Oleh :
Intan Rahmawati G4A019010
Pembimbing
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di
Bagian Ilmu Kesehatan Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun Oleh :
Intan Rahmawati G4A019010
Pembimbing
2. Atipikal
GBS juga dapat muncul dengan klinis yang atipikal. Tanda kelemahan
dan sensorik, meskipun biasanya bilateral, dapat menjadi asimetris, proksimal
atau distal, dan dapat dimulai di tungkai, lengan, atau secara bersamaan di
semua anggota badan. Selanjutnya, nyeri parah dan menyebar atau disfungsi
saraf kranial terisolasi dapat mendahului awitan kelemahan. Kegagalan untuk
mengenali tanda-tanda ini sebagai diawal penyakit dapat menyebabkan
keterlambatan diagnosis (Leonhard et al, 2019).
3. Varian
Beberapa pasien memiliki varian klinis GBS yang berbeda dan persisten
yang tidak berkembang menjadi pola klasik dari kehilangan dan kelemahan
sensorik. Variasi ini meliputi kelemahan tanpa tanda sensorik (varian motoric
murni), kelemahan terbatas pada nervus kranial (kelumpuhan wajah bilateral
dengan paresthesia), bagian tubuh atas (kelemahan faring-leher-bahu) atau
bagian tubuh bawah (varian paraparesis), dan Miller Fisher syndrome (MFS)
yang dalam manifestasinya lengkap terdiri dari oftalmoplegia, arefleksia dan
ataksia.
Perjalanan klinis dari GBS terdiri dari 3 fase, yaitu (Wijayanti, 2016) :
1. Fase progresif
Fase progresif berlangsung dalam beberapa hari hingga empat minggu
sejak munculnya gejala hingga menetap. Pada fase ini timbul nyeri,
kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala
bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul.
Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
2. Fase plateau
Fase progresif diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak terdapat
perburukan maupun perbaikan dari gejala. Serangan telah berhenti namun
derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Nyeri hebat
sering ditemukan akibat peradangan saraf, kekakuan otot, dan sendi. Keadaan
umum penderita pada fase ini sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi.
3. Fase penyembuhan
Fase penyembuhan merupakan fase terakhir ditandai dengan terjadinya
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
antibodi yang merusak mielin, gejala berangsur-angsur menghilang, dan
penyembuhan sel saraf terjadi. Terapi pada fase ini bertujuan untuk terapi
fisik, yaitu membentuk otot pasien agar kekuatan dan pergerakan otot menjadi
normal. Lamanya fase ini bervariasi dan relaps dapat terjadi. Sebagian besar
penderita dapat kembali bekerja kembali dalam 3-6 bulan. Derajat
kesembuhan pasien tergantung dari kerusakan saraf yang terjadi.
2. Studi elektrofisiologi
Secara umum, pemeriksaan elektrofisiologi dengan GBS akan menunjukkan
poliradikuloneuropati sensorimotor atau poli neuropati yang ditunjukkan dengan
kecepatan konduksi yang berkurang, berkurangnya amplitudo yang ditimbulkan
sensorik dan motorik, dispersi temporal yang abnormal dan / atau blok konduksi
motorik parsial. Studi elektrofisiologi menunjukkan bukti dari disfungsi sistem
saraf tepi/ peripheral nerve system dan dapat membedakan antara subtype GBS
yang terdiri dari polyradiculoneuropathy demielinasi inflamasi akut (AIDP),
neuropati aksonal motorik akut (AMAN) dan neuropati aksonal sensorik motorik
akut (AMSAN) (Leonhard et al., 2019).
Gambar 2. Diagnosis Banding GBS (Leonhard et al., 2019).
F. Terapi Imunoglobulin pada GBS
Terapi imun (immunotherapy) dalam pengobatan untuk pasien dengan GBS
terdiri dari plasma exchange (PE)/ plasmafaresis dan intravena immunoglobulin
(IVIG) yang mana keduanya sama-sama efektif untuk dewasa dan anak-anak jika
diberikan selama beberapa minggu pertama penyakit. Hingga saat belum ada
terapi lain yang terbukti efektif untuk terapi GBS. Terapi yang paling banyak
digunakan untuk pasien dengan GBS adalah intravena immunoglobulin (Doorn et
al., 2010).
1. Definisi Intravena Immunoglobulin
Intravena immunoglobulin (IVIG) merupakan produk IgG steril dan
dimurnikan, yang terbuat dari plasma manusia yang dikumpulkan dari 3000-
10.000 donor sehat. IgG biasanya mengandung lebih dari 95% IgG yang tidak
dimodifikasi yang memiliki fungsi efektor yang bergantung pada Fc dan
hanya mengandung sejumlah kecil IgA dan IgM (Medscape, 2018). IVIG
diberikan untuk membantu menghentikan antibodi berbahaya yang merusak
saraf (NHS UK, 2020). IVIG terbukti efektif dalam mengurangi kegawatan
dan memperpendek perjalanan penyakit (Wijayanti, 2016).
IVIG sebelumnya diperkenalkan untuk terapi pada trompositopena
autoimun dan gangguan autoimun lainnya, termasuk poliradikuloneuropati
demielinasi inflamasi kronis (Huges et al., 2019). Pada penderita GBS, sistem
imun memproduksi antibodi berbahaya yang menyerang sistem saraf (NHS
UK, 2020). Pemberian IVIG diduga dapat menetralisasi antibodi mielin yang
beredar dengan berperan sebagai antibodi anti–idiotipik, menurunkan sitokin
proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen serta mempercepat
proses mielinisasi. Penggunaan IVIG dapat memodulasi respon humoral
dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam
tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam.
IVIG juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik
oleh makrofag (Wijayanti, 2016).
Sebuah uji trial dilakukan untuk membandingkan efikasi IVIG dan
plasmaferesis pada 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasilnya
menunjukkan bahwa IVIG tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh
lebih efektif dibandingkan plasmaferesis. IVIG lebih menguntungkan
dibandingkan dengan plasmaferesis karena efek samping dan komplikasi yang
sifatnya lebih ringan. Selain itu, sediaan IVIG lebih mudah didapatkan dan
pemberiannya tidak memerlukan alat khusus serta tolerabilitasnya yang baik
(Wijayanti, 2016; Huges et al., 2019; Leonhard et al., 2019).
2. Fungsi Intravena Immunoglobulin
Banyak alasan potensial untuk manfaat IVIG pada penyakit autoimun
yang meliputi, blokade reseptor Fc pada makrofag yang mencegah serangan
bertarget antibodi pada membran sel Schwann dan myelin, regulasi
autoantibodi atau sitokin oleh antibodi anti-idiotipik atau anti-sitokin dalam
kumpulan immunoglobulin, peningkatan regulasi reseptor Fc-gamma IIB pada
sel B, penurunan regulasi faktor pengaktif sel B, dan interferensi dengan
kaskade komplemen atau efek regulasi pada sel T (Huges et al., 2019;
Wijayanti, 2016).
IVIG merupakan agen imunomodulasi yang memiliki banyak aktivitas,
meliputi modulasi aktivitas komponen, penekanan antibody idiopatik,
kejenuhan reseptor Fc pada makrofag, dan penekanan pada berbagai mediator
inflamasi, termasuk sitokin, kemokin, dan metalloproteinase (Medscape,
2018).
3. Dosis
IVIG sekarang telah tersedia secara luas dan telah disetujui oleh Food
and Drugs Administrator (FDA) untuk terapi imunodefisiensi humoral primer
dan purpura trombositopenia imun kronis (Medscape, 2018). Terdapat dua
jenis IVIG yang tersedia saat ini, yaitu 7S-IVIG yang memiliki struktur IgG
yang utuh dan 5S-IVIG yang memiliki struktur IgG yang tidak utuh dimana
segmen F(ab)1/2 dipotong. Keuntungan dari 5S-IVIG yaitu menekan pelepasan
mediator inflamasi, menurunkan supresi imun, penetrasi pada jaringan lebih
cepat dan mempunyai efek sinergis dengan antibiotik (Kurniawan dan
Nurlela, 2017).
Saat ini, regimen standar IVIG yang direkomendasikan yaitu 2 gr/kgBB
yang dibagi menjadi 3-5 hari, atau 0.4 gr/kgBB setiap hari selama 5 hari
berturut-turut (Huges et al., 2019; Verboon et al., 2017) menjadi first line/ lini
pertama untuk terapi pada pasien GBS yang tidak dapat berjalan tanpa
bantuan atau kondisinya yang lebih buruk, dan GBS yang masih dalam 2
minggu pertama sejak onset kelemahan terjadi (Walgaard et al., 2018).
4. Farmakokinetik
IVIG memiliki paruh waktu sekitar 18 sampai 32 hari, yang mana mirip
dengan IgG serum natif. Terdapat bukti tidak langsung bahwa dosis standar
IVIG terlalu rendah untuk beberapa pasien dengan GBS. Terdapat 10% pasien
yang telah dibri IVIG mengalami kekambuhan awal setelah perbaikan dan
stabilisasi awal, dan pasien tersebut membaik setelah diberikan IVIG kedua.
Kemudian, terdapat beberapa pasien yang tidak menunjukkan tanda perbaikan
atau memburuk pada minggu pertama setelah pemberian IVIG (Kuitwaard et
al., 2009).
Pemberian IVIG standar 2gr/kgBB menghasilkan peningkatan kadar
serum IgG yang bervariasi antar pasien dengan GBS. Dua minggu setelah
dimulainya terapi, ΔIgG berkisar antara Δ5g/L hingga 26g/L, dengan <4g/L
dalam kuartil terendah dan >10g/L dalam kuartil tertinggi. Variasi dalam
ΔIgG tidak berkorelasi terhadap jenis kelamin, usia, berat badan, adanya
gejala infeksi yang mendahului infeksi, atau terapi tambahan dengan
metilprednisolon (Kuitwaard et al., 2009).
Pasien dengan GBS yang memiliki ΔIgG rendah memiliki perjalanan
klinis dan outcome yang lebih parah setelah pemberian IVIG dosis standar.
Hal tersebut menjadi faktor prognostic independen. ΔIgG yang rendah setelah
2 minggu pemberian IVIG berhubungan dengan defisit klinis yang lebih
parah, yang ditentukan dengan jumlah skor MRC dan skor disabilitas GBS,
dan frekuensi ventilasi mekanik yang lebih tinggi. Sebagai tambahan, IgG
yang rendah berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan untuk
mengalami disabilitas menetap 6 bulan setelah terapi (Kuitwaard et al., 2009).
5. Efek samping
Efek samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak
nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan
mengalami perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah
dengan pre-medikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu
methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi
meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki,
dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan
jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat
sindrom hiperviskositas (Wijayanti, 2016).
Pemberian IVIg dapat menimbulkan efek samping berupa nyeri kepala,
ruam, demam, myalgia, dan peningkatan kadar serum alanine
aminotransferase. Syok anafilaktik dapat pula terjadi sebagai efek samping
yang berat dari pemberian IVIg. Menurut Huges et al (2019), efek samping
yang dapat terjadi meliputi demam, myalgia, sakit kepala, hipotensi,
mengisism, urtikaria, alopesia, dan anafilaksis (Huges et al., 2019). Selain itu,
menurut Verboon et al (2020), efek samping serius dari IVIG yang dapat
terjadi meliputi anafilaksis, gagal ginjal akut (acute kidney injury), kejadian
tromboemboli, atau anemia hemolitik (Verboon et al., 2020).
G. Komplikasi
Komplikasi pada GBS dapat menyebabkan morbiditas yang parah dan
kematian. Beberapa dari komplikasi ini meliputi ulkus yang terjadi karena
tekanan, infeksi yang didapat di rumah sakit, seperti pneumonia dan infeksi
salurah kemih (ISK), dan deep vein thrombosis (DVT). Komplikasi lainnya yang
lebih spesifik terhadap GBS adalah facial palsy, kontraktur tungkai, osifikasi dan
kelumpuhan. Nyeri, halusinasi, cemas, dan depresi juga sering terjadi pada pasien
dengan GBS (Leonhard et al., 2019).
Pengenalan dan pengobatan yang memadai terhadap gejala dan nyeri
psikologis pada tahap awal penting dilakukan karena gejala tersebut dapat
berdampak besar pada kesejahteraan pasien. Manajemen komplikasi yang
memadai paling baik dilakukan oleh tim multidisiplin, yang meliputi dokter,
perawat, fisioterapis, spesialis rehabilitasi, terapis okupasi, terapis wicara dan ahli
diet (Leonhard et al., 2019). Berikut ini merupakan komplikasi penting yang perlu
diperhatikan pada pasien dengan GBS (Leonhard et al., 2019).
III.KESIMPULAN
Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan penyakit pada sistem saraf tepi
dengan insidensi langka. GBS terjadi karena adanya rangsang pada sistem imun
dan faktor risiko yang diduga berkaitan dengan penyakit ini yaitu riwayat infeksi
bakteri atau virus. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni dilaporkan paling sering
berasosiasi dengan GBS.
GBS sering menjadi penyebab kelumpuhan neuromuskuler yang terjadi
pada semua usia. Insidensi global dari GBS mencapai 1-2 per 100.000 orang/
tahun. GBS dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi bakteri
atau virus atau disebut juga dengan gangguan post-infeksius. Infeksi sebelumnya
yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni yang ditemukan
pada 25-50% kasus di Asia.
GBS dapat menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal, serta diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat
ekstremitas yang bersifat ascendens secara progresif, dalam hitungan jam, hari
maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Gejala GBS terutama
berupa kelemahan motorik dan areflexia atau menurunnya reflex tendon yang
bersifat bilateral dan progresif.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian
yang diperkirakan mencapai 3-10% dari pasien dengan GBS bahkan dengan
pelayanan terbaik yang tersedia. Gejala otonom terjadi pada dua per tiga pasien
dan meliputi instabilitas tekanan darah (hipotensi atau hipertensi), takikardia,
aritmia jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis, retensi urin, gangguan hidrosis
dan penurunan motilitas gastrointestinal.
Diagnosis dari GBS berdasarkan pada riwayat pasien, neurologis,
elektrofisiologi dan pemeriksaan cairan serebrospinal. Pada pemeriksaan
neurologis meliputi pemeriksaan sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis
dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF (cerebrospinal fluid)
melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya kenaikan protein dan jumlah sel.
Profil CSF dapat menunjukkan hasil normal pada 48 jam pertama onset GBS.
Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu kedua sampai mencapai puncak dalam 4
-6 minggu. Pemeriksaan elektrofisiologis dilakukan menggunakan
Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV). NCV akan
menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam aktivitas otot sehingga
mampu mendeteksi kelemahan reflek dan respon saraf.
Terapi imun (immunotherapy) dalam pengobatan untuk pasien dengan GBS
terdiri dari plasma exchange (PE)/ plasmafaresis dan intravena immunoglobulin
(IVIG) yang mana keduanya sama-sama efektif untuk dewasa dan anak-anak jika
diberikan selama beberapa minggu pertama penyakit. Intravena immunoglobulin
(IVIG) merupakan pengobatan yang dibuat dari darah donor yang mengandung
antibodi sehat. IVIG diberikan untuk membantu menghentikan antibodi
berbahaya yang merusak saraf. Pemberian IVIG diduga dapat menetralisasi
antibodi mielin yang beredar dengan berperan sebagai antibodi anti–idiotipik,
menurunkan sitokin proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen serta
mempercepat proses mielinisasi. Namun terdapat beberapa efek samping, seperti
nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung
muncul pada 10% kasus.
Komplikasi pada pasien dengan GBS, meliputi ulkus yang terjadi karena
tekanan, infeksi yang didapat di rumah sakit, seperti pneumonia dan infeksi
salurah kemih (ISK), dan deep vein thrombosis (DVT). Komplikasi lainnya yang
lebih spesifik terhadap GBS adalah facial palsy, kontraktur tungkai, osifikasi dan
kelumpuhan. Nyeri, halusinasi, cemas, dan depresi juga sering terjadi. Prognosis
GBS umumnya baik, namun pada beberapa kasus berat dapat menyebabkan
kematian yang disebabkan oleh gagal nafas.
DAFTAR PUSTAKA