Anda di halaman 1dari 45

1

Skenario 3

Blunt chest injury

Skenario disajikan dalam bentuk video

Step 1

1. Penopang leher : alat yang digunakan untuk memfiksasi leher.


2. Chest tube :sebuah tabung plastik fleksible untuk mengeluarkan
cairan pada cavum pleura
3. Syok :hipoperfusi jaringan sistemik yang dibedakan oleh
berkurangnya curah jantung dan berkurang nya volume darah.
4. Ct- scan :teknik pencitraan dengan bantuan sinar x untuk
menghasilkan gambar tomograf.

Step 2

1. Apa dasar ndokter menanyakan kepada pasien mengenai ingatan?


2. Kenapa pasien tidak bernafas dan hubungannya dengan terjadinya syok?
3. Manifestasi yang terjadi ketika rusuk patah dan menekan paru dan adanya
perdarahan pada paru ?
4. Kenapa di diafragma terdapat cairan ?
5. Kenapa dilakukan pemasangan chest tube beserta indikasinya ?
6. Kenapa pasien di suruh ct-scan ?
7. Bagaimana derajat perdarahan ?
8. Obat apa yang diberi pada kasus tersebut ?
9. Kenapa pasien mengalami penurunan tekanan darah?
10. Apa saja macam – macam trauma yang terjadi pada dada ?

Step 3

1. - untuk mengetahui kesadaran pada pasien


- untuk menilai GCS dalam keadaan darurat
- memastikan air way lancar
2

2. - terjadi karena adanya sumbatan atau obstruksi jalan napas


- karena adanya darah pada paru atau cavum pleura
3. - menyebabkan nyeri pada rusuk yang patah
- ketidakseimabangan dada dalam mengembang
4. Adanya kerusakan sistem kardiovaskular dan robeknya pembuluh darah.
5. - Untuk mengeluarkan cairan atau udara pada cavum pleura
- Indikasi adanya hematom, CT-scan terlihat adanya cairan, Hipersonor
6. - Karena adanya hematom
- adanya fraktur dan ada tidaknya trauma pada organ
7. - < 15%
- 15 – 30 %
- 30 – 40 %
- >40%
8. – penghilang nyeri / analgesik
9. Karena telah dipasang chest tube
10. Trauma pneumotoraks, hematoraks, hemiperikardium

Step 4

1. Sudah jelas
2. -Oksigen menurun akhrinya terjadi syok
- trauma menyebabkan perdarahan darah keluar akan menyebabkan
penurunan oksigen akan terjadi syok (kardiogenik, septik, dan
hipovolemik).
3. Sudah jelas
4. Sudah jelas
5. Indikasi :
A. Inspeksi : ditemukan hematom, ketidaksimetrisan dada, nafas tidak
ada.
B. Perkusi : ditemukan bunyi hipersonor / redup
C. Palpasi : ekspansi pernapasan dada tidak ditemukan
D. Auskultasi : terdengar suara vesikuler.
3

6. Sudah jelas
7. Sudah jelas
8. Penatalaksanaan :
A. Posisi kaki lebih tinggi
B. Pemasangan kateter cvp
C. Diberi resuitasi cairan dengan RL atau NaCl
9. Penurunan kardiak output
10. Sudah jelas.

MIND MAP

trauma thorax

hubungan dengan
macam macam penatalaksanaan penyebab
syok

pneumothorax
hipovolemik
flail chest medikamentosa
tajam dan tumpul kardiogenik
hemathorax non-medikamentosa
septik
pneumopericardium

Step 5

1. Macam-macam syok beserta manifestasi klinis dan patomekanismenya

2. Penegakan diagnosis dan penilaian awal syok

3. Penatalaksanaan awal syok secara umum dan spesifik


4

Step 6

Belajar mandiri

Step 7

1. Klasifikasi, patomekanisme dan manifestasi klinis syok


Sebelum memasuki bahasan mengenai klasifikasi syok, menurut derajatnya,
syok dibedakan menjadi:
(1) Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti
kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih
lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap
(irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya
sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan. (Setiati. 2014).
(2) Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus,
ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama
seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin
kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran
relatif masih baik. (Setiati. 2014).
(3) Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi
syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok
lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri
dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung
(EKG abnormal, curah jantung menurun). (Setiati. 2014).

A. Syok hipovolemik
a. Pengertian
Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditandai dengan
menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok
5

hipovolemik juga bisa terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume
intraventrikel kiri pada akhir distol yang akibatnya juga menyebabkan
menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga
menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh darah
dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin
memburuk.
Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui
permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau
diare juga dapat mengakibatkan kehilangan cairan intravaskuler. Pada
obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada
diabetes atau penggunaan diuretic kuat dapat terjadi kehilangan cairan
karena dieresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan
pada sepsis berat, pancreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus. Pada
syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat
berkurang.
Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume,
kecepatan dan lama perdarahan. Bila volume intravaskuler berkurang,
tubuh akan selalu berusaha mempertahankan perfusi organ-organ vital
(jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ yang lain seperti
ginjal, hati dan kulit akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui
system rennin-angiotensin-aldosteron, system ADH, dan system saraf
simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk
mengembalikan volume intravascular, dengan akibat terjadi hemodilusi
(dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.
Dengan demikian tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan
adalah menormalkan kembali volume intravascular dan interstitial. Bila
deficit volume intravascular hanya dikoreksi dengan memberikan darah
maka masih tetap terjadi deficit interstistial, dengan akibatnya tanda-
tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang berkurang.
6

Pengambilan volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila


diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dan
sebagainya) dan cairan garam seimbang. (Setiati,2014).
b. Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif.
Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik; sedangkan deficit volume
darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok setelah trauma biasanya
jenis hipovolemik, yang disebabkan oleh perdarahan (internal atau
eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio atau
usus yang mengembang kerusakan jantung dan paru-paru dapat juga
menyokong masalah ini secara bermakna. Syok akibat kehilangan cairan
berlebihan bias juga timbul pada pasien luka bakar yang luas. (Setiati.
2014).
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1) Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang
mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan
kehamilan ektopik terganggu.
2) Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung
kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan
500–1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000–1500 ml
perdarahan.
3) Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
- Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
- Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
- Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat
berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya
pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan
7

menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan


menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya
asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991).
Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian
syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu
diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan
penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas
utama. (Setiati. 2014).
c. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok
neurogenik) yang meliputi :
1) Sistim pernafasan : nafas cepat dan dangkal.
2) Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, na-
di cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah menca-
pai 30%.
3) Sistim saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi
tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan
tidak sadar.
4) Sistim pencernaan : mual, muntah
5) Sistim ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)
6) Sistim kulit/otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering.
Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan
denyut jantung yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan
kering apabila kulitnya diraba. (Setiati. 2014).

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:

1) Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan


arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.
2) Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam. (Setiati. 2014).

Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta
pengisian kapiler yang jelek. Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi,
8

tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang


hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh
merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan
mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan
vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam
waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat
ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau
singkat. (Setiati. 2014).

Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan


hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera
kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-
tanda syok, yaitu:

1) Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian
kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2) Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah
respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan
kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi
asidosis jaringan.
3) Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh
darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor
yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi
aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun
tidak di bawah 70 mmHg.
4) Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok
hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin
kurang dari 30 ml/jam. (Setiati. 2014).

Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat,


dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya
turgor jaringan; (2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah
menjadi kering; serta (3) Bola mata cekung. (Setiati, 2014)
9

Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat,


disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai
asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan
dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung
(decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis
diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi
berat. (Setiati. 2014).

d. Patofisiologi
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :
1) Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa
sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk
menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan
melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak
dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital.
Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan
menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat
untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi
pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas
otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi
untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal
menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk
mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah
menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun. (Setiati. 2014).
2) Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu
mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah
jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan
seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran
darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler,
metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya
10

terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak


mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik
(venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan
aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa
ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi
koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat
vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia
jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan
bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut
memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung).
Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa
usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan.
Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim
retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia
jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik
menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi
peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di
jaringan. (Setiati. 2014).
3) Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga
tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya
ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu
lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema
interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan
hiperkapnea. (Setiati. 2014).
e. Komplikasi
1) Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia
jaringan yang berkepanjangan.
11

2) Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan


alveolus kapiler karena hipoksia.
3) DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian
jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang
koagulasi. (Setiati. 2014).
B. Syok Kardiogenik
a. Definisi
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri
atau gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan
yang luas. Otot jantung kehilangan kekuatan
kontraktilitasnya,menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi
jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung,otak, ginjal). Derajat
syok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun syok kardiogenik
biasanya sering terjadi sebagai komplikasi MI, namun bisa juga terajdi pada
temponade jantung, emboli paru, kardiomiopati. (Setiati,2014).
Syok kardiogenik adalah syok yang disebabkan karena fungsi jantung
yang tidak adekua, seperti pada infark miokard atau obstruksi mekanik
jantung; manifestasinya meliputi hipovolemia, hipotensi, kulit dingin, nadi
yang lemah, kekacauan mental, dan kegelisahan. (Dorland, 2010).
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung
yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama
sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai
oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada
perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. (Setiati, 2014)
12

Gambar 1.1 Syok kardiogenik.(http://www.google.com)


Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu
menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi
jaringan. Syok kardiogenikdapat didiagnosa dengan mengetahui adanya
tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark
miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau
adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung.
Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk
berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah
jantung. (Setiati,2014).
b. Etiologi Syok Kardiogenik
1) Gangguan kontraktilitas miokardium.
2) Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti
paru dan/atau hipoperfusi iskemik.
3) Infark miokard akut ( AMI),
13

4) Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary,


ruptur septum, atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi
(menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan
infark-infark yang lebih kecil.
5) Valvular stenosis.
6) Myocarditis ( inflamasi miokardium, peradangan otot jantung).
7) Cardiomyopathy ( myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak
diketahui penyebabnya ).
8) Acute mitral regurgitation.
9) Valvular heart disease.
10) Hypertrophic obstructive cardiomyopathy. (Setiati,2014)
c. Patofisiologi Syok Kardiogenik
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi
patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan
curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteri ke
organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga
asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan
iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa,
akhirnya terjadilah lingkaran setan. (Setiati, 2014)
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat
dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan
agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
(Setiati, 2014)
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti
pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur
tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji
beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan.
Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan
(LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa
jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif. (Setiati, 2014).
14

d. Diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan:


a. Keluhan Utama Syok Kardiogenik
1) Sesak napas dyspnea on effert, paroxymal nocturnal dyspnea
2) Pernapasan cheyne stokes
3) Batuk-batuk
4) Sianosis
5) Suara serak
6) Ronchi basah, halus tidak nyaring di daerah basal paru
hydrothorax
7) Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop,
tachycardia
8) BMR mungkin naik
9) Kelainan pada foto rontgen
10) Oliguri (urin < 20 mL/jam).
11) Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
l Nyeri substernal seperti IMA.
b. Tanda Penting Syok Kardiogenik
1) Tensi turun < 80-90 mmHg.
2) Takipneu dan dalam.
3) Takikardi.
4) Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
5) Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru.
6) Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar.
7) Sianosis.
8) Diaforesis (mandi keringat).
9) Ekstremitas dingin.
10) Perubahan mental.
e. Komplikasi Syok Kardiogenik
1) Cardiopulmonary arrest
2) Disritmi
3) Gagal multisistem organ
15

4) Stroke
5) Tromboemboli
C. Syok Obstruktif
Terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
jantung (venous retrun) akibat tension pneumothorax dan cardiac
tamponade. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok
obstruktif adalah CO menurun, BP menurun dan SVR meningkat. Syok ini
merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole,
sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup dan berakhirnya
curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli massif. (Setiati, 2014)
Hal ini biasa terjadi pada obtruktiv vena cava emboli pulmonal
pneumotoraks, dan gangguan pada perikardium (tamponade jantung) atau
pun berupa atrial myxoma Gejalanya mungkin sulit dibedakan dengan syok
kardiogenik, namun dari riwayat pasien syok ini bisa di diagnosa. Beriukut
ini merupakan gejala syok yang berupa subjektif maupun objektif :

Gejala objektif :

- Nadi cepat dan lemah


- Akral pucat, dingin, dan lembab
- Sianosis : bibir, kuku, lidah, dan cuping hidung
- Pandangan hampa dan pupil melebar
- Pernafasan cepat dan dangkal

Gejala subjektif:

- mual dan mungkin muntah


- Rasa haus
- Badan lemah
- Kepala terasa pusing (Setiati, 2014)
16

D. Syok Distributif
a. Definisi
Syok Distributif adalah suatu keadaan syok yang terjadi jika
distribusi volume intravaskuler terganggu akibat penurunan resistensi
vaskuler. Beberapa syok yang termasuk golongan syok distributive
adalah:
a) Syok Anafilaktik
Merupakan syok yang disebabkan reaksi antigen-antibodi
(antigen IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi
endogen seperti histamine, serotonin yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas endothelial vascular disertai
bronkospasme. (Setiati, 2014)

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik


dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata,
dan kolaps sirkulasi darah. Ciri khas yang pertama dari anafilaksis
adalah gejala yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit
setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus non alergen
seperti zat kimia, obat atau kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu
anafilaktik merupakan reaksi sistemik, sehingga melibatkan banyak
organ yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak. (Setiati,
2014)

b) Syok Neurogenik

Syok neurogenik adalah syok yang terjadi akibat dari ketidak


seimbangan antara stimulasi sistem syaraf simpatis dengan
parasimpatis pada otot polos pembuluh darah. Penyebabnya bisa
dari berbagai kondisi yang menyebabkan terlambatnya stimulasi
simpatik/ meningkatnya stimulasi parasimpatik diantaranya trauma
tulang belakang, cidera kepala, nyeri yang hebat, anestesi. Pada
gejala awal dapat berupa hipotensi, pernafasan normal sampai sulit
17

bernafas, tekanan nadi melambat, kulit kering hangat serta berwarna


kemerahan, gelisah, oliguria. (Setiati, 2014)

Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic


spinal cord injury. Gejala klinis meliputi hipotensi disertai
bradikardia. Gangguan neurologis akibat syok neurogenic dapat
meliputi paralisis flasid, refleks ektremitas hilang dan priapismus.
(Setiati, 2014)
c) Syok Septik
Sepsis merupakan respon sistemik pejau terhadap infeksi
dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah
sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Patofisiologi dari syok
sepsis ini tidak terlepas dari sepsis itu sendiri dimana endotoksin
(lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan
proses inflamasi yang melibatkan dari mediator inflamasi seperti
sitokin, neutrofil, komplemen, dan NO.
Proses ini merupakan homeostatis dimana terjadi
keseimbangan antara proses inflamasi dan anti inflamasi. Bilamana
terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan homeostatis,
maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan
menimbulkan gangguan pada tingkat selular.
Gangguan pada lesi sel akan menyebankan disfungsi edotel
vasodilatasi akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperusi jaringan dan
syok. Jika terus berlanjut proses inflamasi yang maladaftif akan
menyebabkan gangguan fungsi organ yang dikenal sebagai
disfungsi organ multiple. Syok septik adalah sepsis yang disertai
hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan tanda-tanda hipoperfusi
meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat. (Setiati,
2014)
18

b. Patofisiologi
Syok secara umum disebabkan oleh gangguan perfusi jaringan
yang akhirnya menyebabkan disfungsi dari organ. Suatu keadaan syok
yang persisten dapat menyebabkan kerusakan sel yang irreversibel dan
kematian dari sel pada akhirnya. Pada syok distributif terjadi suatu
penurunan perfusi jaringan dikarenakan oleh keadaan hipotensi arterial
yang disebabkan penurunan Systemic Vascular Resistance (SVR).
(Setiati, 2014)
Sebagai tambahan, penurunan volume sirkulasi efektif plasma
dapat terjadi karena vasodilatasi pembuluh vena dan perubahan
permeabilitas mambran pembuluh darah kapiler sehingga terjadi
perpindahan volume cairan dari intravaskular ke ruang interstitium.
Suatu disfungsi miokardial dapat terjadi di tahap selanjutnya sebagai
manifestasi dari vasodilatasi, penurunan ejection fraction ( walaupun
terkadang didapat stroke volume dan cardiac output yang normal ) dan
gangguan fungsi ventrikular. (Setiati, 2014)

c. Etiologi

Syok septik adalah bentuk dari suatu syok distributif yang paling
sering ditemukan. Di Amerika Serikat, syok septik merupakan
penyebab kematian non- kardiak tersering di instalasi rawat intensif /
intensive care unit (icu).
Penyebab lainnya adalah :

a. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS).

b. Toxic Shock Syndrome.

c. Syok Anafilaksis. ( obat-obatan)

d. Syok Neurogenik.

e. Keracunan logam berat.

f. Addison Crisis.
19

g. Insufisiensi Hepar.

d. Karakteristik
a. Pasien syok biasanya mengalami keluhan sesak / respiratory
distress dan perubahan status mental.
b. Pasien dengan syok septik atau SIRS, diawali dengan gejala
infeksi / peradangan seperti pada saluran nafas, saluran kemih
ataupun saluran pencernaan.
c. Syok septik sering ditemukan pada tindakan-tindakan di rumah
sakit yang tidak dilakukan degan baik. Seperti perawatan kateter
dan infus. Atau pasien-pasien yang mendapatkan pengobatan
berupa immunosupressan.
d. Pasien dengan syok anafilaksis disebabkan alergi obat-obatan,
gigitan serangga ( lebah ).
e. Pada Streptokokal-TSS ditemukan pada pasien-pasien yang
dilakukan tindakan operasi, faringitis, penggunaan obat-obatan
NSAID. Pada pasien dapat ditemukan riwayat menderita
influenza-like illness. (Setiati, 2014)
2. Penegakan diagnosis dan penilaian awal syok
Penilaian awal Syok
Syok merupakan keadaan kekurangan suplai oksigen dan nutrisi
Keadaan ini disebabkan oleh menurunnya oksigenasi jaringan. Kekurangan
oksigen akan berhubungan dengan Asidosis Lactate Acid, dimana kadar
lactat tubuh merupakan indikator dari tingkat berat-ringannya syok.
Terjadinya hambatan di dalam peredaran darah perifer menyebabkan
perfusi jaringan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sel akan zat
makanan dan membuang sisa metabolism. (Zmerman, 1997)
Langkah pertama dalam pengelolaan penderita syok adalah dengan
mengenali adanya syok itu sendiri melalui gejala syok atau tanda-tanda
klinis terjadinya syok, Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa
syok dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak
adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Diagnosis awal di
20

dasarkan pada adanya gangguan perfusi organ dan oksigenasi jaringan.


(Zmerman, 1997)
Langkah kedua adalah menentukan sebab dari syok. Pada penderita
trauma, semua jenis syok mungkin ditemukan. Kebanyakan penderita
dalam hemoragik syok, namun kardiogenik syok atau syok karena tension
pneumotoraks harus dipertimbangkan pada perlukaan diatas diafragma.
Syok neurogenic dapat diakibatkan perlukaan luas pada SSP atau medulla
spinalis. Pada umumnya trauma kapitis tidak menyebabkan syok. Penderita
dengan trauma medulla spinalis pada keadaan awal dapat dalam keadaan
syok baik karena vasodilatasi (neurogenic) maupun karena hemoragik.
Syok septik jarang ditemukan, namun harus dipertimbangkan pada
penderita yang datang pada keadaan lebih lanjut. (Zmerman, 1997)
Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan adalah
melakukan penilaian terhadap penderita sehingga dengan cepat syok dapat
diketahui. Terapi syok dimulai sambil mencari sebab syok. Respon
terhadap terapi awal, digabung dengan penemuan klinis biasanya
memberikan cukup informasi untuk dapat menentukan penyebab syok.
Perdarahan adalah sebab tersering dari syok pada penderita trauma. Setiap
keadaan syok pada penderita trauma memerlukan konsultasi bedah. Syok
lanjut yang ditandai oleh perfusi yang kurang ke kulit, ginjal dan SSP yang
dengan mudah di kenal. (Zmerman, 1997)
Katergantungan pada tekanan darah sebagai satu-satunya indicator
syok akan menyebabkan terlambatnya diagnosis syok. INGAT :
mekanisme kompensasi dapat menjaga tekanan darah sampai penderita
kehilangan 30% volume darah. Perhatian harus di arahkan pada nadi, laju
pernafasan, sirkulasi kulit, dan tekanan nadi (perbedaan antara tekanan
sistolik dan diastolic). Gejala paling dini adalah tachikardia dan vaso-
kontriksi perifer. Dengan demikian setiap penderita trauma yang dalam
keadaan tachikardia dan kulit dingin dianggap dalam keadaan syok.
(Zmerman, 1997)
21

Pemeriksaan hematocrit atau kadar Hb tidak dapat dipakai untuk


mengukur kehilangan darah ataupun diagnosis syok. Kadar hematokirt
yang rendah menunjukkan kehilangan darah dalam jumlah cukup besar
(anemia yang sebelum trauma sudah ada), sedangkan hematocrit normal
dapat saja terjadi walaupun sudah ada kehilangan darah cukup banyak.
(Zmerman, 1997).
A. Syok Distributif
a. Syok Anafilaktik
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis pada umumnya muncul dalam 15
menit sejak terjadinya paparan. Gejala dapat melibatkan
kulit, saluran nafas atas maupun bawah, sistem
kardiovaskular, dan GI tract. Satu atau lebih area mungkin
terkena, dan gejalanya tidak harus diawali gejala ringan
(urtikaria) terlebih dahulu sampai berat (obstruksi saluran
nafas, atau syok).2 Gejala bervariasi dari ringan sampai
berat, seperti gatal, urtika, bersin, rhinorea, nausea, kram
abdomen, diare, dispneu, palpitasi, dan pusing. Keadaan
syok ditandai dengan 6 hipotensi, takikardi, urtikaria,
angioedema, wheezing, stridor, sianosis, dan sinkop.
Syok dapat berkembang dalam hitungan menit, dan
mungkin timbul kejang, tidak sadar, dan kematian. Kolaps
kardiovaskular dapat terjadi tanpa gejala lainnya. (Setiati,
2014)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Reaksi anafilaktik mungkin terjadi jika ditemui beberapa
gejala disertai gejala mendadak berikut ini:
a. Syok
b. Gejala respiratori (dispneu, stridor, wheezing)
c. Dua atau lebih gejala lain (angioedema, rhinorea,
dan gejala GI tract). (Setiati, 2014)
22

Sedangkan American Academy of Allergy,


Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria
diagnosis anafilaktik. (Setiati, 2014)
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu
penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan
terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan
salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak
nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala
yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia). (Setiati, 2014)
Kriteriakedua, dua atau lebih gejala berikut yang
terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang
spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula);
Respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri
abdominal, kram, muntah). (Setiati, 2014)
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah
setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit
hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-
anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada
orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg
23

atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan


darah awal. (Setiati, 2014)

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaktik sebagai berikut

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresif yang cepat dari


gejala
 Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit,
jarang reaksi terjadi lebih lambat dari onset
 Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe
trigger. Trigger intravena akan lebih cepat
onsetnya daripada sengatan, dan cenderung
disebabkan lebih cepat onsetnya dari trigger
ingesti oral.
 Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami
“sense of impending” 2. (Setiati, 2014)
1. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or
Circulation Problems Pasien dapat mengalami masalah
A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem :
 Pembengkakan jalan nafas seperti
tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan
menelan dan merasa tenggorokan tertutup.
 Suara Hoarse
 Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran
nafas atas yang mengalami obstruksi. (Setiati,
2014)
Breathing Problems :
 Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas
 Wheezing
 Pasien menjadi lelah
24

 Kebingungan karena hipoksia


 Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late
sign
 Respiratory arrest . (Setiati, 2014)

Circulation problem:
 Tanda syok, pucat, berkeringat.
 Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
 Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin
jatuh (dizziness), kolaps. –
 Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan
kesadaran
 Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik
myokardial dan ECG berubah walaupun individu
dengan normal arteri kononer.
 Cardiac arrest . (Setiati, 2014)
2. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa Sering muncul
gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaktik.
 Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
 Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan
mukosa, atau keduanya
 Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash
merah.
 Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada
tubuh, berwarna pucar, merah muda, atau merah dan
mungkin menunjukan seperti sengatan.
 Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk
pada jaringan lebih dalam sering pada kelopak mata
dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.
(Setiati, 2014)
25

b) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat
membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan
beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil
darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan
IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak
kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. (Setiati,
2014)
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari
alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores
(scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai
karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih
ideal. (Setiati, 2014)
b. Syok Sepsis
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada
gejala dan tandatanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi
primer. Tingkat di mana tanda dan gejala berkembang mungkin
berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap pasien
sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis
adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering
terjadi pada neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan
uremia atau alkoholisme (Setiati, 2014)
Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas,
demam, takikardi, dan takipnea (Dasenbrook & Merlo, 2008).
26

Tanda-tanda dari sepsis sangat bervariasi. Berdasarkan studi,


demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%), ruam makulopapular,
petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan
meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60%
dari bayi dibawah 3 bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun.
(Setiati, 2014)
Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis
atau dicurigai sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik
digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga
menentukan tingkat keparahan infeksi untuk membantu dalam
memfokuskan terapi . Bila pasien mengalami penurunan kesadaran,
sebelum evaluasi diagnostik dimulai lakukan penilaian awal dari
pasien yang sakit perhatikan jalan nafas (perlu untuk intubasi),
pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi),
sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis,
perfusi kulit), dan inisiasi cepat resusitasi . (Setiati, 2014)
Kemudian dilakukan anamnesis riwayat penyakit dan juga
beberapa pemeriksaan fisik untuk mencari etiologi sepsis. Sistem
pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien
sepsis. Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala
pernapasan atas, masalah tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari.
Kedua, adanya pneumonia dan temuan takipnea atau hipoksia telah
terbukti merupakan alat prediksi kematian pada pasien dengan
sepsis. (Setiati, 2014)
Pemeriksaan fisik juga harus mencakup evaluasi rinci untuk
infeksi fokal, misalnya tonsilitis eksudatif, nyeri pada sinus, injeksi
membran timpani, dan ronki atau dullness pada auskultasi paru.
Sistem pencernaan adalah yang kedua paling umum sumber sepsis.
Sebuah riwayat nyeri perut, termasuk deskripsi, lokasi, waktu, dan
faktor pemberat harus dicari. Riwayat lebih lanjut, termasuk adanya
mual, muntah, dan diare harus dicatat. Pemeriksaan fisik yang
27

cermat, mencari tanda-tanda iritasi peritoneal, nyeri perut, dan


bising usus , sangat penting dalam mengidentifikasi sumber sepsis
perut. (Setiati, 2014)
Perhatian khusus harus diberikan temuan fisik memberi
kesan sumber umum infeksi atau penyakit tanda Murphy
menunjukkan kolesistitis, nyeri pada titik McBurney menunjukkan
usus buntu, nyeri kuadran kiri bawah menunjukkan divertikulitis,
dan pemeriksaan rektal mengungkapkan abses rektum atau
prostatitis. (Setiati, 2014)
Sistem neurologis diperiksa dengan mencari tanda-tanda
meningitis, termasuk kaku kuduk, demam, dan perubahan
kesadaran. Pemeriksaan neurologis terperinci adalah penting.
Letargi atau perubahan mental mungkin menunjukkan penyakit
neurologis primer atau hasil dari penurunan perfusi otak dari
keadaan shock. (Setiati, 2014)

Riwayat urogenital termasuk pertanyaan mengenai adanya


nyeri pinggang, disuria, poliuria, discharge, pemasangan kateter,
dan instrumentasi urogenital. Riwayat seksual untuk menilai
resiko penyakit menular seksual. Alat kelamin juga harus
diperiksa untuk melihat apakah ada bisul, discharge, dan lesi penis
atau vulva. Pemeriksaan dubur harus dilakukan, menentukan ada
nyeri, pembesaran prostat, konsisten dengan prostatitis.
(Setiati, 2014)

Riwayat muskuloskeletal adanya gejala ke sendi tertentu.


Kemerahan, pembengkakan, dan sendi terasa hangat, terutama jika
ada berbagai penurunan kemampuan gerak sendi, mungkin tanda-
tanda sepsis arthritis dan mungkin arthrocentesis. Pasien harus
benar-benar terbuka dan kulit diperiksa untuk melihat selulitis,
abses, infeksi luka, atau trauma. Luka yang mendalam, benda asing
sulit untuk mengidentifikasi secara klinis. Petechiae dan purpura
28

merupakan infeksi Neisseria meningitidis atau DIC. Ruam seluruh


tubuh merupakan eksotoksin dari pathogen seperti Staphylococcus
aureus atau Streptococcus pyogenes. (Setiati, 2014)
b) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks,
pemeriksaan dengan prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai
dengan dugaan sumber infeksi primer. (Setiati, 2014)
c. Syok Neurogenik
Untuk Gejala dan tanda sama dengan jenis syok yang
lainnya. Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic spinal
cord injury. Gejala klinis meliputi hipotensi disertai bradikardia.
Gangguan neurologis akibat syok neurogenik dapat meliputi paralisis
fl asid, refl eks ekstremitas hilang dan priapismus. (Setiati, 2014)
Untuk pemeriksaan penunjangngnya pun umumnya sama dengan syok-
syok yang lainnya.
B. Syok Obstruktif
Manifestasi klinis
a) Gejala Obyektif

 Pernapasan cepat & dangkal

 Nadi capat dan lemah

 Akral pucat, dingin & lembab

 Sianosis : bibir, kuku, lidah & cuping hidung

 Pandangan hampa & pupil melebar

b) Gejala Subyektif

 Mual dan mungkin muntah

 Rasa haus
29

 Badan lemah

 Kepala terasa pusing

Pemeriksaan Penunjang sama dengan syok yang lainnya. (Setiati,


2014)

C. Syok Hipovolemik
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:
a. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan
arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih
b. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
c. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta
pengisian kapiler yang jelek. (Setiati, 2014)

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia,


kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya
berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis
respons kompensasi. (Setiati, 2014)

Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan


dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan
volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien
usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu
yang cepat atau singkat. (Setiati, 2014)

Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan


hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera
kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-
tanda syok, yaitu:
a. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian
kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan
30

b. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons


homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran
darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
c. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh
darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor
yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi
aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak
di bawah 70 mmHg.
d. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok
hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin
kurang dari 30 ml/jam.

Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat,


dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya
turgor jaringan; (2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah
menjadi kering; serta (3) Bola mata cekung. (Setiati, 2014)

Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat,


disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai
asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan
dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung
(decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika
(hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi berat.
(Setiati, 2014)
D. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada
miokardiumventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri,
yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan
penghantaran oksigen ke jaringan. (Setiati, 2014)
a) Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok
kardiogenik tersebut.Pasien dengan infark miokard akut datang dengan
31

keluhan tipikal nyeri dada yang akut, dan kemungkinansudah


mempunyai riwayat penyakit jantung koroner seblumnya. (Setiati,
2014)
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard
akut, biasnaya terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset
infark tersebut.Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya
disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau
bahkan henti jantung. (Setiati, 2014)
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi,
presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak.
Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi
ke sistem saraf pusat. (Setiati, 2014)
b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik awal hemodinamik akan ditemukan tekanan
darah sistolik yang menurun sampai <90 mmHg, bahkan dapat turun
sampai < 6o mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan
adekuat. Denyut jantung biasanya cenderung meningkat sebagai
stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi pernapadan yang
biasanya meningkat sebagai akibat kongesti paru. (Setiati, 2014)
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Dengan infark
ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurut
studi sangat kecil kemungkinannya menyebabkan kongesti di paru.
(Setiati, 2014)
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti vena-vena di
leher seringkali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat
bergeser pasa pasien dengan kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi
jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade.
Irama gallop dapat ttimbul yang menunjukkan adanya disfungsi
ventrikel kiri yang bermakna.
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukkan
beberapa tanda-tanda antara lain : pembesarah hati, pulsasi di liver
32

akibat regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung


kanan yangsulit untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan
menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal
jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin,
menunjukkkn terjadinya penurunan perfusi ke jaringan. (Setiati, 2014)
c) Diagnosis
Kriteria untuk diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh
Myocardial Infarction Research Units of the National Heart, Lung, and
Blood Institute, Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
a) Tekanan arteria sistolik < 90 mmHg atau 30 sampai 60 mmHg di
bawah batas bawah sebelumnya.
b) Adanya penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama :
(1) Keluaran kemih < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar
natrium dalam kemih.
(2) Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab
(3) Terganggunya fungsi mental
c) Indeks jantung < 2,1 L/(menit/m2)
d) Bukti-bukti gagal jantung kiri dengan peningkatan LVEDP/tekanan
baji kapiler paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.
Kriteria ini mencerminkan gagal jantung kiri yang berat dengan
adanya gagal ke depan dan ke belakang. Hipotensi sistolik dan adanya
gangguan perfusi jaringan merupakan ciri khas keadaan syok. Penurunan yang
jelas pada indeks jantung sampai kurang dari 0,9 L/(menit/m2) dapat
ditemukan pada syok kardiogenik yang jelas. (Setiati, 2014)
d) Pemeriksaan Penunjang
1) Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk
menetukan etiologi dari syok kardiogenik. (Setiati, 2014)
2) Foto rontgen thorax
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda
kongetsi paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat.
33

Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral


akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru
yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang
pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil
kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau
keadaan hipovolemia. (Setiati, 2014)
3) Ekokardiografi
Modalitas pemeriksaan yang non-invasik ini sangat banyak
membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok
kardiogenik.Pemeriksaan ini relatif cepat dan aman. Keterangan
yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antara lain :
penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun
segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitas),
tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada
defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi
perikardial atau tamponade. (Setiati, 2014)
3. Penatalaksanaan awal syok umum dan spesifik
Klasifikasi syok yang dibuat berdasarkan penyebabnya menurut
Isselbacher, dkk, (1999, hal 219) :
1. Syok Hipovolemik atau oligemik

Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari


muntah, diare, luka bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel
tidak adekuat, seperti penurunan preload berat, direfleksikan pada
penurunan volume, dan tekanan end diastolic ventrikel kanan dan kiri.
Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup
(stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat. (Fitria, 2010)

Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif.


Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik; sedangkan deficit volume
darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok setelah trauma biasanya
34

jenis hipovolemik, yang disebabkan oleh perdarahan (internal atau


eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio atau
usus yang mengembang kerusakan jantung dan paru-paru dapat juga
menyokong masalah ini secara bermakna. Syok akibat kehilangan cairan
berlebihan bias juga timbul pada pasien luka bakar yang luas. (Setiati. 2014)

Dengan demikian tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan


adalah menormalkan kembali volume intravascular dan interstitial. Bila
deficit volume intravascular hanya dikoreksi dengan memberikan darah
maka masih tetap terjadi deficit interstistial, dengan akibatnya tanda-tanda
vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang berkurang.
Pengambilan volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila
diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dan sebagainya)
dan cairan garam seimbang. (Setiati,2014).

2. Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik.


Tekanan arteri sistolik < 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8
L/menit/ m2, dan tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat. Pasien sering
tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam, ekstremitas
dingin dan sianotik. (Fitria, 2010)

Penyebab paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark


ventrikel kiri, yang menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri yang
berat, dan kegagalan pompa ventrikel kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut
dan depresi kontraktilitas miokard setelah henti jantung dan pembedahan
jantung yang lama. (Fitria, 2010)

Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel. Regurgitasi


aorta atau mitral akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat
menyebabkan penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah
keluar melalui katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya
menyebabkan syok kardiogenik. (Fitria, 2010)
35

Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung 18


mmHg. Selain itu, diuresis biasanya 90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada
infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek maupun jangka
panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan
beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi ventrikel kanan pada
ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting prognosis yang buruk,
terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks
volume sekuncup awal dan followup serta follow-up stroke work index
merupakan prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30 hari pada
pasien dengan syok kardiogenik dan lebih berguna daripada variabel
hemodinamik lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian
dan tatalaksana syok kardiogenik tidak mementingkan pengukuran invasif
tekanan pengisian ventrikel kiri dan curah jantung melalui kateter pulmonar
namun fraksi ejeksi ventrikel kiri dan komplikasi mekanis yang terkait perlu
dinilai segera dengan ekokardiografi Doppler 2 dimensi. (PERKI, 2015)

3. Syok Obstruktif Ekstra Kardiak


Terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac
tamponade. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok
obstruktif adalah CO menurun, BP menurun dan SVR meningkat. Syok ini
merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole,
sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup dan berakhirnya
curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli massif. (Setiati, 2014)

Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama


diastole, sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke
Volume) dan berakhirnya curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli
paru masif. (Fitria, 2010)
Syok obstruktif terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang
menuju jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac
36

tamponade. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok


obstruktif adalah CO↓, BP↓, dan SVR↑. (Ery Laksana, 2015)

4. Syok Distributif

Syok distributif adalah syok yang diakibatkan oleh adanya gangguan


pada distribusi volume sirkulasi, baik karena perubahan resistensi pembuluh
darah ataupun akibat perubahan permeabilitasnya. Hal ini terjadi pada
keadaan sepsis, anafilaksis ataupun neurogenik. (Setiati, 2014)

Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang


menyebabkan penurunan tajam pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis
syok septic merupakan gangguan kedua system vaskuler perifer dan
jantung. (Fitria, 2010)

1. Langkah-langkah pertama menangani syok

Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok menurut Alexander


RH, Proctor H J. Shock., (1993 ; 75 – 94)

1. Posisi Tubuh

a) Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara


umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
b) Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita
jangan digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali
untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk
memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk
membebaskan jalan napas.
c) Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka,
atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi
tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari
rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh
muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah
37

meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari


terjadinya asfiksia.
d) Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar
atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih
rendah dari bagian tubuh lainnya.
e) Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita
dibaringkan dengan posisi telentang datar.
f) Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita
telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik
ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi
bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi
kesakitan segera turunkan kakinya kembali. (Fitria, 2010)
2. Pertahankan Respirasi
a) Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau
muntah.
b) Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan
nafas (Gudel/oropharingeal airway).
c) Berikan oksigen 6 liter/menit
d) Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan
pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT. (Fitria, 2010)
3. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau
nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP). (Fitria,
2010)

2. Penanganan berdasarkan jenisnya

1. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and


Carlson RW (1989, hal 993-1002) adalah Kalau terjadi komplikasi
38

syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:

a) Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat


lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah. (Fitria, 2010)

b) Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga


tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita
yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan
buka mulut. (Fitria, 2010)

2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas


buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui
mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. (Fitria, 2010)

3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri


besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi
jantung luar.
39

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap


kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai
dengan protokol resusitasi jantung paru. (Fitria, 2010)

a. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk


penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-
anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit
sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.

b. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin


kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–
6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–
0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.

c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg


atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang
untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang
membandel.

d. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur


intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke
ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi
syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap
merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka
diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20– 40% dari volume plasma.
40

Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan


jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma
protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.

e. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok


anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal
dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan
penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin
sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap
dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.

f. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-


cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama
kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat
terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi. (Fitria, 2010)

2. Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

a. Mempertahankan Suhu Tubuh

Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada


penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan
panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan
sangat berbahaya. (Fitria, 2010)

b. Pemberian Cairan

1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak


sadar,mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya
aspirasi cairan ke dalam paru.
41

2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi


atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala
(otak).

3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan


tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan
bila penderita menjadi mual atau muntah.

4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan


pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan
intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus


seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin
diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang,
darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air
harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan
berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik.
Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang,
sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah
yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah
diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi
dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah
lengkap.

6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah


pemberian cairan yang berlebihan.

7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah


pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung.
42

Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk


menghilangkan nyeri.

8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan


ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan
organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan
pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, “Swan
Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah. (Fitria, 2010)

3. Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian


vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah
vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan
untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
Penatalaksanaannya menurut Wilson R F, ed.. (1981; c:1-42) adalah

a. Pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi


Trendelenburg). (Fitria, 2010)

b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya


dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress
respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal
tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi
distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat
menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan
penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi. (Fitria, 2010)

c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan


resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus
dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral,
43

turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
(Fitria, 2010)

d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih,


berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi
kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :

1. Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10


mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang
terjadi takikardi.

2. Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam


menaikkan tekanan darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi
perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung
Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa
pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat
yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien syok neurogenik.

3. Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang


diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat
menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
4. Penatalaksanaan Syok Septik
Penanganan syok septic antara lain:
1. Pemberian antibiotik, umumnya dengan golongan spectrum
luas
2. Perbaiki dan mempertahankan hemodinamik dengan terapi
berikut:
a. Terapi cairan:
Meskipun syok septic tergolong dalam syok
hiperdinamik (terjadi hipovolemi relative akibat
vasodilatasi dan hipovolemi absolute akibat kebocoran
44

kapiler), cairan yang direkomendasikan tetap cairan


kristaloid
b. Vasopressor: Norepinephrine
c. Inotropik: Dobutamine
d. Oksigen (Leksana, 2015)
5. Penatalaksanaan Syok Obstruktif
Penanganan syok obstruktif dilakukan untuk menghilangkan
sumbatan, dapat dilakukan dengan cara:
1. Pemberian cairan kristaloid isotonic untuk mempertahankan
volume intravaskuler
2. Pembedahan untuk mengatasi hambatan/obstruksi sirkulasi.
(Leksana, 2015)
6. Penatalaksanaan Syok Kardiogenik
Terapi syok kardiogenik bertujuan untuk mem perbaiki
fungsi miokardium dan sirkulasi. Beberapa perubahan hemodinamik
yang terjadi pada kondisi syok kardiogenik adalah CO↓, BP↓,
SVR↑, dan CVP↑. (Leksana, 2015)
Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi syok
kardiogenik adalah sebagai berikut:
1. Infus cairan untuk memperbaiki sirkulasi
2. Inotropik 3
3. Apabila CO↓, BP↓, SVR↑, berikan dobutamine 5 μg/kg/min
4. Pada keadaan tekanan darah sangat rendah harus diberi obat
yang berefek inotropik dan vasopressor, seperti
norepinephrine (Leksana, 2015)
45

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, Newman. W.A. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: EGC

Fitria, Ceny. 2010. Syok dan Penanganannya. Surakarta: Gaster.

Laksana, Ery. 2015. Dehidrasi dan Syok. Semarang: Universitas Diponegoro.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications.

Setiati, S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid Ketiga.
Jakarta: EGC

Zmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C. 1997. Diagnosis and


Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support.

Anda mungkin juga menyukai