Anda di halaman 1dari 24

Daftar Isi

Cover ...................……………………………………………… 1

Daftar Isi ...................……………………………………………… 1

Bab 1 Pendahuluan ...................……………………………………………… 2

Bab II Isi ..................………………………………………………. 3

Bab III Simpulan .......................................................................................... 23

Saran .......................................................................................... 23

Daftar Pustaka. .......................................................................................... 24

1
BAB I

PENDAHULUAN

Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang menimbulkan


peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala
dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan matirasa di kaki yang dengan
cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera
dengan tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh
sempurna (Inawati, 2010).
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang
cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa
keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai
prognosa yang baik (Japardi, 2002).
Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi, 2002).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain
Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang
menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah
bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang
menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak.
Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang
sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf (George,
2015).

2
BAB II

ISI

Definisi

Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda,
sistem kekebalan tubuh menyerang saraf anda. GBS adalah penayakit yang biasanya
terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan,
bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS
relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.00. kelemahan dan
mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat
menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.

Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses


yang diperantai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi, dimana sistem
imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya fungsi
motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu
polineuropati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris
dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun
otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni
motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas
sehingga mengancam jiwa (Judarwanto, 2009).

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (20012), Guillain


Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang
menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah
bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang
menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak.
Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang
sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.

3
Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

· Infeksi

· Vaksinasi

· Pembedahan

· Penyakit sistematik : Keganasan, Systemic lupus erythematosus, Tiroiditis,


Penyakit Addison

· Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal

Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun
yang menyerang mielin saraf perifer.

Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB

Infeksi Definite Probable Possible

Virus CMVEBV HIVVaricella- InfluenzaMeaslesMumps


zosterVaccinia/smallpox Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo

4
Bakteri Campylobacter Jejeni Typhoid Borrelia
Mycoplasma BParatyphoidBrucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

Gejala

Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang
terjadi. GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi sel
monuklear pada saraf perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating
polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami kerusakan, sedangkan pada
AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus ranvier merupakan target inflamasi.
Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan
rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke
empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Badan, bulbar,dan otot respirasi mungkin saja terkena. Pasien mungkin tidak dapat
berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang
sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu,ke ekstremitas
atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan sarafmotoris ini bervariasi pada masing-
masing individu, mulai dari kelemahan sampai pada quadriplegia flaksid.
Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot respiratorik
dan sekitar 25% pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya,
kegagalan respirasi terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat, kelemahan
anggota gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya
mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti dengan fase plateu dengan durasi yang
bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi dengan gejala disabilitas sisa.
Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,biasanya meliputi kelumpuhan otot

5
fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan tersebut dapat menimbulkan gejala
berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah
bilateral facial palsy.
Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa
parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya ringan,
kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute motor-sensory axonal
neuropathy).

Rasa nyeri dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi
terutama pada anak. Nyeri dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89%
pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching atau
crampin /kaku pada otot yang terserang, sering memburuk pada malam hari. Nyeri
bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi
awal pada lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi
tertunda.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Gejala otonom terjadi pada dua pertiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah
(hipotensi atau hipertensi), takikardia, aritmia jantung bahkan cardiac arrest,
ortostasis, facial flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas
gastrointestinal. Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan aritmia terjadi
pada 30 % dari pasien. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan
kabur (blurred visions).

Tabel 1. Gambaran klinis subtipe GBS

6
7
Patofisiologi

Pada SBG, dua pertiga kasus didahului infeksi (antecendent infection) pada
saluran pernapasan atas atau gastrointestinal dengan keluhan umum berupa demam
(52%), batuk (48%), nyeri tenggorokan (39%), pilek (30%), dan diare (27%). Pada
31% kasus dapat ditemukam Campylobacter jejuni pada analisis fesesnya. Adanya
infeksi antesenden ini menjadi dasar patofisiologi SGB berupa proses antibodi
mimikri. Pada proses antibodi mimikri terjadi kemiripan struktur antigen patogen
dengan struktur yang terdapat pada dinding sel tubuh, sehingga antibodi yang
dibentuk tubuh untuk melemahkan patogen tersebut dapat berikatan dengan jaringan
tubuh itu sendiri.

Paparan terhadap . jejuni dapat membuat sel-sel imunitas tubuh menghasilkan


antibody yang juga dapat berikatan dengan struktur gangliosida pada membran sel
saraf. Antibodi yang berikatan dengan gangliosida ini akan memicu proses autoimun
melalui mekanisme pengaktifan komplemen dan membentuk membrane attack
complex (MAC) pada membran sel Schwann pada AIDP atau pada akson pada
AMAN, sehingga menimbulkan efek neurotoksik. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya sel-sel makrofag pada jaringan saraf pasien SGB pada pemeriksaan
histopatologi. Makrofag berperan dalam reabsorbsi debris pada kedua tipe SGB
(demielinisasi dan degenerasi aksonal), namun serbukan sel limfosit hanya ditemukan
pada SGB tipe demielinisasi.

Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF) yang merupakan varian SGB


sampai saat ini masih belum jelas. Pasien SMF pada perjalanan klinisnya mengalami
pemulihan sempurna dan jarang ditemukan kisus yang fatal. Hal ini menunjukkan
proses yang terjadi pada SMF adalah suatu proses demielinisasi dan bukan
merupakan proses degenerasi aksonal.
Patogen-patogen lain yang mampu menimbulkan reaksi-silang antibodi
terhadap gangliosida adalah Haemophílus influenzae, Mycoplasma pneumonia,
Cytomegalovirus (CMV), epstein-Barr virus (EBV), dan Varicelia Zoster Virus

8
(VZV). Selain dan antecedent infection, risiko kejadian SGB juga meningkat pada
adanya transfer gangliosida parenteral, pascavaksinasi influenzá H1N1, adanya
kelainan autoimun lain yang diderita sebelumnya, penggunaan obat-obatan
imunosupresan, dan pascapembedahan.

Jenis

Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu


kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf
tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf
motorik yang sifatnya progresif. 2,4 Guillain-Barré syndrome ini memiliki beberapa
subtipe yaitu: 4
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan
patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhibaik
oleh mekanisme humoral ataupunimun seluler.Gejalanya bersifat progresif
dengan kelemahan tubuh yang simetris danterdapat hiporefleksia atau
arefleksia.
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi
yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a,
GalNAc-GD1a, danGD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai
adanya proses demielinisasi. Berhubungandengan infeksi Campylobacter
jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme
yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal sensoris,
sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana antibodi
imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher
syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi,yang memiliki gejala yang
khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu juga

9
terdapat kelemahan pada wajah, bulbar,badan, dan ekstremitas yang terjadi
pada 50% kasus.
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus
ini sangat jarang terjadi.Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada
kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.

Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit
GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan sendirinya.
Pengobatan yang diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah
untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses
penyembuhan penderita. Meskipun dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama dan juga masih tingginya
angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga terapi tetap harus diberikan.

Terapi Farmakologi

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa


preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian
kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara
signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena yang
berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara signifikan
dalam waktu jangka panjang. Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang
diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada kelompok
kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS
menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118 pasien
mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan perbedaan antara kedua
kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.

Plasmaparesis

10
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi
nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,
minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat. Dalam
studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS
menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini
melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood
separators untuk menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin
ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang
berisis 5% albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.1,2
Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14
hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan
pada awal onset gejala (minggu pertama GBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu
akses intravena memerlukan kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau
vena subklavia internal. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:
pneumothoraks, hipotensi, sepsi, trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama
plasmaparesis penting untuk memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan
masuk dan keluar. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT,
APTT, dan INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abno
deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa
anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas.

Imunoglobulin

Intravena Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih


menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan
komplikasi yang sifatnya lebih ringan.14,13 Penggunaan IVIg dapat memodulasi
respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi
autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen
dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan

11
fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS
pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam.
Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147
pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg
tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan
plasmaparesis.15 Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang
dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada
kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat
mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada
penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari.12 Efek samping yang
muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek
samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai
dengan kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara
progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping ringan
berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri
punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami perbaikan dengan penurunan
kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen,
benadryl dan bila perlu methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang
terjadi meliputi meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan,
telapak kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan
jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom
hiperviskositas.

Terapi Suportif

Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga


terapi suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya
pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk
memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif.
Penurunan expiratory forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan
inspirasi negative dibawah 60 cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan

12
intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah duaminggu
penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan
bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau
antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan. Apabila terjadi kelompuhan
otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan
menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita,
menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi
pasif dilakukan setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot
penderita.

Pemeriksaan

Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang
penting (Lubantombing, 2012:2). Riwayat medis yang komprehensif tersebut
meliputi identifikasi data dan sumber riwayat medis, keluhan utama (KU), Riwayat
penyakit sekarang (RPS), Riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat keluarga (RK)
dan riwayat personal dan sosial (RP dan S) (Bickley, 2009:2).
1) Identifikasi Data
Identifikasi data meliputi data-data tentang usia klien, jenis kelamin, status
perkawinan, dan pekerjaan (Bickley, 2009:4). Pada kasus GBS didapatkan data
terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30 dan 50
tahun dan mempunyai frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua
ras (Kowalak, 2011 :293).
2) Data-data Rumah sakit
Data-data medis rumah sakit berisi informasi tentang riwayat medis yang di
dapat dari klien, keluarga klien, orang terdekat klien, tenaga medis lain, atau rekam
medisnya(Bickley, 2009:3). Pada kasus GBS pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan adalah dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (yang diperoleh melalui

13
pungsi lumbal) (Lubantombing, 2012:15), yang dapat menunjukkan konsentrasi
protein dalam cairan serebrospinal dengan menghitung jumlah sel normal (disosiasi
albuminositologis) (Ginsberg, 2005:193). Pemeriksaan konduksi saraf mencatat
transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pada klien GBS mengalami penurunan
kecepatan konduksi (Ariani, 2012:71).
3) Riwayat Penyakit sekarang
Bagian anamnesis ini merupakan uraian yang lengkap, jelas, dan kronologis
mengenai berbagai permasalahan yang mendorong klien untuk mendapat
perawatan (Bickley, 2009:4). Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien GBS
adalah terjadinya kelemahan motorik (Price and Wilson, 2005:1152). Pada klien GBS
biasanya timbul demam selama 1 sampai 4 minggu sebelum timbulnya gejala,
kemudian timbul rasa kesemutan (parastesia) pada kaki, lengan, tubuh, dan akhirnya
ke wajah. Nyeri biasanya simetri dan mengenai otot-otot besar seperti gluteal,
quadrisep dan hamstring. Dan kadang-kadang muncul pada tungkai bagian bawah dan
ekstremitas atas (Umphred, 2001:387).
4) Riwayat penyakit Dahulu
Berisi daftar penyakit yang dialami pada waktu kanak-kanak, daftar penyakit
pada usia dewasa beserta tanggal kejadiannya yang meliputi empat kategori medis,
pembedahan, obstetri dan ginekologi, dan psikiatri (Bickley, 2009:3). Riwayat
penyakit dahulu klien GBS yang dapat dihubungkan dengan atau menjadi
predosposisi keluhan sekarang meliputi adanya infeksi pernapasan seperti pneumonia,
dan infeksi pencernaan (Umphred, 2001 :386).
5) Riwayat Keluarga
Pada riwayat keluarga berisi catatan tentang ada atau tidaknya penyakit
spesifik dalam keluarga, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan lain-
lain (Bickley, 2009:3).Pada klien GBS tidak ada riwayat penyakit spesifik karena
GBS bukan termasuk penyakit yang herediter (Price dan Wilson, 2005:1152).
6) Riwayat Personal dan Sosial
Riwayat sosial meliputi kepribadian serta minat klien, sumber-sumber
dukungan, cara klien mengatasi persoalan, kekuatan dan ketakutannya. Bisa

14
mencakup pekerjaan, situasi di rumah serta hal-hal signifikan lainnya, aktivitas
diwaktu senggang, aktivitas hidup sehari-hari, serta kebiasaan gaya hidup yang dapat
meningkatkan status kesehatan atau membawa risiko (Bickley, 2009:6). Dibeberapa
penelitian tidak disebutkan tentang riwayat sosial klien GBS, namun klien dengan
GBS paling banyak terkena pada musim semi dan musim dingin. 2 musim tersebut
yang akhirnya dihubungkan dengan penyebab GBS yaitu infeksi pernapasan dan
gastrointestinal (Haghighi et all, 2012:60).

Pemeriksaan Fisik
1) Vital Sign
Tanda-tanda vital berisi tentang pemeriksaan nadi, respirasi, suhu, dan
tekanan darah. Semua tanda vital tersebut sebaiknya diukur pada setiap pemeriksaan
yang lengkap (Willms, 2003:65). Jika GBS terkena pada saraf otonom maka akan
terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi ortostatik) serta perubahan
frekuensi jantung (Ariani, 2012:72), namun didapatkan suhu tubuh normal (Umphred,
2001 :389). Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh valsava maneuver,
batuk, dan perubahan posisi sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan
sangat hati-hati (Ariani, 2012:72).
2) Inspeksi
Pemeriksaan inspeksi dilakukan dengan mengobservasi atau melihat keadaan
fisik klien untuk mendapatkan informasi tentang kecacatan yang terlihat, defisit
fungsional, dan kelainan atau obnormalitas body aligment (Bickley, 2009).
3) Palpasi
Palpasi dilakukan dengan cara meminta klien untuk mengistirahatkan ototnya,
kemudian dipalpasi untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri tekan dan
menilai tonus otot (Lubantombing, 2012). Pada kasus GBS beberapa klien mengalami
nyeri tekan (Ariani, 2012:71) dan tonus otot hilang (Price dan Wilson, 2005 :1152).
4) Pemeriksaan Gerak Dasar
Didalam pemeriksaan gerak dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu pemeriksaan
gerak aktif , pemeriksaan gerak pasif dan isometrik. Namun pada klien dengan GBS

15
saat dilakukan pemeriksaan gerak dasar aktif ditemukan adanya nyeri dan tidak
mampu untuk mentolerir pemeriksaan sehingga klien sulit diajak untuk bekerjasama
saat dilakukan pemeriksaan kekuatan otot (Umphred, 2001:338).
5) Kemampuan Fungsional dan Lingkungan aktivitas.
Pemeriksaan kemampuan fungsional dan aktivitas untuk klien dengan GBS
didalamnya harus ada aktifitas fungsi dari bowel and bladder serta ambulasi
(Umprhed, 2001:389). Indeks Barthel telah lazim dipakai untuk mengukur
kemampuan aktivitas klien. Terdiri dari 10 poin aktivitas yang dikerjakan oleh klien
dan nilai oleh fisioterapi. Kesepuluh poin aktivitas yang akan nilai masing-masing
memiliki poin atau nilai, sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.2 Penilaian Indeks Barthel
No Aktivitas Nilai

1 Makan 0 – 10

2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebaliknya , 0 – 15


termasuk duduk di tempat tidur

3 Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir, mencukur, 0–5


menggosok gigi

4 Aktivitas toilet 0 – 10

5 Mandi 0–5

6 Berjalan di jalan yang datar 0 – 15

(jika tidak mampu berjalan, lakukan dengan kursi roda) (0 – 5)

7 Naik turun tangga 0 – 10

16
8 Berpakain termasuk mengenakan sepatu 0 – 10

9 Kontrol BAB 0 – 10

10 Kontrol 0 – 10
BAK

Sumber (Trisnowiyanto, 2012:99-100)


Intepretasi hasil penilaian setelah dilakukan pemeriksan Indeks Barthel adalah,
sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.3 Hasil Penilaian Indeks Barthel
Nilai Keterangan

0 – 20 Ketergantungan penuh

21 – 61 Ketergantungan berat

62 – 90 Ketergantungan moderat

91 – 99 Ketergantungan ringan

100 Mandiri

Sumber (Trisnowiyanto, 2012:100)

6) Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan spesifik mempunyai nilai yang sangat penting untuk
memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Pemeriksaan Spesifik pada klien GBS
adalah MMT (Manual Muscles Testing), ROM (Range Of Motion), dan pemeriksan
sensori (Umphred, 2001:388). Dan juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks
tendon (Umphred, 2001:389).
(1) MMT (Manual Muscles Testing)

17
MMT merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling
sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intrepetasi, hasil serta
validitas dan realibilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, MMT tidak
mampu untuk mengukur otot secara individual melainkan secara kelompok otot
(Trisnowiyanto, 2012:30).

Tabel 2.4 Penilaian Manual Muscle Testing


Nilai Keterangan

5 (Normal) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan
tahanan maksimal

4 (Good) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan
tahanan minimal

3 (Fair) Klien dapat melawan gravitasi dan LGS penuh.

2 (Poor) Klien tidak mampu melawan gravitasi namun memiliki LGS penuh

1 (Trace) Hanya terdapat sedikit kontraksi

0 (Zero) Tidak ada kontraksi

Sumber (Carolyn Jarvis, 2008:612)


Tujuan dilakukan MMT adalah untuk mengetahui berapa nilai dari kekuatan
otot klien, memprediksi dan mencegah adanya kontraktur, dan dapat memberikan
program latihan yang tepat sesuai nilai kekuatan otot klien dengan GBS. Namun otot
yang akan dilakukan pemeriksaan MMT hanya merupakan otot-otot spesifik (bukan
kelompok otot) seperti otot sternocleidomastoids, deltoid, triceps, flexor carpi ulnaris,
lumbricals, iliopsoas, gluteus medius, anterior tibialis, dan flexor hallucis
longus (Umphred, 2001:388).

18
(2) ROM (Range Of Motion)
Range Of Motion merupakan bagian integral dari gerakan manusia. Agar
seorang individu untuk bergerak secara efisien dan dengan sedikit usaha, berbagai
gerak seluruh sendi sangat penting. Selain itu, kisaran gerak yang tepat
memungkinkan sendi untuk beradaptasi lebih mudah terhadap tekanan yang
dikenakan pada tubuh, serta mengurangi potensi cedera. Berbagai gerak seluruh sendi
sangat tergantung pada dua komponen ROM dan panjang otot. Alat ukur yang sering
digunakan untuk pemeriksaan ROM adalah Goniometer dan terbagi menjadi empat
bidang, yaitu sagital plane, frontal plane, transversal plane dan rotation (Reese,
2002:4,36).
Joint range motion adalah gerakan yang tersedia di setiap sendi dan dipengaruhi oleh
struktur tulang yang terkait dan karakteristik fisiologis jaringan ikat di sekitar sendi.
Jaringan ikat penting yang membatasi rentang gerak sendi termasuk ligamen dan
kapsul sendi (Reese, 2002:4).
(3) Pemeriksan Refleks Tendon Dalam
Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi penting yang sangat
menentukan. Penilaian refleks selalu berarti penilaian secara banding antara sisi kiri
dan sisi kanan (Ariani, 2012:186). Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting
nilainya karena lebih objektif (Lumbantobing, 2005:135), karena pada klien dengan
GBS refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred,
2001:387). Refleks tendon dalam atau refleks regangan otot dihantarkan melalui
struktur pada sistem saraf pusat atau tepi. Refleks tersebut menggambarkan satuan
fungsi sensorik dan motorik yang sederhana. Untuk menimbulkan refleks tendon
dalam, lakukan pengetukan dengan cepat pada otot yang akan diperiksa.
Untuk dapat mencetuskan refleks, semua komponen refleks harus utuh,
komponen tersebut meliputi serabut saraf sensorik, sinaps medulla spinalis, serabut
saraf motorik, sambungan serabut muskular, dan serabut-serabut otot. Ketukan pada
tendon akan mengaktifkan serabut-serabut sensorik khusus pada otot yang teregang
sebagian dengan memicu impuls sensorik yang berjalan ke medulla spinalis melalui
saraf tepi. Serabut sensorik yang terangsang itu bersinaps langsung dengan radiks

19
saraf anterior yang mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls saraf melintasi
sambungan neuromuskular, maka otot akan berkontraksi secara tiba-tiba (Bickley,
2009:550). Telah ditemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena
teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan akan timbul kontraksi otot
(Lumbantobing, 2005:136). Tingkat jawaban refleks dibagi menjadi beberapa tingkat,
yaitu :
Keterangan tabel 2.5 Respon Penilaian refleks
Simbol Keterangan

- (negatif) Tidak ada refleks sama sekali

± Kontraksi sedikit

+ Ada kontraksi

++ Kontraksi berlebihan, refleks meningkat

Sumber (Lubantombing, 2005:136)

(4) Pemeriksaan Sensori


Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada klien GBS adalah untuk
mengidentifikasi jenis tertentu dari perubahan sensori,
seperti parasthesia atau hypesthesia (Umphred, 2001:389). Pemeriksaan sensori atau
sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah. Kita tergantung kepada
perasaan klien, jadi bersifat subjektif (Lumbantobing, 2005:118). Oleh sebab itu,
pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah pemeriksaan motorik termasuk refleks.
Karena subjektivitas ini, pemeriksa dapat salah, baik karena keinggginan klien yang
besar untuk membantu atau klien berpura-pura mengerti sehingga memberikan
informasi yang salah. Pemeriksaan sensorik paling baik dilakukan secara cepat, selain
tidak melelahkan bagi pemeriksa dan klien, juga mengurangi kemungkinan yang
terjadi kesalahan informasi yang diberikan.

20
Pemeriksaan sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh jaras traktur
spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron sensorik primer memasuki medulla
spinalis melalui radiks dorsalis (Ginsberg, 2005:51-52). Pemeriksaan rasa nyeri dapat
dilakukan dengan menggunakan jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang
dirasakan klien. Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam rasa suhu yaitu rasa panas
dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi
dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas
(Lumbantobing, 2005:125-126).

Komplikasi

Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau
paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan
mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan
meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita
sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun
sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen
mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga
menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering
terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut:

1. Paralisis otot persisten


2. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
3. Aspirasi
4. Retensi urin
5. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
6. Nefropati, pada penderita anak
7. Hipo ataupun hipertensi
8. Tromboemboli, pneumonia, ulkus

21
9. Aritmia jantung
10. Ileus

Prognosis

Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada


sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa . Penderita
SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa
dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu
beberapa minggu samapai beberapa tahun. Menurut National Institute of
Neurological Disorders and Stroke sekitar 30% penderita masih mengalami gejala
sisa setelah 3 tahun (gejala sisa ringan dapat menetap pada penderita). Keluaran
penderita akan menjadi sangat baik bila gejala-gejala dapat hilang dalam waktu 3
minggu sejak muncul gejala tersebut muncul.

Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 % pasien, yang


disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3
minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala
sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan . SGB dapat mengalami
relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onsetpertama. Bila terjadi
kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP).

22
BAB IV
PENUTUP

Simpulan
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah poliradikuloneuropati yang akut, sering
parah, dan kondisi autoimun yang tidak biasa. Insidensi meningkat dengan
bertambahnya usia dan jenis kelamin pria. Diagnosis GBS didasarkan pada penilaian
klinis, analisis cairan serebrospinal dan studi elektrofisiologis, mis. electromyography
(EMG). Varian GBS umum termasuk acute motor axonal neuropathy (AMAN), acute
motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN), acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP). Studi patologis AMAN menunjukkan infiltrat
inflamasi minimal dan sedikit kerusakan aksonal meskipun makrofag terlokalisasi
antara akson dan selubung mielin, sebagian besar di simpul area Ranvier. Perubahan
patologis AMSAN adalah sama tetapi melibatkan akar dorsal dan ventral. Studi
elektrofisiologis penting untuk memastikan apakah diagnosis benar-benar GBS atau
tidak dan untuk mengecualikan pasien dengan gejala yang sama dan diduga dengan
GBS. EMG dianggap sebagai modalitas yang bagus karena dapat menunjukkan
karakter unik GBS. Beberapa terapi modulasi imun diberikan untuk meningkatkan
hasil dan mencegah kecacatan. Pertukaran plasma (PE) dan IVIg telah terbukti
sebagai imunoterapi yang efektif untuk GBS sehubungan dengan peningkatan hasil
neurologis.

Saran
Sindrom Guillain-Barré (GBS) sebagai penyakit dapat lebih dikenali dengan
pendekatan diagnostik yang benar dan diperlukan pengamatan yang teliti untuk
mencegah adanya komplikasi dan prognosis yang lebih buruk

23
Daftar Pustaka

Aninditha, Tiara, Winnugroho Wiratman. 2017. Buku Ajar Neurologi Buku 2.


Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Stoll BJ, Kliegman RM. 2004. Behrman-Nelson Pediatric Textbook. Pennsylvania
:Saunders inc,
Adams RD, Victor M, Ropper AH. 2005. Principles of Neurology 8th Ed. USA :
McGraw Hill,
Bickley, L dan Szilagyi, P. 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat
Kesehatan. Ahli Bahasa : Andry Hartono. 2009. Ed. 8, Jakarta : EGC
Kowalak, Jenifer. P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi: Proses Penyakit, Tanda dan
Gejala, Penatalaksanaan, Efek, Pengobatan, Ilustrasi. Alih Bahasa Andry
Hartono. 2011. Jakarta: EGC
Lumbantobing. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan dan Mental. Jakarta : FKUI
Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Alih bahasa Indah Retno
Wardhani. 2005. Jakarta : Penerbit Erlangga
Umpred, Darcy A. 2001. Neurological Rehabilition. Fourth Edition. United States
Amerika : Mosby
Reese, Nancy Berryman dan William D. Bandy. 2002. Joint Range Of Motion and
Manual Muscle Testing. Philadelphia : W.B. Saunders Company
Dimachkie MM dan Barohn RJ. Guillain-Barre Syndrome. Current Treatment
Options in Neurology 2013; 15(3):338-349
Japardi, I. 2002. Sindroma Guillan-Barre.
(http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf)
Dewanto, George., et al. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.
Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNIKA Atmajaya.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/0dfd19341a5d52541d3f26a1e8
872809.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai