Anda di halaman 1dari 6

EPIDEMIOLOGI GBS

GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negara–negara berkembang dan merupakan


penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa
meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki – laki dari pada
perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin
juga berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit
febris ringan 2-3 minggu sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau
gastrointestinal (Price, 2006).
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari
50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Tiga puluh persen% penderita
ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan
meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh
sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal,
seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan
koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10%
diantaranya beresiko mengalami relaps (Price, 2006).

Sumber : Price, Sylvia A; Lorraine. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Ed 6. Jakarta : EGC.

PATOFISIOLOGI
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasinya
terjadi demielinisasi akut pada Guillain-Barre Syndrome masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah (Mahar dan
Priguna, 2000) :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antobodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain-Barre Syndrome dipengaruhi oleh respon imunitas
humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada Guillain-Barre Syndrome,
gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh
mengaktivasi terjadinya kerusakan pada mielin. Alasan mengapa komponen normal dari
serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus
dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus
infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson.
Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid
GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang
menginisiasi imunitas humoral maka sel T merespon dengan adanya infiltrasi limfosist ke
spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya
proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf (Mahar dan Priguna, 2000).
Sumber : Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. 2000. Sindroma Guillain Barre: Neurologi Klinis
Dasar. Cetakan kedelapan. Jakarta: Dian Rakyat

TATA LAKSANA (Price, 2006)


Tidak ada obat untuk Guillain-Barre Syndrome. Pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala,
mengobati komplikasi, dan mempercepat pemulihan.
Pada tahap awal dari penyakit, pengobatan yang disebut apheresis atau plasmapheresis dapat
diberikan. Perawatan ini melibatkan menghapus atau memblokir protein (antibodi) yang
menyerang sel-sel saraf. Pengobatan lain membantu mengurangi peradangan. Ketika gejala
yang parah terjadi, pengobatan di rumah sakit akan dibutuhkan. Pengobatan yang lainnya
berfokus untuk mencegah komplikasi:
 Pengencer darah dapat digunakan untuk mencegah pembekuan darah.
 Jika diafragma lemah, napas bantuan atau bahkan tabung pernapasan dan ventilator mungkin
diperlukan.
 Nyeri diobati dengan obat nyeri atau obat-obatan lainnya.
 Posisi tubuh yang tepat atau tabung makan dapat digunakan untuk mencegah tersedak saat
makan jika otot-otot yang digunakan untuk menelan yang lemah.
 Terapi fisik membantu menjaga sendi dan otot yang sehat.
Sumber : Price, Sylvia A; Lorraine. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Ed 6. Jakarta : EGC.

MENGAPA PASIEN MENGELUH SUSAH NAFAS?


Keluhan sesak napas pasien mungkin terjadi karena Guillain-Barre Syndrome itu sendiri. Bila
sudah terjadi peradangan pada Guillain-Barre Syndrome dan mempengaruhi saraf diafragma dan
dada dan ada kelemahan pada otot-otot, maka orang tersebut mungkin akan mengalami sesak
napas dan membutuhkan bantuan pernapasan (Walling dan Dickson, 2013).

Sumber : Walling AD, Dickson G. 2013. Guillain-Barre syndrome. Am Fam Physician. Pg


87:191-197

TATALAKSANA DAN PROGNOSIS PASIEN


1. Tatalaksana Suportif GBS (Hughes et al., 2003)
Tatalaksana suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan menangani akibat dari
imobilisasi dan keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital. Manajemen suportif meliputi:
a. Pengukuran kapasitas vital. Jika kapasitas vital 12-15 ml/kgBB maka diperlukan intubasi,
sedangkan kapasitas 15-19 ml/kgBB memerlukan intubasi apabila terdapat paralisis bulbar.
b. Spirometri insentif untuk mencegah atelektasis.
c. Pembersihan bronkus dan bantuan batuk.
d. Rontgen toraks satu kali per minggu atau lebih sering.
e. Pemeriksaan albumin, natrium, nitrogen urea, dan kalsium serum setiap dua minggu.
f. Pemeriksaan urinalisis setiap minggu
g. Profilaksis emboli paru menggunakan 5000 unit heparin dua kali sehari.
h. Pemeriksaan peristaltik
i. Profilaksis perdarahan gastrointestinal menggunakan antasida yang mengandunmagnesium
30-120 ml atau sukralfat.
j. Profilaksis dekubitus dengan perubahan posisi secara berkala dan penggunaan matras
antidekubitus
k. Tidak menggunakan antibiotik profilaksis. Infeksi paru atau saluran kemih ditatalaksana
dengan antibiotik setelah ada hasil kultur dan resistensi kecuali terdapat septicemia.
l. Pemberian diet kaya serat melalui tube nasogastrik apabila proses menelan terganggu.
m. Tatalaksana nyeri, gangguan tidur, dan komplikasi psikiatri
n. Pembatasan flebotomi antekubital apabila direncanakan plasmafaresis.

2. Terapi utama

Kombinasi metilprednisolon intravena (0,5 gram/hari) dan immunoglobulin intravena


(0.4 gram/kg berat badan/hari) selama lima hari (Seneviratne, 2000).

PROGNOSIS (Andary, 2012)

Prognosisnya baik. Walaupun 2-12% pasien meninggal akibat komplikasi yang


berhubungan dengan GBS. Angka kematian kurang dari 5 % pada managemen perawatan medis
yang baik. Penyebab kematian termasuk sindrom gangguan pernapasan akut, sepsis, pneumonia
penyakit tromboemboli vena dan serangan jantung.

Data survei menunjukkan bahwa pasien berusia 60 tahun atau lebih memiliki resiko kematian 6
kali lipat dari orang yang berusia 40-59 tahun dan 157 kali lipat dari pasien yang lebih muda dari
usia 15 tahun. Laki-laki memiliki tingkat kematian 1,3 kali lebih besar daripada wanita.

Kebanyakan pasien (hingga 85%) dengan GBS mencapai pemulihan penuh dan fungsional dalam
waktu 6-12 bulan. Pemulihan maksimal 18 bulan. Perkiraan menunjukkan 15-20% dari pasien
mengalami defisit residual moderat, dan 1-10% sisanya mengalami kecacatan.

Pasien mungkin mengalami kelemahan terus-menerus, areflexia, ketidakseimbangan, atau


kehilangan sensori. Sekitar 7-15% dari pasien mengalami gejala sisa neurologis permanen
termasuk footdrop bilateral, pengecilan otot tangan intrinsik, ataksia sensorik, dan dysesthesia.
Pasien juga mungkin menunjukkan perbedaan jangka panjang dalam intensitas nyeri, kelelahan,
dan gangguan fungsional dibandingkan dengan kontrol yang sehat.
Sumber : Hughes RAC et al. Practice parameter:immunotherapy for Guillain-Barre Syndrome:
Report of the quality standards subcommitee of the American Academy of Neurology. Neurology
2003; 61:736
Seneviratne, Udaya. Guillain Barre syndrome. Postgrad Med Journal 2000;76:774-782.
Andary,MichaelT. 2012. Guillain-Barre Syndrome. Di unduh dari :
http://emedicine.medscape.com pada tanggal 2 Desenber 2014 pukul 22.00 WIB

GANGGUAN SENSORIK
Keluhan gangguan sensorik dapat berupa :
1. Pasien merasakan kesemutan atau baal (parestesi)
2. Pasien merasakan nyeri pada rangsang yang tidak nyeri (disestesi/painful parestesi)
3. Pasien kurang peka terhadap rangsangan nyeri (hipestesi)
4. Pasien terlalu peka terhadap rangsangan nyeri (hiperestesi)
5. Modalitas sensorik normal tetapi tidak bisa mengenal benda pada perabaan tangan (astereognosis)
Sumber : Sulistyoningrum E. Pemeriksaan Sensorik, Posisi, Keseimbangan Dan Koordinasi. FK UNSOED.
2011.

Anda mungkin juga menyukai