengan menurunkan produksi humor aqueous dan badan siliar atau menambah pembuangan cairan aqueous
melalui meshwork trabekular dan uveosklera. 32
14. Komplikasi?
15. Pencegahan?
Sumber: GLAUKOMA SALAH SATU PENYEBAB UIAMA KEBDTAAN Mengapa dan Apa Upava Pencegahan Kebutaan Ini Pidato . capkan
pada peresmian penerimaan Jabatan Guru Besar DIU dalam Ilmu Penyakit Mata da Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya a pada hari
Sabtu, tanggal 30 Januari 1999 Oleh: M.N.E. Gumansalangi

Diabetik retiopati merupakan penyulit penyakit Diabetes Melitus yang paling ditakuti.10 Karena insidennya yang cukup tinggi dan prognosanya yang kurang baik
bagi penglihatan.2Meskipun dapat dihindari dengan mengontrol kadar gula darah yang baik dan deteksi dini jika ada kelainan pada mata. Diabetes telah menjadi
penyebab kebutaan utama di Amerika Serikat.1,4,5, Biasanya mengenai penderita berusia 20-64 tahun sedangkan di negara berkembang setidaknya 12% kasus
kebutaan disebabkan diabetes.4 Resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah umur 10 tahun, dan meningkat setelah pubertas .4 Hal ini terjadi 20 tahun setelah
menderita diabetes.4

DEFENISI

Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus,1 meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.2

Gambar 1

EPIDEMIOLOGI
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di jumpai, terutama di negara barat.1 Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun mengidap
diabetes dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes. Prevalensi retinopati diabetik proliferatif pada diabetes tipe 1 dengan lama
penyakit 15 tahun adalah 50%.1 Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes. Resiko
berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas.4

ETIOLOGI

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi dan
biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.4 Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang
muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan
lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.1

Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain :4

- Adhesif platelet yang meningkat.


- Agregasi eritrosit yang meningkat.
- Abnormalitas lipid serum.
- Fibrinolisis yang tidak sempurna.
- Abnormalitas dari sekresi growth hormon
- Abnormalitas serum dan viskositas darah.

KLASIFIKASI

Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, maka retinopati diabetik dibagi menjadi :1,2,4

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan retinopati diabetik dasar ( Background Diabetic Retinopathy ).

2. Retinopati Diabetik Proliferatif.

PATOFISIOLOGI

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif

Merupakan bentuk yang paling umum dijumpai.2 Merupakan cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh yang terkena.1 Disebabkan oleh
penyumbatan dan kebocoran kapiler , mekanisme perubahannya tidak diketahui tapi telah diteliti adanya perubahan endotel vaskuler ( penebalan membran basalis
dan hilangnya pericyte ) dan gangguan hemodinamik ( pada sel darah merah dan agregasi platelet ).3 Disini perubahan mikrovaskular pada retina terbatas pada
lapisan retina ( intraretinal ), terikat ke kutub posterior dan tidak melebihi membran internal.4

Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multiple yang dibentuk oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil menonjol

seperti titik-titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan intraretinal.1,4 Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan
berbentuk nyala api karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau bercak terletak di
lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.1

Retinopati Diabetik Preproliferatif dan Edema Makula

Merupakan stadium yang paling berat dari Retinopati Diabetik Non Proliferatif.1,5 Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran
plasma yang berlanjut, disertai iskemik pada dinding retina ( cotton wool spot, infark pada lapisan serabut saraf ). Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas
dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari stadium ini adalah cotton wool spot, blot haemorrage, intraretinal Microvasculer
Abnormal ( IRMA ), dan rangkaian vena yang seperti manik-manik.1,3 Bila satu dari keempatnya dijumpai ada kecendrungan untuk menjadi progresif ( Retinopati
Diabetik Proliferatif ), dan bila keempatnya dijumpai maka beresiko untuk menjadi Proliferatif dalam satu tahun.3

Edema makula pada retinopati diabetik non proliferatif merupakan penyebab tersering timbulnya gangguan penglihatan.2 Edema ini terutama disebabkan oleh
rusaknya sawar retina-darah bagian dalam pada endotel kapiler retina sehingga terjadi kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya.
Edema ini dapat bersifat fokal dan difus. Edema ini tampak sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga
terbentuk zona eksudat kuning kaya lemak bentuk bundar disekitar mikroaneurisma dan paling sering berpusat dibagian temporal makula.1

Retinopati Diabetik Non Proliferatif dapat mempengaruhi fungsi penglihatan melalui 2 mekanisme yaitu :4

1. Perubahan sedikit demi sedikit dari pada penutupan kapiler intraretinal yang menyebabkan iskemik makular.

2. Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema makular.

1. Retinopati Diabetik Proliferatif

Merupakan penyulit mata yang paling parah pada Diabetes Melitus. Pada jenis ini iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan pembuluh-
pembuluh halus ( neovaskularisasi ) yang sering terletak pada permukaan diskus dan di tepi posterior zona perifer disamping itu neovaskularisasi iris atau rubeosis
iridis juga dapat terjadi. Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi dan menjadi meninggi apabila korpus vitreum mulai berkontraksi menjauhi retina dan
darah keluar dari pembuluh tersebut maka akan terjadi perdarahan massif dan dapat timbul penurunan penglihatan mendadak.1

Disamping itu jaringan neovaskularisasi yang meninggi ini dapat mengalami fibrosis dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan
menimbulkan kontaksi terus-menerus pada korpus vitreum. Ini dapat menyebabkan pelepasan retina akibat traksi progresif atau apabila terjadi robekan retina,
terjadi ablasio retina regmatogenosa. Pelepasan retina dapat didahului atau ditutupi oleh perdarahan korpus vitreum. Apabila kontraksi korpus vitreum telah
sempurna dimata tersebut, maka retinopati proliferatif cenderung masuk ke stadium involusional atau burnet-out.1

GEJALA KLINIS

Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :8,9

1. Kesulitan membaca

2. Penglihatan kabur

3. Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata

4. Melihat lingkaran-lingkaran cahaya

5. Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa :7

1. Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh
darah terutama polus posterior.

2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.

3. Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok.

4. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata
membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

1. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning
bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.

2. Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok , dalam,
berkelompok, dan ireguler. Mula–mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal, ke badan kaca. Pecahnya
neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan badan kaca.

3. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.

Gambar 2

Gambar 3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema makular pada retinopati diabetik non proliferatif dapat digunakan stereoscopic biomicroscopic
menggunakan lensa +90 dioptri.2 Disamping itu Angiografi Fluoresens juga sangat bermanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskularisasi pada retinopati
diabetik. Dijumpainya kelainan pada elektroretinografik juga memiliki hubungan dengan keparahan retinopati dan dapat membantu memperkirakan perkembangan
retinopati.1

PENATALAKSANAAN
Sejauh ini belum ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mencegah perkembangan retinopati diabetik.

A. Pencegahan

Suatu fakta dikemukakan bahwa insiden retinopati diabetik ini tergantung pada durasi menderita diabetes mellitus dan pengendaliannya. Hal sederhana yang

terpenting yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes untuk dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan mengontrol gula darah, selain itu tekanan
darah, masalah jantung, obesitas dan lainnya harus juga dikendalikan dan diperhatikan.1,3,5

B. Pengobatan

Fokus pengobatan bagi pasien retinopati diabetik non proliferatif tanpa edema makula adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemuk lainnya.
Terapi Laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko penurunan
penglihatan dan meningkatka fungsi penglihatan . Sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya hanya
dipantau secara ketat tanpa terapi laser.1

Untuk retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan
kemungkinan perdarahan massif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan pada sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh-
pembuluh baru tersebut, Kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami
iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur diseluruh retina, tidak mengenai bagian
sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh vascular temporal utama.1,6

Untuk penatalaksanaan konservatif penglihatan monokular yang disebabkan oleh perdarahan korpus vitreum diabetes pada pasien binokular adalah dengan
membiarkan terjadinya resolusi spontan dalam beberapa bulan.1

Disamping itu peran bedah vitreoretina untuk retinopati diabetik proliferatif masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihkan
penglihatan yang baik.1

PROGNOSIS

Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang bermakna akan memiliki prognosa yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata
dengan edema dan perfusi yang relatif baik.1

Sumber: DIABETIK RETINOPATI OLEH: Dr. RODIAH RAHMAWATY LUBIS,SpM DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN 2007

2.1 Retinopati Diabetika

2.1.1 Definisi

Retinopati diabetika adalah kelainan mata pada pasien diabetes yang disebabkan kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan sehingga menimbulkan
gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai berat bahkan sampai menjadi kebutaan permanen.3 Risiko mengalami retinopati meningkat sejalan dengan
lamanya menderita diabetes sehingga hiperglikemia yang berlangsung lama diduga sebagai faktor risiko utama.3

2.1.2 Epidemiologi

Retinopati diabetika adalah salah satu penyebab utama kebutaan di negara-negara Barat, terutama diantara usia produktif.4

Berdarkan penelitian yang dilakukan Amerika oleh Wiconsin Epidemiologic study of Diabetic Retinopathy(WSDR), membagi prevalensi penderita retinopati
menjadi dua kelompok yaitu onset muda dan onset tua.14 Onset muda adalah pasien yang didiagnosis diabetes sebelum 30 tahun dengan terapi insulin dan onset
tua adalah pasien yang didiagnosis diabetes setelah 30 tahun.14 Pada onset muda, 71% terdiagnosis dengan retinopati, 23% terkena retinopati diabetika proliferatif
dan 6% terdiagnosis clinicially significant macular edema(CMSE).14 Pada onset tua, pasien retinopati dengan pengobatan insulin 8

sebesar 70% dan tanpa pengobatan 39%. Pada pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 3% proliferatif dan 14% CMSE, sedangkan dengan yang pengobatan
insulin 14% mencapai proliferatif dan 11% CMSE.14

Di Eropa, berdasarkan penelitian survey populasi di Melton Mowray, England prevalensi retinopati pada pasien dengan pengobatan insulin sebesar 41% dan
pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 52%.14 Data dari western Scotland prevalensi retinopati diabetika sebesar 26,7% dan retinopati serius
(RDNP,RDP,Makula) sekitar 10%.14

Bedasarkan penelitian 3 populasi besar di Australia, prevalensi retinopati sebesar 29,1% pada pasien DM pada 40 tahun atau lebih pada penelitian The Melbourne
Visual Impairment Project, 32,4 % pada pasien di atas 49 tahun oleh The Blue Mountains Eye Study dengan tanda proliferatif sebesar 1,6% dan makula sebesar
5,5%.14

Di negara-negara Asia, prevalensi diabetes mengalami peningkatan selama beberapa dekade, tetapi informasi retinopati di Asia masih sangat terbatas.14 The
Aravind Eye Disease Survey di India Selatan , prevalensi retinopati pada pasien DM diatas 50 tahun adalah 27%.14

2.1.3 Faktor Risiko

Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi retinopati diabetika antara lain:14

1) Jenis Kelamin

Berdasarkan WSDR, pada penderita dibawah 30 tahun kejadian proliferatif lebih sering terjadi pada pria dibandingakan dengan wanita, 9
walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna untuk progesivitas dari retinopatinya. Sedangkan pada penderita diatas 30 tahun tidak ada perbedaan yang bermakna
untuk kejadian maupun progesivitas antara pria maupun wanita14

2) Ras

Perbedaan prevalensi retinopati diabetika pada ras dapat terjadi akibat kombinasi beberapa hal antara lain akses ke fasilitas kesehatan, faktor genetik dan faktor
resiko retinopati lainnya.14

3) Umur

Pada diabetes tipe 1, prevalensi dan keparahan berhubungan dengan umur. Retinopati jarang terjadi pada pasien dibawah 13 tahun, kemudian meningkat sampai
umur 15-19 tahun, lalu mengalami penurunan setelahnya.14 Pada pasien diabetes tipe 2, kejadian retinopati meningkat dengan bertambahnya umur. 14

4) Durasi Diabetes

Lamanya mengalami diabetes merupakan faktor terkuat kejadian retinopati. Pervalensi retinopati pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15 tahun sejak diagnosis
ditegakkan antara 20-50%, setelah 15 tahun menjadi 75-95% dan mencapai 100% setelah 30 tahun.3 pada diabetes tipe 2 prevalensi retinopati sekita 20% sejak
diagnosis ditegakkan dan meningkat menjadi 60-85% setelah 15 tahun.3

5) Hiperglikemi

Berdasarkan penelitian WSDR ditemukan bahwa pada pasien diabetes dengan retinopati memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi 10

dibandingkan dengan yang tidak terdiagnosis retinopati.14 Sehingga kadar gula darah yang tinggi berpengaruh terhadap kejadian retinopati diabetika.

6) Hipertensi

Hipertensi merupakan komorbid tersering pasien retinopati dengan diabetes, 17% pasien retinopati diabetika tipe 1 memiliki hipertensi dan 25% pasien menjadi
memiliki hipertensi setelah 10 tahun terdiagnosis retinopati diabetika.14 Hipertensi berperan dalam kegagalan autoregulasi vaskularisasi retina yang akan
memperparah patofisiologi terjadinya retinopati diabetika .14

7) Hiperlipidemia

Dislipedemia mempunyai peranan penting pada retinopati proliferatif dan makula.14 Dislipidemia berhubungan dengan tebentuknya hard exudate pada penderita
retinopati. Berdasarkan penelitian WESDR, hard exudate lebih banyak terdapat pada pasien diabetes tanpa pengobatan oral hypolipidemic14

8) Insulin endogen

Kadar plasma C-Peptide merupakan penanda rendahnya kadar insulin endogen. Pada penelitiam WESDR pasien dengan retinopati memiliki kadar C-peptide
plasma yang rendah, tetapi kadar C-peptide sendiri tidak berpengaruh terhadap progesivitas retinopati.14

9) Indeks Massa Tubuh(IMT)

Indeks massa tubuh berhubungan dengan diagnosis dan keparahan retinopati pada penderita diatas 30 tahun tanpa pengobatan insulin.14 Mereka yang
underweight (BMI<20 kg/m2 untuk pria dan wanita) 11

memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk terkena retinopati dibandingkan dengan BMI normal.

10) Kehamilan

Retinopati diabetika mengalami progesivitas yang cepat pada saat kehamilan. Progresivitas retinopati lebih meningkat lagi pada kehamilan dengan preeklampsia
dibandingkan dengan yang tidak. 14

11) Inflamasi
Keadaan inflamasi menyebab disfungsi vaskular yang menjadi faktor patogenesis pada diabetes tipe 2.14

2.1.4 Patogenesis

Hiperglikemia kronik merupakan faktor utama terjadinya retinopati diabetika.3,5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Control and Complication
Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pasien yang mendapat terapi insulin dengan kadar HbA1c dibawah 7% lebih jarang terjadi retinopati yang progresif
dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi insulin.5 Beberapa proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan menimbulkan terjadinya retinopati
diabetika antara lain14,15 :

1) Aktivasi jalur poliol

Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose reduktase yang meningkatan produksi sorbitol.3,5 Sorbitol adalah senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat
melewati membran basalis sehingga tertimbun di sel dan menumpuk di jaringan lensa, pembuluh darah dan optik.15 12

Penumpukan ini menyebabkan peningkatan tekanan osmotik yang menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel.3 Konsumsi NADPH selama peningkatan
produksi sorbitol menyebabkan penigkatan stress oksidatif yang akan mengubah aktivitas Na/K-ATPase, gangguan metabolisme phopathydilinositol, peningkatan
produksi prostaglandin dan perubahan aktivitas protein kinase C isoform.5

2) Glikasi Nonenzimatik

Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan berikatan dengan asam amino bebas, serum atau protein menghasilkan Advanced gycosilation end product
(AGE).5 Interaksi antara AGE dan reseptornya menimbulkan inflamasi vaskular dan reactive oxygen species(ROS) yang berhubungan dengan kejadian retinopati
diabetika proliferatif.5

3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C

Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan mengaktifkan VEGF yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh darah baru.3 Pada hiperglikemik terjadi
peningkatan sintesis diasilgliserol yang merupakan regulator protein kinase C dari glukosa.3

2.1.5 Patofisiologi

Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetika terletak pada kapiler retina.3 Dinding kapiler terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit,
membrana basalis dan sel endotel, perbandingan jumlah sel perisit dan sel 13

endotel kapiler retina adalah 1 : 1.3 Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas, mempertahankan fungsi barier,
transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel; membrana basalis berfungsi untuk mempertahankan permeabilitas; sel endotel bersama dengan matriks ekstra sel
dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat elektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul termasuk fluoroscein yang digunakan untuk
diagnosis kapiler retina.3 Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika dimulai dari penebalan membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya sel perisit dan
meningkatnya proliferasi sel endotel, sehimgga perbandingan sel endotel dan sel perisit menjadi 10 : 1,7.3

Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang terjadi di tingkat kapiler yaitu16 :

1) Pembentukan mikroaneurisma

2) Peningkatan permeabilitas

3) Penyumbatan

4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan jaringan fibrosis

5) Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus

2.1.6 Klasifikasi

Retinopati diabetika secara umum dapat dibagi menjadi dua berdasarkan ada tidaknya pembuluh darah baru pada retina yaitu nonproliferatif dan proliferatif.17
Menurut Early Treatment Retinopati Research Study Group (ETDRS) retinopati dibagi atas dua stadium yaitu : 14

1. Retinopati Diabetika Nonproliferatif (RDNP)

Retinopati diabetika adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan foto warna
fundus atau fundal fluoroscein angiography(FFA). Mikroaneurisma merupakan tanda awal terjadinya RDNP, yang terlihat dalam foto warna fundus berupa bintik
merah yang sering di bagian posterior. Kelainan morfologi lain antara lain penebalan membran basalis, perdarahan ringan, hard exudate yang tampak sebagai
bercak warna kuning dan soft exudate yang tampak sebagai bercak halus (Cotton Wool Spot). Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran lipoprotein plasma.
Edema terjadi akibat kebocoran plasma. Cotton wool spot terjadi akibat kapiler yang mengalami sumbatan.3 RDNP selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga stadium

a) Retinopati nonproliferatif minimal

Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras

b) Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang

Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA

c) Retinopati nonproliferatif berat

Terdapat satu atau lebih tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, IRMA ekstensif minimal pada 1
kuadran

d) Retinopati nonproliferatif sangat berat

Ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati nonproliferatif berat.

Gamabar 1. Standar fotografi dari ETDRS yang digunakan sebagai standar dalam mennetukan derajat retinopati yang menunjukan abnormalitas mikrovaskular
(dilatasi kapiler).17

Gamabar 2. Standar fotografi ETDRS menunjukkan perdarahan retina dan mikroaneurisma17 16

Gambar 3. Fotografi fundus berwarna dari RDNP menunjukkan perdarahan, eksudat lemak kuning, dan cotton wool spot17

2. Retinopati Diabetika Proliferatif (RDP)

Retinopati diabetika proliferatif ditandai dengan terbentuknya pembuluh darah baru (Neovaskularisasi).17 Dinding pembuluh darah baru tersebut hanya terdiri dari
satu lapis sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan.3 Pembentukan pembuluh darah baru
tersebut sangat berbahaya karena dapat tumbuh menyebar keluar retina sampai ke vitreus sehingga menyebabkan perdarahan di vitreus yang mengakibatkan
kebutaan.3 Apabila perdarahan terus berulang akan terbentuk jaringan sikatrik dan fibrosis di retina yang akan menarik retina sampai lepas sehingga terjadi ablasio
retina.3 RPD dapat dibagi lagi menjadi

a) Retinopati proliferatif tanpa resiko tinggi

Bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau
vitreus; atau neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus

b) Retinopati proliferatif resiko tinggi

Apabila ditemukan 3 atau 4 faktor risiko berikut :

 Ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina

 Ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus

 Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus

 Perdarahan vitreus

Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan dua gambaran yang
paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.
Gambar 4. Fotografi fundus berwarna RDP yang menunjukkan neovaskularisasi, perdarahan neovaskularisasi, pelepasan retina dari makula17 18

2.2 Lapisan Air Mata

2.2.1 Lapisan Air Mata Normal

Lapisan air mata terdiri dari 3 lapisan :4

1) Lapisan superfisial adalah film lipid monomolekular yang diproduksi oleh kelenjar Meibom. Lapisan ini berfungsi menghambat penguapan dan membentuk
sawar kedap air saat palpebra ditutup

2) Lapisan akuosa tengah yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimalis mayor dan minor, mengandung substansi larutan (garam dan protein). Berfungsi untuk
memberikan nutrisi pada kornea dan konjunctiva.

3) Lapisan musinosa dalam terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjunctiva. Membran protein terdiri atas lipoprotein yang
menyebabkan lapisan menjadi bersifat hidrofobik sehingga permukaan yang tidak dapat dibasahi dengan larutan berarir saja. Musin diabsorbsi sebagian pada
membran sel epitel kornea, lalu ditambatkan pada sel-sel epitel permukaan oleh mikrovili. Kondisi ini menghasilkan permukaan hidrofilik sehingga lapisan akuosa
dapat menyebar secara merata ke bagian yang dibasahinya dengan cara menurunkan tegangan permukaan.

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Lapisan Air Mata

Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi air mata antara lain :8

1) Umur

Penurunan stabilitas lapisan air mata utama pada populasi tua adalah Meibomia gland dysfunction(MGD).18 MGD terjadi akibat hiperkeratinisasi dari duktus
epitelium kelenjar Meibom sehingga terjadi pengurangan kuantitas maupun kualitas produksi lipid.18 Pasien diatas usia 65 tahun sering mengalami sindroma mata
kering.8

2) Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena sindroma mata kering akibat perubahan hormonal pada saat hamil, penggunaan kontrasepsi dan menopause.8 Berdasarkan penelitian
yang dilakukan pada tikus, kekurangan hormon steroid menyebabkan terjadinya defisiensi air mata.19

3) Medikasi

a) Antihistamin dan decongestant

Penggunaan antihistamin dan decongestant untuk penyakit alergi sering disertai dengan keluhan mata kering sebagai efek sampingnya.20 Efek samping tersebut
terjadi akibat efek anticholinergic yang menyebabkan penurunan produksi air mata dengan menghambat persarafan parasimpatis.21

b) Antidepressant

Sebagian besar medikasi antianxietas dan tricyclic antidepressant menyebabkan penurunan produksi air mata, sehingga dapat menyebabkan kondisi mata kering
dengan keluhan penglihatan kabur. 22

c) Agen hipertensi

Beta-blocker mengurangi level lysozym dan immunoglobulin A yang menyebabkan penurunan produksi lakrimal sehingga menyebabkan keluhan mata kering.22
Penggunaan beta blocker juga menyebabkan kornea mengalami anesthesia yang menurunkan TBUT dan menyebabkan iritasi.22 20

d) Hormon

Penggunaan homon estrogen dan hormone replacement therapy(HRT) pada wanita postmenopausal diikuti dengan penurunan produksi kelenjar lakrimalis.22 Dari
penelitian oleh Debra Schaumberg ditemukan prevalensi keluhan sindroma mata kering sebesar 69% pada wanita dengan terapi hormon dibandingkan dengan
yang tidak mendapatkan terapi hormon22

e) Terapi Dermatologi

Terapi retinoid pada penyakit kulit menyebabkan sindroma mata kering karena dapat merusak kelenjar Meibom. Keadaan ini terjadi akibat efek samping dari
penurunan sekresi lemak oleh kelenjar Meibom.22

4) Kondisi Medis

a. Arthritis Rheumatoid

Pada arthritis rheumatoid terjadi infiltrasi limfosit yang menyebabkan kerusakan kelenjar-kelenjar diseluruh tubuh termasuk kelenjar yang memproduksi lapisan
air mata.23
b. Thyroid Eye Disease (TED)

TED adalah keadaan inflamasi dan autoimun dari Grave disease yang menyebabkan ganggguan fungsional dan kosmetik.24 Manifestasi kliniknya antara lain
periorbital oedem, peningkatan tekanan intraokular, konjungtiva hiperemi dan chemosis, proptosis, myopati yang menjadi strasbismus, retraksi eyelid, exposure
keratopati, lagoftalmusa dan optic neuropati.24 Pada TED terjadi hiposekresi dengan osmolaritas yang lebih tinggi dan juga terjadi peningkatan mekanisme
evaporasi.24 21

c. Kelainan mata luar

Inflamasi pada palpebra (blepharitis) dan permukaan bola mata dapat menyebabkan terjadinya sindroma mata kering. Kelainan palpebra seperti lagoftalmus,
entropion dan ektropion menyebabkan permukaan kunjunctiva yang terpapar menjadi lebih luas sehingga terjadi peningkatan evaporasi.8

5) Lingkungan

Paparan asap rokok, angin dan kondisi kering dapat menyebabkan peningkatan evaporasi.8 Kegagalan berkedip secara berkala seperti saat bermain komputer
terlalu lama juga menyebabkan gangguan lapisa air mata.8

6) Faktor Lainnya

Penggunaan contact lens yang terlalu lama dan operasi refractive mata seperti LASIK dapat menyebabkan penurunan produksi air mata.8

2.2.3 Lapisan Air Mata Pasien DM

Diabetes melitus telah diidentifikasi sebagai faktor resiko terjadinya dry eye syndrome (DES). Faktor utama sindroma mata kering pada diabetes adalah terjadinya
neuropati.11 Prevalensi sindroma mata kering mencapai 54,3% pada pasien diabetes.11

Kornea adalah salah satu bagian tubuh dengan innervasi terpadat yang mengandung serabut A-Ϭ bermielinisasi dan serabut C tidak bermielinisasi yang merupakan
cabang dari nervus trigeminal.11 Kerusakan serabut syaraf pada kornea menyebabkan penurunan sensibilitas kornea.11 Berdasarkan the International Dry Eye
Workshop(DEWS), penurunan sensibilitas kornea menyebabkan 2 hal : menurunkan refleks produksi kelenjar lakrimalis dan menurunkan refleks berkedip
sehingga terjadi peningkatan evaporasi. 11

Penurunan produksi air mata oleh kelenjar lakrimalis selain terjadi akibat menurunnya refleks dari penurunan sensibilitas kornea juga dapat disebabkan oleh
kerusakan neuron yang mengatur produksi kelenjar. Keadaan kerusakan neuron ini disebut sebagai neuropati otonom.11

2.3 Tear Break Up Time Test

2.3.1 Definisi

Tear film break up time adalah tes untuk mengukur stabilitas relatif dari precorneal tear film.25 Pengukuran ini berguna untuk memperkirakan kandugan musin
dalam cairan air mata yang tidak dapat dideteksi oleh tes Schirmer.4 Bintik-bintik kering yang terbentuk dalam film air mata menunjukkan terdapat epitel kornea
atau konjunctiva yang terpapar ke dunia luar.4 Sel epitel yang rusak dilepaskan dari kornea, meninggalkan daerah-daerah kecil yang dapat dipulas saat permukaan
kornea dibasahi fluoroscein.4 Pada mata normal, TBUT dapat terjadi antara 3-12 detik, tetapi pada umumnya TBUT dibawah 10 detik sudah dianggap abnormal
dengan 5-10 detik marginal dan dibawah 5 detik indikasi sindroma mata kering.26

2.3.2 Jenis

Tear Film Break Up test dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu noninvasif dan invasif.27 Secara teori, teknik noninvasif lebih superior dari pada teknik invasif
karena tidak membutuhkan tambahan cairan fluoroscein sehingga tidak mengubah volume atau substansi daru lapisan air mata, tetapi teknik invasif lebih sering
digunakan. Dua jenis tersebut antara lain :28

1. Fluorescent Tear Break Up Time

Fluorescent Tear Break Up Time atau jenis yang invasif adalah jenis yang menggunakan larutan fluoroscein. Pengukuran pada pasien dilakukan setelah cairan
fluroscein diberikan dengan menggunakan salah satu dari dua teknik berikut

 Teknik Glass Rod

Pada teknik ini menggunakan mikropipet 1, 4.5, 7 μl dari larutan fluoroscein 1% yang di teteskan pada GR dan kemudian dioleskan pada inferior temporal bulbar
conjunctiva. Volume minimal untuk fluoroscein yang digunakan adalah 1μl agar dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop slitlamp dengan filter cobalt-blue.

 Teknik Fluoroscein Strip

Teknik ini menggunakan 4,5 atau 7μl salin yang dioleskan pada FS, kemudian diletakkan pada superior-temporal bulbar conjuctiva pasien dengan pasien mata
melihat kearah nasal-inferior.

Setelah fluoroscein diberikan, pasien akan diminta untuk berkedip 3-4 kali untuk mendistribusikan fluoroscein secara mendatar ke kornea. Tear break up time
diukur berdasarkan waktu antara pasien berkedip terakhir sampai dengan terjadinya bintik kering. Bintik kering sering terjadi pada bagian inferior dan sentral dari
kornea.26

Kekurangan dari TBUT invasif adalah reprodusibilitas rendah karena dapat dipengaruhi oleh berkedip sebagian, teknik illuminasi, campuran air mata dan sifat
larutan fluoroscein yang digunakan.26 Untuk menutupi kekurangan ini disarankan untuk melakukan pengukuran berulang.26

2. Noninvasive Tear Break Up Time (NIBUT)

Tear break Up time juga dapat diukur dengan menggunakan alat noninvasif seperti Tearscope.27 Teknik ini tidak menggunakan fluoroscein, membiarkan mata
berkedip secara natural dan mengusahakan tidak ada kontak antara mata dengan alat ukur.26 Pemeriksaan ini bertujuan untuk melakukan observasi terhadap pola
grid illuminasi yang tercermin dari permukaan air mata anterior, gambaran dari lapisan air mata yang stabil sampai terjadi bintik kering atau diskontinuitas
pertama terekam.26
Keuntungan menggunakan NIBUT adalah dapat mengobservasi kondisi sebelum terjadinya bintik kering yaitu tear thinning time(TTT). Hasil rerata TTT pada
orang normal adalah 16 detik dan sindroma mata kering adalah 7 detik.26 Kekurangan dari NIBUT adalah bersifat terlalu subjektif sehingga hasil yang diperoleh
berbeda setiap pemeriksa, untuk itu perlu menggunakan Oculus Keratograph 5M untuk mempertahankan objektivitas.27

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Hasil TBUT

a. Umur, Jenis Kelamin, Ras

Peningkatan usia akan menurunkan stabilitas lapisan air mata sehingga terjadi penurunan tear breakup time.26 Bayi yang baru lahir memiliki stabilitas air mata
yang tinggi, lalu dengan bertambahnya usia 25

terjadi peningkatan berkedip menjadi 20 kali lebih cepat dan penurunan stabilitas lapisan air mata. Selain itu terdapat juga hipotesis lain dimana penurunan
stabilitas pada bertambahnya umur berhubungan dengan penurunan kualitas tear binding surface dan efisiensi berkedip yang mempengaruhi komposisi lapisan
lipid.26 Pada anak-anak, tear binding surface atau ikatan antar lipid memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap evaporasi dibandingkan dengan orang
dewasa.26

Berhubungan dengan jenis kelamin, penurunan stabilitas lapisan air mata ini lebih jelas terlihat pada wanita dibandingkan dengan pria.26 Secara statistik, NIBUT
pada pria lebih panjang dibandingkan wanita pada usia dibawah 45 tahun.26

Hubungan antara ras dan TBUT masih belum jelas. Berdasarkan suatu penelitian ras Kaukasia memiliki NIBUT yang lebih lama dibandingkan dengan ras Asia.
Cho(1993) melaporkan bahwa NIBUT di Hongkong sebesar 16 detik pada usia 26-32 tahun, dan Mohidin melaporkan NIBUT Malaysia sebsar 13 detik dengan
umur yang sama.26

b. Penggunaan contact lens

Penggunaan contact lens yang terlalu lama menyebabkan terjadinya sindroma mata kering yang dapat menurunkan NIBUT maupun TBUT.26

c. Riwayat operasi mata

Riwayat operasi mata menyebabkan irregularitas pada epitel kornea yang menurunkan stabilitas lapisan air mata.26

d. Lingkungan

Stabilitas lapisan air mata dipengaruhi oleh kondisi lingkungan luar seperti suhu, kelembapan, air conditioning, polusi, merokok, iritan atmosfer, aktivitas sehari-
hari dan alkohol.26 Kecepatan udara diatas 1 m/s mengurangi stabilitas lapisan air mata sehingga menurunkan TBUT.26 Berdasarkan penelitian Bron temperatur
yang tinggi mengganggu stablilitas lapisan lipid dan menurunkan TBUT, teori ini didukung oleh penelitian Paschides dimana TBUT pada lingkungan hangat lebih
rendah dibandingkan lingkungan dingin. Berdasarkan penelitian Thomas pada tahun 2002, efek kronis merokok merusak lapisan lipid melalui jalur peroksidase,
sehingga perokok memiliki TBUT lebih rendah dengan rata-rata sebesar 6 detik. Penggunaan komputer yang terlalu lama juga menurunkan TBUT akibat
penurunan jumlah berkedip dan pola berkedip yang tidak lengkap dari penetlitian Himabeugh. Kebiasaann meminum alkohol meningkatkan osmolaritas air mata
sehingga menurunkan TBUT.29

e. Larutan Fluoroscein

Sifat-sifat zat fluoroscein yang digunakan juga mempengaruhi hasil TBUT seperti jumlah, konsentrasi, pH, ukuran tetesan, pengawet yang digunakan dan tipe
fluoroscein yang digunakan.30 27

A. Retinopati

Definisi Retinopati

Retinopati adalah kelainan pembuluh darah yang menuju ke mata berupa perdarahan, tidak adekuatnya pasokan darah dan penyumbatan pembuluh darah. Akibat
yang serius adalah kerusakan retina, yang kadang-kadang menetap dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan bahkan kebutaan.[5]

Klasifikasi Retinopati

a. Retinopati Diabetik

1) Definisi

Retinopati Diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada penderita diabetes mellitus. Retinopati akibat diabetes mellitus lama berupa
aneurismata, melebarnya vena, perdarahan dan eksudat lemak.[3]

Penderita Diabetes Mellitus akan mengalami retinopati diabetik hanya bila ia telah menderita lebih dari 5 tahun. Bila seseorang telah menderita DM lebih 20 tahun
maka biasanya telah terjadi kelainan pada selaput jala / retina.[1] Retinopati diabetes dapat menjadi agresif selama kehamilan, setiap wanita diabetes yang hamil
harus diperiksa oleh ahli optalmologi/ dokter mata pada trimester pertama dan kemudian paling sedikit setiap 3 bulan sampai persalinan.[8]

2) Klasifikasi Retinopati Diabetes

a) Retinopati Diabetes non proliferatif / NPDR (Non proliferative diabetik retinopathy) adalah suatu mirkoangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan
sumbatan pembuluh-pembuluh halus. Kebanyakan orang dengan NPDR tidak mengalami gejala atau dengan gejala yang minimal pada fase sebelum masa dimana
telah tampak lesi vaskuler melalui ophtalmoskopi.[9,10]

Retinopati Diabetes Proliferatif / PDR


Penyulit mata yang paling parah pada diabetes melitus adalah retinopati diabetes proliferatif, karena retina yang sudah iskemik atau pucat tersebut bereaksi dengan
membentuk pembuluh darah baru yang abnormal (neovaskuler). Neovaskuler atau pembuluh darah liar ini merupakan ciri PDR dan bersifat rapuh serta mudah
pecah sehingga sewaktu-waktu dapat berdarah kedalam badan kaca yang mengisi rongga mata, menyebabkan pasien mengeluh melihat floaters (bayangan benda-
benda hitam melayang mengikuti penggerakan mata) atau mengeluh mendadak penglihatannya terhalang.[4]

3) Keadaan yang dapat memperberat Retinopati Diabetes :

a) Pada Diabetes juvenile yang insulin dependent dan kehamilan dapat merangsang timbulnya perdarahan dan proliferasi.

b) Arteriosklerosis dan proses menua pembuluh-pembuluh darah memperburuk prognosis.

c) Hiperlipoproteinnemi diduga mempercepat perjalanan dan progresifitas kelainan dengan cara mempengaruhi arteriosklerosis dan kelainan
hemobiologik.

d) Hipertensi arteri, memperburuk prognosis terutama pada penderita usia tua.

e) Hipoglikemia atau trauma dapat menimbulkan perdarahan retina yang mendadak.

Diabetes Mellitus

Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.[10]

Etiologi

Kekurangan produksi insulin (baik absolut maupun relatif terhadap kebutuhan tubuh), produksi insulin rusak (ini jarang), atau ketidakmampuan sel untuk
menggunakan insulin dengan baik dan efisien merupakan penyebab hiperglikemia dan diabetes. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes
tergantung insulin (DMTI) disebabkan oleh destruktif sel B pulau longerhans akibat proses auto imun. Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) atau diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel B dan resisistensi insulin. Resistensi Insulin adalah turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.[5,11]

c) Klasifikasi DM

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah

(1) Diabetes Mellitus Tipe I (Destruksi sel, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) meliputi; Auto imun, Idiopatik.

(2) Diabetes Mellitus Tipe 2

Bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.

(3) Diabetes Mellitus Tipe Lain

(a) Defek genetik fungsi sel beta :

1) Kromosom 12, HNF- 1a (dahulu MODY 3)

2) Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

3) Kromosom 20, HNF- 4a (dahulu MODY 1)

4) Kromosom 13, Insulin promotor factor -1 (IPF -1, dahulu MODY

5) DNA Mitochondria

(b) Defek genetik kerja insulin

Resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom rabson mendenhall, diabetes lipoatrofik.

(c) Penyakit eksokrin Pankreas

Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pancreatopati fibro kalkulus.

(d) Endrokrinopati

Akromegali, sindrom cushing, feokromisotoma, hipertirodisme, somatosta tinoma,aldosteronoma

(e) Karena obat / zat kimia

Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, horman tiroid, diazoxid, agonis B adrenergic, tiazid, dilantin, inferon alfa, dll

(f) Infeksi: rubella conginetal, CMV (Cito Megalo Virus)

(g) Imunologi (Jarang): sindrom “stiff-man” antibodi reseptor insulin.

(h) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.


Sindrom down, sindrom klinefelter, sindrom tuner, sindrom wolframe’s, ataksia friedreich’s, chorea huntington, sindrom Laurenc – moon Biled, distrofi miotonik,
porfiria, sindrom Prader willi.

(4) Diabetes Kehamilan.[10]

Gejala dan Tanda-tanda Penyakit DM

Gejala dan tanda-tanda penyakit DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik

(1) Gejala Akut

(a) Pada permulaan gejala ditunjukkan dengan :

Banyak makan (polifagia), banyak minum (polidipsia) dan banyak kencing (poluria) atau disingkat 3P. Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat
badan yang terus naik – bertambah gemuk, karena pada saat ini jumlah insulin masih mencukupi.

(b) Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, lama kelamaan timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya insulin. Jadi bukan 3P lagi melainkan 2P saja
(Polidipsia dan Poliuria) dan beberapa keluhan lain seperti nafsu makan mulai berkurang, bahkan kadang-kadang timbul rasa mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg / dl disertai : banyak minum, banyak kencing, berat badan turun dengan cepat (bisa 5-10 kg dalam 2- minggu), mudah lelah, bila tidak cepat
diobati akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri).

(2) Gejala Kronik

(a) Kesemutan

(b) Kulit terasa panas (wedangan) atau seperti tertusuk-tusuk jarum

(c) Kram

(d) Rasa tebal dikulit sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur

(e) Capai

(f) Mudah Mengantuk

(g) Mata Kabur

(h) Gatal disekitar kemaluan , biasanya wanita

(i) Gigi mudah goyah dan mudah lepas.

(j) Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten

(k) Pada Ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan berat badan lahir > 4 kg.[12]

Komplikasi penyakit DM

Komplikasi dapat muncul secara akut dan kronik (yang timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap DM)

(1) Komplikasi Akut

Komplikasi akut meliputi koma hipoglikemia, ketoasidosis diabetika (DKA) dan koma hiperosmolar non ketotik.[9]

(2) Komplikasi Kronis

(a) Makro vaskuler, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.

(b) Mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil.

1) Retinopati diabetik

Terjadi pada pasien yang mempunyai diabetes setidaknya 5 tahun. Pendarahan spontan dari pembuluh darah baru tapi rapuh dapat menyebabkan parut retina dan
pelepasan retina sehingga terjadi gangguan penglihatan.

2) Kerusakan ginjal

Diawali penyakit pembuluh darah kecil pada ginjal menyebabkan perlekatan protein pada urine. Setelah itu ginjal akan kehilangan kemampuannya untuk
membersihkan dan menyaring darah. Penumpukan produk buangan beracun dalam darah menyebabkan perlunya dialysis / cuci darah

3) Kerusakan saraf/ diabetik neuropathy

Karena curah darah ke saraf terbatas, menyebabkan saraf tanpa curah darah dan menjadi rusak atau mati (ischemia). Gejala kerusakan saraf meliputi mati rasa, rasa
terbakar, rasa nyeri pada kaki, pasien juga bisa tidak merasakan luka pada kakinya, dan gagal untuk melindunginya.[13]

Pengendalian Diabetes Melitus

Kriteria kadar gula sebagai dasar pemantauan dan pengendalian kadar gula darah dapat dibagi sebagai berikut :
Retinopati
Hipertensi

Definisi

Retinopati Hipertensi (hypertensive retinopathy) adalah kerusakan pada retina akibat tekanan darah tinggi. Retinopati Hipertensi adalah kelainan-kelainan retina
dan pembuluh darah retina akibat tekanan darah tinggi. Kelainan pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah
yang tajam, fenomena crossing atau sklerose pembuluh darah. Kelainan pembuluh darah ini dapat mengakibatkan kelainan pada retina yaitu retinopati
hipertensi.Retinopati hipertensi dapat berupa perdarahan atau eksudat retina yang pada daerah makula dapat memberikan gambaran seperti bintang (star figure).
[1,5] Sejak tahun 1990, beberapa penelitian epidemiologi telah dilakukan pada sekelompok populasi penduduk yang menunjukkan gejala retinopati hipertensi dan
didapatkan bahwa kelainan ini banyak ditemukan pada usia 40 tahun ke atas.[14]

2) Etiologi

Ketika tekanan darah menjadi tinggi, seperti pada Hipertensi, retina menjadi rusak. Bahkan Hipertensi ringan bisa merusak pembuluh darah retinal jika tidak
segera diobati dalam setahun. Hipertensi merusak pembuluh darah kecil pada retina, menyebabkan dinding retina menebal dan dengan demikian mempersempit
pembuluh darah terbuka dan mengurangi suplai darah menuju retina. Potongan kecil pada retina bisa menjadi rusak karena suplai darah tidak tercukupi.
Sebagaimana perkembangan Retinopati Hipertensi (Hypertensive retinopathy), darah bisa bocor ke dalam retina. Perubahan ini menyebabkan kehilangan
penglihatan secara bertahap, terutama jika mempengaruhi macula, bagian tengah retina.[15]

Klasifikasi Retinopati Hipertensi

Klasifikasi Retinopati hipertensi menurut Scheie, sebagai berikut :

(1) Stadium I : terdapat penciutan setempat pada pembuluh darah kecil.

(2) Stadium 2 : penciutan pembuluh darah arteri menyeluruh, dengan penciutan setempat sampai seperti benang, pembuluh darah arteri tegang, membentuk cabang
keras.

(3) Stadium 3 : lanjutan stadium 2, dengan eksudat Cotton, dengan perdarahan yang terjadi akibat diastole di atas 120 mmHg, kadang-kadang terdapat keluhan
berkurangnya penglihatan.

(4) Stadium 4 : seperti stadium 3 dengan edema pupil dengan eksudat star figure, disertai keluhan penglihatan menurun dengan tekanan diastole kira-kira 150
mmHg.[1]

Hipertensi

(1) Definisi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat anti Hipertensi.[11]

(2) Etiologi

Penyebab Hipertensi yang sering kali menjadi penyebab di antaranya arteriosklerosis (penebalan dinding arteri yang menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh
darah), keturunan, bertambahnya jumlah darah yang dipompa ke jantung, penyakit ginjal, kelenjar adrenal, dan sistem saraf simpatis. Pada ibu hamil kelebihan
berat badan, tekanan psikologis, stres, dan ketegangan bisa menyebabkan juga Hipertensi.[16]

Berdasarkan penyebabnya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

(a) Hipertensi esensial atau Hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga Hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 90% kasus. Banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan
Ca intraselular, dan faktorfaktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. \

(b) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, sepeti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, Hipertensi
vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan Sindrom Cushing, foekromositoma, koarktasio aorta, dan Hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.[11]

(3) Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko Hipertensi antara lain :

(a) Faktor genetik (tidak dapat dimodifikasi) :


1) Usia, hipertensi umumnya berkembang antara 35 – 55 tahun

2) Etnis, etnis Amerika keturunan Afrika menempati risiko tertinggi terkena Hipertensi

3) Keturunan, beberapa peneliti meyakini bahwa 30-60% kasus

Hipertensi adalah diturunkan secara genetis.

(b) Faktor lingkungan (dapat dimodifikasi)

1) Diet, makanan dengan kadar garam tinggi dapat meningkatkan tekanan darah seiring dengan bertambahnya usia.

2) Obesitas/kegemukan, tekanan darah meningkat seiring dengan peningkatan berat badan.

3) Merokok, dapat meningkatkan tekanan darah dan cenderung terkena penyakit jantung koroner. Peningkatan tekanan darah ditunjang oleh pemekatan darah dan
penyempitan pembuluh darah perifer akibat dari kandungan bahan kimia, terutama gas karbon monoksida dan nikotin serta zat kimia lain yang terdapat didalam
rokok 4) Kondisi penyakit lain, seperti diabetes melitus tipe 2 cenderung meningkatkan risiko peningkatan tekanan darah 2 kali lipat.[17]

(4) Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi sistolik terisolasi adalah Hipertensi dengan tekanan sistolik sama atau lebih dari 160 mmHg, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90%. Keadaan ini
berbahaya dan memiliki peranan sama dengan Hipertensi diastolik, sehingga harus diterapi.[11]

(5) Gejala dan


Tanda-tanda Penyakit Hipertensi

Gejala-gejala penyakit Hipertensi yaitu sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita
Hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal. Jika Hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala sebagai
berikut: sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak napas, dan gelisah.[5]

Pengobatan

Tujuan pengobatan Retinopati Hipertensi (Hypertensive retinopathy) adalah untuk menurunkan tekanan darah. Ketika tekanan darah tinggi adalah berat dan
mengancam nyawa, pengobatan kemungkinan diperlukan segera untuk menyelamatkan penglihatan dan menghindari komplikasi lain, termasuk stroke, gagal
jantung, gagal ginjal, dan serangan jantung.[15]

B. Faktor Risiko

Faktor yang diperkirakan penting dalam perkembangan retinopati termasuk :

1 Lama menderita diabetes mellitus : 80% mengalami retinopati setelah 20 tahun menderita diabetes mellitus.

Lama menderita DM adalah berapa tahun pasien menderita penyakit DM sejak diketahui pertama kali sampai saat ini.

Diabetes mellitus tak terkontrol

DM tak terkontrol adalah DM yang tidak terkendali sehingga dari pemeriksaan gula darah yang dilakukan rutin setiap bulan tidak stabil sehingga hasilnya naik
turun dan tidak normal.

Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah yang lebih dari normal yaitu sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat anti
hipertensi. Retinopati dapat menjadi agresif selama kehamilan, setiap wanita diabetes yang hamil harus diperiksa oleh ahli optalmologi/ dokter mata pada trimester
pertama dan kemudian paling sedikit setiap 3 bulan sampai persalinan.[8,11,18]

Pendahuluan

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronik yang banyak diderita di seluruh dunia. Prevalensi penderita DM mencapai angka 2,8% atau sebanyak 171 juta
penderita di seluruh dunia pada tahun 2000. Angka prevalensi ini diperkirakan meningkat menjadi 4,4% atau 366 juta penderita pada tahun 2030.1Indonesia
menempati urutan ke-4 di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat sebagai negara dengan penderita DM sebesar 8,4 juta pada tahun 2000, dan diperkirakan
akan meningkat menjadi 21,3 juta penderita pada tahun 2030.1
Penderita DM dapat mengalami berbagai macam komplikasi akibat kelainan vaskular. Komplikasi yang terjadi dibagi menjadi makrovaskular dan mikrovaskular.
Kelainan makrovaskular dapat mengakibatkan terjadinya penyakit kardiovaskular, penyakit serebrovaskular dan kelainan pembuluh darah perifer. Komplikasi
mikrovaskular meliputi diabetik neuropati, diabetik nefropati dan retinopati diabetik (RD).2

Gangguan mikrovaskular pada retina disebabkan oleh keadaan hiperglikemia pada pembuluh darah. Keadaan hiperglikemia pada darah menyebabkan terjadinya
kerusakan endotel. Selain itu terjadi kehilangan perisit dan penebalan membran basal dari pembuluh darah sehingga memicu terjadinya oklusi kapiler dan iskemi
pembuluh darah. Keadaan ini menyebabkan dekompensasi fungsi endotel sebagai sawar darah retina dan terjadi edema retina.2-4 Prevalensi RD pada pasien
dengan DM tipe 1 dilaporkan sebesar antara 0-3%. Prevalensi pasien DM tipe 2 yang baru terdiagnosis didapatkan angka sebesar 6,7-3,2%.2 Penelitian oleh
Sya’baniyah dkk5 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo(RSCM) menunjukkan RD merupakan komplikasi DMpada organ mata terbanyak kedua (24.5%) setelah
katarak (47.7%).

Retinopati diabetik terbagi menjadi beberapa stadium, yaitu non proliferatif dan proliferatif.Non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) ditandai kelainan
mikrovaskular yang tidak melewati membrane limitan interna yang ditandai dengan adanya mikroaneurisma, area non perfusi kapiler, kerusakan nerve fibre layer,
intra retina mikrovaskular abnormalities (IRMAs), dot-blot intraretina hemorrhages, edema retina, hard exudates (HE), dan venous beading. Non proliferative
diabetic retinopathy dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. NPDR berat didefinisikan apabila memenuhi salah satu aturan 4:2:1 yaitu mikroaneurisma di 4
kuadran, atau venous beading di 2 kuadran, atau IRMAs di 1 kuadran.NPDR berat memiliki risiko progresifitas menjadi PDR sebesar 15% dalam 1 tahun. NPDR
sangat berat diklasifikasikan jika terdapat 2 atau lebih kriteria 4:2:1. NPDR sangat berat memiliki progresifitas menjadi PDR sebesar 45% dalam 1 tahun.3-4

Proliferative diabetic retinopathy (PDR) ditandai dengan adanya neovaskularisasi yang dipicu oleh keadaan iskemia. Neovascularization of the disk (NVD) dan
neovascularization elsewhere (NVE) merupakan tanda utama PDR. Neovaskularisasi dapat mencetuskan terjadinya perdarahan vitreus dan hifema spontan.
Neovaskularisasi yang terjadi di sudut bilik mata dapat mengakibatkan glaukoma sekunder.4

Diagnosis RD dapat ditegakkan melalui beberapa cara. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis RD antara lain dengan pemeriksaan
biomikroskopi, angiografi floresen, ultrasonografi dan Optical Coherence Tomography (OCT). Pemeriksaan OCT merupakan pemeriksaan yang bersifat
noninvasif dan pada pemeriksaan ini dapat diperoleh gambaran potong lintang (cross sectional) retina serta dapat menilai ketebalan makula secara kuantitatif. 6-8

Dikenal beberapa cara untuk penatalaksanaan RD antara lain fotokoagulasi laser, steroid intravitreal, tindakan vitrektomi dan pemberian anti-Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF) intravitreal. Tujuan penatalaksanaan tersebut adalah untuk mengatasi edema makula, mencegah berkembangnya RD menjadi tingkat
keparahan lebih lanjut dari non proliferatif menjadi proliferatif, terjadinya glaukoma neovaskular serta mencegah kebutaan. 6-8

Panretinal photocoagulation (PRP) merupakan terapi baku emas pada proliferative diabetic retinopathy (PDR) dan severe nonproliferative diabetic retinopathy
(NPDR)berdasarkanDiabetic Retinopathy Study (DRS).6 Studi yang dilakukan oleh DRS menunjukkan bahwa pada kelompok dengan PRP didapatkan penurunan
angka severe visual loss (SVL) sebesar 50%.7Teknik laser yang digunakan pada DRS yaitu 1200 tembakan atau lebih dengan ukuran 500 μm yang berjarak
setengah diameter lesi antara dua tembakan dan dibagi dalam 2 atau lebih sesi PRP dengan menggunakan laser argon 514 nm.8

Efek utama dari fotokoagulasi laser pada retinopati diabetik yaitu meningkatkan tekanan oksigen pada lapisan retina bagian dalam. Laser yang ditembakkan akan
diserap oleh pigmen melanin di lapisan retinal pigment epithelium (RPE) dan menyebabkan efek koagulasi pada sel RPE dan fotoreseptor di dekatnya.9 Kematian
sel RPE dan fotoreseptor akan mengurangi konsumsi oksigen pada lapisan retina luar dan memberikan jalan pintas bagi oksigen pada daerah pembuluh darah
koroid berdifusi langsung menuju lapisan retina dalam. Peningkatan tekanan oksigen akan mengakibatkan penurunan VEGF10 dan vasokonstriksi arteriol.11
Penurunan VEGF dan vasokonstiksi arteriol akan menyebabkan penurunan proliferasi endotel yang pada akhirnya mengurangi neovaskularisasi.12

Steroid intravitreal pada beberapa penelitian sering digunakan secara intravitreal untuk mengatasi edema makula pada retinopati diabetik. Kelompok kortikosteroid
yang digunakan yaitu triamcinolone acetonide, dexamethasone, dan fluocinolone acetonide. Namun pemberian injeksi intravitreal steroid ini sering diikuti dengan
komplikasi okular seperti katarak, peningkatan tekanan intra okular bahkan dapat mengakibatkan peningkatan risiko terjadinya endoftalmitis.13

Tindakan pembedahan vitrektomi diindikasikan pada kasus tractional retinal detachment, perdarahan vitreus yang menetap, perdarahan pre makular dan edema
makula yang diakibatkan vítreomacular traction. Tindakan ini juga memberikan akses untuk melakukan tindakan laser fotokoagulasi pada keadaan kekeruhan
vitreus akibat terjadinya perdarahan vitreus.14

Sekarang banyak penatalaksanaan dan penelitian klinik tentang pemberian anti VEGF pada penatalaksanaan retinopati diabetik dengan cara menghambat
progresivitas retinopatia diabetik dan meningkatkan tajam penglihatan dengan mengatasi edema makula. Ada beberapa anti VEGF yang biasa digunakan pada
penatalaksanaan dan penelitian tersebut antara lain ranibizumab (Lucentis; Genentech, South San Francisco, CA) dan aflibercept (Eylea; Regeneron, Tarrytown,
NY). Bevacizumab (Avastin; Genentech, South San Francisco, CA), yang digunakan pada terapi kanker kolon juga biasanya digunakan secara off-label dalam
tatalaksana edema makula.15

Tinjauan kasus ini bertujuan untuk menunjukkan modalitas terapi pada retinopati diabetik dan peran skrining retinopati diabetik.

Kasus

Pasien perempuan berusia 50 tahun datang ke poliklinik mata Rumah Sakit Abdoel Moeloek, Bandar Lampung dengan keluhan mata kanan dan kiri buram secara
perlahan sejak 6 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan terdapat bayangan hitam yang menutupi mata kiri pasien yang makin lama makin memberat. Tidak
didapatkan mata merah ataupun nyeri pada kedua mata. Pasien dengan riwayat diabetes mellitus sejak 4 tahun yang lalu dengan kadar gula darah yang tidak
terkontrol. Pasien juga memiliki riwayat darah tinggi dan hiperkolesterol. Pasien tidak pernah ke dokter spesialis mata untuk memeriksakan matanya dan hanya
datang ke optik untuk membuat kaca mata. Tidak didapatkan riwayat trauma dan penggunaan obat-obat jangka panjang yang memiliki efek toksik di mata
(kortikosteroid, etambutol, klorokuin).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/90 mmHg. Pemeriksaan oftalmologi didapatkan tajam penglihatan mata kanan 6/30 tidak terkoreksi dengan
pinhole dan mata kiri 2 meter hitung jari tidak terkoreksi dengan pinhole. Pemeriksaan segmen anterior kedua mata dalam batas normal. Pada pemeriksaan
funduskopi mata kanandidapatkan gambaran mikroaneurisma di 4 kuadran (lebih dari 20 pada setiap kuadran), venous beading di 2 kuadran, flame shape
hemmorage, dan hard exudate di daerah makula serta NVE. Pada mata kanan didapatkan vitreus keruh, pre retinal hemmorage dan NVD. Tekanan intraokular
mata kanan sebesar 17 mmHg dan kiri sebesar 20 mmHg. Pasien didiagnosis dengan PDR pada kedua mata disertai dengan perdarahan vitreus pada mata kiri.

Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan laser fotokoagulasi panretinal dan fokal laser/intravitreal anti VEGF untuk mata kanan dan vitrektomi dengan
endolaser pada mata kiri.

Pembahasan

Pasien tersebut diatas didiagnosis dengan PDR dengan ditandai adanya neovaskularisasi pada kedua mata. Menurut penelitian ETDRS, peningkatan progresivitas
dari retinopati diabetik terjadi akibat kontrol gula darah yang tidak baik dengan parameter HbA1c yang lebih dari 7 %, tekanan darah yang tinggi dan keadaan
hiperkolesterolemia.1-4 Ketiga faktor risiko tersebut dialami oleh pasien ini sehingga terjadi progresivitas penyakit yang cepat.
Retinopati diabetik merupakan keadaan penyakit yang dapat dicegah untuk menghindari terjadinya kebutaan. Skrining untuk mendeteksi fase awal dari NPDR
penting untuk menghindari terjadinya PDR.6-9 Pada pasien ini tidak pernah dilakukan pemeriksaan fuduskopi mata dengan dilatasi pupil selama menderita DM.
Tenaga kesehatan berperan penting dalam menginformasikan dan merujuk pasien untuk dilakukan skrining retinopati diabetik. Penelitian yang dilakukan di
Jakarta didapatkan data hanya 48% pasien yang mendapatkan edukasi dan anjuran untuk memeriksakan mata ke dokter mata.16 Penelitian lain yang dilakukan di
pusat kesehatan primer di Bandar lampung didapatkan 30% pasien DM yang mengikuti program PROLANIS menderita NPDR dan 90% M Yusran l Retinopati
Diabetik: pasien DM belum pernah mendapatkan pemeriksaan fundus dengan dilatasi pupil.

Tatalaksana retinopati diabetik pada pasien ini yaitu tindakan laser fotokoagulasi dan bedah vitrektomi. Saat ini di RSAM belum ada fasilitas laser fotokoagulasi
sehingga pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan lain. Modalitas terapi yang akan dapat dilakukan saat ini adalah bedah vitrektomi. Poliklinik mata RSAM telah
mengusulkan untuk pembelian laser fotokoagulasi. Alat dignostik foto fundus, USG mata dan OCT juga direncanakan untuk dilengkapi.

Simpulan

Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular pada DM. Penegakan diagnosis retinopati diabetik sedini mungkin perlu dilakukan melalui
upaya skrining rutin pada pasien DM. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis antara lain pemeriksaan biomikroskopi, angiografi
floresen, ultrasonografi dan Optical Coherence Tomography (OCT).Terdapat beberapa upaya tata laksanaRD, yaitu fotokoagulasi laser, steroid intravitreal,
tindakan vitrektomi dan pemberian anti-Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) intravitreal.

Sumber: M Yusran l Retinopati Diabetik: Tinjauan Kasus Diagnosis dan Tatalaksana JK Unila | Volume 1 | Nomor 3 | 2017 | 578 Retinopati Diabetik: Tinjauan
Kasus Diagnosis dan Tatalaksana

d
d

D
Sumber: CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi PB IDI–4 SKP katarina_elvira@hotmail.com Retinopati Diabetes Elvira, Ernes Erlyana
Suryawijaya RSU Kabupaten Kerinci, Jambi, Indonesia, CDK-274/ vol. 46 no. 3 th. 2019

Anda mungkin juga menyukai