Anda di halaman 1dari 22

PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS ,PATOLOGIS,DAN

GUILLAIN-BARRE SYNDROME

Disusun oleh :

KHUSNUL ABIDIN

RSUD IBNU SINA GRESIK

SMF SYARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan


kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung
pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah
kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit
ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian
besar sembuh sempurna.6

Guillain-Barre mungkin dipicu oleh Paling sering, infeksi dengan campylobacter, jenis
bakteri yang sering ditemukan dalam makanan matang, khususnya unggas, Virus Epstein-Barr,
Penyakit Hodgkin, Mononucleosis, HIV, virus penyebab AIDS, Jarang, rabies atau imunisasi
influenza.2

Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower
motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Penyakit ini
merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai
pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis) dengan
karakteristik adanya kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan perubahan sensasi sensorik.
Gejala sensorik muncul setelah adanya kelemahan motoric. 95 % pasien dengan GBS dapat
bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat
menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi syndrome Guillain – Barre


Syndrome Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari
penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat
menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat,
karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna. 6

2. Klasifikasi
Berikut terdapat klasifikasi dari SGB, yaitu: 4,6,7

2.1 Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf


sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.

2.2 Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody


gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis
simetris.

2.3. Miller Fisher Syndrome


Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia
terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik
biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan

2.4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan


otot lebih berat pada bagian distal

2.5. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe GBS yang jarang terjadi.

3. Etiologi

Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.


Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu
Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitis
virus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan
oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae,
Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi.
Infeksi ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS.6

4. Patofisiologi

Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B
dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan
autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf
sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan
bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya
sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan
kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. Destruksi pada myelin
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien,
sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima
lebih sedikit impuls sensoris dari

seluruh bagian tubuh. 3

5. Gejala klinis

GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas
yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan
menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai
dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif , dalam hitungan jam, hari maupun
minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini
bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flaccid. 1
6.
Diagnosis 7

6.1 Anamnesis

 Factor pencetus missal infeksi virus ( infeksi saluran nafas bagian atas dan
bagian cerna ) suntikan , dsb

 Penyakit berjalan mendadak, progresif , naik dari tungkai bawah ke


anggota gerak atas

6.2 Pemeriksaan neurologi

 Kelumpuhan tipe flasid mengenai otot proksimal dan distal

 Gangguan rasa raba, rasa getar, dan rasa posisi lebih terkena dibandingkan
rasa nyeri dan rasa suhu

 Gangguan syaraf otak terutama n.VIII perifer , gangguan menelan ( n IX,X


) serta kadang disertai gangguan otot ekstra ocular.

6.2 Pungsi Lumbal


 Didapatkan disosiasi sitoalbumin( kenaikan kadar protein tanpa diikuti
kenaikan sel ) pada minggu kedua. Pada minggu pertma kadar protein masih
normal.

6.3 Elektrodiagnostik

 AIDP

Konduksi sensoris sering nihil , bila muncul latensi distal memanjang,


kecepatan hantar syaraf sangat lambat , dan amplitudo rendah.

Konduksi motoris, distal latensi sangat memanjang, dan kecepatan


hantar saraf sangat lambat. Bila didapatkan blok konduksi atau disperse
temporal pada stimulasi proksimal.

F – wafe dan H – reflex sangat memanjang dan nihil


 AMSAN

Konduksi sensoris nihil atau amplitude rendah dengan distal latensi dan
kecepatan hantar saraf normal

Konduksi motor nihil, atau amplitude rendah , dengan distal latensi dan
kecepatan hantar saraf normal
 AMAN

Pemeriksaan konduksi saraf sama dengan AMSAN , kecuali konduksi


sensoris normal.

7. Penatalaksanaan

 Observasi tanda tanda vital


 Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi
tanpa diberikan medikamentosa.
 Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat `
memperpendek amanya paralisa dan mepercepat terjadinya
penyembuhan.
 Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan
produksi auto antibodi tersebut
 Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan
dan fleksibilitas otot setelah paralisa.

8. Komplikasi

Komplikasi dari sindrom Guillan-Barre dapat termasuk:2

.Kesulitan bernapas.

Sisa mati rasa atau sensasi lainnya.

9. Diagnosis banding
 Hypokalemia
 Myasthenia gravis

10. Prognosis
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh
total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin
terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien,
yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. 3
REFLEKS PADA MANUSIA

REFLEKS

Refleks adalah jawaban motorik atas rangsangan sensorik yang diberikan pada kulit

ataupun respon apapun yang terjadi secara otomatis tanpa usaha sadar. Secara sederhana reflex arc

= busur refleks terdiri dari :

1. Reseptor.

2. Conducting system yang terdiri dari afferent neuron suatu medium yang disebut synaps

yang terdapat di SSP efferent neuron.

3. Efektor.

Efektor adalah alat tubuh yang menjawab terhapap impuls yang dipancarkan oleh

refleks dan merupakan bagian tubuh yang dikendali oleh saraf. Beberapa macam

efektor : otot polos, otot skelet, sel-sel kelenjar. Ada alat tubuh yang dipengaruhi kuat-

kuat oleh saraf, tetapi ada alat tubuh yang tetap bekerja sebagai bukan efektor misalnya

: cardiac muscle.

Impuls yang dipancarkan dalam efferent dan afferent neuron semuanya tunduk pada “all

of none”, juga dipancarkan dalam effektor (mis. Otot). Sebaliknyaada 3 tempat dimana jawaban

listrik dalam reflex arc itu tidak tunduk pada “all of one” yaitu di reseptor – synaps – dan –

myoneuraljunction. Pada mammalian dan manusia hubungan antara afferent dan efferent somatic

neurons terdapat di otak atau corda spinalis.


Afferent neuron masuk ke dalam spinalcord melalui dorsal roots atau saraf cranial dan

memiliki cell bodiesnya dalam dorsal roots ganglia atau ganglia yang homolog dengan itu pada

saraf-saraf cranial.

Serat-serat efferent,meninggalkan corda spinalis atau otak melalui ventral roots atau saraf

cranial. Sesuatu prinsip bahwa kedalam spinalcord, dorsal roots adalah sensorik dan keluar dari

spinalcord ventral roots adalah motorik dikenal sebagai Hukum Bell-Magendic.

Suatu serat saraf tidak dapat berfungsi sebagai kedua-duanya sensorik dan motorik

sekaligus.

Sebagai contoh ialah refleks patella. Pada otot terdapat serabut intrafusal sebagai organ

reseptor yang dapat menerima sensor berupa regangan otot, lalu neuron aferen akan berjalan

menuju medula spinalis melalui ganglion posterior medulla spinalis. Akson neuron aferen tersebut

akan langsung bersinaps dengan lower motor neuron untuk meneruskan impuls dan

mengkontraksikan otot melalui serabut ekstrafusal agar tidak terjadi overstretching otot. Namun

begitu lengkung refleks tidak hanya menerima respon peregangan saja, sebagai contoh respon

sensorik kulit, aponeurosis, tulang, fasia, dll. Gerakan reflektorik dapat dilakukan oleh semua otot

seran lintang (Martini, 2006;Snell, 2002).

RESEPTOR

Pentingnya reseptor dalam refleks adalah sebagi tempat bermula timbulnya impuls-impuls.

Untuk suatu macam reseptor diperlukan rangsangan yang adequate, dan untuk sesuatu macam

refleks diperlukan rangsangan yang adequate pula.

Macam-macam reseptor :

1. Mechanoreseptor :
- Mechanoreseptor di kulit

- Mechanoreseptor telinga (cochlea)

- Mechanoreseptor vestibular app.

- Kinesthetic reseptor muscle spindle, golgi tendon app, pressoreseptor dalam

cardiovascular dan paru.

2. Thermoreseptor

3. Chemoreseptor : carotid/aortic bodies, taste buds ocfact cells.

4. Electromagnetic reseptor dalam retina.

Fungsi reseptor :

1. Untuk menimbulkan refleks supaya fungsi tubuh berjalan serasi/selaras.

2. Untuk menimbulkan rasa-rasa tubuh yang menimbulkan kesadaran tentang realitas

dunia maupun citra dirinya.

Alur system saraf dimulai dari adanya rangsangan yang diterima reseptor sampai terjadi

jawaban (respon) yang dilakukan efektor.

RANGSANGAN – RESEPTOR – AFFERENT – SARAF PUSAT – EFFERENT –

EFEKTOR

PEMERIKSAAN REFLEKS

Reflek motorik merupakan kontraksi yang tidak disadari dari respon otot atau kelompok

otot yang meregang tiba-tiba dekat daerah otot yang di ransang. Tendon terpengaruh langsung
dengan palu reflek atau secara tidak langsung melalui benturan pada ibu jari penguji yang

ditempatkan rekat pada tendon. Uji reflek ini memungkinkan orang yang menguji dapat mengkaji

lengkung reflek yang tidak disadari, yang bergantung pada adanya reseptor bagian aferen, sinap

spinal, serabut eferen motorik dan adanya beberapa pengaruh perubahan yang bervariasi pada

tingkat yang lebih tinggi. Biasanya reflek yang dapat diuji mencakup reflek bideps, brakhioradialis

triseps, patela, dan pergelangan kaki (atau Achiles).

Dalam pemeriksaan reflex, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :

1. Relaksasi sempurna. Orang coba harus relaks dengan posisi seenaknya. Bagian tubuh yang

akan diperiksa harus terletak sepasif mungkin (lemas) tanpa ada usaha orang coba untuk

mempertahankan posisinya.

2. Harus ada ketegangan optimal dari otot yang yang akan diperiksa. Ini dapat dicapai bila

posisi dan letak anggota gerak orang coba diatur dengan baik.

3. Pemeriksaan mengetuk hammer dengan gerak fleksi pada sendi tangan dengan kekuatan

yang sama, yang dapat menimbulkan regangan yang cukup.

Refleks yang muncul pada orang normal disebut sebagai refleks fisiologis. Kerusakan pada

sistem syaraf dapat menimbulkan refleks yang seharusnya tidak terjadi atau refleks patologis.

Keadaan inilah yang dapat dimanfaatkan praktisi agar dapat mengetahui ada atau tidaknya

kelainan sistem syaraf dari refleks. Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan dengan

pemeriksaan neurologi lainnya, dan terutama dilakukan pada kasus-kasus mudah lelah, sulit

berjalan, kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan trofi otot

anggota gerak, nyeri punggung/pinggang gangguan fungsi otonom


A. Tehnik reflek

Palu reflek digunakan untuk menimbalkan reflek tendon profunda (RTP). Batang

palu dipegang longgar antara ibu jari dan jari telunjuk, yang memberikan getaran. Gerakan

pergerakan tangan sama seperti pada saat digunakan selama perkusi. Ekstremitas

diposisikan sehingga tendon sedikit meregang. Hal ini membutuhkan pengetahuan tentang

lokasi otot, dan tendong yang melengkapinya. Tendon yang bergerak cepat yang

berhubungan dengan reflek dibandingkan dengam sisi yang berlawanan.

B. Derajat reflek

Hilangnya reflek adalah sangat lah berarti, walaupun sentakanpergelangan kaki

(reflek Achilles) yang tidak ada, terutama pada lansia. Respon reflek sering dikelaskan

antara 0 sampai 4.

4+-hiperaktif dengan klonus terus-menerus

3+-hiperaktif

2+-normal

1+-hipoaktif

0+-tidak ada reflek

C. Macam-macam Refleks

Secara umum. Ada 3 unsur yang berperan dalam refleks yaitu jaras aferen, bussur

sentral dan jaras eferen. Perubahan ketiga komponen tersebut akan mengakibatkan

perubahan dalam kualitas maupun kuantitas dari refleks. Integritas dari arcus reflek akan
terganggu jika terdapat malfungsi dari organ reseptor, nercus sensorik, ganglion radiks

postreior, gray matter medula spinal, radik anterior, motor end plate, atau organ efektor.

Pengetahuan tentang reflek dapat digunakan untuk menentukan jenis kerusakan yang

terjadi pada sistem persyarafan. Ada beberapa pembagian tentang refleks berdasarkan

neurologi klinis :

Brainstem reflex

Pittsburgh Brain Stem Score

Cara ini dapat digunakan unuk menilai reflex brainstem pada pasien koma.

No Rrainstem Reflex Positive Negative

1 Reflex bulu mata (kedua sisi) 2 1

2 Reflex kornea (kedua sisi) 2 1

3 Doll’s eyes movement (kedua sisi) 2 1

4 Reaksi pupil terhadap cahaya (kanan) 2 1

5 Reaksi pupil terhadap cahaya (kiri) 2 1

6 Reflex muntah atau batuk 2 1

Interpretasi :

Nilai minimum ( 6 )

Nilai Maximum ( 12; semakin tinggi semakin baik)

Superficial reflek/skin reflek

1. Reflex dinding perut:

a. Stimulus: Goresan dinding perut daerah, epigatrik, supraumbilical, infra umbilical


dari lateral ke medial.

b. Respon: kontraksi dinding perut

c. Aferent: n. intercostals T 5-7 epigastrik , n,intercostals T 7-9 supra umbilical,

n.intercostals T 9-11 umbilical, n.intercostals T 11-L1 infra umbilical,

n.iliohypogastricus, n.ilioinguinalis, d. Eferent : idem

2. Reflex Cremaster

a. Stimulus : goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke bawah

b. Respon : elevasi testis ipsilateral

c. Afferent : n.ilioinguinalis (L 1-2)

d. Efferent : n. genitofemoralis

Reflek Fisiologis

Refleks fisiologis dibagi menjadi 2 yaitu : Somatik dan autonomik (otonom).

Refleks somatic dibagi lagi menjadi dua yaitu Monosynaptic refleks = Stretch refleks dan

Polysynaptic refleks.

Pada lengkung refleks ada yang disebut monosynaptic dan polysynaptics. Jumlah

sinaps dalam lengkungan bervariasi dari 2 sampai beratus-ratus. Lengkung refleks paling

sederhana adalah lengkung refleks yang mempunyai satu sinaps antara neuron aferent dan

eferent. Lengkung refleks semacam ini dinamakan monosynaptic dan refleks yang terjadi

disebut monosynaptic refleks. Pada kedua jenis lengkung refleks ini, tetapi terutama pada
lengkung refleks polysynaptics. Aktivitas di ubah oleh fasilitasi spesial dan temporal oklusi

efek subliminimal dan efek lainnya.

Refleks monosynaptics : refleks regang. Apabila otot kerangka dengan saraf yang

utuh diregangkan otot akan berkontraksi. Jawaban ini di namakan refleks regang.

Rangsangan yang membangkitkan refleks ini adalah regangan otot, dan jawabannya adalah

kontraksi otot yang di regangkan tersebut.

Organ sensoriknya adalah kumparan otot. Impuls yang berasal kumparan di

hantarkan ke SSP oleh serabut-serabut sensorik yang cepat dan langsung melintas ke

neuron-neuron motorik yang menyerafi otot yang sama. Refleks regang adalah satu-

satunya refleks monosinaps dalam tubuh.

Contoh-contoh dari dalam klinik, ketokan pada urat patela menimbulkan sentakan

lutut, yaitu suatu refleks regang dari m.quadriceps femoris sebab ketokan pada urat

meregangkan otot tersebut.

Hal penting yang harus dilakukan dalam pemeriksaan refleks :

1. Penentuan lokasi pengetukan yaitu tendon periosteum dan kulit

2. Anggota gerak yang akan dites harus dalam keadaan santai.

3. Dibandingkan dengan sisi lainnya dalam posisi yang simetris

Refleks Fisiologis Ekstremitas Atas

1. Refleks Bisep

Reflek biseps didapat melalui peregangan tendon biseps pada saat siku pada

keadaan fleksi. Pemeriksaan:


a. Pasien duduk di lantai.

b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi, lengan

diletakkan di atas lengan pemeriksa.

Stimulus : ketokan pada jari pemeriksa pada tendon m.biceps brachii, posisi lengan

setengah ditekuk pada sendi siku. Respon : fleksi lengan pada sendi siku.

Afferent : n.musculucutaneus (C 5-6); Efferent : idem.

2. Refleks Trisep

a. Pasien duduk dengan rileks.

b. Lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa.

c. Pukullah tendo trisep melalui fosa olekrani.

Stimulus : ketukan pada tendon otot triceps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi

siku dan sedikit pronasi .Respon : ekstensi lengan bawah disendi siku .

Afferent : n.radialis (C6-7-8); Efferent : idem.

3. Reflesk Brakhioradialis

a. Posisi Pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep.

b. Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan palu reflex.

c. Respon: muncul terakan menyentak pada lengan.

4. Refleks Periosteum radialis

a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan sedikit
dipronasikan.

b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis.

c. Respon: fleksi lengan bawah dan supinasi lengan.

5. Refleks Periosteum ulnaris

a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan antara supinasi dan

pronasi.

b.Ketukan pada periosteum os. Ulnaris.

c. Respon: pronasi tangan.

Refleks Fisiologis Ekstremitas Bawah

1. Refleks Patela

a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai.

b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat.

c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien.

d. Ketuk tendo patela dengan palu refleks menggunakan tangan yang lain.

e. Respon: pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi tungkai

bawah.

Stimulus : ketukan pada tendon patella.

Respon : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m.quadriceps femoris.

Afferent : n.femoralis (L 2-3-4) Efferent :idem

2. Refleks Kremaster
a. Ujung tumpul palu refleks digoreskan pada paha bagian medial.

b. Respon: elevasi testis ipsilateral.

3. Reflesk Plantar

a. Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu reflex.

b. Respon: plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki.

4. Refleks Gluteal

a. Bokong pasien digores dengan ujung tumpul palu reflex.

b. Respon: kontraksi otot gluteus ipsilateral.

5. Refleks Anal Eksterna

a. Kulit perianal digores dengan ujung tumpul palu reflex.

b. Respon: kontraksi otot sfingter ani eksterna

` 6. Klonus

Bila terjadi rileks yang sangat hiperaktif, maka keadaaan ini di sebut klonus. Jika

kaki dibuat dorsi fleksi dengan tiba-tiba, dapat mengakibatkan dua atau tiga kali

“gerakan” sebelum selesai pada posisi istirahat. Kadang-kadang pada penyakit SSP

terdapat aktivitas ini dan kaki tidak mampu istirahat di mana tendon menjadi longgar

tetapi aktivitas menjadi berulang-ulang. Tidak terus-menerus klonus dihubungkan

dengan keadaan normal tetapi reflek hiperaktif tidak dipertimbangkan sebagai keadaan

patologis. Klonus yang teru-menerus indikasi adanya penyakit SSP dan membutuhkan

evaluasi dokter.
Reflek Patologis

1. Hoffmann Tromer

Tangan pasein ditumpu oleh tangan pemeriksa. Kemudian ujung jari tangan

pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Reflek positif

jika terjadi fleksi jari yang lain dan adduksi ibu jari

2. Rasping

Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan telunjuk

penderita. Maka timbul genggaman dari jari penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika

reflek ini ada maka penderita dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih

terdapat pada anak kecil. Jika positif pada dewasa maka kemungkinan terdapat lesi di

area premotorik cortex

3. Reflek Palmomental

Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali

ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII

kontralateral

4. Reflek Snouting
Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris maka akan menimbulkan

reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan tongue spatel akan timbul reflek menyusu.

Normal pada bayi, jika positif pada dewasa akan menandakan lesi UMN bilateral

5. Mayer Reflek

Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara halus normal akan

timbul adduksi dan aposisi dari ibu jari. Absennya respon ini menandakan lesi di tractus

pyramidalis

6. Reflek babinski

Reflek yang diketahui jelas, sebagai indikasi adanya penyakit SSP yang

mempengaruhi traktus kortikospinal, disebut respon babinski. Bila bagian lateral

telapak kaki seseorang dengan SSP utuh digores, maka terjadi kontraksi jari kaki dan

menarik bersama-sama. Pada pasien yang mengalami penyakit SSP pada sistem

motorik, jari-jari kaki menyebar dan menjauh. Keadaan ini normal pada bayi tetapi bila

ada pada orang dewasa keadaan ini abnormal. Beberapa variasi refleks-refleks lain

memberi informasi. Dan yang lainnya juga perlu diperhatian tetapi tidak memberi

informasi yang teliti.

Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral.

Orang normal akan memberikan resopn fleksi jari-jari dan penarikan tungkai. Pada lesi

UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain

akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi masih ada.


7. Reflek oppenheim

Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke bawah, dengan

kedua jari telunjuk dan tengah. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski

8. Reflek gordon

Lakukan goresan/memencet otot gastrocnemius, jika positif maka akan timbul

reflek seperti babinski

9. Reflek schaefer

Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul refflek

seperti babinski

10. Reflek caddock

Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari

tumit ke depan. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski.

11. Reflek rossolimo

Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi

fleksi jari-jari kaki.

12. Reflek mendel-bacctrerew

Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki.
Daftar Pustaka

1. Smeltzer, C.S., Bare, G.B., (2001). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner &

Suddarth, Edisi 8, Volume 3, Penerbit EGC: Jakarta.

2. Sherwood,Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC.

3. Ganong,William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC.

4. Guyton & Hall. 2006. Text Book of Medical Phisiology. Elsevisier Saunder.

5. http://en.wikipedia.org/wiki/Reflex

6. Silverthorn DU, Ober WC, Garrison CW, Silverthorn AC, Human Physiology.

7. http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/neurosains/gerak-refleks/

Anda mungkin juga menyukai