Anda di halaman 1dari 139

Syok dan Penanggulangannya

AZ RIFKI Lab/SMF Anestesiologi FKUA/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Pendahuluan Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan. Definisi Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisa cedera. Penyebab Syok Tiga faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal: a. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien. b. Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri dan kapiler-kapiler jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh jaringan, sistem vena akan mengumpulkan darah dari jaringan dan mengalirkan kembali ke jantung. Apabila volume sirkulasi berkurang maka dapat terjadi syok. c. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah kecil, yaitu arteriolearteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh darah perifer meningkat, artinya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kecil. Bila tahanan pembuluh darah perifer rendah, berarti terjadi vasodilatasi. Rendahnya tahanan pembuluh darah perifer dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah. Darah akan berkumpul pada pembuluh darah yang mengalami dilatasi sehingga aliran darah balik ke jantung menjadi berkurang dan tekanan darah akan turun.

Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri): (a) Penyakit jantung iskemik, seperti infark; (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; dan (c) Gangguan irama jantung. b. Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): (a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan; (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; dan (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus).

c.

Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung): (a) Tamponade jantung; (b) Pneumotorak; dan (c) Emboli paru.

d. Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): (a) Syok neurogenik; (b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e) Syok septik; serta (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer. Tanda dan Gejala Syok Sistem Kardiovaskuler - Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. - Nadi cepat dan halus. - Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah. - Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik. - CVP rendah. Sistem Respirasi - Pernapasan cepat dan dangkal. Sistem saraf pusat - Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan. Sistem Saluran Cerna - Bisa terjadi mual dan muntah. Sistem Saluran Kencing - Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam (1/5--1 ml/kg/jam). Penanggulangan Syok Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi. Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi syok:

Posisi Tubuh 1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. 2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas. 3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia. 4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya. 5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar. 6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali. Pertahankan Respirasi 1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah. 2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas ( Gudel/oropharingeal airway). 3. Berikan oksigen 6 liter/menit 4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup ( Ambu bag) atau ETT. Pertahankan Sirkulasi Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP). Cari dan Atasi Penyebab Syok Hipovolemik Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk. Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi

kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang. Penanggulangan Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus: Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia. Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan. Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2--5 g/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12 cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan. Syok Kardiogenik Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpainya adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah jantung. Penanggulangan Bila mungkin pasang CVP.

Dopamin 10--20 g/kg/menit, meningkatkan kekuatan, dan kecepatan kontraksi jantung serta meningkatkan aliran darah ginjal. Syok Neurogenik Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Penderita merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah penderita dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer. Penanggulangan Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan. Syok Septik Merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Pada pasien trauma, syok septik bisa terjadi bila pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi rongga peritonium dengan isi usus. Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikaridia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar. Penanggulangan - Optimalisasi volume intravaskuler - Pemberian antibiotik, Dopamin, dan Vasopresor Syok Anafilaktik Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas

kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan. Penanggulangan Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: 1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. 2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. 3. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit. 4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus. 5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel. 6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah

jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. 7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. 8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi. Pencegahan Syok Anafilaktik Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain: 1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. 2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik. 3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1--3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. 4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan Suhu Tubuh Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya. Pemberian Cairan 1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru. 2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak). 3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.

4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 3--4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap. 6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan. 7. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri. 8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, "Swan Ganz" kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah. Kesimpulan Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saatsaat/menit-menit pertama penderita mengalami syok. Daftar Pustaka 1. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 - 499. 2. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 - 94 3. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 - 1002. 4. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 - September 1, 1996 ; 1 - 4. 5. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine , 1997. 6. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29. 7. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42. 8. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413

PERTOLONGAN PERTAMA KORBAN SYOK, setelah pada postingan sebelumnya kita sudah share tentang apa itu SYOK dan Gejala serta Tandanya. Anda semua sudah tahu bahwa Syok sangat berbahaya bagi seseorang karena bila terlambat memberikan pertolongan pertama untuk menanganinya akan bisa berakibat sangat fatal yaitu kematian. Jika memang kita menemukan kasus syok, maka langkah yang harus kita lakukan adalah sebagai berikut: 1. Bawa korban ke tempat yang teduh dan aman. 2. Tidurkan korban telentang, naikkan tungkai (kaki) korban setinggi 20-30cm bisa juga diberi penyangga. Hal ini dilakukan jika tidak ada kecurigaan terdapat patah tulang (tulang belakang atau tulang tungkai). 3. Longgarkan pakaian korban. 4. Segera tutupi tubuh korban dengan selimut agar suhu tubuhnya terjaga. 5. Tenangkan korban. 6. Pastikan jalan nafas dan pernafasan dalam keadaan baik. 7. Untuk korban dengan syok berat, biasanya kesadaran akan menurun sehingga lidah korban mungkin akan jatuh ke belakang dan menutupi jalan nafas, kalau hal ini terjadi segera buka jalan nafasnya. 8. Kontrol perdarahan dan rawat cedera lainnya bila ada. 9. Bila ada berikan oksigen sesuai protokol. 10. Ingat! Jangan berikan makan dan minum.

11. Periksa selalu tanda vital secara berkala. 12. Segera rujuk ke fasilitas kesehatan terdekat guna mendapat perawatan medis lebih lanjut. Langkah pertolongan pertama korban syok harus segera dilakukan untuk agar upaya penanganan secara medis dapat berjalan lebih baik dan nyawa korban bisa ditolong. Untuk gambar dapat dilihat pada postingan berikut.

1. Persiapan Pasien Prabedah


1.1. Definisi Persiapan prabedah merupakan persiapan dan pengelolaan pasien sebelum operasi. Hal ini mencakup baik persiapan fisik maupun psikologis.

1.2.

Persiapan prabedah pada pasien

1.2.1. Persiapan Mental Secara mental, penderita harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan karena selalu ada rasa cemas atau takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anesthesia, bahkan terhadap kemungkinan cacat atau mati. Dalam hal ini, hubungan

baik antara penderita, keluarga dan dokter sangat menentukan. Kecemasan ini adalah reaksi normal yang dapat dihadapi dengan sikap terbuka dan penerangan dari dokter dan petugas pelayanan kesehatan lainnya. Atas dasar pengertian, penderita dan keluarganya dapat memberikan persetujuan dan izin untuk pembedahan.

1.2.2. Komunikasi prabedah Hubungan dokter-pasien sebaiknya dijalin melalui komunikasi. Penting menunjukkan usaha yang diperlukan untuk mendapatkan hubungan prabedah yang memastikan bahwa pasien akan benar-benar yakin akan alasan operasi serta hasil yang diharapkannya. Selain itu pertimbangan tentang keluarga pasien dan peranannya merupakan tanggung jawab utama lain bagi ahli bedah. Tuntutan hukum lebih cenderung terjadi pada keadaan dimana hubungan ini tidak terjadi. Waktu khusus untuk diskusi prabedah dengan pasien dan keluarga pasien (bila diperlukan) merupakan unsur penting pada persiapan prabedah. Diskusi hanya boleh diakhiri bila dokter yakin bahwa pasien dan keluarganya sudah memahami indikasi operasi, sifat khusus tindakan dan risiko operasi tersebut. Semua pertanyaan harus dijawab dengan lengkap untuk memberi keterangan penting sebanyak mungkin, menghilangkan kecemasan atau ketakutan pasien yang tidak tahu serta mengurangi kecemasan yang tidak perlu terhadap masalah yang mungkin tidak akan terjadi Pada diskusi tentang perincian operasi, istilah yang digunakan harus dibuat agar benar-benar dipahami pasien. Semua aspek operasi yang harus dibicarakan mencakup daerah insisi, peralatan pemantau yang diperlukan dan infuse intravena, kemungkinan penggunaan sonde nasogaster, penggunaan drain dan tindakan

perawatan khusus, yang membutuhkan kerjasama pasien pada saat pascabedah. Harus dijelaskan keperluan dan perkiraan lama tinggal dalam pemulihan atau perawatan intensif. Tindakan yang banyak merubah bentuk dan fungsi tubuh, seperti trakeostomi atau kolostomi, harus dibicarakan dengan memperhatikan efek jangka pendek dan jangka panjangnya. Komplikasi yang mungkin terjadi dalam hubungannya terhadap tiap operasi harus diberitahukan, tetapi hanya dibicarakn secara terperinci bila kemungkinannya besar atau akibatnya parah. Angka kematian operasi juga harus dibicarakan. Diskusi ini sebaiknya dilakukan oleh seorang ahli bedah yang akan melakukan operasi tersebut dan bukan asistennya. Dokumentasi tentang diskusi prabedah tersebut dibuat dalam bentuk bagan dan ijin operasi tertulis, merupakan tindakan standar yang harus dilakukan. Komunikasi prabedah juga diperlukan antara ahli bedah dan anggota-anggota tim bedah lainnya, terutama komunikasi dengan dokter umum yang merujuknya, tentang indikasi dan rencana operasi. Anggota-anggota tim bedah juga harus

diberitahukan tentang tindakan yang akan dilakukan, sehingga keahliannya terkordinasi sebaik mungkin.Anggota-anggota tim operasi juga sebaiknya tidak membicarakan rencana operasi dengan pasien atau keluarganya. Selain penjabaran keteranganyang sama, interpretasi dari dua komunikasi yang berbeda dapat menimbulkan pertentangan dan keadaan ini akan menimbulkan kebingungan yang tidak perlu.

1.2.3. Penjabaran risiko operasi

Faktor-faktor

yang

dibicarakan

dalam

penentuan

risiko

perioperasi berhubungan dengan keadaan pasien, penyakit, keadaan tubuh secara keseluruhan dan operasi yang akan dilakukan. Skala keadaan fisik dari theAmerican Society of Anesthesiology dapat dilihat pada tabel dibawah ini. ASA I ASA II ASA III Pasien normal, sehat Pasien dengan penyakit

sistemik

yang

ringan : diabetes tipe 2, hipertensi Pasien dengan penyakit sistemik yang berat : stable angina, diabetes tipe 1, chronic

ASA IV

obstructive pulmonary disease Pasien dengan penyakit sistemik disease yang dapat membahayakan hidup : serangan jantung dalam kurun waktu 6 bulan, unstale angina, diabetes yang tidak terkontrol, dan

ASA V

epilepsi yang tidak terkontrol Pasien hampir mati apabila tidak dilakukan operasi: pasien tidak dapat selamat apabila

ASA VI E

tidak dilakukan interferensi medik >24 jam Pasien yang mengalami kematian otak yang organnya akan didonorkan Operasi gawat-darurat apabila modifikasi dari klasifikasi di atas terjadi

Angka kematian pascabedah dan yang berhubungan dengan anestesi,terbukti berhubungan baik dengan klasifikasi ini. Skala angka kematian terentang dari 0,01%

(kategori 1) 18% (kategori 4). Penambahan klasifikasi darurat menghasilkan angka kematian operasi dan anestesi kategori 1,2 dan 3menjadi dua kali lipat. Pasien kategori 4 dan 5 tidak mengalami peningkatanrisiko untuk keadaan darurat. Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit akan sangat bermanfaat.Waktu operasi juga sangat berpengaruh penting pada hasil operasinya. Sebagaicontoh penggantian katup jantung lebih baik dilakukan sebelum ventrikel terlalu rusak oleh penyakit katup. Perdarahan hebat dan trauma tentu membutuhkan intervensi darurat, tetapi bahkan pada keadaan ini, keberhasilanhanya diperoleh bila dilakukan juga pemberian dukungan moral.

1.3.

Persiapan Fisik Persiapan fisik dapat terdiri dari riwayat medis yang lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk latar belakang pasien bedah dan anestesi. Pasien harus memberitahu dokter dan staf rumah sakit jika dia pernah memiliki reaksi negatif terhadap anestesi (seperti shock anafilaksis), atau jika ada riwayat keluarga hipertermia ganas. Uji laboratorium terdiri dari hitung darah lengkap, elektrolit, waktu prothrombin, waktu tromboplastin diaktifkan parsial, dan urine. Pasien kemungkinan besar akan dilakukan rekam jantung dengan elektrokardiogram (EKG) jika ia memiliki sejarah penyakit jantung, atau lebih dari 50 tahun. X-ray thorax biasanya dilakukan jika pasien memiliki riwayat penyakit pernapasan.

1.4.

Pertimbangan prabedah menurut system

1.4.1. Secara Umum

Kulit tubuh, khususnya di daerah lapangan operasi, harus bersih.Penderita harus mandi atau dimandikan dengan sabun atau larutan antiseptic,seperti klorheksidin atau larutan yang mengandung yodium. Selain itu, kulit harus bebas infeksi sehingga operasi elektif harus ditunda selama ada infeksi kulit. Suhu badan sebaiknya dipertahankan kurang lebih normal. Penderita yang demam, metabolismenya meningkat dan memerlukan banyak zat asam sehingga iritabilitas miokard meningkat dan keadaan syok tidak dapat dikompensasi seperti biasa. Suhu harus diturunkan dahulu, umpamanya dengan sediaan salisilat. Bila demam disertai menggigil, pasien dapat diberikan klorpromazin. Hipotermia di bawah 34,5 derajat C juga membawa risiko karena metabolism berlangsung terlalu lambat sehingga misalnya, pembekuandarah melambat. Iritabilitas miokard pun meningkat, terutama bila penderitasyok sehingga penderita terancam mengalami fibrilasi ventrikel. Penderita seperti itu harus dihangatkan dahulu perlahan-lahan dengan selimut hangat atau dimandikan dengan air hangat 40 derajat C. Suhuh air harus dipantau karena suhu air 42,2 derajat C sudah mengakibatkan luka bakar. Syok umumnya disertai dengan peredaran darah yang buruk danganggun perfusi organ vital, seperti jantung dan otak. Oleh karena itu, sedapat mungkin keadaan syok harus diatasi sebelum pembedahan. Pada keadaan tertentu, seperti perdarahan massif, tekanan darah tidak dapat dinaikkan. Oleh karena itu, terpaksa dilakukan pembedahan darurat dalam keadaan syok untuk menghentikan

perdarahannya. Sebaliknya, hipertensi pun harus dikoreksi sebelum pembedahan, dalam artian tekanan diastolic diusahakan di bawah 100mmHg, jika mungkin, dibawah 90 mmHg. Kateter buli-buli juga selalu harus dipasang.

1.4.2. Kardiovaskular Faktor terpenting dalam memperkirakan risiko jantung dan komplikasi tindakan non jantung prabedah adalah dari riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan EKG. Faktor tunggal terpenting pada anamnesis adalah serangan infark myocardium yang terjadi 6 bulan terakhir. Infark myocardium berulang timbul pada 30% pasien dengan operasi yang dilakukan 3 bulan setelah infark myocardium dan 15% pada pasien dengan operasi yang dilakukan -6 bulan setelah timbulnya infark. Lama pembedahan, kedaruratannya dan perdarahan saat operasi yang menyebabkan hipotensi memperbesar kemungkinan terjadinya penyulit jantung berat pasca bedah.

Aritmia Aritmia dapat terjadi sewaktu pembedahan maupun dalam tiga

hari pascabedah, khususnya pada bedah toraks. Aritmia saat pembedahan biasa dicetuskan oleh anestetik (halotan, siklopropan), simpatomimetik, dan oleh keadaan hiperkapnia. Aritmia pascabedah biasanya berhubungan erat dengan hipokalemia, hipokalsemia, alkalosis, atau keracunan digoksin. Jika terjadi aritmia, pertama kali harus ditentukan penyebab atau pencetusnya supayadapat dikoreksi. Infark jantung Kejadian infark jantung pascabedah pada orang yang penah mengalami infark jantung mencapai 6%. Kejadian ini lebih tinggi lagi pada usia lanjut. Pada orang yang

belum pernah mengalaminya mencapai 0,1%. Bila pembedahan dilakukan dalam waktu tiga bulan setelah serangan infark, risiko infark pascabedah mencapai 25%, sedangkan mortalitasnya mendekati 100%.Pembedahan pada masa 3-6 bulan setelah infark jantung, disertai risiko infark ulang pascabedah sebesar 20%. Angka risiko berangsur turun sampa 6% yang berlaku seumur hidup. Umumny infark jantung pascabedah terjadi cepat dalam waktu beberapa hari setelah pembedahan

1.4.3. Respirasi Penyulit pascabedah paling banyak terjadi di paru. Merokok

jelas berhubungan dengan perkembangan berbagai penyakit paru-paru serta (pada prabedah) dengan bertambahnya volume penutupan ( CV = closing volume). Kebiasaan merokok dianjurkan untuk dihentikan sebelum operasi, untuk

mengurangi kemungkinan timbulnya komplikasi pernapasan. Periode berhenti merokok prabedah harus dimulai sekurang-kurangnya 4 minggu sebelum operasi untuk benar-benar mengurangi tingkat komplikasi pascabedah. Risiko penyulit menurun secara bermakna jika penderita berhenti merokok.

1.4.4.

Endokrin Masalah cukup berbahaya, untuk insufisiensi disfungsi untuk endokrin membenarkan kurang spesifik tertentu cukup Pada lazin atau

perhatian lazim

khusus.

umumnya maka

endokrin

seperti

hipitiroidisme,

persiapan prabedah meliputi tes diagnosis sederhana untuk memastikan bahwa kecurigaan klinik tentang insufisiensi endokrin dapat diikuti dengan

terapi penggantian yang tepat. Juga bila gambaran klinik sesuai dengan keadaan kelebihan sekresi hormone dan keadaan ini dibuktikan secara biokimia, maka harus diambil tindakan prabedah untuk menghilangkan atau membuang kelebihan homon tersebut.

1.4.5. Gastrointestinal Sebelum pembedahan (dengan anesthesia umum) dimulai, lambung harus kosong. Refluks esophagus mudah terjadi, terutama pada permulaanan esthesia, sehingga dapat terjadi aspirasi isi lambung yang merupakan suatu penyulit berbahaya karena menimbulkan pneumonia yang tidak mudah diatasi. Oleh karena itu, pasien dipuasakan enam jam sebelum pembedahan. Kekuatiran utama dalam pasien prabedah dengan memperhatikan sistem gastrointestinal adalah kemampuan fungsional saluran pencernaan dan organ-oragan pencernaan penyerta untuk mempertahankan kebutuhan gizi pasien. Gangguan faal hati sering ditemukan dan akibatnya, seperti hipoalbuminemia, anemia dan gangguan pembekuan darah, sedapat mungkindikoreksi.Pada obstruksi saluran cerna harus dilakukan dekompresi dengan memasang pipa lambung. Kadang diperlukan dekompresi kolon dengansekostomi. Dekompresi saluran empedu kadang diperlukan untuk menurunkankadar bilirubin.

1.4.6. Serebrovaskular

Penyakit penyumbatan serebrovaskular ekstrakranial tersering terlihat pada orang lanjut usia. Pada pasien ini, hipotensi intraoperasi, anoksia atau peningkatan viskositas darah dapat memperberat perfusi cerebrum yang sudah terganggu sejak semula dan menimbulkan stroke intraoperasi. Karena ituevaluasi penyakit serebrovaskular prabedah perlu dilakukan untuk menentukan risiko stroke peribedah.

1.4.7. Renalis Pasien insufisiensi atau gagal ginjal memiliki beberapa kesulitan khusus pada masa prabedah. Tes diagnosis yang menggunakan zat warna kontras memiliki risiko khusus pada pasien dengan fungsi ginjal perbatasan. Hidrasi penting pada pasien ini untuk mencegah atau mengurangi kelalaian lebih lanjut dalam fungsi ginjal akibat pemaparan ke zat warna hipertonik. Diuresis menjadi pegangan penting dalam menentukan keseimbangancairan. Jika diuresis mencapai 30 ml/jam, lidah lembab, mukosa lain tampak basah dan turgor kulit memadai, hidrasi penderita dapat dianggap normal. Bila hidrasi berlebihan seperti pada keadaan gagal jantung kiri, tindakan koreksi dilakukan dengan memberikan diuretik. Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa juga harus dikoreksi. Pada penderita diabetes mellitus, bila perlu, dilakukan koreksi kadar gula darah dan ketonuria.

1.4.8. Kelainan darah dan pembekuannya 1.4.8.1. Gangguan perdarahan dan transfusi

Pasien dengan riwayat pembekuan darah yang lama, hematoma atau perdarahan intraartikular setelah trauma atau mudah memar,membuktikan evaluasi laboratorium tentang adanya kelainan perdarahan.Sebelum tindakan vascular yang besar seperti pada operasi yang mungkinakan banyak mengeluarkan darah atau tindakan pungsi struktur vascular perkutis seperti arteriogram, maka normalnya dilakukan pemeriksaan koagulasi.

1.4.8.2.

Pasien yang didasari kelainan darah Pasien kelainan darah yang mendasari seperti anemia, trombositopeni, leukemia dan polisitemia membutuhkan persiapan prabedah khusus. Anemia meningkatkan risiko operasi dan anestesi pada pasien dengan kadar hemoglobin kurang dari 10g per 100 ml, melalui gangguan kemampuan jaringan untuk membawa oksigen semaksimum mungkin selama periode streeoperasi. Karena itu, transfuse prabedah diperlukan pada beberapa penderita anemia. Bila sudah diputuskan untuk melakukan transfusi, sebaiknya darah diberikan sekurang-kurangnya 24 jam sebelum operasi dengan batas maksimum 2 unit darah per hari. Tindakan ini memungkinkan waktu yang adekuat bagi tubuh untuk mengumpulkan kembali 2,3 difofogliserat (DPG)serta menghindari beban volume yang berlebihan.

1.4.8.3.

Transfusi

Adanya penyediaan adekuat darah yang telah di cocok silang merupakan prasyarat bagi tindakan bedah terencana apa pun. Pada keadaanyang sangat gawat, transfuse dapat dilakukan dengan darah spesifik golongan atau bahkan darah O negative, tergantung atas sifat mendesak keadaan tersebut..Jumlah darah yang diperlukan untuk transfuse intra-operasi tergantung padalama tindakan operasi. Namun harus disebutkan bahwa jumlah unit darahyang diberikan sebelum banyak tindakan elektif, sering melebihi jumlah yang sebenarnya.

1.4.9. Keadaan Gizi Keadaan gizi pasien merupakan faktor pertimbangan penting prabedah. Karena malnutrisi memiliki banyak pengaruh buruk terhadap kemampuan tubuh untuk melawan stress dari periode peribedah. Pengurangan tenaga karena penyerapan kalori yang buruk dapat memperbesar ketidakaktifan pascabedah dan

merupakan pemicu komplikasi seperti thrombosis vena dan ulkuas dekubitalis. Pengurangan protein serum menahun dapat menimbulkan retensi natirum dan air pascabedah, yang menimbulkan edema, penyembuhan luka yang buruk dan bertambah parahnya payah jantung kongestif. Malnutrisi juga mengurangi kemampuan imun tubuh,menyebabkan penderita malnutrisi lebih mudah terkena komplikasi

infeksi pascabedah. Tambahan gizi prabedah selama sekurang-kurangnya 5 hari pada pasien dengan gangguan gizi tertentu terbukti dapat mengurangi komplikasi pascabedah. Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena

terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi.

Namun,malnutrisi protein-kalori yang ringan tidak banyak mempengaruhi hasil operasi.Berbeda dengan malnutrisi akibat kelaparan, pada penderita bedah terdapat beberapafactor lain yang menyebabkan malnutrisi. Dua factor utama adalah kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan

katabolisme meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot

1.4.9.1.

Penentuan status gizi Puasa selama 3-4 hari yang pada umumnya dijalankan oleh pasien bedah, termasuk yang menderita malnutrisi protein-kalori ringan, tidak banyak memengaruhi status gizinya. Ada beberapa pertanda yang dapt dijadikan patokan, yaitu perbandingan tinggi/ berat badan, lingkaran lengan atas, dan kadar serum albumin. Tanda keadaan gizi yang kurang memuaskan adalah bila berat badan turun lebih dari 10% dalam waktu singkat, berat badan terakhir kurang dari 80% berat badan ideal, dan kadar serum albumin kurang dari 3gr%.

1.4.9.2.

Kebutuhan nutrisi Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui metabolisme basal, sedangkan untuk menetukan basal energy expenditure (BEE) ini digunakan suaturumus Harris-Benedict. Perempuan : 65,5 + (96 x BB) + (1,7 x tinggi badan)(4,7 x umur) Laki-laki : 66,0 + (1,7 x BB) + (5,0 x tinggi badan) (6,8 x umur)

1.4.9.3.

Gizi kurang Asupan nutrisi yang baik adalah melalui makanan dan minuman, Ini dapat berupa diet yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung atau secara intravena. Makanan biasa yang dicairkan dapat diberikan kepada penderita obstruksi esophagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti pada patah tulang rahang. Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia atau terdapat gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang mengakibatkan proses faali itutak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna bisa sangat terganggu sehingga proses pencernaan dan penyerapan sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Keadaan ini disebut kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada sindrom usus pendek akibat reseksi sebagian besar ileum dan yeyunum, fistel usus,gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan usus yang luas seperti pada penyakit Crohn dan colitis ulserosa. Pada kasus khusus dan sulit ini diperlukan tambahan nutsi secara enteral dan parenteral.

1.4.9.4.

Nutrisi enteral dan parenteral Nutrisi enteral memberi hasil yang lebih baik karena prosesnya berlangsung baik. Nutrisi parenteral hanya diberikan bila nutrisi enteral tak dapat

dilakukan,misalnya karena kelainan gastrointestinal sedemikian berat sehingga fungsi digestidan dan absorbs terganggu. Jadi, pertama-tama harus diusahakan agar pasien bisamakan melalui mulut dalam bentuk makanan lunak atau makanan cair. Bila ini

tidak berhasil, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa lambung melalui hidung(nasogastric tube), atau bila perlu, sonde dapat dimasukkan lebih dalam lagi sampaike duodenum, bahkan bagian proksimal yeyunum. Kadang-kadang makanan ini perludiberikan melalui sonde gastrostomi atau yeyunostomi. Diet lengkap berbentuk cairan yang menghasilkan ampas terbatas, biasanya diberikan melalui pipa lambung, duodenum, atau jejunum. Makanan dan minumanyang sudah separuh dicerna ini digunakan untuk orang yang keadaanya payah karena malnutrisi berat, koma lama, penderita yang sedang menggunakan respirator, dan penderita sakit berat di ruang rawat intensif. Nutrisi parenteral total terdiri atas nutrisi intravena yang mengandung semua nutrient yang diperlukan. Nutrisi ini dipakai pada penderita dengan ileus lama ataufistel usus. Nutrisi parenteral total ini melalui vena sentral, sebaiknya ujung kateter berada di v.kava superior. Dalam memberikan nutrisi enteral maupun parenteral, perhitungan

kebutuhan protein dan kalori sama seperti yang telah dibahas di atas. Komplikasi nutrisi enteral, antara lain aspirasi, muntah, diare, salah letak pipa, sedangkan komplikasi nutrisi parenteral serupa denga masalah kateter vena, seperti salah letak, menembus vena, atau tersumbat. Penyulit lain ialah tromboflebitis, infeksidan sepsis umum, serta gangguan metabolic yang bisa terjadi karena pemberian cairanterlalu cepat.

1.4.10. Cairan dan elektrolit

Yang paling sering ditemui pada gangguan keseimbangan cairan prabedah adalah karena kurangnya volume intravascular. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh penyakit tertentu seperi, perdarahan, muntah atau diare. Takikardi, hipotensi, oliguria, bertambahnya osmolalitas urin, berkurangnya konsentrasi natrium urin dan tidak adanya edema, dapat mempertegas diagnosis. Hidrasi dengan cairan yang tepat untuk mengganti cairan yang hilang, merupakan indikasi. Umumnya transfusi produk darahdiperlukan untuk menggantikan darah yang hilang bersamaan dengan larutan saline isotonic yang diberikan untuk hipotensi yang tidak terlalu parah dan kekurangan volume.

1.5. Premedikasi 1.5.1. Pemberian Antibiotik Penggunaan antibiotik pada masa prabedah berguna untuk menanggulangi adanya infeksi agar resiko pembedahn ditekan serendah mungkin. Jika

terdapatadanya infeki maka operasi harus ditunda dahulu. Tetapi infeksi pascabedah dapat terjadi juga akibat tempat pembedahan yang tidak steril atau kuman masuk melalui luka bedah. Sehingga diberikan antibiotik profilaksis agar menjadi pelengkap tindakan antisepsis dan asepsis.

1.5.2. Antibiotik Profilalaksis Antibiotik profilaksis yang diberikan harus diperhatikan dalam hal indikasi, saat pemberian dan lama pemberian, serta pilihan antibiotiknya. Karena fungsinya agar mencegah infeksi pascabedah maka antibiotik profilaksis diberikan dalam jangka

waktu pendek yaitu saat dilakukan tindakan bedah dan sesaat setelah pembedahan yaitu saat daya tahan tubuh pasien masih rendah. Sangat disarankan untuk digunakan jika pembedahan dilakukan di tempat atau luka yang sangat terkontaminasi dengan kuman. Antibiotik profilaksis diperlukan juga pada orang yang mengalami penurunan daya tahan tubuh seperti pada pasien HIV atau terapi steroid jangka panjang. Juga diberikan pada operasi yang berlangsung sangat lama yang biasa menyebabkan depresi faal tubuh yang besar. Antibiotika profilaksis diindikasikan jika resiko morbiditas infeksi pada saat operasi sangat tinggi dan jika infeksi luka mengancam nyawa pasien. Pemilihan antibiotika yang akan digunakan tergantung atas tipe organisme kontaminasi yang paling mungkin pada tindakan tertentu. Obat yang diberikan harus efektif membunuh sebagian besar bakteri yang ada , sehingga jumlah bakteri dan kemungkinan infeksi dapat diperkecil. Pemberian antibiotik profilaksis diutamakan pada pasien dengan infeksi atau kontaminasi berat; penurunan imunitas; usia lanjut; keadaan atau penyakit tertentu, seperti: DM, anemia, malnutrisi, obesitas; pemasangan protesis; bedah ortopedi; bedah pada trauma multiple; bedah vaskular; dan bedah jantung. Berbagai antibiotik membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk mencapai kadar dalam darah yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan kuman. Antibiotik profilaksis biasa diberikan secara parenteral. Untuk menceapai kadar antibiotik di jaringan yang cukup tinggi pada waktu dilakukan pembedahan dianjurkan untuk diberikan 1-2 jam prabedah dilanjutkan dengan 1-2 kali pascabedah.

Resiko

infeksi

pasca

bedah

meningkat

pada

pasien

dengan

usia

lanjut, penderita penyakit krnis, seperti DM, anemia, malnutrissi dan obesitas. Pada kontaminasi berat seperti patah tulang terbuka atau cedera tembus di saluran cerna sebaiknya pemberian dilakukan pada saat di rumah sakit.

1.5.3. Pemilihan antibiotik Pilihan antibiotic yang akan diberikan ditentukan oleh jenis kuman penyebab infeksi dan kepekaanya terhadap antibiotic. Pada kuman harus diperkirakan berdasarkan kuman yang lazim ada pada daerah infeksi tersebut, misalnya kuman gram negative dan anaerob di kolon., E.coli di kandung kemih. Selain itu harus dipertimbangkan keadan penderita , terutama fungsi hepar dan ginjal , status imunitas bahkan juga harga antibiotic. Pemberian antibiotik tanpa dasar

bakteriologi menimbulkan resistensi. Pemberian kombinasi antibiotic : Pacabedah perut yang tercemar berat Pengobatan awal sepsis atau meningitis purulenta Jika dipelukan efek sinergi Pengobatan tuberkulosa

1.5.4. Antibiotik Kombinasi

Pemberian anibiotik sebaiknya tidak dicampur dengn antibioik lain karena cara ini memudahkan terjadinya superinfeksi dan resistensi kuman,Tetapi dapat dilaukan pada kedaan tertentu yaitu pada infeksi campuranmisalnya pasda pembedahan reseksi usus yang selalu tercemar banyak kuman yang kepekaannya berbeda. Kombinasi pengobatan antibiotic juga diberikan pada pengobatan awal infeksi berat yang penyebabnya belum jelas , misalny asepticemia atau meningitis urulenta. Kadang diperlukan antibitok kombinasi untuk mendapatkan efek sinergi , misalnya golongan penisilin dikombinasikan dengan gologan aminiglikosida Sementara itu, anti tuberkulosis justru menghambat terjadinya resistensi kuman tuberculosis.

1.5.5. Profilaksis trombosis vena pasca bedah Trombosis vena pascabedah dan tromboembolisme dapat menimbulkan komplikasi pascabedah yang fatal karena timbulnya embolus pulomonalis. Perkiraan 2,5 juta kasus thrombosis vena terjadi per tahun dengan lebih dari 600.000 kasus emboli pulmonalis dan 200.000 kematian. Sekitar 15 % dari semua kematian padar umah sakit besar akibat emboli pulmonalis. Emboli merupakan kejadian paling fatal setelah tindakan operasi. Faktor risiko tromboembolisme pascabedah terdiri dari penyakit jantung (terutama fibrilasi atriumdan payah jantung kongestif), karsinoma paru, traktus gastrointestinal atau genitourinarius, paraplegi, trauma. Dekstran secara tidak langsung mengurangi sifat lekat thrombosis dan merubah kemampuan plasminogen untuk mendegradasi polimer fibrin. Beberapa

percobaan klinik dengan dekstran menunjukkan hasil yang kurang mengesankan dalam mencegah trmbosis vena profunda pascabedah dibandingkan dengan heparin. Aspirin terbukti hanya memiliki hasil meragukan dan umumnya tidak diberikan. Beberapa kombinasi teknik mekanis dan heparin ataskemoterapi dekstran dapat memberi jalan keluar.

1.6. Latihan Pra Operasi Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca operasi, seperti : nyeri daerah operasi, batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan yang diberikan pada pasien sebelum operasi antara lain: Latihan Nafas Dalam Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka pasien dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Latihan nafas dalam dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pasien tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk (semifowler) dengan lutut ditekuk dan perut tidak boleh tegang. Letakkan tangan diatas perut Hirup udara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan hidung dalam

kondisi mulut tertutup rapat.

Tahan nafas beberapa saat (3-5 detik)kemudian secara perlahan lahan,udara dikeluarkan sedikit demi sedikit melalui mulut. Lakukan hal ini berulang kali (15 kali) Lakukan latihan dua kali sehari praopeartif

Latihan Batuk Efektif Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi pasien terutama pasien yang mengalami operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan mengalami pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranstesi. Sehingga ketikasadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan.Dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan. Pasien dapat dilatih melakukan teknik batuk efektif dengan cara: Pasien condong ke depan dari posisi semifowler, jalinkan jari-jari tangan dan letakkan melintang diatas incisi sebagai bebat ketika batuk. Kemudian pasien nafas dalam seperti cara nafas dalam (3-5 kali) Segera lakukan batuk spontan, pastikan rongga pernafasan terbuka dan tidak hanya batuk dengan mengadalkan kekuatan tenggorokan saja karena bisa terjadi luka pada tenggorokan. Hal ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, namun tidak berbahaya terhadap incisi. Ulangi lagi sesuai kebutuhan. Jika selama batuk daerah operasi terasa nyeri, pasien bisa menambahkan dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan handuk yang lembut untuk menahan

daerah operasi dengan hati-hati sehingga dapat mengurangi guncangan tubuh saat batuk.

Latihan Penguatan Otot Latihan penguatan otot merupakan hal sangat penting bagi pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan pasien. Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih cepat kentut/flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi pernafasan optimal.

2. Persiapan Operator Staf


Penentu keberhasilan rencana pengontrolan infeksi di bedah mulut ialah dokter gigi. Tindakan kontrol infeksi yang rutin yang dibuat untuk membatasi atau mengurangi kontaminasi silang ialah cerminan langsung dari sikap dokter gigi. Dokter bedah dental harus menyiapkan dirinya untuk prosedur pembedahan dalam ruang operasi sama dengan cara dokter bedah umum menyiapkan dirinya untuk bekerja. Walaupun tidak mungkin untuk mensterilkan rongga mulut, ritual teknik steril sangat penting dalam meminimalisir kemungkinan masuknya organisme patogen ke dalam luka bedah. Selain itu, keistimewaannya adalah untuk membantu menyediakan kenyamanan dan perlindungan pada dokter bedah mulut. Persiapan prabedah untuk operator dan staff adalah sebagai berikut: 2.1. Dressing operator dan asisten Operator dan masing-masing asistennya, memakai pakaian katun bersih yang terdiri dari celana panjang dan baju. Pakaian katun tidak menghasilkan percikan dari elektrik statis yang dapat berkembang ketika pakaian nylon atau wool dikenakan. Percikan elektrik statis dapat menyebabkan ledakan tragis pada ruang operasi. Clean scrub suits, juga mengeliminasi baju penuh debu dari ruang operasi, menyediakan kenyamanan untuk operator, dan melindungi pakaian dokter dari kerusakan. Dipilih yang lengannya tidak melebihi siku sehingga memungkinkan tangan dicuci hingga ke siku. Apabila pembedahan yang dilakukan kemungkinan menyebabkan

darah atau saliva mengotori pakaian, maka dapat digunakan baju dengan lengan panjang, baik yang dapat digunakan ulang, atau lebih baik lagi bila digunakan yang disposable. Apabila dipakai baju yang digunakan ulang, maka sesudah dipakai harus dicuci dengan air panas dan detergen. Pakaian klinik harus diganti setiap hari apabila tercemar oleh darah. Selanjutnya operator mengenakan sepasang sepatu atau boots konduktif disposable. Saat ini peralatan Rumah Sakit yang baik memiliki lantai ruang operasi kondiktif khusus untuk mencegah ledakan atau letupan dan seluruh personel harus menggunakan sol sepatu konduktif atau boots konduktif khusus yang menutupi seluruh sepatu jalanan. Hal ini mencegah elektrik statis dari akumulasi pada operator, yang dapat menghasilkan sebuah percikan ketika dokter mendekati lingkungan grounded. 2.2. Persiapan tangan dan lengan Pencucian tangan yaitu menggosok, mengawali teknik asepsis/sterilisasi, digunakan pada bedah mulut. Pemakaian sabun anti kuman harus sesuai dengan rekomendasi pabriknya. Biasanya diperlukan paling tidak penggosokan 5-6 menit menggunakan sikat disposable/ yang sudah diautoklaf, baik yang sederhana atau yang berisi sabun. Untuk prosedur non bedah, sabun biasa sudah dianggap cukup layak oleh CDC (Centre for Disease Control). Alternatif lain ialah mencuci tangan dengan sabun antikuman (chlorhexidine gluconat 4%) selama satu menit.

Berikut ini merupakan urutan yang dilakukan dalam mempersiapkan tangan dan lengan: 1) Persiapan, menempatkan topi untuk menutupi rambut seluruhnya, dan menempatkan masker untuk menutupi hidung dan mulut. Gulung lengan sampai di atas siku. Lepaskan seluruh perhiasan dan jam tangan. Kuku harus pendek dan halus. 2) Prosedur, Alirkan air dari wastafel sampai suhu yang diinginkan. Cuci tangan dan lengan bawah dengan seksama, dan bersihkan kuku jari dengan orangewood stik. Sikat sekarang disuplai dalam container steril atau kemasan steril individu dilengkapi dengan konsentrat germicidal dan mengandung pembersih kuku plastik. Dimulai dengan menyikat telapak tangan, mengunakan parallel strokes. Sikat telapak dalam tiga bagian : dari kelingking ke ibu jari sikat seluruh empat permukaan tiap jari; kemudian balik tangan dan sikat buku-buku jari; kemudian sikat lengan dan siku, yakinkan untk menggosok ruang interdigital secara seksama ketika menggosok punggung masing masing jari, sampai ke pergelangan tangan. Setelah menggosok satu tangan dan lengan, lakukan prosedur yang sama untuk tangan yang lain. Pembilasan tangan dan lengan, secara seksama menguras mereka dari ujung jari sampai siku. Bilas sikat. Matikan air dengan dikat dan singkirkan sikat. Berjalanlah

ke ruang operasi, angkat tangan ke atas, dan perawat akan menyediakan handuk kering.

3) Jubah ( pakaian ) dan sarung tangan, Tangan dan lengan dikeringkan dengan handuk bersih, dan tiap anggota dari tim bedah memakai jubah steril. Tangan diberikan bedak steril oleh suster sebelum menggunakan sarung tangan steril. Teknik aseptic yang sarung sempurna tangan dipasang dengan semu

mengharuskan

tanpa menyentuh permukaan luar tangan. Dari poin ini operator dan personel steril harus peduli bahwa lingkungan di bawah bidang operasi boleh disentuh.

dipertimbangkan kontaminasinya dan tidak

2.3.

Triad barrier

Untuk membatasi kontaminasi silang pada dokter gigi, staf dan pasiennya, maka digunakan triad barrier yaitu masker, sarung tangan dan kacamata pelindung. Sarung tangan uji disposable yang non steril bisa digunakan untuk kebanyakan prosedur bedah mulut. Apabila sterilitas sangat diperlukan, misalnya pemasangan implan atau bahan aloplastik untuk menambah linggir (ridge), dapat digunakan sarung tangan steril. Kekurangan sarung tangan uji ialah bahwa hanya mempunyai satu ukuran saja atau berukuran S, M, L yang membatasi akurasi pemakaian dengan tepat. Juga agak sedikit tebal dibandingkan sarung tangan bedah, sehingga mengurangi sensasi taktil pada tangan. Meski demikian, keuntungan utamanya ialah harganya yang murah. Masker dapat dengan mudah dibeli di toko. Masker dengan tali lebih mudah digunakan untuk jangka panjang daripada yang menggunakan elastik. Keuntungan masker elastik ialah dapat dilepas dengan cepat dan mudah bila ingin dibuka sewaktuwaktu. Seperti halnya sarung tangan, masker harus diganti setiap kali ganti pasien. Kacamata pelindung yang terbuat dari plastic dan ringan melengkapi triad barier tersebut. Perlindungan mata dari saliva, mikroorganisme, aerosol, dan debris sangat diperlukan untuk operator maupun asistennya.

2.4.

Imunisasi Pelindung yang paling mudah digunakan dan yang paling jarang digunakan sebagai sumber perlindungan untuk dokter gigi dan staf adalah imunisasi, misalnya Heptavax-B untuk perlindungan terhadap hepatitis B.

3. Persiapan Alat dan Ruangan


3.1. Persiapan Alat

3.1.1. Langkah-langkah Persiapan Alat Langkah langkah persiapan alat adalah sebagai berikut: 1) Menghilangkan debris Semua saliva, darah, atau sisa jaringan dibersihkan sebelum dilakukan sterilisasi dan desinfeksi. Dianjurkan memakai pembersih ultrasonik. 2) Pengemasan peralatan Membungkus peralatan yang benar, baik menggunakan kain yang bisa dipakai ulang, atau menggunakan bungkus sekali pakai dengan dua lapis. Pengemasan ini dilengkapi dengan pita indikator yang peka panas atau uap yang dengan perubahan warnanya bisa menunjukkan bahwa bungkusan tersebut sudah diautoklaf. Sebaiknya alat dibungkus dalam plastik jernih yang diklip, diplester, atau direkat dengan pita indikator. Tanggal dilakukannya autoklaf dicatat pada bagian luar setiap bungkusan. Peralatan yang dibungkus hanya satu lapis harus diautoklaf lagi dalam 30 hari, sedangkan yang dibungkus rangkap dua dapat bertahan sampai enam bulan. 3) Peralatan siap pakai/disposable Sterilitas dapat dengan mudah dipastikan pada keadaan kritis alat-alat siap pakai. Yang paling penting ialah jarum suntik yang digunakan untuk anestesi lokal atau bahan yang lain. Jarum tersebut terbungkus sendiri-sendiri

dan disterilkan, sehingga dijamin ketajaman dan sterilitasnya. Pemasangan jarum pada selubungnya jangan dilakukan dengan tangan. Apabila tidak ada alternatif lain untuk memasang selubung jarum, maka bisa digunakan hemostat/ needle holder. Benang dan jarum jahit juga tersedia dalam bentuk siap pakai. Scalpel dan mata pisau juga tersedia dalam bentuk steril untuk sekali pemakaian. Sarung tangan steril baik yang panjang maupun yang pendek menjamin adanya asepsis dan dibungkus rangkap dua untuk menjamin bahwa pada waktu pemakaian tidak terkontaminasi. Sebagian besar agen hemostatik, bahan pengganti tulang aloplastik, dan material untuk implan tidak membutuhkan sterilisasi lagi. Sponge dan bahan-bahan dressing biasanya tersedia dalam bungkusan steril yang terpisah. Penutup yang steril, idealnya dengan pelindung plastik digunakan apabila diperkirakan akan terjadi kontaminasi oleh darah atau saliva. Sebagian peralatan dibungkus dengan sistem peel down. Dibungkus rangkap dua sehingga memungkinkan orang yang tidak menggunakan sarung tangan membuka dan menyerahkan isinya kepada orang lain yang sudah memakai sarung tangan atau menaruh isinya di atas tempat yang steril. Apabila bungkusnya sobek, peralatan tersebut sebaiknya jangan digunakan. Meskipun bisa diautoklaf, tidak ada peralatan disposable yang boleh digunakan ulang. 4) Meja tempat instrumen steril (1) (2) Meja instrumen diatur oleh perawat. Terdiri dari alat-alat yang steril dan semua instrumen yang dapat digunakan dalam bedah mulut.

(3)

Meja ini tidak boleh sampai terkontaminasi selama operasi sedang berlangsung.

(4) (5)

Meja instrumen sebaiknya ditutupi oleh kain steril. Peralatan yang dibutuhkan ditransfer ke rak mayo dengan penjepit instrumen yang steril.

Untuk menentukan tingkat sterilisasi/desinfeksi yang layak, maka alat-alat digolongkan sesuai dengan penggunaan dan aplikasinya, antara lain adalah: 1) Alat-alat kritis Alat-alat kritis adalah alat yang berkontak langsung dengan daerah steril pada tubuh yaitu semua struktur atau jaringan yang tertutup kulit/mukosa, karena semua ini mudah terserang infeksi. Peralatan kritis harus steril sebelum digunakan. Termasuk dalam kategori ini yaitu jarum suntik, scalpel, elevator, bur, tang, jarum jahit, dan peralatan untuk implantasi (misalnya implan, bahan aloplastik dan bahan hemostatik). Apabila memungkinkan sebaiknya peralatan disterilisasi dengan autoklaf. Kelayakan tingkat sterilitas bisa diuji seminggu sekali dengan menggunakan peralatan tes spora. Kontrol berikutnya untuk membuktikan bahwa autoklaf sudah dilakukan adalah menggunakan indikator yang peka terhadap panas/uap yang ditempelkan di luar pembungkus alat. Apabila penggunaan autoklaf tidak memungkinkan, desinfeksi yang sangat baik dapat dicapai dengan menggunakan bahan kimia yang terdaftar pada US Environmental Protection Agency (EPA), waktu pemaparan tergantung pada instruksi pabrik. Diikuti dengan pembasuhan

menggunakan air steril. Cara lain untuk mensterilkan adalah dengan merendam dalam air mendidih selama paling sedikit 10 menit. 2) Alat-alat semi kritis Peralatan semikritis adalah alat-alat yang bisa bersentuhan tetapi sebenarnya tidak digunakan untuk penetrasi ke membran mukosa mulut. Meskipun

terkontaminasi oleh saliva dan darah, alat tersebut biasanya tidak membawa kontaminan ke daerah steril di dalam tubuh. Kaca mulut dan alat lain yang digunakan untuk pemeriksaan dan tes termasuk dalam kategori ini. Handpiece digunakan untuk bedah mulut idealnya bisa diautoklaf.

3) Alat-alat non kritis Adalah peralatan yang biasanya tidak berkontak dengan membran mukosa. Meliputi countertops, pengontrol posisi kursi, kran yang dioperasikan dengan tangan, dan pengontrol kotak untuk melihat gambar sinar X. Apabila terkontaminasi dengan darah, saliva atau kedua-duanya, mula-mula harus dilap dengan handuk pengisap kemudian didesinfeksi dengan larutan antikuman yang cocok, misal 5000 ppm (pengenceran larutan pemutih 1:10, clorox) atau 500 ppm (pengenceran 1:100 sodium hipoklorit). Harus hati-hati karena sodium hipoklorit korosif terhadap logam.

3.1.2. Sterilisasi Alat Prinsip: Mematikan semua mikroorganisme

Menggunakan metode fisik atau kimiawi Menggunakan autoklaf Direbus dalam air mendidih hanya men-disinfeksi Metode fisik dan kimiawi digunakan sekarang ini. Metode fisik meliputi

pemanasan kering dan basah, serta radiasi gamma (umumnya digunakan untuk mensterilisasi peralatan yang sudah dikemas seperti mata pisau). Merebus dalam air mendidih bukan merupakan metode yang baik untuk sterilisasi karena metode ini hanya mendisinfeksi dan tidak membunuh spora. Autoklaf menggunakan uap dengan tekanan. Metode ini digunakan untuk handuk dan dressing, tetapi alat tersebut harus dikemas tidak terlalu rapat agar uap dapat bersirkulasi dengan baik. Peralatan seperti bur dapat dikemas dahulu dengan Vapous Phase Inhibitor (VPI) sebelum diautoklaf agar tidak berkarat. Sterilisisasi kimiawi tidak terlalu dianjurkan oleh bakteriologis karena tidak semua larutan yang digunakan dapat bekerja dengan baik. Glutaraldehid efektif membunuh organisme vegetatif dan spora jika peralatan direndam dengan larutan ini selama 10 jam, dan setelah itu peralatan harus dicuci dengan air steril karena larutan glutaraldehid dapat mengiritasi jaringan. Oleh karena itu, sterilisasi dengan glutaraldehid dibatasi hanya untuk peralatan yang tidak dapat disterlisisasi dengan cara pemanasan. Larutan glutaraldehid atau hipoklorit dapat digunakan untuk mendisinfeksi peralatan yang berpotensi terkontaminasi virus berbahaya (seperti hepatitis) sebelum peralatan dibersihkan dan disterilisasi. Radiasi gamma dan ethylene oxide digunakan untuk mensterilisasi peralatan disposable seperi mata pisau.

Persiapan Ruangan Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan selain memperhatikan kebersihan ruangan antara lain: Dekontaminasi Dekontaminasi ruangan bertujuan untuk menghindari kontaminasi silang yang dapat terjadi dari permukaan-permukaan yang terkena saliva pasien, darah, dan bahan lainnya. dekontaminasi ruangan dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Permukaan yang akan dibersihkan dapat dilakukan dengan mengelap permukaan yang rentan terkontaminasi dengan handuk penghisap, kemudian diberikan larutan desinfektan seperti Clorox diencerkan dalam perbandingan 1:10 sampai dengan 1:100. Pelindung permukaan Pada permukaan yang sulit untuk dilakukan desinfeksi yang rentan terkena darah dan saliva pasien seperti pada permukaan pegangan lampu dan tumpuan tangan pasien pada dental chair, atau permukaan lainnya, dapat dilakukan penutupan dengan kertas kedap air, aluminium foil, atau plastik berwarna bening/jernih. Lapisan tersebut diganti ketika akan dilakukan pembedahan yang lainnya (penutup pelindung tersebut dibuka oleh operator dengan menggunakan sarung tangan, setiap selesai pembedahan yang kemudian diganti dengan penutup yang baru).

Persiapkan alat yang akan digunakan yang telah disterilkan. Serta memastikan alat resusitasi jantung dan oksigen dapat berfugnsi dengan baik, sebagai persiapan jika terjadi hal-hal kegawatadaruratan.

4.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Persiapan Prabedah. Edisi 2.Jakarta. EGC. 1997. Hal 231-2382. Sabiston,DC. Alih bahasa: Andrianto, Editor: Ronardy DH. Buku Ajar Bedah. EGC,Jakarta. 1994. Hal 77 973. American Society of Anesthesiologists : Classification of Physical status. Anesthesiology.24:111. 19634. Lewin, L, Lemer, A.G, S.H.,et al : Physical class and physiologic status in the prediction of operative mortality in the aged ick. Ann. Surg, 174:217.19715.

PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum viceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dan lambung berjalan ke atas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus. Fungsi peritoneum yaitu : 1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis 2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling bergesekan 3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen 4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi. Proses peradangan dan infeksi dapat terjadi pada lapisan peritonium yang dapat menyebabkan kondisi kekritisan pada pasien oleh karena itu peritonitis harus membutuhkan penanganan medis dan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi kondisi kritis tersebut dan mencegah komplikasi yang lebih parah.

2.

TUJUAN a. Tujuan Umum

Setelah menyusun dan mempelajari laporan pendahuluan pada pasien dengan peritonitis diharapkan mahasiswa mampu memahami dan terampil dalam melakukan asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan peritonitis. b. Tujuan Khusus Setelah menyelesaikan laporan pendahuluan pada pasien dengan peritonitis diharapkan mahasiswa mampu : a. Memahami pengertian dari b. Memahami penyebab peritonitis c. Mengetahui tanda dan gejala pada peritonitis d. Memahami konsep patofisiologi pada peritonitis e. Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan pada peritonitis f. Memahami dan melakukan pemeriksaan penunjang pada klien dengan peritonitis g. Melakukan pengkajian pada pasien dengan peritonitis h. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan peritonitis i. j. Melakukan intervensi keperawatan pada pasien dengan peritonitis Melaksanakan peritonitis k. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan peritonitis l. Melaksanakan keterampilan klinik/skill dalam lingkup tindakan penangan kritis pada pasien dengan peritonitis A. Definisi 1. Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda tanda umum inflamasi. ( Santosa, Budi. 2005) 2. 3. 4. Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa. ( Soeparman, dkk) Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, pada membrane serosa, pada bagian rongga perut ( Andra) Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi implementasi keperawatan pada pasien dengan

pada selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa rongga abdomen dan dinding perut bagian dalam.

B. Etiologi 1. Infeksi bakteri Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aureus, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal Appendiksitis yang meradang dan perforasi Tukak peptik (lambung / dudenum) Tukak thypoid Tukak pada tumor

2. Secara langsung dari luar. Operasi yang tidak steril Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa Trauma pada kecelakaan peritonitis lokal seperti rupturs limpa, ruptur hati Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.

3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. pnemokokus. Penyebab utama adalah streptokokus atau

A. Tanda dan Gejala Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan,

adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang menyebar. Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric. B. Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Bila bahan-bahan infeksi tersebar luas pada pemukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguri. Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak di antara matriks fibrin.

Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kumankuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen - kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis terjadi juga memang karena virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur, misalnya pada peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakterigram negatif, terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif tinggi, sehingga dengan menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF). Pathway Keperawatan
Infeksi Bakteri, virus, cacing/ parasit Trauma abdomen Appendiksitis Konsumsi diit rendah serat

Ketidakseimbanga n nutrisi kurang Obstruksi lumen peritonium Hipetermi dari kebutuhan tubuh Ruptur
peritonium Mukosa Terbendung

Nyeri

Resiko infeksi

Fekalit dalam lumen

Konstipas i

Perforasi Konstipasi

Nyeri Resik o

Resiko kekuranga n volume cairan

Intolerans i aktivitas

Sekresi mukus terus menerus

Tekanan intra sekal

Tekanan intra luminal

Respon inflamasi

Sumbatan fungsional dan pertumbuhan kuman kolon

Aliran limfe terhambat Oedema, ulserasi mukosa

Peritonitis

Pre Operasi

Peradangan Peritonium

Peningkatan Peristaltik

Proses infeksi Konsumsi diit rendah serat

mendadak

Proses penyakit

Anoreksia, mual,

Kemungkinan muntah ruptur

distensi abdomen

Post Operasi

Pembedahan/Laparatomy

Pembatasan, paska operasi (puasa)

Kelemahan fisik

Sumber: Mansjoer,2000 dan Syamsuhidayat,2004.

C. Komplikasi 1. Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal. 2. Abses peritoneal 3. Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan bernafas. 4. Sepsis

D. Pemeriksaan Penunjang 1. Test laboratorium

Leukositosis Hematokrit meningkat Asidosis metabolik

2. X. Ray Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan : Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis. Usus halus dan usus besar dilatasi. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

E. Penatalaksanaan Medis 1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus. 2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan dapat diupayakan. 3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses.

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PERITONITIS

A. PENGKAJIAN 1. Pengkajian

a. Biodata Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll. b. Riwayat kesehatan

Kaji keluhan utama Keluhan waktu di data : Terdapat pasien muntah-muntah, demam, sakit kepala, nyeri ulu hati, makan-minum kurang, turgor kulit jelek, keadaan umum lemah. Riwayat kesehatan yang lalu : Pernah menderita moviting atau tidak Riwayat kesehatan keluarga : Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit seperti pasien

c. Pemeriksaan fisik Tanda vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi Inspeksi : - Kepala : Keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga dan leher - Abdomen: biasanya terjadi pembesaran limfa, - Genetalia : Tidak ada perubahan Palpasi abdomen : Teraba pembesaran limfa , perut kembung, nyeri Auskultasi : peristaltic usus menurun Perkusi abdomen : hipersonor

2. Pengkajian primer

a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas berupa secret, lidah jatuh atau benda asing

b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai berapa frekuensi pernafasan klien per menitnya.

c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji keseimbangan cairan dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien.

d. Disability

Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun cara yang cukup jelas dan cepat adalah : A: Awakening V: Respon Bicara P: Respon Nyeri U: Tidak Ada Nyeri

e. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat diketahui kelaianan yang muncul, pada abdomen akan tampak distensi sebagai akibat perubahan sirkulasi, penumpukan cairan dan udara yang tertahan dilumen.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa yang muncul pada pasien dengan kasus peritonitis berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2006) antara lain: Pre Operasi I. II. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia. III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan. IV. Konstipasi berhubungan dengan distensi abdomen. V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.

Post Operasi I. II. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN Intervensi menurut Mc.Closkey (1996) Nursing Intervention Classsification (NIC), dan hasil yang diharapkan menurut Johnson (2000) Nursing Outcome Classification ( NOC) , antara lain: Pre Operasi Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang. NOC : Level nyeri, kriteria hasil: 1. Nyeri berkurang 2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah 3. Kegelisahan atau keteganganotot 4. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10. 5. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan. NIC : Penatalaksanaan nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi,

keparahan, factor presipitasinya 2. 3. Observasi ketidaknyamanan non verbal Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru 4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan 5. 6. 7. Anjurkan pasien untuk istirahat Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

Dx II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia. Tujuan : Setelah dilakukan adekuat. NOC : Status Gizi, kriteria hasil: 1. 2. 3. 4. Mempertahankan berat badan. Toleransi terhadap diet yang dianjurkan. Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi. Turgor kulit baik. tindakan keperawatan diharapkan nutrisi pasien

NIC : Pengelolaan Nutrisi 1. 2. 3. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan

bagaimana memenuhinya. 4. 5. Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah. pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.

Dx III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal 370 C NOC : Thermoregulation,kriteria hasil: 1. 2. 3. 4. Suhu kulit dalam rentang yang diharapkan Suhu tubuh dalam batas normal Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan Perubahan warna kulit tidak ada

NIC : Fever Treatment 1. Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan

2. 4.

Pantau warna kulit dan suhu Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar pakaian.

4.

Berikan cairan intravena

Dx IV. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan konstipasi teratasi. NOC : Eliminasi defekasi, kriteria hasil: 1. 2. 3. Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan Mengeluarkan feses tanpa bantuan. Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.

NIC : Penatalaksanaan defekasi 1. Pantau pergerakan defekasi meliputi frekuensi, konsistensi,bentuk, volume, dan warna yang tepat. 2. Perhatikan masalah defekasi yang telah ada sebelumnya, rutinitas defekasi dan penggunaan laksatif. 3. Instruksikan pada pasien dan keluarga tentang diet, asupan

cairan,aktivitas dan latihan. 4. Awali konferensi keperawatan dengan melibatkan pasien dan keluarga untuk mendorong perilaku positif yaitu perubahan diet. 5. Beri umpan balik positif untuk pasien saat terjadi perubahan tingkah laku. Dx V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien bebas dari gejala peritonitis. NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil: 1. Terbebas dari tanda dan gejala peritonitis.

2.

Mengindikasikan

status

gastrointestinal,

pernafasan,genitourinaria,

dan imun dalam batas normal. 3. Menunjukan gejala dan tanda infeksi dan mengikuti prosedur dan pemantauan. NIC : Pengendalian Infeksi 1. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks. 2. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat. 3. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan meningkatkan resiko perforasi. 4. 5. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

Post Operasi Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang. NOC : Level nyeri, kriteria hasil: 1. Nyeri berkurang 2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah 3. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10. 4. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan. NIC: Penatalaksanaan nyeri

1.

Lakukan

pengkajian

nyeri,

secara

komprhensif

meliputi

lokasi,

keparahan. 2. 3. Observasi ketidaknyamanan non verbal Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru 4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan 5. Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri. 7. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat. NOC : Fluid balance, kriteria hasil: 1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal 2. 3. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab, 4. Tidak ada rasa haus yang berlebihan

NIC : Fluid Management 1. 2. 3. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat Monitor vital sign dan status hidrasi Monitor status nutrisi

4.

Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.

5. 6.

Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi. Atur kemungkinan transfusi darah.

Dx. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif. Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi pada luka bedah. NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil: 1. 2. 3. Bebas dari tanda dan gejala infeksi. Higiene pribadi yang adekuat. Mengikuti prosedur dan pemantauan.

NIC: Pengendalian Infeksi 1. Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka). 2. Amati penampilan praktek higiene pribadi untuk perlindungan

terhadap infeksi. 3. Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi. 4. Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut yang steril. 5. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.

Dx. IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa mengalami kelemahan. NOC : Konservasi energi, kriteria hasil:

1.

Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR

2.

Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.

NIC : Management Energi 1. Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas 2. Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan 3. 4. 5. 6. Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

Andra. 2007. Peritonitis Pedih dan Sulit Diobati. www.majalah-farmacia.com. 2 Desember 2007.

Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott Company. Philadelphia. 1984.

Doenges, Marilynn E. et all. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Johnson, Marion et all. 2000. Iowa Intervention Project Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis : Mosby Inc.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

McCloskey, Joanne C. dan Gloria M. Bulechek. 1996. Iowa Intervention Project Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis : Mosby - Year Book Inc.

Potter dan Perry. 1999. Fundamental Keperawatan Edisi 4 Vol 2. Buku Kedokteran. Jakarta : ECG.

Soeparman, dkk 1987. Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima Medika.

Keadaan normal status cairan dan elektrolit


Air adalah komponen pembentuk tubuh yang paling banyak jumlahnya. Pada orangdewasa kurang lebih 60 % dari berat badan adalah air (air dan elektrolit), 2/3 bagian berada di intrasel, dan 1/3 bagian berada di ekstrasel. 60 % berat badan tubuh adalah : a. Cairan intrasel (CIS) 40 % dari berat badan b. Cairan ekstrasel (CES) 20 % dari berat badan yang terdiri dari cairan intravaskuler (plasma) 5 % dari berat badan, dan cairan interstisil 15 % dari berat badan.

Elektrolit utama a. Dari CES : Natrium (N = 135 - 147 mEq/liter), Klorida (N = 100 - 106 mEq/liter) b. Dari CIS : Kalium (N = 3,5 - 5,5 mEq/liter), Phospat (N = 3 - 4,5 mg/liter)

Secara lebih terperinci kandungan kadar elektrolit dalam tubuh adalah sebagai berikut :

mEq
Na Cl HCO3 K

Plasma
145 100 27 4

Interstisial
143 110 27 4

Seluler
14 10 150

Ca Mg PO4 SO4 Protein

5 3 2 1 16

5 3 2 1 2

26 113 74

Konsentrasi ion H pada suatu larutan atau tingkat keasaman dan kebasaan ditunjukkan sebagai pH . Nilai pH normal adalah 7,35 - 7,45 Air murni merupakan larutan netral mempunyai pH 7 Larutan asam mempunyai pH < 7 Larutan basa mempunyai pH > 7

Rehidrasi
Rehidrasi adalah upaya menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dan cairan yang memadai melalui oral dan parenteral (Anonim,1985, dalam Harianto, 2004).
Portrait of epidemiologist and U.S. Public Health Service physician Dr. Joseph Goldberger. (1980) melakukan beberapa cara menghitung kebutuhan

cairan dan elektrolit, yaitu : Cara I Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan cairan kira-kira 2 % dari BB pada waktu itu. Contoh: BB 50 kg maka defisit cairan sekitar 1 liter. (1000 cc) Jika seseorang bepergian 3-4 hari tanpa air dan ada rasa haus, mulut kering, oliguria, maka defisit air sekitar 6 % atau 3000 cc pada orang dengan BB 50 kg. Bila ada tanda di atas ditambah dengan kelemahan fisik nyata, perubahan mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan

sekitar 7-14% atau sekitar 3,5 sampai 7 liter pada orang dengan BB 50 kg. Cara II: Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan BB 4 kg pada fase akut cuma dengan defisit air 4 liter. Cara III: Dengan suatu kenyataan bahwa kosentrasi natrium dalam plasma berbanding terbalik denganvolume ekstrasel dengan pengertian bahwa kehilangan air tidak disertai dengan perubahan kosentrasi natrium dalam plasma, maka dapat dihitung dengan rumus: Na2 x BW2 = Na1 x BW1 dimana;

Na1 = kadas Na plasma normal 142 mEq/liter BW1 = volume air badan normal sekitar 60 % dari BB pria dan 50 % dari BB wanita. Na2 = Kadar natrium plasma sekarang. BW2= Volume air badan sekarang. Daldiyono (1973) mengemukakan salah satu cara menghitung kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial pada gastro enteritis akut berdasarkan sistim score. Adapun nilai/score gejala klinis dapat dilihat pada tabel dibawah ini Gejala klinik Muntah Vox colerica (suara sesak) Kesadaran apatis Kesadaran somnolent sampai dengan koma Tensi sistolik kurang atau sama dengan 90 mmHg Nadi lebih atau sama dengan 120 x/menit Score 1 2 1 2 2 1 1

Napas kusmaul > 30x/menit Turgor kulit < Vacies colerica Ekstremitas dingin Jari tangan keriput Sianosis Umur 50 atau lebih Umur 60 tahun atau lebih

1 2 1 1 2 -1 -2

Semua score ditulis lalu dijumlah. Jumlah cairan yang akan diberikan dalam 2 jam dapat dihitung: Score x 10% x BB (Kg) x 1 liter 15 Dengan menggunakan rumus Margon-walten (dikutip dari Daldiyono) yaitu dengan mengukur BJ Plasma:

BJ plasma -1,025 x BB (Kg) x 4 ml 0,001 Contoh : Pria BB 40 Kg dengan BJ Plasama pada waktu itu 1,030, maka kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial : 1,030 - 1,025 x 40 x 4 ml = 800 ml 0,001 Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah : Menurut Golderberg (1980) kebutuhan cairan berdasarkan gejala klinis adalah: cara 1. Kehilangan cairan sekitar 6% dari BB atau sekitar 3 liter. Menurut cara III rumus :

Na II x Bw 2 = Na I x Bw I 123 x X X = 142 x 22 = 25,4 (tak sesuai) dari gejala klinis ditemukan score 6 ,

Menurut score Daldiyono perhitungannya:

6 x 10% x 50 Kg x 1 liter = 2 liter (2000 ml) 15

Post Ops atau Pasca Operasi dalam dunia medis adalah periode setelah operasi hingga sembuh yang secara garis besar, meliputi: > Perawatan Intensif di Ruang Recovery. Pada periode ini dilakukan perawatan intensif dan monitor serta evaluasi kondisi umum penderita (diantaranya: vital sign, yakni: kesadaran, fungsi pernafasan, fungsi peredaran darah, dll) hingga kondisi stabil dan penderita menjadi sadar. > Perawatan. Pada periode ini dilakukan follow up di ruangan perawatan hingga penderita dinyatakan pulang dan dinilai dapat menjalani rawat jalan. > Kontrol ( rawat jalan ) dan Rehabilitasi. Pada periode ini penderita menjalani pengobatan rawat jalan dan kontrol secara berkala hingga dinyatakan sembuh. Untuk operasi ringan, seperti operasi katarak dan sejenisnya, maka perawatan intensif tidak dilakukan karena penderita dapat langsung pulang untuk menjalani rawat jalan (kontrol) setelah operasi.

Cardiac Arrest Jantung merupakan organ vital yang bertugas memompa darah untuk semua organ-organ badan. Henti jantung atau cardiac arrest adalah suatu keadaan berhentinya sirkulasi normal dari darah dalam kaitannya dengan kegagalan jantung untuk berkontaksi secara efektif selama systole. Kegagalan untuk berkontraksi dapat mengakibatkan kematian yang mendadak, bahkan dapat terjadi kematian seketika (Instantaneous Death) dan disebut sudden cardiac death (SCD). Cardiac arrest biasa disebut cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau circulatory arrest. Cardiac arrest berbeda dengan infark miokard, dimana aliran darah ke jantung yang masih berdetak terganggu.1,2,3 Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit jantung koroner, stress fisik (perdarahan yang banyak, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan. Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension pneumothorax. 1,2 Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti

berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit. Jika cardiac arrest dapat dideteksi dan ditangani dengan segera, kerusakan organ yang serius seperti kerusakan otak, ataupun kematian mungkin bisa dicegah. 1,2,4 Cardiac arrest dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Hal ini dapat juga terjadi secara tiba-tiba pada seseorang yang terlihat sehat, dan menyebabkan kematian yang mendadak atau sudden cardiac death (SCD). Hal ini merupakan suatu kegawat daruratan medis, dapat berpotensi untuk membaik jika ditangani seawal mungkin. Penanganan pertama untuk cardiac arrest adalah cardiopulmonary resuscitation (biasa disebut CPR) yang akan mendukung sirkulasi peredaran darah sampai tersedia perawatan medis yang pasti. Penanganan berikutnya sangat bergantung pada irama jantung yang terlihat pada pemeriksaan lanjutan, apakah terdapat aritmia atau tidak, tetapi sering kali diperlukan defibrillasi untuk mengembalikan irama jantung normal sebab sebagian besar cardiac arrest terjadi akibat ventricular fibrillation dan ventricular tachicardia. Saat ini, cardiac arrest masih merupakan penyebab utama kematian di dunia. Sekitar separuh dari semua kematian akibat penyakit jantung digolongkan sebagai sudden cardiac death.2,5 DEFENISI Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi. Gejala dan tanda yang tampak, antara lain hilangnya kesadaran; napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas); tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri; dan tidak denyut jantung.2,6 ETIOLOGI Penyebab cardiac arrest yang paling umum adalah gangguan listrik di dalam jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol irama jantung tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi dapat menyebabkan irama jantung yang abnormal, disebut aritmia. Terdapat banyak tipe dari aritmia, jantung dapat berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak. Ketika aritmia terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam sirkulasi.7 Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit jantung koroner yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung), stress fisik (perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan yang mempengaruhi jantung, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan. Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension pneumothorax. 1,2,6,7

ANATOMI A.d.1. Suplai arteri pada Jantung Arteri koronaria adalah yang bertanggungjawab untuk mensuplai jantung itu sendiri dengan darah yang kaya oksigen. Arteri koronaria adalah end-arteries yang diujung dan bila terjadi penyumbatan, maka suplai darah ke otot miokardium akan terhambat (infark miokard). Bila lumen pembuluh darah menyempit karena perubahan atheromatous pada dinding pembuluh darah, pasien akan mengeluh nyeri dada yang meningkat secara bertahap pada aktivitas berat (angina). Kondisi ini tidak memungkinkan otot miokardium meningkatkan kontraksi untuk memenuhi kebutuhan suplai darah, akibat berkurangnya suplai darah arteri.8 Terdapat variasi ukuran dan letak dari arteri koronaria. Sebagai contoh, pada sebagian orang, cabang posterior interventikular dari arteri koronaria kanannya lebih besar dan menyuplai darah ke sebagian besar bagian ventrikel kiri sedangkan pada kebanyakan orang tempat ini disuplai oleh cabang anterior interventrikular dari arteri koronaria kiri. Contoh lain, nodus sino-atrial umumnya disuplai oleh cabang nodus dari arteri koronaria kanan, akan tetapi pada 30-40% populasi menerima suplai dari arteri koronaria kiri.8 A.d.2. Saluran darah vena jantung Sistem aliran darah vena pada jantung sebagai berikut: Vena-vena dan arteri-arteri koronaria mengalir ke dalam atrium kanan melalui sinus koronaria. Sinus koronaria mengalir ke dalam atrium kanan ke arah kiri dari dan superior ke pembukaan dari vena cava inferior. Great Cardiac Vein mengikuti cabang anterior interventrikular dari koronaria kiri dan kemudian menjalar ke arah belakang kiri pada cabang-cabang atrioventrikular. Pembuluh darah vena sedang mengikuti arteri interventrikular posterior dan bersamaan dengan pembuluh darah vena kecil yang mengikuti arteri marginalis, mengalir ke dalam sinus koronaria. Sinus koronaria mengalir ke pembuluh darah vena pada jantung.8 A.d.3. Sistem konduksi jantungekg Terdapat 3 jenis sel dalam jantung yang berperan dalam proses impuls normal di dalam jantung, yaitu:8,9 1. Sel perintis (pacemaker cells)? Sumber daya listrik jantung. Nodus sino- atrial (SA) adalah pacemaker jantung. Ia terletak di atas krista terminalis, dibawah pembukaan vena cava superior di dalam atrium kanan. 2. Sel konduksi listrik? Kabel jantung. Impuls yang dihasilkan oleh nodus SA diantar melalui otot-otot atrial untuk menyebabkan sinkronisasi kontraksi atrial. Impuls tiba ke nodus atrioventrikular (AV) yang terletak di septum interatrial dibawah pembukaan sinus koronaria. Dari sini impuls diantar ke ventrikel melalui

serabut atrioventrikular (His) yang turun ke dalam septum interventrikular. Serabut His terbagi menjadi 2 cabang kanan dan kiri. Cabang-cabang ini akan berakhir pada serabut-serabut Purkinje dalam subendokardium dari ventrikel. 3. Sel miokardium? Mesin kontraksi jantung. Jika sebuah gelombang depolarisasi mencapai sebuah sel jantung, kalsium akan dilepaskan ke dalam sel sehingga sel tersebut berkontraksi. Sel jantung memiliki banyak sekali protein kontraktil, yaitu aktin dan miosin. PATOFISIOLOGI Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tub uh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).1,2,4 Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing2 etiologi yang mendasari terjadinya cardiac arrest. A.d.1. Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.5,7 A.d.2. Stess fisik. Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi, diantaranya:1,7 perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam sengatan listrik kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang berat Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki gangguan jantung. Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed. A.d.3. Kelainan Bawaan Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.7 A.d.4. Perubahan struktur jantung

Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.7 A.d.5. Obat-obatan Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.2 A.d.6. Tamponade jantung Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.2 A.d.7. Tension pneumothorax Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.2 PENEMUAN AUTOPSI 10 Terdapat beberapa faktor yang dapat menuntun kita menegakkan diagnosis cardiac arrest maupun sudden cardiac death(SCD), di antaranya adalah hasil temuan di TKP, menunjukkan posisi kematian yang tidak wajar, khas untuk suatu kematian mendadak. Korban mungkin ditemukan meninggal dalam keadaan hanya mengenakan pakaian dalam keadaan tertelungkup, maupun tergeletak di samping kabel listrik. Hasil pemeriksaan autopsi juga dapat menunjukkan adanya temuan penyakit-penyakit yang mendasari terjadinya cardiac arrest, seperti penyakit jantung koroner, pembesaran jantung, trombosis, maupun tanda-tanda kekerasan seperti penjeratan yang dapat memicu terjadinya cardiac arrest. ASPEK MEDIKOLEGAL Setiap kematian mendadak harus diperlakukan sebagai kematian yang tidak wajar, sebelum dapat dibuktikan bahwa tidak ada bukti-bukti yang mendukungnya. Dengan demikian dalam penyelidikan kedokteran forensik pada kematian yang mendadak atau terlihat seperti wajar, alasan yang sangat penting dalam otopsi adalah menentukan apakah terdapat tindak kejahatan. Dari sudut kedokteran forensik, tujuan utama pemeriksaan kasus kematian mendadak adalah menentukan cara kematian korban. KUHAP pasal 133 (1) menyatakan Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. 3,11 Pemeriksaan kasus kematian mendadak perlu beberapa alasan, antara lain:3 1. Menentukan adakah peran tindak kejahatan pada kasus tersebut 2. Klaim pada asuransi 3. Menentukan apakah kematian tersebut karena penyakit akibat industri atau merupakan

kecelakaan belaka, terutama pada pekerja industri 4. Adakah faktor keracunan yang berperan 5. Mendeteksi epidemiologi penyakit untuk pelayanan kesehatan masyarakat Pada kasus kematian yang terjadi seketika atau tak terduga, khususnya bila ada tanda-tanda penyakit sebelumnya dan kemungkinan sakit sangat kecil, untuk menentukan penyebabnya hanya ada satu cara yaitu dilakukannya pemeriksaan otopsi pada jenazah, bila perlu dilengkapi dengan pemeriksaan tambahan lain seperti pemeriksaan toksikologi. Hal ini sangat penting untuk menentukan apakah termasuk kematian mendadak yang wajar.3 Adapun kepentingan otopsi antara lain:3 1. Untuk keluarga korban, dapat menjelaskan sebab kematian 2. Untuk kepentingan umum, melindungi yang lain agar dapat terhindar dari penyebab kematian yang sama Penentuan kasus kematian adalah berdasarkan proses interpretasi yang meliputi:3 1. Perubahan patologi anatomi, bakteriologi dan kimia 2. Pemilihan lesi yang fatal pada korban Pada kasus kematian mendadak yang sering kita hadapi, tindakan yang mampu dilakukan pada kematian mendadak adalah:3 1. Semua keterangan tentang almarhum dikumpulkan dari keluarga, teman, polisi, atau saksisaksi, yang meliputi: usia, penyakit yang pernah diderita, pernah berobat dimana, hasil pemeriksaan laboratorium, tingkah laku yang aneh, dan lain-lain. 2. Keadaan korban dan sekitar korban saat ditemukan, pakaian yang ditemukan, tanda-tanda kekerasan atau luka, posisi tubuh, temperatur, lebam mayat, kaku mayat, situasi TKP rapi atau berantakan, adanya barang-barang yang mencurigakan. 3. Keadaan sebelum korban meninggal 4. Bila sebab kematian tidak pasti, sarankan kepada keluarga untuk melapor kepada polisi, jika polisi tidak meminta visum et repertum dapat diberi surat kematian. 5. Dalam mengisi formulir B, pada sebab kematian bila tidak dketahui sebab kematiannya ditulis tidak diketahui atau mati mendadak. 6. Bila dilakukan pemeriksaan dalam, buat preparat histopatologi bagian organ-organ tertentu, diperiksa dan dilakukan pemeriksaan toksikologi 7. Sebaiknya jangan menandatangani surat kematian tanpa memeriksa korban, dan jangan menyentuh apapun terutama yang dipakai sebagai barang bukti. Dari hasil pemeriksaan kemungkinan:3 1. Korban meninggal secara wajar dan sebab kematian jelas misalnya coronary heart disease, maka diberi surat kematian dan dikuburkan 2. Sebab kematian tidak jelas, keluarga/dokter lapor ke polisi, kemudian polisi minta visum et repertum, setelah SPVR datang maka korban diotopsi unt uk menentukan sebab kematian korban. 3. Korban meninggal secara tidak wajar, misalnya ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan, maka keluarga atau dokter lapor ke polisi. 4. Korban diduga meninggal secara wajar, misalnya CVA tetapi juga ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka keluarga atau dokter lapor ke polisi. DAFTAR PUSTAKA 1. Janet M. Torpy, MD. The journal of the american medical assosiation. JAMA [serial online] 2006, Januari [cited 2008 July 18]; 295(1):[2 screen]. Availabel from: URL:http://jama.ama-

assn.org/cgi/citmgr?gca=jama;295/1/124 2. Cardiac arrest. [Online]. 2008 July 14 [cited 2008 july 18];[ 13screens]. Availabel from: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Sudden_cardiac_death 3. Mutahal, Apuranto H. Kematian mendadak. In: Apuranto H, Hoediyanto, editors. Buku ajar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Edisi 3. Surabaya: Airlangga; 2007. p.185-8. 4. Cardiac arrest, first aid. [Online]. 2007 August [cited 2008 july 18];[3 screens]. Available from: URL: http://www.merck.com/mmhe/sec24/ch299/ch299a.html 5. Sudden cardiac death. [Online]. 2006 July 16 [cited 2008 july 18];[21 screens]. Available from: URL: http://www.emedicine.com/med/topic276.htm#section~Differentials 6. Definition of cardiac arrest. [Online]. 2001 November [cited 2008 Jully 23];[2 screens]. Available from: URL: [http://www.medicinenet.com/script/main/hp.asp 7. Sudden cardiac arrest(SCA). [Online]. 2008 March [cited 2008 july 18];[4 screens]. Available from: URL: http://www.medic8.com/blood-disorders/index.htm 8. Faiz O, Moffat D, editors. The heart II. In: Anatomi at a glance. USA: Blackwell publishing;2002. P.23-24. 9. Thaler MS, editor. Dasar EKG. In: Satu-satunya EKG yang anda perlukan. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000. p.10-4,20-2. 10. Dix J, editor. Cardiovascular disease (heart and blood vessels). In: Color atlas of forensik patology. USA: CRC Press; 2000. p.54-60. 11. Abdul MI. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997. p.330-1.

CARDIAC ARREST oleh PRAMITA Lab pada 14 Juli 2009 jam 20:07 Istilah cardiac arrest dikenal pula dengan istilah lain yaitu kegagalan sistem jantung paru (cardiopulmonary arrest) atau kegagalan sistem sirkulasi (circulatory arrest). Disini terjadi akibat berhentinya secara tiba tiba peredaran darah yang normal menyebabkan jantung gagal dalam berkontraksi. Cardiac arrest dibedakan dengan serangan jantung (heart attact) walaupun sering kali serangan jantung merupakan penyebab dari cardiac arrest. Berhentinya sirkulasi darah menyebabkan terhentinya pengiriman oksigen ke seluruh organ tubuh. Gagalnya sirkulasi darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dan terhentinya pernapasan. Otak hanya bertahan 5 menit saja akibat terhentinya pengiriman oksigen. Tindakan segera untuk menyelamatkan keadaan darurat ini adalah dengan resusitasi (cardiopulmonary resuscitation = CPR). Penyebab cardiac arrest : Penyebab utama cardiac arrest adalah penyakit jantung sendiri seperti penyakit jantung koroner, gangguan irama jantung dan kelainan otot jantung. Kekurangan cairan tubuh mendadak (hypovolemia) atau kehilangan sejumlah darah seperti pada kecelakaan atau waktu tindakan operasi akan menyebabkan jantung berhenti berdenyut. Kekurangan oksigen secara mendadak menyebabkan organ penting seperti otak dan jantung berhenti berfungsi. Penurunan derajat keasaman tubuh (asidosis) pada ketoasidosis diabetes, gagal ginjal dan pemakaian obat obat tertentu secara berlebihan seperti salisilat, etanol, alkohol, antidepresan akan menyebabkan asidosis. Kadar kalium (K) berlebih atau sangat rendah dapat menyebabkan jantung berhenti mendadak. Penurunan kadar gula darah dan bahkan kadar gula darah yang terlampau tinggi sering dianggap penyebab berhentinya jantung berdenyut. Trauma paru yang menyebabkan perdarahan di paru dan emboli udara ke paru (pulmonary embolisme) juga akan menyebabkan jantung berhenti berdenyut. Pengobatan : Tindakan penyelamatan perlu waktu yang amat minimal. Diagnosa segera diikuti dengan tindakan resusitasi (CPR) dan defibrilisasi jantung perlu dilakukan segera sebagai penyelamat nyawa.

Pencegahan : Karena sebagian besar penyebab cardiac arrest adalah penyakit jantung maka pencegahan terbaik adalah dengan memelihara jantung kita sebaik mungkin. Kontrol tekanan darah, menjaga gula darah tetap stabil normal, mencegah terjadinya dislipidemia yaitu peningkatan lemak darah. Konsumsi magnesium (Mg) dalam jangka panjang diduga efektif dalam menjaga kesehatan jantung

Henti Jantung Henti Jantung adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga tidak dapat memompakan darah ke seluruh tubuh. Beberapa penyebab yang dapat memungkinkan terjadinya henti jantung adalah : Cardiac cause o Acute Myocard Infarction o SA Node paralyze o AV Block o Ventricular Fibrillation Non-cardiac cause o Excessive Vagal stimulation Neurologic cause o Toxicity of Digitalis Drug cause o Toxicity of Beta Blocker Drug cause o Trauma Outer environment cause Pada keadaan ini, jantung tidak dapat memompakan darah ke seluruh tubuh sehingga aliran darah sistemik berhenti. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan organ karena suplai darah ke seluruh organ tubuh berhenti atau tidak tercapai. Organ yang paling pertama menerima efek buruk dari keadaan ini adalah Otak. Otak terdiri atas banyak sel sel saraf dan sangat rentan akan masalah kekurangan suplai oksigen. Diperkirakan jika sekitar dalam 5 10 menit suplai oksigen darah ke arah Otak berhenti, maka Otak sudah mengalami kematian atau Brain Death. Henti Jantung dapat dibagi 2, yaitu menurut keadaan jantung itu sendiri, dan fungsi jantung Keadaan jantung Pada keadaan ini, jantung berhenti total, tidak berdenyut, dan tidak memompakan darah. Keadaan ini sering terjadi pada Acute Myocard Infarction, dimana terjadinya infark atau kematian akut pada sel sel otot jantung yang mengakibatkan fungsi jantung turun mendadak dan berhenti. Acute Myocard Infarction biasanya diakibatkan oleh oklusi akut pembuluh darah koroner jantung, ataupun beberapa ramus-nya. Ramus yang paling akut dalam menimbulkan

henti jantung mendadak dan kematian mendadak saat terjadi obstruksi pada pambuluh tersebut adalah Ramus Descendens Anterior Sinistra atau biasa dikenal sebagai Artery of Sudden Death Fungsi Jantung

Pada keadaan ini, jantung masih dapat berdenyut, namun tidak dapat memompakan darah secara optimal, sel sel otot jantung dapat ditemukan dalam keadaan sehat, konduksi listrik jantung terganggu. Keadaan ini sering ditemukan pada Ventricular Fibrillation, dimana konduksi listrik jantung amat sangat tidak beraturan, dan jantung hanya tampak seperti bergetar, bukan berdenyut. Sehingga, jantung tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, meskipun, secara kasar, keadaan sel sel otot jantung itu sendiri normal. Manifestasi Klinis Keadaan keadaan yang mendahului terjadinya Henti Jantung adalah : Nyeri dada hebat mendadak Sesak nafas hebat Bradicardia ataupun Tachicardia menetap yang lama Penurunan kesadaran progresif cepat ataupun mendadak

Sedangkan keadaan keadaan yang biasanya ditemukan saat terjadinya Henti Jantung adalah : Pingsan mendadak Apnea Otot otot seluruh tubuh lemas

Diagnosis Diagnosis Henti Jantung adalah dengan menilai langsung kondisi pasien saat terjadi serangan, ataupun pada rekaman EKG pada pasien yang dirawat inap Tatalaksana Tindakan pertama yang harus dilakukan saat menemukan kasus Henti Jantung, adalah resusitasi Jantung Paru untuk mengembalikan fungsi jantung. Lakukan cepat dalam batas waktu paling lama 10 menit, sambil menunggu datangnya pertolongan medis lebih lanjut

Jika berhasil, stabilkan vital sign, lalu lakukan observasi pada pasien untuk menemukan sebab Henti Jantungnya, dan tegakkan diagnosis bila ada penyakit penyerta, namun dengan tetap menkonservasi keadaan umum pasien Perlu diingat bahwa keadaan Henti Jantung bukan merupakan diagnosis pasti dari Kematian. Kematian lebih didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seluruh organ, utamanya Otak, telah mengalami kehilangan fungsinya secara total dan irreversible Henti Jantung perlu dibedakan dengan Gagal Jantung. Pada keadaan Henti Jantung, jantung tidak berfungsi dan tidak bergerak atau tidak berdenyut baik untuk memompakan darah, dan manifestasinya lebih akut sedangkan pada keadaan Gagal Jantung, jantung masih bisa berdenyut, namun tidak optimal, manifestasi dan perjalanan penyakitnya lebih ke arah progresif kronik Jadi, Henti Jantung secara tidak langsung menyebabkan Gagal Jantung, namun Gagal Jantung tidak selalu mengakibatkan keadaan Henti Jantung Resusitasi Jantung Paru Resusitasi Jantung Paru adalah tindakan untuk mengembalikan fungsi Jantung dan Paru ke keadaannya semula yang bertujuan untuk mengembalikan sirkulasi sistemik. Beberapa langkah langkah yang harus diperhatikan untuk melakukan resusitasi Jantung Paru adalah sebagai berikut : 1. Saat melihat korban yang terjatuh dan diperkirakan karena keadaan Henti Jantung, amankan daerah sekitar kejadian/dimana korban tergeletak 2. Teriaklah untuk meminta datangnya petolongan medis lebih lanjut 3. Nilai 3 keadaan korban, yaitu Airway, Breathing, dan Circulation. Dan cobalah raba leher korban untuk memeriksa denyut Arteri Carotis Communis 4. Singkirkan segala benda asing yang mengobstruksi jalan napas sang korban dengan cara memiringkan tubuh korban, lalu korek isi mulut dan tenggorokannya 5. Pukul dada korban dengan menggunakan kepalan tangan sebanyak 2 kali 6. Jika belum berhasil, lakukan resusitasi dengan cara memberi pernafasan buatan dan masase jantung eksterna. a. Beri pernafasan dengan cara mulut ke mulut. Angkat dahi korban, lalu tarik sedikit dagunya. Tempelkan mulut Anda sehingga menutupi mulut korban lalu tiupkan udara. Perhatikan gerak dada, jika dada menggembung saat ditiupkan udara, maka cara pemberian nafas sudah benar

b. Beri masase jantung dengan cara menekan daerah tengah sekitar garis proyeksi Papilla Mammae dengan menggunakan tangan. Tenaga yang dikerahkan bukan tenaga otot tangan, melainkan tenaga berat tubuh kali pernafasan buatan. Jika penolong ada 2 orang, maka lakukan 30 kali masase jantung, dan 2 kali pernafasan buatan, secara bergantian d. Resusitasi dilakukan selama maksimal 6 7 menit e.Resusitasi dihentikan jika penolong sudah tidak dapat melakukan tindakan resusitasi lagi, respon dari korban tidak ditemukan selama lebih dari 10 menit sejak serangan terjadi, pupil berdilatasi, Artery Carotis tidak teraba, dan Apnea 7. Jika berhasil, miringkan tubuh korban, lipat salah satu kaki dan tangannya 8.Jika belum berhasil, dan pemberian resusitasi sudah cukup sebagaimana seharusnya, maka hentikan tindakan resusitasi, dan diagnosis sebagai Kematian Jantung Beberapa jenis obat obatan yang bisa dipakai untuk resusitasi jantung : Nitrogliserin Lidokain Prokainamid Bretilium

Langkah langkah diatas adalah Basic dan Advanced Life Support, yang bertujuan untuk memulihkan fungsi sirkulasi sistemik. Jika pertolongan medis yang lebih lengkap sudah dapat dilakukan, maka perlu dilakukan observasi lebih lanjut akan penyebab henti jantung, penyakit yang menyertai, penstabilan kondisi pasien, serta perencanaan terapi yang diberikan Pasien dirawat inap apabila keadaannya masih labil atau adanya indikasi medis yang menandakan probabilitas tinggi untuk terjadinya relaps Henti Jantung. Pasien rawat inap mendapat pengawasan yang cukup ketat akan tanda tanda vital umum selama pemeriksaan ataupun selama terapi Pasien dinyatakan boleh pulang apabila penyakit dasar yang mengakibatkan Henti Jantung-nya sudah teratasi, dan kondisi vital sudah lebih stabil selama masa perawatan. Tentunya, tidak lupa akan masalah edukasi apabila penyebab Henti Jantung tersebut berkaitan dengan masalah gaya hidup, kebiasaan, lingkungan, ataupun pekerjaan. Dikutip dari : Petunjuk Praktis Anestesi dari EGC, Buku Skill Lab Semester

4 tentang Resusitasi Jantung Paru,http://www.s cribd.com

c.Jika penolong hanya satu orang, maka lakukan 15 kali masase jantung dengan kecepatan kira kira 60 kali per menit, dan 2

Henti jantung (Cardiac Arrest) Terhentinya denyut jantung dan sirkulasi darah secara tiba-tiba pada seseorang yang sebelumnya tidak mengalami gangguan apa2. Merupakan keadaan kegawatdaruratan kardiovaskuler gawat darurat Keadaan ini kemudian diikuti dengan berhentinya fungsi pernafasan dan hilangnya kesadaran secara refleks. Resusitasi kardiopulmonal dan serebral harus segera dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan. DELAY.!!! Dengan membuangDONT buang waktu dengan mengukur tekanan darah, menilai keadaan nadi dan membuta EKG. Diagnosis cukup didasarkan atas gejala klinis sebagai berikut : Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau sangat lemah ; gasping. Denyut nadi dan suara jantung menghilang atau sangat lemah, bradikardia atau takikardia yang sangat menyolok. Hilangnya kesadaran. Dilatasi pupil Death like appearance Etiologi Etiologi henti jantung antara lain karena : 1. Terhentinya sistem pernafasan secara tiba-tiba yang dapat disebabkan karena : - penyumbatan jalan nafas ; aspirasi cairan lambung atau benda asing - Sekresi air yang terdapat dijalan nafas seperti yg terjadi pada keadaan tenggelam, edema paru, lendir yang banyak. - Edema atau spasme saluran pernafasan bagian atas atau bagian bawah - Kelainan anatomik seperti atresia choanal

- Depresi susunan saraf pusat, yang dapat disebabkan karena : - Obat-obatan - Racun

- Rudapaksa - Arus listrik tegangan tinggi - Edema otak - Hipoksia berat - Hiperkapnia - Penyakit SSP ; ensefalitis, poliomielitis, SGB, dll.

2. Terhentinya peredaran darah secara tiba-tiba, yang disebabkan karena : - Hipoksia, Asidosis, hiperkapnia karena penyakit paru atau karena henti pernafasan secara tiba-tiba. - Rangsangan vagus misalnya karena penghisapan tenggorok, endoskopi, dilatasi rektum, operasi mata - Arus listrik tegangan tinggi - Obat-obatan, terutama digitalis, kuinidin, kalium obat anastesia. - Aritmia yang hebat, karena obat-obatan, penyakit jantung, kateterisasi jantung, dll - Shock (trauma, perdarahan, sepsis, pada operasi dan pasca operasi, dehidrasi, dll) - Keadaan terminal berbagai penyakit. - Efusi perikardium dengan tamponade jantung. 3. Terganggunya fungsi sistem saraf, yang terjadi sebagai akibat terganggunya sistem pernafasan dan peredaran darah Dalam susunan saraf pusat terjadi iskemia, hipoksi dan hiperkapnia, asidosis dan hipoglikemia, yang berakibat terganggunya metabolisme otak disertai dengan terjadinya edema serebri dan di ikuti dengan infark serebri. Susunan saraf pusat sangat rentan terhadap keadaan diatas, urutan kerentan tersebut adalah : Korteks serebri akan menderita kerusakan setelah 3 5 menit Pusat pupil dan palpebr, setelah 5 10 menit Serebelum, setelah 10 15 menit Pusat peredaran darah dan pernafasan, setelah 20 30 menit Medula spinalis, setelah 45 menit Ganglion simpatik, setelah 60 menit. Penatalaksanaan : Segera lakukan resusitasi !!! Langkah langkah tindakan pada Resusitasi dapat dibagi menjadi

tiga tahapan, yaitu : Tahapan 1 : Bantuan hidup dasar / BLS Tahapan 2 : Bantuan hidup lanjutan / ALS Tahapan 3 : Bantuan hidup terus menerus / PLS Prinsip Jangan mencelakakan korban dengan metode yang salah. Jangan membuang waktu untuk prosedur diagnostik yang tidak berguna Jangan memulai usaha apapun yang memakan biaya untuk menunda kematian bila kasus telah irreversibel Merupakan suatu kondisi dimana jantung berhenti memompakan darah (berkontraksi) yang ditandai dengan ketidaksadaran yang terjadi sebagai kolaps yang tiba-tiba, tidak ada denyut nadi yang teraba pada nadi karotis, radialis dan femoralis, apnoe atau gerakan napas tidak efektif, pupil dilatasi, kulit keabuan atau putih atau sianosis, tampak seperti mati. (Skeet, 1995 & Jusrafli). Penanganan Penanganan pasien yang mengalami henti jantung yaitu pertama dilakukan resusitasi jantung paru dengan prinsip ABC. Urutan tindakan dalam melakukan resusitasi jantung paru yaitu : a.Pastikan keselamatan penolong dan pasien terjamin b.Periksa pasien dan lihat responsnya Goyang bahunya dan bertanya cukup keras. Siapa namamu ?, Coba buka matanya. Bila pasien menjawab atau bergerak, biarkan pasien tetap pada posisinya, periksa keadaan pasien secara berkala dan teratur. Bila pasien tidak memberi respons, berteriaklah mencari bantuan, buka jalan napas dengan mendorong dahi dan mengangkat dagu. Posisikan telapak tangan pada dahi sambil mendorong dahi ke belakang (head tilt). Ibu jari dan telunjuk harus bebas agar dapat digunakan menutup hidung jika perlu memberikan napas buatan. Pada waktu yang sama ujung-ujung jari tangan yang lain mengangkat dagu (chin lift). Jika ada kecurigaan trauma leher jangan melakukan head tilt. c.Sambil mempertahankan jalan napas bebas, lihat, dengar raba ada tidaknya udara pernapasan keluar masuk dengan cara melihat pergerakan dada turun naik, mendengar suara napas pada mulut pasien dan meraba gerak hawa pernapasan dengan pipi. Jika pernapasan memadai, posisikan pasien pada recovery position (jika tidak ada kecurigaan trauma leher), pastikan pernapasan tetap ada, bila ada beri oksigen 100 % dan carilah bantuan. Jika pasien tidak bernapas, carilah bantuan, telentangkan pasien, singkirkan semua sumbatan yang terlihat dari mulut pasien (misal gigi yang terlepas), beri 2 napas buatan yang efektif, setiap napas harus disertai ekshalasi. Jika mengalami kesulitan dalam memberikan napas buatan yang efektif, periksa lagi apakah mulut pasien sudah bersih dari sumbatan, periksa apakah posisi head tilt chin lift sudah benar.

Usahakan lagi memberi sampai 5 kali napas buatan untuk mendapatkan paling sedikit 2 napas buatan yang efektif. d.Periksa tanda-tanda sirkulasi (meskipun napas buatan belum berhasil), cari apakah ada gerakan pasien (gerakan menelan atau bernapas), dan raba nadi karotis. Jika yakin ada tanda-tanda sirkulasi, lanjutkan napas buatan sampai pasien bisa bernapas sendiri, tiap menit periksa lagi tanda-tanda sirkulasi. Jika pasien mulai bernapas tetapi tetap tidak sadar, posisikan pada recovery position. Periksalah kondisi dan siap mengembalikan pada posisi terlentang untuk diberi napas buatan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, mulai dilakukan pijat jantung dengan cara 1).Tentukan lokasi pijatan setengah-bagian bawah tulang dada (sternum) dengan telunjuk dan jari tengah menyusur batas bawah iga sampai titik temu dengan sternum. 2).Tambahkan 1 jari kemudian tempatkan tumit tangan satunya di atas sternum tepat disamping telunjuk tersebut. Itu adalah titik tumpu pijat jantung, 2 jari di atas procexus xyphoideus. 3).Tumit satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik pijat jantung 4).Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan. 5).Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada pasien dengan siku lengan lurus, menekan sternum sedalam 4 5 cm (1,5 2 inci). 6).Ulangi gerakan pijat, lepas, pijat, lepas sekitar 100 kali/menit (kira-kira 2 pijatan/detik). 7).Setiap setelah 15 kali pijat jantung lakukan head tilt chin lift dan beri 2 napas buatan efektif. Lalu pijat jantung lagi 15 kali dan seterusnya (15 : 2). e.Lanjutkan resusitasi sampai ada tanda-tanda kehidupan kembali atau bantuan yang lebih mampu datang atau penolong kelelahan sehingga kalau diteruskan akan membahayakan penolong. f.Bilamana mencari bantuan, 1).Sangat penting bagi penolong untuk sesegera mungkin mencari bantuan, 2).Jika ada dua penolong salah satu melakukan resusitasi sedangkan lainnya mencari bantuan. 3).Jika hanya ada satu penolong, lakukan resusitasi minimal 1 menit (satu siklus) dulu sebelum berusaha mencari bantuan.

Sakit Kepala Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam. 14.

TUGAS ANESTESI

1. Jelaskan kepentingan menanyakan : a. Nama : untuk identitas, agar tidak tertukar dengan pasien lain. b. Umur : untuk memperkirakan risiko yang mungkin terjadi serta menentukan jenis dan teknik anestesi yang akan dipakai. c. Pekerjaan : untuk mengetahui perkiraan besar penghasilan pasien. d. Diagnosa pra bedah : untuk mengetahui alasan pasien dioperasi dan memperkirakan semua hasil, efek samping, dan komplikasi operasinya. e. Jenis pembedahan : untuk menentukan jenis anestesi yang akan dipakai. f. Diagnosa paska bedah : untuk mengetahui apakah diagnosa paska bedah sesuai dengan diagnosa pra bedahnya. g. Keadaan umum : - Gizi kurang jika BB<90% BB idaman atau BMI<18,5 - Gemuk jika BB>120% BB idaman atau BMI>30 - Anemia jika Hb dewasa <13 gr% atau Hb anak <11,5 h. Vital sign : - Tekanan darah dan batas-bats normal hiper dan hipotensi Karena pada saat induksi dan intubasi dapat terjadi kenaikan tekanan darah berlebihan sehingga menimbulkan komplikasi pada target organ Nadi dan batas-batas normal Melihat apakah ada gangguan dari jantung Takikardi bila denyut nadi >100x/mnt Bradikardi bila denyut nadi <60x/mnt Pernapasan Zat-zat anestetik menekan pernapasan dan menurunkan respon terhadap CO2 intubasi akan merangsang pembentukan mukus.

i. Kepentingan sysmex, diuresis, elektrolit serta batas-batas normal. - Hb : operasi akan menyebabkan kehilangan darah sehingga sebelum operasi, penderita diharapkan memiliki Hb normal, selain itu Hb juga menentukan prognosa post operasi. - Leukosit : melihat tanda infeksi sistemik - Trombosit : bila trombositopenia akan memudahkan terjadinya perdarahan. - Diuresis : memperkirakan fungsi dari ginjal. - Elektrolit : menentukan apakah ada kelainan (hipo atau hiper) elektrolit yang dapat mempersulit intra operasi dan post operasi. Batas-batas normal : Hb pria 12-16 gr%, wanita 13-18 gr% Leukosit 4000-10000 sel/mm3 Trombosit 150000-400000 sel/mm3 Natrium 135-145 Kalium 3,5-5,5 Urin 0,5-1 cc/kgBB/jam j. Kepentingan menanyakan pengobatan terakhir untuk mengetahui apakah obat-obat yang akan digunakan ada yang berinteraksi dengan obat-obat anestesi, misalnya Ca Channel Blocker, Kortikosteroid, Reserpin, Levodopa, Propanolol dll. k. Kepentingan ditanyakan penyulit lain untuk menentukan jenis teknik anestesi yang akan dipakai dan resiko yang akan terjadi. 2. ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi. Klasifikasi ini berasal dari The American Society of Anesthesiologist yang terdiri dari: - ASA I : Pasien dalam keadaan sehat organik, fisik, fisiologis, biokimia, psikologis. - ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang, baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. - ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab, sehingga aktivitas rutin terhambat. - ASA IV : Pasien dengan keluhan sistemik berat, tak dapat melakukan aktivitas rutin dan dapat mengancam kehidupannya. - ASA V : Pasien yang sekarat, diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. 3. a. b. c. Tujuan dari pengobatan pra-bedah : Sedasi psikis untuk mengurangi rasa takut, cemas dan kawatir Amnesia Analgesia

d. e. f. g. h.

Memperlancar induksi anestesi Mengurangi jumlah obat yang dibutuhkan untuk anestesi lokal, umum dan regional Mengurangi efek yang tidak diinginkan Mengurangi sekresi di traktus respiratorius bagian atas Mengurangi atau menghilangkan rasa mual dan muntah

4. Yang dimaksud dengan Anestesi Umum adalah ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan oleh zat anestesi disertai oleh hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Obat-obat yang digunakan pada Anestesi Umum : Berdasarkan lama induksi : VIMA (Volatile Induction & Maintenance Anaesthesia), TIVA (Total Intra Venous Anaesthesia) dan Induksi I.V dengan maintenance oleh Anestesi Inhalasi. - Berdasarkan Teori Balance Anesthesia : a. Hypnotic : Penthotal, Propofol ---- Intravena Enflurane, Isoflurane, Sevoflurane ----- Inhalasi b. Analgesic: Pethidine, Morphine, Fentanyl, Sufentanyl c. Relaksasi : Succinil Choline, Atracurium, Pancuronium - Berdasarkan cara pemberian : i.v, i.m, inhalasi, peroral, per-rektal Jenis obat-obat anestesi : a. Volatile Anesthetic Inhalation : Halogen Hydrocarbon (Halothan), Halogen Ether : enflurane, isoflurane dll. b. Gas Anesthetic Inhalation : Cyclopropane, N 20, Ethylene c. Intravenous : Thiopenthal, Propofol, Ketamine, Etomidate, Diazepam dll Berdasarkan cara induksi + konsep Balanced Anesthesia Komponen Anestesi Hypnotik Analgesik Relaksasi VIMA TIVA

Sevoflurane, Isoflurane, Propofol, Pentothal, En-flurane, Halothan Ke-tamine, Midazolam Fentanyl, Sufentanyl, Mor- Fentanyl, Sufentanyl, phine Morphine, Pethidine Depol & Non-depol Depol & Non-depol

Prosedur tindakan anestesi umum dan regional : Anamnesa ---- pemeriksaan fisik ---- Lab/EKG/Foto Thorax ---- Status fisik penderita ---Pilihan anestesi ---- Premedikasi ---- Anestesi Umum/Regional Perlu dilakukan pemeriksaan sebelum pembiusan : 1. Kunjungan pada hari sebelum operasi untuk menenangkan pasien, pemeriksaan lengkap, menilai hasil laboratorium (48 jam sblm operasi) 2. Dokter anestesi mempelajari data pasien, memeriksa gigi, evaluasi fisik, BB dan keadaan umum pasien. - Buat catatan pasien (Hystory, pemeriksaan fisik, data lab, x-ray, dll) - Catatan : periksa EKG pada usia>35 thn atau jika ada indikasi - Pengalaman pembedahan/pembiusan sebelumnya, riwayat alergi obat - Riwayat penyakit pasien (asma, DM, kelainan darah, gangguan jiwa) - Kebiasaan pasien (contoh : merokok, dll) - Obat yang sedang digunakan (insulin, OAD, Kortikosteroid, antikoagulan, digitalis) - Obat yang telah atau sedang digunakan (narkotika, sedatif, amfetamin, dll) - Membuat resume pasien - Pemeriksaan gigi dan protesa lain - Gigi palsu harus dibuka - Puasa NPO (Non Per Oral) setelah tengah malam - Informed Consent ditandatangani oleh pasien dan keluarganya - Konsultasi ke Internist, Pediatrics dll guna optimalisasi keadaan umum pasien sebelum operasi. Anestesi Regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit yang tidak disertai hilangnya kesadaran dan hanya pada sebagian atatu beberapa bagian tubuh tertentu. Obat-obat anestesi regional : a. b. m. n. o. Berdasarkan cara metabolisme : Esther Compound (Amino Esther) : Cocaine, Procaine, Tetracaine Amide Compound (Amino Amide) : Xylocaine, Lidocaine Berdasarakan potensi dan lama kerja obat : Potensi rendah + lama kerja pendek : Procaine, Chloroprocaine Potensi sedang + lama kerja sedang : Lidocaine, Mepivacaine Potensi kuat + lama kerja panjang : Bupivacaine, Tetracaine

1. Komplikasi Anestesi Umum : a. Selama Induksi : - Suntikan keluar dari vena ---- stop suntikan dan cari vena lain - Batuk dan Laring spasme ---- hentikan narkose, beri O2 sampai sianosis hilang dan respirasi rate normal kembali - Sumbatan jalan nafas ---- bunyi snoring dapat diatasi dengan menarik dagu pasien ke depan dan ke belakang - Muntah ---- posisi kepala pasien miring, meja dalam posisi Trendelenberg b. Selama narkose & operasi - Gangguan Airway (tanda sianosis): depresi pernafasan, sumbatan jalan nafas, pangkal lidah yang jatuh ke belakang, kelainan di dalam faring, laring spasme, bronchospasme. Tanda-tanda lain : kulit panas, merah + berkeringat, TD meningkat, takikardi, RR cepat dan dalam, perdarahan yang difus dari luka operasi a. b. Komplikasi sistim kardiovaskular Perubahan tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) Perubahan irama denyut jantung (takikardi,bradikardi,aritmia) Komplikasi saluran pencernaan : muntah, regurgitasi, distensi Komplikasi lain : kornea mata luka karena masker/kap/duk operasi; kelumpuhan ekstremitas; gigi rontok, mulut dan bibir luka; kulit terbakar karena pemakaian diatermi dan retensi urin.

2. Yang dimaksud dengan : - Induksi sempurna : jika pasien sampai pada stadium operasi (stadium III). Setelah diinduksi dengan obat anestesi intravena, intramuskular atau langsung oleh obat anestesi inhalasi. Tidak ditemukan penyulit pada saat induksi berlangsung. - Eksitasi, jika pasien sampai pada stadium eksitasi (stadium II). Setelah diinduksi, kesadaran hiulang pasien menjadi muntah, batuk-batuk, menahan nafas, pasien bergerak-gerak atau terjadi spasme laring dapat dihindari dengan pemberian premedikasi yang agak kuat. 3. Teknik open drop : - Cara induksi inhalasi yang terbaik untuk anak-anak - Sistim sederhana dengan meneteskan cairan anestetik (eter,chloroform) dari botol khusus ke wajah pasien dengan bantuan sungkup muka ( face mask) Schimmelbusch. + : Tahanan nafas minimal + dapat ditambahkan O2 melalui pipa kecil dalam sungkup - : Boros, udara ekspirasi mencemari lingkungan sekitar.

Insuflasi : meniup/penghembusan gas anestetik dengan sungkup muka melalui salah satu sistim ke wajah pasien tanpa menyentuhnya. Tidak ada resitensi terhadap pernafasan. Tidak ada rebreathing, lebih cocok untuk bedah Tracheostomy. Semi Close : terdapat hirupan kembali O2 segar. Close : hirupan kembali komplit.

4. Sirkuit Anestesi

9. Ventilator a. Nafas Spontan ---- Selama dalam induksi nafas pasien tidak dibantu, dengan menggunakan nafas sendiri. b. Assisted ---- Nafas pasien selama dalam induksi tidak didepresi, masih terdapat nafas spontan tapi tidak mencukupi untuk kebutuhan pasien sehingga dibantu dengan bantuan. c. Controlled ---- Pasien dalam keadaan terdepresi nafas sempurna, sehingga pasien membutuhkan bantuan nafas penuh.

10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan a. Pressure controlled : ventilator diatur dengan mengeset tekanan udara yang dibutuhkan pasien b. Volume controlled : ventilator diatur dengan mengeset volume udara yang dibutuhkan pasien.

11. Jelaskan teknik-teknik khusus pada anestesi umum :

Bypass : salah satu bentuk perfusi ekstracorporeal (sirkulasi darah di luar tubuh dimana fungsi jantung dan paru diambil alih oleh mesin agar memungkinkan dilakukan tindakan bedah pada jantung atau pembuluh darah besar. Hipotermia : metode yang digunakan untuk menurunkan metabolisme tubuh secara keseluruhan untuk mengurangi bahaya hipoksia serta kerusakan sel akibat sumbatan regional dari otak, jantung, liver, ginjal dan kedua tungkai. Hipotensi : metode anestesi umum yang disertai dengan penurunan tekanan darah sampai batas-batas fisioplogis sehingga perdarahan dapat dikurangi, obat-obat anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.

12. Zat anestesi inhalasi Zat N2O Untung Rugi

Analgesik kuat, Jarang digunakan tunggal, harus baunya manis, tidak disertai O2 minimal 25%, anestetik iritasi, tidak terbakar. lemah, memudahkan hipoksia difusi. Baunya enak. Tidak Vasodilator serebral, meningkatkan merangsang jalan aliran darah otak yang sulit nafas, anestesi kuat dikendalikan, analgesik lemah. Kelebihan dosis akan menyebabkan depresi nafas, menurunnya tonus simpatis, hipotensi, bradikardi, vasodilator perifer, depresi vasomotor, depresi miokard. Kontraindikasi gangguan hepar. Paska pemberian menyebabkan menggigil.

Halotan

Enfluran

Induksi dan pemulihan Pada EEG, menunjukkan kondisi lebih cepat dari epileptik. Depresi nafas, iritatif, halotan. Efek relaksasi depresi sirkulasi. terhadap otot lebih baik Menurunkan meta-bolisme terhadap O2 laju Meninggikan aliran darak otak dan otak TIK. Sangat mudah menguap, potensi rendah. Simpatomimetik, depresi

Isofluran

Desfluran

nafas, atas. Sevofluran Bau tidak menyengat, tidak merangsang jalan nafas, kardiovaskular stabil

me-rangsang

jalan

nafas

13. Obat-obat anestesi umum a. Tiopenthal : Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg. Dilarutkan dengan aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3-7 mg/kgBB. - Melindungi otak oleh karena kekurangan O2. - Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri yang menyebabkan nekrosis jaringan sekitar. b. Propofol : Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan 1%. Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB, rumatan 4-12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB. Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%. - Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 thn dan ibu hamil. c. Ketamin : Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri kepala. Paska anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus iv 12mg/kgBB, im 3-10mg/kgBB. - Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%. d. Opioid : Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung. Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1 mg/kgBB/mnt.

14. Untuk memberikan cairan dalam waktu singkat dapat digunakan vena-vena di punggung tangan, di dalam pergelangan tangan, lengan bawah atau daerah kubiti. Pada anak kecil dan bayi digunakan punggung kaki, depan mata kaki atau di kepala. Bayi bari lahir digunakan vena umbilikus.

15. Monitoring RR

a. Monitoring Pemantauan tanda vital : tensi, nadi, respirasi, Saturasi O2, suhu tubuh. b. Oksigenasi : O2 lembab sebanyak 3-8 L/mnt c. Pain control : parenteral atau regional d. Hal-hal khusus : Gelisah oleh karena : hipovolemik/hipotensi, hipoksia, nyeri. Mual muntah : tanda hipotensi, Anestesi dengan opioid. Menggigil oleh karena larutan berlebihan, hipertensi, asidosis metabolic, sepsis, alergi.

16. Skoring di RR Steward Score Sign Criteria Score 2 1 0 2 1 0 2 1 0

Consciousness Awake Responding to stimuli Not responding Airway Caughing on common Maintaining go airway Airway requires mantenance Movement Moving limbs purposetrully Moving limbs Not moving

Bila penilaian 5 pasien dapat dipindahkan dari ruang resusitasi

17. Blokade regional a. Analgesik spinal : pemberian obat ke dalam ruang sub arakhnoid, efektif, aman dan mudah dikerjakan.

b. Analgesik epidural : menempatkan obat di ruang epidural (peridural, elektrodural). Ruang berada diantara ligamentum flavum dan durameter. Memblok pada akhir saraf spinal yang terletak di bagian sakral. c. Analgesik kaudal d. Analgesik regional intravena 18. Sebutkan obat-obat untuk anestesi regional, keuntungan dan kerugiannya! Xylocain Onset > cepat dan durasi > lama (60-120 menit) Efek topikal baik Antiaritmia Bupivacain Potensi > kuat Durasi > lama (180-300 menit) Toksisitas 4-5x > besar daripada Lidocain Onset > lambat Procain Efek toksik < daripada Xilocain Efek topikal tidak efektif Onset lama, durasi pendek (45 menit) Penyebaran kurang baik Lidocain Antiaritmia Toksisitas < daripada Bupivacain

19. Posisi pasien di meja operasi Dorsal Decubitus : Supine Horizontal : badan lurus Contoured : menekuk ke samping

Frogleg : digunakan untuk operasi perineum dan vagina Lateral uterus displacement : untuk operasi dengan massa besar diabdomen Lithotomi Standar : prosedur ginekologis, kaki <90o Low : elevasi kaki 30o-45o untuk operasi abdomen dan perineum High : kaki diangkat penuh (90o) Lateral Decubitus Position Horizontal : miring 90o untuk operasi daerah pinggul Semisupine dan semiprone untuk operasi anterokolateral Sums position untuk operasi perineum, rectum, vagina dan kandung kemih Flexed lateral position Ventral Decubitus (Prone) Position Full prone Head Elevated Sitting Supine Lateral Tilted head up Prone Tilted head up

20. Intubasi Trakhea : tindakan memasukan pipa trakhea ke dalam trakhea melalui rima glottis, sehingga ujung pipa berada di pertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasiotrakhea. Indikasi : menjaga potensi jalan nafas oleh sebab apapun mempermudah ventilasi positif dan oksigenisasi pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

Jenis-jenis ETT : a. Jenis : Cuff (balon/tanpa balon), Spiral/non spiral, Lumen 1 : (1-2) lumen, Lumen 1 : operasi biasa, Lumen 2 : Torakotomi b. Bahan : karet PCV c. Tipe Cuff : High pressure low volume dan Low pressure high volume d. Nomor ETT e. Cara mengisi udara dalam cuff sesuaikan tekan sampai ada bunyi

Penentuan ukuran ETT Usia Prematur Neonatus 1-6 bulan 0,5-1 tahun 1-4 tahun 4-6 tahun 6-8 tahun 8-10 tahun 10-12 tahun 12-14 tahun Dewasa wanita Dewasa pria Diameter 2,0-2,5 2,5-3,5 3,0-4,0 3,5-3,5 4,0-5,0 4,5-5,5 5,0-5,5 5,5-6,0 6,0-6,5 6,5-7,0 6,5-8,5 7,5-10,0 Skala French 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-30 28-30 32-34 Jarak bibir 10 cm 11 cm 11 cm 12 cm 13 cm 14 cm 15-16 cm 16-17 cm 17-18 cm 18-22 cm 20-24 cm 20-24 cm sampai

Cara memilih pipa trakhea untuk bayi dan anak kecil dalam pipa trakheal (mm) = 4,0 + umur (thn) Panjang pipa oro trakheal (cm) = 12 + umur (thn) Panjang pipa nasotrakheal (cm) = 12 + umur (thn)

21. Rapid sequence induction dan awake intubation a. Rapid sequence induction: Teknik intubasi dengan induksi cepat dilakukan dengan menidurkan pasien terlebih dahulu. Urutan tindakan induksi cepat adalah : posisi kepala dan badan atas agak tinggi 20-30 derajat (anti Trendelenburg), preoksigenasi (diberi O 2 tinggi dulu dengan sungkup muka), memberi obat pelumpuh otot non-depolarisasi dosis kecil dulu sebelum memberi suksinil kolin, tekanan pada tulang krikoid, tanpa melakukan ventilasi positif dengan sungkup muka, suntikan obat induksi yang cepat (tiopental), suntikan obat pelumpuh

otot (suksinil kolin), kemudian intubasi yang langsung diikuti dengan mengembangkan balon pipa endotrakea. Tekanan pada krikoid yang dilakukan oleh asisten harus sudah dimulai waktu menyuntikkan obat induksi anastesia dan diteruskan sampai intubasi berhasil dan balon sudah dikembangkan. Pipa nasogastrik bila sudah terpasang harus dihisap dan sesudahnya diangkat sebelum melakukan induksi anastesia. b. Awake intubation: Intubasi endotrakea dalam keadaan pasien sadar dengan anastesia topikal, pilihan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, lehar, perdarahan usus dsb. Intubasi sadar dilakukan dengan pertolongan obat penenang seperti diazepam, fentanil atau petidin untuk mempermudah kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus mencegah aspirasi).

22. Dosis obat-obatan emergensi a. Sulfas atropin : 0,02 0,03 mg/kgBB b. Efedrin : (1 cc efedrin + 9 cc aquabides) 0,25 1 mg/kgBB/dosis c. Epinefrin (1:1000) : i.v 0,05 1 mg/kgBB/dosis; s.c 0,01 mg/kgBB/dosis; drip 0,05 2 mcg/kgBB/menit d. Norepinefrin : 0,05 0,5 mcg/kgBB/menit e. Aminofilin : 6 mg/kgBB, maksimum 500 mg i.v dilanjutkan 0,4 0,9/ kg/jam f. Deksametason : 0,75 mg/kgBB i.v g. Metilprednisolon : 4 mg/kgBB

23. Teknik anastesi sederhana Teknik anastesi sederhana adalah anastesi yang digunakan pada kasus bedah yang dilakukan dalam waktu singkat, seperti : kuretase, sirkumsisi, cabut gigi, operasi katarak, reposisi tulang.

http://www.docstoc.com/docs/7804205/anestesi

Pengertian Anastesi Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Dua Kelompok Anastesi Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar. Tipe Anastesi Beberapa tipe anestesi adalah: 1. Pembiusan total hilangnya kesadaran total 2. Pembiusan lokal hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh). 3. Pembiusan regional hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.

Anestesiologis Dengan Empat Rangkaian Kegiatan Anestesi dilakukan oleh dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter spesialis anestesiologi selama pembedahan berperan memantau tanda-tanda vital pasien karena sewaktuwaktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya. Empat rangkaian kegiatan yang merupakan kegiatan sehari-hari dokter anestesi adalah: 1. Mempertahankan jalan napas 2. Memberi napas bantu 3. Membantu kompresi jantung bila berhenti 4. Membantu peredaran darah 5. Mempertahankan kerja otak pasien. Berdasarkan kemasannya, obat anestesia umum inhalasi ada 2 macam, yaitu : 1. Obat anestesia umum inhalasi yang berupa cairan yang mudah menguap : a. Derivat halogen hidrokarbon. Halothan Trikhloroetilen Khloroform b. Derivat eter. Dietil eter Metoksifluran Enfluran Isofluran 2. Obat anestesia umum yang berupa gas a. Nitrous oksida (N2O) b. Siklopropan Penggunaan Dan Macam macam Obat - Obatan Dalam Anastesi

Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik, hirup, ataupun lewat mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer), menidurkan, dan membuat tenang (paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat itu disebut triangulasi. Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti: 1. Thiopental (pertama kali digunakan pada tahun 1934) 2. Benzodiazepine Intravena 3. Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol) 4. Etomidate (suatu derifat imidazole) 5. Ketamine (suatu derifat piperidine, dikenal juga sebagai 'Debu Malaikat'/'PCP'

(phencyclidine) 6. Halothane (d 1951 Charles W. Suckling, 1956 James Raventos) 7. Enflurane (d 1963 u 1972), isoflurane (d 1965 u 1971), desflurane, sevoflurane 8. Opioid-opioid sintetik baru - fentanyl (d 1960 Paul Janssen), alfentanil, sufentanil (1981), remifentanil, meperidine 9. Neurosteroid Anastesi Umum Anastetika umum adalah obat yang dapat menimbulkan anastesia atau narkosa (yunan = tanpa, aesthesis = perasaan), yakni suatu keadaan depresi umum dari pelpagai pusat di SSP yang bersifat reversible, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan, sehingga agak mirip keadaan pingsan. Penggolongan Anastesi Umum Berdasarkan cara penggunaanya, anastesi umum dapat dibagi dalam lima kelompok, disini hanya dibicarakan dua yang terpenting, yakni :

1. Anastetika Inhalasi : gas tertawa, halotan, enfluran, isofluran, scuofluran. Obat obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran nafas. Keuntungannya adalah resepsi yang cepat melalui paru paru seperti juga ekskresinya melalui gelembung paru (alveoli) yang biasanya dalam keadaan utuh. Obat ini terutama digunakan untuk memelihara anastesi. 2. Anastetika Intravena : thiopental, diazepam dan midazolam, ketamin, dan propofol. Obat obat ini juga dapat diberikan dalam sediaan suppositoria secara rectal, tetapi resorpsinya kurang teratur. Terutama digunakan untuk mendahului (induksi) anastesi total, atau memeliharanya, juga sebagai anastesi pada pembedahan singkat. Mekanisme Kerja Sebagai anastesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang masing masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudia diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran (ekshalasi). Keuntungan anastetika-inhalasi dibandingkan dengan anastesi-intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi umum tidak di metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak bereaksi secara kimiawi dengan zat-zat faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastetika umum di bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps dan dengan demikian mengakibatkan anastesia. Efek Samping Hampir semua anastetika inhalasi mengakibatkan sejumlah efek samping dan yang terpenting adalah : 1. Menekan pernapasan, yang ada pada anastesi dalam terutama ditimbulkan oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O dan eter. 2. Sistem kardiovaskuler, terutama oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini juga ditimbulkan oleh eter, tetapi karena eter juga merangsang SS simpatis, maka efek keseluruhannya menjadi ringan.

3. Merusak hati (dan ginjal), terutama senyawa klor, misalnya kloroform. 4. Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran darah di ginjal, sehingga pasien perlu dihidratasi secukupnya. 5. Menekan sistem regulasi suhu, sehingga timbul perasaan kedinginan (menggigil) pascabedah.

Teknik Pemberian Obat Inhalasi Di antara banyak cara pemberian anstetika inhalasi, ada beberapa cara yang paling sering digunakan, yakni : 1. Sistem Terbuka : Cairan terbang (eter, kloroform, trikloretilen) diteteskan tetes demi tetes ke atas sehelai kain kasa di bawah suatu kap dari kawat yang menutupi mulut dan hidung pasien. 2. Sistem Tertutup : Suatu mesin khusus menyalurkan campuran gas dengan oksigen ke dalam suatu kap, di mana sejumlah CO2 dari ekshalasi dimasukkan kembali. 3. Insuflasi : Gas atau uap ditiupkan ke dalam mulut atau tenggorok dengan perantaraan suatu mesin. Cara ini berguna pada pembedahan yang tidak menggunakan kap, misalnya pada pembedahan pengeluaran amandel (tonsil lectomia). Zat Zat Tersendiri 1. Eter (F.I) : diethylether, Ether ad narcosin 2. Trikloretilen : trilene, Cl2C = CCl 3. Nitrogenoksida : gas tertawa 4. Halotan : Fluothane 5. Enfluran : Enthrane, Alyrane 6. Propofol : diprivan 7. Ketamin : Ketalar

8. Tiopental (F.I) = thiopentone, penthiobarbital, pentothal 9. Midazolam : dormicum 10. Droperidol : thalamonal Anastesi Lokal Anastesi local atau zat penghilang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan local merintangi secara reversible penerusan impuls saraf ke SSP dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal gatal, rasa panas atau dingin. Banyak persenyawaan lain juga memiliki daya kerja demikian, tetapi efeknya tidak reversible dan menyebabkan kerusakan permanen terhadap sel-sel saraf. Anastesi local pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari daun suatu tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Persyaratan Ada beberapa criteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan sebagai anastetikum local, antara lain : 1. Tidak merangsang jaringan 2. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf 3. Toksisitas sistemis yang rendah 4. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lender 5. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama 6. Dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terdapat sterilisasi Penggolongan Anastesi Lokal Struktur dasar anstetika local pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yakni suatu gugusamino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alcohol) atau amida dengan suatu gugus-aromatis lipofil. Semakin panjang gugus alkoholnya, semakin besar daya kerja anastetiknya, tetapi toksisitasnya juga meningkat. Anastetika local dapat digolongkan secara kimiawi dalam beberapa kelompok sbb:

1. Senyawa-ester : kokain dan ester-PABA (benzokain, prokain, oksibuprokain, tetrakain), 2. Senyawa-amida : lidokain dan prilokain, mepivakain, bupivakain, dan cinchokain 3. Lainnya : fenol, benzialkohol dan etilklorida 4. Semua obat tersebut di atas adalah sintetris kecuali kokain yang alamiah.

Mekanisme Kerjanya Anatetika local mengakibatkan kehilangan rasa dengan jalan beberapa cara. Misalnya dengan jalan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan transmisi impuls melalui sel saraf ujungnya. Pusat mekanisme kerjanya terletak di membrane sel. Seperti juga alcohol dan barbital, anastetika local menghambat penerusan impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas membrane sel saraf untuk ion-natrium, yang perlu bagi fungsi saraf yang layak. Hal ini disebabkan adanya persaingan dengan ion-kalsium yang berada berdekatan dengan saluransaluran natrium di membrane neuron. Pada waktu bersamaan, akibat turunnya laju depolarisasi, ambang kepekaan terhadap rangsangan listrik lambat laun meningkat, sehingga akhirnya terjadi kehilangan rasa setempat secara reversible. Nama - Nama Obat dalam Anastesi 1. Prokain a. Farmakodinamik Dosis 100-800 mg : analgesik ringan , efek maks 10-20 , hilang stlh 60 Dhidrolisis mjd PABA (para amino benzoic acid) dapat hambat kerja sulfonamid b. Farmakokinetik Esterase Absorpsi cepat PABA + dietilaminoetanol Hidrolisis PABA diekskresi dlm urin (btk utuh & terkonjugasi) c. Indikasi

Anestesi infiltrasi, blokade saraf, epidural, kaudal & spinal Geriatri : perbaiki aktivitas seksual & fgs kel endokrin (conflicted) d. Sediaan e. Prokain HCl 1-2 %adalah anestesi infiltrat, 5-20% ; anestesi spinal 2. Lidokain a. Farmakodinamik Anestesi lokal kuat . Tjd lebih cepat, lbh kuat, lbh lama & lbh ekstensif dp prokain Lar lidokain 0,5% adalah anestesi infiltrat, 1-2% ; anestesi blok & topikal Efektif bila tanpa vasokonstriktor, kec absorpsi & tox , masa kerja lbh pendek b. Farmakokinetik Mudah diserap dr tmpt injeksi Dapat tembus sawar darah otak Metab : hati; eks : urin c. Indikasi Injeksi : anestesi infiltrasi, blokade saraf, anest epidural, anest kaudal, anest mukosa Anest infiltrat : lar 0,25-0,50% dg atau tanpa adrenalin Kedok gigi : lar 1-2% lido dg adrenalin Anest permukaan , anest kornea mata (lidokain 2% + adrenalin) Turunkan iritabilitas jantung

DAFTAR PUSTAKA

Martaningtyas, Tsemol (2005): "Terbius memburu paten gas tertawa" Suryanto, dr (1998): "Trauma selama dan setelah operasi" Infomaterium Medicamentorum, 2005, 19-30. KNMP. Den Haag. Hurford - Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital 6th ed

P.G.Barash, B.F.Cullen, R.K.Stoelting - Clinical Anesthesia. 4t editionFarmacotherapeutisch Kompas, 2005, 190-193. CMPC.

REHABILITASI PERITONITIS

Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.

Dalam proses rehabilitasi ada saat bahwa pasien harus memiliki kesempatan untuk mengekspresikan atau menyangkal perasaan mereka, tentang operasi mereka, perubahan dalam tubuh mereka atau citra diri mereka.

Prawirohardjo, sarwono 2006. BUKU ACUAN NASIONAL pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Edisi I.Yayasan bina pustaka: Jakarta

Indikasi anestesi umum : -Infant dan anak usia muda -Dewasa yang memilih anestesi umum -Pembedahan luas -Penderita sakit mental -Pembedahan lama -Pembedahan dimana anestesi local tidak praktis atau tidak memuaskan -Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi local -Penderita dengan pengobatan antikoagulan

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Dengan indikasi pada pasien yaitu akan dilakukannya pembedahan pada daerah anogenital dimana indikasi untuk anastasi spinal antara lain : bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anastesia umum ringan.

BAB I PENDAHULUAN
1.1 DEFINISI Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:2 Hipnotik (tidur) Analgesia (bebas dari nyeri) Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot) Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. 1.2 METODE ANESTESI UMUM2 I. Parenteral Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesia. II. Perektal Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun tindakan singkat. III. Perinhalasi Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantunug dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat

apabila dengan tekanan parsial yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat. 1.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM2 A. Faktor Respirasi Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah: 1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial 2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial B. Faktor Sirkulasi Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah: Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.

C. Faktor Jaringan Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan Koefisien partisi jaringan/darah Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh darah/JSPD) D. Faktor Zat Anestetika Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)

terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut. E. Faktor Lain Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan pendalaman anestesia Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman anestesia semakin cepat.

BAB II PEMBAHASAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- yang berarti tidak, tanpa dan aesthetos yang berarti persepsi, kemampuan untuk merasa). Kata anestesi pertama kali diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846, yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Anestesi terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu anestesi umum dan anestesi local. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Anestesi umum adalah tindakan yang menimbulkan keadaan tidak sadar selama prosedur medis dilakukan, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat sesuatu yang terjadi.

Komponen anestesi yang ideal terdiri dari sedasi, analgesia, dan muscle relaxant. Dalam anestesi umum, pasien akan mengalami keadaan tidak sadar dan hilangnya refleks pelindung yang dihasilkan dari satu atau lebih agen anestesi umum. Anestesi umum menggunakan agen intravena, inhalasi, intramuskular dan per rektal. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, lokal atau anestesi regional mungkin lebih tepat. Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal sesuai. Keuntungan anestesi umum : Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga Dapat diberikan dengan cepat Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang

Kekurangan anestesi umum : Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental yang normal Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.

Indikasi anestesi umum :

-Infant dan anak usia muda -Dewasa yang memilih anestesi umum -Pembedahan luas -Penderita sakit mental -Pembedahan lama -Pembedahan dimana anestesi local tidak praktis atau tidak memuaskan -Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi local -Penderita dengan pengobatan antikoagulan

PROSEDUR ANESTESI UMUM Persiapan pra anestesi umum Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Tujuan kunjungan pra anestesi: Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.

Persiapan pasien A. Anamnesis Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis: Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obatobat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol. B. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien. C. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari. D. Kebugaran untuk anestesi Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari. E. Masukan oral Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia. F. Klasifikasi status fisik

Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas. ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat ( cito) dengan mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E. G. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya : -Meredakan kecemasan dan ketakutan -Memperlancar induksi anesthesia -Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus -Meminimalkan jumlah obat anestetik -Mengurangi mual muntah pasca bedah -Menciptakan amnesia -Mengurangi isi cairan lambung -Mengurangi refleks yang membahayakan Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz). Persiapan peralatan anestesi Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita member anesthesia yang lancer dan aman. Mesin anestesi Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut: Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat Ruang rugi (dead space) minimal Mengeluarkan CO2 dengan efisien Bertekanan rendah Kelembaban terjaga dengan baik Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari: Sumber O2, N2O, dan udara tekan. Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang obstetric, dll. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)

Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm) Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve) Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai karakteristik mesin anestesi. Meter aliran gas (flowmeter) Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers) Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet) Kendali O2 darurat (oxygen flush control) Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas. Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah disepakati ialah: Oksigen Putih N2O Biru Udara Putihhitam kuning Sirkuit anestesi Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda. Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari: Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve) Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube) CO2 Abuabu Halotan Merah Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran Jingga Ungu Biru kuning

Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk Kantong cadang (reservoir bag) Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet). Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre. Sungkup muka Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa. Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas. Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk ventilasi pasien. Endotracheal tube (ETT) ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA) LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyaki jalan nafas restriktif.

Induksi anestesi Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS: S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau rectal. a. Induksi intravena Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena. Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka. b. Induksi intramuscular Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. c. Induksi inhalasi Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat : - tidak berbau menyengat / merangsang

- baunya enak - cepat membuat pasien tertidur. Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama. d. Induksi per rectal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. Teknik anestesi Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong. Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita

Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha nafas sendiri secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi. Ekstubasi Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

Rumatan anestesi (maintenance) Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled). Monitoring perianestesi Pasca bedah Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).

OBAT-OBAT ANESTESI BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA 1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2010.p.29-90. 2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98. 3. Wrobel M, Werth M. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.p.79-82. 4. Omoigui S. Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. 5. Medscape 6. Mayoclinic

KEBIJAKAN BAG. ICU ( INTENSIVE CARE UNIT)


I. PENGGUNAAN DAN PENGELOLAAN RUANG ICU 1. Pelayanan ICU adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien yang dalam keadaan sakit berat dan perlu dirawat khusus, serta memerlukan pantauan ketat dan terus menerus serta tindakan segera. 2. Pelayanan ICU adalah pelayanan yang harus mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama, mampu melakukan tunjangan hidup yang lain tetapi tidak terlalu kompleks sifatnya. 3. Ruang ICU terletak dekat dengan kamar operasi, ruang perawatan lainnya, dan memiliki akses yang mudah ke IGD, Radiologi dan ke Laboratorium. 4. Area pasien : Unit terbuka 12-16 m / tempat tidur. Jarak antara tempat tidur 2 meter. Mempunyai 1 tempat cuci tangan setiap 2 tempat tidur. Outlet oksigen 1 / tempat tidur. Stop kontak 4 / tempat tidur. 5. Indikasi pasien masuk ICU : 1. Prioritas 1 asien yang mengalami gangguan akut pada organ vital yang memerlukan tindakan dan terapi yang intensif cepat yaitu utamanya pada pasien dengan gangguan pada sistem Pernafasan (B1), Sirkulasi Darah (B2), Susunan syaraf pusat (B3) yang tidak stabil 2. Prioritas 2 asien yang memerlukan pemantauan alat canggih utamanya pada pasien yang mengalami pasca pembedahan mayor 3. Prioritas 3 asien yang dalam kondisi kritis dan tidak stabil yang mempunyai harapan kecil untuk disembuhkan atau manfaat dari tindakan yang didapat sangat kecil. Pasien ini hanya memerlukan terapi intensif pada penyakit akutnya tetapi tidak dilakukan intubasi atau Resusitasi Kardiopulmoner. 6. Pasien yang masuk ke ICU boleh dari IGD, Poliklinik, Ruang rawat inap, Kamar Operasi, Rujukan / pindahan dari RS lain dan dari dokter praktek, asalkan sesuai dengan kriteria pasien masuk ICU berdasar prioritas 1,2,3 di atas. 7. Yang menentukan pasien bisa masuk ICU adalah dokter kepala ICU.
2

8. Apabila ICU dalam keadaan kosong, maka semua dokter diperkenankan untuk merawat pasien di ruang ICU sesuai dengan kriteria pasien masuk ICU berdasarkan Prioritas 1, 2, 3 diatas. 9. Indikasi Pasien Keluar ICU : Pada pasien yang dengan terapi atau pemantauan intensif tidak diharapkan atau tidak memberikan hasil, sedangkan pasien pada waktu itu tidak menggunakan alat bantu mekanis ( ventilator ) yaitu : - Pasien yang mengalami MBO ( mati batang otak ) - Pasien terminal / pasien ARDS stadium akhir

Pada pasien yang telah membaik dan cukup stabil sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan intensif lebih lanjut. Pasien yang hanya memerlukan observasi intensif saja, sedangkan ada pasien yang lebih gawat dan lebih memerlukan terapi atau pemantauan intensif lebih lanjut. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU / pulang paksa.

10. Apabila ICU tidak terisi penuh, maka yang menentukan pasien keluar ICU adalah dokter primer yang merawat pasien tersebut. 11. Pasien bisa keluar ICU selain berdasar kriteria 1,2,3 diatas adalah apabila pasien / keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa). 12. Apabila ICU terisi penuh, maka pengaturan pasien masuk dan keluar ICU dilakukan oleh dokter Kepala ICU 13. Apabila dokter Kepala ICU berhalangan, maka koordinasi penggunaan ruang ICU dilaksanakan oleh dokter jaga 14. Jadwal jaga ICU dibuat oleh Kepala ICU 15. Cara Pengisian Status ICU berdasarkan JUKNIS pengisian status ICU. 16. Berkas Status ICU dimasukkan dalam berkas status rawat inap kemudian disimpan di rekam medis paling lambat 2 x 24 jam setelah pasien tersebut pulang atau rujuk ke RS yang lebih tinggi tingkat kemampuannya, atau pasien tersebut pulang paksa, atau pindah RS lain. 17. Bila pasien keluar ICU tetapi masih dirawat di ruang perawatan lain dalam RS , maka berkas status ICU disertakan dalam status rawat inap pasien tersebut. 18. Pencatatan dan pelaporan kegiatan pelayanan ICU ditulis dalam Buku Register Pasien, buku laporan harian tiap shif dan sensus harian. 19. Evaluasi hasil perawatan pasien dilakukan dengan melakukan analisa berdasarkan kasus 10 penyakit terbanyak ICU, berdasarkan pasien meninggal lebih dari 24 jam serta kurang dari 24 jam, dan berdasar data kunjungan pasien per tahun.

20. Tersedianya obat obat emergency yang memadai untuk menunjang life saving, seperti Sulfas Atropin, Adrenalin, Cordaron, lidokain. Obat obat tersebut diletakkan di troley Emergency untuk memudahkan dalam penggunaan saat tindakan Emergency ke pasien. 21. Tersedianya Alkes, cairan infus dan alat alat yang menunjang untuk kebutuhan emergency yang diletakkan di troley Emergency, seperti : Nasopharing, Oropharing, Laringoscop, Endotrakeal Tube, alat ventilasi manual, masker oksigen, infus RL, Nacl 0,9 %, Hes 6 %, dan juga spuit dari ukuran 1 cc hingga 50 cc beserta water injeksi . 22. Prosedur penyediaan obat dan alkes dilakukan dengan mengajukan budjet pada Direktur RS, dengan tembusan pada ka.sie keperawatan dan ka. keuangan dan program. 23. Pemeriksaan laboratorium ICU terpusat di laboratorium dan bisa dilakukan 24 jam on site. Bila ada pemeriksaan laborat, maka petugas ICU memberitau ke petugas Laborat tentang pemeriksaan yang diminta. Petugas ICU membuatkan surat permintaan pemeriksaan laborat pada lembar pemeriksaan laborat, sesuai dengan permintaan dokter. Petugas laborat datang ke ICU untuk melakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laborat sesuai dengan surat permintaan tersebut. Petugas laborat menuliskan rekening pemeriksaan pada lembar rekening pasien. Bila hasil pemeriksaan sudah ada, maka petugas laborat mengantarkan hasilnya ke ICU. Bila ada pemeriksaan radiologi maka petugas ICU memberitaukan ke petugas radiologi tentang pemeriksaan radiologi yang diminta. Khusus untuk Thorax foto, petugas radiologi datang ke ICU kemudian melakukan pemeriksaan thorax foto (alatnya bisa mobile) Petugas radiologi menuliskan di rekening pasien tentang pemeriksaan yang dilakukan. Untuk pemeriksaan selain Thorax foto, dilakukan di radiologi karena alatnya tidak mobile Bila pemeriksaan dilakukan di radiologi, maka petugas ICU mengantarkan pasien ke radiologi untuk dilakukan pemeriksaan Bila hasil pemeriksaan sudah ada, maka petugas radiologi mengantar hasilnya ke ICU. Petugas ICU harus memakai skort , alas kaki dan masker khusus ruang ICU. Petugas harus mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Untuk tindakan-tindakan tertentu petugas harus memakai sarung tangan steril. Perlindungan dari penyakit menular bagi petugas ICU dilakukan sesuai prosedur. Tersedianya APAR di ruang ICU Karena sebagian besar alat ICU menggunakan listrik, maka dilakukan pemeliharaan rutin untuk mencegah terjadinya lonjatan listrik baik ke petugas maupun ke pasien. 24. Pemeriksaan Radiologi terpusat di radiologi dan bisa dilakukan 24 jam on site. 25. Pelaksanaan keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana (K3) :

II. PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL ICU : 1. Lingkungan ICU A. Pintu ruang ICU (luar dan dalam) harus selalu dalam keadaan tertutup B. Pemasangan alas lantai didepan pintu dalam ICU harus tetap terpasang dan dalam kondisi basah dengan larutan desinfektan. C. Pengaturan batas tegas antara daerah semi steril dan non steril sesuai prosedur. D. Melakukan pembersihan rutin ruang ICU dan peralatan ICU sesuai jadwal yang telah ditentukan. E. Melakukan sterilisasi ruangan (UV) setelah pembersihan ruangan sesuai prosedur. F. Penanganan sampah pembuangan BAB dan BAK pasien sesuai dengan prosedur. G. Petugas ICU (dokter dan perawat). i. Petugas ICU harus memakai skort dan alas kaki khusus ruang ICU. ii. Petugas harus mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan. iii. Pemakaian handscoen dalam melakukan tindakan perawatan terhadap pasien. iv. Penggunaan softa-man bagi petugas setiap selesai kontak dengan pasien. v. Untuk Pasien ICU a. Pasien harus ganti baju, celana khusus ruang ICU. b. Penggantian alat tenun pasien dilakukan setiap shift jaga atau bila kotor. c. Pembersihan tempat tidur dan alat-alat yang dipakai pasien setelah pasien keluar, dengan menggunakan cairan desinfektan. d. Untuk pengunjung pasien ICU / keluarga pasien a. Pengunjung bila masuk ruang ICU harus memakai baju (skort) pengunjung dan alas kaki khusus ruang ICU. b. Sebelum dan sesudah berkunjung ke pasien, pengunjung cuci tangan terlebih dahulu atau membasahi tangan dengan menggunakan softa-man. c. Pengunjung hanya bisa masuk pada saat jam berkunjung (1 orang) 5. Mengenai Peralatan Ruang ICU 1. Peralatan yang berupa set instrumen, alat kesehatan disposible harus dalam keadaan steril. 2. Resterilisasi alat ICU dilakukan setiap 3 x 24 jam sekali. 3. Instrumen, alat alat suction, sirkuit ventilator bila aelesai dipakai pada pasien direndam dengan cairan desinfektan baru kemudian disterilkan di ruang sterilisasi.

4.

Setiap pasien yang memerlukan suction harus mempunyai slang suction sendiri-sendiri dan diganti dalam waktu 1 x 24 jam. 5. Penggunaan kom untuk suction diganti dalam waktu 1 x 24 jam dan tiap-tiap pasien sendiri-sendiri III. FASILITAS DAN PERALATAN 1. Tersedia peralatan meliputi :

Tempat tidur khusus yang bisa dirubah posisinya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Alat pengukur tekanan darah monitor Pulse oxymetri dewasa, anak, dan bayi ECG 12 lead Alat pengukur tekanan Vena Central Alat Pengukur suhu tubuh pasien. Alat penghisap (suction) tidak sentral tetapi tekanannya bisa diatur berdasarkan kebutuhan. Alat ventilasi manual dewasa, anak dan bayi dan alat penunjang jalan nafas. Peralatan akses vaskuler Ventilator Oksigen sentral Lampu untuk melakukan tindakan Defibrilator Biphasic Peralatan drain thoraks Troley emergency yang berisi alat dan obat obat untuk emergency Infus pump dan syringe pump Peralatan portable untuk transportasi pasien Hemodialisa Semua peralatan diatas dapat berfungsi dengan baik disertai adanya program kalibrasi dan pemeliharaan masing-masing alat Penggunaan alat dicatat dalam buku pemakaian peralatan dan masing masing alat ada buku pemakaiannya sendiri-sendiri SOP penggunaan Alat alat sudah terpasang pada masing masing alat tersebut. Pemeliharaan Peralatan dilakukan setiap selesai dipergunakan, dan pemeliharaan rutin satu kali seminggu, kemudian dicatat dalam lembar pemeliharaan alat. Masing masing alat punya catatan pemeliharaan sendiri. Program Perencanaan peralatan dilakukan pada awal tahun dan apabila ada hal hal yang insidentil dan mendesak bisa dilaksanakan pada saat itu.

Peremajaan peralatan dilakukan bekerjasama dengan IPS RS dan Pihak Suplier alat tersebut.

IV. KEPALA ICU Kepala ICU adalah seorang dokter spesialis Anesthesi. V. 1. TENAGA PERAWATAN ICU

Tenaga perawatan ICU adalah tenaga perawat terlatih dengan pendidikan minimal lulus BLS dan ECG dasar. 2. Bila ICU dalam keadaan kosong, maka petugas ICU sebagian membantu keruang rawat inap lainnya yang lebih banyak membutuhkan tenaga, sebagian mengerjakan administrasi dan melakukan perawatan alat alat.

VI. TATA CARA PENILAIAN PEGAWAI 1. Penilaian Pegawai dilakukan rutin dan teratur tiap tahun, disertai adanya rekomendasi dan tindak lanjut. 2. Yang menentukan jadwal / waktu untuk penilaian masing-masing pegawai adalah dari bagian personalia. 3. Format penilaian pegawai dari personalia. 4. Yang melakukan penilaian adalah Kepala Pelayanan Keperawatan ICU dengan mengetahui Ka.sie Keperawatan. 5. Dokumen hasil penilaian tersebut disimpan terpusat di personalia. 6. Untuk pegawai (Perawat) baru dan yang masih orientasi, selain penilaian rutin tahunan, juga dilakukan penilaian 3 bulanan dalam bentuk cek list pelaksanaan instrumen C. 7. Dokumen hasil dari penilaian instrumen C, disimpan di ICU dan rekapan hasilnya dilaporkan pada Ka.sie Keperawatan. VII. PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM PENDIDIKAN Pelaksanaan program pengembangan tenaga dilakukan oleh kepala ICU dan Kepala Pelayanan Keperawatan ICU beserta Diklat Rumah Sakit sesuai dengan kebutuhan dan pengajuan program pengembangan tenaga.

Pasien dalam keadaan bagaimana yang masuk ICU ? ICU mampu menggabungkan tekhnologi tinggi dan keahlian khusus dalam bidang kedokteran dan keperawatan gawat darurat. Pelayanan ICU diperuntukkan dan ditentukan oleh kebutuhan pasien dengan sakit kritis. Tujuan dari pelayanan ICU adalah memberikan pelayanan medik teritrasi dan berkelanjutan serta mencegah fragmentasi pengelolaan pasien-pasien kritis meliputi : pasien yang secara fisiologis tidak stabil memerlukan dokter, perawat, professional lain yang terkait secara koordinasi dan berkelanjutan. Serta memelukan perhatian yang teliti agar dapat dilakukan pengawasan ketat dan terus menerus serta terapi titrasi pasien-pasien dalam bahaya mengalami dekompensasi fisiologis sehingga memerlukan pemantauan ketat dan terus menerus serta dilakukan intervensi segera untuk mencegah timbulnya penyulit yang merugikan

Efek Samping Anestesi Beberapa komplikasi mungkin dirasakan oleh sebagian pasien setelah mendapatkan anestesi terutama jika prosedur dan dosis tidak diberikan secara tepat. Komplikasi bisa bersifat sementara, namun ada pula yang berefek hingga cukup lama. Di bawah ini adalah beberapa efek samping anestesi: 1. Nyeri di sekitar tempat suntikan. 2. Nyeri punggung bagian bawah dalam kasus anestesi spinal. 3. Penurunan tekanan darah. 4. Kerusakan saraf. 5. Karena overdosis anestesi, pernapasan pasien dan sistem peredaran darah bisa saja mengalami masalah. 6. Mati rasa pada mulut. Komplikasi anestesi seperti diatas jarang terjadi. Segera hubungi dokter jika efek samping tersebut muncul.

Laparatomi adalah salah satu jenis operasi yang di lakukan pada daerah abdomen. Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus http://medlineplus.gov/ Cardiac Arrest (Henti jantung) vs Heart attack (serangan jantung) Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi ( U.S National Heart, Lung, and Blood Institute , 2009; Sudden Cardiac Arrest Association , 2008; Sovari dan Kocheril: 2009).

resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak. Tjokronegoro, A dkk. 1998. Panduan Gawat Darurat, Jilid I Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Ventilator adalah alat yang mampu membantu sebagian / mengambil alih pertukaran paru untuk mempertahankan hidup pasien Semua mode untuk membantu / mengganti / mengambil alih dari proses pernafasan spontan

Operasi

besar

adalah

operasi

yang

memerlukan

persiapan

matang

untuk

menjalankannya dan terdapat banyak efek samping yang mungkin timbul selama dan setelah operasi dilakukan. Operasi besar ini juga mengharuskan anda untuk menjalani masa penyembuhan (recovery) di rumah sakit untuk memantau hasil pengobatan dan efek samping yang timbul.

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusuterapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulitpenyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaankeadaan tersebut. http://www.perdici.org/guidelines/ perhimpunan dokter intensive care Indonesia

SGOT atau juga dinamakan AST ( Aspartat aminotransferase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada infark jantung, SGOT/AST akan meningkat setelah 10 jam dan mencapai puncaknya 24-48 jam setelah terjadinya infark. SGOT/AST akan normal kembali setelah 4-6 hari jika tidak terjadi infark tambahan. Kadar SGOT/AST biasanya dibandingkan dengan kadar enzim jantung lainnya, seperti CK ( creatin kinase), LDH (lactat dehydrogenase). Pada penyakit hati, kadarnya akan meningkat 10 kali lebih dan akan tetap demikian dalam waktu yang lama.

SGPT atau juga dinamakan ALT (alanin aminotransferase) merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya.

SGPT/ALT serum umumnya diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri, secara semi otomatis atau otomatis. Nilai rujukan untuk SGPT/ALT adalah : Laki-laki : 0 - 50 U/L Perempuan : 0 - 35 U/L
Joyce LeFever Kee, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik, EGC, Jakarta, 2007.

Anda mungkin juga menyukai