Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

GUILLAIN BARRÉ SYNDROME

Pembimbing:

dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S

Penyusun:

Cyntya May Liana Rusdianti 20200420046

Daffa Rohmatulloh Ar’raffi 20200420047

Daisy Deriena 20200420048

Damara Anisyah Erinalistyahani Zaynul 20200420049

Devi Okky Ariesta 20200420050

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2023
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
GUILLAIN BARRÉ SYNDROME

Tugas referat dengan judul “Guillain Barré Syndrome” telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
sebagai Dokter Muda di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 5 Februari 2023


Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang MAha Esa atas berkat
dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas referat ini dengan judul
“Guillain Barré Syndrome”. Tugas responsi ini disusun sebagai salah satu tugas
wajib dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSPAL dr. Ramelan Surabaya, serta besar harapan agar dapat dijadikan tambahan
ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya


kepada dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S. Sebagai dokter pembimbing yang
telah memberikan ilmu, arahan, dan masukan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas ini.

Dalam proses penulisan tugas ini, penulis menyadari adanya keterbatasan


kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat diterima agar responsi ini dapat menuju kesempurnaan. Demikianlah
ucapan ini dapat penulis sampaikan. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan
terima kasih.

Surabaya, 5 Februari 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB 1................................................................................................................1
BAB 2................................................................................................................3
1.1 Definisi...........................................................................................................3
1.2 Epidemiologi..................................................................................................3
1.3 Etiologi..........................................................................................................4
1.4 Klasifikasi......................................................................................................4
1.5 Patogenesis....................................................................................................5
1.6 Manifestasi Klinis........................................................................................11
1.7 Diagnosa......................................................................................................12
1.8 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................13
1.8.1 Pengujian Laboratorium.........................................................................13
1.8.2 Pemeriksaan Cairan Serebrospinal........................................................14
1.8.3 Elektrodiagnostik....................................................................................14
1.8.4 Pencitraan................................................................................................15
1.8.5 Histopatologi............................................................................................16
1.9 Diagnosa Banding.......................................................................................16
1.10 Manajemen.................................................................................................18
1.11 Komplikasi..................................................................................................19
1.12 Preventif......................................................................................................22
1.13 Prognosis.....................................................................................................22
KESIMPULAN...................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
BAB 1
PENDAHULUAN

Guillain-Barré syndrome (GBS) ditemukan pada tahun 1916 oleh


Georges Guillain dan Jean Barré. Kondisi ini pertama kali dideskripsikan
sebagai bentuk kelemahan ekstremitas yang jinak dan dapat pulih secara
penuh. Namun, semakin bertambahnya waktu, GBS dikenal sebagai
gangguan neuromuskular yang berkepanjangan serta dapat menimbulkan
kelumpuhan pada hampir sepertiga pasien yang terkena. GBS dilaporkan
sebagai penyebab paralisis flaksid akut tersering di Eropa. Kondisi ini
terjadi pada sekitar 0,40 dan 3,25 kasus per 100.000 orang, bergantung pada
lokasi geografis. Patologi GBS merupakan inflamasi akut yang dapat
menyebabkan demielinasi poliradikuloneuropati. Penyakit ini muncul di
seluruh dunia pada setiap musim dan dapat menyerang semua orang terlepas
dari usia mereka. Sekitar dua-pertiga pasien GBS melaporkan adanya
infeksi beberapa minggu sebelum timbulnya gejala GBS, terutama oleh
agen infeksius seperti Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, dan Epstein-
Barr virus (Malek dan Salameh, 2019; Willison, Jacobs dan van Doorn,
2016; Wijdicks dan Klein, 2017; Untari et al., 2021).
GBS dapat menyebabkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa
kebas, parestesia pada bagian distal yang diikuti secara cepat oleh paralisis
semua ekstremitas yang bersifat ascendens. Keluhan biasanya muncul
secara bilateral dan refleks fisiologis menurun bertahap hingga menghilang
secara penuh. Gangguan saraf motorik juga dimulai dari ekstremitas bawah
yang menyebar secara progresif, baik dalam hitungan jam, hari dan minggu
ke ekstremitas atas, bagian tubuh lain dan sistem saraf pusat. Kerusakan
saraf sensorik juga dapat terjadi, namun tidak terlalu signifikan
dibandingkan gangguan motorik pada otot. Fungsi saraf yang terganggu
biasanya adalah proprioseptif dan sensasi getar. Gejala dirasakan mulai dari
ekstremitas bawah berupa parestesia dan disestesia. Pada anak-anak, gejala
juga disertai dengan rasa sakit dan kram. Gejala tersebut muncul pada 50
persen anak pada awal manifestasi dan sering menyebabkan timbulnya

1
kesalahan diagnosis. Selain itu, kelainan saraf otonom juga terjadi pada
beberapa pasien dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat
menyebabkan timbulnya takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia, facial
flushing hingga cardiac arrest (Malek dan Salameh, 2019; Willison, Jacobs
dan van Doorn, 2016; Wijdicks dan Klein, 2017; Untari et al., 2021). 

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Sindrom Guillain-Barré (GBS), penyebab paling sering dari neuropati
paralitik akut, adalah polineuropati inflamasi yang ditandai dengan onset akut,
perkembangan cepat, kelemahan otot simetris, ambulasi tidak stabil, dan hipo
atau arefleksia (Esposito and Longo, 2017; Wijdicks and Klein, 2017).
Kelemahan biasanya dominan distal, setidaknya pada saat onset, dan
banyak pasien merasakan nyeri neuropatik. GBS biasanya muncul sebagai
kelumpuhan menaik, dengan kelemahan pada kaki yang menyebar ke tungkai
atas dan wajah, dan hilangnya refleks tendon dalam; namun, ada sejumlah
varian yang dapat dikenali (Esposito and Longo, 2017).

1.2 Epidemiologi
Sindrom Guillain-Barré adalah poliradikuloneuropati yang dimediasi
kekebalan yang menyumbang sekitar 100.000 kasus baru setiap tahun di
seluruh dunia. Sindrom Guillain-Barré telah dilaporkan di banyak negara.
Studi berbasis populasi dari Amerika Utara dan Eropa menunjukkan bahwa
kejadian berkisar antara 0,81 sampai 1,91 kasus per 100.000 orang per tahun.
Ada peningkatan insiden sebesar 20% untuk setiap peningkatan usia 10 tahun,
dan tidak seperti penyakit autoimun lainnya, risiko sindrom Guillain-Barré
lebih tinggi pada pria daripada wanita.
Meskipun tidak dirancang untuk mempelajari populasi, IGOS melaporkan
temuan serupa setelah merekrut lebih dari 900 pasien dengan sindrom
Guillain-Barré di seluruh dunia. IGOS menemukan usia rata-rata 51 tahun dan
jumlah pasien memuncak pada 50-69 tahun, termasuk rasio laki-ke-
perempuan 1·5.
Dibandingkan dengan Amerika Utara dan Eropa, studi berbasis populasi di
Asia Timur melaporkan insiden sindrom Guillain-Barré yang lebih rendah
dengan 0,44 kasus per 100.000 orang-tahun di Jepang, dan 0,67 di Cina. Di
Bangladesh, kejadiannya adalah 1·5–2·5 kasus per 100.000 orang-tahun pada
orang dewasa, dan 3·25 pada anak-anak.

3
Studi single-center di Timur Tengah melaporkan insiden yang serupa
dengan negara-negara barat, sedangkan di Amerika Latin, insiden latar
belakang yang dilaporkan tertinggi di Chili (2·12 kasus per 100.000 orang-
tahun) dan terendah di Brasil (0·40).
Variasi musiman kejadian memiliki hubungan yang erat dengan infeksi.
Studi di negara-negara barat menunjukkan puncaknya di musim dingin,
sedangkan Cina utara, India, Bangladesh, dan Amerika Latin menyaksikan
puncak musim panas. Laporan dari Cina utara dan Bangladesh terkait dengan
infeksi C jejuni dan fenotip neuropati aksonal motorik akut (AMAN).
Meskipun langkah-langkah kebersihan yang ketat untuk mencegah
campylobacteriosis dapat mengurangi kejadian sindrom Guillain-Barré,
prevalensi infeksi Campylobacter yang terus meningkat di seluruh dunia dapat
mengakibatkan kejadian sindrom Guillain-Barré yang terus-menerus, atau
bahkan meningkat di masa mendatang (Shahrizaila et al, 2021).

1.3 Etiologi
GBS diyakini sebagai hasil dari respon imun terhadap infeksi sebelumnya
melalui reaksi silang dengan saraf tepi akibat mimikri molekuler. Pada sekitar
dua pertiga kasus, didapatkan adanya penyakit menular akut yang dirujuk
dalam waktu satu sampai empat minggu, biasanya proses flu atau
gastroenterokolitis akut. Respon imun dapat diarahkan ke myelin atau akson
saraf perifer, menghasilkan demielinasi dan bentuk aksonal GBS. Infeksi
Campylobacter jejuni adalah faktor pencetus paling umum pada 45-76%
kasus. Cytomegalovirus, Epstein-Barr, Human Immunodeficiency Virus
(HIV), dan virus Zika juga terkait dengan timbulnya GBS. Sebagian kecil
pasien mengalami GBS setelah imunisasi, pembedahan, trauma, atau
transplantasi sumsum tulang (Lacerda, et al., 2019).

1.4 Klasifikasi
Ada empat jenis sindrom Guillain-Barré yang muncul dalam berbagai
bentuk. Pertama adalah AIDP (Acute inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy). Demielinisasi inflamasi diduga dimulai pada tingkat akar

4
saraf, menyebabkan konduksi elektrofisiologi melambat dengan blok
konduksi, dengan kelemahan otot yang ekstrim. Remielinasi dapat terjadi pada
saraf tepi. Terutama subtipe yang paling umum dari jenis sindrom ini yang
terjadi (Patnaik, 2021).
Varian kedua adalah Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN),
yang merupakan bentuk paling parah dari AMAN (Acute Motor Axonal
Neuropathy). Sensorik dengan serabut neuron motorik kemungkinan besar
dipengaruhi oleh degenerasi akson sehingga terjadi pada usia onset yang lebih
lanjut, yang menyebabkan pemulihan yang tertunda dan tidak lengkap yang
dapat bersifat reversibel atau ireversibel. Secara klinis menyerupai AMAN
tetapi dengan gejala yang lebih sensoris (Donofrio, 2017; Patnaik, 2021).
Yang ketiga adalah Miller Fisher Syndrome (MFS), yang biasanya
disajikan sebagai ataksia, masalah dengan gerakan mata dan areflexia.
Antibodi yang melawan GQ1b (komponen saraf gangliosida) terdapat pada
sebagian besar pasien varian ini. Anti-GQ1b ganglioside umumnya
merupakan target antigenik yang tidak terbukti secara proporsional pada saraf
motorik yang pasti menginervasi otot-otot ekstraokular. Pasien dengan Miller
Fisher Syndrome datang dengan tiga serangkai ophthalmoparesis atau
ophthalmoplegia, arefleksia, dan ataksia. Beberapa pasien memiliki
keterlibatan batang otak bagian bawah, seperti kelemahan wajah dan faring
(Donofrio, 2017; Patnaik, 2021).
Varian terakhir adalah AMAN (Acute Motor Axonal Neuropathy), yang
lebih sering terjadi pada anak-anak selama musim panas dan jauh lebih umum
di Cina bagian utara daripada Amerika Serikat, Eropa, dan wilayah Asia
lainnya. AMAN dibedakan dari AIPD dengan keterlibatan selektif saraf
motorik dan dengan pola elektrofisiologi keterlibatan aksonal (Donofrio,
2017; Patnaik, 2021).

1.5 Patogenesis
Sebagian besar bukti eksperimental dan klinis menunjukkan bahwa GBS
adalah gangguan yang dimediasi oleh organ spesifik yang disebabkan oleh

5
interaksi sinergis dari respons imun yang dimediasi sel dan humoral terhadap
antigen saraf perifer yang masih belum dikarakterisasi secara lengkap.
Sekitar dua pertiga pasien melaporkan kejadian sebelumnya, paling sering
infeksi saluran pernapasan atas atau gastrointestinal, pembedahan, atau
imunisasi 1-4 minggu sebelum timbulnya gejala neurologis. Agen yang
bertanggung jawab atas penyakit prodromal seringkali tidak teridentifikasi.
Agen infeksi spesifik yang terkait dengan GBS termasuk CMV, virus Epstein-
Barr, virus varicella-zoster (VZV), hepatitis A dan B, HIV, Mycoplasma
pneumoniae, dan H. influenzae. Bukti terbaru dari Kolombia, Polinesia
Prancis, dan Puerto Rico telah menunjukkan bahwa infeksi virus Zika, RNA
Flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk, memainkan peran penting dalam
perkembangan GBS.
Organisme bakteri teridentifikasi paling umum yang terkait dengan GBS
dan terutama bentuk aksonalnya adalah C. jejuni, batang gram negatif
melengkung yang merupakan penyebab umum enteritis bakteri di seluruh
dunia. Bukti infeksi C. jejuni dari kultur feses atau uji serologis ditemukan
pada 26% pasien GBS yang dirawat di rumah sakit di Inggris, dibandingkan
dengan 2% kasus kontrol. Studi retrospektif dari Amerika Serikat, Belanda,
Jerman, dan Australia melaporkan bukti serologis infeksi C. jejuni baru-baru
ini berkisar antara 17% sampai 39% pasien dengan GBS. Perlu dicatat bahwa
di Amerika Serikat saja, diperkirakan 2,4 juta kasus infeksi enterik C.jejuni
dilaporkan per tahun, namun hanya sekitar 2500 orang yang mengembangkan
GBS. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor terkait inang atau
polimorfisme C. jejuni tertentu menentukan perkembangan GBS. Infeksi C.
jejuni mungkin memainkan peran yang lebih besar di Cina utara, di mana
tingkat infeksi adalah 76% pada pasien dengan AMAN dan 42% pada pasien
dengan AIDP. Mimikri molekuler antara GM1 ganglioside dan lipo-
oligosakarida C. jejuni ditetapkan sebagai penghubung patogen untuk
hubungan ini.
Infeksi sebelumnya dapat memicu respons autoimun melalui "mimikri
molekuler", di mana inang menghasilkan respons imun terhadap organisme
menular yang berbagi epitop dengan saraf tepi inang. Pada awal penyakit, sel

6
T yang teraktivasi memainkan peran utama dalam membuka penghalang
darah-saraf untuk memungkinkan sirkulasi antibodi untuk mendapatkan akses
ke antigen saraf perifer. Penanda aktivasi sel T (interleukin [IL]-6, IL-2,
reseptor IL-2 terlarutkan, dan interferon γ [IFN-γ]) dan tumor necrosis factor α
(TNF-α), sitokin proinflamasi yang dilepaskan oleh sel T dan makrofag,
khususnya IL-23, meningkat dalam serum pasien. Selain itu, molekul adhesi
dan matriks metaloproteinase sangat terlibat dalam memfasilitasi perekrutan
dan transmigrasi sel T dan monosit yang teraktivasi melalui sawar darah-saraf.
E-selectin terlarut, molekul adhesi yang diproduksi oleh sel endotel, dan
metaloproteinase meningkat pada pasien dengan GBS selama tahap awal
penyakit. Reaksi kekebalan yang dimediasi sel terhadap komponen myelin
didukung oleh neuritis alergi eksperimental, model hewan yang diterima untuk
AIDP. Neuritis alergi eksperimental dapat dihasilkan dengan imunisasi aktif
dengan seluruh homogenat saraf perifer, mielin, atau protein dasar mielin
khusus PNS P2, P0, atau galactocerebroside.
Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa faktor humoral juga
berpartisipasi dalam serangan autoimun pada mielin saraf perifer, akson, dan
terminal saraf: (1) imunoglobulin dan komplemen dapat ditunjukkan pada
serat mielin dari pasien yang terkena dengan immunostaining; (2) MFS dan
AMAN sangat terkait dengan antibodi anti ganglioside spesifik; (3) serum dari
pasien MFS dan AMAN mengandung antibodi IgG yang menghambat
transmisi saraf tepi pada preparat saraf-otot tikus; (4) antibodi myelin anti
saraf tepi yang memperbaiki komplemen C1 dapat dideteksi dalam serum
pasien selama fase akut GBS; (5) penyuntikan serum GBS intraneural ke saraf
siatik tikus mengakibatkan infiltrasi sel T sekunder pada tempat penyuntikan
pada saat munculnya kelemahan tungkai belakang; dan (6) infus plasmaferesis
atau imunoglobulin menghasilkan perbaikan klinis.
Pemahaman tentang mekanisme kekebalan GBS, termasuk AIDP dan
subtipe aksonalnya, ditingkatkan dengan studi imunohistokimia dan
ultrastruktur terperinci dari kasus otopsi yang terdefinisi dengan baik secara
klinis dari Cina utara. Perubahan paling awal yang terlihat pada AIDP dalam
beberapa hari setelah onset terdiri dari deposisi produk aktivasi komplemen

7
dan kompleks serangan membran pada permukaan sel Schwann terluar, diikuti
oleh perubahan myelin vesikular pada lamellae myelin terluar, dengan
rekrutmen makrofag berikutnya dan demielinasi progresif. Sebelumnya, peran
komplemen telah disarankan dengan ditemukannya peningkatan kadar produk
aktivasi komplemen di CSF dan kompleks komplemen terminal larut dalam
serum pasien dengan AIDP. Serangan imun pada AIDP tampaknya dimulai
dengan pengikatan autoantibodi pada epitop spesifik pada membran sel
Schwann terluar, dengan konsekuensi aktivasi komplemen. Sifat epitop pada
AIDP, meskipun masih belum pasti, kemungkinan besar berupa glikolipid.
Studi patologis kasus awal AMAN menemukan pengendapan komponen
komplemen teraktivasi dan imunoglobulin pada nodal axolemma. Ini diikuti
oleh gangguan ruang paranodal, memungkinkan masuknya komplemen dan
imunoglobulin sepanjang axolemma, dengan perekrutan makrofag selanjutnya
ke nodus yang terkena. Akhirnya, makrofag terlihat menginvasi ruang
periaxonal, menyebabkan degenerasi serat motorik seperti Wallerian.
Temuan ini menunjukkan bahwa AMAN disebabkan oleh serangan yang
dimediasi oleh antibodi dan komplemen pada epitop axolemmal dari serat
motorik. Kandidat target yang paling menarik adalah gangliosida mirip GM1-
dan asialo-GM1, yang terdapat dalam membran nodal dan internodal serat
motorik. Strain C. jejuni tertentu yang terkait dengan varian GBS dan MFS
aksonal mengandung epitop mirip GM1 dalam mantel polisakarida mereka.
Antibodi anti-GM1 dan GQ1b yang bereaksi silang terhadap epitop
lipopolisakarida ini masing-masing ditemukan pada sebagian besar pasien
dengan AMAN dan MFS, serta pada beberapa pasien dengan AIDP.
Pengamatan ini telah mengarah pada konsep mimikri molekuler di mana
epitop agen infeksius menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan
epitop bersama pada akson. Serabut saraf dengan demikian menjadi target
yang tidak disengaja dari respons imun yang diarahkan terhadap organisme
menular. Antibodi antigangliosida yang diperoleh dari pasien AMAN dan
MFS memblokir transmisi neuromuskuler dalam persiapan saraf-otot in vitro.
Aktivitas pemblokiran antibodi IgG ini dapat dinetralkan oleh IVIG.
Selanjutnya, kelinci yang diimunisasi dengan GM1 mengembangkan AMAN,

8
sehingga memenuhi postulat untuk memastikan patogenesis autoimun.
AMSAN mungkin disebabkan oleh cedera kekebalan yang lebih parah yang
dipicu oleh epitop aksonal karena perubahan patologis serupa yang
mempengaruhi serat motorik dan sensorik telah diamati pada kasus AMSAN.
Selain C. jejuni dan gangliosides, mimikri molekuler untuk GBS juga
ditunjukkan dengan Mycoplasma pneumonia dan galaktocerebroside, dan
infeksi CMV dan moesin (Bashar Katirji et al., 2021).

Ga
mbar. Patogenesis Guillain-Barré Syndrome dan subtype klinis (Wijdicks dan
Klein, 2017).

9
Gambar. Patomekanisme pada Acute Inflammatory Demyelinating
Poluradiculoneuropathy (AIDP) (Bashar Katirji et al., 2021).

Gambar 3. Patomekanisme pada Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)


(Bashar Katirji et al., 2021).

10
1.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan GBS klasik awalnya datang dengan kelemahan dengan atau
tanpa gejala sensorik parestetik, seringkali lebih buruk di tangan dan jari.
Kelemahan yang cukup simetris pada tungkai bawah naik ke proksimal selama
berjam-jam hingga beberapa hari dan selanjutnya dapat melibatkan otot
lengan, wajah, dan orofaringeal, dan pada kasus yang parah, otot pernapasan.
Lebih jarang, kelemahan bisa turun dan dimulai pada tungkai atas atau otot
yang dipersarafi kranial. Keparahannya bervariasi dari ringan, di mana pasien
masih mampu berjalan tanpa bantuan, hingga hampir lumpuh total.
Hyporeflexia atau areflexia adalah fitur yang tidak berubah-ubah dari GBS
tetapi mungkin tidak ada pada awal perjalanan penyakit. Keterlibatan saraf
kranial terjadi pada 45%-75% kasus dalam seri yang berbeda. Paresis wajah,
biasanya bilateral, ditemukan pada setidaknya separuh pasien. Keterlibatan
otot ekstraokular dan saraf kranial bawah terlihat lebih jarang. Kadang-kadang
pasien dapat mengembangkan myokymia wajah. Pseudotumor cerebri dengan
papil edema terjadi sebagai komplikasi yang jarang terjadi dan hampir selalu
disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang kronis.
Proporsi pasien yang mengalami gagal napas dan membutuhkan bantuan
ventilasi tampaknya meningkat seiring bertambahnya usia dan berkisar antara
9% hingga 30% dalam seri berbasis rumah sakit. Kehilangan sensorik
bukanlah fitur yang menonjol dan sering terbatas pada gangguan indera
getaran distal. Nyeri sedang hingga berat pada ekstremitas, area interskapular,
atau punggung terjadi pada sekitar 70% pasien selama fase akut penyakit, dan
ini dapat bertahan selama satu tahun pada sepertiga dari mereka yang terkena
dampak. Nyeri diestetik, digambarkan sebagai rasa terbakar atau kesemutan
pada anggota badan, atau kekakuan sendi lebih jarang terjadi.
Disfungsi otonom dari berbagai derajat telah dilaporkan pada 65% pasien
yang dirawat di rumah sakit. Sebagian besar disfungsi otonom yang signifikan
secara klinis terjadi dalam 2-4 minggu pertama penyakit, periode puncak
kelumpuhan. Manifestasinya yang bervariasi dan kompleks mungkin terkait
dengan peningkatan atau penurunan aktivitas simpatis-parasimpatis, yang
mengakibatkan hipotensi ortostatik, retensi urin, atonia gastrointestinal,

11
iridoplegia, hipertensi episodik atau berkelanjutan, takikardia sinus,
takiaritmia, anhidrosis atau diaforesis episodik, dan vasokonstriksi akral.
Aktivitas vagal yang berlebihan menyebabkan episode bradikardia, blok
jantung, dan asistol yang tiba-tiba. "Mantra vagal" ini dapat terjadi secara
spontan atau mungkin dipicu oleh penyedotan trakea atau rangsangan serupa.
Aritmia jantung serius dengan ketidakstabilan hemodinamik cenderung
lebih sering terjadi pada pasien dengan quadriparesis berat dan gagal napas.
Disfungsi otonom dapat menyebabkan perubahan elektrokardiografi (EKG),
termasuk kelainan gelombang T, depresi segmen ST, pelebaran QRS,
perpanjangan QT, dan berbagai bentuk blok jantung. Penting untuk dicatat
bahwa beberapa komplikasi medis umum, termasuk emboli paru, hipoksia,
dan pneumonia, menyebabkan gejala serupa (misalnya, takikardia) dan harus
disingkirkan sebelum dikaitkan dengan disfungsi otonom (Bashar Katirji et
al., 2021).

Gambar. Manifestasi klinis GBS (Malek, Elia, and Johnny Salameh, 2019)

1.7 Diagnosa
Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
dibantu dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pemeriksaan fisik yang
dapat dilakukan pemeriksaan neurologis meliputi sensibilitas, reflekfisiologis,
reflekspatologis dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF
(cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya kenaikan
protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat menunjukkan hasil normal pada 48
jam pertama onset GBS. Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu kedua
sampai mencapai puncak dalam 4 -6 minggu (Wahyu, 2018).

12
Pungsi lumbar harus dilakukan pada pasien yang dicurigai GBS.
Konsentrasi protein Cerebrospinal fluid (CSF) biasanya normal pada minggu
pertama, tetapi meningkat >90% pada pasien GBS pada akhir minggu kedua
setelah muncul gejala. Penemuan Cairan serebrospinal (CSS) bersifat khas,
terdiri dari peningkatan kadar protein CSS [1 sampai 10 g/L (100 sampai 1000
mg/dL) tanpa disertai pleositosis. Gambaran CSS dapat normal jika gejala
terjadi kurang dari 48 jam; pada akhir minggu pertama kadar protein biasanya
meningkat. Peningkatan sementara pada sel CSS (10 sampai 100/μL) bisa
dijumpai pada beberapa kasus; namun pleositosis CSS yang menetap
menunjukkan kemungkinan diagnosis yang lain seperti myelitis viral.
Peningkatan pleositosis menandakan adanya kemungkinan penyakit lain
seperti infeksi leptomeningeal, Lyme disease, infeksi virus West Nile, SGB
berhubungan dengan HIV, atau poliomyelitis (Jameson et al., 2018).

1.8 Pemeriksaan Penunjang


1.8.1 Pengujian Laboratorium
Umumnya semua pasien dengan dugaan GBS akan memiliki
jumlah darah lengkap dan tes darah untuk glukosa, elektrolit, fungsi
ginjal dan enzim hati. Hasil tes ini dapat digunakan untuk
mengecualikan penyebab lain dari kelumpuhan lembek akut, seperti
infeksi atau disfungsi metabolik atau elektrolit. Pengujian untuk
infeksi sebelumnya tidak sering dipakai untuk mendiagnosis GBS,
tetapi dapat memberikan informasi epidemiologi penting selama
wabah penyakit menular, seperti yang terlihat pada wabah virus Zika
dan infeksi C. jejuni sebelumnya. Nilai diagnostik untuk mengukur
kadar serum antibodi antigangliosida terbatas dan bergantung pada
pengujian. Hasil tes yang positif dapat membantu, terutama bila
diagnosis diragukan, tetapi hasil tes negatif tidak mengesampingkan
GBS. Antibodi anti-GQ1b ditemukan hingga 90% pasien dengan
MFS dan oleh karena itu nilainya lebih besar sebagai diagnosis pada
pasien dengan dugaan MFS daripada di pasien dengan GBS klasik
atau varian lainnya. Saat GBS dicurigai, disarankan untuk tidak

13
menunggu hasil tes antibodi sebelum memulai perawatan (Leonhard
et al., 2019).

1.8.2 Pemeriksaan Cairan Serebrospinal


Pemeriksaan CSF terutama digunakan untuk menyingkirkan
penyebab kelemahan selain GBS dan harus dilakukan selama evaluasi
awal pasien. Temuan klasik pada GBS adalah kombinasi dari
peningkatan CSF dengan tingkat protein dan jumlah sel CSF normal
(dikenal sebagai disosiasi albumino-sitologis). Namun, kadar protein
normal pada 30-50% pasien di minggu pertama setelah onset penyakit
dan 10-30% pasien di minggu kedua. Oleh karena itu, kadar protein
CSF normal tidak mengesampingkan diagnosis GBS. Hal lain yang
penting adalah diitandainya pleositosis (>50 sel/μl) menunjukkan
patologi lain, seperti keganasan leptomeningeal atau menular atau
penyakit radang pada sumsum tulang belakang atau akar saraf.
Pleositosis ringan (10–50 sel/μl), meskipun kompatibel dengan GBS,
harus tetap meminta dokter untuk mempertimbangkan diagnosis
alternatif, seperti penyebab infeksi polyradiculitis (Leonhard et al.,
2019).

1.8.3 Elektrodiagnostik
Studi elektrodiagnostik tidak diperlukan untuk mendiagnosis GBS.
Namun, direkomendasikan untuk mendukung diagnosis, terutama
pada pasien dengan presentasi atipikal. Secara umum,
elektrofisiologis pemeriksaan pada pasien dengan GBS akan
menunjukkan poliradikuloneuropati sensorimotor atau polineuropati,
ditunjukkan oleh kecepatan konduksi yang berkurang, amplitudo yang
ditimbulkan sensorik dan motorik yang berkurang, temporal yang
abnormal dispersi dan/atau blok konduksi motorik parsial. Khas untuk
GBS adalah 'sural sparing pattern' di mana potensial aksi saraf
sensorik sural adalah normal namun potensi aksi saraf sensorik
median sementara dan ulnaris abnormal atau bahkan tidak ada.

14
Namun, pengukuran elektrofisiologi mungkin normal bila dilakukan
di awal perjalanan penyakit (dalam 1 minggu setelah gejala onset)
atau pada pasien dengan kelemahan awalnya proksimal, penyakit
ringan, perkembangan lambat atau varian klinis. Pada pasien ini,
ulangi studi elektrodiagnostik 2–3 minggu kemudian dapat
membantu. Pada pasien dengan MFS, hasil studi elektrodiagnostik
biasanya normal atau menunjukkan hanya berkurangnya amplitudo
potensial aksi saraf sensorik. Studi elektrodiagnostik juga dapat
membedakan antara tiga subtipe elektrofisiologi GBS klasik: AIDP,
AMAN, dan AMSAN. Beberapa set kriteria elektrodiagnostik ada
yang bertujuan untuk mengklasifikasikan pasien ke subtipe
elektrofisiologi yang berbeda ini berdasarkan adanya karakteristik
elektrodiagnostik spesifik di setidaknya dua saraf motorik (Leonhard
et al., 2019).

1.8.4 Pencitraan
MRI bukan bagian dari evaluasi diagnostik rutin GBS, tetapi dapat
membantu, terutama untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi batang otak, stroke, peradangan sumsum tulang belakang atau
sel tanduk anterior, akar saraf kompresi atau keganasan
leptomeningeal . Temuan adanya peningkatan root nerve pada
gadoliniumenhanced MRI adalah fitur nonspesifik tetapi sensitif dari
GBSdan dapat mendukung diagnosis GBS, khususnya pada anak
kecil, ketika adanya kesulitan dalam penilaian klinis dan
elektrofisiologi. Alat diagnostik potensial baru di GBS adalah USG
pencitraan saraf tepi, dengan temuan akar saraf serviks yang
membesar di awal perjalanan penyakit, menunjukkan pentingnya
peradangan akar tulang belakang sebagai mekanisme patologis awal.
Oleh karena itu, hal ini membantu menegakkan diagnosis GBS sejak
dini perjalanan penyakit, meskipun validasi lebih lanjut diperlukan
(Leonhard et al., 2019).

15
16
1.8.5 Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dari pasien GBS ditemukan infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal.
Kemudian memasuki fase lanjut, tampak infiltrasi sel-sel radang dan
demielinasi ini akan muncul bersama dengan demielinasi segmental.
Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga
ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf cranial
(Berciano, 2019).

1.9 Diagnosa Banding


Diagnosis banding sindrom Guillain-Barré luas dan sangat bergantung
pada gambaran klinis masing-masing pasien. Berikut diagnosis banding GBS
berdasarkan lokasi sitem saraf.

 CNS
o Inflamasi atau infeksi batang otak (Sarcoidosis, Sjögren syndrome,
neuromyelitis optica atay myelin oligodendrocyte glycoprotein
antibody-associated disorder)
o Inflamasi atau infeksi korda spinalis (Sarcoidosis, Sjögren
syndrome or acute transverse myelitis)
o Keganasan (Leptomeningeal metastases atau neurolymphomatosis)
o Kompresi batang otak atau korda spinalis
o Stroke batang otak
o Kekurangan vitamin (Wernicke encephalopathya, karena
kekurangan vitamin B1, atau subacute combined degeneration of
the spinal cord, karena kekurangan vitamin B12).
o
 Anterior horn cells
Acute flaccid myelitis (Ppolio, enterovirus D68 or A71, West Nile virus,
Japanese encephalitis virus or rabies virus)

17
 Nerve roots
o Infeksi (Lyme disease, cytomegalovirus, HIV, Epstein– Barr virus
or varicella zoster virus)
o Kompresi
o Keganasan leptomeningeal

 Peripheral nerves
o Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(CIDP)
o Metabolk atau gangguan elektrolit (Hipoglikemia, Hipotiroid,
Porfiria or copper deficiency)
o Kekuranagan Vitamin (Penyakit Beriberi)
o Racun dan obat-obatan (narkoba, alkohol, vitamin B6, thallium,
arsenic, organophosphate, ethylene glycol, diethylene glycol,
methanol or N-hexane)
o Critical illness polyneuropathy
o Neuralgic amyotrophy
o Vasculitis
o Infeksi (Difteri, HIV)

 Neuromuscular junction
o Myasthenia gravis
o Lambert–Eaton myasthenic syndrome
o Neurotoxins (Botulism, tetanus, tick paralysis or snakebite
envenomation)
o Organophosphate intoxication

 Muscles
o Gangguan metabolik atau elektrolit (Hipokalemia, thyrotoxic
hypokalaemic periodic paralysis, hipomagnesemia atau
hypophosphataemia)

18
o Inflammatory myositis
o Acute rhabdomyolysis
o Drug-induced toxic myopathy (Diakibatkan oleh kolkisin,
chloroquine, emetine or statins)
o Mitochondrial disease

 Other
Conversion or functional disorder
Diagnosis banding dengan Bickerstaff brainstem encephalitis (Leonhard et
al., 2019).
1.10 Manajemen

Guillain Bare Syndrome pada masa akut, biasanya dalam 2 minggu


pertama onset penyakit, pasien berisiko mengalami komplikasi dan
kerusakan saraf yang luas. Pasien berpotensi mengalami kegagalan
pernapasan dan gangguan otonom, sehingga disarankan untuk pemantauan
ketat perkembangan penyakit. Imunoterapi harus dimulai segera setelah
pasien menunjukkan kecacatan. Saat ini, imunoglobulin intravena dan
pertukaran plasma telah terbukti sama efektifnya dengan meningkatkan
hasil penyakit dengan mempercepat pemulihan, tetapi tidak menghentikan
perkembangan penyakit atau mengubah jangkauan saraf yang mengalami
kerusakan. Kedua perawatan dikaitkan dengan beberapa efek samping.
Keadaan yang jarang adalah disfungsi hati dan kejadian tromboemboli
dapat terjadi dengan terapi imunoglobulin intravena, sedangkan pertukaran
plasma harus dihindari pada pasien dengan ketidakstabilan otonom karena
pergeseran cairan yang besar menyebabkan keadaan hipotensi. Steroid
tidak efektifbila digunakan sendiri tetapi bisa bermanfaat dalam kombinasi
dengan imunoglobulin intravena. Pada pasien dengan disfungsi otonom
dan pada anak-anak, imunoglobulin intravena lebih disukai. Dosis 2 g/kg
yang diberikan selama 5 hari telah menunjukkan kemanjuran dalam
mempercepat pemulihan. Pemberian 2 hari atau lebih pendek terlihat
efektif pada anak-anak, tetapi dapat terjadiketidakstabilan terkait
pengobatan yang lebih sering. Untuk pertukaran plasma, empat sesi (50

19
mL/kg plasma per sesi) telah terbukti efektif, tetapi dalam sebagian besar
praktik klinis, dilakukan lima sesi.Selama fase progresif, pasien berisiko
mengalami komplikasi tidak langsung termasuk aspirasi, pneumonia, dan
trombosis vena dalam. Komplikasi ini dapat dicegah dengan tindakan
suportif, seperti pemberian selang enteral, fisioterapi pernapasan, dan
profilaksis trombosis vena dalam. Fisioterapi harus dimulai sedini
mungkin.Gejala nyeri, kelelahan, dan suasana hati yang rendah
membutuhkan penanganan yang tepat. Pemantauan ketat harus dilanjutkan
karena mortalitas sindrom Guillain-Barré paling tinggi selama fase
pemulihan (Shahrizaila et al., 2021).

1.11 Komplikasi

Kelemahan awalnya mungkin ringan dan tidak melumpuhkan,


gejala dapat berkembang dengan cepat hanya dalam beberapa hari.
Progresi yang berlanjut dapat mengakibatkan kedaruratan neuromuskular
dengan paralisis berat, insufisiensi pernapasan, dan/atau disfungsi
otonom dengan komplikasi kardiovaskular. Deep Vein Thrombosis
(DVT) juga dapat terjadi pada pasien yang melakukan tirah baring
dengan jangka waktu yang panjang. Risiko sepsis dan infeksi juga dapat
terjadi. Pasien rawat inap dengan GBS mungkin mengalami perubahan
status mental, termasuk halusinasi, delusi, vivid dreams, dan kelainan
tidur. Kejadian ini dianggap terkait dengan disfungsi otonom dan lebih
sering pada pasien dengan gejala parah. Masalah seperti itu akan teratasi
saat pasien pulih. Masalah kejiwaan dan psikologis seperti depresi dan
kecemasan mungkin terjadi. Pendidikan, konseling, dan obat-obatan
diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan membantu pasien
menyesuaikan dan meningkatkan dari kecacatannya yang parah. (Andary
et al., 2022; Wang et al., 2016).

Komplikasi jangka pendek

1. Disfungsi autonomic

20
Sistem saraf otonom berperan utama dalam regulasi aktifitas organ
visceral, otot polos dan kelenjar. Gangguan saraf otonom merupakan
komplikasi yang sering diamati pada 2/3 pasien GBS.

a.Komplikasi kardiovaaskular
Abnormalitas kardiovaskular tampak pada 2/3 pasien GBS
Komplikasi dikaitkan dengan terapi dipengaruhi oleh keterlibatan
system saraf autonomic. Kelainan ini umumnya bersifat transient,
reversible dan tidak fatal tanpa membutuhkan terapi. Abnormalitas
ritme yang terdiri dari takikardia dan bradiaritmia adalah gangguan
kardiovaskular yang paling umum di antara pasien GBS. Peningkatan
denyut jantung rata-rata hingga >125 kali/menit karena hiperaktivitas
simpatik tercatat pada sekitar 25% subjek. Perawatan sementara
dengan β blocker atau obat antihipertensi lain yang membantu
membalikkan takikardia direkomendasikan pada kasus yang
mengancam jiwa. Bradiaritmia muncul pada lebih dari 50% pasien
GBS dan diberikan atropine pada 7-34% pasien. jalur refleks
baroreseptor serta perubahan kadar katekolamin bertanggung jawab
atas variabilitas tekanan darah pada pasien GBS, termasuk penurunan,
peningkatan, dan fluktuasi tekanan darah. Hipotensi ditemukan pada
lebih dari 75% pasien, tetapi hanya sedikit yang menunjukkan gejala
ortostatik Terapi vasopresor dosis rendah diperlukan pada pasien GBS
dengan hipotensi sedangkan terapi antihipertensi pada hipertensi.
Selain itu, fenomena Raynaud - Triad pucat, sianosis, dan kemerahan,
di daerah distal ekstremitas, didefinisikan sebagai gejala GBS yang
langka. Salah satu mekanisme yang mungkin dari fenomena Raynaud
adalah vasospasme yang dipicu oleh aktivitas simpatik yang
berlebihan. Selain itu, keterlibatan miokard mulai dari miokarditis
hingga miokardium tertegun neurogenik, gagal jantung, sindrom
koroner akut, dan perubahan elektrokardiografi juga didokumentasikan
pada pasien GBS.

21
b. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone hypersecretion
(SIADH)
Gangguan hidroelektrolitik tampak pada pasien GBS.
Hiponatremia adalah yang paling umum dan penyebab paling umum
adalah SIADH. Beberapa kasus menunjukkan bahwa SIADH dapat
terjadi pada beberapa tahap perjalanan klinis GBS dan biasanya
disertai dengan hipertensi serta disautonomia. Khususnya, SIADH
yang muncul lebih awal dapat menyebabkan keterlambatan dalam
diagnosis GBS dan pasien GBS dapat mengalami perubahan status
mental atau ensefalopati sekunder akibat disautonomia.

Saifudheen et al pertama kali mengeksplorasi hubungan antara


GBS dan SIADH secara prospektif. Studi sistematis mereka
mengungkapkan bahwa SIADH yang melibatkan sekitar 48% pasien
GBS dikaitkan dengan tingkat keparahan GBS dan merupakan
Indikator prognosis buruk.

Penyebab SIADH terkait GBS tidak diketahui; namun, kelainan


serat aferen otonom perifer yang timbul dari reseptor peregangan
vaskular, mekanisme independen vasopresin, peningkatan sensitivitas
tubulus ginjal yang nyata terhadap vasopresi atau sekresi peptida
natriuretik otak yang abnormal dapat disalahkan. Pembatasan cairan
dan saline hipertonik adalah manajemen umum untuk pasien GBS
dengan SIADH. Selain itu, jenis dyselectrolytemia lain juga diamati
pada pasien GBS, termasuk hipokalemia dan hipomagnesemia.
Menurut penyelidikan kami, gangguan metabolisme elektrolit
termasuk hiponatremia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan
hipokalsemia, terjadi pada 3,7% pasien GBS.
c. Disfungsi otonom yang berkaitan dengan encephalopathy
d. Komplikasi respiratori otot pernafasan terlibat dalam keparahan
kasus GBS, sekitar 25% pasien mengalami dispneu pada fase akut

22
dan membutuhkan ventilasi mekanik. Selain itu terdapat fasial
Bulbar weakness.
e. Post infeksi setelah gangguan respon imun terjadi pada kasus GBS

1.12 Preventif

Salah satu jalan untuk mencegah SGB adalah dengan


mempertinggi daya tahan tubuh saat tidak sakit dengan cara
mengonsumsi protein hewani dari daging dan ikan, nabati dari tempe dan
tahu disertai sayur dan buah, sehingga diharapkan kita jarang sakit
influenza, karena daya tahan tubuh tinggi. Selain itu perlu juga menjaga
kebersihan tubuh dengan mandi dan cuci tangan bila mau makan untuk
menghindari infeksi kuman, virus atau bakteri yang menyebabkan diare
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).

1.13 Prognosis
Prognosis penyakit ini tergantung dari jenis dan keparahannya.
Penderita akan sulit tertolong bila mengalami komplikasi pernapasan
yang progresif. Selain itu prognosis buruk juga terjadi pada penderita
yang mengalami aritmia akibat disfungsi saraf otonom. Penderita yang
mampu bertahan biasanya memiliki gejala sisa berupa nyeri atau
kelemahan. Sekitar 20% penderita GBS tidak dapat berjalan tanpa
bantuan selama 6 bulan setelah onset. Perbaikan klinis biasanya terjadi di
tahun pertama, baru pada tahun ketiga atau tahun – tahun berikutnya
menjadi semakin baik. Untuk semakin meningkatkan outcome dari GBS,
tatalaksana yang efektif sangatlah dibutuhkan (Wahyu, 2018)

23
KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barré (GBS), penyebab paling sering dari


neuropati paralitik akut, adalah polineuropati inflamasi yang ditandai
dengan onset akut, perkembangan cepat, kelemahan otot simetris,
ambulasi tidak stabil, dan hipo atau arefleksia. sekitar dua pertiga kasus,
didapatkan adanya penyakit menular akut, biasanya proses flu atau
gastroenterokolitis akut. Ada empat jenis sindrom Guillain-Barré yang
muncul dalam berbagai bentuk. AIDP (Acute inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy), Acute Motor Sensory Axonal
Neuropathy (AMSAN), Miller Fisher Syndrome (MFS), AMAN (Acute
Motor Axonal Neuropathy). Salah satu jalan untuk mencegah SGB adalah
dengan mempertinggi daya tahan tubuh, menjaga kebersihan tubuh
dengan mandi dan cuci tangan untuk menghindari infeksi kuman, virus
atau bakteri yang menyebabkan diare.

24
DAFTAR PUSTAKA

Wijdicks, E.F. and Klein, C.J., 2017, March. Guillain-barre syndrome. In Mayo
clinic proceedings (Vol. 92, No. 3, pp. 467-479). Elsevier.
Esposito, S. and Longo, M.R., 2017. Guillain–barré syndrome. Autoimmunity
reviews, 16(1), pp.96-101.
Shahrizaila, N., Lehmann, H.C. and Kuwabara, S., 2021. Guillain-Barré
syndrome. The lancet, 397(10280), pp.1214-1228.
Donofrio, P. D., 2017. Guillain-Barre Syndrome. Continuum, 23(5), pp. 1295-
1309.

Lacerda, R. A. J. et al., 2019. Guillain-Barre syndrome. GSC Biological and


Pharmaceutical Sciences, 09(01), p. 098–103.

Patnaik, U. J., 2021. Review article on COVID-19 and Guillain-Barré syndrome.


Frontiers in Bioscience-Scholar, 13(1), pp. 97-104.

Jankovic, J., Mazziotta, J.C. and Pomeroy, S.L., 2021. Bradley's Neurology in


Clinical Practice E-Book. Elsevier Health Sciences.
Jameson, J.L., Fauci, A.S., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L. dan Loscalzo,
O., 2018. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 20e. 20 ed. United States:
McGraw-Hill Education.

Malek, Elia, and Johnny Salameh. “Guillain-Barre Syndrome.” Seminars in


neurology vol. 39,5 (2019): 589-595. doi:10.1055/s-0039-1693005
Shahrizaila, Nortina et al. “Guillain-Barré syndrome.” Lancet (London, England)
vol. 397,10280 (2021): 1214-1228. doi:10.1016/S0140-6736(21)00517-1
Wahyu, F.F., 2018. Guillain-Barré Syndrome : Penyakit Langka Beronset Akut
yang Mengancam Nyawa. Medula, 8(1), hal.112–116.

Wijdicks, Eelco F M, and Christopher J Klein. “Guillain-Barré Syndrome.” Mayo


Clinic proceedings vol. 92,3 (2017): 467-479. doi:10.1016/j.mayocp.2016.12.002
Berciano, J. (2019) ‘Special Issue Article “ Guillain-Barré Syndrome ” Review
Article Pathology of Early Guillain-Barré Syndrome’, 2(2), pp. 1–13.

Leonhard, S. E. et al. (2019) ‘Diagnosis and management of Guillain–Barré


syndrome in ten steps’, Nature Reviews Neurology. Springer US, 15(11), pp. 671–
683. doi: 10.1038/s41582-019-0250-9.

25
Shahrizaila, N., Lehmann, H. C. and Kuwabara, S. (2021) ‘Guillain-Barré
syndrome’, The Lancet, 397(10280), pp. 1214–1228. doi: 10.1016/S0140-
6736(21)00517-1.

26

Anda mungkin juga menyukai