Anda di halaman 1dari 22

Makalah Keperawatan Jiwa

Judul:

“ Terapi Somatik dan Terapi Psikofsrmaka “

Disusun Oleh:

Kelompok 5 :

1. Ahmad Mulyadi (221030122552)


2. Denni Septiawan (221030122558)
3. Devi Marita Sihotang (221030122715)
4. Dyah Wulan Julianti (221030122051)
5. Rika Ermawati (221030121953)
6. Vida Wahyuni (221030122298)

Dosen Mata Kuliah : Ns. Dhia Diana Fitriani, M. Kep

STIKES WIDYA DHARMA HUSADA


TANGERANG
2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Jiwa Pada Pasien dengan Resiko Bunuh Diri” ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Keperawatan Jiwa. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Resiko
Bunuh Diri bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Ns. Dhia Diana Fitriani, M. Kep,
selaku dosen Keperawatan jiwa yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Pamulang, 25 November
2022

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar..............................................................................................................ii
Daftar Pustaka .............................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar belakang...................................................................................................1
B. Tujuan ...............................................................................................................1
C. Rumusan Masalah .............................................................................................1
BAB II Tinjauan Teori
A. Terapi Somatik
1. Pengertian Terapi Somatik ...............................................................2
2. Tujuan Terapi Somatik .........................................................3
3. Jenis-jenis Terapi Somatik...................................................................3

B. Terapi Psikofarmaka
1. Pengertian Terapi Psikofarmaka .......................................................................9
2. Konsep Terapi Psikofarmaka...........................................................................15
3. Jenis-jenis Terapi Psikofarmaka .................................................................15
4. Peran Perawat Dalam Pemberian obat.....................................................16

BAB III Penutup


A. Kesimpulan.....................................................................................................31
Daftar Pustaka.............................................................................................................32

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Skizofrenia dapat merupakan penyakit yang ditentukan secara genetik, tetapi juga
terdapat bukti yang menunjukkan kejadian intra uteri dan komplikasi obstetrik.
Obat neuroleptik banyak mengendalikan banyak gejala skizofrenia. Obat tersebut
mempunyai sebagian besar efek pada gejala positif seperti halusinasi dan waham.
Gejala negatif seperti menarik diri dari lingkungan sosial dan apatis emosional
kurang dipengaruhi oleh obat neuroleptik. (Profitasari, 2010)

Obat neuroleptik membtuhkan waktu beberapa minggu untuk mengendalikan


gejala skizofren dan sebagian pasien akan membutuhkan pengobatan selama
bertahun-tahun. Relaps sering terjadi bahkan pada pasien yang dipertahankan
dengan obat dan lebih dari dua pertiganya mengalami relaps dalam satu tahun bila
menghentikan terapi. Sayangnya, neuroleptik juga memblok reseptor dopamin
pada gnaglia basalis dan sering juga menyebabkan gangguan pergerakan (efek
ekstra piramidal) yang menyebabkan stres dan kecacatan. (Mansjoer, 2000)

B. Tujuan Penulisan
Agar mampu memahami materi keperawatan jiwa terkait “terpai Somatik dan
Terapi Psikofarmaka”.

C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Terapi Somatik?
2. Apa saja jenis-jenis Terapi Somatik?
3. Apa yang dimaksud dengan Psikofarmaka?
4. Bagaimana prinsip dasar pelaksanaan Terapi Somatik
5. Bagaimana peran perawat?

1
BAB II
PEMBAHASA
N
A. Terapi Somatik
1. Pengertian Terapi Somatik

Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model


medical di mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda
dengan model konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa
murni adalah gangguan pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan
adanya kelaianan patofisiologis. Tekanan model medical adalah
pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma
spesifik. Perilaku abnormal dipercaya akibat adanya perubahan
biokimiawi tertentu. Terapi ini memfokuskan penyembuhan klien
dengan bantuan obat-obatan yang berfungsi sebagai anti depresi.

2. Tujuan

Terapi biologi atau somatic diberikan dengan tujuan mengubah perilaku


mal adaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan melakukan tindakan
dalam bentuk perlakuan fisik.

3. Jenis-Jenis Terapi Somatik Pada Klien Gangguan Jiwa


a. Pengikatan
Merupakan tindakan yang paling lama dalam sejarah perawatan jiwa.
Pengikatan dilakukan dengan rantai, diikat di pohon atau dipasung.
Tujuan pengikatan adalah mengamankan lingkungan dari perilaku
pasien yang tidak terkontrol. Saat ini tindakan yang sama masih tetap
dilakukan, hanya peralatannya sudah lebih aman dan perlakuan juga
manusiawi. Alat pengikat berupa kamisol, jaket, ikatan pada
pergelangan kaki atau tangan dan berupa selimut yang dililitkan.

Pada saat akan diikat, perawat mengatakan alasan pengikatan

2
walaupun pasien belum tentu dalam keadaan siap mendengar.
Perhatikan ikatan agar tidak melukai pasien dan harus dibuka secara
periodik agar tidak terjadi kontraktur dan dapat digerakan.

Setelah pasien sadar, alasan pengikatan disampaikan lagi, kemudian


didiskusikan penyebab pasien marah agar bisa diatasi. Pengikatan
janganlah menjadi senjata untuk menakuti pasien atau menjadi
hukuman bagi pasien. Perlakuan terhadap pasien harus manusiawi
karena pasien dilindungi oleh hukum dan peraturan tentang hak-hak
asasi manusia.

1) Alasan pengikatan adalah :


a) Menghindari risiko menciderai diri sendiri atau orang lain.
b) Pengobatan yang untuk menurunkan perilaku agresif sudah
tidak mempan lagi
c) Mencegah jatuh pada pasien yang sedang bingung
d) Agar pasien bisa istirahat
e) Pasien minta sendiri agar perilakunya bisa terkontrol.

2) Indikasi pengikatan yaitu:


a) Perilaku amuk
b) Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan
pengobatan
c) Ancaman terhadap infegritas fisik
d) Permintaan pasien untuk pengendalian perilaku eksternal

3) Peran perawat:
a) Hargai Hak azazi klien, dengan cara:
- Identifikasi kejadian pencetus, harus memenuihi kriteria
terapi
- Observasi yang mengalami agitasi
- Buat rencana tindakan sesuai standar dan dokumentasi

3
b) Lindungi klien dari cidera fisik
- Staf harus cukup, minimal 4 orang.
- Gunakan pendekatan yang tepat.

c) Sediakan lingkungan yang aman, bebas dari benda


berbahaya, bersih dan bebas serangga.
d) Jaga integritas biologis.
- Cek TTV
- Jaga kebersihan kulit
- Siapkan alat untuk BAB dan BAK
- Atur suhu ruangan nyaman.
- Beri posisi anatomis
- Periksa daerah pengikatan
- Ganti posisi tiap 2 jam

e) Jaga harga diri klien.


- Pertahankan privasi klien.
- Beri penjelasan pada klien lain jika ditanyakan bahwa
pengikatan untuk mengendalikan perilaku
- Pertahankan komunikasi verbal
- Konsisten staf yang menangani klien (sejenis)
- Lepas ikatan segera jika klien dapat mengendalikan
perilaku.

f) Melepaskan ikatan.
- Pastikan klien sudah dapat mengenalikan perilaku
- Pastikan jumlah perawat cukup
- Lepaskan dari anggota badan yang paling tidak
dominan.
- Anjurkan klien mobilisasi aktif di tempat tidur.
- Anjurkan klien bergerak bertahap.
- Observasi perilaku klien
- Dokumentasi.
4
b. Isolasi
Pasien dikurung dalam satu ruangan tersendiri dengan alasan yang
sama dengan pengikatan. Pastikan ruangan aman dan tidak
memungkinkan pasien menyakiti dirinya sendiri. Isolasi
adalah menempatkan pasien dalam suatu ruang di mana dia tidak
dapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehendaknya. Tingkatan
pengisolasian dapat berkisar dari penempatan dalam ruangan yang
tertutup, tapi tidak terkunci sampai pada penempatan dalam ruangan
terkunci dengan kasur tanpa seprei di lantai, kesempatan
berkomunikasi yang dibatasi, dan pasien memakai pakaian rumah
sakit atau kain terpal yang berat. Penggunaan kain terpal kurang
dapat diterima dan hanya digunakan untuk melindungi pasien atau
orang lain.

1) Indikasi penggunaan:
a) Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan
pasien atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh
orang lain dengan intervensi pengekangan yang longgar,
seperti kontak interpersonal atau pengobatan
b) Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh
pasien.

2) Kontraindikasi adalah:
a) Kebutuhan untuk pengamatan masalah medik
b) Risiko tinggi untuk bunuh diri
c) Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori
d) Hukuman.

3) Peran perawat dalam ruang isolasi:


- Bantu kebutuhan dasar
- Observasi sesering mungkin.
- Pertahankan komunikasi verbal
- Catat dan dokumentasi hasil observasi
5
- Beri umpan balik tentang perilakunya sehingga klien
sadar alasan dan tujuan isolasi.
- Tetap berikan terapi lain untuk menenangkan.
- Segera keluarkan dari ruangan isolasi jika perilaku
sudah terkendali.

c. Terapi Kejang Listrik


Mula-mula pengobatan ini dilakukan pada pasien yang mengalami
epilepsi tetapi akhirnya dipakai pada pasien dengan kondisi lain.
Terapi ini dilakukan dengan memberikan kejutan listrik di kepala
melalui elektroda yang ditusukkan di kulit kepala. Kejutan listrik
bisa memberikan dampak pada neurokimia, neuroendrokrin, dan
neuropsikologis seperti dampak obat-obatan antidepresan dalam
waktu yang lama. ECT menghasilkan perubahan pada reseptor
neurotransmitter seperti asetilkolin, nor epinefrin, dopamin dan
serotonin sama seperti obat antidepresan.
1) ECT bisa dilakukan pada :
a) Pasien yang kekurangan gizi karena dikhawatirkan akan ada
komplikasi medis
b) Pasien dengan penyakit jantung yang tidak bisa
mentoleransi obat-obat anti depresan
c) Pasien psikotik yang depresi dan tidak mempan lagi dengan
obat.
d) Pasien yang pada fase depresi tidak mempan lagi dengan
obat
e) Pasien dengan katatonia, karena depresi, atau lesi pada otak.

Risiko yang mungkin terjadi sudah sangat diminimalkan dengan


peralatan yang baik, seperti :
a) Risiko patah tulang bisa dihindari dengan pemakaian
obat relaksan otot dan anestesi.
b) Risiko apneu bisa dihindari dengan pemakaian bantuan
oksigen dan staf yang sudah terlatih untuk mengatasinya.

6
c) Dampak pada kardiovaskuler adalah akut miokard, aritmia,
henti jantung, gagal jantung atau hipertensi.

Walaupun sebagai terapi ECT cukup aman, akan tetapi ada beberapa
kondisi merupakan kontra indikasi diberikan terapi ECT.
Kondisi kondisi klien yang kontra indikasi tersebut adalah:
a) Tumor intra kranial, karena ECT dapat meningkatkan tekanan
intra kranial.
b) Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.

c) Osteoporosis, karena dengan timbulnya grandmall dapat


berakibat terjadinya fraktur tulang.
d) Infark miokardium, dapat terjadi henti jantung.

e) Asthma bronkial, karena ECT dapat memperberat penyakit ini.

2) Indikasi penggunaan adalah:


a) Penyakit depresi berat yang tidak berespons terhadap obat
antidepresan atau pada pasien yang tidak dapat
menggunakan obat
b) Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak berespons lagi
terhadap obat
c) Pasien dengan butuh diri akut yang sudah lama tidak
menerima pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik
d) Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah
dari pada efek terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia
dengan blok jantung, dan selama kehamilan

3) Peran Perawat dalam pemberian ECT


Perawat harus mengkaji pengetahuan dan pendapat pasien dan
keluarganya tentang ECT, memberikan penjelasan dan dukungan
agar mereka tidak cemas. Langkah-langkah yang harus diberikan
adalah :
a) Memberikan dukungan emosi dan penjelasan kepada pasien

7
dan keluarganya.
b) Mengkaji kondisi fisik pasien
c) Menyiapkan pasien
d) Mengamati respon pasien setelah ECT
e) Pastikan pasien atau keluarganya sudah memberikan inform
consent.

d. Fototerapi
Foto terapi atau terapi sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-20x lebih
terang dari pada sinar ruangan. Klien biasanya duduk, mata terbuka,
1,5 meter di depan klien diletakkan lampu setinggi mata.

Waktu dilaksanakan foto terapi bervariasi dari orang per orang.


Beberapa klien berespon kalau terapi diberikan pada pagi hari,
sementara yang lain lebih berespon kalau diberikan pada sore hari.
Efek terapi ditentukan selain oleh lamanya terapi juga ditentukan
oleh kekuatan cahaya yang digunakan. Dengan kekuatan cahaya
sebesar 2500 lux yang diberikan selama 2 jam sehari efeknya sama
dalam menurunkan depresi dengan terapi dengan kekuatan cahaya
sebesar 10.000 lux dalam waktu 30 menit sehari.

Terapi sinar sangat bermanfaat dan menimbulkan efek yang


positif. Kebanyakan klien membaik setelah 3-5 hari terapi kan tetapi
bisa kambuh kembali segera setelah terapi dihentikan. Keuntungan
yang lain klien tidak akan mengalami toleransi terhadap terapi ini.
1) Indikasi penggunaan fototerapi:
Fototerapi dapat menurunkan 75% gejala depresi yg dialami
klien akibat perubahan cuaca (seasonal affective disorder(SAD)),
misalnya pada musim hujan atau musim dingin(winter) di mana
terjadi hujan, mendung terus menerus yang bisa mencetuskan
depresi pada beberapa orang.

8
2) Mekanisme Kerja :

Fototerapi bekerja berdasarkan ritme biologis sesuai pengaruh


cahaya gelap terang pada kondisi biologis. Dengan adanya
cahaya terang terpapar pada mata akan merangsang sistem
neurotransmiter serotonin & dopamin yang berperanan pada
depresi.

3) Efek Samping :

Kebanyakan efek samping yang terjadi meliputi ketegangan pada


mata, sakit kepala, cepat terangsang, insomnia, kelelahan, mual,
mata menjadi kering, keluar sekresi dari hidung dan sinus.

e. Terapi deprivasi tidur

Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien


dengan cara mengurangi jumlah jam tidur klien. Hasil penelitian
ditemukan bahwa 60% klien depresi mengalami perbaikan yang
bermakna setelah jam tidurnya dikurangi selama 1 malam.
Umumnya lama penurangan jam tidur efektif sebanyak 3,5 jam.

1) Indikasi :

Terapi deprivasi tidur dianjurkan untuk klien depresi.

2) Mekanisme Kerja:

Mekanisme kerja terapi deprivasi tidur ini adalah mengubah


neuroendokrin yang berdampak anti depresan. Dampaknya
adalah menurunnya gejala-gejala depresi.

3) Efek Samping :

Klien yang didiagnosa mengalami gangguan efektif tipe bipolar bila


diberikan terapi ini dpt mengalami gejala mania.

B. Terapi Psikofarmaka

1. Pengertian

9
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama
terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan
psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien (Andri,
2009).

2. Konsep Psikofarmakologi
a. Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari manajemen
psikoterapi
b. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka
c. Yang termasuk neurotransmitter: dopamin, neuroepinefrin, serotonin
dan GABA (Gamma Amino Buteric Acid) dan lain-lain
d. Meningkat dan menurunnya kadar/konsentrasi neurotransmitter akan
menimbulkan kekacauan atau gangguan mental
e. Obat-obat psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan
neurotransmitter

3. Klasifikasi

Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:


antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-
panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat
psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan
psikomimetika (Andri, 2009).

Dari masing-masing golongan mempunyai derivat beserta sediaannya


masing-masing, antaralain sebagai berikut:
a. Anti Psikotik
1) Anti psikotik termasuk golongan mayor trasquilizer atau
psikotropik: neuroleptika.
2) Mekanisme kerja: menahan kerja reseptor dopamin dalam otak
(di ganglia dan substansia nigra) pada sistem limbik dan sistem
10
ekstrapiramidal.
3) Efek farmakologi: sebagai penenang, menurunkan aktivitas
motorik, mengurangi insomnia, sangat efektif untuk mengatasi:
delusi, halusinasi, ilusi dan gangguan proses berpikir.
4) Indikasi pemberian: Pada semua jenis psikosa, Kadang
untuk gangguan maniak dan paranoid
5) Efek Samping Antipsikotik
a) Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal side
efect/EPSE)
- Parkinsonisme
Efek samping ini muncul setelah 1 - 3 minggu pemberian
obat.

Terdapat trias gejala parkonsonisme:


 Tremor: paling jelas pada saat istirahat

 Bradikinesia: muka seperti topeng, berkurang


gerakan reiprokal pada saat berjalan
 Rigiditas: gangguan tonus otot (kaku)

b) Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau bisa juga lama

Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota


tubuh tidak terkontrol

c) Akathisia
Ditandai oleh perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan,
seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu santai, gugup,
langkah bolak-balik dan gerakan mengguncang pada saat
duduk.

d) Tardive dyskinesia
Merupakan efek samping yang timbulnya lambat, terjadi setelah

11
pengobatan jangka panjang bersifat irreversible (susah
hilang/menetap), berupa gerakan involunter yang berulang
pada lidah, wajah,mulut/rahang, anggota gerak seperti jari
dan ibu jari, dan gerakan tersebut hilang pada waktu tidur.

Efek samping pada sistem saraf perifer atau anti cholinergic side
efect . Terjadi karena penghambatan pada reseptor
asetilkolin. Yang termasuk efek samping anti kolinergik
adalah:
- Mulut kering
- Konstipasi
- Pandangan kabur: akibat midriasis pupil dan
sikloplegia (pariese otot-otot siliaris) menyebabkan
presbyopia
- Hipotensi orthostatik, akibat penghambatan reseptor
adrenergic
- Kongesti/sumbatan nasal

6) Jenis obat anti psikotik yang sering


digunakan: Chlorpromazine (thorazin)
disingkat (CPZ) Halloperidol disingkat
Haldol
Serenase

b. Anti Parkinson

1) Mekanisme kerja: meningkatkan reseptor dopamin, untuk


mengatasi gejala parkinsonisme akibat penggunaan obat
antipsikotik.

2) Efek samping: sakit kepala, mual, muntah dan hipotensi.

3) Jenis obat yang sering digunakan: levodova, tryhexifenidil


(THF).

c. Anti Depresan
12
1) Hipotesis: syndroma depresi disebabkan oleh defisiensi salah
satu/beberapa aminergic neurotransmitter (seperti:
noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP,
khususnya pada sistem limbik.

2) Mekanisme kerja obat:

a) Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik


neurotransmiter

b) Menghambat re-uptake aminergik neurotransmitter

c) Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine


Oxidase) sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergik
neurotransmitter pada neuron di SSP.

3) Efek farmakologi:
a) Mengurangi gejala depresi
b) Penenang
4) Indikasi: syndroma depresi
5) Jenis obat yang sering digunakan: trisiklik (generik), MAO
inhibitor, amitriptyline (nama dagang).
6) Efek samping: yaitu efek samping kolonergik (efek samping
terhadap sistem saraf perifer) yang meliputi mulut kering,
penglihatan kabur, konstipasi, hipotensi orthostatik.

d. Obat Anti Mania/Lithium Carbonate

1) Mekanisme kerja: menghambat pelepasan serotonin dan


mengurangi sensitivitas reseptor dopamin.

2) Hipotesis: pada mania terjadi peluapan aksi reseptor amine.

3) Efek farmakologi:

a) Mengurangi agresivitas

b) Tidak menimbulkan efek sedatif


13
c) Mengoreksi/mengontrol pola tidur, iritabel dan adanya flight
of idea
4) Indikasi:
Mania dan hipomania, lebih efektif pada kondisi ringan. Pada mania
dengan kondisi berat pemberian obat anti mania dikombinasi
dengan obat antipsikotik.
5) Efek samping: efek neurologik ringan: fatigue, lethargi, tremor
di tangan terjadi pada awal terapi dapat juga terjadi nausea,
diare.
6) Efek toksik: pada ginjal (poliuria, edema), pada SSP (tremor,
kurang koordinasi, nistagmus dan disorientasi; pada ginjal
(meningkatkan jumlah lithium, sehingga menambah keadaan
oedema.
e. Anti Ansietas (Anti Cemas)
Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara lain
psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik. Dalam
membicarakan obat antiansietas yang menjadi obat racun adalah
diazepam atau klordiazepoksid. (Mansjoer, 2000) .Ansxiolytic
agent, termasuk minor tranquilizer. Jenis obat antara lain: diazepam
(chlordiazepoxide).

f. Obat Anti Insomnia


Obat anti insomnia mempunyai beberapa sinonim antaralain
hipnotik, somnifacient, atau hipnotika hipnotik, somnifacient, atau
hipnotika dan somnifasien. Obat yang menjadi acuan adalah
fenobarbital.

g. Obat Anti Obsesif Kompulsif


Obat yang menjadi acuan adalah klompramine. Obat ini dapat
digolongkan atas : obat anti osesi kompulsi trisiklik (klompramine)
dan obat anti obsesi kompulsi SSRI (sentrali paroksin, flovokamin
dan fluoksetin).

14
h. Obat Anti Panik

Dalam membicarakan antipanik yang menjadi obat acuan adalah


imipramin. Penggolongan obat anti panik dibagi atas :
1) Obat anti panik trisiklik (contoh : imipramin, klomipramin)
2) Obat anti panik benzodiazepin ( contoh : alprazolam)
3) Obat anti panik RIMA (contoh : mokoblemid)
4) Obat antipanik SSRI (contoh : sertalin, fluoksetin, paroksetin
dan fluoksamin)

4. Peran Perawat dalam Pemberian Obat Psikofarmaka

a. Pengumpulan data sebelum pengobatan yang meliputi :

1) Diagnosa Medis

2) Riwayat Penyakit

3) Hasil Pemeriksaan Laborat ( yang berkaitan )

4) Jenis obat yang digunakan ,dosis,waktu pemberian

5) Program terapi yang lain

6) Mengkombinasi obat dengan terapi Modalitas

7) Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga tentang


pentingnya minum obat secara teratur dan penanganan efek
samping obat.
8) Monitoring efek samping penggunaan obat

b. Melaksanakan Prinsip Pengobatan Psikofarmaka :

1) Persiapan
a) Melihat order pemberian obat di lembaran obat ( di status )
b) Kaji setiap obat yang akan diberikan termasuk tujuan, cara
kerja obat, dosis efek samping dan cara pemberian.
c) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang obat
d) Kaji kondisi klien sebelum pengobatan:
- Lakukan minimal prinsip lima benar
- Laksanakan program pemberian obat
15
- . Gunakan pendekatan tertentu
- Pastikan bahwa obat telah terminum
- Bubuhkan tanda tangan pada dokumentasi pemberian
obat , sebagai aspek LEGAL !!

- Laksanakan program pengobatan berkelanjutan,


melalui program rujukan

- Menyesuaikan dengan terapi non farmakoterapi

- Turut serta dalam penelitian tentang obat psikofarmaka

Setelah seorang perawat melaksanakan terapi psikofarmaka maka


tugas terakhir yang penting harus di lakukan adalah evaluasi. Dikatakan
reaksi obat efektif jika :
a) Emotional Stabil

b) Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat

c) Halusinasi, Agresi, Delusi, Menarik diri menurun

d) Perilaku Mudah di arahkan

e) Proses Berpikir ke Arah Logika

f) Efek Samping Obat

g) Tanda – tanda Vital

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam pengobatan terhadap gangguan jiwa, dikenal terapi biologis yang


menggunakan berbagai agen farmakologis yang digunakan untuk menerapi
berbagai gangguan psikiatrik disebut dengan tiga istilah umumyang dapat
saling menggantikan: obat psikotropik, obat psikoaktif, dan obat
psikoterapuetik. Dahulu agen tersebut dibagi dalam empat kategori : Obat
antipsikotik atau neuroleptik, obat anti depresan, obat anti manik dan penstabil
mood, obat anti ansietas dan anti ansiolitik.

Pembagian obat sekarang ini mengalami perubahan menjadi Antipsikosis, anti


depresan, anti manik, anti ansietas, anti insomnia, anti obsesif kompulsif dan
anti panik. Masing-masing obat mempunyai farmako dinamik, farmako kinetik,
dosis dan cara penggunaan, indikasi dan kontra indikasi serta efek samping
yang berbeda.

17
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif dkk. Terapi Farmakologis Psikiatri dalam Kapita Selekta


Kedokteran edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta. 2000.
Andri. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita
Usia Lanjut Volume 59. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran,
Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta. 2009
Sadock, Benjamin J & Virginia A. Editor Profitasari dkk. Terapi Biologis dalam
Buku Ajar Psikiatri Klinis. EGC. Jakarta. 2010.

18

Anda mungkin juga menyukai