Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. merupakan akibat dari oleh karena
pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan
intratthorax (contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan
oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).
Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995.
Aktivitas Listrik Tanpa Denyut (Pulseless Electrical Activity/PEA) adalah suatu keadaan dimana masih terdapat aktivitas
listrik jantung, tanpa disertai respon mekanik jantung berkontraksi untuk menghasilkan denyut yang teraba atau tekanan
darah yang terukur
2. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan TTV di skenario?
Tanda vital: tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 110 kali permenit reguler teraba kecil dan cepat, laju pernapasan 24 kali
permenit, SpO2 97% Syok karena perdarahan syok hipovolemik/hemoragik
KONSEKUENSI DAN KOMPENSASI SYOK
Setelah terjadi pengeluaran darah dalam jumlah besar, penurunan volume darah dalam sirkulasi yang terjadi
menyebabkan penurunan aliran balik vena 1 dan selanjutnya penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri.
(Perhatikan kotak-kotak biru, yang menunjukkan konsekuensi perdarahan.)
Tindakan-tindakan kompensasi segera berupaya untuk mempertahankan aliran darah yang memadai ke otak dengan
meningkatkan tekanan darah menuju normal, diikuti oleh tindakan-tindakan yang ditujukan untuk memulihkan
volume plasma dan mengganti kehilangan sel darah merah, sebagai berikut: (Perhatikan kotak merah muda, yang
menunjukkan kompensasi untuk perdarahan). Pada waktu yang singkat, respons refleks baroreseptor terhadap
penurunan tekanan darah menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis dan penurunan aktivitas parasimpatis ke
jantung 2
Hasilnya adalah peningkatan kecepatan jantung 3 untuk mengatasi penurunan isi sekuncup 4 yang ditimbulkan oleh
kehilangan darah. Pada kehilangan cairan yang berlebihan, nadi menjadi lemah karena isi sekuncup
berkurang tetapi cepat karena bertambahnya kecepatan jantung.
Meningkatnya aktivitas simpatis ke vena menyebabkan vasokonstriksi vena generalisata 5, meningkatkan
aliran balik vena melalui mekanisme Frank-Starling 6
Secara bersamaan, stimulasi simpatis atas jantung 7 meningkatkan kontraktilitas jantung sehingga jantung
berdenyut lebih kuat dan menyemprotkan lebih banyak darah, meningkatkan isi sekuncup.
Meningkatnya kecepatan jantung dan isi sekuncup secara kolektif meningkatkan curah jantung 8
Vasokontriksi arteriol generalisata yang dipicu oleh aktivitas simpatis 9 menyebabkan peningkatan resistensi
perifer total 10
Bersama-sama, peningkatan curah jantung dan resistensi perifer total menyebabkan peningkatan kompensatorik
tekanan arteri 11
Penurunan tekanan arteri awal disertai oleh penurunan tekanan darah kapiler 12 yang menyebabkan pergeseran
cairan dari cairan interstisum kedalam kapiler untuk menambah volume plasma 13. Respons ini kadang-kadang
disebut ototransfusi karena memulihkan volume plasma seperti yang dilakukan oleh transfusi.
Pergeseran CES ini ditingkatkan oleh sintesis protein plasma oleh hati selama beberapa hari setelah perdarahan 14.
Protein plasma menimbulkan tekanan osmotik koloid yang membantu mempertahankan cairan tambahan dalam
plasma.
Pengeluaran urine berkurang sehingga air yang seharusnya dikeluarkan dari tubuh ditahan 15. Retensi cairan
tambahan ini membantu meningkatkan volume plasma 16 . Ekspansi volume plasma memperkuat peningkatan
curah jantung yang ditimbulkan oleh refleks baroreseptor 17. Penurunan pengeluaran urine terjadi karena
berkurangnya aliran darah ginjal 18 akibat vasokonstriksi kompensatorik arteriol ginjal. Berkurangnya volume
plasma juga memicu peningkatan sekresi hormon vasopresin dan pengaktifan jalur hormonal reninangiotensin-
aldosteron, yang menghemat garam dan air 19.
Meningkatnya rasa haus juga dirangsang oleh penurunan volume plasma yang terjadi pada perdarahan 20.
Peningkatan asupan cairan yang terjadi membantu memulihkan volume plasma.
Dalam perjalanan waktu yang lebih panjang (seminggu atau lebih), sel-sel darah merah yang hilang diganti melalui
peningkatan pembentukan sel darah merah yang dipicu oleh penurunan penyaluran O2 ke ginjal 21 (lihat h. 420
untuk perincian lebih lanjut).
SYOK IREVERSIBEL
- Mekanisme-mekanisme kompensasi ini sering kurang cukup untuk rnelawan kehilangan cairan yang substansial.
- Meskipun mereka dapat mempertahankan tekanan darah yang memadai, tindakan-tindakan jangka-pendek ini tidak
dapat berlangsung selamanya.
- Akhirnya, volume cairan harus diganti dari luar melalui minum, transfusi, atau kombinasi keduanya.
- Aliran darah ke ginjal, saluran cerna, kulit, dan organ lain dapat dikurangi untuk mempertahankan aliran darah ke
otak hanya selama sebelum kerusakan organ mulai terjadi.
- Dapat tercapai suatu titik ketika tekanan darah terus turun karena kerusakan jaringan, meskipun diberikan terapi
maksimal.
- Keadaan ini sering disebut syok ireversibel, berbeda dari syok reversibel, yang dapat dikoreksi dengan mekanisme
kompensatorik dan terapi yang dapat dikoreksi dengan mekanisme kompensatorik dan terapi yang efektif.
- Meskipun mekanisme pasti yang mendasari sifat ireversibel ini saat ini masih belum diketahui, banyak kemungkinan
logis yang dapat berperan menyebabkan perburukan sirkulasi progresif yang menandai syok ireversibel.
- Terjadi asidosis metabolik akibat peningkatan produksi laktat (asam laktat) karena jaringan yang kekurangan darah
mengandalkan metabolisme anaerob.
- Asidosis merusak sistem enzim yang berperan dalam produksi energi, membatasi kemampuan jantung dan
jaringan lain untuk menghasilkan ATP.
- Komplikasi:
o Penekanan berkepanjangan fungsi ginjal menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit yang dapat menimbulkan
aritmia jantung.
o Pankreas yang kekurangan darah mengeluarkan bahan kimia yang toksik bagi jantung (faktor toksik
miokardium) sehingga semakin memperlemah organ ini.
o Bahan-bahan vasodilator menumpuk di berbagai organ iskemik, termasuk vasodilatasi lokal yang
mengalahkan vasokonstriksi refleks generalisata.
o Seiring dengan semakin merosotnya curah jantung akibat berkurangnya efektivitas jantung sebagai pompa dan
resistensi perifer total terus menurun, hipotensi menjadi bertambah parah.
o Karena itu, ketika syok berkembang hingga ke tahap ketika sistem kardiovaskular itu sendiri mulai gagal,
timbul lingkaran setan umpan-balik positif yang akhirnya menyebabkan kematian. (Sherwood, 2016)
Sumber: Sherwood. (2016). Textbook of Human Physiology. In Bmj (Vol. 1, Issue 5277).
https://doi.org/10.1136/bmj.1.5277.531-b
sumber: Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Syok, 2015m UB Press, 2015, halaman 14-15
Indikasi parameter pada pemeriksaan/ pengkajian dalam mengestimasi kehilangan volume cairan:
sumber: Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2. No. 2. Juni 2010, 93-96, Kegawatdaruratan Syok
Hipovolemik (Enita Dewi dan Sri Rahayu) 93KEGAWATDARURATAN SYOK HIPOVOLEMIK Enita Dewi* Sri
Rahayu*
Skema Terjadinya Syok Hipovolemik
Berdasarkan skema diatas, terjadinya syok hipovolemik terjadi dalam 3 fase yaitu fase kompensasi, dekompensasi dan
fase syok ireversibel. Masing-masing kondisi ini memiliki tampilan klinis yang berbeda. Berikut akan dijelaskan
perbedaan antar fase tersebut.
1) Fase Kompensasi : Pada fase ini metabolisme masih dapat dipertahankan. Mekanisme sirkulasi dapat dilindungi
dengan meningkatkan aktivitas simpatik. Sistem sirkulasi ini mulai menempatkan organ-organ vital sebagai prioritas
untuk mendapatkan perfusi yang baik. Tekanan darah sistolik normal, sedangkan diastolik meningkat karena mulai
timbul tekanan perifer.
2) Fase Dekompensasi : Pada fase ini metabolisme anaerob sudah mulai terjadi dan semakin meningkat. Akibatnya
sistem kompensasi yang terjadi sudah tidak lagi efektif untuk meningkatkan kerja jantung. Produksi asam laktat
meningkat, produksi asam karbonat intraseluler juga meningkat sehingga terjadi asidosis metabolik. Membran sel
terganggu, akhirnya terjadi kematian sel. Terjadi juga pelepasan mediator inflamasi seperti TNF. Akhirnya sistem
vaskular mulai tidak dapat mempertahankan vasokonstriksi. Sehingga terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
tekanan darah turun dibawah nilai normal dan jarak sistol-diastol menyempit.
3) Fase Syok Irreversibel : Saat energi habis, kematian sel mulai meluas, kemudian cadangan energi di hati juga
lama-kelamaan habis. Kerusakan pun meluas hingga ke level organ,. Pada fase ini, walaupun sirkulasi sudah
diperbaiki, defisit energi yang terlambat diperbaiki sudah menyebabkan kerusakan organ yang ekstensif. Akhirnya
terjadi gagal sirkulasi, nadi tidak teraba, dan gagal organ multipel.
Sumber: PATOFISIOLOGI SYOK HIPOVOLEMIK: Alvian Reza Muhammad KEPANITERAAN KLINIK ILMU
KESEHATAN ANAK PERIODE 27 November 2014–3 Januari 2015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TRISAKTI JAKARTA, 2014
Akibat penurunan fungsi paru : menurunnya compliance paru yang mengalami pneumothoraks pertukaran udara tidak
adekuat darah mengandung sedikit O2 pewarnaan yang kebiruan pada darah tampak warna kebiruan pada kulit dan
mukosa.
4. Mengapa pada pasien didapatkan syok? Apa saja tanda-tanda dan penyebab dari syok?
Aktivitas Listrik Tanpa Denyut (Pulseless Electrical Activity/PEA) adalah suatu keadaan dimana masih terdapat aktivitas
listrik jantung, tanpa disertai respon mekanik jantung berkontraksi untuk menghasilkan denyut yang teraba atau tekanan
darah yang terukur
Syok sirkulasi dapat menjadi ireversibel
Ketika tekanan darah turun sedemikian rendah sehingga aliran darah ke jaringan tidak lagi dapat dipertahankan, terjadi
keadaan yang disebut sebagai syok sirkulasi. Syok sirkulasi dapat disebabkan oleh
(1) kehilangan darah dalam jumlah besar seperti pada perdarahan (syok hipovolemik);
(2) kegagalan jantung yang telah melemah untuk memompa darah secara adekuat (syok kardiogenik);
(3) vasodilatasi arteriol luas (syok vasogenik) yang dipicu oleh bahan-bahan vasodilator (seperti pelepasan histamin
dalam jumlah besar pada reaksi alergi berat); atau
(4) tonus vasokonstriktor yang mengalami gangguan dari segi neural (syok neurogenik) (Gambar 10-39).
Sekarang kita akan meneliti konsekuensi dan kompensasi syok, dengan menggunakan perdarahan sebagai contoh
KONSEKUENSI DAN KOMPENSASI SYOK
Setelah terjadi pengeluaran darah dalam jumlah besar, penurunan volume darah dalam sirkulasi yang terjadi
menyebabkan penurunan aliran balik vena 1 dan selanjutnya penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri.
(Perhatikan kotak-kotak biru, yang menunjukkan konsekuensi perdarahan.)
Tindakan-tindakan kompensasi segera berupaya untuk mempertahankan aliran darah yang memadai ke otak dengan
meningkatkan tekanan darah menuju normal, diikuti oleh tindakan-tindakan yang ditujukan untuk memulihkan
volume plasma dan mengganti kehilangan sel darah merah, sebagai berikut: (Perhatikan kotak merah muda, yang
menunjukkan kompensasi untuk perdarahan). Pada waktu yang singkat, respons refleks baroreseptor terhadap
penurunan tekanan darah menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis dan penurunan aktivitas parasimpatis ke
jantung 2
Hasilnya adalah peningkatan kecepatan jantung 3 untuk mengatasi penurunan isi sekuncup 4 yang ditimbulkan oleh
kehilangan darah. Pada kehilangan cairan yang berlebihan, nadi menjadi lemah karena isi sekuncup
berkurang tetapi cepat karena bertambahnya kecepatan jantung.
Meningkatnya aktivitas simpatis ke vena menyebabkan vasokonstriksi vena generalisata 5, meningkatkan
aliran balik vena melalui mekanisme Frank-Starling 6
Secara bersamaan, stimulasi simpatis atas jantung 7 meningkatkan kontraktilitas jantung sehingga jantung
berdenyut lebih kuat dan menyemprotkan lebih banyak darah, meningkatkan isi sekuncup.
Meningkatnya kecepatan jantung dan isi sekuncup secara kolektif meningkatkan curah jantung 8
Vasokontriksi arteriol generalisata yang dipicu oleh aktivitas simpatis 9 menyebabkan peningkatan resistensi
perifer total 10
Bersama-sama, peningkatan curah jantung dan resistensi perifer total menyebabkan peningkatan kompensatorik
tekanan arteri 11
Penurunan tekanan arteri awal disertai oleh penurunan tekanan darah kapiler 12 yang menyebabkan pergeseran
cairan dari cairan interstisum kedalam kapiler untuk menambah volume plasma 13. Respons ini kadang-kadang
disebut ototransfusi karena memulihkan volume plasma seperti yang dilakukan oleh transfusi.
Pergeseran CES ini ditingkatkan oleh sintesis protein plasma oleh hati selama beberapa hari setelah perdarahan 14.
Protein plasma menimbulkan tekanan osmotik koloid yang membantu mempertahankan cairan tambahan dalam
plasma.
Pengeluaran urine berkurang sehingga air yang seharusnya dikeluarkan dari tubuh ditahan 15. Retensi cairan
tambahan ini membantu meningkatkan volume plasma 16 . Ekspansi volume plasma memperkuat peningkatan
curah jantung yang ditimbulkan oleh refleks baroreseptor 17. Penurunan pengeluaran urine terjadi karena
berkurangnya aliran darah ginjal 18 akibat vasokonstriksi kompensatorik arteriol ginjal. Berkurangnya volume
plasma juga memicu peningkatan sekresi hormon vasopresin dan pengaktifan jalur hormonal reninangiotensin-
aldosteron, yang menghemat garam dan air 19.
Meningkatnya rasa haus juga dirangsang oleh penurunan volume plasma yang terjadi pada perdarahan 20.
Peningkatan asupan cairan yang terjadi membantu memulihkan volume plasma.
Dalam perjalanan waktu yang lebih panjang (seminggu atau lebih), sel-sel darah merah yang hilang diganti melalui
peningkatan pembentukan sel darah merah yang dipicu oleh penurunan penyaluran O2 ke ginjal 21 (lihat h. 420
untuk perincian lebih lanjut).
SYOK IREVERSIBEL
- Mekanisme-mekanisme kompensasi ini sering kurang cukup untuk rnelawan kehilangan cairan yang substansial.
- Meskipun mereka dapat mempertahankan tekanan darah yang memadai, tindakan-tindakan jangka-pendek ini tidak
dapat berlangsung selamanya.
- Akhirnya, volume cairan harus diganti dari luar melalui minum, transfusi, atau kombinasi keduanya.
- Aliran darah ke ginjal, saluran cerna, kulit, dan organ lain dapat dikurangi untuk mempertahankan aliran darah ke
otak hanya selama sebelum kerusakan organ mulai terjadi.
- Dapat tercapai suatu titik ketika tekanan darah terus turun karena kerusakan jaringan, meskipun diberikan terapi
maksimal.
- Keadaan ini sering disebut syok ireversibel, berbeda dari syok reversibel, yang dapat dikoreksi dengan mekanisme
kompensatorik dan terapi yang dapat dikoreksi dengan mekanisme kompensatorik dan terapi yang efektif.
- Meskipun mekanisme pasti yang mendasari sifat ireversibel ini saat ini masih belum diketahui, banyak kemungkinan
logis yang dapat berperan menyebabkan perburukan sirkulasi progresif yang menandai syok ireversibel.
- Terjadi asidosis metabolik akibat peningkatan produksi laktat (asam laktat) karena jaringan yang kekurangan darah
mengandalkan metabolisme anaerob.
- Asidosis merusak sistem enzim yang berperan dalam produksi energi, membatasi kemampuan jantung dan
jaringan lain untuk menghasilkan ATP.
- Komplikasi:
o Penekanan berkepanjangan fungsi ginjal menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit yang dapat menimbulkan
aritmia jantung.
o Pankreas yang kekurangan darah mengeluarkan bahan kimia yang toksik bagi jantung (faktor toksik
miokardium) sehingga semakin memperlemah organ ini.
o Bahan-bahan vasodilator menumpuk di berbagai organ iskemik, termasuk vasodilatasi lokal yang
mengalahkan vasokonstriksi refleks generalisata.
o Seiring dengan semakin merosotnya curah jantung akibat berkurangnya efektivitas jantung sebagai pompa dan
resistensi perifer total terus menurun, hipotensi menjadi bertambah parah.
o Karena itu, ketika syok berkembang hingga ke tahap ketika sistem kardiovaskular itu sendiri mulai gagal,
timbul lingkaran setan umpan-balik positif yang akhirnya menyebabkan kematian. (Sherwood, 2016)
Sumber: Sherwood. (2016). Textbook of Human Physiology. In Bmj (Vol. 1, Issue 5277).
https://doi.org/10.1136/bmj.1.5277.531-b
sumber: Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Syok, 2015m UB Press, 2015, halaman 14-15
Indikasi parameter pada pemeriksaan/ pengkajian dalam mengestimasi kehilangan volume cairan:
sumber: Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2. No. 2. Juni 2010, 93-96, Kegawatdaruratan Syok
Hipovolemik (Enita Dewi dan Sri Rahayu) 93KEGAWATDARURATAN SYOK HIPOVOLEMIK Enita Dewi* Sri
Rahayu*
Tanda klinis awal syok antara lain: penurunan kesadaran, peningkatan work of breathing, peningkatan frekuensi
nadi, kualitas nadi yang lemah, waktu refill kapiler memanjang.
Secara umum, syok hipovolemik karena perdarahan menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi
(takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas
dingin, dan pengisian kapiler lambat.
Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung,
penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral.
Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap
terjadinya hipovolemia.
Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan.
Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan
penurunan tekanan nadi.
Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya
berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau
keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD and SR, 1999).
Sumber: PREDIKTOR KLINIS LESI INTRAABDOMEN PADA PENDERITA TRAUMA TUMPUL ABDOMEN
YANG DIRAWAT KONSERVATIF DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR I KETUT WIARGITHA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA 2017
Fraktur Maksila
Fraktur maksila dominan terjadi pada generasi muda, yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi pada kontur pasien
dan keterlibatan pada sistem mastikasi, sistem okular, olfactory apparatus dan jalur nafas nasal. Fraktur maksila sering
berhubungan dengan cedera seperti laserasi, fraktur maksilofasial lainnya, cedera ortopedik dancedera neurologi .
Renee Le Fort, mengembangkan sebuah klasifikasi yang terdiri dari dari tiga jenis fraktur, yaitu :18
a. Le Fort I
Fraktur Le Fort I juga dikenal sebagai fraktur Guerin sering merupakan akibat dari penerapan kekuatan gaya
horizontal pada rahang atas, yang fraktur maksila melalui sinus maksilaris dan sepanjang lantai hidung.
Fraktur tersebut memisahkan maksila dengan pterygoid plates dan nasal dan struktur zigomatik.
Tidak perlu dilakukan trakeostomi, sehingga intubasinya bisa lewat hidung
IDW, achbar
Fungsi mengunyah, interdental wayer, baru oris, meksilaris IMW
b. Le Fort II
Kekuatan yang diterapkan dalam arah yang lebih superior sering mengakibatkan fraktur Le Fort II, yang
memisahkan maksila dan kompleks nasal dari struktur orbital dan zigomatik. Le Fort II juga dikenal sebagai fraktur
piramidal.
c. Le Fort III
Fraktur Le Fort III merupakan hasil dimana ketika kekuatan gaya horizontal diterapkan pada tingkat yang
cukup superior untuk memisahkan komplek NOE, zigomatik dan maksila dari basis kranii, yang menghasilkan
pemisahan kraniofasial.
Sumber:
Hupp JR. Ellis E., Tucker MR. Contemporary oral and maxilofacial surgery. 6th ed. Missouri: Elsevier Mosby,
2014: 496-9.
Thaller SR, McDonald WS. Facial trauma. New York: Marcel Dekker Inc, 2004: 281.18.Andersson L,
Kahnberg KE
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang
maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa
orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang
dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur. Fraktur
tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort:
1.Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
- Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus
alveolaris dan palatum durum.
- Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw.
- Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
- Garis fraktur berjalan dari aperture piriformis di bagian atas spina nasalis, kemudian berjalan ke dinding sinus
maksilaris, Krista zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung kaudal prosesus pterigoideus, dinding posterior
sinus maksilaris hingga kembali ke aperture piriformis.
Patofisiologi
Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran
udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk kedalam rongga pleura dan
tidak dapat keluar lagi (one-way-valve).
Akibat udara yang masuk kedalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di
intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, terjadi displacement mediastinum dan
trachea.
Pada sisi yang berlawanan vena cava superior atau vena cava inferior terjadi gangguan venus
return ke jantung, terjadi kompresi paru kontralateral, terjadi hypoxia, hypotensi.
Etiologi
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
(ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral.
Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat
trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah
arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occlusive
dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve.
Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami
pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Gejala klinis
Tension pneumothorax di tandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi,
deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher.
Diagnosis
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh
karena menunggu konfirmasi radiologi.
Pemeriksaan penunjang
Radiologis : foto polos thoraks
Penatalaksanaan
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa
insersi jarum yang berukuran besar (ukuran 14 atau 16 gauge) pada sela iga dua garis mid-clavicular pada
hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi
pneumotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk
jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan thorax
drain dan WSD.
Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan terjadi penurunan suara saat bernafas
dan harus segera dilakukan ronsen dada. Di tangan dokter yang berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa
pneumotoraks dan hemotoraks, namun teknik ini jarang dilakukan sekarang ini. Tuba torakstomi harus dipasang
secara hati-hati untuk semua jenis hemathorax dan pnemuothorak. Dalam 85%, tube toraktomi adalah satu-
satunya metode yang dapat dilakukan. Jika pendarahan terus terjadi maka lebih baik dari sistemik daripada arteri
pulmonary.
Biasanya hematothorax ini terjadi pada luka tusuk dengan sobeknya pembuluh darah hilus atau sistemik.
a. Pada umumnya pembuluh darah intercostal dan mamaria interna terluka.
b. Setiap hemithorax dapat menampung hingga 3 liter darah.
c. Vena pada leher dapat menjadi datar karena hipovolemia atau menjadi tegang karena efek mekanis dari
darah di dalam thorax.
d. Robeknya pembuluh darah hilus atau pembuluh darah besar dapat mengakibatkan shock.
Diagnosa
a. Shock hemorrhagic.
b. Tidak adanya atau melemahnya suara paru unilateral.
c. Pekak unilateral pada perkusi.
d. Vena leher menjadi datar.
e. Foto thorax menunjukan gambaran radioopaque unilateral.
Pengobatan
a. Pasang intubasi pada pasien dengan shok atau dengan kesulitan bernafas.
b. Pasang infus ukuran besar dan sediakan darah untuk transfusi sebelum terjadi dekompresi.
c. Jika tersedia, pasangkan autotransfusi pada system pengumpul chest tube.
d. Lakukan thoracostomy tube dengan kateter ukuran besar (36F atau 40F) pada celah intercostal
keempat.
Chest tube kedua sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengeringkan hemothorax dengan lebih adekwat.
Indikasi thoracotomy:
a. Dekompensasi hemodinamika atau iritabilitas yang masih berlangsung akibat perdarahan dada.
b. Perdarahan yang ≥ 1500 mL sejak permulaan.
c. Perdarahan > 200ml/ jam yang masih berlangsung selama ≥ 4jam.
d. Hemothorax yang tidak berhasil di drainase secara tuntas, meskipun telah menggunakan 2 chest tube
yang berfungsi dan diposisikan secara benar.
e. Pertimbangkan Video Assisted Thoracoscopy (VATS) sejak dini untuk hemothorax yang tidak tuntas
di drainase atau hemothorax yang menggumpal.
d) Flail Chest
Patofisiologi
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih
tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur.
Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan
dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru dibawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada
tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi
(kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal
(inspirasi: dada ke bawah, ekspirasi: dada terangkat) dari dinding dada pada inspirasi dan
ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia
pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang
tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada.
Gerakan pernapasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi.
Penyebab
Trauma tumpul thoraks yang hebat
Gejala klinis
Berupa gangguan respirasi dari ringan sampai berat.
Pada inspeksi: deformitas dinding thoraks disertai gerakan paradoksal dinding thoraks yang patah.
Pada palpasi: nyeri tekan dan nyeri tekan sumbu disertai krepitasi.
Pada foto polos thoraks: patah tulang iga mltiple dan segmental atau lebih dari 2 garis fraktur.
Diagnosis
Terjadi hypoxia, hipoventilasi, pekak. Thoraks ipsilateral waktu perkusi, hilangnya atau menurunnya suara
nafas, hypotensi, meningkatnya vena leher. Pada X foto thoraks tampak effusi yang besar.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, darah
lengkap, saturasi O2.
Radiologi: foto toraks AP/Lateral akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi
terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat.
Penatalaksanaan
1) Segera lakukan intubasi apabila ada shock atau gejala dari depresi pernafasan seperti :
a. Nafas yang sulit yang membutuhkan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.
b. Respiratory rate > 35x/ menit atau < 8x/ menit.
c. Saturasi O2 < 90%, PaO2 < 60mmHg.
d. PaCO2 > 55 mmHg.
2) Pertimbangkan intubasi untuk pasien dengan riwayat hemodinamik yang tidak stabil, kebutuhan
pembedahan untuk memperbaiki masalah lain, COPD, penyakit jantung, atau pada usia-usia tertentu.
3) Pindahkan pasien ke Surgical Intensive Care Unit (SICU). Kondisi pasien dengan flail chest biasanya
memburuk dengan hypoxemia dan insufisiensi respiratory.
4) Pengendalian Nyeri
a. Regional anastesi berupa blok epidural merupakan yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri
pada pasien dengan trauma dinding dada.
b. Opioid sistemik yang diberikan dengan infus continu atau PCA (Patient Controlled Anesthesia).
c. Blok nervus intercostal.
5) Monitor pulse oximetry dan jika tersedia monitor secara continu tidal CO2.
6) Sediakan pulmonary hygiene, termasuk insentif spirometri dan batuk-napas dalam. Analgesik yang
adekwat dan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) memudahkan intubasi.
e) Cardiac Temponade
Penatalaksanaan
Pada umumnya multiple intervensi berikut ini dilakukan secara bersamaan. Pengobatan ini dapat di lakukan
baik di Emergency Department (ED) atau di Operating Room (OR), tergantung kondisi klinis pasien.
a. Tentukan kebutuhan intubasi, oxigenasi, dan volume awal resusitasi.
b. Pericardiosentesis dapat digunakan sebagai maneuver sementara untuk mengurangi tamponade hingga
pengobatan definitive dapat dilakukan. Hal ini sering sulit dilaksanakan karena prosedurnya yang sulit
dan jumlah darah yang sedikit di dalam kantung.
c. Jika pasien dalam keadaan Extreme, thoracotomy anterolateral sinistra dapat dilakukan guna
mengurangi tamponade.
d. Jika pasien Unstable, sternotomy segera dilakukan di OR.
e. Jika pasien Stable, pemeriksaan pericardial window dapat dilakukan di dalam OR untuk meyakinkan
diagnosis. Jika masih meninggalkan darah di dalam kantung/sac perluas insisi menjadi sternotomy.
B. Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa
a) Kontusio Pulmonum dengan atau tanpa flail chest
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat
kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat. Etiologinya dapat dikarenakan trauma thorax, kecelakaan lalu
lintas, terjadi terutama setelah trauma tumpul thorax dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme
perdarahan dan edema parenkim. Manifestasi Klinis, dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah
trauma, dispnea, ↓ PO₂ arteri, infiltrat terlokalisir pada foto thorax, pada kondisi berat dapat disertai : sekret
trakeobronkial yang banyak, hemoptisis, dan edema paru.
Berikan analgetik (intermitten atau kontinyu dengan morphine parenteral dapat juga dengan thoracic epidural)
dan tindakan toilet pulmonalis sangatlah penting. Penderita harus dimonitor di ICU untuk 24 – 48 jam.
Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat
bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu
ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu. Faktor predisposisi dilakukan intubasi
atau ventilasi mekanis:
a. Kontusi berat dengan hypoxia (Pa02 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, Sa02< 90 %)
b. Pre-existing chronic pulmonary disease
c. Gangguan tingkat kesadaran
d. Trauma abdomen mengakibatkan ileus atau explorasi laparotomi.
e. Trauma tulang yang memerlukan imobilisasi
f. Renal failure
g. Poor cough effort, atelektasis, lobar collapse.
d) Perforasi Esofagus
a. Kebanyakan merupakan trauma tembus terdapat pada luka tumpul esophagus (insiden < 0,1%). Variasi
presentasi tergantung lokasi luka:
Esofagus servicalis:
Emfisema subcutan, hematemesis.
Esofagus thoracalis:
Emfisema mediastinum, emfisema subcutan, emfisema pleura, udara pada retroesofagus. Demam tanpa
sebab 24 jam dari luka.
Esofagus intraabdominal:
Tanpa gejala, kemungkinan pneumoperitoneum, hemoperitoneum.
b. Diagnosa
Menembus selaput mediastinum atau leher dapat menunjukkan luka esophagus.
Adanya trauma tembus yang banyak pada trakheoktomi atau laparatomi.
Esofagoskopi dan esofagogram biasanya sensitive (60%), kombinasi keduanya bisa mempelajari
tentang luka esophagus.
CT scan dilakukan pada pasien yang stabil.
c. Penatalaksanaan
I. Operasi terbuka
Cervical
Insisi leher pada salah satu sisi sepanjang batas anterior dari otot sternocleidomastoideus.
Thorax bagian atas
Thoracotomi posterolateral kanan pada interkostal ke 5.
Thorax bagian bawah
Thoracotomi posterolateral kiri pada intercostal ke 6.
II. Perbaikan Definitif
a. Luka kurang dari 6 jam
Pertama-tama tutup dengan dua lapisan kedap sutura dan tutup pleura atau otot flap intercostalis.
Perbaikan esophagus bagian bawah dapat di tutup lagi dengan Nisser wrap, drain.
b. Luka komplex atau > 12 jam
Perbaiki luka seperti diatas, lakukan eesfagostomi cervical dan pertimbangkan menjahit esophagus
bagian bawah dengan tanda-tanda mediastinitis. Drainase pada rongga dada dan gastrektomi
keduanya merupakan indikasi.
c. Luka 6-12 jam
Masih controversial, bagaimanapun jika terdapat shock dengan trauma multiple dapat
dipertimbangkan hal di atas.
e) Robekan Diafragma
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul diafragma secara klasik besar, radial dan lokasinya posterolateral. Terjadi 65-80% pada
kasus hemidiaphragma kiri. Ruptur diafragma adalah tanda dari trauma intraabdominal.
b. Trauma tembus
Luka kecil, tapi lebih sering pada kepala.
Ketika terdiagnosa trauma tersebut membutuhkan perbaikan operasi, oleh karena trauma tersebut tidak
sembuh spontan dan dapat menyebabkan hernia atau strangulasi dari usus dalam waktu yang lama.
c. Diagnosa
I. Diagnosa dapat sangat sulit, tetapi berdasarkan mekanismenya terdapat index kecurigaan:
Deselerasi cepat atau kerusakan langsung pada abdomen bagian atas.
Trauma dada sebagian, fraktur rusuk bagian bawah.
Luka tembus pada dada dan abdomen.
II. foto thorax hanya mendiagnosa 25-50% kasus trauma tumpul. Beberapa kemungkinannya adalah:
Elevasi hemidiafragma atau atelektasis lobus bagian bawah.
Hemithorax pada nasogastric kiri.
Lambung, colon, atau usus pada bagian bawah dada.
Trauma tembus dan kerusakan usus, diafragma terlihat normal.
Tekanan positif menyebabkan tamponade hernia alat dalam dan memperlihatkan foto thorax normal
setelah extubasi, herniasi akan tampak pada foto thorax.
III. Pada hemidiafragma kanan jarang di diagnosa dengan foto thorax oleh karena adanya hepar.
IV. CT scan dapat salah, pada luka diafragma terlihat gambaran kosong hernia alat-alat dalam.
V. Diagnosa Peritoneal Lavage (DPL) menghasilkan negatif palsu pada 25-34% luka diafragma. Jika
tampak pada rongga dada ipsilateral, cairan DPL dapat diteliti diluar rongga dada.
VI. Visualisasi secara langsung luka dengan laparatomi, laparoskopi, atau thoracoskopi merupakan
diagnosa utama.
d. Penatalaksanaan
I. Perbaikan diafragma.
II. Perbaikan awal dilakukan dengan laparatomi, pada kebanyakan kasus dengan tidak ada penyerapan,
masalah potongan horizontal sutura.
III. Thorakotomi dibutuhkan untuk mengembalikan kerusakan yang besar pada hernia.
IV. Peralatan prostetik atau flaps terkadang dibutuhkan untuk menutup kerusakan.
V. Tingkat kematian sekitar 25-40% oleh karena berkaitan dengan trauma keras.
f) Kontusio Miocard
Istilah trauma tumpul pada jantung biasanya menggambarkan berbagai tingkatan trauma pada jantung. Ini dapat
dari memar pada otot jantung yang asimptomatis, sampai dengan disaritmia dengan gejala klinis yang
signifikan, gagal jantung akut, trauma katub atau rupture kardia. Walaupun jarang, trauma jantung dapat
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
Komplikasi yang sering dari trauma tumpul pada otot jantung adalah disaritmia seperti takikardi, kontraksi
premature atrium, atrial fibrilasi, dan kontraksi premature ventricular. Perubahan EKG lainnya yang mungkin
dapat terlihat adalah Right Bundle Branch Block atau trauma akut dengan ST elevasi dan gelombang T yang
datar.
1) Diagnosis
Dari beberapa literature masih terdapat perdebatan tentang kriteria diagnosa secara signifikan
I. 12 lead EKG dapat dilakukan sebagai screaning test pada pasien yang dicurigai
II. ECG dinyatakan positif jika menunjukkan gambaran disaritmia, atrial atau ventrikuler ektopi,
perubahan ST, Bundle Branch Block, atau block hemifasciculer.
III. Ecochardiography (Echo) dapat digunakan untuk memperkirakan gerak dinding dada dan kompetensi
katub. Trans Thoracic Echocardiogram (TTE) lebih nyaman bagi pasien dan non infasif walaupun
kadang secara teknis terbatas. TEE lebih infasif dan digunakan ketika TE tidak adekwat.
IV. Bukti baru level cardiac troponin 1 (cTn1) berhubungan dengan resiko aritmia dan komplikasi BCI.
Penelitian oleh Rajan dan Zellweger level yang menurun sampai 0,05 µg/L, 6 jam setelah trauma pada
pasien tanpa gejala klinis menunjukkan resiko komplikasi, hasil tersebut specific untuk BCI.
V. Presentasi fraktur sternum tidak berhubungan dengan presentasi.
2) Tatalaksana
Pasien dengan iskemia pada EKG atau elevasi cardia level enzim sama dengan infark miocard.
Jika ekokardiografi menunjukkan memar (hipokinesis atau pergerakan abnormal dinding dada) kirim
pasien ke ICU.
Jika tanda-tanda penderita berkembang dan gejala dari gagal jantung akut. Mulai monitoring secara
invasive dengan pemasangan arteri kateter.
a. Lanjutan EKG dilakukan pada gambaran awal abnormal atau tanda-tanda baru.
b. Trauma tumpul kardia bukan kontra indikasi absolute untuk operasi.
PUNGSI?
Untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior
dan posterior, pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus
(piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil
radang).
Indikasinya:
Menghilangkan sesak yang ditimbulkan cairan
Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal
Bila terjadi reakumulasi cairan
Kerugiannya: hilangnya protein, infeksi, pneumothoraxs.
Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya organ intraabdomen yang tidak mempunyai
kelenturan (noncomplient organ) seperti hati, limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen
sering disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor, jatuh
dari ketinggian dan pemukulan dengan benda tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung
abdomen dengan objek padat yang mengakibatkan robeknya subscapular organ padat seperti hati atau limpa. Bisa juga
karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya organ dan pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen
(hati atau arteri renalis). Atau bisa karena kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan intraluminal yang
menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen yang mayoritas sering mengenai organ
limpa sekitar 40% - 55%, hati 35% - 45% dan usus halus 5%-10%(Avini et al., 2011)
1. Cedera Hati/Hepar
Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung dengan baik, namun organ tersebut
sering mengalami cedera selain organ limpa.
Cedera organ hati paling utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan kapsulnya yang tipis yang disebut
Glisson capsule.
Cedera organ hati umumnya cedera akibat trauma tumpul.
Hati menempati hampir seluruh regio hypochondrica 14 dextra, sebagian di epigastrium dan seringkali meluas
sampai ke regio hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria.
Hati dapat mengalami cedera dikarenakan trauma tumpul ataupun trauma tembus.
Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi, sedangkan kantong empedu sangat jarang mengalami
trauma dan sulit untuk didiagnosis.
Penanganan trauma hati dalam 30 tahun terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan
banyaknya penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati. Salah satu studi retrospective yang pernah
dilakukan pada tahun 1992-2008 di kota Barcelona, Spanyol pada 143 pasien dengan diagnosis trauma hati, 87
pasien adalah konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan tindakan operasi ( 26% )(She et al., 2016).
Penegakkan diagnosis suatu trauma hati berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya.
Pada ruptur kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi peritoneum dan
nyeri pada epigastrium kanan.
o Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena
sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hati.
o Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan
adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual dan muntah.
Pada trauma tumpul abdomen dengan cedera hati sering ditemukan adanya fraktur tulang iga kanan bawah yaitu
tulang iga VII – IX (Alonso et al., 1997).
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti dengan penurunan kadar hemoglobin dan
hematokrit.
Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat trauma tumpul.
Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hati, meskipun
juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hati lainnya.
Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma (Garcia et
al., 2010).
Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma merupakan gejala yang sering terjadi.
Nyeri tekan dan defans muskuler tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat
menyebabkan iritasi peritoneum.
Pemeriksaan CT scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma hati, menilai derajat hemoperitoneum,
memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah
trauma hati yang memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hati berat, dan digunakan
untuk monitor kesembuhan.
Penggunaan CT scan terbukti sangat bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati.
Dengan CT scan menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari
penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus trauma hati (Njile, 2012).
2. Cedera Limpa/Lien
Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang merupakan jaringan limfe (limfoid)
terbesar dari tubuh.
Limpa berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di bawah hemidiafragma kiri.
Proyeksi letak limpa pada abdomen yaitu berada di hypocondriaca sinistra.
Organ ini terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel pada permukaan bawah diafragma dan
terlindung oleh lengkung iga. Sumbu panjangnya terletak sepanjang iga 10. Sejajar bagian posterior iga 9, 10,
11 dan terpisah dari diaphragma dan pleura(Sander, 2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul abdomen.
Cedera limpa merupakan kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat.
Limpa terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan.
Limpa membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material
yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel darah
merah dan berbagai jenis dari sel darah putih.
Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Cedera pada limpa biasanya
disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering
meyebabkan cedera limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil (Alonso et al., 1997).
Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung pada ada tidaknya organ lain yang ikut cedera,
banyak sedikitnya perdarahan, dan ada atau tidaknya kontaminasi rongga peritoneum.
Perdarahan hebat akibat cedera limpa dapat mengakibatkan syok hipovolemik berat.
Hipotensi atau takikardi merupakan tanda yang menunjukan adanya cedera limpa.
Tanda-tanda lain adanya cedera pada limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh nyeri
abdomen terutama kuadran kiri atas, datang dengan gambaran menyerupai tumor intra abdomen bagian kiri atas
yang nyeri apabila di tekan disertai tanda anemia sekunder.
Elevasi tungkai di tempat tidur atau pada posisi Trendelenberg dapat menimbulkan nyeri pada puncak bahu kiri
yang disebut Kehr sign.
Ciri diagnostik lain termasuk: peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000, foto
rontgen yang memperlihatkan fraktur tulang iga kiri bawah, peninggian diafragma, letak lambung bergeser
mendesak ke arah garis tengah, gambaran tepi limpa menghilang pada pemeriksaan CT scan(van der Vlies et al.,
2011).
Beberpa studi menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling umum yang ditunjukkan oleh pasien trauma limpa
adalah nyeri (90%) dan abdominal tenderness (85%).
Kecurigaan terjadinya cedera limpa juga dengan ditemukan adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau nyeri
abdomen kuadran kiri atas.
Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang
mengiritasi peritoneum.
Semua pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma,
harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat disingkirkan dengan pemeriksaan penunjang.
Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan rutin dilakukan pada rumah sakit pusat trauma(Costa et al.,
2010).
3. Cedera usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans
muskuler pada abdomen.
Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada jam
berikutnya.
Sedangkan perdarahan pada duodenum biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung.
Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen
konvensional. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada duodenum dan colon sigmoid didapatkan hasil
pemeriksaan pada rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam rongga retroperitoneal (Mehta, Babu
and Venugopal, 2014).
4. Cedera Ginjal
Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah ginjal.
Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat menjadi problem akut yang
mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif.
Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi
bedah pada kasus-kasus trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas,
terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Informasi mengenai riwayat trauma sangat penting
untuk diketahui sehingga dapat menilai besarnya proses decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat
dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau
avulsi pedikel ginjal(Lynch et al., 2005)
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas atau laserasi dan hematoma pada regio flank,
lower thorax dan upper abdomen. Penemuan lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah tulang iga
bawah, atau distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal (Indradiputra and
Hartono, 2016)
Hematuria merupakan poin diagnostik penting untuk trauma ginjal. Namun tidak cukup sensitif dan spesifik
untuk membedakan apakah suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak
berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya
ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan
hematuria(Lynch et al., 2005).
5. Cedera Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis.
Kebanyakan kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan.
Cedera pankreas harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada
benturan stang sepeda motor atau benturan setir mobil.
Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi.
Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke
punggung. Beberapa jam setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial. Diagnosis dengan
penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat
menegakan diagnosis yang lebih spesifik (Aziz, Bota and Ahmed, 2014).
6. Cedera Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas.
Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma.
Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska trauma.
Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari deselerasi dan akselerasi yang
berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada daerah lumbal 2 dan 3.
Gerakan tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun pada ureter yang menyebabkan
terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction.
Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri pada flank sampai ke
perut bawah.
Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc.
Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan gejala akibat
trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi lebih kepada trauma dengan gejala yang lebih jelas. Pilihan
terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis pasien. Hal
terpenting dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral
dengan lokasi trauma(Lynch et al., 2005).
Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang sering dihadapi pada pasien trauma tumpul
abdomen.
Syok karena perdarahan harus bisa dinilai secepat mungkin untuk tindakan lebih lanjut.
Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume
darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh.
Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-
gejala klinis.
Secara umum, syok hipovolemik karena perdarahan menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi
(takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas
dingin, dan pengisian kapiler lambat.
Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung,
penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral.
Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap
terjadinya hipovolemia.
Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan.
Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan
penurunan tekanan nadi.
Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya
berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau
keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD and SR, 1999).
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa hipotensi diidentifikasi sebagai penanda adanya cedera intraabdomen pada
pasien trauma tumpul(Farrath et al., 2012)
Setelah primary survey selesai baru dilakukan secondary survey berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang lengkap. Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar diagnosis cedera
intraabdomen. Pada pasien dengan hipotensi paska trauma, sangat penting untuk mengevaluasi apakah pasien
tersebut mengalami cedera abdomen atau tidak. Tingkat 20kewaspadaan yang tinggi terhadap terjadinya cedera
intraabdomen dan pemeriksaan yang komperhensif sangat diperlukan dalam manajemen trauma secara umum.
Beberapa alat diagnostik yang digunakan dalam menegakan diagnosis adanya cedera intraabdomen pada pasien
trauma tumpul abdomen adalah riwayat dan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik, laboratorium, foto polos
abdomen, ultrasonografi, diagnostik peritoneal lavage, CT scan abdomen, dan laparoskopi (van der Vlies et al.,
2011).
Algoritme
Gambar 2. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen (Mattox & Ernest Moore & David Feliciano, 2013)
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil, dilakukan
pemeriksaan CT scan untuk menilai apakah ada cedera organ intraabdomen.
Pada protokol ini tidak terlihat bahwa penggunaan CT scan berdasarkan indikasi yang selektif.
Gambar 3. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen. Penggunaan CT scan yang selektif (Feliciano,
2003).Ketersediaan ultrasonografi atau CT scan di rumah sakit merubah protokol manajemen trauma tumpul abdomen.
manajemen trauma tumpul abdomen berdasarkan alat penunjang yang ada di rumah sakit digambarkan pada diagram
berikut ini :
Gambar 4. Protokol manajemen trauma tumpul abdomen. berdasarkan alat penunjang diagnostik yang tersedia (Iqbal et
al., 2014)
Penegakan diagnosis cedera intraabdomenpada pasien trauma tumpul abdomen secara umum berdasarkan anamnesis
tentang riwayat trauma, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan ini dilakukan saat secondary
survey dalam penilaian awal pasien trauma.
1) Riwayat trauma
o Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera organ intraabdomen
yang lebih spesifik. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme
cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor,
kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata
dan mekanisme lain yang bisa menunjang diagnostik(Schurink G, 1997).
o Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma), keterangan saksi mata, catatan dari paramedik
sangat penting untuk diketahui pada setiap pasien trauma sehingga bisa mendeteksi cedera organ yang
mungkin terjadi pada pasien. Pada kecelakaan lalu lintas, yang perlu diketahui adalah kecepatan dan arah
dari kecelakaan (kendaraan), kerusakan kendaraan, penggunaan “seat-belts”, atau terlempar dari
kendaraan(Schurink G, 1997). Selain itu, riwayat AMPLE (Alergy, Medication, Past illness, Last meal,
Environment)penting diketahui untuk mengetahui kondisi penyerta pasien yang mengalami trauma.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi,
perkusi dan palpasi. Pada saat pasien datang ke rumah sakit, mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik cukup akurat
dalam menentukan cedera intraabdomen pada pasien dengan kesadaran baik dan responsif, meskipun terdapat
keterbatasan pemeriksaan fisik.
a.Inspeksi
- Penderita harus diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bagian depan sampai belakang, dan juga bagian
bawah dada dan perineum sesuai anatomi abdomen.
- Inspeksi untuk melihat adanya
o goresan/laserasi, robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status hamil pada perempuan.
o Adanya jejas, laserasi di dinding perut, atau perdarahan dibawah kulit (hematome)setelah trauma
dapat memberikan petunjuk adanya kemungkinan kerusakan organ di bawahnya.
o Ekimosis pada flank (Grey Turner Sign)atau umbilicus (Cullen Sign)merupakan indikasi
perdarahan retroperitoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai hari.
o Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena kemungkinan adanya
pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau adanya iritasi peritoneal.
o Pergerakan pernafasan perut yang tertinggal merupakan salah satu tanda kemungkinan adanya
peritonitis.
o Laserasi abdomen yang terlihat sesuai pola sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering
ditemukan sebagai tanda klinis terjadinya cedera organ intraabdomen (Beal et al., 2016).
o Sebuah penelitian menyatakan bahwa pada pasien trauma tumpul abdomen, nyeri perut disertai
dengan takikardi, nyeri lepas, distensi abdomen, defans muscular, adanya laserasi abdomen (seat
belt sign),ekimosis merupakan faktor prediktif dalam mengidentifikasi cedera intra-abdomen
(Poletti PA, et al.,2004).
Gambar 5. Seat belt sign, jejas menyerupai sabuk pengaman pada pasien trauma tumpul
abdomen(Trauma, 2012).
b.Auskultasi
- Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak.
- Pada robekan (perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan menghilang sama
sekali.
- Adanya bunyi usus pada auskultasi toraks kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma.
- Perdarahan intraperitoneum atau kebocoran (ekstravasasi) usus dapat memberikan gambaran ileus,
mengakibatkan hilangnya bunyi usus.
- Cedera pada struktur yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat
menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat cedera di intraabdomen, sehingga tidak adanya bunyi usus
bukan berarti pasti ada cedera intraabdominal (Hoff et al., 2002).
c.Perkusi
- Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya peritonitis tetapi masih
meragukan.
- Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup
bila ada hemiperitoneum.
- Perkusi redup hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut yang berarti
kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus.
- Nyeri ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis umum(Schurink G, 1997).
d.Palpasi
- Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri juga dapat bersifat spontan
tanpa dilakukan palpasi.
- Lokasi nyeri sangat penting untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena.
- Nyeri abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan peritonitis akbat
iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus.
- defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum.
- Palpasi menentukan adanya nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas.
- Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba -tiba, dan biasanya
menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi peritonium
(Rostas et al., 2015).
- Cedera abdomen sering disertai oleh cedera organ lain, terutama pada kasus trauma multiple. Identifikasi
cedera lain ini dapat memprediksi apakah ada organ intraabdomen yang mengalami cedera setelah
terjadinya trauma.
- Fraktur kosta kanan, terutama yang dibawah sering disertai cedera organ dibawahnya yaitu hati. Evaluasi
hati sangat diperlukan jika menemukan pasien dengan fraktur kosta kanan bawah.
- Fraktur kosta kiri bawah berhubungan dengan cedera limpa, karena limpa tepat berada di bawah kosta
tersebut.
- Ditemukanya kontusio di midepigastrium menandakan kemungkinan cedera organ dibawahnya seperti
duodenum dan pancreas.
- Fraktur pelvis terutama yang tidak stabil sering disertai trauma pada urogenital seperti buli-buli dan
uretra.
- Sedangkan fraktur pada prosesus transversalis lumbal seringmenyebabkan trauma pada ginjal(van der
Vlies et al., 2011).
3) Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien trauma adalah : laboratorium, foto
toraks dan abdomen, ultrasonografi, DPL, CT scan dan laparoskopi diagnostik.
- Pemeriksaan dilakukan tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan
cedera.
- Pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi (USG)
abdomen, atau CT scan.
- Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang
resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera intraabdomen (Vlies,
2017).
- Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi arti kecuali digunakan sebagai
data dasar dalam monitor perkembangan klinik selanjutnya. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
secara serial, seperti misalnya serial haematocrit dan hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase
untuk monitor adanya traumapancreas. Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan dalam manajemen
trauma abdomen antara lain:
Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin(Hb), hematokrit(Hct)danplatelet (PLT)
Blood Urea Nitrogen(BUN), mungkin meningkat menandakan adanya disfungsi ginjal.
Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk menilai adanya koagulopati
Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.
- Complete Blood Count (CBC)merupakan pemeriksaan lab sederhana yang cepat bisa dilakukan, meliputi
komponen hemoglobin, hematokrit dan platelet.
o Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) diperlukan untuk data dasar bila terjadi perdarahan terus menerus,
demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit (Hct).
o Hb dan Hct yang cenderung menurun saat diperiksa lebih dari satu kali, menandakan kemungkinan
adanya proses perdarahan didalam perut yang sedang berlangsung.
o Tanda ini sebagai faktor prediktif terjadinya cedera intraabdomen sehingga diperlukan pemeriksaan
penunjang lainya.
- Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan
cukup banyak terutama pada cederaa lienalis.
- Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus
halus.
- Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma terjadi pada hati.
- Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma.
- Penurunan hematokrit merupakan tanda kehilangan darah yang banyak, Respon terhadap resusistasi akan
menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.(Vlies, 2017). Penelitian di Amerika mempelajari
tentang beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada pasien yang mengalami cedera intraabdomen.
Beberapa studi menunjukkan defisit basa (< -6 mEq/L) adalah prediktif pada cedera intra-abdomen.
Hematuria (25-50 RBC/hpf) diprediksi empat kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat
hematokrit kurang dari 30% meningkatkan kemungkinan cedera intraabdomen lebih banyak daripada
hematokrit <36%. Penurunan Hct lebih dari 5%sangat signifikan berhubungan dengan cedera
intraabdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk peningkatan jumlah WBC dan peningkatan laktat,
kurang berguna untuk mengidentifikasi pasien dengan cedera intraabdomen. Transaminase hati yang
meningkat (aspartate aminotransferase atau alanine aminotransferase) adalah petanda adanya kerusakan hati
(Holmes, Wisner, et al., 2009)
- Foto polos abdomen berguna untuk melihat adanya udaraatau cairan bebas intraabdomen. Dibutuhkan
kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada foto polos abdomen.
- Foto tegak dapat menunjukan udara bebas intraperitoneal yang disebabkan oleh perforasi organ visera
berongga, adanya nasogastric tube pada rongga thoraks (cedera diaphragma).
- Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang
harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma.
- Pada penderita yang hemodinamik stabil, maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan terlentang
dan tegak mungkin berguna untuk mengetahui adanya uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara
bebas di bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila foto tegak dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat
digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal(Jansen, Yule and Loudon, 2008).
- Pengenalan diagnostic peritoneal lavage(DPL) pada tahun 1965 memberikan metode yang aman dan
murah yang dengan cepat dapat mengidentifikasi adanya cedera intraabdomen. DPL merupakan tes cepat
dan akurat yang digunakan untuk mengidentifikasi cedera intraabdomen setelah trauma tumpul pada pasien
hipotensi paska trauma tanpa indikasiyang jelas untuk laparotomi eksplorasi abdomen.
- Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut : nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya,
Trauma pada bagian bawah dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas, pasien cedera
abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera abdominal dan cedera
medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang pelvis.
- Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil, pernah operasi abdominal,
operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL nantinya tidak akan merubah penatalaksanaan.
- Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage
berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari
500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan(Ikegami
et al., 2014).
- Di Amerika Serikat Ultrasonografi (USG) telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir untuk evaluasi
pasien dengan trauma tumpul abdomen.
- Tujuan evaluasi USG untuk mencari cairan bebas intraperitoneal.
- Hal ini dapat dilakukan dengan cepat dan tidak invasive, dengan tingkat keakuratan sama dengan DPLuntuk
mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun tujuan USG adalah
untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal.
- Mesin portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien dengan
hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien tersebut.
- Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage adalah USG merupakan tindakan yang
noninvasif. USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada hati dan ginjal, namun tidak mampu secara tepat
memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi.
- Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil.
Sensitivitas berkisar dari 85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%. Sebuah studi
mengemukanan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti pada trauma
tumpul(Radwan and Abu-Zidan, 2006).
- Computed Tomography Abdomen(CT Scan Abdomen ) adalah metode yang paling sering digunakan
untuk mengevaluasi pasien dengan trauma abdomen tumpul yang stabil.
- Metode pencitraan CT scan telah membawa perubahan besar dalam penanganan pasien dengan trauma
tumpul abdomen.
- Manfaat terbesarnya adalah penurunan jumlah pasien yang memerlukan tindakan pembedahan dan operasi
non terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan dalam menilai tingkat beratnya cedera intraabdomen masih
dipertanyakan. Suatu penelitian menyatakan bahwa grading trauma hati preoperative dengan CT scan
dihubungkan dengan penemuan saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus ditekankan untuk mengambil
tindakan intervensi operasi didasarkan pada stabilitas hemodinamik pasien tanpamemperhatiakan grading
CT scan(Mariappan and Madhusudhanan, 2016).CT merupakan prosudur diagnostik dimana kita perlu
memindahkan pasien ke tempat scanner, pemberian kotras intravena, dan pemeriksaan CT harus mengenai
regio abdomen secara keseluruhan termasuk daerah pelvis. Diperlukan banyak waktu, sehingga dilakukan
pada pasien trauma abdomen dengan hemodinamik stabil dan tanpa tanda peritonitis. Dengan CT scan,
dapat memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan serta tingkat dari kerusakan
organ tersebut.
- CT juga mendiagnosis kerusakan organretroperitoneal maupun daerah pelvis yang kadang kadang sulit
diperiksa secara fisik, FAST maupun DPL.
- Kontraindikasi relative penggunaan CT scan antara lain : pasien yang tidak kooperatif, alergi terhadap
bahan kontras, dan penundaan sampai alat CT siap digunakan.
- Pemeriksaan fisik yang akurat dan laboratorium sederhana bisa memprediksi adanya cedera intraabdomen
tanpa segera melakukan tindakan CT scan, sehingga penggunaanya bisa lebih minimal dan mengurangi
biayadan paparan radiasi(Mohamed El Wakeel, 2015).CT scan abdomen memiliki akurasi yang tinggi,
sensitivitasnyaantara 92% sampai 97,6% dan spesifisitas setinggi 98,7%, dan memiliki negative predictive
valueyang sangat tinggi yaitu hampir 97%. Beberapa studi mengatakan bahwapasien dengan kecurigaan
trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit selama paling sedikit 24 jam untuk observasi
meskipun hasil CT abdomen negatif. Walaupun ada studi yang menjelaskan bahwa CT scan negatif dapat
menjadi patokan untuk memulangkan pasien dan selanjutnya rawat jalan(Garber et al., 2000).Pemeriksaan
CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas yang ahli untuk melakukannya dan dokter
spesialis radiologi untuk membuat interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif
terhadap organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera pada usus
terutama robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital dan coronal tidak dilakukan, dan
cedera pankreas bila dilakukan segera setelah trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan
tidak adanya cedera pada organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus
tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
bila disepakati untuk tatalaksana konservatif. Kerugian CT abdomen lainya yaitu perlunya mentransfer
pasien ke unit CT scan, bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi
yang baik bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik
sebelumnya dapat menghalangi penggunaan CT abdomen. Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat
menurunkan sensitifitas CT abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat(Vadodariya, Hathila and
Doshi, 2014).Meski keunggulan CT dibandingkan dengan radiologi konvensional telah terbukti untuk
diagnosis cedera intraabdomen, namun penggunaan CT scan masih kontroversi. Banyak studi menganalisa
apakah CT scan dilakukan secara rutin pada setiap trauma tumpul atau selektif digunakan sesuai temuan
klinis yang signifikan. CT scan menjadi modalitas utama pemeriksaan penunjang untuk diagnosis cedera
intraabdomen pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Tetapi karena mahalnya biaya yang diperlukan
dan banyaknyahasil CT scan yang negatif serta paparan radiasi menyebabkan strategilain dalam diagnostik
mulai dikembangkan (Brenner and Hall, 2007).Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi
obyektif trauma tumpul abdomen dengan CT scan adalah apa yang harus dilakukan ketika ditemukan
adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda organ padat atau cedera mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas
yang relatif kurang bagi CT scan untuk mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan dilema bagi
dokter bedah. Pilihan yang baik untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi abdomen dan menerima
tingkat resiko yang signifikan pada laparotomi nontherapeutic. Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai
98% dengan tingkat positif palsu dan negatif palsu yang rendah. Indikasi Computerized tomography (CT)
adalah: gejala cedera intraabdomen muncul lebih dari 24 jam setelah trauma, hasil DPL yang meragukan,
adanya kontraindikasi relative untuk DPL, kecurigaan trauma retroperitoneal seperti adanya hematuria.
Sedangkan kontraindikasi dari CT scan adalah : adanya indikasi untuk laparotomi, kehamilan, agitasi, dan
alergi terhadap media kontras (Vadodariya, Hathila and Doshi, 2014).Aplikasi diagnostik dan terapeutik
dari laparoskopi digunakan dalam banyak bidang, termasuk juga trauma tumpul abdomen. Indikasi
penggunaan laparoskopi dalam trauma abdomen masih diperdebatkan, tetapi laparoskopi diagnostik sudah
sering dipergunakan untuk evaluasi cedera intraabdomen, sehingga dapat menentukan manajemen pasien
selanjutnya. Syarat mutlaknya adalah hemodinamik harus stabil. Kelemahan penggunaan laparoskopi pada
trauma abdomen diantaranya : pasien membutuhkan anestesi umum, resiko pneumothraks pada cedera
diaphragm, resiko emboli gas pada trauma vena besar, peningkatan TIK pada pasien trauma kepala,
masalah waktu dan biaya(Justin, Fingerhut and Uranues, 2017).
Sumber: PREDIKTOR KLINIS LESI INTRAABDOMEN PADA PENDERITA TRAUMA TUMPUL ABDOMEN
YANG DIRAWAT KONSERVATIF DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR I KETUT WIARGITHA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA 2017
Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung dengan baik, namun organ tersebut sering
mengalami cedera selain organ limpa. Cedera organ hati paling utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan
kapsulnya yang tipis yang disebut Glisson capsule. Cedera organ hati umumnya cedera akibat trauma tumpul. Hati
menempati hampir seluruh regio hypochondrica 14 dextra, sebagian di epigastrium dan seringkali meluas sampai ke
regio hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria. Hati dapat mengalami cedera dikarenakan trauma tumpul ataupun
trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi, sedangkan kantong empedu sangat jarang
mengalami trauma dan sulit untuk didiagnosis. Penanganan trauma hati dalam 30 tahun terakhir telah mengalami banyak
perkembangan seiring dengan banyaknya penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati. Salah satu studi
retrospective yang pernah dilakukan pada tahun 1992-2008 di kota Barcelona, Spanyol pada 143 pasien dengan diagnosis
trauma hati, 87 pasien adalah konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan tindakan operasi ( 26% )(She et al.,
2016).
Penegakkan diagnosis suatu trauma hati berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni,
tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi peritoneum dan nyeri pada epigastrium kanan. Adanya
tanda-tanda syok hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena sentral yang rendah, dan
adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hati. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis
biliar dari kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual dan muntah. Pada
trauma tumpul abdomen dengan cedera hati sering ditemukan adanya fraktur tulang iga kanan bawah yaitu tulang iga VII
– IX (Alonso et al., 1997).
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti dengan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit.
Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati yang
meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hati, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu
perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hati lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari
ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma (Garcia et al., 2010).
Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma merupakan gejala yang sering terjadi. Nyeri tekan dan
defans muskuler tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum.
Pemeriksaan CT scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma hati, menilai derajat hemoperitoneum,
memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma
hati yang memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hati berat, dan digunakan untuk monitor
kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti sangat bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati.
Dengan CT scan menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari penanganan rutin
bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus trauma hati (Njile, 2012).
2. Cedera Limpa/Lien
Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang merupakan jaringan limfe (limfoid) terbesar dari
tubuh. Limpa berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di bawah hemidiafragma kiri. Proyeksi letak
limpa pada abdomen yaitu berada di hypocondriaca sinistra. Organ ini terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen,
menempel pada permukaan bawah diafragma dan terlindung oleh lengkung iga. Sumbu panjangnya terletak sepanjang
iga 10. Sejajar bagian posterior iga 9, 10, 11 dan terpisah dari diaphragma dan pleura(Sander, 2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul abdomen. Cedera limpa merupakan
kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka thorak
kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di
dalam tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak.
Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih. Robeknya limpa menyebabkan
banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Cedera pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri
atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan cedera limpa adalah kecelakaan olahraga,
perkelahian dan kecelakaan mobil (Alonso et al., 1997). 16
Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung pada ada tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak
sedikitnya perdarahan, dan ada atau tidaknya kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan hebat akibat cedera limpa
dapat mengakibatkan syok hipovolemik berat. Hipotensi atau takikardi merupakan tanda yang menunjukan adanya
cedera limpa. Tanda-tanda lain adanya cedera pada limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh nyeri
abdomen terutama kuadran kiri atas, datang dengan gambaran menyerupai tumor intra abdomen bagian kiri atas yang
nyeri apabila di tekan disertai tanda anemia sekunder. Elevasi tungkai di tempat tidur atau pada posisi Trendelenberg
dapat menimbulkan nyeri pada puncak bahu kiri yang disebut Kehr sign. Ciri diagnostik lain termasuk: peningkatan atau
penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000, foto rontgen yang memperlihatkan fraktur tulang iga kiri bawah,
peninggian diafragma, letak lambung bergeser mendesak ke arah garis tengah, gambaran tepi limpa menghilang pada
pemeriksaan CT scan(van der Vlies et al., 2011).
Beberpa studi menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling umum yang ditunjukkan oleh pasien trauma limpa adalah nyeri
(90%) dan abdominal tenderness (85%). Kecurigaan terjadinya cedera limpa juga dengan ditemukan adanya fraktur
tulang iga IX dan X kiri, atau nyeri abdomen kuadran kiri atas. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler
akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau
hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma, harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan rutin dilakukan pada
rumah sakit pusat trauma(Costa et al., 2010).
3. Cedera usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric
pain’ yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus
akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada duodenum
biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya udara
17
bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen konvensional. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada duodenum dan
colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam rongga
retroperitoneal (Mehta, Babu and Venugopal, 2014).
4. Cedera Ginjal
Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah ginjal. Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total
seluruh trauma. Trauma ginjal dapat menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal
bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun
terakhir telah mengurangi angka intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya terjadi pada
kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Informasi mengenai
riwayat trauma sangat penting untuk diketahui sehingga dapat menilai besarnya proses decelerasi yang terjadi. Decelerasi
yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah
vena, atau avulsi pedikel ginjal(Lynch et al., 2005)
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas atau laserasi dan hematoma pada regio flank, lower
thorax dan upper abdomen. Penemuan lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi
abdomen setelah trauma dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal (Indradiputra and Hartono, 2016)
Hematuria merupakan poin diagnostik penting untuk trauma ginjal. Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk
membedakan apakah suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan
beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel
ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan hematuria(Lynch et al., 2005).
5. Cedera Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan.
Cedera pankreas harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada benturan 18
stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Pasien
dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung.
Beberapa jam setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial. Diagnosis dengan penentuan amilase serum
biasanya tidak terlalu membantu dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih spesifik
(Aziz, Bota and Ahmed, 2014).
6. Cedera Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak
dikenali pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan
dengan adanya hematuria paska trauma. Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari
deselerasi dan akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada daerah lumbal 2 dan 3. Gerakan tiba-
tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada
ureteropelvic junction. Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri pada flank
sampai ke perut bawah. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc.
Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan gejala akibat trauma lain,
sehingga tingkat kecurigaan tertinggi lebih kepada trauma dengan gejala yang lebih jelas. Pilihan terapi yang tepat
tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis pasien. Hal terpenting dalam pemilihan
tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral dengan lokasi trauma(Lynch et al., 2005).
• Menentukan adanya perdarahan luar mudah karena terlihat
• Memeriksa adanya perdarahan dalam SULIT, terutama pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran
• EMPAT tempat perdarahan dalam yang harus diperiksa adalah : rongga thorax, rongga abdomen, pelvis dan tulang
panjang terutama femur
– Rongga thorax dengan pemeriksaan fisik dan foto
– thorax Rongga abdomen dengan pemeriksaan fisik dan FAST atau DPL
– Pelvis dengan pemeriksaan fisik dan rontgen pelvis
– Femur / tulang panjang lain dengan pemeriksaan fisik dan radiologi
Sumber: PREDIKTOR KLINIS LESI INTRAABDOMEN PADA PENDERITA TRAUMA TUMPUL ABDOMEN YANG
DIRAWAT KONSERVATIF DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR I KETUT WIARGITHA PROGRAM
PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA 2017
a. Trauma Tumpul
1) Diagnostik Peritoneal Lavage
o DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien
berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh
team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal,terutama
bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal.
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama,
pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi.
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus.
o DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan
disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan.
o Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi.
o Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya.
o Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih.
o Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah
kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar.
o Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube
DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi.
o Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat
(pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll,
cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150).
o Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,
eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat.
Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada
aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih (Scheets, 2002 : 279-280).
2) FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
o Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum.
o Dengan adanya peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk mendeteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL
dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk
mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun.
o Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan
dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya.
o Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL (American College of Surgeon Committee of
Trauma, 2004 : 150).
3) Computed Tomography (CT)
o Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat
kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di
diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL (American College of Surgeon Committee of
Trauma, 2004 : 151).
b. Trauma Tajam
1) Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas
diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan
CT scan.
2) Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan.
Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang
tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
3) Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast pada cedera flank maupun
punggung. Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT
dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang
mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi
cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
2. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
1) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
2) Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien
trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral
decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen
diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya
bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
b. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
o Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada
pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal.
o Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu
luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen
foto abdomen tidur.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
4) Koagulasi : PT,PTT
d. MRI
e. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
f. CT Scan
g. Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk
VIII-X.
h. Scan limfa
i. Ultrasonogram
j. Peningkatan serum atau amylase urine
k. Peningkatan glucose serum
l. Peningkatan lipase serum
m. DPL (+) untuk amylase
n. Peningkatan WBC
o. Peningkatan amylase serum
p. Elektrolit serum
q. AGD (ENA,2000:49-55)
Sumber:
o Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta. EGC
o Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Salemba Medika
12. Bagaimana penanganan luka pada masing-masing trauma? Dan bagaimana penanganan secara keseluruhan terhadap pasien?
ABDOMEN
Manajemen trauma tumpul abdomen
Penatalaksanaan pada pasien-pasien trauma tumpul abdomen pada dasarnya sama dengan trauma-trauma
lainnya berupa primary survey yang cepat, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
a. Primary survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenalidan resusitasinya dilakukan pada saat
itu juga.Tindakan primary survey dilakukan secara berurutan sesuai prioritas tapi dalam praktenya hal-hal tersebut
sering dilakukan bersamaan (simultan).
Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas berupa obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan
oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula, maksila atau trakea. Membebaskan jalan napas harus
melindungi vertebra servikal dengan melakukan jaw thrust. Pada pasien yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa
jalan napas bersih dan tetap harus dinilai ulang.Pada pasien yang masih sadar dapat memakai nasopharingeal airway,
sedanglkan pada pasien yang tidak sadar dan tidak ada gag reflex dapat menggunakan oropharingeal airway. Pasien
dengan GCS kurang dari 8 atau adanya keraguan mengenai kemampuan menjaga airway perlunya airway definitif.
Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada, dan diafragma. Buka dada pasien untuk melihat ekspansi pernapasan. Auskultasi untuk memastikan
masuknya udara ke dalam paru. Perkusi untuk menilai adanya udara atau cairan dalam rongga pleura. Inspeksi dan
palpasi untuk melihat abnormalitas gerakan atau getaran dinding dada. Jika ada gangguan ventilasi atau gangguan
kesadaran diatasi dengan face mask, intubasi endotrakeal yaitu nasopharingeal airway atau oropharingeal airway.
Kemudian pasang pulse oximetry untuk menilai saturasi O2yang adekuat.
Circulation
Penilaian pada tahap ini meliputi volume darah, tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
1. Volume darah
Adanya hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya.3 jenis penilaian
secara cepat yang dapat memberikan gambaran keaadaan tersebut yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
2. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan penurunan kesadaran.
3. Warna kulit
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas jarang dalam keadaan
hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat sebagai tanda hipovolemia.
4. Nadi
Periksa pada nadi besar seperti arteri femoralis, arteri karotis, untuk kekuatan, kecepatan dan irama nadi. Nadi
yang tidak cepat, kuat dan teratur merupakan normovolemia (bila tidak minum beta bloker). Nadi yang cepat dan
kecil merupakan hipovolemia.Kecepatan nadi yang normal tidak menjamin normovolemia. Nadi yang tidak tertaur
biasanya tanda gangguan jantung.Tidak ada pulsasi dari arteri besar mengindikasikan perlunya resusitasi segera.
5. Perdarahan
Perdarahan eksternal yang tampak dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara ( pneumatic splinting
device) sebagai pengontrol perdarahan yang tembus cahaya. Torniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak
jaringan dan menyebabkan iskemia distal, kecuali pada amputasi traumatik.Sedangkan pemakaian hemostat
memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan seperti saraf dan pembuluh darah.
Jika ada gangguan sirkulasi atau syok hipovolemia minimal pasang 2 IV line untuk resusitasi cairan kristaloid
(ringer laktat / RL) 2-3 liter.Jika tidak ada respon diberikan tranfusi darah segolongan.Jika tidak ada darah
segolongan, dapat diberikan darah tipe O rhesus negatif atau darah tipe O rhesus positif dengan titer rendah.Jangan
memberikan vasopresor, steroid atau bikarbonas natricus.Jangan memberikan resusitasi cairan RL atau transfusi
darah secara terus menerus, karena keadaan ini harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.
Sebelum resusitasi, lakukan dengan cepat pemeriksaan genitalia dan colok dubur untuk menilai ada tidaknya
tanda-tanda ruptur uretra yaitu prostat letak tinggi atau tidak teraba. Tanda lain ruptur uretra berupa adanya darah di
orifisium uretra eksternal (metal bleeding), hematom skrotum atau di perineum. Jika tidak ada tanda-tanda tersebut
maka selama resusitasi, pasang kateter urin untuk menilai perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Namun, jika
diduga adanya ruptur uretra, jangan pasang kateter urin tetapi lakukan uretrogram terlebih dahulu.
Nasogastric tube (NGT) dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan muntah.
Darah dalam lambung dapat disebabkan karena traumatik karena pemasangan NGT atau perlukaan lambung.Jika
ada dugaan patah pada lamina kibrosa, NGT yang dipasang hanya bisa yang melaluui mulut untuk mencegah
masuknya NGT dalam rongga otak.
Disability
Pada tahap ini dilakukan penilaian neurologis secara cepat berupa tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
Exposure
Pada tahap ini, pakaian pasien dibuka keseluruhan kemudian dinilai kelainan yang tampak secara
cepat.Selanjutnya selimuti pasien agar tidak hipotermi.
b. Secondary survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala hingga kaki (head to toe) termasuk anamnesis dan reevaluasi
pemeriksaan tanda vital.Tahap ini baru dilakukan setelah primary survey dan resusitasi selesai serta pasien dipastikan
sudah membaik.Jika kondisi hemodinamik pasien sudah stabil tanpa tanda-tanda peritonitis bisa diperiksa lebih detail
untuk menentukan apakah ada trauma spesifik atau apakah selama observasi timbul tanda peritonitis atau perdarahan.
Anamnesis
Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang berhubungan dengan pasien trauma tumpul
abdomen, khususnya yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut, baik itu dari
pasien, keluarga, saksi, ataupun polisi dan paramedis. Hal-hal tersebut mencakup:
a. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan
b. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan
c. Apakah pasien meninggal
d. Apakah pasien terlempar dari kendaraan
e. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbags
f. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol
g. Apakah ada cidera kepala atau tulang belakang
h. Apakah ada masalah psikiatri
Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau penggunaan obat-obat anti platelet
(seperti pada defek jantung congenital) karena dapat meningkatkan resiko perdarahan pada cidera intra abdomen
(Wegner et al.,2006).
Pemeriksaan fisik
Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan semua cidera merupakan prioritas.
Perlu digali apakah ada cidera kepala, sistem respirasi, atau sistem kardiovaskular diluar cidera abdomen (Salomone &
Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg, 2011).
Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada survey sekunder abdomen. Untuk cidera
yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan segera, survei sekunder yang komprehensif dapat ditunda
sampai kondisi pasien stabil. Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan pada penderita. Banyak
cedera yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.
a. Inspeksi
Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera. Perlu diperhatikan adanya area yang
abrasi dan atau ekimosis. Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi karena sabuk
pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk contusio). Pada banyak penelitian, tanda (bekas) sabuk
pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur usus halus dan peningkatan insidensi cidera intra abdomen.
Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan cedera medulla spinalis. Perhatikan
distensi abdomen, yang kemungkinan berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang
diakibatkan iritasi peritoneal. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada pasien dengan
cedera trauma tumpul abdomen.
Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan peritoneal, namun gejala ini biasanya
muncul dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan edema panggul meningkatkan kecurigaan adanya cedera
retroperitoneal.
Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak, perdarahan, dan hematom.
b.Auskultasi
Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula arteriovenosa traumatik. Suara usus
pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika. Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen
dan perhatikan reaksinya.
c. Palpasi
Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon pasien. Perhatikan massa abnormal,
nyeri tekan, dan deformitas. Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan intraabdomen.
Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda potensial untuk cidera limpa atau hati
yang berhubungan dengan cedera tulang rusuk. Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus
urinarius bagian bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka berhubungan tingkat
kematian sebesar 50%.
Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan cedera. Feces semestinya juga
diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat atau tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk mengetahui status
neurologis dari pasien.
Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya cedera medulla spinalis. Cedera
medulla spinalis bisa berhubungan dengan penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien.
Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena bantuan ventilasi atau terlalu
banyak udara.
Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera setelah cedera menandakan adanya
kebocoran isi usus.
d. Perkusi
Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal. Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan
kemungkinan besar konsultasi pembedahan. Perkusi pada dinding abdomen menyebabkan pergerakan peritoneum dan
dapat menunjukkan peritonitis. Perkusi timpani pada kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut atau bunyi redup
bila ada hemoperitoneum
Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Salomone & Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk korban trauma
biasanya termasuk glukosa serum, darah lengkap, kimia serum, amylase serum, urinalisis, pembekuan darah, golongan
darah, arterial blood gas (ABG), ethanol darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia produktif).
a. Pemeriksaan darah lengkap
Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa dijadikan acuan bahwa tidak terjadi
perdarahan. Pasien pendarahan mengeluarkan darah lengkap. Hingga volume darah tergantikan dengan cairan kristaloid
atau efek hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone [ACTH], aldosteron, antidiuretic hormone [ADH]) dan
muncul pengisian ulang transkapiler, anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan pemberian transfusi pada pasien
dengan kadar hematokrit yang relatif normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat (seperti fraktur pelvis
terbuka), atau kehilangan darah yang signifikan.
Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia berat (jumlah trombosit<50,000/mL) dan terjadi
perdarahan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan cidera
berat. Peningkatan sel darah putih tidak spesifik dan tidak dapat menunjukkan adanya cidera organ berongga.
b. Kimia serum
Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan jarang menggunakan obat-obatan yang
mempengaruhi elektrolit (seperti diuretik, pengganti potassium). Jika pengukuran gas darah tidak dilakukan, kimia
serum dapat digunakan untuk mengukur serum glukosa dan level karbon dioksida. Pemeriksaan cepat glukosa darah
dengan menggunakan alat stik pengukur penting pada pasien dengan perubahan status mental.
c. Tes fungsi hati
Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting dilakukan, namun temuan peningkatan hasil
bisa dipengaruhi oleh beberapa alasan (contohnya penggunaan alkohol). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar
aspartate aminotransferase (AST) atau alanine aminotransferase (ALT) meningkat lebih dari 130 U pada koresponden
dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar Lactate Dehydrogenase (LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi
indikator trauma hepar.
d. Pengukuran Amilase
Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak sensitif dan tidak spesifik untuk cidera
pankreas. Namun, peningkatan abnormal kadar amylase 3-6 jam setelah trauma memiliki keakuratan yang cukup besar.
Meskipun beberapa cedera pankreas dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan segera setelah trauma, semua dapat
teridentifikasi jika scan diulang 36-48 jam. Peningkatan amylase atau lipase dapat terjadi akibat iskemik pancreas
akibat hipotensi sistemik yang menyertai syok.
e. Urinalisis
Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen dan atau panggul, gross hematuria,
mikroskopik hematuria dengan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan. Gross hematuri merupakan
indikasi untuk dilakukannya cystografi dan IVP atau CT scan abdomen dengan kontras.
f. Penilaian gas darah arteri (ABG)
Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan trauma mayor. Informasi penting sekitar
oksigenasi (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2) dapat digunakan untuk menilai pasien dengan kecurigaan asidosis
metabolic hasil dari asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit kadar basa sedang (>-5 mEq) merupakan indikasi
untuk resusitasi dan penentuan etiologi. Usaha untuk meningkatkan pengantaran oksigen sistemik dengan memastikan
SaO2 yang adekuat (>90%) dan pemberian volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika diindikasikan,
dengan darah.
g. Skrining obat dan alkohol
Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan perubahan tingkat kesadaran. Nafas dan tes
darah dapat mengindentifikasi tingkat penggunaan alkohol.
Pemeriksaan Radiologis
Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul abdomen adalah penilaian stabilitas
hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, evaluasi cepat harus dibuat untuk melihat adanya
hemoperitoneum. Hal ini dapat dapat dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST (Focused
Abdominal Sonogram for Trauma) scan. Pemeriksaan radiografi abdomen perlu dilakukan pada pasien yang stabil
ketika pemeriksaan fisik kurang meyakinkan (Hoff et al., 2001).
a. Foto polos
Udeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa meskipun secara keseluruhan evaluasi pasien trauma tumpul
abdomen dengan rontgen polos terbatas, namun foto polos dapat digunakan untuk menemukan beberapa hal. Radiografi
dada bisa digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti ruptur hemidiafragmatika atau pneumoperitoneum.
Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan untuk menilai fraktur vertebra torakolumbar. Udara bebas intraperitoneal
atau udara yang terjebak pada retroperitoneal dari perforasi usus kemungkinan bisa terlihat.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi dengan focused abdominal sonogram for trauma (FAST) sudah digunakan untuk mengevaluasi
pasien trauma lebih dari 10 tahun di Eropa. Akurasi diagnostik FAST secara umum sama dengan diagnostic peritoneal
lavage (DPL). Penelitian di Amerika dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan FAST sebagai pendekatan noninvasif
untuk evaluasi cepat hemoperitoneum (Feldman, 2006).
Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cidera multisystem, ultrasonografi portabel dengan operator
yang berpengalaman dapat dengan cepat mengidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal. Cidera organ berongga jarang
teridentifikasi, namun cairan bebas bisa tervisualisasi pada beberapa kasus (Salomone & Salomone,2011).
Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang subxiphoid), rongga splenorenal
dan hepatorenal, serta kavum douglas pada pelvis. Tampilan pada kantong Morrison lebih sensitive, terlebih jika
etiologinya adalah cairan (Jehangir et al., 2002).
Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma abdomen. Cairan bebas pada pasien yang
tidak stabil mengindikasikan perlu dilakukan laparotomi emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi
dengan CT scan (Feldman, 2006).
c. Computed Tomography (CT) Scan
Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan banyak mendukung gambaran detail
patologi trauma dan memberi penunjuk dalam intervensi operatif. Tidak seperti FAST ataupun DPL (Diagnostic
Peritoneal Lavage), CT scan dapat menentukan sumber perdarahan (Salomone&Salomone,2011).
Cidera diafragma dan perforasi saluran pencernaan masih dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan,
khususnya jika CT scan dilakukan segera setelah trauma. Cidera pankreas dapat terlewatkan dengan pemeriksaan awal
CT scan, tapi secara umum dapat ditemukan pada pemeriksaan follow up yang dilakukan pada pasien resiko tinggi.
Untuk beberapa pasien, endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat ditambahan bersama CT scan
untuk mendukung cedera duktus (Hoff et al., 200l).
Keuntungan utama CT scan adalah tingginya spesifitas dan penggunaan sebagai petunjuk manajemen
nonoperatif pada cidera organ padat (Feldman, 2006).
E. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana inisiasi (Salomone&Salomone,2011)
- Fokus penatalaksanaan sebelum di rumah sakit pada penilaian dan penangangan masalah yang mengancam
nyawa, termasuk inisiasi resusitasi dan transport ke rumah sakit terdekat.
- Penggunaan intubasi endotrakeal untuk membebaskan jalan nafas pada pasien yang tidak mampu
mempertahankan jalan nafas atau yang berpotensial terjadinya gangguan pada jalan nafas.
- Perdarahan eksternal jarang dihubungkan dengan trauma tumpul abdomen. Jika ada, kontrol perdarahan dengan
tekanan langsung. Perhatikan tanda-tanda kurangnya perfusi sistemik.
- Inisiasi resusitasi cairan dengan cairan kristaloid.
- Diagnosis tension pneumothoraks diobati dengan kompresi jarum diikuti dengan penempatan pipa torakostomi.
Faktor mekanis lain yang berhubungan dengan ventilasi termasuk hemotorak, dan kontusio pulmonal.
2. Tatalaksana non operatif (Udeani&Steinberg,2011)
- Manajemen non operatif berdasarkan diagnosis CT scan dan stabilitas hemodinamik pasien.
- Pada trauma tumpul abdomen, termasuk cedera organ padat yang parah, pilihan manajemen non operatif menjadi
perawatan standar.
- Angiografi merupakan modalitas manajamen non operatif pada trauma tumpul pada organ padat dewasa.
Angiografi digunakan untuk melihat perdarahan secara non operatif.
3. Tatalaksana bedah
- Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak terkontrol,
penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL.
- Ketika sudah ada indikasi untuk dilakukan laparotomi, antibiotik spektrum luas diberikan.
- Insisi pada garis tengah biasanya lebih disukai. Ketika abdomen dibuka, kontrol perdarahan dilakukan dengan
mengeluarkan darah dan bekuan darah, dan mengeklem struktur vaskuler.
- Setelah intra abdomen diperbaiki dan perdarahan dikontrol, eksplorasi abdomen dilakukan untuk mengevaluasi
seluruh lapangan abdomen(Udeani&Steinberg,2011).
- Setelah cedera intraperitoneal terkontrol, retroperitoneum dan pelvis harus diperhatikan. Jangan pernah
melakukan eksplorasi pada hematom pelvis. Gunakan fiksasi eksterna pada fraktur pelvis untuk menurunkan atau
menghentikan perdarahan. Setelah sumber perdarahan dihentikan, kemudian stabilisasi pasien dengan cairan
merupakan hal penting (Udeani&Steinberg,2011).
Sumber: Udeani, J., Steinberg S. R. 2011 Trauma Medicine: Blunt Abdominal Trauma.Emedicine. WebMD. dari
http://emedicine. medscape.com/article/821995-print
THORAKS
Penatalaksanaan
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasientrauma lainnya dan meliputi ABCDE,
yaitu A: airway patency with care ofcervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D:
Disabilityassessment, dan E: Exposure without causing hypothermia (Nugroho, 2015).Pemeriksaan primary
survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harusdilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan
menangani kondisi yangmengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tensionPneumotoraks,
pneuomotoraks terbuka yang masif, hemotoraks masif,tamponade perikardial, dan flail chest yang besar(Nugroho,
2015).Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi utamauntuk intubasi endotrakeal
darurat.Resusitasi cairan intravena merupakan terapiutama dalam menangani syok hemorhagik.Manajemen nyeri
yang efektifmerupakan salah satu hal yang sangat penting pada pasien trauma toraks.
16Ventilator harus digunakan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan takipnea berat atau ancaman gagal
napas (Hudak, 2011).Pasien dengantanda klinis tension Pneumotoraks harus segera menjalani dekompresi dengan
torakosentesis jarum dilanjutkan dengan torakostomi tube. Foto toraks harus dihindari pada pasien -pasien ini karena
diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x -ray hanya akan menunda pelaksanaan tindakan medis
yang harus segera dilakukan (Hudak, 2011).2.9. Pencegahan Pencegah trauma thorax yang efektif adalah dengan
cara menghindari faktor penyebabnya, seperti menghindari terjadinya trauma yang biasanya banyak dialami pada
kasus kecelakaan dan trauma yang terjadi berupa trauma tumpul serta menghindari kerusakan pada dinding thorax
ataupun isi dari cavum thorax yang biasanya disebabkan oleh benda tajam ataupun benda tumpul yang
menyebabkan keadaan gawat thorax akut (Patriani, 20
Sumber:
- Hudak dan Gallo. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi -VIII Jakarta: EGC
- Nugroho, T. Putri, B.T, & Kirana, D.P. (2015). Teori asuhan keperawatana gawat darurat. Padang : Medical book
Laboratorium:
a. Hematokrit dari cairan pleura
Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada pasien dengan hematothorax traumatis.
Diperlakukan untuk analisis berdarah nontraumatik efusi dari penyebabnya. Dalam khusus tersebut, sebuah
efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50 % dari yang hematokrit beredar deanggap sebagai
hematothorax.
Imaging:
a. Chest radiography
Dada yang tegak sinar rongent adalah ideal studi diagnostik utama dalam evaluasi hematothorax.
Dalam unscarred normal rongga pleura yang hemothtorax dicatat sebagai meniskus cairan menumpulkan
costophiremic diafragmatik sudut atau permukaan dan pelacakan atas margin pleura dinding dada ketika
dilihat pada dada tegak film sinar-X. Hal ini pada dasarnya sama penampilan radiography dada yang
ditemukan dengan efusi pleura.
Dalam kasus-kasus dimana jaringan atau sisfisis pleura hadir, koleksi tidak dapat bebas untuk menempati
posisi yang paling tergantung didalam dada tapi menempati posisi yang paling tergantung didalam dada,
tapi akan mengisi ruang pleura bebas apapun tersedia. Situasi ini mungkin membuat penampilan klasik
lapisan pluida pada dada X-ray film.
Sebanyak 400-500 ml darah diperlukan untuk melenyapkan costapherenic sudut seperti terlihat pada dada
tegak sinar rongent.
Dalam pengaturan trauma akut, telentang portabel dada sinar rongent mungkin menjadi yang pertama dan
satu-satunya pandangan tersedia dari yang untuk membuat keputusan mengenai terapi definitif, kehadiran
dn ukuran hematothorax jauh lebih sulit untuk mengevaluasi pada film terlentang. sebanyak 1000 ml darah
mungkin akan terjawab saat melihat dada terlentang portabel X-ray film. Hanya kekaburan umum yang
terkena bencana hematothorax dapat dicatat.
Dalam kasus trauma hematothorax sering dikaitkan dengan dada lainnya, luka-luka terlihat di dada sinar
rongent, seperti patah tulang iga, pneumotorax , atau pelebaran mediatinum superior.
Studi-studi tambahan seperti USG atau CT scan mungkin kadang-kadang diperlukan untuk identitas dan
kualifikasi dari hematothorax dicatat disebuah dataran sinar rongent.
b. Ultrasonography
Ultrasonography USG digunakan dibeberapa pusat trauma dalam evaluasi awal pasien untuk hematothorax.
Salah satu kekurangan dari USG untuk identifikasi traumatis terkait hematothorax adalah bahwa luka segera
terlihat pada radiography dada pada pasien trauma, seperti cedera tulang, melebar mediastinum dan
pneumothorax, tidak mudah diidentifikasi di dada Ultrasonograp gambar.
Ultrasonography lebih mungkin memainkan peran yang saling melengkapi dalam kasus-kasus tertentu
dimana X-ray dada temuan hematothorax yang samar-samar.
c. CT-scan
CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura / darah.
Dalam pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam diagnostik hematothorax tetapi melengkapi
dada radiography. Karena banyak korban trauma tumpul melakukan rongrnt dada dan / CT scan perut
evaluasi, tidak dianggap hematothorax didasarkan pada radiography dada awal dapat diidentifikasi dan
diobati.
Saat ini CT scan adalah nilai terbesar kemudian dalam perjalanan trauma dada pasien untuk lokalisasi dan
klasifikasi dari setiap koleksi mempertahankan gumpalan dalam rongga pleura.
Pusponegoro, A.D (1995). ilmu bedah . FK UI: Jakarta.
Bahaya sumbatan
• Hematoma leher
• Stridor
a.
Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi
b.
Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c.
Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi
thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (non rebreathing mask 11-12 liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri
besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.
d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah.
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia
darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah
(BGA).
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang
mengancam nyawa.
f. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
RESUSITASI
A. Re-evaluasi ABCDE
B. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan
cepat
C. Evaluasi resusitasi cairan
1. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
2. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-tanda syok
D. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
1. Respon cepat
Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan
2. Respon Sementara
Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
Konsultasikan pada ahli bedah.
3. Tanpa respon
Konsultasikan pada ahli bedah
Perlu tindakan operatif sangat segera
Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard
Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya.
SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat:
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik
Hal yang Identifikasi/
Penilaian Penemuan Klinis Konfirmasi dengan
Dinilai tentukan
• 13-15, cedera
kepala ringan
Kepala • Luka pada kulit • Inspeksi adanya • Luka kulit kepala • CT Scan
kepala luka dan fraktur
• Fraktur impresi
• Fraktur tulang • Palpasi adanya
tengkorak fraktur • Fraktur basis
• Fraktur • Maloklusi
• CT Scan tulang
• Kerusakan syaraf • Palpasi : krepitus • Cedera jaringan wajah
lunak
• Luka dalam
mulut/gigi
• Gangguan • Tembusnya
neurologis platisma
• Nyeri punggung
hebat
• Angiografi
• Pem. Rektum
/vagina
•Kompartemen
• Defisit neurologis
TERAPI:
Hemothorax akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto thorax, sebaiknya diterapi dengan selang dada (Thorax
tube) kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya
bekuan darah di dalam rongga pleura (hemothorax atau fibrothorax), dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur
diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada
penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang kelur dari selang dada merupakan faktor utama.
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
Minimal / ringan 350 ml, Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang
keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi
bedah herus dipertimbangkan.
1. Penderita multipel trauma kecepatan tinggi tidak sadar, kemungkinan mengalami trauma pada tulang belakang
leher dan saat ini kemungkinan juga ada gangguan jalan napas. Karenanya segera fiksasi kepala agar tidak bergerak
dan dalam posisi in-line (inline immobilization). Segera panggil perawat untuk menggantikan memegang kepala
dalam posisi inline, penolong memasang semirigid cervical collar.
2. Lakukan pertolongan dasar untuk membuka jalan napas dengan manuver jaw-thrust, ini tidak didapati lendir/darah.
Ternyata jalan napas baik, penderita diberikan oksigen 10 liter permenit melalui masker / face mask.
3. Pasang pulse oxymetri (bila ada), ternyata pulse oxymeteri 85%
1. Frekwensi napas 50 kali permenit / takhipnoe, berarti penderita mengalami masalah dengan pernapasannya.
Penolong berdiri disebelah kranial penderita, membuka baju penderita. Pada inspeksi terlihat jejas pada
hemithoraks kanan dan pergerakan hemithoraks kanan tertinggal. Kesimpulan ada kelainan pada hemithoraks
kanan.
2. Dilakukan auskultasi pada kedua hemithoraks, dimulai dari yang sehat (kiri lebih dahulu), dibandingkan dengan
yang sakit minimal pada 4 tempat yaitu kedua apex dan kedua basal paru. Suara napas kiri vesikuler, kanan tidak
terdengar. Kemungkinan terdapat pneumothoraks atau hemothoraks.
3. Pneumo atau hemothoraks dibedakan dengan perkusi. Perkusi pada hemithoraks kiri penderita ini sonor dan
hemithoraks kanan hipersonor. Diagnosis: pneumothoraks. Bila ada pneumothoraks harus dicari kemungkinan open
dan tension pneumothorax karena kedua keadaan tersebut mengancam nyawa penderita dan dapat menyebabkan
kematian dalam waktu singkat.
4. Open pneumothorax ditandai dengan adanya luka menghisap (sucking chest wound). Pada penderita ini tidak
didapati luka mengisap.
5. Tension pneumothorax apabila didapati tanda-tanda desakan mediastinum : trakhea terdorong ke sisi yang sehat
dan pelebaran pembuluh darah vena leher. Untuk memeriksa leher (trakhea dan pelebaran pembuluh darah),
perawat diminta melakukan inline immobilisation kembali dan dokter membuka semirigid cervical collar-nya.
Trakhea pada penderita ini terdorong kekiri dan pembuluh darah leher (vena jugularis eksterna) melebar.
Diagnosis : tension pneumothorax. Tension pneumothoraks ditangani dengan needle thoracocentesis pada sela iga
2 garis mid clavicula kanan (diatas iga ke tiga) untuk mengubah tension menjadi simple pneumothorax. (iga kedua
melekat pada angulus Ludovici). Setelah dilakukan needle thoracocentesis, penderita merasa lega dan frekwensi
pernapasan menjadi 30 kali permenit.
6. Untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan mengembangkan paru dipasang pipa thoraks (thoracic tube) dan
dihubungkan dengan botol WSD. Untuk memasang pipa thoraks, dokter ganti sarung tangan steril dan
melakukannya sesuai dengan prinsip-prinsip pembedahan. Pemasangan pipa thoraks pada sela iga ke 5 didepan
garis mid-axillaris dada kanan (antara garis mid-axillaris dan axillaris anterior). Lapangan operasi ditutup dengan
doek lubang dan dilakukan anestesi infiltrasi dengan lidokain. Insisi dilakukan sampai menemukan tulang iga ke 6,
luka dilebarkan secara tumpul dengan klem. Setelah menembus rongga pleura, jari telunjuk tangan kiri dimasukkan
ke dalam rongga pleura untuk mencari apakah ada perlengketan. Pipa thoraks ukuran 28 atau 30 F dimasukkan ke
arah cranio-posterior, semua lubang berada dalam rongga dada. Pipa dihubungkan dengan botol WSD, dinilai:
undulasi, darah/cairan, bubble. Pada penderita ini, harus dicabut lebih dahulu needle thoracocentesis-nya agar WSD
berfungsi. Undulasinya ada dan juga keluar gelembung udara/bubbles, tidak ada darah. Frekwensi pernapasan
menjadi 24 kali permenit dan pulse oxymetri 93%.
Frekwensi nadi penderita 140 kali permenit, akral dingin dan pucat, ditambah dengan tekanan darah menurun
menandakan terjadinya shock (hemoragik). Tindakan : hentikan perdarahan dan ganti cairan yang hilang, bila perlu
dengan darah.
Pemeriksaan disability bertujuan untuk mengetahui adakah cedera kepala mengancam nyawa atau tidak dengan
mengetahui GSC dan pupil. GCS rendah dan pupil anisokor menandakan terjadinya cedera kepala berat yang
memerlukan konsultasi dengan bedah saraf. Pada penderita ini GCS : mata membuka bila dipanggil dan tertutup
kembali E = 3, dapat melokalisasi nyeri M = 5 dan bicara ngawur V = 3. GCS pada penderita ini 11. Pupil kanan
lebih besar dari kiri, reaksi cahaya lambat. Kesimpulan : terdapat gangguan pada disability dan perlu konsul bedah
saraf.
Dilakukan pemeriksaan thoraks dan abdomen kembali. Thoraks bagian belakang diperiksa dengan melakukan
log roll. Juga diperiksa pelvis apakah ada fraktur pelvis yang dapat mengakibatkan syok hemoragik.
Tungkai yang fraktur diperiksa akralnya, apakah denyutan A dorsalis pedis ada dan kuat. Lakukan re-alignment
(ingat pelajaran trauma muskulo-skeletal), periksa kembali A dorsalis pedis dan pasang bidai.
Pemeriksaan penunjang
Persiapan
Triage
Primary survey (ABCDE)
Resusitasi terhadap fungsi vital
Riwayat kejadian
Secondary survey (evaluasi dari kepala- ujung kaki)
Monitoring post resusitasi yang berkelanjutan
Reevaluasi
Perawatan definitive
Rencana tambahan bagi pasien trauma sangatlah penting. Tiap rumah sakit harus memiliki Protokol Trauma.
Triage
Merupakan kegiatan yang dilakukan pada setting prehospital, namun kadang-kadang dapat dilakukan pada ED, jika
:
Fasilitas yang tidak mencukupi : pasien yang terlihat paling parah yang akan ditangani lebih dulu.
Jika fasilitas sangat mencukupi : pasien yang paling potensial untuk diselamatkan yang akan ditangani lebih dulu.
Primary Survey (ABCDE) dan Resusitasi
Selama dilakukannya Primary Survey, kondisi yang mengancam jiwa harus diidentifikasi dan ditangani secara
simultan. Ingat bahwa tindakan lanjutan yang logis harus disesuaikan dengan prioritas yang didasari oleh
pemeriksaan pasien secara keseluruhan.
Catatan : Prioritas penanganan pasien pediatri dasarnya sama dengan penanganan pada dewasa, walaupun
kuantitas darah, cairan, dan obat-obatan mungkin berbeda.
Pemeriksaan
1. periksa bagian leher dan dada : pastikan immobilisasi leher dan kepala.
2. Tentukan laju nafas dan dalamnya pernafasan.
3. Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk mencari deviasi trakeal, gerakan dada yang unilateral atau bilateral,
penggunaan otot aksesorius, dan adanya tanda-tanda injury.
4. Auskultasi dada secara bilateral, basal dan apeknya.
5. Jika terdapat suara yang berbeda antara kedua sisi dada, maka perkusi dada untuk mengetahui adanya ‘dullness’ atau
‘hiperresonan’ untuk menentukan adanya hemotorak atau pneumothorax secara berturut-turut:
a. Tension pneumothorax
Dapat mengganggu
pernafasan secara akut
Perhatian
1. Membedakan gangguan pernafasan dengan airway compromised mungkin akan sulit, karena jika gangguan
pernafasan yang terjadi akibat pneumothorak atau tension pneumothorax namun disalahartikan sebagai suatu
masalah jalan nafas sehingga jika pasien diintubasi, keadaan pasien akan semakin memburuk.
2. Intubasi dan ventilasi dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks; sehingga CXR harus dilakukan segera
setelah intubasi dan ventilasi.
3. jangan paksa pasien untuk berbaring pada trolley terutama bila pasien lebih nyaman untuk bernafas pada posisi
duduk.
Hipotensi setelah terjadi injury harus dipertimbangkan sebagai akibat hipovolemik sampai terbukti tidak.
Identifikasi sumber perdarahannya.
Pemeriksaan cepat dan akurat terhadap status hemodinamik sangat penting. Elemen yang penting a.l:
1. Tingkat kesadaran : Penurunan tekanan perfusi serebral dapat terjadi akibat hipovolemi.
2. Warna kulit : kulit kemerahan : jarang menandakan hipovolemia. wajah keabu-abuan/kelabu, kulit ektremitas putih
menunjukkan hipovolemi; bisaanya mengindikasikan kehilangan volume darah setidaknya 30%.
3. Nadi
4. BP jika waktu mengijinkan
a. jika nadi pada radialis teraba, BP >80mmHg
b. Jika hanya ada di Carotid BP > 60 mmHg.
c. Periksa kualitas nadi; penuh dan cepat
d. Nadi irregular menandakan kemungkinan cardiac impairment
Penatalaksanaan
1. tekan langsung daerah perdarahan eksternal
2. pasang jalur IV dengan ukuran 14G atau 16G
3. Darah untuk : GXM 4-6 unit darah, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi dan BGA jika diperlukan
Catatan : Jika darah gol. O negatif tidak tersedia, gunakan tipe darah yang spesifik
4. berikan terapi cairan IV dengan kristaloid hangat (NS atau Hartmann’s) dan transfuse darah.
5. pasang monitor EKG :
a. Disrritmia, pertimbangkan tamponade jantung
b. Pulseless electrical activity : pertimbangkan tamponade jantung, tension pneumothorax, hipovolemia
c. Bradikardi, konduksi abberant, ventricular ektopik,: pertimbangkan hipoksia, hipoperfusi
6. Pasang kateter urin dan NGT kecuali ada kontraindikasi.
Catatan : output urin adalah indicator sensitive untuk mengetahui status volume tubuh. Kateter urin merupakan
kontra indikasi jika ada kecurigaan injury pada urethra, misal:
7. cegah hipotermi
Perhatian:
1. hipotensi persisten pada pasien trauma bisaanya terjadi karena hipovolemi akibat perdarahan yang terus-menerus.
2. pada lansia, anak-anak, atlet, dan pasien lain dengan kondisi medis kronik, tidak adanya respon terhadap hilangnya
volume merupakan keadaan yang bisa terjadi. Lansia mungkin tidak menunjukkan takikardi saat kehilangan darah,
lebih parah lagi pada pasien pengguna beta blocker. Pasien anak yang resah akan sering menunjukkan tanda
hipovolemi yang parah.
3. coba jangan memasukkan emergency suclavian line pada sisi yang sehat dari pasien trauma dada. Jalur IV femoral
dapat digunakan. Jika central line digunakan untuk resusitasi harus digunakan jarum ukuran besar (>8Fr)
Disabilitas (Evaluasi Neurologik)
Metode AVPUP
AAlert
U Unresponsif
Catatan : GCS lebihdetil namun termasuk pada secondary survey; kecuali jika akan melakukan intubasi maka
pemeriksaan GCS harus dilakukan lebih dulu.
Jangan anggap AMS hanya terjadi akibat trauma kepala saja, pertimbangkan :
1. Hipoksia
2. Syok
3. intoksikasi alcohol/obat
4. hipoglikemi
5. sebaliknya jangan anggap AMS terjadi akibat intoksikasi alkohol atau obat, dokter harus dapat mengeksklusi
adanya cedera kepala.
Lepas semua pakain pasien, cegah hipotermi dengan memakaikan selimut dan atau cairan IV yang hangat, berikan
cahaya hangat.
Monitoring nadi, BP, pulse oksimetri, EKG, dan output urin terus-menerus.
Lakukan X ray
1. Lateral cervical spine
2. Dada AP
3. Pelvis AP
Secodary Survey
Evaluasi keseluruhan termasuk tanda vital, BP, nadi, respirasi dan temperature
Dilakukan setelah primary survey, resusitasi, dan pemeriksaan ABC.
Dapat disingkat menjadi ‘tubes and fingers in every orifice’
Dimulai dengan anamnesa AMPLE :
A Alergi
Pemeriksaan
1. inspeksi adanya laserasi, kontusio dan trauma panas
2. Palpasi adanya fraktur
3. Evaluasi ulang pupil
4. Fungsi nervus cranial
5. Mata : perdarahan, penetrating injury, dislokasi lensa pemakaian contact lenses
6. Inspeksi telinga dan hidung untuk mencari CSF leakage
7. Inspeksi mulut untuk mencari perdarahan dan CSF
Penatalaksanaan
1. Pertahankan airway
2. Kontrol perdarahan
3. Hindari brain injury sekunder
4. Lepaskan lensa kontak
Leher
Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, deviasi trakea, penggunaan otot pernafasan tambahan
2. Palpasi : nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutaneus, deviasi trakea
3. Auskultasi : periksa ‘bruit’ pada arteri karotis
4. X ray lateral, cross-tabel cervical spine
Penatalaksanaan
Pertahankan immobilisasi cervical spine in-line yang adekuat
Dada
Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan tambahan, penyimpangan pernafasan bilateral.
2. Auskultasi : nafas dan suara jantung
3. Perkusi : ‘dull’ atau resonan
4. Palpasi : trauma tumpul dan tajam, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Penatalaksanaan
1. Pasang chest tube
2. dekompresi menggunakan jarum venule 14G pada ICS 2
3. tutup luka pada dada dengan benar
4. Lakukan CXR
Catatan : tidak direkomendasikan untuk melakukan Perikardiocentesis. Torakotomi pada Emergency Room lebih
diperlukan pada pasien tamponade jantung. Rata-rata keberhasilan pasien dengan luka penetrasi pada dada
abdomen, serta pada pasien yang baru mengalami serangan jantung, juga pada pasien dengan trauma tumpul.
Sehingga prosedur ini secara umum tidak diindikasikan pada trauma tumpul.
Abdomen
Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dantajam
2. Auskultasi : Bising usus
3. Perkusi : nyeri tekan
4. Palpasi
5. X ray Pelvis
Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan klinis pada trauma multiple bisaanya sering menghasilkan pemeriksaan abdomen yang kurang
terperinci. Sehingga diindikasikan pemeriksaan FAST (Focuses Assessment using Sonography in Trauma), CT
scan abdomen atau peritoneal lavage. Lihat Bab Trauma, abdominal.
2. Pindahkan pasien ke ruang operasi, jika diperlukan.
Evaluasi
1. Tonus sphincter ani
2. Darah pada rectal
3. Integritas dinding usus
4. Posisi prostate
5. Darah pada meatus urinary
6. Hematoma scrotum
Pemeriksaan Perineal
1. kontusio, hematom
2. Laserasi
Pemeriksaan Vagina
1. adanya perdarahan pada vaginma
2. Laserasi vagina
Pemeriksaan Rektum
1. Perdarahan rectum
2. Tonus sphincter ani
3. integritas dinding usus
4. bony fragments
5. Posisi prostate
Punggung
Pemeriksaan
1. inspeksi : deformitas, perdarahan yang meluas
2. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal
Manajemen
1. Splinting fraktur yang tepat
2. hilangkan nyeri
3. Imunisasi tetanus
Neurologik
Perawatan Definitif/Pemindahan
Jika trauma pada pasien membutuhkan penanganan yang lengkap, pindahkan pasien secepatnya.
kepala thoraks abdomen Pelvis ekstremitas
penggantian volume
darah
Monitor
Hasil resusitasi dapat dinilai dengan memperhatikan nilai perbaikan kualitatif dari parameter fisiologis seperti pernafasan
(ventilasi), nilai tekanan darah, tekanan nadi, gas darah, arteri dan produksi urine.
Jumlah ventilasi dan gas darah arteri dapat dipakai untuk memonitor jalan nafas dan pernafasan.
“end tidal carbon dioksida” dapat dipakai untuk menilai kalau ETT terlepas waktu memindahkan atau transportasi
pasien.
“pulse oxymetery” sangat penting untuk memonitor pasien dengan trauma pulse oxymeter dapat mengukur saturasi
oksigen dari hemaglobin tetapi tidak memberi nilai PaO2 oksigenasi yang cukup menunjukan adanya jalan nafas.
Pernafasan dan sirkulasi yang baik.
Tekanan darah dapat diukur, tetapi harus diingat bahwa ini tidak menunjukan adanya perfusi yang baik.
Sumber: At a Glance, Ilmu Bedah, Edisi Ketiga, Pierce dkk, Penerbit Erlangga, 2006
14. Bagaimana prognosis dari kasus di skenario?
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan prediktor kematian yang independen pada kasus trauma. Dalam studi saat ini,
GCS di bawah 8 selain adanya fraktur kepala dan leher serta denyut nadi yang tidak normal telah diakui sebagai prediktor
independen dari kematian pada pasien trauma. Evaluasi faktor demografi dan klinis sangat penting dalam penanganan
korban trauma karena pengaruhnya terhadap angka kematian. Lichtveld et al. Pada tahun 2007 menunjukkan adanya
kerusakan neurologis terisolasi, kelebihan basa, dan faktor risiko kematian hemoglobina. Mereka juga melaporkan bahwa
cedera kepala parah dan perdarahan sebagai faktor risiko kematian yang paling penting dalam 24 jam pertama setelah
kecelakaan(19, 20). Kuhls et al. Menunjukkan usia dan GCS menghasilkan kekuatan diskriminatif yang lebih tinggi dalam
prediksi kematian pada trauma (21). Probst Cet al. Mengkategorikan faktor risiko dalam indikator kelompok kematian yang
dapat diobati dan tidak dapat diobati, dan menyebutkan cedera kepala, bertambahnya usia, dan skor keparahan cedera (ISS)
pada kelompok kedua (10). Insiden kelainan koagulasi, awal setelah trauma, dianggap juga sebagai prediktor independen
dari kematian bahkan dengan adanya faktor risiko lain (22). Karena kematian memiliki korelasi yang signifikan dengan usia
di bawah 60 tahun, usia korban harus selalu dianggap sebagai prediktor kematian. Namun, tanda vital normal dalam evaluasi
primer seharusnya tidak meyakinkan pemeriksa dan evaluasi yang lebih baik harus dilakukan. Sebuah studi menemukan
angka kematian untuk semua tingkat cedera sekitar 10% lebih tinggi pada usia 70 tahun dan lebih tua bila dibandingkan
dengan 20 sampai 70 tahun (23). Analisis kami menunjukkan korelasi yang signifikan antara usia, frekuensi pernapasan,
tekanan darah, denyut nadi, patah tulang kepala dan leher, patah tulang belakang, patah tulang ekstremitas, dan GCS dengan
kematian setelah trauma. ISS yang tinggi (≥ 30), status GCS pasca cedera, dan fungsi hemodinamik dapat mempengaruhi
moralitas trauma lansia (24). Analisis multivariat menggunakan regresi logistik efek campuran diterapkan dan disesuaikan
untuk usia, jenis kelamin, ISS dan GCS untuk mengatasi efek perancu mereka pada tingkat kematian (25). Karena sebagian
besar kematian terjadi karena kerusakan otak (yaitu penurunan skor GCS) atau leher daripada kegagalan multi organ, tim
trauma harus berhati-hati dan terlatih dengan baik untuk mengurangi kerusakan iatrogenik yang tidak diinginkan pada organ
vital ini (26). Penelitian ini mengkonfirmasi hubungan fraktur kepala dan leher dengan kematian (P <0,001). Jelas bahwa
protokol pengobatan yang memenuhi syarat dan dapat diandalkan seperti ATLS merupakan faktor penting untuk mengurangi
mortalitas dan morbiditas pasien dengan beberapa trauma (16, 21). Temuan mengungkapkan bahwa angka kematian korban
trauma hanya dapat dikurangi dengan survei primer yang terfokus dan rencana pengobatan yang efisien, serta penggunaan
sumber daya yang tepat.
Kesimpulan: GCS di bawah 8, fraktur kepala dan leher, dan denyut nadi abnormal sebagai faktor prediktif kematian setelah
trauma, tetap independen dengan adanya semua faktor lain dan berpotensi dapat diobati. Selain itu, hasil menunjukkan
hubungan usia <60, jenis trauma, frekuensi pernapasan abnormal, denyut nadi abnormal, tekanan darah abnormal, total GCS
<8, ukuran pupil abnormal, fraktur kepala dan leher, fraktur vertebra, dan fraktur ekstremitas dengan kematian dalam trauma
pasien.
Sumber: Emergency (2014); 2(4): 170-173ORIGINAL RESEARCHPotential Risk Factors of Death in Multiple Trauma
PatientsSina Jelodar,Peyman Jafari, Mahnaz Yadollahi, Golnar Sabetian Jahromi, Hoseynali Khalili, Hamidreza Abbasi,
Shahram Bolandparvaz, Shahram Paydar*Trauma Research Center, Shiraz University of Medical Sciences, Shiraz, Iran
MAPPING