Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS SYOK HIPOVOLEMIK DI RUANG
INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

OLEH :

KELOMPOK 4F

1. Hasim Efendi
2. Tri IndIndriawati
3. Ulfatul Kusna 2030110
4. Yeti Eriyana 2030116

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2020
A. KONSEP PENYAKIT

1. Definisi
Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif.
Kemudian diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang
akibat akhirnya gangguan metabolik selular. (Bruner &
Suddarth,2002).
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan dimana terjadi kehilangan
cairan tubuh dengan cepat sehingga dapat mengakibatkan multiple
organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat. (Toni Ashadi,2006).
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-
pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun
perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan
dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang
tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak
duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis,
dan patah tulang besar atau majemuk. (Toni Ashadi,2006).

2. Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif.
Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik; sedangkan deficit
volume darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok setelah trauma
biasanya jenis hipovolemik, yang disebabkan oleh perdarahan (internal
atau eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan
kontusio atau usus yang mengembang kerusakan jantung dan paru-
paru dapat juga menyokong masalah ini secara bermakna. Syok akibat
kehilangan cairan berlebihan bisa juga timbul pada pasien luka bakar
yang luas. Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya
cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:
a. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang
mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan
kehamilan ektopik terganggu.
b. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung
kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus
menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000–1500 ml perdarahan.
c. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
1) Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
2) Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
3) Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Tabel 1. Penyebab Syok Hipovolemik2


Perdarahan

 Hematom subkapsular hati


 Aneurisma aorta pecah
 Perdarahan gastrointestinal
 Perlukaan berganda
Kehilangan plasma
 Luka bakar luas
 Pancreatitis
 Deskuamasi kulit
 Sindrom Dumping
Kehilangan cairan ekstraseluler
 Muntah
 Dehidrasi
 Diare
 Terapi diuretic yang agresif
 Diabetes insipidus
 Insufisiensi adrenal

Sumber: Wijaya IP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-


pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun
perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan
dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang
tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak
duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang
pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk.

Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh


yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui
permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau
diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan
intravaskuler. Pada obstruksi ileus dapat terkumpul beberapa liter
cairan di dalam usus.

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat
berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada
volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular
berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi
organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi
organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-
perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron,
sistem ADH, dan sistem saraf simpatis.

3. Patofisiologi
Jalur akhir dari syok adalah kematian sel. Begitu sejumlah besar sel
dari organ vital telah mencapai stadium ini, syok menjadi ireversibel
dan kematian terjadi meskipun dilakukan koreksi penyebab yang
mendasari. Mekanisme patogenetik yang menyebabkan kematian sel
tidak seluruhnya dimengerti. Satu dari denomiator yang lazim dari
ketiga bentuk syok adalah curah jantung rendah. Pada pasien dengan
syok hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok obstruktif ekstrakardiak
serta pada sebagian kecil syok distributif, timbul penurunan curah
jantung yang berat sehingga terjadi penurunan perfusi organ vital. Pada
awalnya, mekanisme kompensasi seperti vasokonstrikisi dapat
mempertahankan tekanan arteri pada tingkat yang mendekati normal.
Bagaimanapun, jika proses yang menyebabkan syok terus berlangsung,
mekanisme kompensasi ini akhirnya gagal dan menyebabkan
manifestasi klinis sindroma syok. Jika syok tetap ada, kematian sel
akan terjadi dan menyebabkan syok ireversibel.

Gambar 2. Patogenesis Syok Hipovolemik

4. Tahapan Syok
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi
(masih dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat
ditangani oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih).
a. Tahap Kompensasi
Adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi
normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap
awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan
darah normal, gelisah,dan pengisian pembuluh darah yang lama.
Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya
individu yang mengalami syok terlihat normal.
b. Tahap Dekompensasi
Dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-
fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga
organ-organ vital yaitu dengan mengurangi aliran darah ke
lengan, tungkai, dan perut danmengutamakan aliran ke otak,
jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan
diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut
nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta
kesadaran yang mulai terganggu.
c. Tahap Irreversibel
Dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak
dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan
pertolongan sesegera mungkin, maka aliran darah akan mengalir
sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah
dan denyut jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan
mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran
ke organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang
menjadi penyebab rusaknya hati,maupun ginjal. Walaupun
dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang
terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki.

5. Klasifikasi Syok
a. Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardi
ringan dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita
muda yang sedang berbaring. Penurunan perfusi hanya pada
jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan
tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi
rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap
(irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal
atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau
ringan
b. Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien
menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas meski tekanan darah
bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Perfusi
ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal).
Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama
seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri
(urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan
tetapi kesadaran relatif masih baik.
c. Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul,
tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi
berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau
bingung. Perfusi ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik
sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala
penting. Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme
kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua
organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua
pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan
kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah
jantung menurun).

6. Manifestasi Klinis
Tergantung pada penyakit primer penyebab renjatan, kecepatan dan
jumlah cairan yang hilang, lama renjatan serta kerusakan jaringan yang
terjadi, tipe dan stadium renjatan. Manifestasi klinis tergantung pada
penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang meliputi :
a. Sistim pernafasan : nafas cepat dan dangkal
b. Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat
dingin, na- di cepat dan lemah, tekanan darah turun bila
kehilangan darah menca- pai 30%.
c. Sistim saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita
bervariasi tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung
sampai keadaan tidak sadar.
d. Sistim pencernaan : mual, muntah
e. Sistim ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1
cc/kgBB/jam)
f. Sistim kulit/otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah
kering. Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan
kecepatan denyut jantung yang normal atau melambat, tetapi akan
hangat dan kering apabila kulitnya diraba.

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti


berikut:
a. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR
(tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun
30% lebih
b. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
c. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta
pengisian kapiler yang jelek. Gejala syok hipovolemik cukup
bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya
volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan
kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi
kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan
takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu
lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat
ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat
atau singkat
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Hb dan hematokrit : meningkat pada hipovolumi karena kehilangan
cairan atau plasma
b. Urin : produksi urin menurun, lebih gelap dan pekat, BJ meningkat
> 1,020
c. Pemeriksaan gas darah
d. Pemeriksaan elektrolit serum
e. Pemeriksaan fungsi ginjal
f. Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan hanya pada penderita yang
dicurigai
g. Pemeriksaan faal hemostasis.
h. Pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk menentukan penyakit
penyebab.

8. Penatalaksanaan
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan
untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh;
dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada
penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat
diberikan pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi
ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan
pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus
terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan
pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C =
circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif
(syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi
dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-
obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat
vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka
input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan
itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan
menurunkan angka mortalitas. Larutan parenteral pada syok
hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah.
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik.Resusitasi
cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada
pasien kombustio 18-24 jam sesudah cedera luka bakar.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan
gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena
perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian,
memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi
dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau
darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah
mengupayakan aliran vena yang memadai.
Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis.
Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin,
golongan darah, dan bila perlu Cross test.Jika hemoglobin rendah
maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah. Terapi awal
pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter
larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu
merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan
kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh
tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis
metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip
dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman
dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti
hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma
syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai
cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel. Ringer
asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Primary Survey (A,B,C,D,E)
1) Airway dan breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan
tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih
dari 95%.
2) Sirkulasi - kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang
jelas terlihat, memperoleh akses intra vena yang cukup, dan
menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luar biasanya dapat
dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat pendarahan.
PASG (Pneumatick Anti Shock Garment) dapat digunakan untuk
mengendalikan perdarahan dari patah tulang pelvis atau
ekstremitas bawah, namun tidak boleh menganggu resusitasi
cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah
cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi
untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.  
3) disability – pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan
tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi
motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai
perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan
meramalkan pemulihan.perubahan fungsi sistem saraf sentral
tidak selalu disebabkan cidera intra kranial tetapi mungkin
mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan
oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat
dianggap berasal dari cidera intra kranial.
4) Exposure – pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas- prioritas untuk menyelamatkan
jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-
ubun sampai jari kaki sebagai bagian dari mencari cidera. Bila
menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hipotermia.
5) Dilasi lambung – dikompresi.
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma,
khususnya pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi
atau disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya
berupa bradikardi dari stimulasi saraf fagus yang berlabihan.
Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada
penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko
respirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa
menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukan selamh atau pipa kedalam perut melalui hidung atau
mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi
lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik, masih
mungkin terjadi aspirasi.
6) Pemasangan kateter urin
Katerisasi kandung kenving memudahkan penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan
memantau produksi urine. Darah pada uretra atau prostad pada
letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki
merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan keteter uretra
sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra yang utuh.
b. Secondary Survey
Harus segera dapat akses kesistem pembulu darah. Ini paling baik
dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar
(minimun 16 gaguage) sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral
kecepatan aliran berbanding lirus dengan empat kali radius kanul,
dan berbanding terbalik dengan panjangnya (hukum poiseuille).
Karena itu lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat
memasukkan cairan terbesar dengan cepat.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa
adalah lengan bawah atau pembulu darah lengan bawah. Kalau
keadaan tidak memungkunkan pembulu darah periver, maka
digunakan akses pembulu sentral (vena-vena femuralis, jugularis
atau vena subklavia dengan kateter besar) dengan menggunakan
tektik seldinger atau melakukan vena seksi pada vena safena
dikaki, tergantung tingkat ketrampilan dokternya. Seringkali akses
vena sentral didalam situasi gawat darurat tidak bisa dilaksanakan
dengan sempurna atau pu tidak seratus persen steril, karena itu bila
keadaan penderita sedah memungkinya, maka jalur vena sentral ini
harus diubah atau diperbaiki.
Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius
sehubungan dengan usaha penempatan kateter vena sentral, yaitu
pneumo- atau hemotorak, pada penderita pada saat itu mungkin
sudah tidak stabil.Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik
penempatan jarum intra-osseus harus dicoba sebelum
menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang penting
untuk memilih prosedur atau caranya adalah pengalaman dan
tingkat ketrampilan dokternya.
Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah
untuk jenis dan crossmatch, pemerikasaan laboratorium yang
sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada wanita
usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat
ini. Foto torak haris diambil setelah pemasangan CVP pada vena
subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisinya
dan penilaian kemungkinan terjadinya pneumo atau hemotorak.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pola nafas tidak efektif  b/d penurunan ekspansi paru.
b. Perubahan perfusi jaringn b/d penurunan suplay darah ke jaringan.
c. Nyeri b/d trauma hebat.
d. Gangguan keseimbangan cairan b/d mual, muntah.
e. Gangguan pola eliminasi urine b/d Oliguria.
f. Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai
pengobatan.

3. Intervensi dan Implementasi

N DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


O
1. Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Evaluasi frekuensi
nafas tidak keperawatan diharapkan pola pernafasan dan
efektif  b/d nafas klien kembali normal, kedalaman. Catat upaya
penurunan dengan kriteria hasil: pernafasan, contoh
ekspansi paru
- Area paru bersih adanya dispnea,
- Bebas sianosis dan tanda penggunaan alat bantu
atau gejala lain dari nafas
hipoksia dengan bunyi 2. Tinggikan kepala tempat
nafas sama secara tidur, letakkan pada
bilateral posisi duduk tinggi atau
semi fowler
3. Dorong pasien untuk
berpartisipasi selama
nafas dalam, gunakan
alat bantu
(meniupbotol),
danbatuksesuaiindikasi
4. Auskultasi bunyi nafas.
Catat area yang
menurun/ tidak ada
bunyi nafas dan adanya
bunyi tanbahan, contoh
krekels atau ronchi
5. Beri bantuan ventilator
tambahan sesuai
kebutuhan.
6. Kolaborasi :
Catat respon terhadap
latihan nafas dalam atau
pengobatan pernafasan
lain, catat bunyi nafas
(sebelum /sesudah
pengobatan)
2. Perubahan Setelah dilakukan tindakan 1. Awasi tanda vital,
perfusi jaringnkeperawatan diharapkan klien palpasi nadi perifer,
b/d penurunan dapat menunjukkan    perfusi perhatikan kekuatan dan
suplay darah jaringan yang adekuat. kesamaan
kejaringan Dengan kriteria hasil : 2.  Lakukan pengkajian
-  Nadi dapat teraba neurovaskuler periodic,
-  Akral hangat contoh sensasi, gerakan,
nadi, warna kulit dan
suhu.
3.  Berikan tekanan
langsung pada sisi
perdarahan, bilaterjadi
perdarahan. Hubungi
dokter dengan segera
4. Kaji aliran kapiler,
warna kulit dan
kehangatan
5. Kolaborasi
Berikan cairan
IV/produk darah sesuai
indikasi
6. Awasi pemeriksaan
laboratorium, contoh:
Hb/Ht
3. Nyeri b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan imobilisasi
trauma hebat keperawatan diharapkan nyeri pada bagian yang sakit
berkurang / hilang dengan dengan tirah baring,
kriteria hasil : pembebat.
1. TTV (TD, nadi, suhu, RR) 2. Tinggikan dan dukung
dalam batas normal ekstremitas yang terkena
2. Sensasi nyeri berkurang 3. Evaluasi keluhan nyeri,
sampai hilang perhatikan lokasi dan
3.  Menunjukan perasaan karakteristik termasuk
santai dan nyaman dengan intensitas
istirahat yang tepat 4. Dorong menggunakan
teknik manajemen
stress, ex: relaksasi
progresif, latihan nafas
dalam
5. Sedikit adanya keluhan
nyeri yang tidak biasa
atau tiba-tiba
6. Kolaborasi
Berikan obat sesuai
indikasi narkotik dan
analgesik non narkotik
NSAID injeksi (toradol,
flekseril)
Berikan analgesik yang
dikontrol
4. Gangguan Setelah dilakukan  tindakan 1. Awasi tanda vital, CVP
keseimbangan keperawatan diharapkan perhatikan pengisian
cairan b/d menunjukkan perbaikan kapiler dan kekuatan
mual, muntah keseimbangan cairan nadi perifer
2. Awasi pemasukan dan
pengeluaran cairan.
3. Perhatikan karakteristik
dan frekuensi muntah
juga kejadian yang
menyertai atau
mencetusnya.
4. Tingkatkan pemasukan
cairan sampai 3 – 4 liter
/ hari dalam toleransi 
5. Berikan penggantian
cairan IV yang dihitung
elektrolit, plasma,
albumin.
6. Kolaborasi :
Berikan obat sesuai
indikasi : anti emetik,
contoh : proklorparazin
(compazin).
5. Gangguan Setelah dilakukan  asuhan 1. Awasi pemasukan dan
pola eliminasi keperawatan diharapkan klien pengeluaran serta
urine b/d tidak mengalami gangguan karakteristik urin
Oliguria eliminasi urin dengan kriteria 2. Tentukan pola berkemih
hasil: normal pasien dan
1. Berkemih dengan jumlah perhatikan variasi.
normal dan pola biasanya 3. Dorong meningkatkan
2. Tidak mengalami tanda pemasukan cairan yang
obstruksi adekuat
4. Kolaborasi
Pertahankan patensi
kateter tidak menetap
(ureteral, uretra atau
nefrostomi) bila
menggunakan
5. Berikan obat sesuai
indikasi, contoh:
asetazolamid (diamox),
Alupurinol (ziloprim).
6. Irigasi dengan asam atau
larutan alkalis sesuai
indikasi
6. Kurangnya Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji ulang prognosis dan
pengetahuan keperawatan, diharapkan harapan yang akan
b/d kurangnya pasien memahami tentang datang
informasi pengobatan dengan kriteria 2. Tentukan apakah pasien
mengenai hasil sebagai berikut: mengetahui tentang
pengobatan 1. Klien menyatakan kondisi dirinya.
kondisi, prognosis, dan 3. Identifikasi tanda/gejala
pengobatan yang memerlukan
2. Klien dapat evaluasi medik, contoh
melakukan dengan benar perubahan pada sensasi
prosedur yang diperlukan gerakan, warna kulit,
dan menjelaskan alasan 4. Anjurkan penghentian
tindakan merokok
5. Jaga agar klien
mendapatkan informasi
yang benartentang
penyakitnya
6. Peragakan penerapan
terapi yang
diprogramkan.

Daftar Pustaka

1. Adijaya IP. Syok hipovolemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2016.Hal.180-1
2. Kolecki P. Hypovolemic Shock. 1 April 2014. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview. 21 Maret
2012.
3. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS,
Kasper DL. Harrison: prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume
1. Edisi 13. Jakarta: EGC; 2012.Hal.259-62.
4. Mansjoer, A. Kegawatdaruratan; hipotensi dan syok. Dalam: Kapita
Selekta Kedokteran. ed.3. jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. Hal. 610-3.
5. Harijanto E. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta
: PP IDSAI; 2014.Hal.22

Anda mungkin juga menyukai