Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN TUTORIAL

BLOK XII NEUROLOGI


SKENARIO 3

KELOMPOK A9

ADVENDANU NUR KRISTA G0015007


HAN YANG G0015101
MUHAMMAD FADHLY G0015163
TEGAR UMAROH G0015223
ANISA FITRIANI MUBAROKAH G0015023
DANA ASTERINA G0015051
FAHIMA ALLA ILMA G0015075
GITA SANTHIKA PUTRI G0015097
KHALIDA IKHLASIYA T G0015127
MISKA RAIHANA G0015155
RAHMADHANI BELLA K.P G0015195
TAMYANA AMALIA C G0015221
WIDA PRIMA NUGRAHA G0013233

TUTOR :

Desy Kurniawati Tandiyo dr., Sp.RM

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 3

Seorang laki-laki, berusia 40 tahun, diantar oleh keluarganya ke IGD RS


karena mengalami kelumpuhan kedua lengan dan tungkai sejak 2 hari yang lalu.
Kelemahan awalnya dirasakan pada kedua kaki dan tungkai saja, namun sejak
pagi ini kedua lengan juga mengalami kelemahan. Saat ini pasien tidak mampu
berdiri dan hanya dapat berbaring saja. Pasien masih sadar dan dapat
berkomunikasi dengan baik, dari anamnesis diketahui bahwa pasien menderita
diare sekitar 3 minggu yang lalu, tetapi telah membaik. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tetraparesis dan penurunan reflex fisiologis.
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA


A. Langkah I : Membaca scenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam scenario. Dalam scenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai
berikut yaitu:
1. Tetraparesis :
Paralisis terjadi pada kedua ektremitas superior dan inferior

B. Langkah II : Menentukan / mendefinisikanpermasalahan


Dari skenario, ditentukan permasalahan yang akan dibahas yaitu:
1. Apa hubungan pasien menderita diare dan gejalanya?
2. Mengapa kelemahan otot dari tungkai ke tangan?
3. Mengapa terjadi reflex fisiologis menurun?
4. Bagaimana patofisiologi keluhan pasien?
5. Apa pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan terhadap pasien?
6. Apa predisposisi dari penyakit pasien?
7. Apa komplikasi yang bisa terjadi pada pasien?
8. Apa hubungan kesadaran, komunikasi dan kelumpuhan?
9. Bagaimana kaitannya keluhan pasien dengan usia?
10. Apa diagnosis banding dan diagnosis penyakit pasien?
11. Bagian apakah yang mengalami lesi?

C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara


mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
Berikut adalah jawaban sementara untuk pertanyaan yang telah disusun di
langkah II.
1. Apakah hubungan pasien yang diare dengan gejala pasien?
Diare pada pasien bisa memiliki hubungan dengan gejala
sekarang, seperti infeksi. Kemungkinan pasien terinfeksi penyakit
terlebih dahulu sehingga diare kemudian timbul gejala lain yang
mungkin karena diawali penyakit infeksi tersebut atau bukan.
2. Mengapa kelemahan otot dimulai dari tungkai kemudian ke
tangan?
Jika ini adalah GBS yang diawali dengan infeksi bakteri,
kemungkinan kejadian itu karena infeksi yang lebih mendekat pada
ekstremitas bawah, kemudian baru menjalar ke atas. Kelumpuhan yang
terjadi dari distal ke proksimal merupakan suatu kekhasan dari
penyakit ini.

3. Mengapa terjadi penurunan reflex fisiologis?


Penurunan reflex fisiologis bisa disebabkan oleh terdapatnya lesi
di Lower Motor Neuron. Pada GBS, penyakit ini adalah autoimun
yang menyerang myelin sehingga terjadi demielinasi. Dan kemungkin
autoimun ini terjadi pada LMN nya.

4. Bagaimanakah patofisiologis penyakit diatas?


Penyakit itu diawali oleh suatu infeksi yang ternyata
menginfeksi system pencernaan dan menyebabkan diare. Jika itu
Camphylobacter jejuni maka kemungkinan infeksi tersebut sudah
mengubah sel, sehingga dikenali oleh system imun sebagai sel yang
asing. Sel imun menyerang myelin system saraf karena memiliki
glikosida yang sama dengan bakteri dan akhirnya menciptakan
antibody yang akan menyerang myelin tersebut.

5. Apa pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan terhadap pasien?


a. Pemeriksaan motorik :
1. postur
2. gerakan ivolunter
3. habitus
4. kekuatan
5. tonus otot
b. Pemeriksaan fisiologis
1. tendon
2. pergelangan
3. tumit
4. bisep dan trisep

6. Apa predisposisi dari penyakit pasien?


Dalam skenario ini, predisposisinya karena auto imun. Penyebab
awalnya adalah C. Jejuni yang menyebabkan diare

7. Apa komplikasi yang bisa terjadi pada pasien?


a. Satdiun GBS
1. limfosit : sistem saraf, belum menyerang
2. limfosit menyerang myelin -> akson utuh
3. limfosit menyerang akson kerusakan akson dan myelin
4. akson degenerasi dan putus

b. GBS
1. AIDP : progresif, hiporefleks
2. AMAN
3. AMSAN  perifer sensorik
4. MFS

8. Apa hubungan kesadaran, komunikasi dan kelumpuhan?


Kesadaran merupakan satuan komponen yang terintegrasi satu
sama lain didalam otak yang tidak terpengaruhi secara langsung oleh
kegiatan motoric volunteer pada tubuh kita. Semua proses kesadaran
terjadi didalam cranium. Pada kasus ini pasien mengalami
kelumpuhan, kelumpuhan adalah akibat dari kerusakan saraf saraf
motoric. Kegiatan motoric merupakan bagian terpisah dalam sistem
kesadaran. Meskipun impuls berawal dari sistem saraf pusat, masih
ada penguhubung diantara SSP dengan organ yang bersangkutan yaitu
serabut sarah efferent. Jika yang mengalami kerusakan adalah
penghantarnya ( Serabut saraf efferent) maka itu tidak memengaruhi
pasien karena hal ini berada di jalur dan mekanisme yang berbeda.

9. Bagaimana kaitan keluhan pasien dengan faktor usia?


Kelumpuhan pada pasien yang menjalar dari distal ke proksimal
bisa dikaitkan dengan penyakit GBS (Guillain Barre Syndrome),
sementara itu faktor usia juga berpengaruh pada penyakit ini. Sindrom
Guillain Barre sering menyerang pada orang-orang di usia produktif,
yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Tidak jarang Sindrom
Guillain Barre juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun.
Namun sumber lain juga menyebutkan bahwa GBS bisa terjadi pada
usia anak-anak dan usia 30-50 tahun.

10. Apa diagnosis dan diagnosis pembandingnya?


Diagnosis
GBS (Guillain Barre Syndrome)
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem
saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer,
dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah
suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu
kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot
ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului
SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan
sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus,
sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan
perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik
penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu
perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus
radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan,
namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks
yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling
umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu
kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota
gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul.
Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik
pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema
yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel
mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit
berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel
plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental
dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks
spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks
spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah
dan saraf pada daerah tersebut.
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot
ekstremitas tipe lower motor neuron. Pada sebagian besar penderita
kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian
menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai
secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal
lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
Diagnosis banding
a. Myastenia Gravis
Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang
menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.
Kelelahan/kelemahan ini disebabkan karena sirkulasi antibodi
yang memblok acetylcholine receptors pada post sinaptik
neuromuscular junction, stimulasi penghambatan ini berpengaruh
pada neurotransmiter asetilkolin. Manifestasi klinisnya dapat
berupa kelemahan pada otot yang mengatur pergerakan mata,
kelemahan otot pada lengan dan tungkai, perubahan ekspresi
wajah, disfagia, dan disartria.

b. Poliomyelitis
Poliomyelitis atau penyakit polio adalah penyakit serius
yang disebabkan oleh infeksi salah satu dari tiga jenis virus polio.
Virus ini menyebar melalui kontak dengan makanan, air atau
tangan yang terkontaminasi dengan kotoran (tinja) atau sekresi
tenggorokan dari orang yang terinfeksi.
Virus penyebab polio adalah polio virus, Virus
ini menyebar ketika makanan, air atau tangan yang terkontaminasi
dengan kotoran (tinja penderita) atau dahak dan ingus dari orang
yang terinfeksi kemudian masuk ke mulut orang yang sehat.
Gejala penyakit polio akan muncul dalam waktu tiga sampai 21
hari setelah virus polio masuk dan orang ini akan bisa menularkan
pada tujuh sampai 10 hari sebelum dan setelah gejala muncul.
Seseorang yang terinfeksi akan tetap menular selama virus terus
dibuang melalui kotorannya, yang bisa berlanjut selama beberapa
minggu. Biasanya, virus tetap di tenggorokan selama satu sampai
dua minggu. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa
menyebabkan kesulitan bernapas, kelumpuhan, dan pada sebagian
kasus menyebabkan kematian.
c. Syndrome pasca polio
Sindrom pasca-polio biasanya menimpa orang-orang yang
rata-rata 30-40 tahun sebelumnya pernah menderita penyakit
polio. Gejala yang sering terjadi di antaranya:
- Sulit bernapas atau menelan
- Sulit berkonsentrasi atau mengingat
- Persendian atau otot makin lemah dan terasa sakit
- Depresi atau mudah berubah suasana hati
- Gangguan tidur dengan kesulitan bernapas
- Mudah lelah
- Massa otot tubuh menurun.

d. Lock in syndrome
Locked-in syndrome (LIS) adalah suatu kondisi di mana
pasien sadar tetapi tidak dapat bergerak atau berkomunikasi
secara verbal karena terjadi kelumpuhan diseluruh tubuh kecuali
untuk menggerakkan mata secara vertikal dan berkedip. Orang
yang terkena LIS sadar dan cukup utuh kognitif untuk dapat
berkomunikasi dengan gerakan mata. Locked-in syndrome juga
dikenal sebagai pemutusan cerebromedullospinal, de-efferented
state, pseudocoma, dan ventral sindrom pontine.
Locked-in syndrome biasanya menghasilkan quadriplegia
dan ketidakmampuan untuk berbicara. Mereka dengan sindrom
LIS mungkin dapat berkomunikasi dengan orang lain melalui
pesan dikodekan oleh berkedip atau gerakan mata mereka, yang
sering tidak terpengaruh oleh kelumpuhan. Gejalanya mirip
dengan kelumpuhan tidur. Mereka kadang-kadang dapat
mempertahankan proprioception dan sensasi di seluruh tubuh
mereka. Beberapa pasien mungkin memiliki kemampuan untuk
menggerakkan otot wajah tertentu, dan paling sering beberapa
atau semua otot ekstraokular. Individu dengan sindrom LIS
mengalami kekurangan koordinasi antara pernapasan dan suara.
Hal ini untuk mencegah mereka menghasilkan suara sukarela,
meskipun pita suara tidak lumpuh.
Tidak seperti kondisi vegetatif, di mana bagian atas otak
yang rusak dan bagian bawah terhindar, locked-in syndrome
disebabkan oleh kerusakan bagian tertentu dari otak yang lebih
rendah dan batang otak, dengan tidak ada kerusakan pada otak
bagian atas.
Kemungkinan penyebab locked-in syndrome meliputi:
- Keracunan  kasus lebih sering dari gigitan Krait dan racun
neurotoksik lainnya, karena mereka bisa biasanya melewati
sawar darah-otak
- Amyotrophic lateral sclerosis (alias penyakit Lou Gehrig)
- Penyakit pada sistem peredaran darah
- multiple sclerosis
- Kerusakan sel-sel saraf, terutama kerusakan selubung mielin,
yang disebabkan oleh penyakit atau pontine pusat
myelinolysis sekunder untuk koreksi yang cepat dari
hiponatremia
- Sebuah stroke atau pendarahan otak, biasanya dari arteri
basilar
- cedera otak traumatis
- Hasil dari lesi otak-batang

11. Bagian apakah yang terkena lesi?


Kemungkinan lesi terjadi pada bagian motorik yang diatur oleh
serabut saraf upper and lower motor neuron. Upper Motor Neuron (UMN)
adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari korteks motorik serebri
atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat 13 saraf-sarafnya ada di
dalam sistem saraf pusat). Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-
neuron motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi seratserat
sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi
dan berakhir di otot rangka. Gangguan fungsi UMN maupun LMN
menyebabkan kelumpuhan otot rangka, tetapi sifat kelumpuhan UMN
berbeda dengan sifat kelumpuhan UMN. Kerusakan LMN menimbulkan
kelumpuhan otot yang 'lemas', ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar
untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia). Pada kerusakan
UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku (rigid), ketegangan otot
tinggi (hipertonus) dan mudah ditimbulkan refleks otot rangka
(hiperrefleksia).

Adapun beberapa akibat jika lesi terjadi di tempat lain, yakni:


- Lesi kortikospinal
Mengenai area pyramidalis tepatnya area 4 dan 6
broadmann
- Lesi tulang belakang
Jika lesi terjadi di bagian serebrocerebellaris maka akan
menyebabkan ataksia, jika lesi dibagian dorsal maka akan
bersifat ipsilateral dan jika tejadi dibagian ventral akan bersifat
kontralateral
- Lesi spinothalamik
Jika lesi terjadi dibagian lateral makan lesi bersifat
kontralateral dan tubuh tidak bisa merasakan sensasi nyeri dan
suhu, sedangkan jika terjadi dibagian ventral lesi bersifat
ipsilateral dan akan menyebabkan tubuh tidak bisa merasakan
sensasi raba dan tekanan
- Lesi traktus dorsal kolum posterior
Jika mengenai n.gracilis mengakibatkan terjadi lesi di
lengan, jika mengenai n. Cuneatus mengakibatkan terjadi lesi
di tungkai

D. Langkah IV. Membuat skema.


Dari seluruh pembahasan yang telah kami lakukan, maka bahasan tersebut
dapat digambarkan melalui skema sebagai berikut:

Neuroanatomi Macam

KELEMAHAN
OTOT

Gejala Diagnosis Komplikasi

Diagnosis
Patofisiologi
Banding
E. Langkah V.Merumuskan tujuan pembelajaran.
Kami sudah mendapatkan learning objectives, antara lain:
1. Menjelaskan neuroanatomi kelemahan otot
2. Menjelaskan jenis kelemahan otot
3. Menjelaskan penyakit terkait kelemahan otot
4. Menjelaskan patofisiologi terkait kelemahan otot
5. Menjelaskan komplikasi kelemahan otot
6. Menjelaskan pemeriksaan kelemahan otot

F. Langkah VI. Mengumpulkan informasi baru.


Learning Objectives (LO) atau tujuan pembelajaran yang telah ditentukan
di Jump ke-5 kemudian kami cari pembahasannya dari sumber pustaka
yang teruji validitasnya. Sumber pustaka yang digunakanya itu jurnal
ilmiah (internet), textbook, bahan kuliah, KBBI, serta artikel dari pakar-
pakar yang juga diperhitungkan waktu terbitnya. Dengan begitu
diharapkan pembahasan yang didapat bukan hanya teruji kebenarannya,
melainkan juga teruji kekiniannya.

G. Langkah VII. Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru


yang diperoleh.
1. Patofisiologi dari penyakit Guillain Barre- Syndrome
Terjadi demyelinasi dari selubung myelin pada akson di serabut
saraf perifer, radix saraf dan ganglia. Hal tersebut terjadi karena sel B
mengenali gllikokonjugasi pada C. jejuni yang mengalami cross-react
dengan gangliosida pada sel Schwann pada selubung myelin permukaan
serabut saraf perifer. Kerusakaan selubung myelin menyebabkan paralisis
flasid dan gangguan sensoris dengan mekanisme blok konduksi serta pada
neuromuscular junction sehingga impuls yang seharusnya dihantarkan
tidak sampai pada korteks cerebri (tepatnya apda gyrus precentralis—area
Brodmann 4). Hal ini yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan pada otot
pasien penderita GBS (Longo, D.L., et al., 2012).

Jenis Guillain Barre- Syndrome


2. Jenis-jenis Kelemahan Otot

*Plegia adalah kekuatan otot yang hilang sama sekali.

*Paresis adalah kekuatan otot yang berkurang.


Hemiplagia
Kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan tungkai berikut wajah pada
salah satu sisi tubuh. Kelemahan tersebut biasanya disebabkan oleh lesi
vaskuler unilateral di kapsula interna atau korteks motoric

Diplegi
Kelumpuhan atau kelemahan otot-otot anggota gerak berikut wajah kedua
belah sisi, karena lesi vaskuler bilateral di kapsula interna atau korteks
motoric.

Hemiplegia alternans
Kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan dan tungkai sisi
kontralateral terhadap lesi di batang otak dengan kelumpuhan otot yang
disarafi saraf otak ipsilateral setinggi lesi, berikut kelumpuhan otot-otot yang
disarafi saraf otak yang terletak di bawah lesi pada sisi kontralateral.

Monoplegia
Kelemahan atau kelumpuhan otot-otot salah satu anggota gerak karena lesi
kecil di kapsula interna atau korteks motoric. Istilah monoplegi tidak
digunakan untuk kelumpuhan atau kelemahan sekelompok otot yang disarafi
oleh suatu saraf tepi.

Tetraplegia tau kwadriplegia


Kelumpuhan atau kelemahan otot-otot keempat anggota gerak yang
biasanya terjadi akibat lesi bilateral atau transversal di medulla spinalis
setinggi servikal.

Paraplegia
Kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral atau transversal di medulla
spinalis di bawah tingkat servikal.

Kelumpuhan saraf tepi


Kelemahan atau kelumpuhan otot-otot yang tergolong dalam kawasan
suatu saraf tepi.

Paralisis non-neurogenik
Kelemahan atau kelumpuhan ototo karena lesi di motor end plate atau lesi
structural atau biokimiawi pada otot.

3. Penyakit terkait kelemahan otot

Beberapa penyakit terkait kelemahan otot khususnya pada neuron motorik


bagian bawah.

a. Miastenia Gravis.
Miastenia gravis berarti kelemahan otot yang serius dan merupakan
satusatunya penyakit neuromuskular yang menggabungkan kelelahan cepat
otot volunter dan waktu penyembuhan yang lama. Pada miastenia gravis,
konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin normal
menjadi menurun yang diyakini terjadi akibat cedera autoimun. Pada
penderita MG, otot tampak normal secara makroskopik walaupun mungkin
terdapat atrofi disuse. Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan
otot levator palpebra kelopak mata. Secara umum, gejala MG dapat
diringankan dengan istirahat.

b. Sindrom Guillain-Barré
Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara
promer denan berbagai gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan
neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer. Keadaan pencetus yang
paling sering dijumpai adalah infeksi Campylobacter jejuni, yang secara
khas menyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri
abdomen, dan demam. Kejadian ini merubah sel dalam sistem saraf
sehingga sistem imun mengenali sel tersebut menjadi sel asing dan
menyerang mielin. Gejala yang ditimbulkan adalah nyeri parestesia,
kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya
sensasi.

c. Sindrom Pascapolio
Merupakan kelemahan otot progresif biasanya dimulai awal usia 20
hingga 30 tahun setelah sembuh dari infeksi virus poliomielitis. Gejala
klasik mencakup kelelahanyang tidak biasa, kelemahan otot baru, dengan
atau tanpa atrofi otot dan nyeri otot yang sering disertai oleh kejang otot
(International Polio Network, 1999)

4. Patofisiologi terkait kelemahan otot

a. Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Sentral


Patogenesis paresis spastik sentral. Pada fase akut suatu lesi di
traktus kortikospinalis, refleks tendon profunda akan bersifat hipoaktif
dan terdapat kelemahan flaksid pada otot . Refleks muncul kembali
beberapa hari atau beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif,
karena spindel otot berespons lebih sensitif terhadap regangan
dibandingkan dengan keadaan normal, terutama fleksor ekstremitas atas
dan ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi akibat
hilangnya kontrol inhibisi sentral desendens pada sel-sel fusimotor
(neuron motor γ) yang mempersarafi spindel otot. Dengan demikian,
serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara permanen (prestretched)
dan lebih mudah berespons terhadap peregangan otot lebih lanjut
dibandingkan normal.
Paresis spastik selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat (otak
dan/atau medula spinalis) dan akan terlihat lebih jelas bila terjadi
kerusakan pada traktus desendens lateral dan medial sekaligus (misalnya
pada lesi medula spinalis). Patofisiologi spastisitas masih belum
dipahami, tetapiy’aros motorik tambahan jelas memiliki peran penting,
karena lesi kortikal murni dan terisolasi tidak menyebabkan spastisitas.
Sindrom paresis spastik sentral. Sindrom ini terdiri dari:
- Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus
- Peningkatan tonus spastik
- Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai
oleh klonus
- Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks
abdominal, refleks plantar, dan refleks kremaster)
- Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan
Mendel-Bekhterev, serta diinhibisi respons hindar (flight), dan
- (awalnya) Massa otot tetap baik

1) Lesi di korteks serebri


Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor,
infark, atau cedera traumatik, menyebabkan kelemahan sebagian
tubuh sisi kontra-lateral. Temuan klinis khas yang berkaitan dengan
lesi di lokasi tersebut adalah paresis ekstremitas atas bagian distal
yang dominan, konsekuensi fungsional yang terberat adalah
gangguan kontrol motorik halus. Kelemahan tersebut tidak total
(paresis, bukan plegia), dan lebih berupa gangguan flaksid, bukan
bentuk spastik, karena jaras motorik tambahan (nonpiramidal)
sebagian besar tidak terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut (a)
dapat menimbulkan kejang fokal.

2) Lesi di kapsula interna


Jika kapsula interna terlibat (misalnya, oleh perdarahan atau
iskemia), akan terjadi hemiplegia spastik kontralateral—lesi pada
level ini mengenai serabut piramidal dan serabut non piramidal,
karena serabut kedua jaras tersebut terletak berdekatan. Paresis pada
sisi kontralateral awalnya berbentuk flaksid (pada “fase syok”) tetapi
menjadi spastik dalam beberapa jam atau hari akibat kerusakan pada
serabut-serabut nonpiramidal yang terjadi bersamaan.

3) Lesi setingkat pedunkulus serebri


Lesi setingkat pedunkulus serebri, seperti proses vaskular,
perdarahan, atau tumor, menimbulkan hemiparesis spastik
kontralateral yang dapat disertai oleh kelumpuhan nervus
okulomotorius.

4) Lesi pons
Lesi pons yang melibatkan traktus piramidalis (contohnya pada
tumor, iskemia batang otak, perdarahan) menyebabkan hemiparesis
kontralateral atau mungkin bilateral. Serabut-serabut yang
mempersarafi nukleus fasialis dan nukleus hipoglosalis telah berjalan
ke daerah yang lebih dorsal sebelum mencapai tingkat ini; dengan
demikian, kelumpuhan nervus hipoglosus dan nervus fasialis tipe
sentral jarang terjadi.

5) Lesi pada piramid medulla


Lesi pada piramid medula dapat merusak serabut-serabut traktus
piramidalis secara terisolasi, karena serabut-serabut nonpira¬midal
terletak lebih ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya, dapat terjadi
hemiparesis flaksid kontralateral. Kelemahan tidak bersifat total
(paresis, bukan plegia), karena jaras desendenss lain tidak terganggu.

6) Lesi traktus piramidalis di medula spinalis


Lesi traktus piramidalis di medula spinalis. Suatu lesi yang
mengenai traktus piramidalis pada level servikal (misalnya, akibat
tumor, mielitis, trauma) menyebabkan hemiplegia spastik ipsilateral;
ipsilateral karena traktus ter¬sebut telah menyilang pada level yang
lebih tinggi, dan spastik karena traktus tersebut mengandung serabut-
serabut piramidalis dan non piramidalis pada level ini. Lesi bilateral
di medula spinalis servikalis bagian atas dapat menyebabkan
kuadriparesis atau kuadriplegia.

b. Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Perifer


Paralisis flaksid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu
tempat manapun, dapat di kornu anterius, salah satu atau beberapa radiks
anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer. Kerusakan unit motorik
memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunter
maupun refleks. Otot-otot yang terkena sangat lemah (plegia), dan
terdapat penurunan tonus otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya
refleks (arefleksia) karena lengkung refleks regang monosinaptik
terputus. Atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut
secara perlahan-lahan digantikan oleh jaringan ikat; setelah beberapa
bulan atau tahun terjadinya atrofi yang progresif, penggantian ini akan
selesai.
Sindrom paralisis flaksid terdiri dari:
- Penurunan kekuatan kasar
- Hipotonia atau atonia otot
- Hiporefleksia atau arefleksia
- Atrofi otot
Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterius,
radiks anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer dengan bantuan
elektromiografi dan elektroneurografi. Jika paralisis pada satu atau
beberapa ekstremitas disertai oleh defisit somatosensorik dan otonom,
lesi diduga berada di distal radiks saraf dan dengan demikian terletak di
pleksus saraf atau di saraf tepi.
1) Sindrom ganglion radiks dorsalis
Infeksi pada satu atau beberapa ganglia spinalia oleh virus
neurotropik paling sering terjadi di regio torakal dan menyebabkan
eritema yang nyeri pada dermatom yang sesuai, diikuti oleh
pembentukan sejumlah vesikel kulit. Gambaran klinis ini, disebut
herpes zoster, berkaitan dengan rasa sangat tidak nyaman, nyeri
seperti ditusuk-tusuk dan parestesia di area yang terkena. Infeksi
dapat melewati ganglia spinalia ke medula spinalis itu sendiri, tetapi,
jika hal tersebut terjadi, biasanya tetap terbatas pada area kecil di
medula spinalis Keterlibatan komu anterius yang menyebabkan
paresis flaksid jarang ditemukan, hemiparesis atau paraparesis
bahkan lebih jarang lagi. Elektromiografi dapat nunjukkan defisit
motorik segmental pada hingga 2/3 kasus, tetapi karena herpes zoster
biasanya ditemukan di area torakal, defisitnya cenderung tidak
bermakna secg fungsional, dan dapat luput dari perhatian pasien.
Pada beberapa kasus, tidak terdapat lesi kulit (herpes sine herpete).
Herpes zoster relatif sering, dengan insidens 3-5 kasus per 1000
orang per tahun; individu dengan penurunan kekebalan tubuh (misal,
pas AIDS, keganasan, atau dalam imunosupresi) berisiko lebih
tinggi. Terapi dengan pengobatan kulit topikal serta asiklovir, atau
agen virustatik lainnya, dianjurkan untuk diberikan. Bahkan dengan
terapi yang sesuai, neuralgia pasca-herpes di area yang terkena
bukan merupakan komplikasi yang jarang. Keadaan ini dapat diobati
secara simptomatik dengan berbagai terapi, termasuk karbamazepin
dan gabapentin.
2) Sindrom substansia grisea
Kerusakan pada substansia grisea sentral medula spinalis akibat
siringomielia, hematomielia, tumor medula spinalis intra-medular,
atau proses-proses lain mengganggu semua jaras serabut yang
melewati substansia grisea. Serabut yang paling terpengaruh adalah
serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang
menghantarkan sensasi tekanan, raba kasar, nyeri, dan suhu; serabut-
serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian
berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior.
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa
rongga berisi-cairan di medula spinalis; penyakit yang serupa di
batang otak disebut siringobulbia. Rongga ini, disebut siring, dapat
terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda dan terdisitribusi
dengan pola karakteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme
pembentukannya.Siringomielia paling sering mengenai medula
spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri
dan suhu di bahu dan ekstremitas atas. Siring yang meluas secara
progresif dapat merusak traktus medula spinalis yang panjang,
menyebabkan (para) paresis spastik, dan gangguan pada proses
berkemih, defekasi, dan fungsi seksual. Siringobulbia sering
menyebabkan atrofi unilateral pada lidah, hiperalgesia atau analgesia
pada wajah, dan berbagai jenis nistagmus sesuai dengan lokasi dan
konfigurasi siring.

3) Sindrom kornu anterius.


Baik poliomielitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal
secara spesifik memengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada
pembesaran servikalis dan lumbalis medula spinalis. Pada
poliomielitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang
secara akut dan ireversibel, terutama di regio lumbalis, menyebabkan
paresis flaksid pada otot-otot di segmen yang sesuai. Otot proksimal
cenderung lebih terpengaruh daripada otot distal. Otot menjadi atrofi
dan pada kasus yang berat, dapat tergantikan seluruhnya oleh
jaringan ikat dan lemak. poliomielitis jarang mengenai seluruh otot
ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius tersusun di kolumna
vertikal yang panjang di dalam medula spinalis.

4) Sindrom transeksi medula spinalis


Ketika sindroma transeksi medula spinalis muncul perlahan-
lahan bukan dengan tiba-tiba, misalnya, karena tumor yang tumbuh
secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom transeksi pada
kasus seperti ini biasanya parsial, dan bukan total. Paraparesis
spastik yang berat dan progresif terjadi di bawah tingkat lesi, disertai
oleh defisit sensorik, disfungsi miksi, defekasi, dan seksual, serta
manifestasi otonomik (regulasi vasomotor dan berkeringat yang
abnormal, kecenderungan untuk terjadi ulkus dekubitus).
Sindrom Transeksi Medula Spinalis pada Berbagai Tingkat
a) Sindrom transeksi medula spinalis servikalis.
Transeksi medula spinalis di atas vertebra servikalis III
fatal, karena dapat menghentikan pernapasan (hilangnya fungsi
nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien
tersebut hanya dapat ber-tahan jika diberikan ventilasi buatan
dalam beberapa menit setelah trauma penyebabnya, keadaan
yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal
bawah menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot
interkostal; pernapasan dapat sangat terganggu. Ekstremitas atas
terkena dengan luas yang bervariasi tergantung pada tingkat lesi.
Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari defisit sensorik
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik.
b) Sindrom transeksi medula spinalis torasika.
Transeksi medula spinalis torasika bagian atas tidak
menggangu ekstremitas atas, tetapi mengganggu pernapasan dan
juga dapat menimbulkan ileus paralisis melalui keterlibatan
nervus splankhnikus. Transeksi medula spinalis torasika bagian
bawah tidak mengganggu otot-otot abdomen dan tidak
mengganggu pernapasan.

5) Sindrom radikular.
Radiks terutama sangat rentan terhadap kerusakan pada atau di
dekat jalan keluarnya melalui foramina intervertebra. Penyebab
tersering meliputi proses stenosis (penyempitan foramina, misalnya
akibat pertumbuhan tulang yang berlebihan), protrusio diskus, dan
herniasi diskus yang menekan radiks yang keluar. Proses lain, seperti
penyakit infeksi pada korpus vertebrae, tumor, dan trauma, dapat
juga merusak radiks nervus spina ketika keluar dari medula spinalis.
Lesi radikular menimbulkan manifestasi karakteristik berikut:
- Nyeri dan defisit sensorik pada dermatom yang sesuai.
- Kerusakan sensasi nyeri lebih berat dibandingkan modalitas
sensorik lainnya.
- Penurunan kekuatan otot-otot pengindikasi-segmen dan, pada
kasus yang berat dan jarang, terjadi atrofi otot.
- Defisit refleks sesuai dengan radiks yang rusak
- Tidak adanya defisit otonom (berkeringat, piloereksi, dan fungsi
vasomotor pada ekstremitas, karena serabut simpatis dan
parasimpatis bergabung deng saraf perifer di distal radiks dan
dengan demikian tidak dirusak oleh radikular.
c. Neuropati
Transeksi beberapa saraf perifer menimbulkan paresis flaksid pada
otot yang dipersarafi oleh saraf tersebut, defisit sensorik pada distribusi
serabut-serabut saraf aferen yang terkena, dan defisit otonom.
Ketika kesinambungan suatu akson terganggu, degenerasi akson
dan selubung mielinnya dimulai dalam beberapa jam atau hari di lokasi
cedera, kemudian berjalan ke arah distal menuruni akson tersebut, dan
biasanya selesai dalam 15-20 hari (disebut degenerasi sekunder atau
degenerasi Walleriari).
Penyebab kelumpuhan saraf perifer terisolasi yang lebih sering
adalah: kompresi saraf di titik yang rentan secara anatomis atau daerah
leher botol (sindrom skalenus, sindrom terowongan kubital, sindrom
terowongan karpal, cedera n.peroneus pada kaput fibula, sindrom
terowongan tarsal); cedera traumatik (termasuk lesi iatrogenik, misalnya
cedera akibat tusukan atau injeksi); dan iskemia (misalnya, pada sindrom
kompartemen dan, yang lebih jarang, proses infeksi/ inflamasi).
1) Mononeuropati
Gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khususnya akibat
tekanan, atau gangguan suplai darah (vasa nervorum).
Gangguan sistemik yang secara umum dapat menyebabkan saraf
sangat sensitif terhadap tekanan, misalnya diabetes melitus, atau
penyakit lain yang menyebabkan gangguan perdarahan yang
menyebar luas, misalnya vaskulitis, dapat menyebabkan neuropati
multifokal (atau mono-neuritis multipleks).
a) Carpal tunnel syndrome
Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus
pada pergelangan tangan saat saraf ini melalui terowongan
karpal, yang dapat terjadi:
- Secara tersendiri, contohnya pasien dengan pekerjaan
yang banyak menggunakan tangan,
- Pada gangguan yang menyebabkan saraf menjadi
sensitif terhadap tekanan, misalnya diabetes melitus,
- Saat terowongan karpal penuh dengan jaringan lunak
yang abnormal
- Gambaran klinis sindrom terowongan karpal adalah:
- Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari,
atau saat bekerja,
- Pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar,
- Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nervus
medianus,
- Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus
medianus saat dilakukan perkusi pada telapak tangan
daerah terowongan karpal (tanda tinel),
- Kondisi ini sering bilateral.

b) Neuropati ulnaris
Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat
tekanan pada beberapa tempat di sepanjang perjalanannya,
tetapi terutama pada siku.
Gambaran klinis meliputi:
- Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang
menjalar ke bawah dari siku ke lengan sampai batas
ulnaris tangan,
- Atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik tangan
- Hilangnya sensasi tangan pada distribusi nervus ulnaris,
- Deformitas tangan cakar (claw hand) yang khas pada
lesi kronik
Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi
lesi sepanjang perjalanan nervus ulnaris.
Lesi ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada
malam hari, dengan posisi siku ekstensi untuk mengurangi
tekanan pada saraf. Untuk lesi yang lebih berat, dekompresi
bedah atau transposisi nervus ulnaris, belum dapat dijamin
keberhasilannya. Tetapi operasi diperlukan jika terdapat
kerusakan nervus ulnaris terus-menerus, yang ditunjukkan
dengan gejala nyeri persisten dan/atau gangguan motorik
progresif.

2) Polineuropati
Proses patologis yang mengenai beberapa saraf tepi disebut
polineuropati, dan proses infeksi atau inflamasi yang mengenai
beberapa saraf tepi disebut polineuritis. Polineuropati dapat
diklasifikasikan berdasarkan kriteria struktur-histologis (aksonal,
demielinasi, iskemia-vaskular), berdasarkan sistem yang terkena
(sensorik, motorik, otonom), atau berdasarkan distribusi defisit
neurologis (mononeuropati multipleks, distal-simetrik, proksimal).
Polineuropati dan polineuritis memiliki banyak penyebab, sehingga
diagnosis serta penatalaksanaannya sangat kompleks. Sering
diakibatkan oleh proses peradangan, metabolik, atau toksik yang
menyebabkan kerusakan dengan pola difus, distal, dan simetris yang
biasanya mengenai ekstremitas bawah sebelum ekstremitas atas.

5. Komplikasi kelemahan otot

Komplikasi Guillain Barre Syndrome


- Sindrom Pernapasan Akut. Hal ini dikarenakan Guillain Barre Syndrome
(GBS) lambat laun dapat menyerang sistem pernapasan
- Sepsis
- Pneumonia
- Tromboembolik vena
- Henti jantung
- Aritmia
Semua komplikasi di atas dapat menyebabkan kematian. Lebih banyak
disebabkan karena ketidakstabilan otonom dari komplikasi, intubasi dan
kelumpuhan yang lama. Biasanya juga komplikasi dari sistem pernapasan
seperti sepsis maupun pneumonia disebabkan oleh pasien yang bergantung
dengan ventilator. Selain itu juga dikarenakan regenerasi dari sel saraf
membutuhkan waktu yang cukup lama, ketika sembuh bisa saja tidak seratus
persen. Bisa terjadi keluhan neurologik yang permanen seperti ataksia dan
disestesia. Dapat juga terjadi perubahan psikososial dari penderita

Sedangkan komplikasi terkait kelumpuhan otot diantaranya ialah:


- Disrefleksia otonom.
Komplikasi ini akan berdampak pada sistem saraf otonom yaitu simpatis
dan parasimpatis, dengan keluhan seperti nyeri kepala, dilatasi pupil,
perasaan cemas, rasa terikat pada dada, bradikardi, hipertensi, dan
lainnya.
- Depresi

6. Pemeriksaan tentang kelemahan otot

a. Anamnesis :
Dari anamnesis kita dapat menggali lebih dalam tentang keluhan
pasien, onset, lokasi, kuantitas, kualitas, faktor mempeberat,
memperingan, gejala penyerta, dan lain-lain
Dari situ kita mendapatkan diagnosis sementara dan mengarah kemana.

b. Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik neurologi menyangkut banyak hal, seperti tonus
otot, refleks fisiologis, refleks patologis, sensasi, trofi, dan lain-lain. Di
sini kita dapat menentukan perkiraan tempat terjadinya lesi.
c. Pemeriksaan penunjang :
1) Pungsi lumbal
Test ini dilakukan untuk pemeriksaan cairan serebrospinalis,
mengukur dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal, menentukan
ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk mendeteksi
adanya blok subarakhnoid spinal, dan untuk memberikan antibiotic
intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus infeksi. Jarum
biasanya dimasukan ke dalam ruang subarkhnoid diantara tulang
belakang daerah lumbal ketiga dan keempat atau antara lumbal
keempat dan kelima hingga mencapai ruang subarachnoid dibawah
medulla spinalis di bagian causa. Karena medula spinalis terbagi lagi
dalam sebuah berkas saraf pada tulang belakang bagian lumbal yang
pertama maka jarum ditusukan di bawah tingkat ketiga tulang
belakang daerah lumbal, untuk mencegah medula spinalis tertusuk.
Indikasi :
- mengambil bahan pemeriksaan CSF untuk diagnostic dan
persiapan pemeriksaan pasien yang di curigai mengalami
meningitis ,encepahilitis atau tumor malignan
- untuk menghindari adanya darah dalam CSF akibat terauma
atau di curigai adanya perdarahan subarachnoid.
- untuk memasukan cairan opaq kedalam ruang subarachnoid.
- untuk mengidentifikasi adanya tekanan
intrakarnial/intraspinal,untuk memasukan obat intratekal
seperti terapi antibiotic atau obat sitotoksik.
2) Elektromyography
Mengidentifikasi transmisi signal elektrik dari motor neuron
diinterpretasikan dengan grafik, suara, dan angka
3) Nerve conduction velocity
Menghitung kecepatan penghantaran nervous. Penghantaran
impuls akan menghasilkan aktivitas elektrik yang akan direkam oleh
elektroda, jarak dan waktu antar elektroda yang akan dipakai sebagai
dasar pengukuran.
4) Peningkatan Ig M
BAB III

KESIMPULAN

Dari skenario “KELUMPUHAN KEDUA LENGAN DAN TUNGKAI”


yang telah kami bahas, dapat disimpulkan bahwa lessi neurologis dapat terjadi
pada Lower Motor Neuron (LMN) maupun Upper Motor Neuron (UMN) dengan
ciri-ciri masing-masing. Pada skenario ini terjadi penurunan reflex fisiologis yang
merupakan tanda dari lessi LMN. Pasien juga diketahui menderita diare dan
mengalami tetraparesis, serta kelumpuhan yang terjadi progressif dari kaki dan
tungkai kemudian menjalar hingga kedua lengan. Dari ciri-ciri tanda dan gejala
yang dialami oleh pasien, kami menyimpulkan pasien menderita Guillain-Barre
Syndrome(GBS) yang berhubungan dengan system kekebalan tubuh yang
merusak myelin dapa sel saraf.

SARAN

Diskusi tutorial blok neurologi skenario ketiga ini berjalan dengan cukup
baik, turor pengampu juga memberikan masukan dengan sangat baik. Namun,
mahasiswa diharapkan untuk lebih aktif dalam kegiatan tutorial kedepannya agar
tutorial menjadi lebih interaktif. Untuk kedepannya, diperlukan pengetahuan yang
lebih komprehensif mengenai penyakit-penyakit dengan gejala LMN maupun
UMN.
DAFTAR PUSTAKA

International Polio Network (IPN). (1999). Handbook on the late effects of


poliomyelitis for physicians and survivors, Gazette International Networking
Institute (GINI), St Louis, Mo.

Price S.A., Wilson L.M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses-proses


penyakit Ed. 6. Jakarta : EGC. Hal. 1167

Longo, D.L., et al. 2012. Harrison’s of Principles Internal Medicine 18th


Edition. US: McGraw-Hill.

Anon, (2006). Panduan Belajar Ilmu Sistem Saraf. [online] Available at:
http://gamel.fk.ugm.ac.id/pluginfile.php/23822/mod_resource/content/1/Bab%205
%20Kelumpuhan%20dan%20Gangguan%20Berjalan.pdf [Accessed 12 Dec.
2016].

http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview#a6.(Diakses pada
13 Desember 2016)

http://www.nhs.uk/Conditions/paralysis/Pages/Complications.aspx.(Diakses
pada 13 Desember 2016)

http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview.(Diakses pada 12
Desember 2016 )

Anda mungkin juga menyukai