Anda di halaman 1dari 24

Referat Divisi Neurologi

Penyaji : dr. Syifa Munawarah


NIM : 2007601050014
Hari/Tanggal : Selasa, 21/06/2022
Pembimbing : Dr. dr. Anidar, Sp. A (K)

Sindrom Guillain-Barré dan Diagnosis Banding Sindrom Guillain-Barré Pada Anak

1. Pendahuluan
Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan salah satu gangguan neurologis yang dapat
menyebabkan terjadinya kelumpuhan atau kelemahan pada ekskremitas yang bersifat progresif
hingga menyebabkan terjadinya kondisi emergensi seperti kelumpuhan pada otot-otot
pernapasan. Para peneliti berasumsi bahwa SGB terjadi akibat adanya hubungan antara infeksi
virus atau bakteri terhadap sistem persarafan pasien, seperti persarafan motorik, sensorik,
otonom dan kranial. Beberapa bakteri dan virus yang telah berhasil diidentifikasi sebagai
patogen penyebab terjadinya SGB yaitu Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, Epstein-Barr
virus, dan Mycoplasma pneumoniae.1
Indian Academy of Pediatrics menyatakan bahwa insidensi kasus SGB pada anak yang
berusia <18 tahun sebanyak 0.3-1.3 kasus per 100.000 orang. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa insidensi kasus SGB cukup jarang ditemukan pada anak. Rata-rata insidensi kasus SGB
pada anak sebanyak 0.82-3.25 per 100.000 orang. Di Indonesia, insidensi kasus SGB tidak jauh
berbeda dengan insidensi kasus SGB di seluruh dunia. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh
Rumah Sakit Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo melaporkan bahwa insidensi kasus SGB
pada anak sebanyak 7.6 kasus per tahun dari tahun 2010 sampai 2014. Studi yang dilakukan di
Surabaya menunjukkan bahwa insidensi kasus SGB paling banyak ditemukan pada anak yang
berusia <15 tahun.2,3
SGB memiliki beberapa subtipe yaitu Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
(AIDP), Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN), Acute Motor and Sensory Axonal
Neuropathy (AMSAN), and Miller-Fisher Syndrome (MFS). Subtipe SGB tersebut memiliki
beberapa perbedaan seperti tingkat perkembangan penyakit, waktu pemulihan, keterlibatan
defisit sensorik, disfungsi otonom, keterlibatan saraf kranial, dan lain-lain. Presentasi klinis pada
anak dengan SGB bervariasi karena pada beberapa kasus SGB bersifat atipikal atau gejala klinis

1
yang tidak khas seperti pasien mengeluhkan adanya nyeri pada kedua ekskremitas bawah
sebelum berubah menjadi kelemahan motorik pada kedua ekskremitasnya. Meskipun manifestasi
klinis SGB bersifat heterogen, manifestasi klinis tersebut masih menjadi ciri diagnosis karena
tidak ada tanda patognomonik dan biomarker yang khas untuk setiap varian. Pemeriksaan
penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis SGB seperti pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSF), dan pemeriksaan elektromiografi.3
Berdasarkan beberapa konsensus dan laporan kasus menunjukkan bahwa penatalaksanaan
kasus SGB pada anak adalah dengan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg) dan plasma
exchange (plasmapheresis). Modupalli dkk. di dalam laporan kasusnya memaparkan bahwa
pemberian IVIg cukup efektif pada anak dengan diagnosis SGB. Pasien pada laporan kasus
tersebut mendapatkan IVIg selama 10 hari dan menunjukkan perkembangan kondisi klinis yang
signifikan hingga pasien dapat melakukan rawat jalan. Roodboi dkk. di dalam penelitiannya juga
memaparkan bahwa anak yang mendapatkan pemberian IVIg, plasmapheresis, dan IVIg dengan
steroid memiliki perkembangan yang signifikan. Akan tetapi, dari delapan anak yang
mendapatkan terapi kombinasi IVIg dengan steroid pada fase akut SGB, satu anak mengalami
peningkatan tekanan intrakranial pasca pemberian terapi kombinasi tersebut.3,4

Tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan kita terkait
Sindrom Guillain-Barré dan diagnosa banding Sindrom Guillain-Barré pada anak,
sehingga penyakit ini dapat dideteksi sejak dini dan dapat memberikan penanganan yang
tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.

2. Sindrom Guillain-Barré pada anak


A. Definisi
Indian Academy of Pediatrics menyatakan bahwa Sindrom Guillain-Barré merupakan penyakit
neuropati perifer yang dimediasi oleh sistem imun yang ditandai dengan adanya kelemahan yang
bersifat progresif, simetris, asendens dengan arefleksia pada anak yang sebelumnya normal. SGB
merupakan salah satu penyebab yang paling umum dari paralisis flaccid akut pada anak-anak
setelah polio yang telah berhasil di eradikasi pasca program vaksinasi, terutama di negara-negara
berkembang.2

2
Menurut Jin dkk, SGB adalah poliradikulopati akut yang disertai dengan kelemahan pada
ekskremitas atas dan bawah yang simetris dan progresif, penurunan reflek tendon dan dapat atau
tanpa disertai dengan paresthesia. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Landry pada tahun
1859 yang menemukan adanya gangguan pada sistem motorik dan sensorik yang dimulai dari
ekskremitas bawah. Pada tahun 1916, Guillain dan Barre menyatakan bahwa adanya disosiasi
sitoalbumin merupakan salah satu tanda diagnosis klinis.5

B. Epidemiologi
Insidensi kasus SGB pada anak di dunia masih belum pasti hingga saat ini. Hal tersebut
dikarenakan penelitian terkait kasus SGB pada anak masih belum banyak seperti kasus SGB
pada orang dewasa. Para peneliti berasumsi bahwa setiap 10 tahun bertambahnya usia, risiko
terjadinya SGB pada anak meningkat sebesar 20%. Berdasarkan studi yang dilakukan di Brazil
memaparkan bahwa insidensi tahunan kasus SGB pada anak yang berusia <15 tahun sebesar
0.39-0.63 kasus per 100.000 penduduk. Studi yang dilakukan di Pakistan memaparkan bahwa
insidensi rata-rata kasus SGB pada anak sebanyak 1.1-1.8 kasus per 100.000 orang per tahun.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil yang dilaporkan dari studi yang dilakukan di
negara-negara Arab, dimana insidensi kasus SGB pada anak sebanyak 1.33-1,7 kasus per
100.000 anak.6,7,8
Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan oleh Khairani dkk. di Rumah Sakit Hasan
Sadikin, Bandung melaporkan bahwa sebanyak 27 anak didiagnosis dengan SGB dari tahun
2011-2015. Insidensi SGB pada anak di penelitian tersebut lebih di dominasi oleh jenis kelamin
perempuan dibandingkan dengan laki-laki (1.45:1) dan semua anak datang ke Unit Gawat Darura
dengan keluhan kelemahan ekskremitas bawah bilateral yang progresif. Sebanyak 5 anak disertai
dengan infeksi saluran pernapasan bagian atas, 2 anak dengan diare dan demam yang tidak dapat
ditentukan, 1 anak dengan infeksi varicella-zoster dan 17 anak tidak diketahui penyebab yang
mendasari.3

C. Etiopatogenesis
Pemahaman terkait proses demielinasi dan cedera aksonal, regenerasi aksonal, dan remielinasi
perifer telah menunjukkan beberapa subtipe pada SGB, seperti acute inflammatory
demyelinating polyneuropathy (AIDP), acute motor axonal neuropathy (AMAN), dan Miller-
Fischer syndrome (MFS). Pada kasus AIDP, cedera yang dimediasi oleh sistem imun terutama

3
diarahkan pada selubung mielin dan komponen sel Schwann. Sedangkan pada kasus AMAN,
cedera yang dimediasi oleh sistem imun terjadi pada akson saraf. Pada fenotipe ini, selain
keterlibatan sistem imun, proses infeksi yang disebabkan oleh bakteri C. Jejuni juga ikut terlibat
dalam proses kerusakan pada akson saraf. Antibodi yang diekspresikan oleh bakteri C. Jejuni
seperti glikan akan
bereaksi silang dengan glikan yang diekspresikan pada gangliosida saraf, terutama GM1dan
GD1a.
Kondisi tersebut akan memicu sistem imun untuk memberikan respon dengan sel yang
didominasi oleh sel T independen. Teori ini didukung oleh berbagai bukti hasil penelitian yang
dilakukan di Asia, dimana infeksi yang disebabkan oleh bakteri C. Jejuni lebih sering ditemukan
di negara-negara di Asia dibandingkan dengan negara-negara di Eropa Barat.9

Gambar 1. Mekanisme patologi pada SGB yang dimediasi proses antibodi-imun.10

4
Beberapa antibodi dari subtipe tertentu menargetkan gangliosida yang diekspresikan pada
neuron. Gangliosida merupakan keluarga dari glycosphingolipids yang diekspresikan pada
membran permukaan sel. Protein tersebut terdiri dari ceramide yang melekat pada oligosakarida
yang berkaitan dengan sialic acid. GM1 atau monosialotetrahexosylganglioside merupakan salah
tipe gangliosida yang memiliki peran penting dalam plastisitas dan pemulihan pada saraf yang
mengalami kerusakan. Pada tahun 1986, para peneliti berhasil menemukan antibodi terhadap
GM1 pada kasus SGB, terutama pada kasus SGB yang disertai dengan infeksi oleh bakteri C.
Jejuni. Akan tetapi, peneliti lainnya memaparkan bahwa pasien dengan SGB tidak selalu disertai
dengan peningkatan titer antibodi GM1. Beberapa kondisi lainnya yang dapat ditemukan
peningkatan titer antibodi GM1 yaitu pada kasus lupus eritematosis sistemik dan demensia.
Antibodi anti-GM1 dan Anti-GD1a berkaitan dengan neuropati aksonal (pada kasus subtipe
AMAN). Pada subtipe MFS, antibodi yang telah diidentifikasi adalah GT1a dan GQ1b, dengan
beberapa organ sering terlibat pada subtipe ini adalah oftalmoplegia, ataksia, dan keterlibatan
faring.9
Sebagian besar cedera yang dimediasi antibodi pada SGB kemungkinan terjadi di area
nodus Ranvier. Hal tersebut dikarenakan pada area nodus Ranvier memiliki banyak ekspresi
gangliosida. Pada kasus AIDP, hingga saat ini belum ada antibodi yang berkaitan dengan mielin
yang telah diidentifikasi untuk menjelaskan proses demyelinasi. Para peneliti berasumsi bahwa
respon autoimun yang tidak spesifik dapat menghasilkan peradangan dengan infiltrasi limfositik
di spinal roots, demyelinasi, kerusakan saraf perifer dengan konduksi yang buruk, sehingga
menimbulkan tanda klinis klasik yang terlihat pada SGB.9

Gambar 2. Subtipe SGB dan antibodinya yang berkaitan dengan antigangliosida SGB.11

5
Beberapa bukti menunjukkan adanya keterkaitan antara genetik terhadap patogenesis
SGB. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di Belanda terhadap 12 keluarga dengan
yang menderita SGB menunjukkan bahwa, risiko terjadinya SGB pada saudara kandung adalah
2.6 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Meskipun demikian, peran genetika pada
patofisiologi SGB masih belum sepenuhnya dipahami hingga saat ini. Studi yang dilakukan oleh
genomewide association baru-baru ini dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara SGB
dan single nucleotide polymorphisms (SNPs) atau human leukocyte antigen (HLA). Sebanyak
215 pasien dengan SGB dan 1105 pasien sehat ikut berpartisipasi penelitian ini. Akan teteapi,
studi tersebut gagal mengidentifikasi jenis SNP atau HLA yang menjadi predisposisi SGB.9

D. Subtipe SGB
 Acute inflamatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
AIDP merupakan salah satu subtipe SGB dengan insidensi kasus yang cukup tinggi di
beberapa wilayah seperti di Amerika Utara, Eropa dan sebagian besar negara maju, dengan
persentase sebesar 85-90% kasus. Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada anak dengan
AIDP yaitu diawali dengan keluhan paresthesia pada jari tangan dan kaki yang dapat
berkembang menjadi kelemahan pada kedua tungkai bilateral, yang dapat disertai dengan
kelemahan pada otot-otot pernapasan pada kasus yang parah. Keluhan-keluhan tersebut biasanya
terjadi 2-4 minggu setelah pasien mendapatkan pajanan infeksi pernapasan atau gastrointestinal.
Pada beberapa kasus, klinisi dapat menemukan adanya keterlibatan saraf kranial, dengan
persentase kasus sebesar 30-40%. Neuropati kranial yang paling umum ditemukan pada kasus
AIDP adalah kelumpuhan pada wajah bilateral, yang menandakan keterlibatan saraf fascialis
(VII). Selain keluhan kelemahan pada anggota gerak, nyeri merupakan salah satu gejala umum
lainnya yang dapat ditemukan pada kasus AIDP. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan
terhadap 26 anak yang didiagnosis dengan SGB di Rumah Sakit menunjukkan bahwa sebanyak
79% anak mengeluhkan adanya nyeri pada kedua ekskremitas bawah mereka. Penurunan reflek
tendon dapat ditemukan pada kasus AIDP yang disertai dengan gangguan sensoris. Beberapa
gejala otonom yang dapat ditemukan pada 50% kasus AIDP yaitu disritmia jantung, hipotensi
ortostatik, hipertensi transien atau persisten, ileus paralitik, disfungsi kandung kemih dan
gangguan sudorasi.11

6
 Acute sensorimotor axonal neuropathy (AMSAN)
AMSAN adalah gangguan yang lebih serius yang menyebabkan terjadinya degenerasi
aksonal sensorik dan motorik yang tidak disertai dengan demielinasi. Hal tersebut dijelaskan
oleh Feasby dkk. di dalam artikelnya yang menunjukkan bahwa berdasarkan studi
anatomipatologis, saraf perifer tidak dapat dieksitasi dan tidak ada demielinasi. Pasien yang
didiagnosis dengan AMSAN memiliki pemulihan yang lebih lambat dibandingkan dengan
subtipe SGB lainnya, dan pada beberapa kasus, gejala sisa sensorik dan motorik dapat terjadi.11

 Acute motor axonal neuropathy (AMAN)


AMAN mewakili 10-20% kasus GBS di wilayah Barat dan 60-70% kasus GBS di Cina
Utara. Beberapa tahun kemudian, para peneliti melaporkan bahwasanya kasus AMAN juga
banyak ditemukan di Amerika Selatan. AMAN merupakan salah satu subtipe SGB yang
berkaitan dengan infeksi bakteri Campylobacter jejuni. Gambaran klinis pada kasus AMAN
tidak terlalu berat dibandingkan dengan subtipe SGB lainnya (tergantung luasnya cedera
aksonal). Pada kasus AMAN, klinisi masih menemukan adanya reflek tendon atau hiperrefleksia
pada pasien (pada beberapa kasus). Pemulihan pada kasus AMAN juga relatif lebih cepat
dibandingkan dengan subtipe SGB lainnya.11

7
Gambar 3. Subtipe GBS dan manifestasi klinisnya.2

 Miller-Fisher syndrome (MFS)


MFS pertama kali dilaporkan oleh Fisher pada tahun 1956 dan insidensi kasus subtipe
SGB ini cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan subtipe SGB lainnya, yaitu hanya sebesar
3-5% kasus di wilayah Barat. Gambaran klinis awal yang dapat ditemukan pada kasus MFS
adalah asosiasi ataksia, arefleksia, diplopia, oftalmoplegia dan diaparesis wajah. Keluhan-
keluhan tersebut juga dapat ditemukan pada kasus Bells-Palsy, sehingga klinisi sering salah
dalam menegakkan diagnosis MSF. Beberapa peneliti mengatakan bahwa MFS biasanya
melibatkan sistem saraf pusat dan saraf perifer, seperti arefleksia dan perubahan karakteristik
neurofisiologis. Beberapa gejala khas yang menunjukkan adanya keterlibatan saraf kranial yaitu
oftalmoplegia eksternal total dan ptosis kelopak mata ringan atau berat. Pemulihan pada kasus
MFS dapat berlangsung dalam beberapa bulan. Salah satu tanda yang menunjukkan proses
pemulihan pada kasus MFS adalah ketika oftalmoplegia eksternal mulai menghilang, terutama
kelumpuhan pandangan ke arah atas.11

E. Manifetasi Klinis
Indian Academy of Pediatrics memaparkan beberapa gejala klinis yang dapat ditemukan
pada anak dengan SGB, yaitu:2
 Kelemahan pada kedua ekskremitas dengan onset akut, yang disertai dengan kesulitan
berjalan dan bangkit dari posisi duduk, kelelahan, nyeri, dan paresthesia.
 Kelemahan pada kedua ekskremitas simetris, yang dimulai dari area distal pada
ekstremitas bawah dan secara progresif akan melibatkan ekstremitas atas, otot
pernapasan, dan saraf kranial.
 Sebanyak 40-50% pasien dengan SGB memiliki keluhan kelemahan pada otot-otot wajah
dan hampir 30% memiliki kelemahan pada otot-otot pernapasan.
 Kelemahan pada SGB bersifat progresif cepat, yang dapat mencapai titik nadir dalam
waktu 2 minggu pada 80% kasus dan secara keseluruhan dalam waktu 4 minggu.

8
 Nyeri pada tungkai, paha, bokong, punggung, dan leher dapat disertai kekakuan pada
leher dan meningismus yang disebabkan karena peradangan akar saraf (nerve roots).
 Hipertensi, fluktuasi tekanan darah, sinus takikardia, dan keringat yang abnormal
merupakan gejala disfungsi otonom yang dapat diamati pada hingga 50% pasien dengan
SGB.

Gambar 4. Onset penyakit pada SGB.10

Khairaini dkk. di dalam penelitiannya memaparkan bahwa semua pasien yang terlibat
dalam penelitian tersebut memiliki keluhan kelemahan pada kedua ekskremitas bawah yang
progresif. Sebanyak 29.6% pasien hanya memiliki keluhan yang terbatas pada kelemahan pada
kedua ekskremitas saja. Defisit sensoris dapat ditemukan pada 37% pasien, disfungsi otonom
pada 14.8% pasien, keterlibatan saraf kranial 29.6% pasien, dan gagal napas pada 11.1% pasien.
Roodboi dkk. di dalam penelitiannya juga memaparkan bahwa keluhan yang paling banyak
ditemukan pada penelitian tersebut adalah kelemahan pada kedua ekskremitas bawah (93%),

9
yang diikuti dengan keluhan penurunan reflek pada ekskremitas yang lemah (82%), nyeri (73%),
tetraparesis (70%), keterlibatan saraf kranial (53%), dan defisit sensoris (30%).3,4

F. Diagnosis

10
Dengan tidak adanya biomarker penyakit yang cukup sensitif dan spesifik, penegakkan
diagnosis SGB hanya berdasarkan pada riwayat klinis dan pemeriksaan fisik, dan didukung oleh
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan cairan serebrospinal dan studi elektrodiagnostik.
Dua set kriteria diagnostik yang paling sering digunakan untuk membantu penegakkan diagnosis
SGB dikembangkan oleh National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) pada
tahun 1978 (direvisi pada tahun 1990) dan Brighton collaboration pada tahun 2011. Beberapa
peneliti lebih menyukai kriteria NINDS karena kriteria tersebut menyajikan fitur klinis bentuk

SGB yang khas dan atipikal. Kriteria Brighton collaboration juga telah digunakan secara luas,
dan dapat membantu dokter untuk mengklasifikasikan kasus dengan SGB atau MFS berdasarkan
kepastian diagnostik. Berbagai diagnosis banding juga harus diingat ketika dicurigai GBS, dan
beberapa gejala harus meningkatkan kecurigaan diagnosis alternatif.12
Gambar 5. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus SGB.11

11
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis SGB
yaitu:
1. Investigasi laboratorium
Semua pasien dengan suspek SGB akan melakukan pemeriksaan darah lengkap dan tes
darah untuk glukosa, elektrolit, fungsi ginjal, dan enzim hati. Hasil tes ini dapat digunakan untuk
menyingkirkan beberapa penyebab akut flaksid paralisis lainnya, seperti infeksi, disfungsi
metabolik atau elektrolit. Pemeriksaan spesifik lebih lanjut dapat dilakukan dengan tujuan
menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai SGB. Nilai diagnostik untuk mengukur
kadar serum antibodi anti-gangliosida terbatas dan bergantung pada hasil pemeriksaan. Hasil tes
positif dari pemeriksaan tersebut dapat membantu, terutama ketika diagnosis diragukan. Akan
tetapi, hasil tes negatif dari pemeriksaan tersebut juga tidak boleh mengesampingkan kecurigaan
terhadap SGB. Antibodi anti-GQ1b dapat ditemukan pada 90% pasien dengan MFS.12

12
Gambar 6. Kriteria Brighton untuk SGB.13

2. Pemeriksaan cairan serebrospinal


Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
kelemahan selain SGB dan harus dilakukan selama evaluasi tahap awal penyakit. Hasil yang
ditemukan pada pemeriksan cairan serebrospinal adalah adanya disosiasi sitoalbumin. Pleositosis
berat (>50 sel/μl) dapat menunjukkan kecurigaan terhadap kemungkinan penyakit lainnya,
seperti keganasan leptomeningeal atau penyakit infeksi atau inflamasi pada sumsum tulang
belakang atau nerve roots. Meskipun pada analisis cairan serebrospinal ditemukan adanya
pleositois ringan (10-50 sel/μl), dokter masih harus mempertimbangkan diagnosis alternatif
lainnya, seperti penyebab infeksi poliradikulitis.12

13
Gambar 7. Algoritma 10 langkah pada kasus SGB.12
3. Studi elektrodiagnostik
Studi elektrodiagnostik tidak diperlukan untuk mendiagnosis SGB. Akan tetapi, Leonhard
dkk. di dalam artikelnya merekomendasikan pemeriksaan ini karena dapat membantu dalam
mendukung diagnosis, terutama pada pasien dengan presentasi klinis atipikal. Secara umum,
pemeriksaan elektrofisiologi pada pasien SGB akan menunjukkan poliradikuloneuropati atau
polineuropati sensori-motorik, yang ditunjukkan dengan penurunan kecepatan konduksi,
penurunan amplitudo yang dibangkitkan sensorik dan motorik, dispersi temporal yang abnormal
dan/atau blok konduksi motorik parsial. Sural sparing pattern merupakan hasil dari pemeriksaan
elektrofisiologis yang khas pada SGB, dimana pada sural sensory nerve action potential normal,
sedangkan pada median and ulnar sensory nerve action potentials abnormal atau bahkan tidak
ada. Pemeriksaan elektrofisiologis ini dapat normal apabila pemeriksaan dilakukan pada awal
perjalanan penyakit (dalam 1 minggu setelah onset gejala) atau pada pasien dengan kelemahan
proksimal, penyakit ringan, perkembangan lambat atau varian.12

G. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada kasus adalah dengan pemberian intravenous immune globulin
(IVIG) dan plasmapharesis. Pemberian IVIG telah terbukti aman dan efektif dalam pengobatan
sindrom Guillain-Barré (SGB) pada anak. Meskipun hanya satu studi prospektif yang
melaporkan keberhasilan yang signifikan dari pemberian terapi tersebut, percobaan pengobatan
acak pada GBS masa kanak-kanak telah diterbitkan, dan beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa IVIG tampaknya membantu dalam mengurangi derajat keparahan penyakit serta durasi
gejala pada pasien. Akan teteapi, hasil jangka panjang dari pemberian terapi IVIG kemungkinan
tidak memberikan dampak yang signifikan. Beberapa rejimen dosis telah banyak digunakan pada
kasus SGB. Akan tetapi, dosis optimal dan jadwal dosis untuk pemberian IVIG pada anak belum
ditentukan hingga saat ini. Salah satu rejimen dosis yang sering digunakan adalah pemberian
IVIG setiap hari selama 5 hari dengan dosis 0,4 g/kg/hari, yang dapat menyebabkan perbaikan 2-
3 hari setelah dimulainya terapi. IVIG dapat diberikan melalui rute intravena perifer. Beberapa
peneliti menggunakan regimen dosis IVIG 2g/kg yang diberikan sebagai dosis tunggal atau
1g/kg/hari selama 2 hari pada anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda perburukan yang cepat.
Meskipun, dalam percobaan skala kecil dan acak, hasil antara 2 rejimen pengobatan IVIG sama,

14
dan fluktuasi terkait pengobatan (perburukan setelah menerima IVIG) lebih sering terjadi pada
anak-anak yang menerima dosis IVIG selama 2 hari.12,14
Studi pada anak-anak yang menggunakan plasmapheresis menunjukkan bahwa
penggunaan plasmapheresis dapat menurunkan tingkat keparahan dan memperpendek durasi
penyakit SGB. Pemberian plasmapheresis dapat dilakukan selama 7-10 hari, seperti yang
dijelaskan dalam protokol standar penggunaan plasmapheresis. Komplikasi yang signifikan dari
pemberian plasmapheresis adalah ketidakstabilan otonom, hiperkalsemia, dan perdarahan
karena penipisan faktor pembekuan. Pada beberapa laporan kasus, pemberian plasmapheresis
cukup efektif sebagai terapi lini kedua pasca pemberian IVIg yang tidak berhasil. Hamdani dkk.
di dalam laporan kasusnya melaporkan bahwa pasien perempuan berusia 9 tahun didiagnosis
dengan SGB. Pasien tersebut sudah mendapatkan terapi IVIg selama 10 hari dan tidak
menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan. Setelah gagal dengan terapi lini pertama, maka
terapi lini kedua (plasmapheresis) diberikan kepada pasien dan hasil dari pemberian terapi
tersebut menunjukkan perbaikan klinis yang cukup signifikan. Pasien tersebut mendapatkan
terapi plasmapheresis sebanyak 5 sesi. Sebelum pemberian plasmapheresis, kekuatan otot pasien
adalah 2/5 di kedua tungkai atas dan 1/5 di kedua tungkai bawah, dan pasien bergantung pada
ventilasi mekanis. Setelah sesi pertama selesai, kekuatan otot pasien mengalami peningkatan,
dari 2/5 menjadi 4/5 pada tungkai atas, dan refleks muntah dan mengisap sudah pulih kembali.
Pada hari ke 3, pasca sesi kedua selesai, pasien sudah berhasil diekstubasi (telah menggunakan
ventilator selama 2 minggu) dan tetap pada tekanan jalan napas positif terus menerus selama 48
jam berikutnya, setelah itu dia sudah mendapatkan perawatan di ruangan kamar biasa. Meskipun
pemberian plasmapheresis efektif pada laporan kasus ini, peneliti masih merekomendasikan
untuk penelitian lanjutan terkait efektivitas dari plasmapheresis dalam skala besar. Pemberian
kortikosteroid pada kasus SGB masih menuai kontroversi. Para peneliti berasumsi bahwa
pemberian kortikosteroid diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mengurangi peradangan.
Akan tetapi, berdasarkan hasil dari delapan uji coba terkontrol secara acak terkait efektivitas
kortikosteroid pada kasus SGB tidak menunjukkan adanya manfaat yang signifikan terkait
perkembangan kondisi klinis.1,12,14

15
Gambar 8. Penatalaksanaan pada kasus SGB.11

H. Prognosis
Prognosis kasus SGB pada anak umumnya baik. Para peneliti menyatakan bahwa lebih
dari 90% kasus AIDP dan semua kasus MFS dapat sembuh total. Tingkat keparahan gambaran
klinis merupakan salah satu faktor prognostik pada kasus SGB. Sebanyak 40% anak-anak yang
didiagnosis dengan SGB mengalami kelumpuhan pada kedua ekskremitas bawah selama fase
akut dan sebanyak 15% kasus membutuhkan penggunaan ventilasi mekanis.11

Gambar 9. Derajat keparahan pada kasus SGB.

Pada anak dengan SGB yang berat, pemulihan dapat berlangsung lama, sekitar 6 bulan
hingga 1 tahun. Sebanyak 5-10% anak menunjukkan adanya gejala sisa sensorik dan/atau
motorik minor, terutama pada ekstremitas bawah distal. Derajat disabilitas dikualifikasikan

16
berdasarkan skala disabilitas internasional untuk SGB. Berdasarkan literatur, angka mortalitas
kasus SGB pada anak sebesar 1-5%. Akan tetapi, beberapa peneliti mengatakan bahwa angka
mortalitas SGB pada anak dalam beberapa dekade terakhir sudah mengalami penurunan. Subtipe
SGB yang memiliki prognosis buruk adalah AMSAN.11

3. Diagnosis Banding SGB Pada Anak


Kelemahan otot akut merupakan salah satu kondisi gawat darurat utama pada anak.
Kelemahan otot tersebut terjadi secara progresif dengan onset waktu klinis <5 hari. Adapun
penyebab terjadinya kondisi ini yaitu adanya gangguan pada jalur motorik desendens, dan jalur
neuron motorik asendens. Secara umum, gejala klinis yang khas pada kelemahan otot akut yaitu
kelemahan pada ekskremitas yang disertai dengan penurunan reflek tendon. Akan tetapi,
manifestasi klinis lainnya bergantung pada penyebab dan area saraf yang terkena. Toricelli di
dalam artikelnya memaparkan diagnosis banding SGB berdasarkan dari area saraf yang terkena,
yaitu:
A. Upper motor neuron (UMN) disease
 Acute disseminated encephalomyelitis
Acute disseminated encephalomyelitis merupakan suatu kondisi dimana kelemahan otot
akut pada anak disebabkan karena adanya gangguan pada otak kecil, batang otak atau sumsum
tulang belakang. Pada penyakit ini, kerusakan yang terjadi cukup luas pada area sistem saraf,
sehingga paralisis flaccid yang terjadi dapat berkaitan dengan disfungsi pada saraf kranial
(seperti ptosis palpebra, oftalmoparesis eksternal dan diparesis wajah). Pemeriksaan MRI otak
dan tulang belakang merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu penegakkan
diagnosis pada penyakit ini.

 Ensefalitis batang otak (Bickerstaff)


Pada kasus ensefalitis batang otak, manifestasi klinis yang dapat ditemukan adalah
adanya defisit motorik bilateral dan keterlibatan saraf kranial (seperti oftalmoparesis dan tanda
pupil yang sering (pupil intermediet atau midriatik, non-reaktif)). Pyramidal sign dapat muncul
secara progresif. Oleh karena itu, pemeriksaan MRI otak harus dilakukan secepat mungkin.

 Acute myelitis

17
Acute myelitis dapat menyebabkan manifestasi klinis paraparesis flaccid atau tetraparesis,
yang muncul sebagai kelemahan otot akut. Mielopati transversal dari berbagai etiologi (termasuk
tumor) dapat menunjukkan tanda-tanda khas mielopati, dengan keterlibatan persarafan sensorik
dan keterlibatan kandung kemih/anus, yang secara tidak langsung akan berkembang menjadi
pyramidal sign. Penyakit demielinasi sering dikaitkan dengan kelemahan otot akut yang berasal
dari tulang belakang, dan mielopati demielinasi dapat ditemukan pada kasus mielitis pasca
infeksi, yang merupakan bagian dari ensefalomielitis, neuromyelitis optica (atau dikenal sebagai
Devic disease). Keterlibatan tulang belakang biasanya menunjukkan area kerusakan yang luas
yang menyebabkan gambaran klinis kurang khas, terutama jika tidak disertai dengan gangguan
pada persarafan sensorik yang jelas (meskipun keterlibatan gangguan pada sfingter sering
terjadi). Pemeriksaan MRI sumsum tulang belakang dan otak dapat mengkonfirmasi diagnosis
ini. Deteksi antibodi spesifik dapat membantu dalam menegakkkan diagnosis neuromyelitis
optica.

B. Lower motor neuron (LMN) disease


 Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan salah satu paralisis flaccid akut yang telah menjadi masalah
kegawatdaruratan skala global dalam dekade 1980-an. Setelah dipublikasikannya program
vaksinasi polio, penyakit tersebut sudah berhasil tereradikasi di seluruh dunia. Chili merupakan
salah satu negara yang berhasil memberantas infeksi polio yang disebabkan oleh wild type virus
pada tahun 1975. Manifestasi klinis polio 99% adalah flu. Sedangkan 0.2-0.5% kasus mengalami
tanda-tanda gangguan neurologis seperti kelemahan asimetris dan penurunan refleks. Pada
pemeriksaan cairan serebrospinal dapat ditemukan adanya pleositosis. Beberapa virus yang telah
berhasil diidentifikasi sebagai patogen penyebab pada poliomyelitis adalah West Nile virus,
enterovirus 71, enterovirus 68, Coxsackie virus dan lain-lain. Oleh karena itu, identifikasi virus
penyebab yang tepat merupakan hal yang wajib dilakukan pada kasus kelumpuhan akut dengan
gejala dan tanda polio.

 Porphyric Neuropathy
Porphyric Neuropathy merupakan suatu kondisi klinis yang ditandai dengan kelemahan
area proksimal tungkai bawah dan penurunan reflek yang disebabkan karena ketidakseimbangan
atau defek enzimatik (defisit eritrosit uroporfirinogen-I-sintetase). Manifestasi klinis lebih lanjut

18
dari kondisi tersebut adalah kelemahan pada ekstremitas atas, kerusakan saraf kranial, dan
kegagalan pernapasan yang kemungkinan dapat muncul pada kasus yang berat. Disfungsi
otonom (nyeri perut, diare, disfungsi kandung kemih) merupakan gambaran klinis yang kadang-
kadang dapat muncul pada beberapa kasus.

 Heavy-metal Poisoning
Keracunan timbal dan keracunan arsenik dapat menyebabkan neuropati akut dengan
gambaran klinis adanya kelemahan dan hiperrefleksia pada ekskremitas. Oleh karena itu,
pemeriksaan toksikologi merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada anak-anak dengan
kelemahan otot akut.

 Critical Illness Polyneuropathy


Critical Illness Polyneuropathy pada pediatri diekspresikan sebagai kelemahan akut pada
ekskremitas yang dapat ditemukan pada pasien dengan sepsis, infeksi atau kegagalan
multisistemik di bawah penggunaan ventilasi mekanis, yang telah diterapi dengan penghambat
neuromuskular, kortikosteroid dan/atau antibiotik aminoglikosida. Kondisi ini merupakan salah
satu penyebab yang paling umum dari penyakit neuromuskular pada pasien sakit kritis. Hal
tersebut dicurigai dengan munculnya kelemahan dan arefleksia yang dominan pada area distal,
dan penyapihan yang tertunda dari penggunaan ventilasi mekanis. Prognosis pada kasus critical
illness polyneuropathy cukup baik jika pasien segera mendapatkan penanganan yang adekuat.

C. Disorders of the neuromuscularjunction


 Botulisme
Botulisme merupakan salah satu bentuk keracunan akut yang dapat terjadi pada anak-
anak dan orang dewasa. Botulisme pada anak pertama kali dijelaskan oleh Pickett dkk. pada
tahun 1976. Botulisme merupakan penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh toksin yang
dikeluarkan bakteri Clostridium botulinum. Ketika bakteri tersebut mengeluarkan toksinya, maka
toksin tersebut akan diserap oleh usus dan masuk kedalam pembuluh darah hingga mencapai
neuromuscularjunction. Ketika toksin tersebut berhasil memasuk area neuromuscularjunction,
maka toksin tersebut akan menyebabkan pemblokiran pelepasan asetilkolin di terminal saraf.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada kasus botulisme adalah konstipasi,
hipotonia dan sefaloparesis. Setelah itu, beberapa gejala yang dapat berkembang selama onset

19
penyakit yaitu hipotonia umum, ptosis, oftalmoparesis, dan diparesis pada wajah. Pada kasus
yang berat, kelemahan umum dengan hiperrefleksia dan gagal napas dapat terjadi. Midriasis
hiporeaktif merupakan salah satu hasil temuan klinis yang sangat mendukung diagnosis
botulisme. Akan tetapi, temuan klinis tersebut tidak selalu ada. Berdasarkan studi case series,
dari delapan bayi yang didiagnosis dengan botulisme, hanya empat bayi yang ditemukan
midriasis hiporeaktif. Alat diagnostik standar baku emas pada kasus botulisme adalah dengan
melakukan isolasi Clostridium botulinum dalam kultur sel, dan/atau deteksi toksin botulinum
dalam tinja dengan tes netralisasi toksin (toxin-neutralization tests) pada tikus. Tidak ada
pengobatan khusus selain perawatan suportif. Penggunaan aminoglikosida atau antibiotik yang
dapat menyebabkan kerusakan pada membran Clostridium dapat menyebabkan peningkatan
pelepasan toksin dan harus dihindari. Terapi imunoglobulin spesifik mungkin berguna jika
diberikan segera. Prognosis sangat baik dan perbaikan klinis dapat terlihat setelah periode 15-90
hari.

 Miastenia gravis autoimun


Miastenia gravis autoimun, merupakan salah satu gangguan pada neuromuskular yang
disebabkan oleh adanya blokade reseptor asetilkolin oleh antibodi spesifik yang mencegah
terjadinya kontraksi otot, sehingga menyebabkan kelemahan otot akut selama onset penyakit
berlangsung. Quadriplegia dengan refleks normal merupakan salah satu temuan klinis yang dapat
ditemukan pada kasus miastenia gravis. Beberapa gambaran klinis lainnya yang dapat ditemukan
pada kasus miastenia gravis adalah ptosis, oftalmoparesis, gangguan menelan, dan gagal napas.
Pemberian obat antikolinergik tidak efektif diberikan pada kasus miastenia gravis, terutama pada
fase akut. Hal tersebut dikarenakan reseptor yang dihasilkan tidak cukup untuk mengaktivasi
asetilkolin. Jika menyebabkan kelemahan pada otot-otot pernapasa, maka dukungan ventilasi
mekanis dapat diberikan dan dapat ditambah pemberian IVIg (1g/kg dalam 24 jam) atau
plasmapheresis (4-5 volume plasma). Setelah pemulihan klinis dimulai, kortikosteroid
dibutuhkan untuk penggunaan dalam waktu yang lama.

D. Muscular disease
 Acute infectious myositis

20
Benign acute infectious myositis pada masa kanak-kanak merupakan suatu kondisi klinis
yang menyerang anak-anak secara eksklusif, yang disebabkan karena infeksi patogen virus
influenza (A,B) atau enterovirus. Hal tersebut ditandai dengan adanya keluhan mialgia, terutama
pada otot-otot gastrocnemius, yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan atau
ketidakmampuan untuk berjalan, yang awalnya ditafsirkan sebagai paresis atau kelumpuhan
akut. Peningkatan enzim kreatinin kinase dapat mengkonfirmasi diagnosis ini. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh penyakit ini dapat bertahan selama dua sampai tujuh hari. Kecuali, disertai
dengan rhabdomyolysis dan gagal ginjal (nilai kreatinin kinase lebih dari 10.000-90.000). Pada
kasus acute infectious myositis, penting bagi klinisi untuk menyingkirkan diagnosis miopati
metabolik.

 Polymyositis/dermatomyositis
Polymyositis/dermatomyositis adalah salah satu bentuk mikroangiopati autoimun otot subakut
yang dapat menyebabkan terjadinya kelemahan otot akut. Kasus ini merupakan kasus yang
jarang ditemukan dalam praktik klinis. Adapaun gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah
kelemahan umum dengan edema palpebra dan eritema heliotrop palpebral/wajah. Kondisi ini
juga berkaitan dengan hiperCKemia. Pemeriksaan biopsi otot yang menunjukkan adanya
peradangan dan atrofi perifasikular dapat mendukung diagnosis polymyositis. Pemeriksaan EMG
dan resonansi otot dapat membantu dalam penegakkan diagnosis. Penatalaksanaan yang dapat
diberikan adalah pemberian kortikosteroid dan imunosupresan selama enam sampai 12 bulan
atau lebih lama.
 Familial periodic paralysis
Familial periodic paralysis adalah salah satu penyakit genetik yang dapat menyebabkan
kelemahan otot akut. Penyakit ini merupakan penyakit genetik, autosomal dominan yang
mempengaruhi pompa natrium/kalium sel otot. Paralisis periodik pada penyakit ini terdiri dari
dua tipe, yaitu paralisis tipe 1 (mutasi CACNA1S dan tipe yang paling sering) dan paralisis tipe
2 (mutasi SCN4A dan tipe yang paling jarang). Paralisis periodik ini menghasilkan kelemahan
otot akut yang berkaitan dengan penurunan kadar kalium atau hipokalemia, yang dapat muncul
dalam beberapa jam setelah adanya trias awal seperti riwayat olahraga, asupan tinggi karbohidrat
dan gejala yang muncul setelah pasien tidur. Sebagian besar episode paralisis terjadi saat bangun
di pagi hari. Bentuk lain dari familial periodic paralysis adalah paralisis diskalemik, dan paralisis

21
hiperkalemia (mutasi SCN4A). Kedua kondisi tersebut berkaitan dengan miotonia, yang
menghasilkan kelemahan otot dalam waktu jangka pendek, dengan durasi beberapa menit pada
beberapa kasus. Riwayat episode sebelumnya dan/atau lebih kerabat yang terkena, serta deteksi
hipokalemia berat (kurang dari 2 mEq/l) merupakan data yang penting untuk memastikan
diagnosis ini. Penatalaksanaan farmakologi yang dapat diberikan adalah pemberian
acetazolamide. Hipokalemia sekunder dapat menghasilkan potensi terjadinya paralisis tipe ini.

4. Kesimpulan
Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan salah satu gangguan neurologis yang dapat
menyebabkan terjadinya kelumpuhan atau kelemahan pada ekskremitas yang bersifat progresif
hingga menyebabkan terjadinya kondisi emergensi seperti kelumpuhan pada otot-otot
pernapasan. Patogenesis penyakit ini masih belum sepenuhnya diketahui. Akan tetapi, adanya
reaksi sistem imun yang menyerang persarafan perifer berkaitan dengan pajanan infeksi bakteri
atau virus.
Diagnosis banding SGB pada anak tergantung pada area persarafan yang terkena.
Beberapa area yang menjadi diagnosis banding SGB pada anak yaitu kerusakan di UMN (Acute
disseminated encephalomyelitis, ensefalitis batang otak), LMN (poliomyelitis, porphyric
neuropathy), neuromuscularjunction (botulisme, miastenia gravis autoimun) dan muscular
disease (Benign acute infectious myositis, polymyositis, familial periodic paralysis).
Penatalaksanaan pada anak dengan SGB adalah dengan pemberian IVIg dan plasmapharesis.
Meskipun kedua terapi ini masih membutuhkan studi lanjutan dalam skala besar terkait
efektivitasnya, berdasarkan beberapa studi dalam skala kecil dan laporan kasus menunjukkan
efektivitas yang signifikan dari kedua regimen terapi tersebut.

22
DAFTAR ISI

1. Hamdani S, Aljanabi F, Abdulrasool M, Salman A. Child with Guillain-Barré Syndrome


Responding to Plasmapheresis: A Case Report. Case Report in Acute Medicine; 2020.
2. Shah S, Sangeetha R. Standard Treatment Guidlines 2022: Guillain–Barré Syndrome.
Indian Academy of Pediatrics; 2022.
3. Khairani A, Karina M, Siswanti L, Dewi M. Clinical Profile of Pediatric Guillain-Barré
Syndrome: A Study from National Referral Hospital in West Java, Indonesia. Biomedical
& Pharmacology Journal; 2019.
4. Roodboi J, Wit M, Berg B, Kahlmann V, Drenthen J, Catsman-Berrevoets C. et al.
Diagnosis of Guillain–Barre ́ syndrome in children and validation of the Brighton criteria.
J Neurol; 2017.
5. Jin M, Zhao J, Geng W, Zhao Z, Li C, Xue J. Association Between the Rate of Treatment
Response and Short-Term Outcomes in Childhood Guillain-Barré Syndrome. Frontiers in
Neurology; 2021.
6. Gallo L, Oliveira A, Matos L, Abrahao A, Silva F, Mendes J. A case report on rapid
clinical recovery and satisfactory outcome of a toddler with probable Guillain-Barré
Syndrome. J Hum Growth Dev; 2020.
7. Parveen A, Khan S, Talat S, Hussain S. et al. Comparison of the Clinical Outcomes of
Guillain Barre Syndrome Based on Electrophysiological Subtypes in Pakistani Children.
Cureus; 2020.
8. Asiri S, Altwaijiri W, Ba-Armah D, Alrifai M, Salam M. et al. Prevalence and outcomes
of guillain-Barré syndrome among pediatrics in saudi arabia: a 10-year retrospective
study. Neuropsychiatric Disease and Treatment; 2019.
9. Abbassi N, Ambegaonkar G. Guillain-Barre syndrome: a review. Elsevier; 2019.
10. Yadav R, Hundley D, Cation L. Severe Guillain-Barré Syndrome Following Shingrix

23
Vaccine Administration. Journal of Neurology and Neuroscience; 2019.
11. Torricelli R. Guillain Barre Syndrome in Pediatrics. J Autoimmun Res; 2016.
12. Leonhard S, Mandarakas M, Gandim F, Bateman K, Ferreira M, Cornblath D. Diagnosis
and management of Guillain–Barré syndrome in ten steps. Nature Reviews; 2019.
13. Villacis-Vasquez M, Barahona-Ulloa W. Miller Fisher Variant Guillain-Barre Syndrome:
A Case Review. Revista Medica Del Hospital General de Mexico; 2021.
14. DiFazio M. Pediatric Guillain-Barre Syndrome. Medscape; 2019.
15. Torricelli R. Acute muscular weakness in children. Arq Neuropsiquiatr; 2017.

24

Anda mungkin juga menyukai