BELL’S PALSY
OLEH:
NURHASANAH
NIM: C014222038
SUPERVISOR:
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Syahrurrahman
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Nurhasanah
NIM : C014222038
Mengetahui,
Supervisor
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ 1
3
BAB I
PENDAHULUAN
Wajah manusia adalah bagian yang sangat integral dari identitas dan
keunikannya. Ekspresi wajah memainkan peran penting dalam
mengekspresikan emosi dan interaksi sosial, sehingga setiap cacat dalam
kontrol otot wajah, selain cacat fisik menciptakan tekanan sosial dan
psikologis.(1)
Bell’s Palsy (BP) adalah kelumpuhan saraf kranial ketujuh dengan onset
yang cepat dan unilateral. Sebagian besar penyebab Bell’s Palsy adalah
idiopatik. Namun Bell’s Palsy juga sering terjadi pada pasien yang menderita
penyakit diabetes mellitus dan pada wanita hamil dengan angka kejadian Bell’s
Palsy tahunan sekitar 15-30 per 100.000 populasi.(2)
Bell’s Palsy mempunyai sifat akut dengan onset cepat dan mampu
mencapai tingkat keparahan maksimumnya dalam waktu kurang dari 72 jam
dari onset kelumpuhan. Meskipun BP biasanya sembuh dalam beberapa minggu
atau bulan, paresis wajah yang terjadi pada penderita BP dapat menyebabkan
insufisiensi oral sementara yang parah dan juga dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata sehingga mengakibatkan cedera
mata yang berpotensi permanen. Sekitar 25% pasien BP dapat mengalami
asimetri wajah yang sedang hingga berat dan mengganggu kualitas hidup
pasien.
Diagnosis dini dan penentuan penyebab BP menjadi kunci utama dalam
pengobatan yang tepat. Menentukan kemungkinan penyebab dan faktor risiko
sangat penting untuk melakukan pengobatan yang akan dilakukan dengan
pemeriksaan yang komprehensif dan riwayat penyakit yang lengkap. Meskipun
sebagian besar pasien sembuh secara spontan dalam waktu yang kurang dari tiga
minggu tanpa pengobatan.(3)
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Bell’s Palsy adalah kelemahan wajah tipe lower motor neuron (LMN) yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis di luar sistem saraf pusat tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya dengan onset akut.(3) Saraf wajah memberikan suplai
motorik eferen ke semua otot ekspresi wajah, stapedius, perut posterior otot
digastrik, dan serat parasimpatis dan sensorik. Serabut parasimpatis ini menyuplai
kelenjar submandibular dan lakrimal melalui korda timpani dan nervus petrosus
superfisialis mayor. Oleh karena itu, semua serat dan struktur ini rentan terhadap
kelumpuhan jika terjadi kerusakan pada saraf wajah. Jalur yang diperpanjang dan
berbelit-belit dan kehadiran di kanal tulang yang sempit membuat saraf kranial ke-7
lebih rentan terhadap kelumpuhan daripada semua saraf lain di tubuh.(4)
2.2. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di Amerika serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30
kasus per 100.000 populasi. BP jarang terjadi pada anak-anak, dengan kejadian
tahunan berkisar antara 5 sampai 21 per 100.000 anak.(5) Penderita diabetes
mempunyai risiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi
pada umur 15-50 tahun.
5
2.3. ETIOLOGI
Sebagian besar Bell’s Palsy penyebabnya idiopatik, namun ada beberapa
faktor penyebab yang dapat menyebabkan BP diantaranya seperti faktor imun
spesifik, iskemik, dan herediter sangat berkorelasi dengan etiologinya. Berdasarkan
laporan terbaru, reaktivitas virus herpes yang dorman di ganglion genikulatum yang
melakukan migrasi ke nervus fasialis juga dianggap sebagai salah satu penyebab
terjadinya BP.
Iskemia vaskular juga bisa menjadi faktor primer, sekunder atau tersier.
Neuropati iskemik primer menyebabkan radang pada saraf yang terkena dan menjadi
lebih rentan pada keadaan klinis tertentu seperti diabetes mellitus.(4) Sekitar 4-14%
individu cenderung memiliki kanal fallopian yang sempit. komponen genetik ini
sebagian besar dominan autosomal dan dapat menyebabkan saraf terkompresi dini
bahkan dengan sedikit edema.(7)
2.3. PATOFISIOLOGI
BP diduga hasil dari kompresi saraf kranial ketujuh di ganglion geniculate.
Bagian pertama kanal wajah, segmen labirin, adalah yang tersempit dan di sinilah
sebagian besar kasus kompresi terjadi. Karena pembukaan saluran wajah yang
sempit, peradangan menyebabkan kompresi dan iskemia saraf. Temuan paling
umum adalah kelemahan wajah unilateral yang mencakup otot-otot dahi.(2)
Bell’s palsy terjadi karena proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy sering terjadi secara
unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal.
6
Pada udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab dan terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Pasien datang dengan gejala yang cepat dan progresif selama sehari sampai
seminggu. Kelemahan akan sebagian atau seluruhnya pada setengah bagian wajah,
mengakibatkan kelemahan pada alis, dahi, dan sudut mulut. Pasien mungkin hadir
dengan ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata atau bibir yang terkena pada
sisi yang terkena.
7
gangguan parasimpatis. Beberapa pasien melaporkan parestesia wajah, yang
biasanya merupakan gejala motorik yang disalahartikan sebagai perubahan sensorik
dan disertai dengan gangguan sensorik atau pendengaran.(3)
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal gejala, keparahan kelumpuhan
dan adanya komorbiditas yang ditemukan antara pasien BP primer dan pasien BP
berulang. Fungsi saraf wajah akhir, bahkan jika tertunda dalam kekambuhan, serupa
pada kedua kelompok. Penatalaksanaan kelumpuhan wajah berulang harus sama
dengan episode primer. Namun demikian, dengan adanya gejala prodromal dapat
mengingatkan pasien untuk pergi ke unit gawat darurat, memungkinkan dimulainya
pengobatan kortikosteroid pada tahap paling awal dari paresis.(8)
2.5. DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus
fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.(9)
8
temporal), kemampuan menutup mata rapat, wajah (mandibular), kesimetrisan
senyum, memutar mata (cabang zigomatik), hidung berkerut (bukal). Tingkat dan
prognosis kelumpuhan saraf wajah dapat dievaluasi dengan sistem penilaian House-
Brackmann. Tabel ini memiliki enam tingkat, dengan tingkat 1 tidak ada
kelumpuhan dan tingkat 6 berarti kelumpuhan total. (3)
Untuk mengetahui segmen saraf wajah mana yang terlibat, dokter harus
melakukan tes prognostik seperti kerutan, air liur, pengecapan, dan refleks stapedius,
sedangkan tes elektrodiagnostik akan mengungkap kedalaman kerusakan. Diagnosis
Bell's palsy terutama bersifat klinis, dan dibuat dengan mengesampingkan penyebab
alternatif kelumpuhan wajah unilateral. Tes elektrodiagnostik yang dilakukan dalam
14 hari setelah dimulainya dapat memberikan informasi prognostik. (9)
9
orofasial, dan lidah pecah-pecah. Sindrom Melkersson-Rosenthal lebih sering
didiagnosis pada wanita.
2.7. PENATALAKSANAAN
a. Agen antiviral
b. Kortikosteroid
10
steroid saja merupakan pengobatan BP dan penambahan antivirus tidak
memenuhi signifikansi statistik.
Tabel 3 : Kortikosteroid
11
untuk merujuk ke spesialis (bedah plastik, neurologi, otolaringologi) lebih
cepat.(2)
Kebanyakan pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Menurut The
Copenhagen Facial Nerve Study, mayoritas pasien sembuh total, sekitar 13 persen
menderita paresis ringan dan 4 sampai 5 persen mengalami disfungsi wajah yang
signifikan. Karena pemulihan spontan biasanya terjadi, perawatannya masih
kontroversial, tetapi perawatan medis dan terapi membantu meredakan gejala dan
mempercepat pemulihan.
Berbagai tindakan nonfarmakologis seperti fisioterapi, termasuk latihan
wajah, pelatihan ulang neuromuskuler, dan akupunktur, juga tersirat dalam
mengobati Bell's palsy dan dilaporkan mempercepat pemulihan. Seperti pada
Bell's palsy, kemampuan pasien untuk menutup atau mengedipkan mata
terganggu, dan mata yang terkena menjadi kering dan berisiko cedera. Bantalan
mata, kaca mata, atau penyisipan pegas kecil dapat memastikan perlindungan, dan
melumasi tetes mata dan air mata buatan di siang hari dapat mengontrol
kekeringan. Kelemahan otot dan asimetri wajah yang terkait pada Bell's palsy
dapat menyebabkan kesulitan menelan, ucapan yang tidak jelas, kesulitan minum
dan makan, dll. Pasien tersebut dapat diberikan terapi okupasi dan wicara, yang
membantu meningkatkan kejernihan bicara, mengurangi masalah yang terkait
dengan disfagia, dan mengurangi kecanggungan sosial.(3)
12
terjadi seperti kekeringan kornea menyebabkan hilangnya penglihatan, adanya
kerusakan permanen pada saraf wajah, pertumbuhan serabut saraf yang tidak normal.
(2)
13
BAB III
KESIMPULAN
Seperti yang dinyatakan, tingkat kesalahan diagnosis bisa mencapai 10,8%, jadi
anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan fisik sangat penting. Fokus pada pemeriksaan
fisik yaitu otot dahi. Karena BP adalah kelumpuhan saraf wajah perifer, perlu ada
keterlibatan otot dahi. Sejarah dan pengujian panduan fisik untuk penyebab kelemahan
saraf wajah. Pasien dapat dirawat di rumah secara medis dengan tindak lanjut yang ketat
untuk memastikan perbaikan gejala. Harus ada pertimbangan untuk rujukan khusus yang
tepat waktu jika hanya ada sedikit perbaikan dalam beberapa minggu pertama penyakit.
Tidak ada tindakan pencegahan yang diketahui, dan 8% sampai 12% pasien akan
mengalami kekambuhan.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Ton G, Lee L-W, Ng H-P, Liao H-Y, Chen Y-H, Tu C-H, et al. Efficacy of laser
acupuncture for patients with chronic Bell’s palsy. Medicine (Baltimore).
2019;98(15):e15120.
2. Warner MJ, Hutchison J, Varacallo M, Busby TH. Bell Palsy ( Keperawatan ) Penyebab
Penilaian Evaluasi Manajemen medis. 2022;
5. Yoo MC, Park DC, Byun JY, Yeo SG. Clinical prognostic factors associated with good
outcomes in pediatric bell’s palsy. J Clin Med. 2021;10(19).
7. Skuladottir AT, Bjornsdottir G, Thorleifsson G, Walters GB, Nawaz MS, Moore KHS,
et al. A meta-analysis uncovers the first sequence variant conferring risk of Bell’s palsy.
Sci Rep [Internet]. 2021;11(1):1–8. Available from: https://doi.org/10.1038/s41598-
021-82736-w
15