1. Mengapa pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri yang dijalarkan ke epigastrium?
2. Mengapa keluhan pada pasien disertai sesak nafas?
3. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik? (KU lemah, apatis; td 110/50 mmhg;nadi 115x/menit;RR 28x/menit;SpO2 97%)
4. Mengapa dokter jaga melakukan pengelolaan awal dengan memberikan O2 3 L/menit via kanul dan aspirin 80mg sublingual?
5. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari kasus di scenario?
6. Bagaimana interpretasi EKG dari scenario?
7. Bagaimana teknik untuk melakukan resusitasi jantung paru?
8. Mengapa setelah diberikan terapi oleh dokter jaga, kondisi pasien malah memburuk?
PEMBAHASAN
1. Mengapa pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri yang dijalarkan ke epigastrium?
1. Kardial
a. Iskemik miokard akan menimbulkan rasa tertekan atau nyeri substernal yang menjalar ke aksila dan turun ke bawah ke
bagian dalam lengan terutama lebih sering ke lengan kiri. Rasa nyeri juga dapat menjalar ke epigasterium, leher, rahang,
lidah, gigi, mastoid dengan atau tanpa nyeri dada substernal.
Nyeri disebabkan karena saraf eferan viseral akan terangsang selama iskemik miokard, akan tetapi korteks serebral tidak
dapat menentukan apakah nyeri berasal dari miokard. Karena rangsangan saraf melalui medula spinalis T1-T4 yang juga
merupakan jalannya rangsangan saraf sensoris dari sistem somatis yang lain. Iskemik miokard terjadi bila kebutuhan 02
miokard tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah koroner. Pda penyakit jantung koroner aliran darah ke jantung akan
berkurang karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner.
Ada 3 sindrom iskemik yaitu :
- Angina stabil ( Angina klasik, Angina of Effort) :
Serangan nyeri dada khas yang timbul waktu bekerja. Berlangsung hanya beberapa menit dan menghilang
dengan nitrogliserin atau istirahat. Nyeri dada dapat timbul setelah makan, pada udara yang dingin, reaksi
simfatis yang berlebihan atau gangguan emosi.
- Angina tak stabil (Angina preinfark, Insufisiensi koroner akut) :
Jenis Angina ini dicurigai bila penderita telah sering berulang kali mengeluh rasa nyeri di dada yang timbul
waktu istirahat atau saat kerja ringan dan berlangsung lebih lama.
- Infark miokard :
Iskemik miokard yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menyebabkan infark miokard. Nyeri dada
berlangsung lebih lama, menjalar ke bahu kiri, lengan dan rahang. Berbeda dengan angina pektoris, timbulnya
nyeri dada tidak ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan bila tidak diobati berlangsung dalam beberapa jam.
Disamping itu juga penderita mengeluh dispea, palpitasi dan berkeringat. Diagnosa ditegakan berdasarkan
serioal EKG dan pemeriksa enzym jantung.
b. Prolaps katup mitral dapat menyebabkan nyeri dada prekordinal atau substernal yang dapat berlangsung sebentar
maupun lama. Adanya murmur akhir sisttolik dan mid sistolik-click dengan gambaran echokardiogram dapat membantu
menegakan diagnosa.
c. Stenosis aorta berat atau substenosis aorta hipertrofi yang idiopatik juga dapat menimbulkan nyeri dada iskemik.
2. Perikardikal
Saraf sensoris untuk nyeri terdapat pada perikardium parietalis diatas diafragma. Nyeri perikardila lokasinya di1daerah
sternal dan area preokordinal, tetapi dapat menyebar ke epigastrium, leher, bahu dan punggung. Nyeri bisanya seperti
ditusuk dan timbul pada aktu menarik nafas dalam, menelan, miring atau bergerak. Nyeri hilang bila penderita duduk dan
berdandar ke depan. Gerakan tertentu dapat menambah rasa nyeri yang membedakannya dengan rasa nyeri angina.
Radang perikardial diafragma lateral dapat menyebabkan nyeri epigastrum dan punggung seperti pada pankreatitis atau
kolesistesis.
3. Aortal
Penderita hipertensi, koartasio aorta, trauma dinding dada merupakan resiko tinggi untuk pendesakan aorta. Diagnosa
dicurigai bila rasa nyeri dada depan yang hebat timbul tiba- tiba atau nyeri interskapuler. Nyeri dada dapat menyerupai
infark miokard akan tetapilebih tajam dan lebih sering menjalar ke daerah interskapuler serta turun ke bawah
tergantung lokasi dan luasnya pendesakan.
4. Gastrointestinal
Refluks geofagitis, kegansan atau infeksi esofagus dapat menyebabkan nyeri esofageal. Neri esofageal lokasinya
ditengah, dapat menjalar ke punggung, bahu dan kadang – kadang ke bawah ke bagian dalam lengan sehingga seangat
menyerupai nyeri angina. Perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut distensi gaster kadang – kadang dapat
menyebabkan nyeri substernal sehingga mengacaukan nyeri iskemik kardinal. Nyeri seperti terbakar yang sering
bersama – sama dengan disfagia dan regurgitasi bila bertambah pada posisi berbaring dan berurang dengan antasid
adalah khas untuk kelainan esofagus, foto gastrointestinal secara serial, esofagogram, test perfusi asam, esofagoskapi
dan pemeriksaan gerakan esofageal dapat membantu menegakan diagnosa.
5. Mulkuloskletal
Trauma lokal atau radang dari rongga dada otot, tulang kartilago sering menyebabkan nyeri dada setempat. Nyeri
biasanya timbul setelah aktivitas fisik, berbeda halnya nyeri angina yang terjadi waktu exercis. Seperti halnya nyeri
pleuritik. Neri dada dapat bertambah waktu bernafas dalam. Nyeri otot juga timbul pada gerakan yang berputar
sedangkan nyeri pleuritik biasanya tidak demikian.
6. Fungsional
Kecemasan dapat menyebabkan nyeri substernal atau prekordinal, rasa tidak enak di dada, palpilasi, dispnea, using dan
rasa takut mati. Gangguan emosi tanpa adanya klealinan objektif dari organ jantung dapat membedakan nyeri fungsional
dengan nyeri iskemik miokard.
7. pulmonal
Obstruksi saluran nafas atas seperti pada penderita infeksi laring kronis dapat menyebakan nyeri dada, terutama terjadi
pada waktu menelan. Pada emboli paru akut nyeri dada menyerupai infark miokard akut dan substernal. Bila disertai
dengan infark paru sering timbul nyeri pleuritik. Pada hipertensi pulmoral primer lebih dari 50% penderita mengeluh
nyeri prekordial yang terjadi pada waktu exercise. Nyeri dada
merupakan keluhan utama pada kanker paru yang menyebar ke pleura, organ medianal atau dinding dada.
Peningkatan tekanan darah sistemik pada hipertensi menimbulkan peningkatan resistensi terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung ber-tambah, akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk meningkatkan kekuatan
kontraksi. Kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi dapat terlampaui; kebutuhan
oksigen yang melebihi kapasitas suplai pembuluh koroner menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat
sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan mene-kan fungsi miokardium.
Berkurangnya kadar oksigen memaksa miokardium meng-ubah metabolisme yang bersifat aerobik menjadi metabolisme
anaerobik. Metabolisme anaerobik lewat lintasan glikolitik jauh lebih tidak efisien apabila dibandingkan dengan metabolisme
aerobik melalui fosforilasi oksidatif dan siklus Krebs. Pembentukan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar. Hasil akhir
metabolisme anaerob, yaitu asam laktat, akan tertimbun sehingga menurunkan pH sel. Gabungan efek hipoksia, berkurangnya
energi yang ter-sedia, serta asidosis dengan cepat mengganggu fungsi ventrikel kiri. Kekuatan kontraksi daerah miokardium yang
terserang berkurang; serabut-serabutnya memendek, dan daya serta kecepatannya berkurang. Selain itu, gerakan dinding segmen
yang mengalami iskemia menjadi abnormal; bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi.
Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung mengubah hemodinamika. Perubahan hemo-dinamika bervariasi
sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia, dan derajat respon refleks kompensasi sistem saraf otonom. Menurunnya fungsi
ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung dengan berkurangnya curah sekuncup (jumlah darah yang dikeluarkan setiap kali
jantung berdenyut). Berkurangnya pengosongan ventrikel saat sistol akan memperbesar volume ventrikel. Akibatnya, tekanan
jantung kiri akan meningkat; tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan baji dalam kapiler paru-paru akan meningkat.
Peningkatan tekanan diperbesar oleh perubahan daya kembang dinding jantung akibat iskemia. Dinding yang kurang lentur
semakin mem-perberat peningkatan tekanan pada volume ventrikel tertentu Pada iskemia, manifestasi hemodinamika yang sering
terjadi adalah peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul nyeri. Jelas bahwa, pola ini merupakan respon
kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium. Dengan timbulnya nyeri sering terjadi perangsangan lebih lanjut
oleh katekolamin. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia cukup luas atau
merupakan suatu respon vagus. Iskemia miokardium secara khas disertai oleh dua perubahan elektrokardiogram akibat perubahan
elektrofisiologi selular, yaitu gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. Elevasi segmen ST dikaitkan dengan sejenis angina
yang dikenal dengan nama angina Prinzmetal. Serangan iskemi biasanya mereda dalam beberapa menit apabila
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik dan
elektrokardiografik yang terjadi semuanya bersifat reversibel.Penyebab infark miokardium adalah terlepasnya plak arteriosklerosis
dari salah satu arteri koroner dan kemudian tersangkut di bagian hilir sehingga menyumbat aliran darah ke seluruh miokardium
yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut. Infark miokardium juga dapat terjadi jika lesi trombotik yang melekat di arteri menjadi
cukup besar untuk menyumbat total aliran ke bagian hilir, atau jika suatu ruang jantung mengalami hipertrofi berat sehingga
kebutuhan oksigen tidak dapat terpenuhi. Guyton, Fisiologi kedokteran
3
4
5
6
7
Sumber: Dapamede, et al.Neural Pain Pathway Tracing of RabbitIschemic Heart12RESEARCH ARTICLEPENELUSURAN
JARAS NYERI DADA PADA KELINCI DENGAN ISKEMIA MIOKARDMENGGUNAKAN DOUBLE-RETROGRADE
NEUROTRACING, MNJ, Vol.01, No.01, Januari 2015
Pengertian
- ST Elevasi Miokardial Infark(STEMI) merupakan suatu kondisi yang mengakibatkan kematian sel miosit jantung
karena iskhemia yang berkepanjangan akibat oklusi koroner akut (Black & Hawk, 2005).
- STEMI terjadi akibat stenosis total pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan nekrosis sel jantung yang
bersifat irreversible(Brown & Edwars,2005).
Patofisiologi
- Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam
darah. Permukaan sel endotel yang semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel dan
masukkelapisan dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin banyak akan membuat lapisan pelindung arteri
perlahan-lahan mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa lama jaringan penghubung yang
menutupi daerah itu berubah menjadi jaringan sikatrik, yangmengurangi elastisitas arteri. Semakin lamasemakin
banyak plaque yang terbentuk danmembuat lumen arteri mengecil.
- STEMI umumnya terjadi jika alirandarah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
- Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADPepinefrin danserotonin) memicu aktivasi
trombosit,selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktorlokal yang poten).
Aktifitas trombosit juga akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X sehingga
menkonversi protombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade
koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh trombus sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara mendadak
dan mengakibatkan STEMI(Black & Hawk, 2005; Lily, 2008; Libby,2008 & Alwi, 2006).
- Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidakmemicu STEMI karena
berkembangnyabanyak kolateral sepanjang waktu. (Black &Hawk, 2005; Libby, 2008 & Alwi, 2006).
- Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis mengalami fisura, rupture atau ulserasi dan jika
kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner.
- Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus,yangdipercaya menjadi alasan pada
STEMImemberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Arteriosklerosis merupakan suatu proses pengerasan (kaku) pada pembuluh darah arteri, sedangkan aterosklerosis mengacu
pada penumpukan lemak, kolesterol dan zat-zat lain di dalam dan di dinding arteri yang dapat membatasi aliran darah
Sumber: Idea Nursing JournalDevi DarlianaISSN : 2087-287914MANAJEMEN PASIEN ST ELEVASI MIOKARDIAL
INFARK (STEMI)ST Elevasi Myocardial Infark (STEMI) Patient ManagementDevi Darliana1Bidang Keilmuan
KeperawatanMedikal Bedah,ProgramStudiIlmuKeperawatan,FakultasKedokteran,UniversitasSyiahKuala, Banda Aceh.
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan publik yang bermakna di negara industri, dan mulai
menjadi bermakna di negara-negara sedang berkembang.1 Di Amerika Serikat, 1,36 juta pe-nyebab rawat inap adalah kasus
SKA, 0,81 juta di antaranya adalah kasus infark miokardium, sisanya angina tidak stabil.2,3Sebelum era fi brinolitik,8 infark
miokardium dibagi menjadi Q-wave dan non Q-wave. Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran elektrokardiogram
(EKG) yang terjadi pada beberapa hari setelah serangan. Infark miokar-dium tipe Q-wave menggambarkan adanya in-fark
transmural. Sedangkan infark non Q-wavemenggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan subendokardium.7 Pada
saat ini, istilah yang dipakai adalah STEMI (ST elevation myocardial infarction), NSTEMI (non ST elevation myocardial
infarction), dan angina pektoris tidak stabil; ketiganya merupakan suatu spektrum klinis yang disebut sindrom koroner
akut.4,5 Ke-tiganya mempunyai dasar patofi siologi yang sama, hanya berbeda derajat keparahannya.Adanya elevasi segmen
ST pada EKG meng-gambarkan adanya oklusi total arteri koroner yang menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir
seluruh lapisan dinding jantung. Pada NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil terjadi oklusi parsial arteri koroner. Keduanya
mempunyai gejala klinis dan patofi siologi se-rupa, tetapi berbeda derajat keparahannya. Di-agnosis NSTEMI ditegakkan jika
iskemi cukup parah sehingga menyebabkan nekrosis sel-sel miokardium; hal ini menyebabkan pelepasan biomarker dari sel-
sel miokardium (Troponin T atau I, atau CKMB) menuju ke sirkulasi. Se-baliknya, pada pasien dengan angina pektoris tidak
stabil tidak didapatkan peningkatan bio-marker tersebut di sirkulasi.2,4,6
9
PEMBENTUKAN PLAK ATEROSKLEROTIK
Pada saat ini, proses terjadinya plak ateroskle-rotik dipahami bukan proses sederhana ka-rena penumpukan kolesterol, tetapi
telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses infl amasi juga berperan penting. Proses pem-bentukan plak dimulai
dengan adanya dis-fungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-
sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah.3
1. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel
- Aterosklerosis merupakan proses pemben-tukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang.
- Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA.
- Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu
o kerusakan endotel,
o mi-grasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima,
o respons inflamatorik, dan
o pembentukan kapsul fibrosis.
- Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain
o hiper-tensi,
o hiperkolesterolemia,
o diabetes, dan
o me-rokok.
o Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel.
- Faktor-faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusak-an endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. 10
Disfungsi endotel meme-gang peranan penting dalam terjadinya pro-ses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan
proses infl amasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan
pertumbuhan plak.2,6Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut2:
a. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit ok-sida (vasodilator kuat ) dan produksi endothelin-1 (vasokonstriktor kuat)
yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler
b. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel
pembu-luh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM-1])2,8
c. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.
11
3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami rupture
- Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi.
- Per-bandingan antara sel otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan
kecenderungan untuk mengalami ruptur.
- LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons infl amasi oleh makrofag. Respons infl amasi ini memberikan
umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika in-tima, yang selanjutnya mengalami
modifi kasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimu-lasi akan memproduksi matriks metaloprotei-nase
yang mendegradasi kolagen.
- Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fi brosis, merupakan subjek
apoptosis. Jika kapsul fi brosis meni-pis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah
terhadap zat-zat trom-bogenik pada plak. Hal ini menyebabkan ter-bentuknya bekuan. Proses proinflamatorik
ini menyebabkan pembentukan plak dan insta-bilitas.
- Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan men-dukung stabilitas plak. Sitokin
seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses infl amasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang
seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lu-men pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami
ruptur8 (Gambar 5).
-
4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA
- Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkem-bang perlahan-lahan seiring berjalannya wak-tu.
- Kebanyakan akan tetap stabil.
- Gejala mun-cul bila stenosis lumen mencapai 70-80%.
- Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik.
- Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen.
- Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.
- Beberapa penelitian menunjuk-kan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fi brosa yang tipis, dan infl amasi dalam
12 plak
merupa-kan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi en-dotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebab-kan adhesi trombosit yang diikuti
aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terben-tuk thrombus Trombosit berperan dalam proses
hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem
koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem
hemostasis primer yang di-mediasi trombosit.6 Proses hemostasis primer maupun sekunder bisa dilihat pada gambar
6. Ada 2 macam trombus yang dapat terben-tuk2:
a. Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya menyebabkan oklusi sebagian.
b. Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fi brin. Terbentuk karena akti-vasi kaskade koagulasi dan
penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuper-imposisi dengan trombus putih, me-nyebabkan terjadinya
oklusi total.
14
15
Sumber: Lecture Notes: Kardiologi, Edisi Keempat, Huon H. Gray dkk, 2002, Penerbit Erlangga halaman 136-137
16
3. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik? (KU lemah, apatis; td 110/50 mmhg;nadi 115x/menit;RR 28x/menit;SpO2 97%)
SYOK KARDIOGENIK
17
tekanan baji kapiler paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP)
18
19
20
21
SYOK KARDIOGENIK
Sari Harahap, Naomi Dalimunthe, Rahmat Isnanta, Zainal Safri, Refli Hasan, Guntur Ginting Divisi Kardiologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU, RSUP H. Adam Malik
Pendahuluan
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan perfusi sistemik pada kondisi volume
intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia jaringan. Istilah syok kardiogenik ini pertama sekali disampaikan
oleh Stead (1942) dimana saat itu dilaporkan 2 orang pasien yang disebutkan mengalami “syok yang diakibatkan oleh jantung
1
(shock of cardiac origin)”. Belakangan istilah ini kemudian berubah menjadi syok kardiogenik.
Gambaran yang esensial dari syok kardiogenik adalah adanya hipoperfusi sistemik yang menyebabkan hipoksia
jaringan dengan bukti volume intravaskular yang adekuat. Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah adanya hipotensi
22
yang berkepanjangan dengan batasan/cut-off points tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik adalah < 90 mmHg selama
sekurangnya 30-60 menit atau mean arterial pressure < 30 mmHg dari baseline dengan indeks kardiak yang berkurang (< 2,2
2
L/menit/m ) dan tekanan baji kapiler paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP) > 15 mmHg.
- Syok kardiogenik
Respon neurohormonal dan reflex adanya hipoksia akan menaikan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, serta
kontraktilitas miokard. Kondisi diatas akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, sehingga makin
memperburuk keadaan dimana sebelumnya perfusi miokard telah menurun. Efek selanjutnya adalah
penurunan curah jantung, penurunantekanan darah, dan jika indeks jantung telah kurang dari 1,8 L/menit/m2
maka terjadilah syok kardiogenik tersebut.
(1) kehilangan darah dalam jumlah besar seperti pada perdarahan (syok hipovolemik);
(2) kegagalan jantung yang telah melemah untuk memompa darah secara adekuat (syok kardiogenik);
(3) vasodilatasi arteriol luas (syok vasogenik) yang dipicu oleh bahan-bahan vasodilator (seperti pelepasan histamin
dalam jumlah besar pada reaksi alergi berat); atau
(4) tonus vasokonstriktor yang mengalami gangguan dari segi neural (syok neurogenik) (Gambar 10-39).
Ada suatu keadaan yang merupakan kelanjutan dari kegagalan ventrikel kiri yakni “syok kardiogenik non hipotensif”.
Secara definisi pasien ini memiliki tanda-tanda klinis dari hipoperfusi periferal seperti yang telah dijelaskan diatas namun
dengan tekanan darah sistolik > 90mmHg tanpa dukungan vasopresor. Hal ini sering terjadi pada kejadian infark miokard di
dinding anterior yang ekstensif. Mortalitas selama rawatan pada pasien seperti ini cukup tinggi meskipun tidak setinggi yang
terjadi pada syok kardiogenik bentuk klasik. Oleh karena itu, diagnosis syok kardiogenik dapat ditegakkan pada pasien dengan
tekanan darah >90mmHg dengan ketentuan sebagai berikut (1) jika parameter hemodinamik merupakan hasil dukungan dari
medikasi dan/atau alat-alat pendukung. (2) adanya tanda-tanda hipoperfusi sistemik dengan curah jantung yang rendah namun
dengan tekanan darah yang masih dapat dipertahankan dengan vasokonstriksi, serta (3) jika tekanan sistemik rata-rata (MAP) <
1
30mmHg dari tekanan darah baseline pada kasus pasien dengan hipertensi.
80% syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan ventrikel akibat infark miokard akut. Sedangkan sisanya akibat
regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal jantung kanan predominan dan ruptur dinding atau
5
tamponade.
Pasien-pasien dengan syok kardiogenik biasanya datang dengan adanya tanda-tanda hipoperfusi sistemik, termasuk
perubahan status mental, kulit dingin, dan/atau oliguria. Keberadaan ronchi basah basal (rales) yang merupakan penanda
adanya edema paru, bisa ada namun bisa juga tidak. Edema paru tidak ditemukan pada 30% pasien-pasien syok kardiogenik
melalui pemeriksaan auskultasi dan radiografi toraks. Pengukuran tekanan darah dengan cara biasa sering tidak akurat pada
1
keadaan syok, oleh karena itu penentuan tekanan darah intra- arterial lebih tepat dimonitor dengan kanula intra-arterial.
Pada keadaan syok, hipoperfusi yang terjadi pada miokardium dan jaringan perifer akan mendorong terjadinya
metabolisme anaerobik sehingga dapat menyebabkan asidosis laktat. Keadaan hiperlaktatemia ini dapat dipertimbangkan
sebagai petanda adanya hipoperfusi dan dapat menjadi informasi tambahan terhadap hasil pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
tekanan darah yang mungkin kurang meyakinkan bergantung dari status syok. Akumulasi asam laktat dapat menyebabkan
edema mitokondrial, degenerasi serta deplesi glikogen. Hal ini dapat mengganggu fungsi miokardium dan menghambat
glikolisis. Akhir dari proses ini adalah kerusakan yang ireversibel pada miokard akibat iskemik. Nilai laktat serum sangat
penting sebagai suatu faktor prognostik pada syok kardiogenik. Pada suatu analisa multivariat, nilai laktat >6,5 mmol/L pada
pasien-pasien syok kardiogenik merupakan suatu prediktor independen yang sangat kuat terhadap mortalitas selama masa
rawatan di rumah sakit [odds rasio (OR) 295, P < 0,01] meski setelah di sesuaikan dengan usia, jenis kelamin, riwayat
1
hipertensi, dan riwayat diabetes.
Sejalan dengan parameter metabolik, data hemodinamik juga sangat bermanfaat untuk
diagnostik serta penilaian prognostik pada pasien syok kardiogenik. Ada beberapa perbedaan dalam definisi syok kardiogenik
pada beberapa uji klinik. Namun kebanyakan studi mendefinisikan syok kardiogenik sebagai suatu keadaan dimana tekanan
darah sistolik <90 mmHg selama sekurangnya 30-60 menit dimana : (1) tidak respon dengan pemberian tunggal terapi cairan;
(2) akibat sekunder dari disfungsi jantung; (3) memiliki hubungan dengan tanda- tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2
2
L/mnt/m dan tekanan baji arteri pulmonalis (PCWP)
>15mmHg. Beberapa studi telah menggunakan metode invasif untuk menilai hemodinamik sebagai kriteria diagnostik
bagi syok kardiogenik serta misalnya menurunnya secara drastis nilai curah jantung pada jantung kanan, serta pemeriksaan
indeks kardiak. Pada pasien-pasien dengan dukungan agen inotropik/vasopresor atau alat bantu sirkulasi, indeks kardiak 2,2-2,5
2
L/mnt/m dapat dipertimbangkan menjadi cut point. Sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan dukungan agen
21
inotropik/vasopresor atau alat bantu sirkulasi, cut off pointnya 1,8-2,2 L/mnt/m . Saat ini, dengan semakin luasnya penggunaan
echocardiography, maka penentuan fungsi jantung melalui kateterisasi jantung kanan pada kasus syok kardiogenik semakin
berkurang yakni hanya sebesar 20,2% menurut analisa dari Euro Heart Survey ACS. Sedangkan evaluasi dengan
echocardiography dilakukan sebanyak 68%. Echocardiography dengan pencitraan dopler mampu secara bedside menilai
hemodinamik, fungsi jantung, keadaan katup-katup, serta 23
1
komplikasi mekanik sindrom koroner akut.
Syok utamanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan hemodinamik. Bukti klinis
adanya penurunan curah jantung yang disertai dengan hipoperfusi sistemik meskipun tekanan pengisiannya cukup mesti
ditemukan untuk mendiagnosa syok kardiogenik. Bila kateterasi jantung kanan dilakukan, nilai hemodinamik harus
menunjukkan adanya tekanan pengisian yang tinggi namun tekanan output yang rendah. Jika kateterisasi jantung kanan tidak
dilakukan, kombinasi pemeriksaan klinis, radiografi toraks, serta echocardiography harus secara jelas menunjukkan adanya
hipoperfusi sistemik, curah jantung yang rendah, serta meningkatnya tekanan atrium kiri/arteri pulmonalis dan atau tekanan
atrium kanan. Jika data yang didapat masih meragukan untuk menegakkan diagnosa, maka kateterisasi jantung kanan harus
1
dilakukan.
Etiologi
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada jantung seperti : disfungsi
sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit jantung koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka
kejadian ACS, maka ACS pun menjadi etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu,
banyak pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan, contohnya pemberian penyekat beta dan
penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak terpantau pada kasus ACS. Pada anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis
1,3
oleh karena infeksi virus, kelainan congenital dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung.
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni kegagalan Jantung kiri dan kegagalan
Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung kiri antara lain
: (1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang paling sering adalah infark miokard akut
khususnya infark anterior. Penyebab lainnya adalah hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan miokard
(penyekat beta, penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia), kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan
metabolic (asidosis metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati end-stage, bypass
kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas jantung, obat-obatan yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin,
adriamycin). (2) disfungsi diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang ventrikel kiri. Selain itu
dapat pula terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik. Hal-hal yang dapat menyebabkannya antara lain :
iskemik, hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik yang berlama-lama, kompresi
eksternal akibat tamponade jantung
(3) Peningkatan afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik,
koarktasio aorta, hipertensi maligna. (4) abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini dapat terjadi pada keadaan mitral
stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan aorta, obstruksi yang disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur
ataupun disfungsi otot-otot papilaris, ruptur septum dan tamponade. (5) Menurunnya kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada
keadaan, infark ventrikel kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis. Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai
peristiwa antara lain: (1) peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit pembuluh darah paru
(hipertensi arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak akhir ekspirasi,
fibrosis pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK. (2) Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok
kardiogenik. Sementara bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang disebabkan oleh etiologi lain. Sinus
1,3
takikardia dan takiaritmia atrial dapat menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut atau non-infark miokard seperti
berikut ini :
Infark miokard akut 24
Kegagalan pompa jantung
Infark luas, > 40% ventrikel kiri
Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat infark sebelumnya
Infark yang meluas
Reinfark
Komplikasi mekanik
Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda tendinea
Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum
intraventrikular
Ruptur dinding ventrikel kiri
Tamponade perikard
Infark ventrikel kanan
Kondisi lain
Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
Miokarditis
Syok septik dengan depresi miokard berat
Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
Stenosis aorta
Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
Stenosis mitral
Myxoma atrium kiri
Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
Insufisiensi katup aorta akut
Kontusio miokardial
2
Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang tidak mudah. Anamnese dan pemeriksaan
klinis dapat memberikan informasi penting dalam menentukan etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan utama pasien
yang masuk adalah nyeri dada, maka hal yang dapat diperkirakan adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau
tamponade perikard. Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka dapat dipikirkan kemungkinan adanya
ruptur septum ventrikel, ruptur otot-otot papillaris, penyakit akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada syok
1,3
kardiogenik merupakan suatu indikasi untuk segera dilakukan pemeriksaan echocardiography.
Patofisiologi
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system sirkulasi baik yang besifat temporer
maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau ventrikel kanan (akibat disfungsi miokardium) memompakan darah dalam
jumlah yang adekuat merupakan penyebab primer syok kardiogenik pada infark miokard akut (gambar 1). Akibatnya adalah
hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan ventrikel kiri merupakan bentuk
yang paling sering dari syok kardiogenik, namun bagian lain dari sistem sirkulasi juga ikut bertanggung jawab terhadap
gagalnya mekanisme kompensasi. Kebanyakan abnormalitas ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat,
8.9
fungsi jantung mungkin masih dapat dipertahankan.
Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua syok kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat
menurunnya volume sekuncup/stroke volume serta menurunnya indeks kardiak. Turunnya tekanan darah dapat dikompensasi
oleh peningkatan resistensi perifer yang diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin dan angiotensin
II. Namun demikian gabungan dari rendahnya curah jantung dan meningkatnya tahanan perifer dapat menyebabkan
berkurangnya perfusi jaringan. Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada arteri koroner dapat menyebabkan suatu
lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi miokardium, dan disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ serta kematian.
Hipotensi dan peningkatan tahanan perifer yang disertai dengan peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi ventrikel kiri
merupakan kelainan jantung primernya. Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kanan terjadi jika syok akibat kegagalan
pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark luas ventrikel kanan. Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK
25
trial menunjukkan pada beberapa pasien post MI, syok malahan disertai oleh vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi sebagai
akibat adanya respon inflamasi sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon inflamasi akut pada infark miokard berkaitan
dengan peningkatan konsentrasi sitokin. Aktivasi sitokin menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan meningkatkan
kadar NO sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan berkurangnya perfusi koroner dan sistemik. Sekuens ini
2,8
mirip dengan yang terjadi pada syok septik yang juga ditandai dengan adanya vasodilatasi sistemik.
26
Gambar 1. Patofisiologi Syok Kardiogenik. Gambaran Spiral syok, dimulai dari disfungsi ventrikel kiri dan berakhir dengan
kematian melalui kondisi iskemik dan disfungsi ventrikel kiri yang semakin progresif jika tidak diberikan intervensi
pengobatan. Alur spiral syok mendapat pengaruh negatif oleh (1) disfungsi sitolik dengan berkurangnya curah jantung dan
volume sekuncup sehingga menyebabkan terganggunya perfusi perifer dan hipotensi. (2) disfungi diastolic sehingga
menyebabkan hipoksemia dan kongesti paru, (3) munculnya sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang didorong oleh
nitrit oksida sintase endotel dan nitrit oksida sintase yang terinduksi (eNOS dan iNOS), interleukin-6 (IL-6), TNF-α, sehingga
menyebabkan berkurangnya tahanan perifer. Piihan terapi seperti PCI. CABG, LVADs, inotropik/vasopresor bertujuan untuk
membalikkan alur spiral syok diperlihatkan dengan garis warna hijau. Penghentian pengobatan akibat komplikasi perdarahan
serta peran SIRS diperlihatkan pada garis merah.2
Komplikasi kardiogenik syok antara lain: kardiopulmonari arrest, disritmia, gagal ginjal, gagal organ multipel,
aneurisma ventricular, tromboembolik, stroke, kematian. Prediktor mortalitas dapat diidentifikasi berdasarkan trial GUSTO-I
yakni : usia, riwayat infark miokard sebelumnya, perubahan kesadaran, kulit yang basah dan dingin serta oliguria. Temuan
echocardiogram sepert fraksi ejeksi ventrikular kiri, regurgitasi mitral, merupakan predictor independen terhadap mortalitas.
EF < 28% memilki persentase keselamatan 24% dalam 1 tahun, sedangkan EF > 28% persentase keselamatannya dalam
setahun mencapai 56%. Regurgitasi mitral sedang-berat memiliki persentase keselamatan dalam 1 tahun sebesar 31%
sedangkan tanpa regurgitasi mitral, persentase keselamatannya mencapai 58%. Dalam SHOCK trial, mortalitas syok
kardiogenik sangat menurun dengan tindakan revaskularisasi yang cepat dibandingkan dengan yang tidak ( 38% vs 70%).
Follow up jangkap panjang terhadap pasien syok kardiogenik yang menjalani revaskularisasi dini (ERV) dibandingkan dengan
3
stabilisasi kondisi medis (IMS) dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Follow up jangka panjang studi cohort SHOCK. ERV (early revascularization) memberikan keuntungan
dibandingkan IMS (initial medical stabilization)3
Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penilaian klinis yang lengkap sangat penting untuk
mendapatkan penyebabnya dan menetapkan sasaran terapi untuk mengatasi penyebabnya. Syok kardiogenik yang muncul
akibat infark miokard biasanya muncul setelah pasien masuk ke rumah sakit, namun demikian, sebagian kecil pasien datang ke
rumah sakit sudah dalam keadaan syok. Pada pasien terlihat tanda-tanda hipoperfusi (curah jantung yang rendah) yang terlihat
dari adanya sinus takikardia, volume urine yang sedikit, serta ekstremitas dingin. Hipotensi sistemik ( TDS < 90mmHg atau
3,10
turunnnya TD < 30 mmHg dari TD rata-rata) belakangan akan muncul dan meyebabkan hipoperfusi jaringan.
Kebanyakan pasien yang datang dengan infark miokard akut merasakan nyeri dada yang muncul tiba-tiba seperti
diperas atau ditimpa beban berat di substernal. Nyeri ini dapat menyebar hingga ke lengan kiri atau leher. Nyeri dada bisa saja
tidak khas, terutama jika lokasinya hanya di epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti terbakar, seperti
ditusuk-tusuk atau seperti ditikam. Bahkan nyeri bisa saja tidak dirasakan pada pasien-pasien diabetes dan usia tua. Gejala-
gejala autonomik lain bisa juga muncul seperti mual, muntah, serta berkeringat. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat
penggunaan kokain, riwayat infark miokard sebelumnya, atau riwayat pembedahan jantung sebelumnya perlu ditanyakan.
Faktor resiko penyakit jantung perlu dinilai pada pasien yang disangkakan mengalami iskemik miokardial. Evaluasinya antara
lain mencakup riwayat hiperlipidemia, hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, riwayat merokok, serta riwayat keluarga yang
mengalami penyakit jantung koroner premature. Keberadaan 2 atau lebih faktor resiko meningkatkan kecenderungan suatu
infark miokard. Gejala-gejala lain yang berkaitan antara lain : diaphoresis, sesak nafas saat beraktifitas, sesak nafas saat
3,11
beristrahat. Presinkop, sinkop, palpitasi, ansietas generalisata serta depresi.
Syok kardiogenik didiagnosa jika ditemukan adanya disfungsi miokardium setelah
mengeksklusikan penyebab lain yang mungkin misalnya hipovolemia, perdarahan, sepsis, emboli paru, tamponade perikard,
diseksi aorta atau penyakit katup jantung. Dikatakan syok jika terdapat bukti adanya hipoperfusi organ yang dapat dideteksi
pada pemeriksaan fisik. Adapun karakteristik pasien-pasien syok kardiogenik antara lain :
Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit dingin dan bisa muncul gambaran mottled skin
pada ekstremitas.
Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan irama yang tidak teratur jika terdapat aritmia
Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada namun tidak harus selalu. Edema perifer juga
biasanya bisa dijumpai.
Suara jantung terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV bisa terdengar
Tekanan nadi lemah dan pasien biasanya dalam keadaan takikardia
Tampak pada pasien tanda-tanda hipoperfusi misalnya perubahan status mental dan penurunan jumlah urine
Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan regurgitasi mitral, murmur biasanya terdengar di awal
sistol
3,11
Dijumpainya thrill parasternal menandakan adanya defek septum ventrikel. Diagnosa diferensial yang
3
mungkin dipikirkan pada kasus syok kardiogenik antara lain
Sepsis bakterial
Syok septik
Syok distributif
Syok hemoragik
Infark miokard
Iskemik miokard
Ruptur miokard
Miokarditis
Edema paru kardiogenik
Emboli paru
Penjajakan
Pemeriksaan Laboratorium
Seperti telah disampaikan sebelumnya, kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien syok kardiogenik adalah diagnosis
yang cepat, terapi suportif sesegera mungkin, serta revaskularisasi arteri koroner yang tepat pada kasus iskemik dan infark
miokard. Seluruh pasien yang datang dengan syok harus dijajaki untuk tujuan diagnosis kerja dengan cepat, resusitasi segera
dan konfirmasi selanjutnya terhadap diagnosa kerja. Selain pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pencitraan seperti
3
echocardiography, toraks foto, angiografi, elektrokardiografi serta monitoring hemodinamik invasif.
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap terutama berguna untuk mengeksklusikan anemia.
Peningkatan jumlah leukosit hitung menandakan kemungkinan adanya infeksi, sedangkan jumlah platelet yang rendah
mungkin disebabkan oleh koagulopati yang disebabkan oleh sepsis. Pemeriksaan biokimia darah termasuk elektrolit, fungsi
ginjal, fungsi hati, bilirubin, aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), laktat dehidrogenase (LDH),
dapat dilakukan untuk menilai fungsi organ-organ vital. Pemeriksaan enzim jantung perlu dilakukan termasuk kreatinin kinase
dan subklasnya, troponin, myoglobin, dan LDH untuk mendiagnosa infark miokard. Kreatinin kinase merupakan pemeriksaan
yang paling spesifik namun dapat menjadi positif palsu pada keadaan myopathy, hipotroidisme, gagal ginjal, serta injuri pada
otot rangka. Nilai myoglobin merupakan pemeriksaan yang sensitif pada infark miokard, nilainya dapat meningkat 4 kali lipat
dalam 2 jam. Nilai LDH dapat meningkat pada 10 jam pertama setelah onset infark miokard dan mencapai kadar puncak pada
24-48 jam, selanjutnya kembali ke kadar normal dalam 6-8 hari. Troponin T dan I banyak digunakan dalam mendiagnosa
infark miokard. Jika kadar troponin meningkat namun tidak dijumpai adanya bukti klinis iskemik jantung, maka harus segera
dicari kemungkinan lain dari kerusakan jantung misalnya miokarditis. Kadar troponin T meningkat dalam beberapa jam setelah
onset infark miokard. Kadar puncak dicapai dalam 14 jam setelah onset, mencapai kadar puncak kembali pada beberapa hari
setelah onset (kadar puncak bifasik) dan tetap akan menunjukkan nilai abnormal dalam 10 hari. Hal ini menyebabkan
kombinasi troponin T dan CK-MB menjadi parameter diagnostik retrospektif yang amat bermanfaat bagi pasien yang
datangnya terlambat dari onset penyakit. Troponin T juga merupakan suatu indikator prognostik independen sehingga dapat
digunakan sebagai stratifikator resiko pada pasien angina tidak stabil dan infark miokard gelombang non-Q. pemerksaan
analisa gas darah dapat melihat homeostasis asam basa secara keseluruhan serta tingkat oksigenasi darah di arteri. Peningkatan
defisit basa di darah berhubungan dengan keparahan syok dan sebagai marker dalam pemantauan selama resusitasi terhadap
pasien syok. Pemeriksaan laktat serial bermanfaat sebagai marker hipoperfusi dan indikator dari prognosis. Meningkatnya
kadar laktat pada pasien dengan adanya gejala hipoperfusi menunjukkan prognosis yang buruk. Meningkatnya kadar laktat
selama proses resusitasi menunjukkan mortalitas yang sangat tinggi. Kadar brain natriuretic peptide (BNP) berguna sebagai
pertanda adanya gagal jantung kongestif dan merupakan suatu indikator prognostik yang independen. Nilai BNP yang rendah
dapat menyingkirkan syok kardiogenik pada keadaan hipotensi. Namun demikian, nilai BNP yang meningkat tidak serta merta
dikatakan syok kardiogenik. Pemeriksaan saturasi oksigen juga bermanfaat khusunya dapat mendeteksi defek septum
3
ventrikel.
Pemeriksaan Pencitraan
Echocardiography : harus dilakukan secepatnya untuk menetapkan penyebab syok kardiogenik. Echocardiography
mampu memberikan informasi tentang fungsi sistolik global dan regional serta disfungsi diastolik. Selain itu, pemeriksaan ini
juga dapat mendiagnosa dengan cepat penyebab mekanik syok seperti defek septum ventrikel akut, ruptur dinding miokardium,
tamponade perikard, serta ruptur muskulus papilaris yang menyebabkan regurgitasi miokardial akut. Selain itu, dapat pula
ditentukan area yang mengalami diskinetik atau akinetik pada pergerakan dinding ventrikular atau dapat juga memperlihatkan
disfungsi katup-katup. Fraksi ejeksi juga dapat dinilai pada echocardiography. Jika ditemukan hiperdinamik pada ventrikel kiri,
3,5
maka penyebab lain harus ditelusuri seperti syok sepsis atau anemia.
Radiografi toraks : sangat penting dilakukan untuk mengeksklusikan penyebab lain syok atau nyeri dada.
Mediastinum yang melebar mungkin adalah suatu diseksi aorta. Tension pneumothorax atau pneumomediastinum yang mudah
ditemukan pada foto toraks dapat bermanifestasi syok dengan low-output. Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik
kebanyakan memperlihatkan gambaran kegagalan ventrikel kiri berupa redistribusi pembuluh darah peulmonal, edema paru
interstisial, bayangan hilus melebar, dijumpai garis kerley-B, kardiomegali serta effusi pleura bilateral. Edema alveolar tampak
3
pada foto toraks berupa opasitas perihilar bilateral (butterfly distribution).
Ultrasonografi : dapat menjadi panduan dalam manajemen cairan. Pada pasien yang bernafas spontan, vena kava
inferior yang kolaps saat respirasi menandakan adanya dehidrasi. Sedangkan jika tidak maka status cairan intravaskular adalah
3
euvolume.
Angiografi arteri koroner : perlu dilakukan segera pada pasien dengan iskemik atau infark miokard yang mengalami
syok kardiogenik. Angiografi penting untuk menilai anatomi arteri koroner dan tindakan revaskularisasi segera jika diperlukan.
Pada kasus dimana ditemukan kelainan yang luas pada angiografi, maka respon kompensasi berupa hiperkinetik tidak dapat
berlangsung akibat beratnya aterosklerosis arteri koroner. Penyebab tersering syok kardiogenik adalah infark miokard yang
3
luas atau infark yang lebih kecil pada pasien yang sebelumnya telah mengalami dekompensasi ventrikel kiri.
Elektrokardiografi
Iskemik miokard akut didiagnosa berdasarkan munculnya elevasi segmen ST, depresi segmen ST, gelombang Q.
Inversi gelombang T, meskipun paling tidak sensitif, dapat pula terlihat pada orang-orang dengan iskemik miokard. EKG pada
dada kanan dapat memperlihatkan adanya infark pada ventrikular kanan selain sebagai diagnostik juga dapat berguna sebagai
3,11
faktor prognostik. Hasil EKG yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan infark miokard akut.
Penatalaksanaan
Syok kardiogenik merupakan suatu kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan resusitasi sesegera mungkin
sebelum syok menjadi ireversibel dan merusak organ-organ vital. Kunci keberhasilan penatalaksanaan syok kardiogenik adalah
pendekatan yang terorganisir untuk mendapatkan diagnosis secara tepat dan cepat serta terapi farmakologik sesegera mungkin
untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung. Seluruh pasien syok kardiogenik harus dirawat di ruang perawatan
3
intensif.
Hipoperfusi sistemik berat yang terjadi dapat menyebabkan hipoksemia dan asidosis laktat yang dapat lebih jauh lagi
memperberat miokardium baik secara langsung maupun sebagai akibat dari berkurangnya respon sistemik terhadap vaspresor
seperti dopamin dan norepinefrin. Oleh karena itu, jika memungkinkan koreksi terhadap kondisi metabolik seperti yang
2
disebutkan diatas sangatlah penting.
Manajemen Hemodinamik
Kateterisasi arteri pulmonalis (Swan-Ganz) saat ini tidak begitu sering dilakukan karena adanya kontroversi dimana
disebutkan dalam suatu studi prospektif observasional bahwa kateterisasi arteri pulmonalis dapat memperburuk hasil
pengobatan. Saat ini penilaian klinis lebih banyak dilakukan dengan echocardiography. Melalui modalitas ini, tekanan sistolik
9
arteri pulmonalis dan tekanan baji dapat dihitung secara akurat dengan echocardiography dopler.
Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis sekecil mungkin yang memberi efek
terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan semakin kecil angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada kenyataan
bahwa keadaan penyakit yang mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri. Pemberian inotropik
merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun sayangnya dengan pemberian inotropik,
konsumsi ATP miokardium juga meningkat, sehingga perbaikan hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar
dengan peningkatan kebutuhan oksigen jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami kegagalan
ditambah lagi ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian inotropik dan vasopresor saat ini tetap dibutuhkan
untuk mempertahankan perfusi koroner dan sistemik sambil menunggu pemasangan IABP (Intra-aortic balloon pump) atau
sampai syok berhasil ditangani. Data yang membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen vasopresor masih sedikit.
Dopamine, norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor yang dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah
yang adekuat dan membantu memperbaiki tekanan perfusi pada hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri rata-rata
3,9
(MAP) yakni 60-65 mmHg.
Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat, inisiasi permberian
obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin,
epinefrin dan levosimendan Dosis reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min.
Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan sepsis dapat ditingkatkan hingga 3,3
mcg/kg/min. obat-obat inotropik antara lain : dobutamin dan fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10
mcg/kg/min. Dalam keadaan hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan, namun
dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik adalah dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan
3,5
klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70 mmHg).
Intra-aortic ballon pump merupakan terapi mekanik yang sudah sejak lama digunakan pada syok kardiogenik. IABP
dapat memperbaiki perfusi koroner dan perifer melalui deflasi balon pada saat sistole dan inflasi balon saat diastol sehingga
afterload menjadi sangat berkurang dan aliran ke koroner menjadi semakin baik. Namun tidak semua pasien dapat memberikan
respon hemodinamik terhadap pemasangan IABP, hal ini selanjutnya menjadi salah satu faktor prognostik. IABP semestinya
dilakuan secepatnya bahkan jika ada operator yang terlatih dan prosedur memungkinkan untuk dilakukan secepatnya, maka
IABP dapat dilakukan sebelum pasien dikirim untuk tidakan revaskularisasi. Komplikasi dari tindakan ini semakin jarang
9
sejalan dengan dengan kemajuan zaman yakni sebesar 7,2% untuk komplikasi secara keseluruhan dan 2,8%
Reperfusi
Reperfusi koroner dapat dilakukan dengan fibrinolisis, PCI (percutaneous coronary intervention), atai CABG
(coronary artery grafting baypass). Semakin cepat reperfusi dilakukan, maka hasil yang didapat semakin baik. Keuntungan
tindakan revaskularisasi dini pada syok kardiogenik jelas terlihat pada beberapa studi observasional terutama pada SHOCK
trial yakni sebesar peningkatan angka keselamatan pada 1 tahun pertama sebesar 13% pada pasien syok kardiogenik yang
menjalani reperfusi dini. ACC/AHA merekomendasikan dalam guideline agar revaskularisasi dilakukan pada pasien syok
kardiogenik dengan usia <75 tahun. Terapi trombolitik kurang efektif dibanding PCI namun dapat diindikasikan jika transport
pasien menuju sarana PCI tidak memungkinkan ataupun membutuhkan waktu yang lama dan jika onset infark miokard dan
syok kardiogenik terjadi dalam rentang waktu kurang dari atau sama dengan 3 jam. Waktu yang terbaik untuk PCI dini adalah
0-6 jam sejak onset. CABG diindikasikan pada pasien dengan oklusi pada arteri left main atau sembatan terjadi pada 3
pembuluh darah. Stenting dan pemberian obat golongan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor memperlihatkan peningkatan akan
2,9,12
keberhasilan pada beberapa studi. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik dapat dilihat pada gambar3.
Gambar 3. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik dari ACC/AHA guidelines ; IRA : infark related artery.
(circulation)
Bantuan Sirkulasi Total
Bantuan sirkulasi total mencakup pemasangan LVADs (Left ventricular assist devices) dan ECLS (Extra corporeal
life support). Prinsip kerja kedua alat ini adalah mengalirkan darah keluar dari ventrikel kiri dan memompakannya ke sistemik
sehingga memungkinkan jantung untuk istrahat, memulihkan miokard, memperbaiki kondisi neurohormonal, mencegah
hipotensi, iskemik dan disfungsi miokard. Namun pada prakteknya, aplikasi dari alat ini sangat terbatas karena komplikasi
9
yang disebabkan oleh alat itu sendiri serta adanya kerusakan organ yang ireversibel.
Kesimpulan
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan perfusi sistemik pada kondisi volume
intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia jaringan dimana TDS <90 mmHg selama sekurangnya 1
jam dimana :
(1) Tidak respon dengan pemberian tunggal terapi cairan
(2) Akibat sekunder dari disfungsi jantung
2
(3) Memiliki hubungan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2 L/mnt/m dan tekanan baji arteri
pulmonalis (PAWP) >15mmHg
Penyebab syok kardiogenik tersering adalah kegagalan ventrikel kiri akibat infark miokard akut
Mortalitas syok kardiogenik di era modern saat ini ≈ 50%
Revaskularisasi dini pada syok kardiogenik memberikan harapan hidup lebih baik dibandingkan stabilisasi kondisi
medis terlebih dahulu
Diagnosa syok kardiogenik dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan penunjang (radiografi toraks,
echocardiography dan data hemodinamik)
Manajemen syok kardiogenik meliputi penganan suportif (resusitasi dan ventilasi), manajemen hemodinamik
termasuk pemberian agen inotropik atau dan vasopresor, terapi farmakologi lain (aspirin, heparin, clopidogrel), terapi
mekanik (IABP), terapi reperfusi (fibrinolitik, PCI, CABG) serta alat bantu sirkulasi (LVADs dan ECLS).
Seluruh pasien syok kardiogenik harus dirawat di ruang intensif
Sumber:
Hochman JS, Ohman EM. Cardiogenic Shock. The AHA Clinical Series. Wiley-Blackwell. Januari 2009
Hochman JS, Ingbar D. Cardiogenic Shock and Pulmonary Edema ; in Kasper DL et al. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. McGraw-Hill inc. USA ; 2005
Alwi I, Nasution SA. Syok Kardiogenik. Dalam Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed kelima jilid I.
Interna Publishing. Jakarta ; November 2009
4. Mengapa dokter jaga melakukan pengelolaan awal dengan memberikan O2 3 L/menit via kanul dan aspirin 80mg sublingual?
Sumber: Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan sistem pernapasan, Arif Muttaqin, Salemba Medika,
halaman 250
METODE PEMBERIAN OKSIGEN
1. Sistem Aliran Rendah
a. Aliran rendah konsentrasi rendah
Kanul binasal
Dengan aliran 1-6 liter/menit, memberikan FiO2 24 – 44% dengan. Kadar yang dihasilkan tergantung pada besarnya aliran
dan volume tidal pernapasan pasien. Kadar oksigen bertambah 4% untuk setiap tambahan 1 liter/menit oksigen.
Keuntungan :
• Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju napas teratur
• Baik diberikan pada jangka waktu lama
• Pasien dapat bergerak bebas, makan, minum dan bicara
Kerugian :
• Dapat menyebabkan iritasi pada hidung, bagian belakang telinga tepat tali binasal
• FiO2 akan berkurang bila pasien bernapas dengan mulut
b. Aliran rendah konsentrasi tinggi
Sungkup muka sederhana (simple face mask)
Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring dan orofaring sebagai penyimpanan anatomik. Aliran diberikan 6
-10 liter/menit dengan FiO2 mencapai 60%.
Sungkup muka kantong rebreathing (rebreathing mask)
Aliran yang diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi oksigen mencapai 80%. Udara inspirasi sebagian bercampur
dengan udara ekspirasi. Sepertiga bagian volume ekshalasi masuk ke kantong, dua pertiga bagian volume ekshalasi melewati
lubang – lubang pada bagian samping.
Sungkup muka kantong non rebreathing (non rebreathing mask)
Aliran diberikan 8-12 liter/menit dengan FiO2 mencapai 100%. Udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi dan
tidak dipengaruhi oleh udara luar.
Kerugian penggunaan sungkup :
• Mengikat (sungkup terus melekat pada pipi / wajah pasien untuk mencegah kebocoran)
• Lembab
• Pasien tidak dapat makan, minum dan bicara
• Dapat terjadi aspirasi jika pasien muntah, terutama pada pasien tidak sadar
2. Sistem Aliran Tinggi
a. Aliran tinggi konsentrasi rendah
Sungkup venturi
Memberikan aliran yang bervariasi dengan konsentrasi oksigen berkisar 24-50%. Dipakai pada pasien dengan tipe ventilasi
yang tidak teratur. Alat ini digunakan pada pasien dengan hiperkarbi yang disertai hipoksemia sedang sampai berat.
b. Aliran tinggi konsentrasi tinggi
Head box
Sungkup CPAP (continuous positive airway pressure)
Sumber: Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut edisi 2013, ACLS Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PP-PERKI) 2013.
Mekanisme Aksi
Efektivitas penggunaan aspirin adalah berdasarkan kemampuannya menghambat enzim siklooksigenase
(cyclooxygenase/COX), yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, prostaglandin E2, dan
tromboksan A2. Aspirin hanya bekerja pada enzim siklooksigenase, tidak pada enzim lipooksigenase, sehingga tidak
menghambat pembentukan lekotrien (Roy, 2007). Tidak seperti AINS lainnya yang menghambat enzim secara kompetitif
sehingga bersifat reversibel, aspirin menghambat enzim COX secara ireversibel. Hal ini disebabkan karena aspirin
menyebabkan asetilasi residu serin pada gugus karbon terminal dari enzim COX, sehingga untuk memproduksi prostanoid
baru memerlukan sintesis enzim COX baru (Vane & Botting, 2003). Hal ini penting karena terkait dengan efek aspirin,
dimana durasi efek sangat bergantung pada kecepatan turn over enzim siklooksigenase (Roy, 2007).
Mekanisme kerja aspirin terutama adalah penghambatan sintesis prostaglandin E2 dan tromboksan A2. Akibat penghambatan
ini, maka ada tiga aksi utama dari aspirin, yaitu: (1) antiinflamasi, karena penurunan sintesis prostaglandin proinflamasi, (2)
analgesik, karena penurunan prostaglandin E2 akan menyebabkan penurunan sensitisasi akhiran saraf nosiseptif terhadap
mediator pro inflamasi, dan (3) antipiretik, karena penurunan prostaglandin E2 yang bertanggungjawab terhadap peningkatan
set point pengaturan suhu di hipotalamus (Roy, 2007).
Aspirin menghambat sintesis platelet melalui asetilasi enzim COX dalam platelet secara ireversibel. Karena platelet tidak
mempunyai nukleus, maka selama hidupnya platelet tidak mampu membentuk enzim COX ini. Akibatnya sintesis
tromboksan A2 (TXA2) yang berperan besar dalam agregasi trombosit terhambat. Penggunaan aspirin dosis rendah regular
(81 mg/hari) mampu menghambat lebih dari 95% sintesis TXA2 sehingga penggunaan rutin tidak memerlukan monitoring
(Harrison, 2007). Molekul prostaglandin I2 (PGI2) yang bersifat sebagai anti agregasi trombosit diproduksi oleh endothelium
pembuluh darah sistemik. Sel‐sel endotel ini mempunyai nukleus sehingga mampu mensintesis ulang enzim COX. Hal inilah
yang dapat menjelaskan mengapa aspirin dosis rendah dalam jangka panjang mampu mencegah serangan infark miokard
melalui penghambatan terhadap TXA2 namun tidak terlalu berpengaruh terhadap PGI2 (Roy, 2007). Selain melalui
penghambatan terhadap COX, aspirin juga mampu mengasetilasi enzim Nitric Oxide Synthase‐3 (NOS‐3) yang akan
meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO). Nitric Oxide diketahui bersifat sebagai inhibitor aktivasi platelet, dengan
demikian hal ini menambah informasi mengenai manfaat aspirin sebagai antiplatelet (O’Kane et al., 2009).
Sumber: 210 Vol. 4, No. 2, Juli ‐ Desember 2012 Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada Penggunaan Aspirin sebagai
AntireumatikTherapeutic Drug Monitoring (TDM) in The Use of Aspirin as Antirheumatoid Drugs Isnatin Miladiyah1*
Sumber: Patofi siologi Sindrom Koroner AkutRisalina MyrthaRS Anak Astrini, Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia,
TINJAUAN PUSTAKA, CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
Tablet Sublingual: Dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati). Digunakan dengan cara diletakkan di bawah lidah.
Sumber: Bahan Ajar Keperawatan Gigi, Farmakologi, Nida Noviani dkk, 2017, KEMENKES RI
5. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari kasus di scenario?
Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sindrom klinis yang biasanya disebabkan oklusi total atau sebagian dari yang mendadak
pada arteri koroner akibat ruptur plak aterosklerosis.
Patofisiologi
- SKA merupakan suatu nekrosis miokard yang disebabkan oleh karena robekan sampai sumbatan mendadak aliran darah
koroner.
- Hal ini sebagian besar disebabkan ruptur plak aterom yang kemudian dilanjutkan dengan proses vasokonstriksi, reaksi
inflamasi, trombosis dan embolisasi.
- Luasnya nekrosis miokard tergantung pada; lokasi dan lamanya waktu sumbatan berlangsung, luasnya area miokard yang
diperdarahi pembuluh darah tersebut dan ada tidaknya pembuluh kolateral.
- Pada SKA tanpa elevasi segmen ST terjadi perubahan segmen ST dan atau gelombang T berupa depresi segmen ST atau
gelombang T yang inverted sedangkan
- elevasisegmen ST biasanya terdapat oklusi total pada arteri koroner.
Diagnosis dan Stratifikasi Risiko
- Diagnosis SKA ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran EKG (elektrokardiografi) dan pemeriksaan enzim
jantung.
- Gejala klinisnya adalah
nyeri dada yang khas atau tipikal yaitu nyeri dada atau rasa tidak enak yang bersifat substernal,
menetap yaitu lamanya berlangsung > 20 menit,
nyeri tidak berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat, nyeri dapat menjalar ke rahang, lengan atau
punggung, dan disertai
gejala penyerta seperti keringat dingin, mual dan muntah.
Nyeri dada yang tipikalbersifat substernal, berlokasi di tengah atau kiri dada seperti diremas, ditusuk, terbakar.
Kadang-kadang nyeri dapat dirasakan didaerah epigastrium dan terjadi salah diagnosis sebagai dispepsia.
Gejala penyerta yang juga dapat timbul adalah pusing seperti melayang, sinkop, dan sesak napas.
Pada pasien dengan DM dan usia lanjut gejala nyeri dada dapat bersifat tidak khas.
- Dianjurkan melakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan.
- Gambaran EKG yang bermakna adalah adanya gambaran depresi segmen ST dan gelombang T yang inversi atau elevasi
segmen ST > 1 mm pada 2 atau lebih sadapan prekordial atau ekstremitas yang berhubungan.
- Ditemukannya gambaran Left Bundle Branch Block (LBBB) yang baru atau dianggap baru bila tidak ada data EKG
sebelumnya.
- Berdasarkan perubahan segmen ST dan gelombang T maka SKA dibagi atas : SKA tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI
ACS) dan SKA dengan elevasi segmen ST (STEMI ACS)
- Pemeriksaan enzim jantung yang paling spesifik adalah CKMB dan troponin.
- Kedua enzim ini mulai meningkat beberapa jam setelah terjadinya infark miokard.
- CKMB bertahan 24-48 jam sedangkan troponin bertahan hingga 14 hari.
- Pemeriksaan enzim mungkin perlu dilakukan secara serial.
- Bila hasil pemeriksaan pertama hasilnya negatif maka perlu dilakukan pemeriksaan diulang bila gejala klinis
mencurigakan infark miokard.
- Pemeriksaan troponin sebaiknya yang kuantitatif karena dapat membantu menentukan prognosis.
- Diagnosis SKA dengan ST elevasi dapat ditegakkan tanpa menunggu hasil pemeriksaan enzim jantung sehingga terapi
revaskularisasi atau reperfusi dapat secepatnya dilakukan bila memungkinkan. o
- Pemeriksaan ekokardiografi juga penting dilakukan bila diagnosis SKA dengan elevasi diragukan atau ada kecurigaan
penyebab lain seperti diseksi aorta, emboli paru atau efusi perikard.
- Pemeriksaan ekokardiografi tidak boleh sampai menyebabkan penundaan terapi yang diberikan.
Tabel 1. Diagnosis awal SKA
• Keluhan nyeri dada yang khas
• Depresi segmen ST , inversi gelombang T atau Elevasi segmen ST yang menetap atau adanya LBBB yang baru atau
dianggap baru pada EKG
• Enzim jantung yang normal atau meningkat sebagai pertanda adanya nekrosis miokard( CKMB, Troponin)
Diagnosis banding
Berbagai diagnosis banding dari sindrom koroner akut:
a. Mengancam jiwa dan perlu penanganan segera : diseksi aorta, perforasi ulkus peptikum atau saluran cerna, emboli
paru,tension pneumothorax
b. Non-iskemik: miokarditis, perikarditis, kardiomiopati hipertrofik, sindrom Brugada, sindrom Wolf-Parkinson-White,
angina vasospastik
c. Non kardiak: nyeri bilier, ulkus peptikum, ulkus duodenum, pleuritis, refluks gastroesofaeal (GERD), nyeri otot
dinding dada, serangan panik, dan gangguan psikogenik
Sumber:
• Antman EM et al. ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-Elevation Myocardial Infarction.J
Am Col Cardiol. 2004; 44: e1-e211.
• Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, Fillipatos G, et al. The Task Force on the Management of St-
segment elevation acute myocardial infarction of the European Society of Cardiology. ESC guideline for Management of
Acute myocardial infarction in patients presenting persistent ST-segmen elevation. Eur Heart J. 2008; 29: 2909-45
6. Bagaimana interpretasi EKG dari scenario?
a. IRAMA (Lead II)
• SINUS
Ciri-ciri :
Irama teratur
HR 60 – 100 x/menit
Gelombang P selalu diikuti gelombang QRS
Gelombang QRS selalu diawali gelombang P
Interval PR panjang 0,12-0,20 s
• JUNCTIONAL
• ATRIAL
• VENTRIKULAR
b. REGULARITAS (Lead II)
Regular : jarak R-R sama
Regular-irregular
Irregular-irregular
c. FREKUENSI/HR (LEAD II)
- Atrial : di ukur dari jarak P ke P
- Ventrikuler : di ukur dari jarak R ke R
f. QRS KOMPLEKS
1. INTERVAL (LEAD II)
Lebar : 0.08 -0,12 mm (2-3 kk) -
2. AXIS (LEAD I dan AVF) SAD LAD
LEAD I = +/-
AVF = +/- - + LEAD I
RAD NAD
+
Interpretasi EKG
1. IRAMA
Gelombang P sulit di identifikasi
2. REGULARITAS
Regular
3. HEART RATE/FREKUENSI
- Atrial : di ukur dari jarak P ke P gelombang sulit di identifikasi
- Ventrikuler : di ukur dari jarak R ke R 1500/25 = 60 x/menit normal
Hiperkalemia
Perubahan EKG pada hiperkalemia bersifat progresif. Perubahan paling awal pada EKG adalah gelombang T yang tinggi,
tented,dan simetris, diikuti penurunan amplitudo gelombang P dan pelebaran kompleks QRS, berkaitan dengan makin
tingginya konsentrasi kalium serum.3 Walaupun jarang, elevasi segmen-ST dapat terlihat pada pemeriksaan EKG pasien
hiperkalemia (pseudoinfark),10terutama di sadapan V1 – V3.7 Elevasi segmen-ST pada hiperkalemia sering berbentuk
downsloping, berbeda dengan IMA yang lebih sering berbentuk datar atau upsloping.4 Gelombang T hiperakut pada IMA
biasanya diikuti pemanjangan interval QT, berbeda dengan gelombang T pada hiperkalemia yang diikuti dengan interval QT
yang pendek.1
Aneurisma Ventrikel
Aneurisma ventrikel adalah salah satu komplikasi IMA. Terdapat 2 jenis aneurisma, yaitu true aneurysm dan pseudo
aneurysm. Aneurisma terbentuk paling sering di dinding anterior dan apeks ventrikel kiri. Gambaran EKG kedua jenis
aneurisma ini berupa elevasi segmen-ST persisten dan gelombang Q patologis yang muncul mengikuti episode IMA
sebelumnya. Elevasi segmen-ST biasanya terbatas pada sadapan I, aVL, dan V1 – V6, dipengaruhi oleh lokasi tersering
aneurisma.3Untuk membedakan aneurisma ventrikel dan IMA, dapat dihitung rasio amplitudo gelombang T dibanding
amplitudo kompleks QRS. Apabila pada salah satu sadapan di antara sadapan V1 – V4, didapatkan hasil rasio >0,36 maka
prediksi diagnosis ke IMA, dan sebaliknya. Sebuah studi menyatakan cara ini memiliki sensitivitas 91,5%, dan akurasi 89,3%
untuk prediksi IMA.1
Sindrom Brugada
Sindrom Brugada adalah penyakit aritmogenik yang diturunkansecara autosom dominant.15Sindrom ini endemik di Asia
Tenggara, dengan predominan laki-laki (80%) pada usia rata-rata 40 tahun.16 Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan EKG
dengan gambaran RBBB atipikal dengan karakteristik elevasi segmen-ST berbentuk coved-shaped pada sadapan V1 – V3,
tanpa disertai penyakit jantung struktural, gangguan elektrolit, dan iskemia.17 Gambaran RBBB atipikal pada sindrom
Brugada tidak disertai gelombang S yang lebar di sadapan I, aVL, dan V6 yang tipikal pada RBBB. Pada EKG sindrom
Brugada yang khas (tipe 1) elevasi segmen-ST dimulai pada puncak gelombang R, dan menurun (downsloping), berakhir
dengan inversi gelombang T. Gambaran ini sangat khas dan seharusnya dapat dibedakan dengan infark akut. Pada infark
anteroseptal yang disertai RBBB, penurunan gelombang R’ dan awal segmen-ST memiliki transisi yang jelas, dan diikuti oleh
elevasi segmen-ST yang berbentuk horisontal atau curam ke atas (upsloping), bukan downsloping.
Sumber: PERBANDINGAN CLINICAL OUTCOME PASIEN INFARK MIOKARD AKUT ST-ELEVASI (STEMI)
PASCATERAPI INTERVENSI KORONER PERKUTAN PRIMER DAN TERAPI FIBRINOLITIK DI RSUP Dr.
KARIADI SEMARANG, ITSNAINI AL AMIRA SOFYAN, 2016
AED (automated external defibrillator) adalah sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara
otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung jika dibutuhkan. Alat ini berfungsi
untuk menolong orang yang mengalami henti jantung.
ALS: Advanced Life Support
Sumber: Fokus Utama, Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECG
- Tujuan utama dalam resusitasi adalah tercapainya return of spontaneous circulation (ROSC).1
- ROSC adalah kembalinya perfusi yang menyebabkan kembalinya aktivitas jantung dan fungsi sistem pernafasan setelah
keadaan henti jantung.2
- Tanda-tanda ROSC antara lain bernapas, batuk, atau terabanya pulsasi atau terukurnya tekanan darah.
- Upaya yang dilakukan untuk ROSC yaitu dengan pemberian high quality cardiopulmonary resuscitation (CPR) selama
kompresi dada dan sedapat mungkin meminimalisir interupsi seperti deteksi pulsasi nadi.5
- Pasien dengan ROSC setelah keadaan henti jantung mengalami berbagai proses patofisiologis seperti post-cardiac arrest
syndrome, yang di dalamnya termasuk post-arrest brain injury, post-arrest myocardial dysfunction, iskemia sistemik,
respon reperfusi, dan proses persisten akut dan kronik yang dapat memicu henti jantung.4,5
- Terjadinya ROSC dapat menjadi hal baik sebagai indikator prognosis jangka pendek, terutama dalam memprediksi
outcome pasien.6
- Angka bertahan hidup pada pasien In Hospital Cardiac Arrest (IHCA) yang mengalami ROSC adalah antara 32-54%.7
- Rumah sakit dengan jumlah pasien yang banyak dan rumah sakit pendidikan memiliki angka bertahan hidup yang lebih
tinggi dengan rerata 38% untuk pasien yang henti jantung di luar ICU dan 32% pasien yang henti jantung di dalam ICU.8
Pembahasan
- Return of Spontaneous Circulation (ROSC) kembalinya perfusi yang menyebabkan kembalinya aktivitas jantung dan
fungsi sistem pernafasan setelah keadaan henti jantung disebut dengan ROSC.
- Resusitasi harus segera dilakukan pada henti jantung dilakukan untuk mencapai ROSC.9
- Tanda-tanda ROSC antara lain kembalinya pulsasi dan pernapasan spontan.
- Untuk dapat melihat tanda ini membutuhkan monitoring ketat dari keadaan hemodinamik untuk evaluasi resusitasi
apakah ROSC terjadi atau tidak.10
- Setelah ROSC terjadi, untuk mempertahankan sirkulasi dapat dilakukan mempertahankan advanced airway seperti pipa
endotrakeal yang dihubungkan ke ventilator, akses cairan intravena yang baik, serta persiapan obat-obatan emergensi jika
dibutuhkan.11
- Henti jantung dapat terjadi salah satunya karena syok.12
- Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat yang mengakibatkan transpor oksigen ke jaringan terganggu.
- Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun berkaitan satu sama lain yaitu, jantung, volume darah,
resistensi arteriol, dan kapasitas vena.
- Apabila salah satu sistem mengalami gangguan maka jika faktor lain tidak mampu melakukan kompensasi dan terjadi
syok.
- Salah satu penyebab syok adalah perdarahan atau syok hemoragik.
- Apabila terjadi kehilangan darah, maka respon simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas
jantung serta vasokontriksi pembuluh darah, sehingga keseimbangan volume dalam sirkulasi dapat terjaga dan curah
jantung dapat dipertahankan. Namun bila gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak
dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.13
- Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume
darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi
dan kontraktilitas otot jantung.14
- Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala gejala
klinis. Namun secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian
kapiler yang lambat.14
Berdasarkan hasil anamnesis, keluhan utama pada pasien ini adalah hamil usia 30 minggu dengan nyeri perut terutama di
bagian ulu hati disertai keluarnya bercak merah kehitaman berjumlah sedikit dari kemaluan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan dan tegang pada abdomen. Diagnosis pasien adalah G2P1A0 hamil 30 minggu belum inpartu dengan
haemorrhagic antepartum suspek solusio plasenta, janin tunggal hidup presentasi kepala. Pasien direncanakan operasi
emergensi SC dan histerektomi.
Pada preoperatif, didapatkan peningkatan denyut nadi, pengisian nadi yang lemah, ujung-ujung ekstremitas dingin dan
pengisian kapiler yang lambat yang sesuai dengan gejala dari syok hipovolemik. Kemudian dilanjutkan dengan dilakukannya
pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang didapatkan adanya kondisi anemis yang dibuktikan dari pemeriksaan
penunjang didapatkan Hb 6,8 g/dl.
Pada intraoperatif, setelah operasi berjalan 30 menit, pasien mengalami henti jantung. CPR dilakukan 5 siklus kemudian
pasien mengalami ROSC. Selain itu pasien mendapatkan resusitasi cairan berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Tranfusi
darah diberikan merujuk dari nilai hemoglobin pasien yaitu 6,8 gr/dl, dengan pertimbangan menjalani operasi yang
menyebabkan banyaknya perdarahan.
Seperti tampak pada gambar 1, pada keadaan henti jantung, survei primer harus segera dilakukan kemudian diikuti dengan
CPR. Kemudian menilai irama jantung termasuk pada irama shockable atau non shockable. Setelah itu menentukan ROSC
terjadi atau tidak. Apabila tidak terjadi ROSC maka CPR diulang, kemudian apabila terjadi ROSC, tatalaksana lanjutan
setelah henti jantung segera dilakukan, antara lain; evaluasi lebih lanjut dan terapi penyebab yang reversibel, optimalisasi
oksigenasi dan ventilasi, mempertahankan sirkulasi cairan, dan penatalaksanaan lanjut di ICU.
Gambar 1. Alur tatalaksana henti jantung4
Pasien mengalami syok hemoragik yang diakibatkan oleh ruptur uteri komplit dan atonia uteri sehingga volume darah
berkurang secara masif menyebabkan suplai darah ke organ menjadi berkurang dan jika kondisi ini bertahan maka akan
terjadi henti jantung karena tidak mampu mengompensasi.
Terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler apakah akibat perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang
balik ke jantung (venous return) juga berkurang dengan hebat, sehingga curah jantung pun menurun. Pada akhirnya ambilan
oksigen di paru juga menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi juga tidak dapat dipenuhi. Begitu juga halnya
bila terjadi gangguan primer di jantung, bila otot-otot jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna,
sehingga tidak dapat memompa darah dengan baik dan curah jantungpun menurun. Pada kondisi ini meskipun volume
sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk memompakan darah yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen
jaringan, akibatnya perfusi juga tidak terpenuhi
Sumber: Entan Teram Zettira dan Bambang Eko Subekti │ Return of Spontaneous Circulation Intraoperatif pada Wanita
dengan Syok Hemoragik karena Ruptur Uteri Komplit dan Atonia Uteri Majority | Volume 8 |Nomor 2 | Desember 2019 │
46
8. Mengapa setelah diberikan terapi oleh dokter jaga, kondisi pasien malah memburuk?
Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu paling berharga dalam infark miokard akut
adalah di fase sangat awal, di mana pasien mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung.
Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin
begitu diperlukan. Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat bermanfaat. Jadi, delay
harus diminimalisir sebisa mungkin untuk meningkatkan luaran klinis. Selain itu delay pemberian pengobatan merupakan
salah satu indeks kualitas perawatan STEMI yang paling mudah diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit
saat menangani pasien STEMI perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk memastikan kulaitas perawatan tetap
terjaga. Beberapa komponen delay dalam penanganan STEMI dapat dilhat di gambar 4.
Adalah keterlambatan yang terjadi antara awitan gejala hingga tercapainya kontak medis pertama. Untuk meminimalisir
delay pasien, masyarakat perlu diberikan pemahaman mengenai cara mengenal gejala-gejala umum infark miokard akut
dan ditanamkan untuk segera memanggil pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat PJK dan keluarganya perlu
mendapatkan edukasi untuk mengenal gejala IMA dan langkah-langkah praktis yang perlu diambil apabila SKA terjadi.
Dikenal juga sebagai delay sistem, komponen ini lebih mudah diperbaiki melalui pengaturan organisasi dibandingkan
dengan delay pasien. Delay ini merupakan indikator kualitas perawatan dan prediktor luaran. Bila terapi reperfusi yang
diberikan adalah IKP primer, diusahakan delay (kontak medis pertama hingga masuknya wire ke arteri yang menjadi
penyebab) ≤90 menit (≤60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark anterior besar dan pasien datang dalam 2 jam).
Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolisis, diusahakan mengurangi delay (waktu kontak pertama dengan
tindakan) menjadi ≤30 menit. Di rumah sakit yang mampu melakukan IKP, target yang diinginkan adalah ‘door-to-
balloon’ delay ≤60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit dengan IKP primer. Delay yang terjadi
menggambarkan performa dan kualitas organisasi rumah sakit tersebut. Dari sudut pandang pasien, delay antara awitan
gejala dengan pemberian terapi reperfusi (baik dimulainya fibrinolisis atau masuknya wire ke arteri penyebab)
merupakan yang paling penting, karena jeda waktu tersebut menggambarkan waktu iskemik total, sehingga perlu
dikurangi menjadi sesedikit mungkin.
Gambar 4. Komponen delay dalam STEMI dan interval ideal untuk intervensi
2. TERAPI REPERFUSI
- Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala
yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB)
yang (terduga) baru.
- Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG
adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri
dan perubahan EKG tampak tersendat.
- Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang
memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari
tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam).
Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
- IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan
oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
- IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah
lama.
- Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer.
- Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam
setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan
fibrinolisis.
- Bila pasien tidak memiliki kontra indikasi terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan
kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal
stents (BMS)
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan
penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena
(Kelas I-C). Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat
digunakan antara lain:
Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) (Kelas I-B).
Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila
ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan (Kelas I-C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada
pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang
tidak terfraksi (Kelas IIb-B).
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B). 4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis
pada pasien yang direncanakan untuk IKP primer (Kelas III-A).
- Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempattempat yang tidak dapat melakukan
IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan.
- Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa
indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontak medis pertama (Kelas I-A).
- Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko
perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi
balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B).
- Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
- Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen
yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B).
- Aspirin oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-B).
- Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).
- Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga
revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A).
- Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas I-A).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus selama 3 hari (Kelas I-
C).
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena secara bolus dilanjutkan dengan
dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).
- Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan
pada semua pasien (Kelas I-A).
- IKP “rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah
60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada (Kelas I-A).
- IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis
yang berhasil (Kelas I-B). Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
- Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien
syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial (Kelas I-A).
- Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami
infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A).
- Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).
Gambar 5. Langkah-langkah reperfusi
• Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan gejala iskemik)
• Risiko fibrinolisis dan kontra indikasi fibrinolisis
• Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP (<120 menit)
Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus tersebut Bila pasien <3
jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk strategi invasif
Strategi invasif tidak dapat dilakukan
• Cath-lab (Kateter Jantungsuatu tindakan medis/prosedur diagnostik invasif yang berfungsi untuk
mendeteksi penyempitan atau sumbatan pembuluh darah jantung/coroner) sedang/tidak dapat dipakai
• Kesulitan mendapatkan akses vaskular
• Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP dalam waktu <120
menit
• Halangan untuk strategi invasif
• Transportasi bermasalah
• Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
• Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih dari 90 menit
1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi antikoagulan selama minimum 48 jam
(Kelas II-C) dan lebih baik selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi
lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH (unfractionated heparin)
berkepanjangan (Kelas II-A)
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama
rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian (Kelas IIa-B)
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (low molecular weight heparin) (Kelas IIa-C) atau
fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini merupakan rekomendasi dosis:
Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai Dosis awal Koterapi Indikasi kontra antitrombin
spesifik Streptokinase (Sk) 1,5 juta U dalam 100 mL Heparin i.v. Sebelum Sk Dextrose 5% atau larutan selama
24-48 atau salin 0,9% dalam waktu 30- jam anistreplase 60 menit Alteplase (tPA) Bolus 15 mg intravena
Heparin i.v. 0,75 mg/kg selama 30 menit, selama 24-48 kemudian 0,5 mg/kg selama jam 60 menit Dosis total
tidak lebih dari 100 mg kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah
diberikan (Kelas II-C).
Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila
dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan
pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa (Kelas II-C)
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan sebagai antikoagulan tunggal
pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)
3. SUBBAGIAN KHUSUS
Pria dan wanita harus mendapatkan penanganan yang sama (Kelas I-C). Namun demikian, wanita cenderung datang
belakangan dan lebih sering memiliki gejala atipikal. Kecurigaan infark miokard yang tinggi harus dipertahankan untuk
pasien wanita, diabetes, dan pasien-pasien lanjut usia dengan gejalagejala atipikal (Kelas I-B). Pasien lanjut usia sering
datang dengan gejala ringan atau atipikal, yang sering menyebabkan diagnosis yang terlambat atau bahkan keliru. Pasien
lanjut usia juga memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi disertai komplikasi lainnya, mengingat kecenderungan
fungsi ginjal yang menurun serta prevalensi komorbiditas yang tinggi pada kelompok ini. Pemberian dosis yang tepat
perlu diperhatikan pada pemberian antitrombotik untuk pasien lanjut usia dan gagal ginjal (Kelas I-B). Disfungsi ginjal
dapat ditemukan pada 30-40% pasien SKA dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk serta peningkatan risiko
perdarahan. Keputusan pemberian reperfusi pada pasien STEMI seyogyanya dibuat sebelum tersedianya penilaian fungsi
ginjal, namun laju filtrasi glomerulus perlu diperkirakan dari saat pasien datang, mengingat pasien SKA dengan PGK
sering mengalami overdosis antitrombotik yang akan menyebabkan peningkatan risiko perdarahan. Untuk pasien-pasien
dengan perkiraan klirens kreatinin <60 mL/menit, penyesuaian dosis aspirin, clopidogrel, ticagrelor, fondaparinuks dan
heparin yang tidak terfraksi (dosis bolus) tidak diperlukan. Sampai saat ini belum ada informasi mengenai dosis
ticagrelor dan fondaparinuks untuk pasien dengan ESRD atau yang menjalani dialisis. Untuk enoksaparin, dosis bolus
tidak memerlukan penyesuaian, tetapi setelah trombolisis, pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit hanya diberikan
dosis subkutan sekali setiap 24 jam. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat (GFR 30-59 mL/menit), dosis infus
inisial bivalirudin diturunkan menjadi 1,4 mg/kg/jam sedangkan dosis bolus tidak dirubah. Bivalirudin
diindikasikontrakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal berat (GFR <30 mL/menit) dan pasien dialisis.
4. LOGISTIK
Semua rumah sakit yang berpartisipasi dalam perawatan pasien-pasien STEMI harus memiliki Intensive Cardiac Care
Unit (ICCU) yang mampu menangani berbagai aspek perawatan, termasuk penanganan iskemia, gagal jantung berat,
aritmia dan komorbid lain yang biasa terjadi (Kelas I-C). Pasienpasien yang menjalani terapi reperfusi yang berhasil
tanpa komplikasi perlu diobservasi selama minimum 24 jam di ICCU, kemudian dipindahkan ke tingkat pengawasan
yang lebih rendah (step-down monitoring) selama 24-48 jam berikutnya (Kelas I-C).
Setelah terapi reperfusi, penting untuk menentukan pasien yang memiliki risiko tinggi menderita kejadian selanjutnya
seperti re-infark atau kematian, agar dapat dilakukan intervensi dan pencegahan yang sesuai. Mengingat risiko kejadian
berkurang seiring dengan waktu, penilaian risiko harus dilakukan sejak dini. Selama fase akut, ketika diagnosis tidak
dapat dipastikan, ekokardiografi darurat dapat berguna. Namun, bila inkonklusif atau tidak didapatkan penemuan dan ada
keraguan yang menetap, angiografi darurat perlu dipertimbangkan (Kelas I-C). Setelah fase akut, pasien-pasien perlu
menjalani ekokardiografi untuk penilaian ukuran infark dan fungsi ventrikel kiri pada istirahat (Kelas I-B). Pada pasien-
pasien dengan gangguan multipembuluh, atau yang dipertimbangkan untuk menjalani revaskularisasi pembuluh darah
lainnya, diindikasikan untuk dilakukan stress testing atau pencitraan untuk iskemia dan viabilitas (Kelas I-A).
1. Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang telah pulih dari STEMI untuk
mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada
baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya
hidup sebelum pasien dipulangkan. Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok, dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi
ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk rumah sakit bila tidak ada
indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel
kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A). Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal ginjal atau diabetes, bila tidak
ada gagal ginjal atau hiperkalemia (Kelas I-B).
Sumber: PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT XIV + 74 hal 14,8 x 21 cm ISBN No: © 2015
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULA RINDONESIA Edisi Pertama tahun 2004 Edisi Kedua
tahun 2010 Edisi Ketiga tahun 2014 Penerbit: Centra ommunications Tatalaksana ini diterbitkan dalam bentuk: Versi
Online: http: //jki.or.id Versi Jurnal: Jurnal Kardiologi Indonesia
Sumber:
• Warkentin, TE et al. Treatment and Prevention of Heparin Induced Thrombocytopenia. American College of Chest
Physicians Evidence-Based Clinical Practice guidelines (8th edition). Chest. 2008;133: 340s-380s.
• Antman EM et al. A Report of the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines. 2007 Focused update of the
ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-Elevation Myocardial Infarction. Circulation.
2008;117: 296-329
MAPPING