Anda di halaman 1dari 9

A.

PENGERTIAN
Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang mengganggu daerah dada dan
seringkali merupakan rasa nyeri yang diproyeksikan pada dinding dada (referred pain).
Nyeri dada akibat penyakit paru misalnya radang pleura (pleuritis) karena lapisan paru saja
yang bisa merupakan sumber rasa sakit, sedang pleura viseralis dan parenkim paru tidak
menimbulkan rasa sakit (Wildan, 2018)
B. ETIOLOGI
Nyeri Dada dapat diklasifikasikan menjadi dua (Bagus, 2017) :
1) Nyeri dada pleuritik
Nyeri dada pleuritik biasanya lokasinya posterior atau lateral. Sifat tajam dan seperti
ditusuk . bertambahnya nyeri bila batuk atau bernafas dalam dan berkurang bila menahan
nafas atau sisi dada yang digerakan. Nyeri berasal dari dinding dada, otot, iga, pleura
perietalis, saluran nafas besar, diafragma, mediastinum dan saraf interkostal. Nyeri dada
pleuritik dapat disebabkan oleh difusi pleura akibat infeksi paru, emboli paru, keganasan
atau radang sub diafragmatik pneumotorax dan pneumediastium.
2) Nyeri dada non pleuretik
Nyeri dada non pleuretik biasanya lokasinya sentral, menetap atau dapat menyebar ke
tempat lain. Paling sering disebabkan oleh kelainan di luar paru :
a) Kardial
Iskemik miokard akan menimbulkan rasa tertekan atau nyeri subternal yang menjalar
ke aksila dan turun ke bawah ke bagian dalam lengan terutama lebih sering ke lengan
kiri. Rasa nyeri juga dapat menjalar ke epigasterium, leher, rahang, lidah, gigi,
mastoid dengan atau tanpa nyeri dada subternal. Nyeri disebabkan karena saraf eferan
viseral akan terangsang selama iskemik miokard, akan tetapi korteks serebral tidak
dapat menentukan apakah nyeri berasal dari miokard. Karena rangsangan saraf melalui
spedula spinalis T1-T4 yang juga merupakan jalannya rangsangan saraf sensoris dari
sistem somatis yang lain. Iskemik miokard terjadi bila kebutuhan O2 miokard tidak
dapat dipenuhi oleh aliran darah koroner. Pada penyakit jantung koroner aliran darah
ke jantung akan berkurang karena ada pemyempitan pembuluh darah koroner.
Ada 3 sindrom iskemik yaitu :
1) Angina stabil (angina klasik, angina of effort)
Serangan nyeri dada khas yang timbul waktu bekerja. Berlangsung hanya
beberapa menit dan menghilang dengan nitrogliserin atau istirahat. Nyeri dada
dapat timbul setelah makan, pada udara dingin, reaksi simfatis yang berlebihan
atau gangguan emosi.
2) Angina tak stabil (angina preinfard, insufisiensi koroner akut)
Jenis angina ini dicurigai bila penderita sering kali mengeluh rasa nyeri di dada
yang timbul waktu istirahat atau saat kerja ringan dan berlangsung lebih lama.
3) Infark miokard
Iskemik miokard yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menyebabkan
infark miokard. Nyeri dada berlangsung lebih lama, menjalar ke bahu kiri, lengan
dan rahang. Berbeda dengan angina pektoris, timbulnya nyeri dada tidak ada
hubungannya dengan aktivitas fisik dan bila tidak diobati berlangsung dalam
beberapa jam. Disamping itu juga penderita mengeluh dispea, pelpitasi dan
berkeringat. Diagnosa ditegakan berdasarkan serioal EKG dan pemeriksa enzim
jantung
b) Perikardial
Saraf sensori untuk nyeri terdapat pada perikardium parietalis diatas diafragma.
Nyeri perikardial lokasinya didaerah sternal dan diarea preokardinal, tetapi dapat
menyebar ke epigastrium, leher, bahu, dan punggung. Nyeri biasanya seperti
ditusuk-tusuk dan timbul pada aktu menarik nafas dalam, menelan, miring atau
bergerak.
C. PATOFISIOLOGI
Terjadi penonjolan sistolik atau diskinesia dengan akibat penurunan ejection fraction isi
sekuncup atau stroke volume akhir distolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolic ventrikel
kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik peningkatan tekanan atrium kiri diatas
25mmHg yang lama yang akan menyebabkan transfudasi cairan ke jaringan intersitisium
paru (gagal jantung) pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah
infark, tapi juga daerah iskemik di sekitarnya. Miokard yang masih relative baik akan
mengadakan konspensasi khusunya dengan bantuan rangsangan andrenergae untuk
mempertahankan curah jantung tetapi dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen
miokard konpensasi ini jelas tidak akan memadai bila daerah yang bersangkutan juga
mengalami iskemia atau bahkan sudah
fibritik. Bila infark kecil dan miokard yang harus berkompensasi masih normal, pemburukan
hemodinamik akan minimal sebaliknya bila infark luas dan miokard yang harus
berkompensasi sudah buruk akibat iskemia atau infark lama. Tekanan akhir diastolic
ventrikel kiri akan naik dan gagal jantung terjadi sebagai akibat sering terjadi perubahan
bentuk serta ukuran ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang terkena infark
maupun non infark. Perubahan tersebut menyebabkan remodeling ventrikel yang nantinya
akan mempengaruhi fungsi ventrikel dan timbulnya aritmia (Bagus, 2017)
Perubahan-perubahan hemodinamik ini tidak setatis bila makin tenang fungsi jantung
akan membaik walaupun tidak di obati. Hal ini di sebabkan karena daerah-daerah yang
tadinya iskemik mengalami perbaikan daerah diskinetik akan menjadi akinetik karena
terbentuk jaringan parut yang kaku. Miokard sehat dapat pula mengalami hipertropi
sebaliknya perburukan himodinamik akan terjadi iskemia berkepanjangan atau infark
meluas. Terjadinya penyulit mekanis seperti rupture septum ventrikel, regurgitasi mitral akut
dan anorisma ventrikel akan memperburuk vaal hemodinamik jantung (Wildan, 2018)
Aritmia merupakan penyulit tersering dan terjadi terutama pada menit-menit atau
jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa
refakter, daya hantar dan kepekaan terhadap rangsangan (Bagus, 2017)
D. PATHWAYS

E. Manifestasi klinis
Nyeri biasanya lebih hebat di atas dada, meskipun nyeri dapat menyebar ke bahu,
lengan, leher, rahang, dan punggung. Klien mendeskripsikan sensasi sebagai pengencangan,
seperti terjepit, atau tercekik. Dyspepsia sering kali menjadi keluhan utama. Klien lebih
sering merasakan nyeri pada lengan kiri, karena merupakan arah percabangan aorta. Namun,
klien dapat merasakan nyeri pada lengan yang lain. Klien Nampak pucat, merasa seperti
pingsan, atau dispnea. Nyeri sering berhenti dalam waktu kurang dari 5 menit, tetapi nyeri
dapat terjadi secara intens saat berlangsung. Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa
jantung tidak mendapatkan cukup darah dan oksigen. Klien yang mengabaikan tanda
peringatan ini, berisiko mengalami penyakit yang serius atau kematian yang tiba – tiba jika
mereka tidak segera mendapatkan perawatan dari dokter. Klien mungkin akan mengalami
serangan angina berulang, tetapi terapi mengurangi bahaya serangan yang fatal (Rosdahl &
Kowalski, 2015).
Sedangkan menurut (Ns. Reny Yuli Aspiani, 2016) mengatakan bahwa manifestasi
klinis dari angina pektoris, yaitu ditandai dengan nyeri dada substernal atau retrosternal
yang menjalar ke leher, tenggorokan daerah interskapula atau lengan kiri. Nyeri ini berawal
sebagai rasa terhimpit, rasa terjepit atau rasa terbakar yang menyebar ke lengan kiri bagian
dalam dan kadang hingga pundak, bahu dan leher kiri bahkan sampai ke kelingking kiri.
Perasaan ini juga dapat pula menyebar ke pinggang, tenggorokan, rahang dan ada juga yang
sampai ke lengan kanan. Rasa tidak enak ini juga dapat dirasakan di ulu hati, tetapi jarang
terasa di daerah apeks kordis. Nyeri dapat disertai beberapa atau salah satu gejala, seperti
keringat dingin, mual dan muntah, lemas, berdebar dan rasa akan pingsan (fainting).
Serangan nyeri berlangsung hanya beberapa menit (1 – 5 menit) tetapi dapat hingga lebih
dari 20 menit. Tanda yang lain, yaitu:
a) Pemeriksaan fisik di luar serangan umumnya tidak menunjukan kelainan yang berarti.
Pada waktu serangan, denyut jantung bertambah, tekanan darah meningkat dan di
daerah prekordium pukulan jantung terasa keras.
b) Pada auskultasi, suara jantung terdengar jauh bising sistolik terdengar pada pertengahan
atau akhir sistol dan terdengar bunyi keempat.
c) Nyeri hilang atau berkurang bila istirahat atau pemberian nitrogliserin.
d) Gambaran EKG: depresi segmen ST, terlihat gelombang T terbalik.
e) Gambaran EKG sering kali normal pada waktu tidak timbul serang
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk penderita STEMI (Smeltzer & Bare, 2013):
a. Elektrokardiogram
EKG memberi informasi mengenai elektrofisiologi jantung. Lokasi dan ukuran relative
infark juga dapat ditentukan dengan EKG (Smeltzer & Bare, 2011). Pemeriksaan EKG
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Sebagian besar pasien
dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q
yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard non-Q. Jika obstruksi tidak bersifat total, obstruksi bersifat
sementara, atau ditemukan banyak.
b. Angiografi coroner
Angiografi coroner adalah pemeriksaan diagnostic invasif yang dilakukan untuk
mengamati pembuluh darah jantung dengan menggunakan teknologi pencitraan sinar-X.
angiografi coroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan
PJK.
c. Foto Polos Dada
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menentukan diagnosis banding, identifikasi
komplikasi dan penyakit penyerta.
d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Creatinin Kinase-MB (CK-MB) : meningkat setelah 2-4 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 12-20 jam dan kembali normal dalam 2-3 hari.
2) Ceratinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-6 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 12-24 jam dan kembali normal dalam 3-5 hari.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI. Terapi awal yang diberikan pasien
dengan STEMI dengan keluhan angina di ruang gawat darurat, dapat diberikan Morfin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin yang dikenal dengan istilah MONA yang tidak harus diberikan
semua ataupun secara bersamaan (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015).
1. Tirah baring
2. Pemberian suplemen oksigen harus diberikan segera bagi pasien dengan saturasi oksigen
arteri <95% atau mengalami distress respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien sindrom coroner acute dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi oksigen arteri.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin sendiri tidak bersalut sehingga lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual yang lebih cepat.
5. Pemberian penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan yaitu 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/ hari, kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik.
b. Selain menggunakan ticagrelor, dapat juga menggunaakan dosis awal clopidogrel
yaitu 300 mg kemudian dilanjutkan dengan pemberian dosis pemeliharaan 75
mg/hari (untuk pasien yang direncanakan terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan yaitu clopidogrel
6. Nitrogliserin spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Apabila nyeri dada tidak hilang dengan
satu kali pemberian, maka pemberian dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal 3
kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi
tiga dosis NTG sublingual. Kemudian apabila dalam keadaan NTG tidak tersedia, maka
isosorbid dinitrat (SDN) dapat diberikan sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diberikan ulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang muncul akibat dari STEMI menurut Smeltzer & Bare (2013) :
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan baik
pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan remodeling
ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial
yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi
berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark.
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis
iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik
pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah
ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
dijumpai kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal. Mekanisme
yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan sistem saraf
otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona
iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi
ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis, sedangkan
disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena
sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif,
biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat
perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi seperti
penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru,
hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi
miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial
maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat
lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar,
dan menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular
paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu
diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru
menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya
terjadi hipoksia berat.
7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup
mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik.
Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium
kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada
atrium kiri dan vena pulmonalis.
8. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum sehingga
terjadi defek septum ventrikel.
9. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama
fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang
tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang
relative tidak elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah
menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini
akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
10. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung. Aneurisma
ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan teregang secara
pasif oleh sebagian curah sekuncup.
11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang
merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium
dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
12. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dan
menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi
peradangan.
I. PENGKAJIAN FOKUS
1. PENGKAJIAN PRIMER
2. PENGKAJIAN SEKUNDER
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
K. INTERVENSI
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, B. (2017). ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


DENGAN KASUS CHEST PAIN.
SDKI, P. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta:
DPP PPNI.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC
SIKI, P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan
Tindakan Keperawatan, (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Wildan, H. (2018). Asuhan Keperawatan Chest Pain. Retrieved from
https://www.academia.edu.com
Rosdahl, Caroline Bunker & Mary T. Kowalski. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Dasar ed. 10 vol. 5. ; Alih bahasa oleh Setiawan & Anastasia Onny. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai