Cover ...................……………………………………………… 1
Saran .......................................................................................... 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
ISI
Definisi
Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda,
sistem kekebalan tubuh menyerang saraf anda. GBS adalah penayakit yang biasanya
terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan,
bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS
relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.00. kelemahan dan
mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat
menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
3
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
· Infeksi
· Vaksinasi
· Pembedahan
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun
yang menyerang mielin saraf perifer.
4
Bakteri Campylobacter Jejeni Typhoid Borrelia
Mycoplasma BParatyphoidBrucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria
Gejala
Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang
terjadi. GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi sel
monuklear pada saraf perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating
polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami kerusakan, sedangkan pada
AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus ranvier merupakan target inflamasi.
Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan
rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke
empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Badan, bulbar,dan otot respirasi mungkin saja terkena. Pasien mungkin tidak dapat
berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang
sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu,ke ekstremitas
atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan sarafmotoris ini bervariasi pada masing-
masing individu, mulai dari kelemahan sampai pada quadriplegia flaksid.
Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot respiratorik
dan sekitar 25% pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya,
kegagalan respirasi terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat, kelemahan
anggota gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya
mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti dengan fase plateu dengan durasi yang
bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi dengan gejala disabilitas sisa.
Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,biasanya meliputi kelumpuhan otot
5
fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan tersebut dapat menimbulkan gejala
berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah
bilateral facial palsy.
Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa
parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya ringan,
kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute motor-sensory axonal
neuropathy).
Rasa nyeri dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi
terutama pada anak. Nyeri dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89%
pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching atau
crampin /kaku pada otot yang terserang, sering memburuk pada malam hari. Nyeri
bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi
awal pada lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi
tertunda.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Gejala otonom terjadi pada dua pertiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah
(hipotensi atau hipertensi), takikardia, aritmia jantung bahkan cardiac arrest,
ortostasis, facial flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas
gastrointestinal. Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan aritmia terjadi
pada 30 % dari pasien. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan
kabur (blurred visions).
6
7
Patofisiologi
Pada SBG, dua pertiga kasus didahului infeksi (antecendent infection) pada
saluran pernapasan atas atau gastrointestinal dengan keluhan umum berupa demam
(52%), batuk (48%), nyeri tenggorokan (39%), pilek (30%), dan diare (27%). Pada
31% kasus dapat ditemukam Campylobacter jejuni pada analisis fesesnya. Adanya
infeksi antesenden ini menjadi dasar patofisiologi SGB berupa proses antibodi
mimikri. Pada proses antibodi mimikri terjadi kemiripan struktur antigen patogen
dengan struktur yang terdapat pada dinding sel tubuh, sehingga antibodi yang
dibentuk tubuh untuk melemahkan patogen tersebut dapat berikatan dengan jaringan
tubuh itu sendiri.
8
(VZV). Selain dan antecedent infection, risiko kejadian SGB juga meningkat pada
adanya transfer gangliosida parenteral, pascavaksinasi influenzá H1N1, adanya
kelainan autoimun lain yang diderita sebelumnya, penggunaan obat-obatan
imunosupresan, dan pascapembedahan.
Jenis
9
terdapat kelemahan pada wajah, bulbar,badan, dan ekstremitas yang terjadi
pada 50% kasus.
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus
ini sangat jarang terjadi.Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada
kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit
GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan sendirinya.
Pengobatan yang diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah
untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses
penyembuhan penderita. Meskipun dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama dan juga masih tingginya
angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga terapi tetap harus diberikan.
Terapi Farmakologi
Kortikosteroid
Plasmaparesis
10
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi
nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,
minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat. Dalam
studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS
menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini
melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood
separators untuk menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin
ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang
berisis 5% albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.1,2
Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14
hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan
pada awal onset gejala (minggu pertama GBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu
akses intravena memerlukan kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau
vena subklavia internal. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:
pneumothoraks, hipotensi, sepsi, trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama
plasmaparesis penting untuk memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan
masuk dan keluar. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT,
APTT, dan INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abno
deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa
anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas.
Imunoglobulin
11
fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS
pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam.
Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147
pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg
tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan
plasmaparesis.15 Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang
dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada
kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat
mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada
penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari.12 Efek samping yang
muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek
samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai
dengan kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara
progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping ringan
berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri
punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami perbaikan dengan penurunan
kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen,
benadryl dan bila perlu methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang
terjadi meliputi meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan,
telapak kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan
jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom
hiperviskositas.
Terapi Suportif
12
intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah duaminggu
penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan
bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau
antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan. Apabila terjadi kelompuhan
otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan
menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita,
menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi
pasif dilakukan setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot
penderita.
Pemeriksaan
Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang
penting (Lubantombing, 2012:2). Riwayat medis yang komprehensif tersebut
meliputi identifikasi data dan sumber riwayat medis, keluhan utama (KU), Riwayat
penyakit sekarang (RPS), Riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat keluarga (RK)
dan riwayat personal dan sosial (RP dan S) (Bickley, 2009:2).
1) Identifikasi Data
Identifikasi data meliputi data-data tentang usia klien, jenis kelamin, status
perkawinan, dan pekerjaan (Bickley, 2009:4). Pada kasus GBS didapatkan data
terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30 dan 50
tahun dan mempunyai frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua
ras (Kowalak, 2011 :293).
2) Data-data Rumah sakit
Data-data medis rumah sakit berisi informasi tentang riwayat medis yang di
dapat dari klien, keluarga klien, orang terdekat klien, tenaga medis lain, atau rekam
medisnya(Bickley, 2009:3). Pada kasus GBS pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan adalah dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (yang diperoleh melalui
13
pungsi lumbal) (Lubantombing, 2012:15), yang dapat menunjukkan konsentrasi
protein dalam cairan serebrospinal dengan menghitung jumlah sel normal (disosiasi
albuminositologis) (Ginsberg, 2005:193). Pemeriksaan konduksi saraf mencatat
transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pada klien GBS mengalami penurunan
kecepatan konduksi (Ariani, 2012:71).
3) Riwayat Penyakit sekarang
Bagian anamnesis ini merupakan uraian yang lengkap, jelas, dan kronologis
mengenai berbagai permasalahan yang mendorong klien untuk mendapat
perawatan (Bickley, 2009:4). Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien GBS
adalah terjadinya kelemahan motorik (Price and Wilson, 2005:1152). Pada klien GBS
biasanya timbul demam selama 1 sampai 4 minggu sebelum timbulnya gejala,
kemudian timbul rasa kesemutan (parastesia) pada kaki, lengan, tubuh, dan akhirnya
ke wajah. Nyeri biasanya simetri dan mengenai otot-otot besar seperti gluteal,
quadrisep dan hamstring. Dan kadang-kadang muncul pada tungkai bagian bawah dan
ekstremitas atas (Umphred, 2001:387).
4) Riwayat penyakit Dahulu
Berisi daftar penyakit yang dialami pada waktu kanak-kanak, daftar penyakit
pada usia dewasa beserta tanggal kejadiannya yang meliputi empat kategori medis,
pembedahan, obstetri dan ginekologi, dan psikiatri (Bickley, 2009:3). Riwayat
penyakit dahulu klien GBS yang dapat dihubungkan dengan atau menjadi
predosposisi keluhan sekarang meliputi adanya infeksi pernapasan seperti pneumonia,
dan infeksi pencernaan (Umphred, 2001 :386).
5) Riwayat Keluarga
Pada riwayat keluarga berisi catatan tentang ada atau tidaknya penyakit
spesifik dalam keluarga, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan lain-
lain (Bickley, 2009:3).Pada klien GBS tidak ada riwayat penyakit spesifik karena
GBS bukan termasuk penyakit yang herediter (Price dan Wilson, 2005:1152).
6) Riwayat Personal dan Sosial
Riwayat sosial meliputi kepribadian serta minat klien, sumber-sumber
dukungan, cara klien mengatasi persoalan, kekuatan dan ketakutannya. Bisa
14
mencakup pekerjaan, situasi di rumah serta hal-hal signifikan lainnya, aktivitas
diwaktu senggang, aktivitas hidup sehari-hari, serta kebiasaan gaya hidup yang dapat
meningkatkan status kesehatan atau membawa risiko (Bickley, 2009:6). Dibeberapa
penelitian tidak disebutkan tentang riwayat sosial klien GBS, namun klien dengan
GBS paling banyak terkena pada musim semi dan musim dingin. 2 musim tersebut
yang akhirnya dihubungkan dengan penyebab GBS yaitu infeksi pernapasan dan
gastrointestinal (Haghighi et all, 2012:60).
Pemeriksaan Fisik
1) Vital Sign
Tanda-tanda vital berisi tentang pemeriksaan nadi, respirasi, suhu, dan
tekanan darah. Semua tanda vital tersebut sebaiknya diukur pada setiap pemeriksaan
yang lengkap (Willms, 2003:65). Jika GBS terkena pada saraf otonom maka akan
terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi ortostatik) serta perubahan
frekuensi jantung (Ariani, 2012:72), namun didapatkan suhu tubuh normal (Umphred,
2001 :389). Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh valsava maneuver,
batuk, dan perubahan posisi sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan
sangat hati-hati (Ariani, 2012:72).
2) Inspeksi
Pemeriksaan inspeksi dilakukan dengan mengobservasi atau melihat keadaan
fisik klien untuk mendapatkan informasi tentang kecacatan yang terlihat, defisit
fungsional, dan kelainan atau obnormalitas body aligment (Bickley, 2009).
3) Palpasi
Palpasi dilakukan dengan cara meminta klien untuk mengistirahatkan ototnya,
kemudian dipalpasi untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri tekan dan
menilai tonus otot (Lubantombing, 2012). Pada kasus GBS beberapa klien mengalami
nyeri tekan (Ariani, 2012:71) dan tonus otot hilang (Price dan Wilson, 2005 :1152).
4) Pemeriksaan Gerak Dasar
Didalam pemeriksaan gerak dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu pemeriksaan
gerak aktif , pemeriksaan gerak pasif dan isometrik. Namun pada klien dengan GBS
15
saat dilakukan pemeriksaan gerak dasar aktif ditemukan adanya nyeri dan tidak
mampu untuk mentolerir pemeriksaan sehingga klien sulit diajak untuk bekerjasama
saat dilakukan pemeriksaan kekuatan otot (Umphred, 2001:338).
5) Kemampuan Fungsional dan Lingkungan aktivitas.
Pemeriksaan kemampuan fungsional dan aktivitas untuk klien dengan GBS
didalamnya harus ada aktifitas fungsi dari bowel and bladder serta ambulasi
(Umprhed, 2001:389). Indeks Barthel telah lazim dipakai untuk mengukur
kemampuan aktivitas klien. Terdiri dari 10 poin aktivitas yang dikerjakan oleh klien
dan nilai oleh fisioterapi. Kesepuluh poin aktivitas yang akan nilai masing-masing
memiliki poin atau nilai, sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.2 Penilaian Indeks Barthel
No Aktivitas Nilai
1 Makan 0 – 10
4 Aktivitas toilet 0 – 10
5 Mandi 0–5
16
8 Berpakain termasuk mengenakan sepatu 0 – 10
9 Kontrol BAB 0 – 10
10 Kontrol 0 – 10
BAK
0 – 20 Ketergantungan penuh
21 – 61 Ketergantungan berat
62 – 90 Ketergantungan moderat
91 – 99 Ketergantungan ringan
100 Mandiri
6) Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan spesifik mempunyai nilai yang sangat penting untuk
memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Pemeriksaan Spesifik pada klien GBS
adalah MMT (Manual Muscles Testing), ROM (Range Of Motion), dan pemeriksan
sensori (Umphred, 2001:388). Dan juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks
tendon (Umphred, 2001:389).
(1) MMT (Manual Muscles Testing)
17
MMT merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling
sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intrepetasi, hasil serta
validitas dan realibilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, MMT tidak
mampu untuk mengukur otot secara individual melainkan secara kelompok otot
(Trisnowiyanto, 2012:30).
5 (Normal) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan
tahanan maksimal
4 (Good) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan
tahanan minimal
2 (Poor) Klien tidak mampu melawan gravitasi namun memiliki LGS penuh
18
(2) ROM (Range Of Motion)
Range Of Motion merupakan bagian integral dari gerakan manusia. Agar
seorang individu untuk bergerak secara efisien dan dengan sedikit usaha, berbagai
gerak seluruh sendi sangat penting. Selain itu, kisaran gerak yang tepat
memungkinkan sendi untuk beradaptasi lebih mudah terhadap tekanan yang
dikenakan pada tubuh, serta mengurangi potensi cedera. Berbagai gerak seluruh sendi
sangat tergantung pada dua komponen ROM dan panjang otot. Alat ukur yang sering
digunakan untuk pemeriksaan ROM adalah Goniometer dan terbagi menjadi empat
bidang, yaitu sagital plane, frontal plane, transversal plane dan rotation (Reese,
2002:4,36).
Joint range motion adalah gerakan yang tersedia di setiap sendi dan dipengaruhi oleh
struktur tulang yang terkait dan karakteristik fisiologis jaringan ikat di sekitar sendi.
Jaringan ikat penting yang membatasi rentang gerak sendi termasuk ligamen dan
kapsul sendi (Reese, 2002:4).
(3) Pemeriksan Refleks Tendon Dalam
Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi penting yang sangat
menentukan. Penilaian refleks selalu berarti penilaian secara banding antara sisi kiri
dan sisi kanan (Ariani, 2012:186). Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting
nilainya karena lebih objektif (Lumbantobing, 2005:135), karena pada klien dengan
GBS refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred,
2001:387). Refleks tendon dalam atau refleks regangan otot dihantarkan melalui
struktur pada sistem saraf pusat atau tepi. Refleks tersebut menggambarkan satuan
fungsi sensorik dan motorik yang sederhana. Untuk menimbulkan refleks tendon
dalam, lakukan pengetukan dengan cepat pada otot yang akan diperiksa.
Untuk dapat mencetuskan refleks, semua komponen refleks harus utuh,
komponen tersebut meliputi serabut saraf sensorik, sinaps medulla spinalis, serabut
saraf motorik, sambungan serabut muskular, dan serabut-serabut otot. Ketukan pada
tendon akan mengaktifkan serabut-serabut sensorik khusus pada otot yang teregang
sebagian dengan memicu impuls sensorik yang berjalan ke medulla spinalis melalui
saraf tepi. Serabut sensorik yang terangsang itu bersinaps langsung dengan radiks
19
saraf anterior yang mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls saraf melintasi
sambungan neuromuskular, maka otot akan berkontraksi secara tiba-tiba (Bickley,
2009:550). Telah ditemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena
teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan akan timbul kontraksi otot
(Lumbantobing, 2005:136). Tingkat jawaban refleks dibagi menjadi beberapa tingkat,
yaitu :
Keterangan tabel 2.5 Respon Penilaian refleks
Simbol Keterangan
± Kontraksi sedikit
+ Ada kontraksi
20
Pemeriksaan sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh jaras traktur
spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron sensorik primer memasuki medulla
spinalis melalui radiks dorsalis (Ginsberg, 2005:51-52). Pemeriksaan rasa nyeri dapat
dilakukan dengan menggunakan jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang
dirasakan klien. Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam rasa suhu yaitu rasa panas
dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi
dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas
(Lumbantobing, 2005:125-126).
Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau
paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan
mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan
meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita
sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun
sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen
mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga
menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering
terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut:
21
9. Aritmia jantung
10. Ileus
Prognosis
22
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah poliradikuloneuropati yang akut, sering
parah, dan kondisi autoimun yang tidak biasa. Insidensi meningkat dengan
bertambahnya usia dan jenis kelamin pria. Diagnosis GBS didasarkan pada penilaian
klinis, analisis cairan serebrospinal dan studi elektrofisiologis, mis. electromyography
(EMG). Varian GBS umum termasuk acute motor axonal neuropathy (AMAN), acute
motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN), acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP). Studi patologis AMAN menunjukkan infiltrat
inflamasi minimal dan sedikit kerusakan aksonal meskipun makrofag terlokalisasi
antara akson dan selubung mielin, sebagian besar di simpul area Ranvier. Perubahan
patologis AMSAN adalah sama tetapi melibatkan akar dorsal dan ventral. Studi
elektrofisiologis penting untuk memastikan apakah diagnosis benar-benar GBS atau
tidak dan untuk mengecualikan pasien dengan gejala yang sama dan diduga dengan
GBS. EMG dianggap sebagai modalitas yang bagus karena dapat menunjukkan
karakter unik GBS. Beberapa terapi modulasi imun diberikan untuk meningkatkan
hasil dan mencegah kecacatan. Pertukaran plasma (PE) dan IVIg telah terbukti
sebagai imunoterapi yang efektif untuk GBS sehubungan dengan peningkatan hasil
neurologis.
Saran
Sindrom Guillain-Barré (GBS) sebagai penyakit dapat lebih dikenali dengan
pendekatan diagnostik yang benar dan diperlukan pengamatan yang teliti untuk
mencegah adanya komplikasi dan prognosis yang lebih buruk
23
Daftar Pustaka
24