Anda di halaman 1dari 21

TEXT BOOK READING

Terapi Immunoglobulin pada Guillain Barre Syndrome (GBS)

Oleh :
Intan Rahmawati G4A019010

Pembimbing
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSTITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


Terapi Immunoglobulin pada Guillain Barre Syndrome (GBS)

Pada tanggal, September 2020

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di
Bagian Ilmu Kesehatan Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Intan Rahmawati G4A019010

Pembimbing

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S


I. PENDAHULUAN
Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan penyakit pada sistem saraf tepi
dengan insidensi langka (Wahyu, 2018). GBS terjadi karena adanya rangsang pada
sistem imun dan faktor risiko yang diduga berkaitan dengan penyakit ini yaitu
riwayat infeksi bakteri atau virus. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni dilaporkan
paling sering berasosiasi dengan GBS. Infeksi yang disebabkan virus antara lain oleh
Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, atau virus influenza. Selain itu, pemberian
vaksin juga dilaporkan menjadi salah satu faktor risiko GBS (Wijayanti, 2016; Burns,
2008).
Berdasarkan American Academy of Neurology (AAN) guideline on Guillain-
Barré syndrome, GBS terjadi pada 1 sampai 4 penderita per 100.000 populasi di
seluruh dunia per tahun yang menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga
membutuhkan ventilator, 4%-15% kematian, 20% kecacatan, dan 67% kelemahan
persisten. GBS dapat diderita baik pria maupun wanita, berbagai usia, dan tidak
dipengaruhi oleh ras. kejadian GBS sebelumnya menunjukkan bahwa penderita pria
lebih banyak 1,5 kali dibanding wanita, lebih sering terjadi pada pria berwarna kulit
putih, dan angka insiden tertinggi pada usia sekitar 30-50 tahun (usia produktif)
(Wijayanti, 2016).
GBS dapat menyebabkan komplikasi yang fatal, apabila sistem saraf otonom
dan sistem pernapasan ikut terlibat. Onset penyakit yang akut dan berprogresif
menuntut penatalaksanaan yang cepat dan tepat (). Sekitar dua-pertiga dari pasien
dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal telah dilaporkan dalam tiga
minggu sebelum timbulnya gejala GBS (Wijayanti, 2016).
Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa
baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat
ekstremitas yang bersifat ascendens (Lukito et al., 2010). Parestesia ini biasanya
bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama
sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke ekstremitas
atas, tubuh dan saraf pusat (Wahyu, 2018; Wijayanti, 2016)
Angka kematian dari GBS dapat meningkat tajam seiring dengan penambahan
usia. Diperkirakan terjadi peningkatan sebanyak 20% pada setiap penambahan usia
10 tahun. Angka kematian meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Angka morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15 – 20% dari
pasien mengalami penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1 – 10% mengalami cacat
permanen. Selain itu, dapat terjadi gagal napas yang diperkirakan sebesar 25%,
dimana pasien membutuhkan ventilator dan juga dapat mengalami komplikasi seperti
pneumonia, sepsis, emboli paru, dan perdarahan lambung pada 60% pasien GBS
(Wijayanti, 2016).
Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus, biasanya meliputi
kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan tersebut dapat
menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling
sering (50%) adalah bilateral facial palsy. Hipertensi juga dapat terjadi pada 10–30 %
pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien (Wijayanti, 2016).
Intravena immunoglobulin merupakan salah satu terapi yang digunakan sebagai
terapi pada GBS. IVIG diberikan untuk membantu menghentikan antibodi berbahaya
yang merusak saraf. IVIG terbukti efektif dalam mengurangi kegawatan dan
memperpendek perjalanan penyakit (NHS UK, 2020). Oleh sebab itu, penting untuk
membahas mengenai terapi intravena immunoglobulin pada pasien dengan GBS.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nama Guillain-Barré Syndrome (GBS) berasal dari seorang neurologis
Perancis, yaitu Goerges Guillain, Jean-Alexandre Barre, dan Andre Strohl yang
menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peningkatan jumlah protein
dalam cairan serebrospinal (LCS) tanpa disertai peningkatan jumlah sel pada
tahun 1916. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik (Wijayanti,
2016). Sebelum itu, pada tahun 1859, seorang neurologis Perancis Jean Baptiste
Landry telah menggambarkan tentang penyakit sejenis. Landry menyatakan
bahwa terdapat 10 pasien yang mengalami kelumpuhan / ascending paralysis
(Esposito dan Longo, 2017).
GBS merupakan paralisis neuropati perifer yang bersifat progresif, dan
ascenden, beronset akut atau subakut. GBS biasanya ditandai dengan kelemahan
progresif dari ekstremitas, parestesia ekstremitas, dan arefleksia relatif atau
komplit. GBS dihubungkan dengan proses autoimun, yaitu antibody penderita
menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan kerusakan pada sel saraf perifer
(Leonhard et al., 2019; Wijayanti, 2019; Doorn, 2010).
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan oleh hilangnya
myelin atau demielinisasi yang terjadi akibat inflamasi sehingga menyebabkan
destruksi myelin dan terjadilah kerusakan saraf. Mielin merupakan material yang
membungkus sel saraf. Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh
saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali (Wijayanti, 2016).
Gangliosid adalah target dari antibodi. Ikatan antibodi akan mengaktivasi
kerusakan mielin. Mielin diserang karena diduga memiliki lapisan
lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid. Bakteri Campylobacter jejuni
memiliki struktur dinding yang mirip dengan ganglioside, dimana pada infeksi
bakteri ini tubuh akan membentuk antibody anti-gangliosida, sehingga antibody
ini akan menyerang saraf (Wahyu, 2018; Wijayanti, 2016).
B. Epidemiologi
Guillain-Barré syndrome (GBS) sering menjadi penyebab kelumpuhan
neuromuskuler yang terjadi pada semua usia. Insidensi global dari GBS mencapai
1-2 per 100.000 orang/ tahun (Wahyu et al., 2018), sedangkan angka kejadian
GBS secara keseluruhan di Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang
per tahun. Di Eropa, insiden GBS sebesar 1,2 – 1,9 per 100.000 orang (Leonhard
et al., 2019).
GBS lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan
rasio kejadian pada laki-laki banding wanita (3:2). Insidensi GBS meningkat
dengan pertambahan usia, meskipun dapat mengenai semua kelompok usia
(Leonhard et al., 2019; Wijayanti, 2016).
C. Etiologi
GBS dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi bakteri
atau virus atau disebut juga dengan gangguan post-infeksius (Burns, 2008).
Sekitar dua per tiga pasien yang mengalami GBS melaporkan gejala infeksi dalam
6 minggu yang mendahului onset. Infeksi ini diduga memicu respon imun yang
menyebabkan terjadinya GBS. Enam pathogen sementara telah dihubungkan
dengan GBS dalam studi case-control, yaitu Campylobacter jejuni,
cytomegalovirus, hepatitis E virus, Mycoplasma pneumoniae, Epstein-Barr virus,
dan Zika virus. Namun, mekanisme pathogenesis terjadinya GBS belum diketahui
(Leonhard et al., 2019). Di Asia, kasus GBS paling disebabkan oleh
Campylobacter jejuni dengan persentase sekitar 25-50% (Wijayanti, 2016).
Selain itu, terdapat banyak laporan yang menyebutkan bahwa GBS terjadi
segera setelah dilakukan vaksinasi. Pada tahun 1976, ketika vaksinasi untuk virus
influenza A H1N1, terdapat 1 dari 100.000 orang yang mengalami GBS.
Kemudian pada tahun 2009 terdapat 1-6 kasus per 1.000.000 orang yang
diberikan vaksin dan mengalami GBS (Wahyu, 2018).
D. Manifestasi klinis
Gejala GBS terutama berupa kelemahan motorik dan areflexia atau
menurunnya reflex tendon yang bersifat bilateral dan progresif. GBS
menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian
distal, serta diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat
ascendens secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat (Esposito dan Longo, 2017; Wijayanti,
2016; Charra et al, 2014). Pasien mungkin tidak dapat berdiri atau berjalan.
Kerusakan saraf motoris ini bervariasi pada masing-masing individu, mulai dari
kelemahan sampai pada quadriplegia flaksid. Kelemahan otot dapat terjadi
dengan atau tanpa kelemahan otot respirasi. Selain itu, terdapat beberapa gejala
tambahan yang biasanya menyertai GBS, meliputi gangguan pada N. Fasialis sisi
bilateral, facial flushing, kesulitan memulai BAK, kelainan dalam berkeringat,
dan penglihatan kabur (blurred visions) (Wijayanti, 2016; Lukito et al., 2010).
Menurut Leonhard et al (2019), terdapat beberapa gambaran klinis pada
penyakit GBS sebagai berikut :
1. Gambaran klinis khas (Typical clinical features)
GBS harus dipertimbangkan sebagai diagnosis pada pasien yang
mengalami kelemahan bilateral pada kaki dan atau lengan yang profresif
cepat, tanpa adanya keterlibatan dari sistem saraf pusat atau penyebab jelas
lainnya. Pasien dengan bentuk sensorimotor klasik GBS datang dengan
paresthesia distal atau kehilangan sensorik, disertai atau diikuti dengan
kelemahan yang dimulai dari tungkai dan berlanjut hingga ke lengan dan otot
kranial. Refleks menurun atau tidak ada pada kebanyakan pasien.
Disautonomia sering terjadi dan dapat mencakup tekanan darah atau
ketidakstabilan detak jantung, disfungsi pupil, dan disfungsi usus atau
kandung kemih. Nyeri sering dilaporkan dan dapat berupa otot, radikuler, atau
neuropatik. Onset penyakit akut atau subakut, dan pasien biasanya mencapai
kecacatan maksimum dalam 2 minggu. Pada pasien yang mencapai kecacatan
maksimum dalam 24 jam setelah onset penyakit atau setelah 4 minggu,
diagnosis alternatif harus dipertimbangkan. GBS memiliki perjalanan klinis
monofasik, meskipun TRFs dan relaps terjadi pada sebagian kecil pasien
(Leonhard et al., 2019).

2. Atipikal
GBS juga dapat muncul dengan klinis yang atipikal. Tanda kelemahan
dan sensorik, meskipun biasanya bilateral, dapat menjadi asimetris, proksimal
atau distal, dan dapat dimulai di tungkai, lengan, atau secara bersamaan di
semua anggota badan. Selanjutnya, nyeri parah dan menyebar atau disfungsi
saraf kranial terisolasi dapat mendahului awitan kelemahan. Kegagalan untuk
mengenali tanda-tanda ini sebagai diawal penyakit dapat menyebabkan
keterlambatan diagnosis (Leonhard et al, 2019).
3. Varian
Beberapa pasien memiliki varian klinis GBS yang berbeda dan persisten
yang tidak berkembang menjadi pola klasik dari kehilangan dan kelemahan
sensorik. Variasi ini meliputi kelemahan tanpa tanda sensorik (varian motoric
murni), kelemahan terbatas pada nervus kranial (kelumpuhan wajah bilateral
dengan paresthesia), bagian tubuh atas (kelemahan faring-leher-bahu) atau
bagian tubuh bawah (varian paraparesis), dan Miller Fisher syndrome (MFS)
yang dalam manifestasinya lengkap terdiri dari oftalmoplegia, arefleksia dan
ataksia.

Perjalanan klinis dari GBS terdiri dari 3 fase, yaitu (Wijayanti, 2016) :
1. Fase progresif
Fase progresif berlangsung dalam beberapa hari hingga empat minggu
sejak munculnya gejala hingga menetap. Pada fase ini timbul nyeri,
kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala
bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul.
Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
2. Fase plateau
Fase progresif diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak terdapat
perburukan maupun perbaikan dari gejala. Serangan telah berhenti namun
derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Nyeri hebat
sering ditemukan akibat peradangan saraf, kekakuan otot, dan sendi. Keadaan
umum penderita pada fase ini sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi.
3. Fase penyembuhan
Fase penyembuhan merupakan fase terakhir ditandai dengan terjadinya
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
antibodi yang merusak mielin, gejala berangsur-angsur menghilang, dan
penyembuhan sel saraf terjadi. Terapi pada fase ini bertujuan untuk terapi
fisik, yaitu membentuk otot pasien agar kekuatan dan pergerakan otot menjadi
normal. Lamanya fase ini bervariasi dan relaps dapat terjadi. Sebagian besar
penderita dapat kembali bekerja kembali dalam 3-6 bulan. Derajat
kesembuhan pasien tergantung dari kerusakan saraf yang terjadi.

E. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Dengan tidak adanya biomarker untuk GBS yang cukup sensitif dan
spesifik, diagnosis GBS didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan klinis, dan
didukung oleh pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan CSF dan
elektrodiagnostik. Dua set kriteria diagnostik yang paling umum digunakan untuk
GBS dikembangkan oleh National Institute of Neurological Disorders and Stroke
(NINDS) pada tahun 1978 (direvisi pada tahun 1990) (Gambar 1). Berikut
kriteria NINDS (Wijayanti, 2016):
1. Gejala utama
a. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataksia
b. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
2. Gejala tambahan
a. Progresivitas : gejala kelemahan motoric berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
b. Simetris atau bilateral
c. Adanya gejala sensoris yang ringan
d. Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena, khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
bulbar, kadang <5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau
saraf otak lain.
e. Disfungsi saraf otonom, yang dapat meliputi takikardi dan aritmia,
hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
f. Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
g. Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai 4 setelah progresivitas
berhenti.
3. Pemeriksaan LCS
a. Peningkatan protein
b. Sel MN <10µL
4. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
a. Kelemahan yang sifatnya asimetris
b. Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
c. Sel PMN atau MN di dalam LCS >50 µL
d. Gejala sensoris yang nyata
Pemeriksaan laboratorium mengarahkan pada diagnosis banding pada
pasien, tetapi pasien dengan GBS secara umum akan menjalani pemeriksaan
darah lengkap dan glukosa darah, elektrolit, fungsi ginjal, dan enzim hepar. Hasil
dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengeksklusi penyebab lain dari
paralisis flaksid akut, seperti infeksi atau metabolic atau disfungsi elektrolit
(Gambar 2).
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pemeriksaan LCS terutama digunakan untuk menyingkirkan penyebab
kelemahan selain GBS dan harus dilakukan selama evaluasi awal pasien.
Penemuan klasik di GBS adalah kombinasi dari peningkatan level protein
CSF dan jumlah sel CSF yang normal (dikenal sebagai albumino-cytological
disociation. Namun, kadar protein pada 30-50% pasien adalah normal pada
minggu pertama setelah onset penyakit dan 10-30% pasien pada minggu
kedua. Oleh sebab itu, kadar protein CSF yang normal tidak
mengesampingkan diagnosis GBS. Pleositosis yang ditandai (> 50 sel / μl)
menunjukkan patologi lain, seperti keganasan leptomeningeal atau penyakit
infeksi atau inflamasi pada sumsum tulang belakang atau radiks saraf.
Pleositosis ringan (10–50 sel / μl), meskipun kompatibel dengan GBS, tetap
harus mendorong klinis untuk mempertimbangkan diagnosis alternatif, seperti
penyebab infeksi poliradikulitis.
Gambar 1. Kriteria Diagnosis GBS (Leonhard et al., 2019).

2. Studi elektrofisiologi
Secara umum, pemeriksaan elektrofisiologi dengan GBS akan menunjukkan
poliradikuloneuropati sensorimotor atau poli neuropati yang ditunjukkan dengan
kecepatan konduksi yang berkurang, berkurangnya amplitudo yang ditimbulkan
sensorik dan motorik, dispersi temporal yang abnormal dan / atau blok konduksi
motorik parsial. Studi elektrofisiologi menunjukkan bukti dari disfungsi sistem
saraf tepi/ peripheral nerve system dan dapat membedakan antara subtype GBS
yang terdiri dari polyradiculoneuropathy demielinasi inflamasi akut (AIDP),
neuropati aksonal motorik akut (AMAN) dan neuropati aksonal sensorik motorik
akut (AMSAN) (Leonhard et al., 2019).
Gambar 2. Diagnosis Banding GBS (Leonhard et al., 2019).
F. Terapi Imunoglobulin pada GBS
Terapi imun (immunotherapy) dalam pengobatan untuk pasien dengan GBS
terdiri dari plasma exchange (PE)/ plasmafaresis dan intravena immunoglobulin
(IVIG) yang mana keduanya sama-sama efektif untuk dewasa dan anak-anak jika
diberikan selama beberapa minggu pertama penyakit. Hingga saat belum ada
terapi lain yang terbukti efektif untuk terapi GBS. Terapi yang paling banyak
digunakan untuk pasien dengan GBS adalah intravena immunoglobulin (Doorn et
al., 2010).
1. Definisi Intravena Immunoglobulin
Intravena immunoglobulin (IVIG) merupakan produk IgG steril dan
dimurnikan, yang terbuat dari plasma manusia yang dikumpulkan dari 3000-
10.000 donor sehat. IgG biasanya mengandung lebih dari 95% IgG yang tidak
dimodifikasi yang memiliki fungsi efektor yang bergantung pada Fc dan
hanya mengandung sejumlah kecil IgA dan IgM (Medscape, 2018). IVIG
diberikan untuk membantu menghentikan antibodi berbahaya yang merusak
saraf (NHS UK, 2020). IVIG terbukti efektif dalam mengurangi kegawatan
dan memperpendek perjalanan penyakit (Wijayanti, 2016).
IVIG sebelumnya diperkenalkan untuk terapi pada trompositopena
autoimun dan gangguan autoimun lainnya, termasuk poliradikuloneuropati
demielinasi inflamasi kronis (Huges et al., 2019). Pada penderita GBS, sistem
imun memproduksi antibodi berbahaya yang menyerang sistem saraf (NHS
UK, 2020). Pemberian IVIG diduga dapat menetralisasi antibodi mielin yang
beredar dengan berperan sebagai antibodi anti–idiotipik, menurunkan sitokin
proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen serta mempercepat
proses mielinisasi. Penggunaan IVIG dapat memodulasi respon humoral
dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam
tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam.
IVIG juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik
oleh makrofag (Wijayanti, 2016).
Sebuah uji trial dilakukan untuk membandingkan efikasi IVIG dan
plasmaferesis pada 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasilnya
menunjukkan bahwa IVIG tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh
lebih efektif dibandingkan plasmaferesis. IVIG lebih menguntungkan
dibandingkan dengan plasmaferesis karena efek samping dan komplikasi yang
sifatnya lebih ringan. Selain itu, sediaan IVIG lebih mudah didapatkan dan
pemberiannya tidak memerlukan alat khusus serta tolerabilitasnya yang baik
(Wijayanti, 2016; Huges et al., 2019; Leonhard et al., 2019).
2. Fungsi Intravena Immunoglobulin
Banyak alasan potensial untuk manfaat IVIG pada penyakit autoimun
yang meliputi, blokade reseptor Fc pada makrofag yang mencegah serangan
bertarget antibodi pada membran sel Schwann dan myelin, regulasi
autoantibodi atau sitokin oleh antibodi anti-idiotipik atau anti-sitokin dalam
kumpulan immunoglobulin, peningkatan regulasi reseptor Fc-gamma IIB pada
sel B, penurunan regulasi faktor pengaktif sel B, dan interferensi dengan
kaskade komplemen atau efek regulasi pada sel T (Huges et al., 2019;
Wijayanti, 2016).
IVIG merupakan agen imunomodulasi yang memiliki banyak aktivitas,
meliputi modulasi aktivitas komponen, penekanan antibody idiopatik,
kejenuhan reseptor Fc pada makrofag, dan penekanan pada berbagai mediator
inflamasi, termasuk sitokin, kemokin, dan metalloproteinase (Medscape,
2018).
3. Dosis
IVIG sekarang telah tersedia secara luas dan telah disetujui oleh Food
and Drugs Administrator (FDA) untuk terapi imunodefisiensi humoral primer
dan purpura trombositopenia imun kronis (Medscape, 2018). Terdapat dua
jenis IVIG yang tersedia saat ini, yaitu 7S-IVIG yang memiliki struktur IgG
yang utuh dan 5S-IVIG yang memiliki struktur IgG yang tidak utuh dimana
segmen F(ab)1/2 dipotong. Keuntungan dari 5S-IVIG yaitu menekan pelepasan
mediator inflamasi, menurunkan supresi imun, penetrasi pada jaringan lebih
cepat dan mempunyai efek sinergis dengan antibiotik (Kurniawan dan
Nurlela, 2017).
Saat ini, regimen standar IVIG yang direkomendasikan yaitu 2 gr/kgBB
yang dibagi menjadi 3-5 hari, atau 0.4 gr/kgBB setiap hari selama 5 hari
berturut-turut (Huges et al., 2019; Verboon et al., 2017) menjadi first line/ lini
pertama untuk terapi pada pasien GBS yang tidak dapat berjalan tanpa
bantuan atau kondisinya yang lebih buruk, dan GBS yang masih dalam 2
minggu pertama sejak onset kelemahan terjadi (Walgaard et al., 2018).
4. Farmakokinetik
IVIG memiliki paruh waktu sekitar 18 sampai 32 hari, yang mana mirip
dengan IgG serum natif. Terdapat bukti tidak langsung bahwa dosis standar
IVIG terlalu rendah untuk beberapa pasien dengan GBS. Terdapat 10% pasien
yang telah dibri IVIG mengalami kekambuhan awal setelah perbaikan dan
stabilisasi awal, dan pasien tersebut membaik setelah diberikan IVIG kedua.
Kemudian, terdapat beberapa pasien yang tidak menunjukkan tanda perbaikan
atau memburuk pada minggu pertama setelah pemberian IVIG (Kuitwaard et
al., 2009).
Pemberian IVIG standar 2gr/kgBB menghasilkan peningkatan kadar
serum IgG yang bervariasi antar pasien dengan GBS. Dua minggu setelah
dimulainya terapi, ΔIgG berkisar antara Δ5g/L hingga 26g/L, dengan <4g/L
dalam kuartil terendah dan >10g/L dalam kuartil tertinggi. Variasi dalam
ΔIgG tidak berkorelasi terhadap jenis kelamin, usia, berat badan, adanya
gejala infeksi yang mendahului infeksi, atau terapi tambahan dengan
metilprednisolon (Kuitwaard et al., 2009).
Pasien dengan GBS yang memiliki ΔIgG rendah memiliki perjalanan
klinis dan outcome yang lebih parah setelah pemberian IVIG dosis standar.
Hal tersebut menjadi faktor prognostic independen. ΔIgG yang rendah setelah
2 minggu pemberian IVIG berhubungan dengan defisit klinis yang lebih
parah, yang ditentukan dengan jumlah skor MRC dan skor disabilitas GBS,
dan frekuensi ventilasi mekanik yang lebih tinggi. Sebagai tambahan, IgG
yang rendah berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan untuk
mengalami disabilitas menetap 6 bulan setelah terapi (Kuitwaard et al., 2009).
5. Efek samping
Efek samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak
nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan
mengalami perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah
dengan pre-medikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu
methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi
meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki,
dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan
jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat
sindrom hiperviskositas (Wijayanti, 2016).
Pemberian IVIg dapat menimbulkan efek samping berupa nyeri kepala,
ruam, demam, myalgia, dan peningkatan kadar serum alanine
aminotransferase. Syok anafilaktik dapat pula terjadi sebagai efek samping
yang berat dari pemberian IVIg. Menurut Huges et al (2019), efek samping
yang dapat terjadi meliputi demam, myalgia, sakit kepala, hipotensi,
mengisism, urtikaria, alopesia, dan anafilaksis (Huges et al., 2019). Selain itu,
menurut Verboon et al (2020), efek samping serius dari IVIG yang dapat
terjadi meliputi anafilaksis, gagal ginjal akut (acute kidney injury), kejadian
tromboemboli, atau anemia hemolitik (Verboon et al., 2020).
G. Komplikasi
Komplikasi pada GBS dapat menyebabkan morbiditas yang parah dan
kematian. Beberapa dari komplikasi ini meliputi ulkus yang terjadi karena
tekanan, infeksi yang didapat di rumah sakit, seperti pneumonia dan infeksi
salurah kemih (ISK), dan deep vein thrombosis (DVT). Komplikasi lainnya yang
lebih spesifik terhadap GBS adalah facial palsy, kontraktur tungkai, osifikasi dan
kelumpuhan. Nyeri, halusinasi, cemas, dan depresi juga sering terjadi pada pasien
dengan GBS (Leonhard et al., 2019).
Pengenalan dan pengobatan yang memadai terhadap gejala dan nyeri
psikologis pada tahap awal penting dilakukan karena gejala tersebut dapat
berdampak besar pada kesejahteraan pasien. Manajemen komplikasi yang
memadai paling baik dilakukan oleh tim multidisiplin, yang meliputi dokter,
perawat, fisioterapis, spesialis rehabilitasi, terapis okupasi, terapis wicara dan ahli
diet (Leonhard et al., 2019). Berikut ini merupakan komplikasi penting yang perlu
diperhatikan pada pasien dengan GBS (Leonhard et al., 2019).

Gambar 3. Komplikasi pada GBS (Leonhard et al., 2019).


H. Prognosis
Prognosis GBS umumnya baik, namun pada beberapa kasus berat dapat
menyebabkan kematian yang disebabkan oleh gagal nafas. Kekambuhan
diperkirakan terjadi sebesar 2-5%. Pada setiap pasien dengan GBS, memiliki
perjalanan klinis yang sangat bervariasi dan sulit untuk diprediksi. Usia lanjut
umumnya dilaporkan sebagai faktor prognostik negatif. Studi sebelumnya
menunjukkan bahwa perbedaan keparahan GBS dapat ditentukan pada fase awal
penyakit. Blok konduksi saraf peroneus dan usia di atas 40 tahun ternyata menjadi
prediktor independen dari kecacatan pada 6 bulan (Leonhard et al., 2019).
Terdapat sistem penilaian prognostik klinis sederhana yang secara akurat
memprediksi kemungkinan berjalan mandiri setelah 6 bulan. Skala Hasil GBS
Erasmus (EGOS) dapat dengan mudah dihitung setelah 2 minggu pertama sejak
onset penyakit menggunakan usia, adanya diare sebelumnya, dan skor kecacatan
GBS. Berdasarkan EGOS, peluang pemulihan yang diprediksi untuk berjalan
mandiri setelah 6 bulan berkisar antara 1% hingga 83%. EGOS dapat digunakan
untuk menginformasikan pasien tentang prognosisnya (Doorn, et al., 2010).

III.KESIMPULAN
Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan penyakit pada sistem saraf tepi
dengan insidensi langka. GBS terjadi karena adanya rangsang pada sistem imun
dan faktor risiko yang diduga berkaitan dengan penyakit ini yaitu riwayat infeksi
bakteri atau virus. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni dilaporkan paling sering
berasosiasi dengan GBS.
GBS sering menjadi penyebab kelumpuhan neuromuskuler yang terjadi
pada semua usia. Insidensi global dari GBS mencapai 1-2 per 100.000 orang/
tahun. GBS dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi bakteri
atau virus atau disebut juga dengan gangguan post-infeksius. Infeksi sebelumnya
yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni yang ditemukan
pada 25-50% kasus di Asia.
GBS dapat menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal, serta diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat
ekstremitas yang bersifat ascendens secara progresif, dalam hitungan jam, hari
maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Gejala GBS terutama
berupa kelemahan motorik dan areflexia atau menurunnya reflex tendon yang
bersifat bilateral dan progresif.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian
yang diperkirakan mencapai 3-10% dari pasien dengan GBS bahkan dengan
pelayanan terbaik yang tersedia. Gejala otonom terjadi pada dua per tiga pasien
dan meliputi instabilitas tekanan darah (hipotensi atau hipertensi), takikardia,
aritmia jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis, retensi urin, gangguan hidrosis
dan penurunan motilitas gastrointestinal.
Diagnosis dari GBS berdasarkan pada riwayat pasien, neurologis,
elektrofisiologi dan pemeriksaan cairan serebrospinal. Pada pemeriksaan
neurologis meliputi pemeriksaan sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis
dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF (cerebrospinal fluid)
melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya kenaikan protein dan jumlah sel.
Profil CSF dapat menunjukkan hasil normal pada 48 jam pertama onset GBS.
Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu kedua sampai mencapai puncak dalam 4
-6 minggu. Pemeriksaan elektrofisiologis dilakukan menggunakan
Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV). NCV akan
menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam aktivitas otot sehingga
mampu mendeteksi kelemahan reflek dan respon saraf.
Terapi imun (immunotherapy) dalam pengobatan untuk pasien dengan GBS
terdiri dari plasma exchange (PE)/ plasmafaresis dan intravena immunoglobulin
(IVIG) yang mana keduanya sama-sama efektif untuk dewasa dan anak-anak jika
diberikan selama beberapa minggu pertama penyakit. Intravena immunoglobulin
(IVIG) merupakan pengobatan yang dibuat dari darah donor yang mengandung
antibodi sehat. IVIG diberikan untuk membantu menghentikan antibodi
berbahaya yang merusak saraf. Pemberian IVIG diduga dapat menetralisasi
antibodi mielin yang beredar dengan berperan sebagai antibodi anti–idiotipik,
menurunkan sitokin proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen serta
mempercepat proses mielinisasi. Namun terdapat beberapa efek samping, seperti
nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung
muncul pada 10% kasus.
Komplikasi pada pasien dengan GBS, meliputi ulkus yang terjadi karena
tekanan, infeksi yang didapat di rumah sakit, seperti pneumonia dan infeksi
salurah kemih (ISK), dan deep vein thrombosis (DVT). Komplikasi lainnya yang
lebih spesifik terhadap GBS adalah facial palsy, kontraktur tungkai, osifikasi dan
kelumpuhan. Nyeri, halusinasi, cemas, dan depresi juga sering terjadi. Prognosis
GBS umumnya baik, namun pada beberapa kasus berat dapat menyebabkan
kematian yang disebabkan oleh gagal nafas.

DAFTAR PUSTAKA

Burns, Ted M. 2008. Guillain-Barre Syndrome. Semin Neurol. 28(2):152-167.


Charra, Boubaker, Abdelhamid Hachimi, Abdellatif Benslama, Said
Motaouakkil. 2014. Intravenous immunoglobulin vs plasma exchange in
treatment of mechanically ventilated adults with Guillain-Barré syndrome.
Pan African Medical Journal. 1(3):113-118.
Doorn, Pieter A. van, Krista Kuitwaard, Christa Walgaard, Rinske van
Koningsveld, Liselotte Ruts, Bart C. Jacobs. 2010. IVIG Treatment and
Prognosis in Guillain–Barré Syndrome. J Clin Immuno. 30 (Suppl 1):S74–
S78.
Esposito, Susanna, Maria Roberta Longo. 2017. Guillain-Bare Syndrome.
Autoimmunity Reviews. 16(2017): 96-101.
Hughes RAC, Swan AV, van Doorn PA. 2016. Intravenous immunoglobulin for
Guillain-Barré syndrome (Review). Cochrane Database of Systematic
Review.
Kuitwaard, Krista et al.,2009. Pharmacokinetics of Intravenous Immunoglobulin
and Outcome in GuillainBarre´ Syndrome. American Neurological
Association. Vol 66 (5): 597-601.
Leonhard et al., 2019. Diagnosis and management of Guillain–Barré syndrome in
ten steps. Neurology. 15: 671-683.
NHS UK. 2020. Guillain barre syndrome. Diakses tanggal 23 September 2020:
https://www.nhs.uk/conditions/guillain-barre-syndrome/
Verboon, Christine, Pieter A Van Doorn, Bart C Jacobs. 2016. Treatment
dilemmas in Guillain-Barré syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2017
(88):346–352.
Verboon, Kristine et al., Second IVIg course in Guillain-Barré syndrome with
poor prognosis: the non-randomised. 2020. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2020(91):113–121.
Wahyu, Fadlan Fadilah. 2018. Guillain-Barré syndrome: Penyakit Langka
Beronset Akut yang Mengancam Nyawa Medula. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Vol. 8, No. 1:112-116.
Walgaard, Christa et al. 2018. Second IVIg Course in Guillain-Barré Syndrome
patients with poor prognosis (SID-GBS trial): protocol for a double-blind
randomized, placebo-controlled clinical trial.
Wijayanti, Sri. 2016. Aspek Klinis Dan Penatalaksanaan Guillain–Barré
Syndrome. Kepaniteraan Bagian/ SMF Neurologi.

Anda mungkin juga menyukai