Anda di halaman 1dari 26

2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Insiden dekubitus di seluruh dunia terjadi pada sekitar 1.000.000 pasien
yang mengalami dekubitus, 65.000 di antaranya meninggal dunia (Soban,
2011). Kejadian dekubitus selururuh dunia di Intensive Care Unit (ICU)
berkisar 1% sampai 56% (Widasari, 2014). Prevalensi dekubitus di Indonesia
sendiri mencapai 40% atau yang tertinggi diantara negara-negara besar
ASEAN lainnya (Sulidah, 2017). Menurut Bujang, dkk (2013), kejadian
dekubitus terdapat pada tatanan perawatan akut (acut care) sebesar 5-11%,
pada tatanan perawatan jangka panjang (long term care) sebesar 15-25%, dan
tatanan perawatan di rumah (home health care) sebesar 7-12%.
Angka kejadian dekubitus yang cukup tinggi diperlukan adanya upaya
untuk pencegahan. Upaya pencegahan dekubitus merupakan peran perawat
dalam upaya memberikan pelayanan keperawatan pada pasien. Upaya
pencegahan harus dilakukan sedini mungkin sejak pasein terindenfikasi
berisiko mengalami dekubitus. Pencegahan dekubitus sebaiknya harus lebih
berfokus pada upaya mencegah tekanan yang berlebihan dan terus menerus
disamping memperbaiki faktor-faktor resiko lainnya (Virani et al, 2011). Luka
dekubitus disebabkan oleh beberapa faktor yaitu imobilisasi, gaya gesek,
kelembaban kulit (Kozier, 2010). Lokasi dekubitus yang sering terjadi
diantaranya yaitu pada sacrum (30-49%), tumit (19-36%), iscium (6-16%),
trokanter (6-11%), maleolus (7-8%), siku (5-9%), iliaka (4%) dan lutut (3-
4%). Pada area ini tepat berada diatas tonjolan tulang yang tidak dilindungi
lemak sub kutan yang cukup. Dimana persentase terjadinya dekubitus
terbanyak terdapat pada lokasi sakrum dan tumit (Mammoto, 2018).
Untuk mengetahui angka kejadian dekubitus dibutuhkan skala
pengukuran, pengukuran skala dekubitus yang sudah ada saat ini diantaranya
adalah skala Braden, Gosnell, skala Norton, Waterlow, dan lain lain (NPUAP,
2009). Skala tersebut sangat berguna untuk mengidentifikasi dan memprediksi

STIKES Muhammadiyah Gombong


risiko dekubitus. Namun skala pengukuran yang sering digunakan di rumah
sakit adalah skala Braden dan Norton (Bhoki, 2014).
Berbagai tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
timbulnya luka dekubitus yaitu memperbaiki keadaan umum pasien, adanya
pemeliharaan dan perawatan kulit yang baik, serta alas tempat tidur yang baik
dan nyaman. Penanganan yang dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya
dekubitus antara lain seperti memberikan kasur anti dekubitus dan bantal kecil
sebagai penyangga. Selain itu, penanganan dekubitus juga tidak terlepas dari
tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien stroke untuk
mencegah terjadi dekubitus yaitu dengan mobilisasi atau pengaturan posisi.
Mobilisasi adalah rehabilitasi awal yang dapat mengurangi semua komplikasi
yang berhubungan dengan tempat tidur yang diantaranya yaitu bekuan darah,
luka tekan, pneumonia, atrofi dan kekuatan sendi, kontraktur dan kematian
(Junaidi, 2011). Alih baring yaitu merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehat dan pentingnya untuk kemandirian (Sari dan Sitorus,
2013).
Alih baring dapat mencegah dekubitus pada daerah tulang yang menonjol
yang bertujuan untuk mengurangi penekanan akibat tertahannya pasien pada
satu posisi tidur tertentu yang dapat menyebabkan lecet. Alih baring ini adalah
pengaturan posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek
pada kulit, menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang
akan menurunkan peluang terjadi dekubitus akibat gaya gesek, alih posisi/
atau alih baring/ tidur selang seling (Perry & Potter, 2013).
Tindakan Alih baring untuk pencegahan luka dengan pengaturan
perubahan posisi setiap 2 jam dapat melancarkan peredaran darah serta
memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh mengembalikkan kerja fisiologi
organ-organ vital dan perubahan posisi juga memungkinkan kulit yang
tertekan terekspos udara (Ernawati, 2014). Pada penelitian sebelumnya,
sekelompok pasien dengan jenis penyakit yang sama di Rumah Sakit
Semarang yang juga dilakukan intervensi alih baring 100% tidak mengalami
luka dekubitus, sedangkan pada sekelompok pasien yang tidak diberikan
intervensi alih baring 53,3% mengalami dekubitus (Faridah & Heni, 2013).
Beberapa penelitian mengenai tindakan alih baring dengan pencegahan
dekubitus telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi, dkk (2013)
didapatkan hasil pasien dengan tirah baring lama yang dilakukan pengaturan
posisi dengan cara telentang, miring kiri, miring kanan setiap 2 jam maupun 3
jam sekali tidak ada perbedaan kejadian dekubitus. Sedangkan, penelitian
yang dilakukan Ebrahin et al (2018), didapatkan hasil bahwa melakukan alih
baring setiap 2 jam lebih efektif dan memiliki tingkat resiko rendah terhadap
luka tekan. Begitupula penelitian yang dilakukan Andani (2016),
membuktikan bahwa alih baring dapat mencegah terjadinya dekubitus.
Penelitian tersebut mencatat bahwa frekuensi tingkat resiko dekubitus pada
pasien sebelum dilakukan alih baring sebagian besar beresiko sedang (36.7%),
kemudian setelah diberikan perlakuan alih baring sebagian besar responden
mengalami beresiko rendah (43,3%).
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin melakukan penelitian
literatur review untuk mengetahui unsur kebaruan atau temuan penelitian
terkait “Pencegahan dekubitus menggunakan posisi alih baring di Ruang
ICU”.

B. Tujuan
Mengetahui hasil penelitian terkait pencegahan dekubitus menggunakan posisi
alih baring pada pasien yang di rawat di ICU.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Dekubitus
a. Definisi Dekubitus
Dekubitus atau pressure ulcer menurut National Pressure Ulcer
Advisory Panel atau disingkat NPUAP (2014), merupakan kerusakan
kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang disebabkan oleh tulang
yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan atau
kombinasi dari beberapa hal tersebut. Sedangkan menurut Potter &
Perry (2013), dekubitus adalah luka pada kulit dan atau jaringan di
bawahnya, biasanya disebabkan oleh adanya penonjolan tulang,
sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan gaya geser
dan atau gesekan.
b. Klasifikasi Dekubitus
National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) (2014),
membagi derajat dekubitus antara lain sebagai berikut:
1) Derajat I: Nonblanchable Erythema
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh
dengan tanda-tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan
dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda
sebagai berikut: perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih
hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak),
dan perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit
putih luka akan kelihatan sebagai kemerahan yang menetap,
sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan sebagai
warna merah yang menetap, biru atau ungu.
Cara untuk menentukan derajat I adalah dengan menekan
daerah kulit yang merah (erytema) dengan jari selama tiga detik,

STIKES Muhammadiyah Gombong


apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari diangkat
juga kulitnya tetap berwarna merah.

Gambar 2.1 Dekubitus Derajat I


Sumber: NPUAP (2014)

2) Derajat II: Partial Thickness Skin Loss


Pada derajat II ini, terjadi hilangnya sebagian lapisan kulit
yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah
lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi,
melepuh, atau membentuklubang yang dangkal. Derajat I dan II
masih bersifat refersibel.

Gambar 2.2 Dekubitus Derajat II


Sumber: NPUAP (2014)

3) Derajat III: Full Thickness Skin Loss


Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan
atau nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak
sampai pada fasia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam.
Disebut sebagai “typical decubitus” yang ditunjukkan dengan
adanya kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun
tidak termasuk tendon dan tulang. Slough mungkin tampak dan
mungkin meliputi undermining dan tunneling.

Gambar 2.3 Dekubitus Derajat III


Sumber: NPUAP (2014)

4) Derajat IV: Full Thickness Tissue Loss


Kehilangan jaringan secara penuh hingga megenai tulang,
tendon atau otot. Slough atau jaringan mati (eschar) dapat
ditemukan pada beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan
sering juga terdapat undermining dan tunneling. Derajat IV dapat
meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya
pada fasia, tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya
osteomyelitis. Tulang dan tendon yang terkena bisa terlihat atau
teraba langsung.
Gambar 2.4 Dekubitus Derajat IV
Sumber: NPUAP (2014)
5) Unstageable: Depth Unknown
Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound
bed) ditutupi oleh slough dengan warna kuning, cokelat, abu-abu,
hijau, dan atau jaringan mati (eschar) yang berwarna coklat atau
hitam di dasar luka. Slough atau eschar harus dihilangkan terlebih
dahulu sampai dasar luka untuk mengetahui sampai cukup untuk
kedalaman luka yang benar. Oleh karena itu derajat ini tidak dapat
ditentukan.

Gambar 2.5 Dekubitus Unstagable


Sumber: NPUAP (2014)
6) Suspected Deep Tissue Injury: Depth Unknown
Pada derajat ini, area dekubitus berubah warna menjadi ungu
atau merah secara terlokalisir. Kulit tetap utuh atau dapat
ditemukan adanya blister (melepuh) yang berisi darah karena
kerusakan akibat tekanan atau adanya gaya geser pada jaringan
lunak. Luka memicu nyeri, area luka menjadi tegas, lembek, berisi
cairan, dan teraba lebih hangat atau dingin dibandingkan dengan
jaringan sekitar luka. Pada awalnya luka hanya berupa blister tipis
di atas dasar luka (wound bed) kemudian lama-kelamaan akan
berkembang dan tertutup oleh eschar yang tipis. Selanjutnya, luka
yang awalnya berada di lapisan permukaan luar kulit akan
berkembang ke lapisan dalam hingga mengenai fasia dan otot
walaupun tanpa adanya kerusakan pada permukaan kulit. Hal ini
dikenal dengan istilah cedera jaringan bagian dalam (Deep Tissue
Injury). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan jaringan
subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan kulit.

Gambar 2.6 Dekubitus Suspected Deep Tissue Injury: Depth Unknown


Sumber: NPUAP (2014)
c. Lokasi Dekubitus
Lokasi yang memungkinkan terjadinya dekubitus adalah pada
area penonjolan tulang. Area tersebut dapat dilihat pada gambar 2.7.
berikut ini :
Gambar 2.7 Lokasi Ulkus Tekanan pada posisi pronasi dan supinasi
Sumber: Nigel & Chow (2013)
Setia (2016) menjelaskan bahwa sebanyak 95 % ulkus dekubitus
terjadi pada bagian belakang tubuh. Daerah yang sering terjadi ulkus
dekubitus adalah sakrum, koksigeal, tuberositas ischialgia dan
trokanter mayor. Daerah predileksi ulkus dekubitus menurut Setia
(2016), antara lain:
1) Posisi dorsal: os. Sakrum, koksigeus, tendon achiles, os oksipital
2) Posisi abdominal: os frontal, arkus kostarum , krista illiaka, genue
3) Posisi Lateral: trokanter mayor, os zigomatikum, kostae lateral dan
maleolus lateralis
4) Posisi duduk: tuberositas iskialgia, os oksipital, tumit
d. Faktor Resiko Dekubitus
Faktor risiko terjadinya dekubitus menurut Clevo dan Margareth
(2012), antara lain, yaitu:
1) Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan
mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan
untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus di tempat
tidur tanpa mampu untuk merubah posisi berisiko tinggi untuk
terkena luka tekan. Immobilitas adalah faktor yang paling
signifikan dalam kejadian luka tekan.
2) Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami
penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan di atas
tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama,
pasien akan mudah terkena luka tekan.
3) Kelembaban
Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat
mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan
yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu
kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan
(friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih
signifikan dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia
urin karena adanya bakteri dan enzim pada feses dapat merusak
permukaan kulit.
4) Tenaga yang merobek (shear)
Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan
merobek jaringan pembuluh darah serta struktur jaringan yang
lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang menonjol.
Contoh yang paling sering dari tenaga yang merobek ini adalah
ketika pasien diposisikan dalam posisi semi fowler yang melebihi
30 derajat. Pada posisi ini pasien bisa merosot kebawah, sehingga
mengakibatkan tulangnya bergerak ke bawah namun kulitnya
masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh
darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot,
namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan
kulit.
5) Pergesekan ( friction)
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan
arah yang berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan
merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada
saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati.
6) Nutrisi
Status nutrisi merupakan faktor resiko kritis terhadap
berkembangnya luka tekan. Keutuhan kulit dan penyembuhan luka
akan lebih baik jika pasien berada pada kondisi keseimbangan
nitrogen yang positif dan kadar serum protein yang adekuat.
Keseimbangan nitrogen adalah keseimbangan antara nitrogen
yang masuk dan nitrogen yang dikeluarkan oleh tubuh, baik untuk
proses pembentukan sel-sel tubuh atau serat otot maupun yang
digunakan untuk energi. Pasien dalam keseimbangan nitrogen
negatif beresiko tinggi mengalami kerukan jaringan dan
penyembuhan luka lama. Nutrisi dikatakan tidak adekuat jika
serum albumin kurang dari 3.5 mg/dL atau jumlah limfosit kurang
dari 1800/mm disertai penurunan berat badan lebih dari 15% dari
berat badan sebelumnya (Agrawal K, Chauhan N, 2012).
7) Usia
Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk
terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring
dengan penuaan. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor
penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya
terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek.
8) Tekanan arteriolar yang rendah
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi
kulit terhadap tekanan, sehingga dengan aplikasi tekanan yang
rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia.
Studi yang dilakukan menemukan bahwa tekanan sistolik dan
tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan
luka tekan.
9) Indeks Masa Tubuh
Pada orang dengan indeks masa tubuh (IMT) yang kecil,
cenderung akan mengalami penekanan tonjolan tulang yang lebih
besar dibandingkan dengan orang yang indeks masa tubuhnya lebih
besar.
10) Stress Emosional
Stress emosional kronik maupun depresi pada pasien
psikiatrik merupakan faktor resiko untuk perkembangan dari luka
tekan. Stress dikaitkan dengan adanya perubahan hormonal yakni
hormon kortisol. Hormon kortisol mengalami peningkatan akibat
ketidakseimbangan degradasi kolagen terhadap pembentukan
kolagen dan selanjutnya kolagen dihubungkan dengan
perkembangan luka tekan.

e. Pengkajian Dekubitus
Instrumen yang digunakan dalam mengkaji resiko terjadinya
dekubitus menurut Kozier (2010), antara lain:
1) Skala Norton
Skala Norton pertama kali ditemukan pada tahun 1962, dan
skala ini menilai lima faktor resiko terhadap kejadian dekubitus
diantaranya adalah: kondisi fisik, kondisi mental, aktivitas,
mobilisasi, dan inkontinensia. Total nilai berada di antara 5 sampai
20. Nilai 16 di anggap sebagai nilai yang beresiko.
2) Skala Braden
Skala Braden terdiri dari 6 sub skala faktor resiko terhadap
kejadian dekubitus diantaranya adalah: persepsi sensori,
kelembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi, pergeseran dan gesekan.
3) Skala Waterlow
Skala Waterlow memiliki sembilan kategori klinis yang
meliputi : tinggi badan dan peningkatan berat badan, tipe kulit dan
area resiko yang tampak, jenis kelamin dan usia, skrining
malnutrisi, mobilitas, malnutrisi jaringan, defisit neurologis,
riwayat pembedahan atau trauma, serta riwayat pengobatan
(Australian Wound Management Association, 2012). Semakin
tinggi skor, semakin tinggi resiko terjadinya dekubitus. Skor ≥ 20
diprediksi memiliki resiko sangat tinggi terjadinya dekubitus.
4) Skala Gosnell
Skala ini menilai lima faktor diantaranya adalah: status
mental, kontinensia, mobilisasi, aktivitas, dan nutrisi, total nilai
berada pada rentang antara 5 sampai 20 dimana total nilai tinggi
mengidentifikasi resiko kejadian dekubitus.
5) Skala Knoll
Pada skala ini ada delapan faktor resiko terhadap kejadian
dekubitus diantaranya: status kesehatan umum, status mental,
aktivitas, mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral,
asupan cairan melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor
predisposisi. Total nilai berada pada rentang 0 sampai 33, nilai
tinggi menunjukkan resiko tinggi terjadi dekubitus, nilai resiko
berada pada nilai 12 atau lebih.
f. Pencegahan Dekubitus
Pencegahan dari dekubitus adalah prioritas utama dalam merawat
pasien dan tidak terbatas pada pasien yang mengalami pembatasan
mobilitas. Pencegahan luka dekubitus banyak tinjauan literatur
mengindikasikan bahwa luka tekan dapat dicegah. Meskipun
kewaspadaan perawat dalam memberikan perawatan tidak dapat
sepenuhnya mencegah terjadinya luka tekan dan perburukannya pada
beberapa individu yang sangat berisiko tinggi. Dalam kasus seperti ini,
tindakan intensif yang dilakukan harus ditujukan untuk mengurangi
faktor risiko, melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan
mengatasi luka tekan (Handayani, 2011).
NPUAP (2014), juga merekomendasikan tindakan pencegahan
untuk mencegah terjadinya dekubitus, yaitu pengkajian resiko dengan
menggunakan skala braden, perawatan kulit, pemberian nutrisi,
pemberian edukasi, dan pemberian bantalan dan pengaturan posisi/alih
baring.

2. Alih Baring
a. Definisi Alih Baring
Alih baring adalah pengaturan posisi yang diberikan untuk
mengurangi tekanan dan gaya gesek pada kulit. Dengan menjaga
bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang akan
menurunkan peluang terjadi decubitus akibat gaya gesek, alih
posisi/atau alih baring/ tidur selang seling dilakukan setiap 2 jam sekali
(Perry & Potter, 2013). Alih baring memiliki manfaat mengganti titik
tumpu berat badan yang tertekan pada area tubuh yang lain,
mempertahankan sirkulasi darah pada daerah yang tertekan, dan dapat
menurunkan tekanan pada tonjolan tulang (Kozier, 2010).
Reswick dan Rogers menyarankan latihan merubah posisi pasien
setiap 2 jam dan prosedur tetap menjadi strategi pencegahan utama
ulkus dekubitus (Defloor, 2016). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Citra (2010) yang menemukan bahwa efektifitas alih
baring tiap 2 jam adalah sebesar 87,5% dimana terdapat perbedaan
kejadian ulkus dekubitus yang bermakna antara pasien pasca stroke
dengan alih baring tiap 2 jam dibandingkan dengan pasien tanpa alih
baring tiap 2 jam.
b. Tujuan Alih Baring
Tindakan alih baring bertujuan untuk mengurangi tekanan
terutama pada bagian punggung. Pasien yang berada lama di tempat
tidur tanpa berpindah atau bergerak (memiringkan badan) dari tempat
tidur dapat mengalami dekubitus (Kozier, 2010). Luka tekan bisa
terjadi paling sedikit dalam 2 hari (48 jam) pada pasien tirah baring
lama (Setiani, 2015). Mobilisasi dini untuk pencegahan dekubitus juga
dapat dilakukan 24-48 jam setelah serangan (Mahendra dkk, 2010).
Potter & Perry (2013), menyebutkan bahwa tujuan alih baring adalah
untuk mendistribusikan tekanan baik dalam posisi duduk atau
berbaring serta memberikan kenyamanan pada pasien. Pada dasarnya
alih baring dilakukan sebagai bagian dari prosedur baku dalam
intervensi keperawatan untuk mengurangi resiko dekubitus pada
pasien dengan tirah baring.
c. Prosedur Alih Baring
Prosedur operasional alih baring berdasarkan Riyadi (2011),
antara lain melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1) Tahap pra Interaksi
a) Mengecek Program Terapi
b) Mencuci Tangan
c) Menyiapkan Alat
2) Tahap Orientasi
a) Memberi salam kepada pasien dan siapa nama pasien
b) Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
c) Menanyakan persetujuan/kesiapan klien
3) Tahap Kerja
a) Menjaga privacy pasien
Merubah posisi dari telentang ke miring
b) Menata beberapa bantal di sebelah klien
c) Memiringkan klien ke arah bantal yang di siapkan
d) Menekukan kaki yang atas
e) Memastikan posisi klien aman
f) Tunggu sampai 2 jam untuk merubah posisi selanjutnya
Merubah posisi dari telentang ke posisi miring
g) Menata beberapa bantal disebelah klien
h) Setelah 2 jam, kemudian merubah posisi dari miring ke
telentang
i) Menata beberapa bantal di sebelah klien
j) Menelentangkan klien kearah bantal yang disiapkan
k) Meluruskan kedua lutut
l) Memastikan posisi klien aman
m) Merapikan pasien
n) Tunggu sampai 2 jam untuk merubah posisi selanjutnya
4) Tahap Terminasi
a) Melakukan evaluasi tindakan
b) Berpamitan dengan pasien/keluarga
c) Mencuci tangan
d) Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

Beberapa gambar berikut dapat menjelaskan posisi alih baring


pada pasien dengan kondisi tirah baring lama sesuai yang
direkomendasikan RNAO (2007):
1) Posisi terlentang

Gambar 2.8 Posisi terlentang 1 Gambar 2.9 Posisi terlentang 2


Sumber: RNAO (2007) Sumber: RNAO (2007)

2) Posisi miring (lateral)

Gambar 2.10 Posisi miring 1 Gambar 2.11 Posisi miring 2


Sumber: RNAO (2007) Sumber: RNAO (2007)

Menurut penelitian Junior et al (2016), perawatan pencegahan


luka tekan telah semakin ditingkatkan, terutama dalam perawatan
pasien yang sakit kritis. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan
perawat yaitu dengan perubahan posisi setiap 2 jam, dan didapatkan
hasil pasien yang dilakukan perubahan posisi setiap 2 jam tingkat
kejadian luka tekan akan beresiko rendah.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Strategi Pencarian Literatur


1. Framework (PICO)
LITERATURE REVIEW : PENCEGAHAN DEKUBITUS
MENGGUNAKAN POSISI ALIH BARING PADA PASIEN YANG
DI RAWAT DI ICU
Strategi pencarian artikel penelitian ini berdasarkan PICO framework.
Menurut Nasution (2019), PICO adalah metode pencarian informasi
klinis dari akronim 4 komponen yang mencangkup :
a. P (patient, popuation, problem) adalah kata-kata yang mewakili
pasien, populasi dan masalah yang diangkat dalam karya tulis
ilmiah yang ditulis

b. I (intervention, prognostic, factor, exposure) adalah kata-kata


yang mewakili intervensi, factor prognostic atau paparan yang
akan diangkat dalam karya ilmiah
c. C (comparation, control), adalah kata yang mewakili
perbandingan atau intervensi yang ingin dibandingkan dengan
intervensi/paparan
d. O (outcome) , adalah kata-kata yang mewakili target apa yang
ingin dicapai dari suatu penelitian.
PICO framework pada penelitian ini dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Framework Literatur Review berdasarkan PICO
Literature Review Population Intervention Comparation Outcome
Literature Review : Pasien yang a. Memberikan Pre – post Mengetahui
Pencegahan Dekubitus dirawat di intervensi intervensi alih risiko decubitus
menggunakan posisi Intensive posisi alih baring sebelum dan
alih baring di Care Unit baring sesudah
Intensive Care Unit (ICU) diberikan alih
(ICU) b. Mengukur baring
risiko
Dekubitus
sebelum dan
sesudah alih

28 STIKES Muhammadiyah Gombong


baring

2. Kata Kunci
Kata kunci (keyword) merupakan kata yang digunakan sebagai
kunci satu kode, dan juga satu kata atau frase yang menonjol, yang
digunakan untuk menggambarkan isi satu dokumen (Siswadi, 2016).
Kata kunci yang digunakan pada literatur ini yaitu: “Dekubitus”, “Alih
Baring”, “Lying Position”, “Repositioning”, “pressure ulcers
prevention”, “decubitus control”, “decubitus prevention”, “Intensive
Care Unit”, “Critical Ill”.
3. Database/ Searchangine
Mesin pencari web / web search engine adalah program
komputer yang dirancang untuk melakukan pencarian atas berkas-
berkas yang tersimpan dalam layanan www, ftp, publikasi milis,
ataupun news group dalam sebuah ataupun sejumlah komputer dalam
suatu jaringan (Arisandi et al., 2017).
Pencarian artikel menggunakan data base yang mudah diakses dan
diakui kualitasnya antara lain: Google Scholar, Science Direct,
Pubmed, Sagepub dan Research Gate. Literature review ini dibatasi
dari tahun 2018 sampai 2020.
4. Jurnal yang diambil

Tabel 3.2 Tabel jurnal

No Penulis Judul Desain Responden Prosedur Hasil


Penilaian
1. Nasira Effects of quasi 200 pasien Pengukuran Perbedaan rata-rata
Hassan, Body experime dekubitus: intervensi dan
Muham Repositioni ntal Skala kelompok control dalam
mad ng in dengan Braden reposisi tubuh untuk
Afzal, Immobilize pendekata mengurangi
Sana d Patients n non- ulkus tekan pada pasien
Sehar to Prevent equivalen dengan imobilisasi (P =
and Pressure t control 0,000)
Syed Ulcer in group
Amir Intensive design
Gilani Care Units
(2020) at
Public
Hospital,
Pakistan
2. Chae Maintainin experime 52 pasien Pengukuran Tidak ada hubungan antara
Won g the trunk ntal study derajat tekanan dengan alih baring
Lee, Lee effect of of dekubitus dengan sudut 30 derajat
Youngh changing equivalen dengan dengan luka tekanan
ee the body ce control klasifiakasi dengan nilai p=0,462
(2018) position on before NPUAP
30-degree and after
positionin, design
comfort
and skin
condition
3. Gorete Mobility Studi 9 pasien Pengukuran Resiko luka decubitus
Reis, Defificit – cross- dekubitus: setelah tindakan alih baring
Patrícia Rehabilitat sectional Skala mengalami penurunan
Páscoa e, dengan Braden
Pereira, An pendekata
Lena Opportunit n
Sabino y for penelitian
and Functionali Tindakan
Maria ty (intervens
José i)
Bule
(2019)
4. De PROTECT Multicent 227 pasien Pengukuran Nilai skala Braden rata-rata
Meyer, – Trial: A re, dekubitus: untuk total sampel adalah
D. , Van cluster cluster, Skala 12,9 (SD 2.4) dengan
Hecke,A RCT to three- Braden kejadian decubitus 2,22%
., study the arm,
Verhaeg effectivenes randomis
he, s of a ed,
S.,Beec repositioni controlle
kman, ng aid and d
D. tailored pragmati
(2018) repositioni c trial.
ng to
increase
repositioni
ng
compliance
.
5. Edger, Efect of a 1 group, 717 pasien Penilaian Resiko decubitus sebelum
Melinda Patient- before- dekubitus alih baring adalah 1,3%,
(2018) Repositioni and-after dengan dan setelah alih baring
ng Device study Braden turun menjadi 0% (P =
in an Scale 0,004)
Intensive
Care Unit
On
Hospital-
Acquired
Pressure
Injury
Occurence
s and Cost
A Before-
After Study
BAB V
PEMBAHASAN

Artikel penelitian Hassan et al., (2020) berjudul “Effects of Body


Repositioning in Immobilized Patients to Prevent Pressure Ulcer in Intensive
Care Units at Public Hospital, Pakistan”. Jumlah populasi 200 orang yang dibagi
menjadi dua kelompok yaitu 100 orang kelompok intervensi dan 100 orang
kelompok kontrol atau pembanding yang mengalami immobilisasi. Karakteristik
responden pada kelompok intervensi terbanyak berjenis kelamin laki-laki 72
(72%), kategori usia 18- 25 tahun adalah 40 (40%), dan 94 (94%) mengalami
cedera otak. Sementara di kelompok control, mayoritas responden adalah laki-laki
yaitu 77 (77%), berusia 18-25 tahun adalah 36 (36%), dan sebanyak 100 (100%)
mengalami cedera otak. Intervensi alih baring dilakukan oleh perawat dengan
merubah posisi setiap 2 jam dalam posisi terlentang, 2 jam dalam posisi lateral
kanan 30 ° dan 2 jam dalam posisi lateral kiri dan siklus tersebut diulang sampai
24 jam dengan instrumen pengukuran dekubitus menggunakan skala braden.
Jurnal ditulis oleh Lee & Yi, (2018) dengan judul “Maintaining the trunk
effect of changing the body position on 30-degree positioning, comfort and skin
condition”. Jumlah populasi sebanyak 54 responden dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok eksperimen sebanyak 27 dan kelompok kontrol
sebanyak 27 responden. Karakteristik responden pada kelompok intervensi

32 STIKES Muhammadiyah Gombong


33

sebagian besar adalah perempuan 25 (92,6%), rata-rata berusia 29 tahun,


sedangkan mayoritas responden pada kelompok control adalah perempuan 25
(92,6%), dan rata-rata berusia 28 tahun. Intervensi alih baring dilakukan dengan
merubah posisi setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan
instrumen untuk mengukur derajat dekubitus menggunakan NPUAP.
Jurnal ditulis oleh Reis et al., (2019) dengan judul Mobility Defificit –
Rehabilitate, An Opportunity for Functionality. Jumlah populasi sebanyak 9 orang
dengan karakteristik usia rata-rata 60-69 tahun (4 orang), mayoritas laki-laki (6
orang) dan 56% memiliki pasangan, diagnosa terbanyak adalah stroke yaitu 7
orang (78%). Intervensi alih baring dilakukan selama 3 hari berturut-turut untuk
mengetahui resiko dekubitus dengan pengukuran dekubitus menggunakan skala
braden.
Meyer et al., (2018) dengan judul PROTECT – Trial: A cluster RCT to
study the effectiveness of a repositioning aid and tailored repositioning to
increase Repositioning Compliance. Jumlah sampel sebanyak 227 responden
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu dua kelompok eksperimen dan satu
kelompok control dengan pembagian kelompok control 136 responden, kelompok
intervensi 1 dengan PROTECT dan kelompok intervensi ke dua dengan alat Turn
and Position System (TAP). PROTECT dan TAP adalah alat yang digunakan
untuk memonitor jadwal waktu perubahan posisi pada saat alih baring. PROTECT
digunakan pada responden yang sudah mampu duduk, sedangkan TAP untuk
pasien di tempat tidur. Intervensi dilakukan dengan menggunakan tindakan alih
baring sesuai SOP dengan posisi berbaring dimiringkan 30-45 derajat dan hanya
kelompok eksperimen yang ditambahkan perangkat monitoring PROTECT dan
TAP, pengukuran dekubitus menggunakan skala braden.
Edgar (2018) dengan judul Effect of a Patient-Repositioning Device in an
Intensive Care Unit On Hospital-Acquired Pressure Injury Occurences and Cost
A Before-After Study. Jumlah sampel sebanyak 717 responden yang mengalami
immobilisasi, dengan karakteristik responden antara lain usia rata-rata 64 tahun,
sebagian besar perempuan sebanyak 360 pasien (50,2%), terbanyak memiliki etnis
kulit hitam afrika dan amerika yaitu 283 orang (39,5%). Intervensi alih baring

STIKES Muhammadiyah Gombong


dilakukan setiap 2 jam dengan modifikasi alat yang dikembangkan oleh Sage
Product LLC untuk pencegahan terjadinya decubitus pasien di ICU dan
pengukuran risiko dekubitus dengan menggunakan skala beraden.
Dari 5 analisa artikel yang terpilih menyatakan bahwa alih baring sangat
efektif dalam mencegah terjadinya dekubitus. Posisi alih baring setiap dua jam
pada pasien immobilisasi sangat baik untuk meningkatkan sirkulasi pada jaringan
yang mengalami penekanan, sehingga pasien pasien terhindar dari resiko
terjadinya dekubitus akibat penekanan yang lama.
Penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2018) membuktikan bahwa
pemberian posisi alih baring setiap 2 jam dapat mencegah terjadinya dekubitus.
Alih baring merupakan pengaturan posisi yang diberikan untuk mengurangi
tekanan dan gaya gesek yang dapat melukai kulit. Alih baring bertujuan untuk
menjaga supaya daerah yang tertekan mengalami luka. Oleh karena itu alih baring
harus tepat tanpa adanya gaya gesekan yang dapat merusak kulit.
Alih baring memiliki manfaat mengganti titik tumpu berat badan yang
tertekan pada area tubuh yang lain, mempertahankan sirkulasi darah pada daerah
yang tertekan, dan dapat menurunkan tekanan pada tonjolan tulang. Alih baring
dapat mencegah dekubitus pada daerah tulang yang menonjol (Potter & Perry,
2010). Hal ini dikarenakan alih baring mengurangi penekanan akibat tertahannya
pasien pada satu posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek
kulit. Menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang akan
menurunkan peluang terjadinya dekubitus akibat gaya gesek (Kozier, 2011).
BAB VI
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari analisa 5 artikel yang terpilih sesuai dengan kriteria
inklusi dari tahun 2018-2020, dengan pencarian menggunakan database yaitu
Google scholar, reaserchgate, Pubmed, Science direct dan sage yang dianalisa
menggunakan framework PICO meliputi kriteria inklusi pasien yang mengalami
immobilisasi dengan intervensi pemberian alih baring sesuai SOP untuk
mengetahui efektifitas alih baring terhadap pencegahan dekubitus. Sebagian besar
artikel yang dianalisis menggunakan desain penelitian eksperimen dengan
Random Clinical Trial (RCT) yang menunjukan bahwa alih baring sangat baik
dalam pencegahan dekubitus di ruang ICU. Pengkajian risiko dekubitus
menggunakan skala braden efektif sebagai alat skrining terhadap kejadian risiko
dekubitus terutama pada pasien yang mengalami perawatan lama. Alih baring
dapat meningkatkan sirkulasi darah pada jaringan yang tertekan dan area
penonjolan tulang yang tertekan sehingga dapat menghilangkan proses iskemik
yang menyebabkan luka dekubitus pada rentang 1 sampai 2 jam.

39 STIKES Muhammadiyah Gombong

Anda mungkin juga menyukai