Anda di halaman 1dari 15

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

BELL’S PALSY

OLEH:

NURHASANAH

NIM: C014222038

SUPERVISOR:

dr. Urfianty, M.Kes, Sp.A(K)

RESIDEN PEMBIMBING:

dr. Syahrurrahman

dr. Nurul Hikmah AM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa

Nama : Nurhasanah

NIM : C014222038

Judul PKMRS : Bell’s Palsy

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Residen Pembimbing I Residen Pembimbing II

dr. Syahrurrahman dr. Nurul Hikmah AM

Mengetahui,

Supervisor

dr. Urfianty, M.Kes, Sp.A(K)

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ 1

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 3

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5

2.1. Definisi ................................................................................................. 5

2.2. Epidemiologi ........................................................................................ 5

2.3. Etiologi ...................................................................................……….. 6

2.4. Patogenesis ........................................................................................... 6

2.5. Manifestasi Klinis ................................................................................ 7

2.6. Diagnosis ............................................................................................. 8

2.6. Diagnosis Banding................................................................................ 9

2.7. Penatalaksanaan .................................................................................. 10

2.8. Prognosis & Komplikasi .................................................................... 12

BAB 3 KESIMPULAN……… .............................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

Wajah manusia adalah bagian yang sangat integral dari identitas dan
keunikannya. Ekspresi wajah memainkan peran penting dalam
mengekspresikan emosi dan interaksi sosial, sehingga setiap cacat dalam
kontrol otot wajah, selain cacat fisik menciptakan tekanan sosial dan
psikologis.(1)
Bell’s Palsy (BP) adalah kelumpuhan saraf kranial ketujuh dengan onset
yang cepat dan unilateral. Sebagian besar penyebab Bell’s Palsy adalah
idiopatik. Namun Bell’s Palsy juga sering terjadi pada pasien yang menderita
penyakit diabetes mellitus dan pada wanita hamil dengan angka kejadian Bell’s
Palsy tahunan sekitar 15-30 per 100.000 populasi.(2)
Bell’s Palsy mempunyai sifat akut dengan onset cepat dan mampu
mencapai tingkat keparahan maksimumnya dalam waktu kurang dari 72 jam
dari onset kelumpuhan. Meskipun BP biasanya sembuh dalam beberapa minggu
atau bulan, paresis wajah yang terjadi pada penderita BP dapat menyebabkan
insufisiensi oral sementara yang parah dan juga dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata sehingga mengakibatkan cedera
mata yang berpotensi permanen. Sekitar 25% pasien BP dapat mengalami
asimetri wajah yang sedang hingga berat dan mengganggu kualitas hidup
pasien.
Diagnosis dini dan penentuan penyebab BP menjadi kunci utama dalam
pengobatan yang tepat. Menentukan kemungkinan penyebab dan faktor risiko
sangat penting untuk melakukan pengobatan yang akan dilakukan dengan
pemeriksaan yang komprehensif dan riwayat penyakit yang lengkap. Meskipun
sebagian besar pasien sembuh secara spontan dalam waktu yang kurang dari tiga
minggu tanpa pengobatan.(3)

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Bell’s Palsy adalah kelemahan wajah tipe lower motor neuron (LMN) yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis di luar sistem saraf pusat tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya dengan onset akut.(3) Saraf wajah memberikan suplai
motorik eferen ke semua otot ekspresi wajah, stapedius, perut posterior otot
digastrik, dan serat parasimpatis dan sensorik. Serabut parasimpatis ini menyuplai
kelenjar submandibular dan lakrimal melalui korda timpani dan nervus petrosus
superfisialis mayor. Oleh karena itu, semua serat dan struktur ini rentan terhadap
kelumpuhan jika terjadi kerusakan pada saraf wajah. Jalur yang diperpanjang dan
berbelit-belit dan kehadiran di kanal tulang yang sempit membuat saraf kranial ke-7
lebih rentan terhadap kelumpuhan daripada semua saraf lain di tubuh.(4)

2.2. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di Amerika serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30
kasus per 100.000 populasi. BP jarang terjadi pada anak-anak, dengan kejadian
tahunan berkisar antara 5 sampai 21 per 100.000 anak.(5) Penderita diabetes
mempunyai risiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi
pada umur 15-50 tahun.

Insiden tahunan adalah 15 sampai 20 per 100.000 penduduk dengan 40.000


kasus baru setiap tahun. Ada tingkat kekambuhan 8% sampai 12%. Bahkan tanpa
pengobatan, 70% pasien akan sembuh total. Tidak ada preferensi jenis kelamin atau
ras, dan kelumpuhan dapat terjadi pada usia berapa pun, tetapi lebih banyak kasus
terlihat pada usia pertengahan dan akhir dengan usia rata-rata onset pada usia 40
tahun.(6)

5
2.3. ETIOLOGI
Sebagian besar Bell’s Palsy penyebabnya idiopatik, namun ada beberapa
faktor penyebab yang dapat menyebabkan BP diantaranya seperti faktor imun
spesifik, iskemik, dan herediter sangat berkorelasi dengan etiologinya. Berdasarkan
laporan terbaru, reaktivitas virus herpes yang dorman di ganglion genikulatum yang
melakukan migrasi ke nervus fasialis juga dianggap sebagai salah satu penyebab
terjadinya BP.

Virus Herpes Zooster (HZV) dianggap lebih agresif karena menyebar ke


seluruh saraf melalui sel satelit. Infeksi laten terjadi jika tidak ada replikasi virus
yang aktif, namun dengan adanya antibodi atau keadaan imunodefisiensi maka dapat
terjadi kerusakan saraf dan pembengkakan saraf wajah sehingga mengakibatkan
kompresi lebih lanjut. Virus lain yang juga diketahui terlibat dalam menyebabkan
Bell’s Palsy adalah virus Epstein Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis,
cytomegalovirus, adenovirus, influenza dan lain-lain.(3)

Iskemia vaskular juga bisa menjadi faktor primer, sekunder atau tersier.
Neuropati iskemik primer menyebabkan radang pada saraf yang terkena dan menjadi
lebih rentan pada keadaan klinis tertentu seperti diabetes mellitus.(4) Sekitar 4-14%
individu cenderung memiliki kanal fallopian yang sempit. komponen genetik ini
sebagian besar dominan autosomal dan dapat menyebabkan saraf terkompresi dini
bahkan dengan sedikit edema.(7)

2.3. PATOFISIOLOGI
BP diduga hasil dari kompresi saraf kranial ketujuh di ganglion geniculate.
Bagian pertama kanal wajah, segmen labirin, adalah yang tersempit dan di sinilah
sebagian besar kasus kompresi terjadi. Karena pembukaan saluran wajah yang
sempit, peradangan menyebabkan kompresi dan iskemia saraf. Temuan paling
umum adalah kelemahan wajah unilateral yang mencakup otot-otot dahi.(2)
Bell’s palsy terjadi karena proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy sering terjadi secara
unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal.

6
Pada udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab dan terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

2.4. MANIFESTASI KLINIS

Pasien datang dengan gejala yang cepat dan progresif selama sehari sampai
seminggu. Kelemahan akan sebagian atau seluruhnya pada setengah bagian wajah,
mengakibatkan kelemahan pada alis, dahi, dan sudut mulut. Pasien mungkin hadir
dengan ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata atau bibir yang terkena pada
sisi yang terkena.

Temuan pemeriksaan fisik utama adalah kelemahan sebagian atau seluruh


dahi. Pasien mungkin juga mengeluhkan perbedaan rasa, kepekaan terhadap suara,
otalgia, dan perubahan air mata dan air liur. Gejala lain dapat berupa paparan kornea,
lagophthalmos, kening terkulai, ektropion paralitik pada kelopak bawah, retraksi
kelopak mata atas, penurunan produksi air mata, hilangnya lipatan nasolabial. (2)

Gejala yang terjadi mendadak, dan tingkat keparahan mencapai puncaknya


dalam waktu 48 hingga 72 jam. Gejala Bell's palsy termasuk ketidakmampuan untuk
mengedipkan atau menutup mata, mengerutkan bibir atau menaikkan sudut mulut
dan menunjukkan ciri-ciri seperti separuh wajah yang terkulai, alis yang kendur
ipsilateral, lipatan nasolabial yang rata, nyeri ipsilateral di sekitar telinga atau
gangguan pendengaran, mata kering atau mulut kering seperti yang ditunjukkan pada
Gambar di bawah.

Gambar 1 : Manifestasi Klinis pada Anak dengan Bell’s Palsy


Gejala lain termasuk hyperacusis yang disebabkan oleh kerusakan serat saraf
pada otot stapedius, perubahan rasa, dan mata kering yang disebabkan oleh

7
gangguan parasimpatis. Beberapa pasien melaporkan parestesia wajah, yang
biasanya merupakan gejala motorik yang disalahartikan sebagai perubahan sensorik
dan disertai dengan gangguan sensorik atau pendengaran.(3)
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal gejala, keparahan kelumpuhan
dan adanya komorbiditas yang ditemukan antara pasien BP primer dan pasien BP
berulang. Fungsi saraf wajah akhir, bahkan jika tertunda dalam kekambuhan, serupa
pada kedua kelompok. Penatalaksanaan kelumpuhan wajah berulang harus sama
dengan episode primer. Namun demikian, dengan adanya gejala prodromal dapat
mengingatkan pasien untuk pergi ke unit gawat darurat, memungkinkan dimulainya
pengobatan kortikosteroid pada tahap paling awal dari paresis.(8)

2.5. DIAGNOSIS

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisis. Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa
bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan
yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah. 50% pasien
menderita nyeri postauricular di regio mastoid. Selain itu juga bisa ditandai dengan
sedikitnya aliran air mata, adanya gangguan rasa pengecapan, dan juga mata kering.

Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus
fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.(9)

Studi konduksi saraf dan Elektromiografi (EMG) dapat membantu


menentukan hasil pada pasien dengan BP parah. EMG digunakan untuk memantau
potensial yang dihasilkan oleh otot wajah di kedua sisi. Jika dicurugai terdapat
gangguan pendengaran maka harus dilakukan audiografi. Terdapat sistem penilaian
untuk mengevaluasi klinis BP, penilaian ini menggunakan skala disfungsi ringan
hingga berat. Selain itu juga dapat dilakukan tes lain seperti pengujian air liur, fungsi
air mata, dan rangsangan saraf. (2)

Pendekatan metode untuk evaluasi pasien BP sangat penting. Pemeriksa harus


mengamati ekspresi wajah dan menguji gerakan wajah seperti kerutan dahi (cabang

8
temporal), kemampuan menutup mata rapat, wajah (mandibular), kesimetrisan
senyum, memutar mata (cabang zigomatik), hidung berkerut (bukal). Tingkat dan
prognosis kelumpuhan saraf wajah dapat dievaluasi dengan sistem penilaian House-
Brackmann. Tabel ini memiliki enam tingkat, dengan tingkat 1 tidak ada
kelumpuhan dan tingkat 6 berarti kelumpuhan total. (3)

Tabel 1 : Sistem Penilaian House Brackmann

Untuk mengetahui segmen saraf wajah mana yang terlibat, dokter harus
melakukan tes prognostik seperti kerutan, air liur, pengecapan, dan refleks stapedius,
sedangkan tes elektrodiagnostik akan mengungkap kedalaman kerusakan. Diagnosis
Bell's palsy terutama bersifat klinis, dan dibuat dengan mengesampingkan penyebab
alternatif kelumpuhan wajah unilateral. Tes elektrodiagnostik yang dilakukan dalam
14 hari setelah dimulainya dapat memberikan informasi prognostik. (9)

2.6. DIAGNOSIS BANDING

Sebagian besar kasus kelumpuhan wajah disebabkan oleh beberapa penyakit


lain yang menyerupai Bell's palsy, seperti seperti stroke atau penyakit demielinasi,
kolesteatoma, tumor kelenjar parotid, infeksi telinga tengah, penyakit Lyme, diabetes,
penyakit granulomatosa, Ramsay-Hunt sindrom, trauma, dan sindrom Guillain-Barré

Penyebab lain yang kurang umum dari kelumpuhan wajah termasuk


tuberkulosis, HIV, trauma, sarkoidosis, vaskulitis, dan neoplasma. Ada tingkat
misdiagnosis 10,8% yang dilaporkan dari pusat rujukan khusus. Jika ada episode
kekambuhan, dokter harus mempertimbangkan sindrom Melkersson-Rosenthal. Ini
adalah sindrom neurokutan langka dengan kekambuhan kelumpuhan wajah, edema

9
orofasial, dan lidah pecah-pecah. Sindrom Melkersson-Rosenthal lebih sering
didiagnosis pada wanita.

2.7. PENATALAKSANAAN

a. Agen antiviral

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang


menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli
percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis
memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s
palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai
penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400
mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir
akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk
mencegah replikasi virus.

Tabel 2 : Agen Antiviral

Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan


langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi
secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.
Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.
> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine


dapat memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan
toksisitas acyclovir terhadap SSP
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik

b. Kortikosteroid

Penting untuk diketahui bahwa pemulihan spontan memang terjadi dan


karenanya peran pengobatan tetap dipertanyakan. Kortikosteroid adalah
pengobatan utama. Ada juga beberapa bukti yang menyatakan kombinasi
kortikosteroid dan antivirus meningkatkan hasil BP dibandingkan dengan
kortikosteroid saja. Sebuah meta-analisis pada tahun 2009 menemukan bahwa

10
steroid saja merupakan pengobatan BP dan penambahan antivirus tidak
memenuhi signifikansi statistik.

Tabel 3 : Kortikosteroid

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek


farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya,
yang menurunkan kompresi nervus facialis di canalis
facialis.
Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.
Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,
jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler;
penyakit tukak lambung, disfungsi hepatik; penyakit
gastrointestinal.
Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan
klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat
menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;
fenobarbital, fenitoin, dan rifampisin dapat meningkatkan
metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis
pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian bersama
dengan obat diuretik.
Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat
menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,
osteonecrosis, miopati, penyakit tukak lambung,
hipokalemia, osteoporosis, euphoria, psikosis, myasthenia
gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul
dengan penggunaan bersama glukokortikoid.
Untuk pasien dengan kelumpuhan saraf wajah yang parah (House-
Brackmann IV atau lebih) dapat diberikan terapi kombinasi dengan steroid dan
antivirus. Tidak ada peningkatan yang signifikan dalam efek samping dari
antivirus dibandingkan dengan plasebo atau kortikosteroid. Pasien harus
diinstruksikan untuk menggunakan pelumas mata dan menambal mata yang
terkena pada waktu tidur untuk mengurangi kemungkinan abrasi kornea.
Pilihan bedah dapat dipertimbangkan bila tidak ada perbaikan gejala
setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Dekompresi saraf wajah belum
ditemukan sebagai pilihan pengobatan yang direkomendasikan dan
dipertimbangkan berdasarkan kasus per kasus. Studi sebelumnya yang
mengevaluasi kompresi saraf wajah memiliki kualitas yang buruk. Dianjurkan

11
untuk merujuk ke spesialis (bedah plastik, neurologi, otolaringologi) lebih
cepat.(2)
Kebanyakan pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Menurut The
Copenhagen Facial Nerve Study, mayoritas pasien sembuh total, sekitar 13 persen
menderita paresis ringan dan 4 sampai 5 persen mengalami disfungsi wajah yang
signifikan. Karena pemulihan spontan biasanya terjadi, perawatannya masih
kontroversial, tetapi perawatan medis dan terapi membantu meredakan gejala dan
mempercepat pemulihan.
Berbagai tindakan nonfarmakologis seperti fisioterapi, termasuk latihan
wajah, pelatihan ulang neuromuskuler, dan akupunktur, juga tersirat dalam
mengobati Bell's palsy dan dilaporkan mempercepat pemulihan. Seperti pada
Bell's palsy, kemampuan pasien untuk menutup atau mengedipkan mata
terganggu, dan mata yang terkena menjadi kering dan berisiko cedera. Bantalan
mata, kaca mata, atau penyisipan pegas kecil dapat memastikan perlindungan, dan
melumasi tetes mata dan air mata buatan di siang hari dapat mengontrol
kekeringan. Kelemahan otot dan asimetri wajah yang terkait pada Bell's palsy
dapat menyebabkan kesulitan menelan, ucapan yang tidak jelas, kesulitan minum
dan makan, dll. Pasien tersebut dapat diberikan terapi okupasi dan wicara, yang
membantu meningkatkan kejernihan bicara, mengurangi masalah yang terkait
dengan disfagia, dan mengurangi kecanggungan sosial.(3)

2.7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Dalam 71% kasus yang tidak diobati, BP sembuh sepenuhnya tanpa
pengobatan. Pengobatan dengan kortikosteroid telah ditemukan untuk meningkatkan
kemungkinan pemulihan saraf yang lebih baik. Kekambuhan memang terjadi, dan
satu studi menemukan tingkat kekambuhan 12%. Studi lain melaporkan hingga 10%
pasien yang menderita BP akan mengalami kekambuhan gejala setelah latensi rata-
rata 10 tahun. (2) Pada anak cenderung menunjukkan pemulihan yang baik dalam
waktu dua bulan dan sebagian besar dalam enam bulan dengan pemulihan spontan
terjadi hingga 90% pada anak di bawah usia 14 tahun. (5)
Faktor risiko yang terkait dengan hasil yang buruk meliputi kelumpuhan
total, usia lebih dari 60 tahun dan penurunan air liur atau rasa di sisi ipsilateral.
Semakin lama pemulihan, semakin besar kemungkinan gejala sisa sisa dapat
berkembang. Tingkat kekambuhan 5-15% telah dilaporkan. komplikasi yang dapat

12
terjadi seperti kekeringan kornea menyebabkan hilangnya penglihatan, adanya
kerusakan permanen pada saraf wajah, pertumbuhan serabut saraf yang tidak normal.
(2)

13
BAB III

KESIMPULAN

Seperti yang dinyatakan, tingkat kesalahan diagnosis bisa mencapai 10,8%, jadi
anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan fisik sangat penting. Fokus pada pemeriksaan
fisik yaitu otot dahi. Karena BP adalah kelumpuhan saraf wajah perifer, perlu ada
keterlibatan otot dahi. Sejarah dan pengujian panduan fisik untuk penyebab kelemahan
saraf wajah. Pasien dapat dirawat di rumah secara medis dengan tindak lanjut yang ketat
untuk memastikan perbaikan gejala. Harus ada pertimbangan untuk rujukan khusus yang
tepat waktu jika hanya ada sedikit perbaikan dalam beberapa minggu pertama penyakit.
Tidak ada tindakan pencegahan yang diketahui, dan 8% sampai 12% pasien akan
mengalami kekambuhan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Ton G, Lee L-W, Ng H-P, Liao H-Y, Chen Y-H, Tu C-H, et al. Efficacy of laser
acupuncture for patients with chronic Bell’s palsy. Medicine (Baltimore).
2019;98(15):e15120.

2. Warner MJ, Hutchison J, Varacallo M, Busby TH. Bell Palsy ( Keperawatan ) Penyebab
Penilaian Evaluasi Manajemen medis. 2022;

3. Singh A, Deshmukh P. Bell’s Palsy: A Review. Cureus. 2022;14(10).

4. Zhang W, Xu L, Luo T, Wu F, Zhao B, Li X. The etiology of Bell’s palsy: a review. J


Neurol. 2020;267(7):1896–905.

5. Yoo MC, Park DC, Byun JY, Yeo SG. Clinical prognostic factors associated with good
outcomes in pediatric bell’s palsy. J Clin Med. 2021;10(19).

6. Warner MJ, Hutchison J, Varacallo M, Fisik S. Bell Palsy Kegiatan Pendidikan


Berkelanjutan Perkenalan Epidemiologi. 2022;

7. Skuladottir AT, Bjornsdottir G, Thorleifsson G, Walters GB, Nawaz MS, Moore KHS,
et al. A meta-analysis uncovers the first sequence variant conferring risk of Bell’s palsy.
Sci Rep [Internet]. 2021;11(1):1–8. Available from: https://doi.org/10.1038/s41598-
021-82736-w

8. Mancini P, Bottaro V, Capitani F, de Soccio G, Prosperini L, Restainom. De Vincentiis


P, et al. Recurrent bell’s palsy: Outcomes and correlation with clinical comorbidities.
Acta Otorhinolaryngol Ital. 2019;39(5):316–21.

9. Heckmann JG, Urban PP, Pitz S, Guntinas-Lichius O, Gágyor I. Idiopathische


Fazialisparese (Bell´s palsy). Dtsch Arztebl Int. 2019;116(41):692–702.

15

Anda mungkin juga menyukai