Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

SINDROM GUILLAIN BARRE

Oleh:

Hana Sulistia, S.Ked


NIM 712021065

Pembimbing:
dr. Hj. Isma Yulianti, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

Judul:
Sindrom Guillain Barre

Disusun Oleh:

Hana Sulistia, S.Ked


NIM 712021065

Telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen SMF Ilmu Penyakit
Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Oktober 2022


Dosen Pembimbing

dr. Hj. Isma Yulianti, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Sindrom Guillain Barre” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen SMF Ilmu Penyakit Saraf di
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. dr. Hj. Isma Yulianti, Sp.S selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen SMF Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang BARI yang telah memberikan masukan, arahan, serta
bimbingan selama penyusunan referat ini.
2. Orang tua dan saudara tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Oktober 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................... 2
1.3.1. Manfaat Teoritis ................................................................................ 2
1.3.2. Manfaat Praktisi ................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1. Sindrom Guillain Barre ............................................................................ 3
2.1.1 Definisi Sindrom Guillain Barre ....................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi Sindrom Guillain Barre .............................................. 3
2.1.3 Etiologi Sindrom Guillain Barre ....................................................... 4
2.1.4 Klasifikasi Sindrom Guillain Barre................................................... 4
2.1.5 Patogenesis Sindrom Guillain Barre ................................................. 6
2.1.6 Manifestasi Klinis Sindrom Guillain Barre....................................... 9
2.1.7 Diagnosis Sindrom Guillain Barre .................................................. 11
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Sindrom Guillain Barre ............................ 13
2.1.9 Tatalaksana Sindrom Guillain Barre ............................................... 13
2.1.10 Diagnosis Banding Sindrom Guillain Barre ................................... 18
2.1.11 Komplikasi Sindrom Guillain Barre ............................................... 18
2.1.12 Prognosis Sindrom Guillain Barre .................................................. 18
BAB III. PENUTUP ............................................................................................ 19
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit pada sistem saraf tepi
yang insidensinya langka. Berdasarkan ringkasan dari American Academy of
Neurology (AAN) guideline on Guillain-Barre syndrome, GBS terjadi pada 1
sampai 4 penderita per 100.000 populasi di seluruh dunia per tahunnya,
menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga membutuhkan ventilator,
4%-15% kematian, 20% kecacatan, dan kelemahan persisten pada 67%
penderita. GBS dapat diderita baik pria maupun wanita, berbagai usia, dan
tidak dipengaruhi oleh ras. Akan tetapi, kejadian GBS sebelumnya
menunjukkan bahwa penderita pria lebih banyak 1,5 kali dibanding wanita,
lebih sering terjadi pada pria berwarna kulit putih, dan angka insiden tertinggi
pada usia sekitar 30-50 tahun (usia produktif).1
GBS terjadi karena adanya rangsang pada sistem imun, meskipun
patogenesis yang pasti masih belum diketahui. Faktor risiko yang diduga
berkaitan dengan penyakit ini yaitu adanya riwayat infeksi bakteri atau virus.
Infeksi bakteri Campylobacter jejuni dilaporkan paling sering berasosiasi
dengan GBS. Infeksi yang disebabkan virus antara lain oleh
Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, atau virus influenza. Selain faktor
risiko infeksi, pemberian vaksin juga dilaporkan menjadi salah satu faktor.1
GBS memiliki merupakan penyakit autoimun dimana sistem imun dari
penderita menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan kerusakan pada
sel saraf. Gejala penyakit ini merupakan kelemahan dan kelumpuhan yang
dapat berlangsung selama beberapa minggu dan mencapai puncak gejala
dalam 2-4 minggu. Penyakit ini mampu menyebabkan komplikasi yang fatal
apabila sistem saraf otonom dan sistem pernapasan terlibat. Masyarakat
awam relatif memiliki pengetahuan yang minim terhadap penyakit ini bahkan
ada yang belum mengetahuinya. Onset penyakit yang akut dan berprogresif
menuntut penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu perlu

1
pemahaman tentang upaya untuk mendeteksi dini, pengobatan, serta upaya
rehabilitasi sehingga penatalaksanaan yang dilakukan menjadi optimal. 1

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan dokter muda dapat memahami mengenai penyakit Sindrom
Guillain Barre.
2. Diharapkan dokter muda dapat mengaplikasikan pemahaman yang
didapat mengenai penyakit Sindrom Guillain Barre selama menjalani
kepaniteraan klinik dan seterusnya.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1. Manfaat Teoritis
1. Bagi Institusi
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu
penyakit saraf terutama mengenai penyakit Sindrom Guillain
Barre.
2. Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu
penyakit saraf terutama mengenai penyakit Sindrom Guillain
Barre.

1.3.2. Manfaat Praktisi


Diharapkan dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari referat ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior
(KKS) dan diterapkan dikemudian hari dalam praktik klinik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Sindrom Guillain Barre


2.1.1 Definisi Sindrom Guillain Barre
Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah penyakit sistem
saraf yang dimediasi oleh respon imun, beronset akut atau
subakut, dan biasanya ditandai dengan kelemahan progresif dari
ekstremitas, parestesia ekstremitas, dan arefleksia relatif atau
komplit. GBS dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu
oleh infeksi bakteri atau infeksi virus antesenden, yang paling
sering yaitu infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi saluran
pencernaan. Campylobacter jejuni sebagai bakteri yang paling
berasosiasi dengan GBS, ditemukan pada 25 – 50% pasien
dewasa dengan frekuensi tinggi di negara-negara Asia.1

2.1.2 Epidemiologi Sindrom Guillain Barre


Meskipun jarang terjadi, tetapi ada laporan yang
menyatakan bahwa vaksinasi dan operasi dapat memicu GBS.
Pada tahun 1976 ketika vaksinasi untuk virus influenza A H1N1,
terdapat 1 dari 100.000 orang yang mengalami GBS. Kemudian
pada tahun 2009 terdapat 1-6 kasus per 1.000.000 orang yang
diberikan vaksin.1
GBS adalah neuropati demielinasi yang paling sering
terjadi, dengan angka insiden 0,6 hingga 1,9 kasus dalam
100.000 populasi. Insiden meningkat bertahap seiring
meningkatnya usia, namun penyakit ini dapat terjadi pada semua
umur. Laki-laki dan perempuan secara setara terpengaruh oleh
penyakit ini. Insiden meningkat pada pasien dengan penyakit
hodgkin, dan juga pada pasien hamil atau pasien dengan

3
tindakan bedah umum.2

2.1.3 Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB antara lain infeksi, vaksinasi,
pembedahan. Penyakit sistematik seperti keganasan, systemic lupus
erythematosus, tiroiditis. Penyakit addison serta kehamilan atau
dalam masa nifas. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi
akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan
infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal.3

2.1.4 Klasifikasi GBS


Klasifikasi GBS berdasarkan jenis, gejala klinis dan
patofisiologinya dapat dilihat pada tabel berikut: 4,5
No Jenis Gejala Klinis Patofisiologi
1. AIDP (Acute Demielinisasi saraf Terjadi karena
Inflammatory motorik akibat makrofag menginvasi
Demyeliniting inflamasi, kerusakan selubung mielin
Polyradiculon akson sehingga menyebabkan
europathy) akson tidak
terselubung
2. AMAN (Acute Adanya gejala pada Makrofag menginvasi
Motor Axonal sistem respirasi akibat nodus Ranvier, masuk
Neuropathy) terganggunya saraf di antara akson dan
motorik pernapasan, aksolemma sel
degenerasi aksonal Schwann sehingga

4
primer membuat selubung
mielin menjadi intak
3. AMSAN Adanya gejala Hampir sama dengan
(Acute Motor disfungsi pernapasan AMAN dengan
and Sensory karenasaraf motorik keterlibatan jaras
Axonal dan sensorik ventral dan dorsal
Neuropathy) mengalami gangguan,
adanya degenerasi
aksonal primer dengan
prognosis buruk
4. MFS (Miller Oftalmoplegia, Sistem konduksi yang
Fisher ataksia, arefleksia abnormal akan tetapi
Syndrome) penyebabnya masih
belum jelas
5. APN (Acute Dapat disertai Kegagalan sistem saraf
Pandysautono ensefalopati (jarang) simpatis dan
mic parasimpatis
Neuropathy)

5
Gambar 1. AMAN yang disebabkan oleh Campilobacter 6

2.1.5 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor
lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Sindrom
Guillain Barre masih belum diketahui secara pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti

6
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 6
1. Didapatkannya antibody atau adanya respon kekebalan seluler
(celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf
tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Sindrom Guillain Barre
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang
dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.6

Gambar 2. Patogenesis dan Fase Klinikal Dari GBS

7
Gambar 3. Lokasi GBS yang Menyerang Sistem Nervus Perifer

Peran imunitas seluler


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit
berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang
mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi
pada saraf tepi, antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4)
melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain
akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan
pada limfosit T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2),
gamma interferon serta TNF-a.6
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease
yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF
dan komplemen.6

8
2.1.6 Manifestasi Klinis
Gejala neurodefisiensi biasanya muncul dalam 2-28 hari
pertama dari perjalanan penyakit. Relaps sering terjadi setelah
infeksi atau vaksinasi, bahkan bertahun-tahun (4-36) setelah episode
pertama.6
Gejalanya dapat berupa:6
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang
ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian
bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot
proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh
juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan
ventilasi.

2. Keterlibatan saraf cranial


Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien
dengan Sindrom Guillain Barre. Saraf kranial III-VII dan IX-XII
mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah drop (bisa menampakkan palsy Bell),
Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta
gangguan pada pupil.
Kelemahan waiah dan orofaringeal biasanya muncul setelah
tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari
Sindrom Guillain Barre adalah yang paling unik karena subtipe
ini dimulai dengan defisit saraf kranial.

9
3. Perubahan Sensorik
Geiala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus,
kehilangan sensori cenderung minimal dan variabel.
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau
perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan
ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak
melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.
Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir.

4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan
Sindrom Guillain Barre, 89% pasien melaporkan nyeri yang
disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,
punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan
sedikit gerakan.
Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50%
dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias
sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau
sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah
daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tapa
batas waktu pada 5-10% pasien. Sindrom nyeri lainnya yang
biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai
berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait
dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus
dekubitus).

10
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam
sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien
dengan GB. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut;
Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal,
Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,
karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.

6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki
kelemahan pernafasan atau orofaringeal.
Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai
berikut: dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan,
bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan
pernapasan biasa teriadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes: 7
0 : Sehat
1 : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan
pekerjaan manual
2 : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat
melakukan pekerjaan manual
3 : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5 : Membutuhkan bantuan ventilasi
6 : Kematian

2.1.7 Diagnosis GBS


Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik dibantu dengan pemeriksaan penunjang
laboratorium. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pemeriksaan

11
neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis
dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF
(cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya
kenaikan protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat menunjukkan
hasil normal pada 48 jam pertama onset GBS. Kenaikan akan terjadi
pada akhir minggu kedua sampai mencapai puncak dalam 4 -6
minggu.1
Pemeriksaan elektrofisiologis dilakukan menggunakan
Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV).
NCV akan menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam
aktivitas otot sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan
respon saraf.1
Kriteria diagnosis GBS yang sering dipakai adalah kriteria
menurut Gilroy dan Meyer, yaitu jika memenuhi lima dari enam
kriteria berikut:
1. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan
simetris yang dapat disertai oleh paralysis facialis bilateral.
2. Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih
ringan dari kelumpuhan motoris.
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna
terjadi dalam waktu 6 bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif
dimulai pada minggu kedua dari paralisis, dan tanpa atau
dengan pleositosis ringan (disosiasi sito albuminemik)
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama
berlangsungnya kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai
dengan kenaikan laju endap darah.1

12
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada Sindrom Guillain Barre sebagai
berikut:6
1. Pemeriksaan LCS
Pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein
(1 - 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini
oleh Guillain disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama
penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar
protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menuniukkan
jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).

2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan
puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke
tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala.
MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equine yang
bertambah besar.

2.1.9 Tatalaksana
Plasmapharesis lebih awal dan terapi IVIG terbukti berguna
pada pasien GBS. Pemberian glukokortikoid tidak memendekkan
perjalanan penyakit ataupun memperngaruhi prognosis. Bantuan
nafas mekanik kadang dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi

13
makanan atau isi lambung harus dilakukan jika otot orofaring
terganggu. Paparan pada keratitis harus dicegah pada pasien dengan
diplegia wajah. Perawatan kegawatdaruratan pada GBS termasuk
monitoring respirasi dan kardiovaskular secara ketat. Bisa
didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi.2
Plasma exchange dan imunoglobulin intravena bisa menjadi
terapi yang efektif, namun pasien bisa membutuhkan intubasi dan
perawatan intensif yang lebih lama. Setelah keluar rumah sakit,
terapi selama rawat jalan dan terapi lewat aktivitas sehari-hari dapat
memberikan perbaikan pada pasien GBS untuk meningkatkan status
fungsional mereka. Sekitar setengah dari semua pasien penderita
GBS mengalami neuropati residual jangka panjang yang
mempengaruhi serabut syaraf bermyelin baik dengan ukuran besar
maupun sedang. Secara keseluruhan, pasien yang menderita GBS
cenderung berkurang kualitas hidup maupun fungsi fisiknya. Pada
kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami rekurensi GBS. 2
1. ABCs, Intubasi, and Monitoring
Perawatan sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan
sindroma Guillain-Barre (GBS) membutuhkan perhatian yang
ketat pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABCs).
Indikasi pemberian oksigen dan bantuan pernafasan dapat
ditemukan, bersamaan dengan pemasangan infus untuk
administrasi intravena. Petugas medis kegawatdaruratan harus
memonitor aritmia jantung dan mentransport pasien dengan
secepat mungkin. Pada departemen kegawatdaruratan (ED),
ABCs, IV, oksigen, dan bantuan pernafasan dapat tetap
terindikasi untuk dilanjutkan. Intubasi harus dilakukan pada
pasien yang mengalami kegagalan nafas derajat berapapun.
Indikator klinis untuk intubasi pada ED termasuk hipoksia,
fungsi respirasi yang menurun dengan cepat, batuk yang lemah,

14
dan curiga adanya aspirasi. Pada umumnya, intubasi terindikasi
pada saat Forced vital capacity (FVC) kurang dari 15 ml/kg. 2
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui
perubahan tekanan darah, denyut jantung, dan aritmia. Terapi
jarang dibutuhkan untuk takikardia. Atropine direkomendasikan
untuk bradikardi simptomatik. Karena adanya labilitas dari
disautonomia, hipertensi paling baik diterapi dengan agen yang
bekerja jangka pendek, seperti beta-blocker jangka pendek atau
nitroprusside. Hipotensi dari diautonomia biasanya merupakan
respon yang timbul pada cairan intravena dan pemposisian
supinasi. Pacing secara temporer dapat dibutuhkan pada pasien
heart block derajat dua dan tiga. Konsultasikan dengan spesialis
neurologi jika ada ketidakpastian dan ketidakyakinan dalam
diagnosis. 2
Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi butuh tidaknya
untuk dimasukkan ke ICU. Keputusan untuk melakukan intubasi
pada pasien GBS ditentukan berdasarkan kasus. Seperti kelainan
neuromuskular lain dengan potensi kelemahan diafragmatika,
tanda-tanda kolaps respiratori termasuk takipnea, penggunaan
otot-otot tambahan inspirasi, negative inspiratory force (NIF)
kurang dari 20 atau forced vital capacity (FVC) kurang dari
15cc/kg merupakan indikator untuk melakukan intubasi dan
pemberian ventilasi artifisial. Namun demikian, parameter
tersebut tidak dapat digunakan sekiranya adanya kelemahan
fasial dan ketidakmampuan untuk melakukan pengiraan pada
instrumen yang digunakan untuk mengukur. Sekresi tidak dapat
dikeluarkan dan resiko aspirasi merupakan indikasi lain untuk
intubasi, kelemahan pada tungkai biasanya merupakan petanda
awal bahwa adanya keterlibatan komponen respiratori. 2

15
2. Plasma Exchange and Imunoglobulin
Hanya terapi pertukaran plasma (PE) dan imunoglobulin
intravena (IVIG) yang terbukti efektif untuk sindroma Guillain-
Barre (GBS). Terapi tersebut dapat mengurangi produksi
autoantibodi dan meningkatkan kelarutan kompleks imun serta
melepaskan kompleks imun. Keduanya telah dibuktikan dapat
mempersingkat waktu penyembuhan hingga 50%. IVIG
administrasinya lebih mudah dan lebih sedikit komplikasinya
dibandingkan PE. Ditinjau dari harga dan efektivitas relatif
sama. 2
Pada penelitian randomized yang meneliti GBS yang parah
menunjukkan bahwa IVIG yang dimulai 4 minggu setelah onset
mempercepat proses penyembuhan yang hampir setara dengan
plasma exchange. Menggbungkan PE dengan IVIG tidak dapat
meningkatkan outcome ataupun lebih memendekkan durasi
penyakit. IVIG juga ditemukan lebih aman dan efektif pada
pasien pediatri dengan GBS. 2
Selain itu, IVIG adalah terapi yang lebih cocok pada pasien
dengan ketidakstabilan hemodinamik dan pada pasien yang
memiliki keterbatasan ambulansi (transportasi). Beberapa bukti
menunjukkan pada pasien yang tidak merespon pada IVIG pada
dosis inisial, dapat memberikan perbaikan pada pemberian dosis
kedua. Bagaimanapun hal ini masih belum menjadi standar
terapi dan perlu dilakukan penelitian lebih jauh terkait masalah
ini. 2
IVIG diterapkan dalam regimen 2 g/kgbb, biasanya 0,4
g/kgbb perhari selama lima hari berturut-turut. IVIG telah
menggantikan PE sebagai pengobatan pilihan di banyak pusat,
terutama karena kenyamanan dan ketersediaannya yang lebih
besar.2

16
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak efektif sebagai monoterapi. Menurut
bukti bertingkat sederhana (moderate-quality evidence),
pemberian kortikosteroid sendiri tidak mempercepat
penyembuhan dari GBS atau mempengaruhi hasil jangka
panjang secara signifikan. Menurut bukti bertingkat rendah
(low-quality evidence), pemberian kortikosteroid secara oral
akan menunda penyembuhan. Diabetes yang membutuhkan
insulin secara signifikan lebih umum dan hipertensi dengan
pemberian kortikosteroid adalah tidak umum. Steroid oral dan
metilprednisolon intravena 500 mg/hari selama lima hari. Ada
bukti kuat yang menunjukkan bahwa pemberian
metilprednisolon secara IV tidak memberikan manfaat maupun
bahaya yang signifikan. Pemberian methilprednisolon secara IV
secara kombinasi dengan IVIG, dapat mempercepat
penyembuhan namun tidak signifikan untuk hasil jangka
panjang. 2

4. Manajemen Nyeri
Analgesik sederhana atau obat NSAID (nonsteroidal anti-
inflammatory) dapat digunakan namun tidak dapat memberikan
efek analgesik yang cukup. Dalam sebuah penelitian kecil yang
rawak, penggunaan gabapentin atau carbamazepine di unit
perawatan intensif untuk manajemen selama fase akut dari GBS
telah didukung. Terapi tambahan dengan antidepresan trisiklik,
tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexiletine mungkin
dapat membantu dalam pengelolaan nyeri neuropatik jangka
panjang.2

17
2.1.10 Diagnosis Banding
a. Poliomielitis
Terjadi kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan gangguan
sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan cairan
cerebrospinal pada fase awal tidak normal dan dipatkan
peningkatan jumlah sel.6

b. Myositis akut
Ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan
kenaikan kadar CK (Creatinin Kinase), dan pada cairan
serebrospinal normal.6

2.1.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal nafas, aspirasi
makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan
resiko terjadinya infeksi, thrombosis vena dalam, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. 6

2.1.12 Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik,
tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau
mempunyai gejala sisa.6

18
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah penyakit sistem saraf yang
dimediasi oleh respon imun, beronset akut atau subakut, dan biasanya
ditandai dengan kelemahan progresif dari ekstremitas, parestesia
ekstremitas, arefleksia relatif atau komplit, rasa nyeri berdenyut, dan
dispnea. Penegakan diagnosis GBS berdasarkan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologis sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis
dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan cerebrospinal fluid untuk
melihat kenaikan kadar protein dan jumlah sel.
Plasmapharesis lebih awal dan terapi IVIG terbukti berguna pada
pasien GBS. Komplikasi yang terjadi adalah gagal nafas, aspirasi
makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, trombosis vena dalam,
paralisis, kontraktur sendi. Prognosis GBS umumnya baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyu, Fadlan Fadilah. 2018. Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka


Beronset Akut yang Mengancam Nyawa. Medula Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung.
2. Kurniawan, S. N. 2013. Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan II Neurologi Malang. 2013. PT Danar Wijaya,
Malang. p27-42.
3. Seneviratne U MD(SL), MRCP. 2013. Guillain-Barre Syndrome:
Clinicopathological Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement
of Neurology, National Neuroscience Institute, SGH Campus.
4. Mayo Clinic, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: Mayo Clinic; 2017
Tersedia dari: http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/guillain-
barresyndrome/basics/definition/con-20025832.
5. NIH, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: NIH; 2017. Tersedia dari:
https://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs /detail_gbs.htm.
6. Fitriany, Julia dan Heriyani, Netty. 2018. Sindrome Guillain Barre.
J.Ked.N.Med. Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh. Diakses pada
http://www.jknamed.com/jknamed/article/view/7/8
7. Mumenthaler and Mattle. Fundamental of Neurology. Thieme. 2006. Page
146-147.

20

Anda mungkin juga menyukai