Anda di halaman 1dari 50

Askep

Nunung F. Sitepu
Definisi
• Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang
lambat laun menjadi paralitik dengan
penyebab yang belum jelas, namun teori saat
ini mulai terarah pada proses imunologik.
• Merupakan peradangan neuritis demielinasi
(disebut juga polineuropati) progresif dan
akut yang mengenai sistem saraf perifer.
• Gangguan kelemahan neuromuskular akut
yang memburuk secara progresif yang dapat
mengarah pada kelumpuhan total tetapi
biasanya paralisis sementara.
Etiologi
Belum diketahui, diduga oleh karena :

a. Infeksi : misal radang tenggorokan atau radang


lainnya.
b. Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza
A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono
nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie).
c. Vaksin : rabies, swine flu.
d. Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia,
Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter
jejuni
d. Keganasan
TANDA DAN GEJALA

Gejala pertama biasanya kesemutan atau mati


rasa yang dimulai dari jari-jari kaki dan tangan.
Kaki terasa berat dan kaku, lengan terasa
lumpuh dan dan tangan tidak bisa menggenggam
atau memindahkan benda dengan tepat.
Gejala ini bisa menghilang dalam waktu satu
minggu atau dua minggu tanpa membutuhkan
perawatan di rumah sakit.
Komplikasi
a. Gagal nafas, dengan f. Aritmia jantung
ventilasi mekanik
g. Retensi urin
b. Aspirasi
h. Masalah psikiatrik,
c. Paralisis otot persisten
seperti depresi dan
d. Hipo ataupun
hipertensi ansietas
e. Tromboemboli, i. Nefropati, pada
pneumonia, ulkus penderita anak
j. Ileus
Insiden
Terutama di Negara – Negara berkembang dan merupakan
penyebab tersering dari paralysis akut.

Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat


pada kelompok umur 45-64 tahun.

Lebih sering dijumpai pada laki – laki daripada perempuan.


Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000
penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului
dengan infeksi saluran nafas atas.

Selain yang disebutkan diatas penyakit ini dapat pula timbul oleh
karena infeksi cytomegalovirus, epster-barr virus, enterovirus,
mycoplasmadan dapat pula oleh post imunisasi .
3 tahap pada keadaan akut GBS:
1. The initial period (1-3 minggu), dimulai pada
onset pertama dari gejala yang nyata dan berakhir
ketika tidak terjadi keadaan yang memburuk.
2. The plateu period (beberapa hari sampai 2 minggu).
3. The recovery period (4-6 bulan) bersamaan dengan
remyelinisasi dan regenerasi aksonal
- Klien yang mengalami injury pada akson
memerlukan rehabilitasi yang intensive mungkin
lebih dari 2 tahun penyembuhan tidak terjadi dengan
baik maka disebut sebagai GBS kronik.
Initial Onset
 Pada awalnya biasanya muncul gejala-gejala yang terjadi secara
mendadak,yaitu adanya parathesia (hilang rasa), nyeri dan atau
kekauan dari anggota badan yang diikuti dengan kelemahan anggota
badan.
 Pasien-apsien ini tidak hanya menderita kelemahan dan
parathesia,namun juga terjadi kelembekan dan nyeri otot. Hal ini
seperti apabila kita tidur dengan tangan tertekan sepanjang malam
sehingga saat bangun tangan kita terasa kaku, parathesia, terasa
lumpuh dan nyeri.
 Pasien mungkin tidak menjadi lebih buruk dan hanya menderita GBS
ringan, namun bagaimana pun tahap ini dapat terjadi sampai 3
minggu dan pasien menjadi semakin lemah dan mengakibatkan:
arefleksia (tidak ada reflek), menurunnya atau tidak berfungsinya
otot-otot diafragma dan intercosta, hilangnya sensani secara total,
quadraplegia penuh.
Continue…
 The Plateu Stage (tahap Mendatar)
Pada tahap ini tidak terjadi kemerosotan
atau penambahan gejala. Tahap ini dapat
berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.
Recovery Stage (tahap penyembuhan)
 Terjadi remyelinisasi dan penambahan
konduksi. Hal ini dapat terjadi dari 4 bulan
sampai 3 tahun.
Patofisiologi

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh


kelainan system imun ewat mekanisme limfosit
medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody
mediated demyelinisation. Masih diduga,
mekanismenya adalah limfosit yang berubah
responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag
ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin
diserang sehingga selubung myelin terlepas dan
menyebabkan system penghantaran implus
terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin
saraf perifer, maka semua saraf perifer dan
myelin saraf perifer, maka semua saraf dan
cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus.
Kelemahan atau hilangnya system sensoris
terjadi karena blok konduksi atau karena axor
telah mengalami degenerasi oleh karena
denervasi.
Proses remyelinisasi biasannya dimulai
beberapa minggu setyelah proses keradangan
terjadi.
3 Fase Perjalanan penyakit GBS
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya
gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik
nadir’. Nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik.
2. Fase plateau.
 Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Lakukan monitoring tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status
generalis.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita sangat
lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi.
3. Fase penyembuhan .
Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi.
Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita
untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi.
Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6
bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang
terjadi pada fase infeksi.
Penatalaksanaan

 Ventilasi mekanis untuk kegagalan pernapasan

 Fisiotherapi
dada dan penghisapan endotrakeal
apabila kemampuan untuk batuk hilang dan sekresi
mulai terkumpul di paru-paru
 Pemasangan selang nasogastrik untuk pemberian
makanan, bila pasien tidak dapat menelan

 Analgesik untuk mengatasi rasa nyeri, selama


periode penyembuhan.
Penatalaksanaan

• Tujuan utama perawatan GBS adalah untuk


memberikan pemeliharaan system tubuh, menatasi
krisis yang mengancam jiwa dan mencegah
komplikasi dan infeksi, memberikan dukungan
psikologis pada pasien dan keluarga.
• Jika Respirasi terkena dibutuhkan ventilasi
mekanik, perlu dilakukan trakeostomi jika pasien
tidak dapat disapih dari ventilasi mekanik. Gagal
nafas harus diantisipasi karena tidak jelas sejauh
mana para lisis akan terjadi. Jika saraf otonom
yang terkena akan terjadi perubahan drastic dalam
tekanan darah dan frekuensi jantung sehingga
harus dipantau secara ketat.
Perawatan umum
 Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder),
traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan
kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan
(nutrition and fluid balance)
Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus
secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2
menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15
1/menit.
 Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan
cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk
ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi
kelainan ritme : cheyne-stoke.
Cont”
 Terapi fisik untuk memulihkan kekuatan otot,
dimulai bila px menunjukan tanda-tanda
pemulihan
 Plasmaferesis (pertukaran plasma untuk
tujuan terapeutik)
 Pemberian penyekat-beta untuk mengatasi
hipertensi
 Pemantulan EKG secara terus-menerus
 Terapi intravena untuk meningkatkan volume
cairan dan memperbaiki hipotensi
Cont”
• Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dalam
pasien GBS. Beberapa obat dapat memberikan
penyembuhan sementara. Narkotik dapat
diberikan pada malam hari jika pasien tidak dapat
mengkompensasi secara marginal karena norkotik
dapat meningkatkan gagal nafas. Biasanya pasien di
intubasi kemudian diberikan narkotik.
• Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan, jika
tidak mampu makan peroral dapat dipasang NGT
tetapi harus dipantau terjadinya infeksi, diare dan
keseimbngan elektrolit pasien.
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre
 Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), GBS yang
paling banyak ditemukan, disebabkan oleh respon autoimun
yang menyerang membrane sel Schwann.
 Sindroma Miller Fisher (MFS), varian GBS yang jarang
terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens,
berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya
mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias
gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.
 Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma
paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering
terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit
ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan
cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-
GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
• Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip
dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer,
namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan
akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak
sempurna.
• Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang
paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang
tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
• Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh
onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran,
hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff,
1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat
monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas
dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons,
midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun
prognosis BBE cukup baik.
Diagnosa Banding

 Miastenia gravis akut


 Thrombosis arteri basilaris
 Botulisme
 Paralisis Periodik
 Porfiria intermiten akut
 Tick Paralysis
 Porfiria intermiten akut
 Neuropaty akibat logam berat
 Cedere medulla spinalis
 Poliomyelitis
 Mielopathy cervikal
 Manifestasi Klinik
 1. Landry, 1859
 Pertama kalimenemukan GBS dengan
gejala:
 * Kelumpuhan keempat anggota badan
 * Kelumpuhan otot intercosta dan
diafragma
 * Kelemahan otot leher / batang tubuh
 * Gangguan sensibilitas disertai
parasthesia
Continue…
2. Guillain Barred
• Dua kasus gangguan motorik ekstrimitas
bagain distal
• Reflek tendo hilang
• Gangguan sensibilitas
 Kelainan LCS (paningkatan protein tanpa
kenaikan jumlah sel/Disosiasi Cyto
Albuminologik).
Diagnostik Test

 Analisis fungsi lumbal menunjukkan peningkatan protein CSS


dan jumlah sel darah putih rendah

 Pemeriksaan elektrofisiologis menunjukkan pelambatan


velositas konduksi saraf, menunjukkan demielinasi

 Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal


Diagnostik Test
 Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika
GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai
dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan
penyakit
 Foto rontgen : dapat memperlihatkan
perkembangannya tanda-tanda dari gangguan
pernapasan, seperti atelektosis, pneumonia
 Pemeriksaan fungsi paru dapat
menunjukkan adanya penurunan kapasitas
vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi
Uji Diagnostik

1. Riwayat pasien
 Riwayat pasien merupakan hal yang sangat penting, perlu
dicatat tidak hanya demam pada 2-3 minggu sebelumnya.

2. Lumbal Punctie
 Adanya kenaikan protein pada cairan serebrospinal
namun tidak ditemukan peningkatan Leukosit.
Continue..
3. Tes Fungsi Paru
 Dilihat kapasitas vital parunya, cek setiap jamuntuk melihat adanya
kelemahan. Jika kapasitas menurun sampai 20 mls/kg atau 1,5 liter,
pindahkan pasien ke ICU.
4. Gambaran Kondusif Saraf
 Terlihat adanya penurunan pada kecepatan konduksi saraf-saraf.
 5. Elektro Myelogram
 Pada rekaman elektro myelogram, kontraksi otot-otot dihasilnya
dari rangsangan listrik. Tidak adanya kontraksi menandakan
hilangnya lapisan myelin.
Diagnosis Banding

 Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis


asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan
okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap
kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan
melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati
defisit sensorik ataupun arefleksia.
 Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS
dimana pada GBS, pupil masih reaktif, adanya
arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan
pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta
refleks patologis Babinski.
Cont”
• Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis
umum mendadak tanpa keterlibatan otot
pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
• Botulisme, didapati pada penderita dengan
riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi. Gejala dimulai dengan diplopia
disertai dengan pupil yang non-reaktif
pada fase awal, serta adanya bradikardia;
yang jarang terjadi pada pasien GBS.
Cont”
 Tick Paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan
otot pernafasan; umumnya terjadi pada anak-
anak dengan didapatinya kutu (tick) yang
menempel pada kulit.
 Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis
respiratorik akut dan mendadak, namun pada
pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan
peningkatan serum asam aminolevulinik delta.
 Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi
pada pekerja industri dengan riwayat kontak
dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat
daripada GBS.
Cont”
• Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis
sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis
sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok
spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.
• Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal,
mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti oleh
paralisis flasid asimetrik.
• Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan
otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis,
defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul
pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang
dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah
dalam melawan gaya gravitasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian: ◊. Identitas klien, ◊. Keluhan utama., ◊. Riwayat
keperawatan.
2. Pemeriksaan Fisik
* B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu,
menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko
akumulasi secret.
* B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah
kemerahan.
* B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri
turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan
tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
* B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun,
perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis
(kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
* B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih.
* B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus
turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
* B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.
Intervensi
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
 Nic :
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan
gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane
mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress
pernapasan.
6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi
dada, drainase postural, vibrasi.
Dx. 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf
autonom.
Noc : Perfusi jaringan efektif
Nic :
1) Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan
latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya
distrimia.
3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada
lutut/kaki.
5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
6) Pemberian heparin sesuai indikasi.
7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
Dx 3 : Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
Noc : Mempertahankan fungsi sensori penglihatan
Nic :
1) Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap keamanan
2) Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis pasien

3) Pantau tingkat kesadaran pasien


4) Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika diperlukan
jangan memindahkan barang-barang di dlam kamar pasien tanpa
menberitakn pasien

5) Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian


tubuh, jika tedapat kerusakan proprioseps
Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic :

1) Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan


skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan
secara individual.
2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll,
papan kaki.
3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan
bergantung pada toleransi secara individual.
5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
Dx 5 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik

Noc : Nyeri teratasi


Nic :
1) Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan
menggunakan skala 0-10.
2) Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri
tersebut.
3) Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien
secara individual.
4) Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
5) Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.
Dx 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis
orofaringeal.

Noc : Keseimbangan pemenuhan nutrisi

Nic :
1) Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan yang teratur.
2) Catat masukan kalori setiap hari.
3) Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan diet yang
dikehendaki.
4) Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang menyenangkan bagi
pasien
5) Beri diet tinggi kalori.
6) Pasang/pertahankan selang NGT.
Dx 7 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex
sfingter
Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic :
1) Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising
usus.
2) Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000
ml/hari (jika pasien dapat menelan).
3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu
secara teratur.
4) Beri obat pelembek feses.
5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.
Dx 8 : hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah

Noc : menunjukkan keterampilan interaksi social


Nic :

1) Kaji pola dasar interaksi antara pasien dengan orang lain


2) Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan
keterbatasan dalam berkomuniikasi dengan orang lain
3) Minta dan harapkan kominikasi verbal
4) Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan
dan teknik berkomunikasi.
Dx 9 : Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.

Noc : Ansietas berkurang.


Nic :
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
2) Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan dan
prognosis.
3) Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan
kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi.
4) Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk
meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun ansietas.
Discharge Planning

a. Peningkatan asupan nutrisi yang


memadai.
b. Istirahat yang cukup.
c. Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi
lingkungan.
d. Lakukan check-up ketika timbul gejala
yang sama.
e. Teratur konsumsi obat pemulihan.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai