Sumber : Price, Sylvia A; Lorraine. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Ed 6. Jakarta : EGC.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasinya
terjadi demielinisasi akut pada Guillain-Barre Syndrome masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah (Mahar dan
Priguna, 2000) :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antobodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain-Barre Syndrome dipengaruhi oleh respon imunitas
humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada Guillain-Barre Syndrome,
gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh
mengaktivasi terjadinya kerusakan pada mielin. Alasan mengapa komponen normal dari
serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus
dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus
infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson.
Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid
GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang
menginisiasi imunitas humoral maka sel T merespon dengan adanya infiltrasi limfosist ke
spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya
proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf (Mahar dan Priguna, 2000).
Sumber : Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. 2000. Sindroma Guillain Barre: Neurologi Klinis
Dasar. Cetakan kedelapan. Jakarta: Dian Rakyat
2. Terapi utama
Data survei menunjukkan bahwa pasien berusia 60 tahun atau lebih memiliki resiko kematian 6
kali lipat dari orang yang berusia 40-59 tahun dan 157 kali lipat dari pasien yang lebih muda dari
usia 15 tahun. Laki-laki memiliki tingkat kematian 1,3 kali lebih besar daripada wanita.
Kebanyakan pasien (hingga 85%) dengan GBS mencapai pemulihan penuh dan fungsional dalam
waktu 6-12 bulan. Pemulihan maksimal 18 bulan. Perkiraan menunjukkan 15-20% dari pasien
mengalami defisit residual moderat, dan 1-10% sisanya mengalami kecacatan.
GANGGUAN SENSORIK
Keluhan gangguan sensorik dapat berupa :
1. Pasien merasakan kesemutan atau baal (parestesi)
2. Pasien merasakan nyeri pada rangsang yang tidak nyeri (disestesi/painful parestesi)
3. Pasien kurang peka terhadap rangsangan nyeri (hipestesi)
4. Pasien terlalu peka terhadap rangsangan nyeri (hiperestesi)
5. Modalitas sensorik normal tetapi tidak bisa mengenal benda pada perabaan tangan (astereognosis)
Sumber : Sulistyoningrum E. Pemeriksaan Sensorik, Posisi, Keseimbangan Dan Koordinasi. FK UNSOED.
2011.