Anda di halaman 1dari 22

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ENSEFALITIS DAN PENCEGAHANNYA

OLEH:
ALFIANA RAHMAN
NIM: C014182105

SUPERVISOR:
dr. Martira Maddepungeng, Sp.A(K)

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Anny Mariani Sanusi
dr. Ade Nur Prihadi

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa

Nama : Alfiana Rahman

NIM : C014182105

Judul PKMRS : Ensefalitis dan Pencegahannya

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada

bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin.

Makassar, 8 November 2019

Residen Pembimbing I Residen Pembimbing II

dr. Anny Mariani Sanusi dr. Ade Nur Prihadi

Mengetahui,

Supervisor

dr. Martira Maddepungeng, Sp.A(K)

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................2
DAFTAR ISI ............................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................5
2.1. Definisi .................................................................................................5
2.2. Epidemiologi.........................................................................................5
2.3. Etiologi & Klasifikasi ...........................................................................6
2.4. Patogenesis ...........................................................................................9
2.5. Manifestasi Klinis ...............................................................................11
2.6. Diagnosis ............................................................................................13
2.7. Diagnosis Banding ..............................................................................15
2.8. Penatalaksanaan ..................................................................................15
2.9. Komplikasi & Prognosis .....................................................................16
2.10. Pencegahan .......................................................................................17
BAB 3 KESIMPULAN…………......................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................21

3
BAB I

PENDAHULUAN

Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang disebabkan


oleh virus, bakteri, jamur dan parasit. Ensefalitis paling sering
disebabkan oleh infeksi virus. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang. 1,2
Di Amerika Serikat terdapat 5 virus utama yang disebarkan nyamuk:
West Nile, Eastern Equine Encephalitis, Western Equine Encephalitis, La
Crosse, dan St. Louis Encephalitis. Tahun 1999, terjadi wabah virus West Nile
(disebarkan oleh nyamuk Culex) di kota New York. Virus terus menyebar
hingga di seluruh Amerika Serikat. Insidensi di USA dilaporkan 2.000 atau
lebih kasus viral ensefalitis per tahun, atau kira-kira 0,5 kasus per 100.000
penduduk.3
Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan bahwa
identifikasi kasus Ensefalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004
menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantaranya secara serologis
mengarah pada kasus Japanese Encephalitis.4 Adapun jumlah kasus Japanese
Encephalitis (JE) di Indonesia Tahun 2016 yang dilaporkan
sebanyak 326 kasus.5
Oleh karena angka kejadian ensefalitis yang cukup tinggi, diharapkan
dengan pembahasan dan pengenalan ensefalitis dapat meningkatkan
pengetahuan dokter umum dan masyarakat mengenai ensefalitis dan
pencegahannya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang disebabkan
oleh virus, bakteri, jamur dan parasit. Ensefalitis paling sering disebabkan
oleh infeksi virus. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.1,2

2.2. EPIDEMIOLOGI
Usia, musim, lokasi geografis, kondisi iklim regional, dan sistem
kekebalan tubuh manusia berperan penting dalam perkembangan dan tingkat
keparahan penyakit. Di AS, terdapat 5 virus utama yang disebarkan nyamuk:
West Nile, Eastern Equine Encephalitis, Western Equine Encephalitis, La
Crosse, dan St. Louis Encephalitis. Tahun 1999, terjadi wabah virus West
Nile (disebarkan oleh nyamuk Culex)di kota New York. Virus terus menyebar
hingga di seluruh AS. Insidensi di USA dilaporkan 2.000 atau lebih kasus
viral ensefalitis per tahun, atau kira-kira 0,5 kasus per 100.000 penduduk.3
Virus Japanese Encephalitis adalah arbovirus yang paling umum di
dunia (virus yang ditularkan oleh nyamuk pengisap darah atau kutu) dan
bertanggung jawab untuk 50.000 kasus dan 15.000 kematian per tahun
di sebagian besar dari Cina, Asia Tenggara, dan anak benua India. Kejadian
terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian tertinggi
pada mereka yang berusia 3-8 bulan.6
Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan bahwa
identifikasi kasus Ensefalitis di rumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004
menemukan 163 kasus ensefalitis dan 94 diantaranya secara serologis
mengarah pada kasus Japanese Encefalitis.4 Adapun jumlah kasus Japanese
Encephalitis (JE) di Indonesia Tahun 2016 yang dilaporkan
sebanyak 326 kasus.5

5
2.3. ETIOLOGI & KLASIFIKASI
Ensefalitis disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, fungus dan
riketsia.Penyebab yang tersering adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena
reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Ensefalitis juga dapat diakibatkan oleh invasi langsung cairan serebrospinal
selama pungsi lumbal. Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan
ensefalitis terbanyak adalah Herpes simpleks, arbovirus, Eastern and
Western Equine, La Crosse, St. Louis encephalitis. Penyebab yang jarang
adalah Enterovirus (Coxsackie dan Enteric cytophatic human orpan virus),
Mumps, Lassa virus, rabies, cytomegalovirus (CMV).2
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah :
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus : Polio, Coxsackie, Enteric cytophatic human
orpan virus.
b. Golongan arbovirus : Western equine encephalitis, St. Louis
encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis,
Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes
zoster, Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis
lain yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella,
pasca vaksinasi, pasca mononukleosis infeksius dan jenis-jenis yang
mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.2,7
Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis,
tetapi baru Japanese B encephalitis yang ditemukan.
Klasifikasi berdasarkan penyebab, yaitu : 8
1. Ensefalitis Supuratif
Bakteri penyebab ensefalitis supuratif adalah : Staphylococcus aureus,
Streptococcus, Escherichia coli dan Mycobacterium tuberculosa.
2. Ensefalitis Virus
6
Virus penyebab ensefalitis adalah:
a. Virus RNA
Paramiksovirus : virus mumps, virus morbili
Rabdovirus : virus rabies
Flavivirus : virus rubella, Japanese B encephalitis , virus dengue
Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie, echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria.
b. Virus DNA
Herpesvirus : Varicella herpes zoster, herpes simpleks virus (HSV),
Cytomegalovirus , Epstein-barr virus.
Poxvirus : Variola, Vacciniavirus
Retrovirus : Human immunodeficiency virus
3. Ensefalitis karena Parasit
a. Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral.
Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit.
Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat
satu sama lainnya sehingga menimbulkan penyumbatan-penyumbatan.
hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara difus
ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang
timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan
neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.8
b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak
menimbulkan gejala –gejala kecuali dalam keadaan dengan daya
imunitas menurun. Di dalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan
dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.8
c. Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung
ketika berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan

7
meningoensefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea,
muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.8
d. Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva
menembus mukosa dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke
seluruh badan. Larva dapat tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk
kista di dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk rasemosanya
tumbuh di dalam meninges atau tersebar di dalam sisterna. Jaringan
akan bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala
neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.8
4. Ensefalitis karena Fungus
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain: Candida
albicans, Cryptococcus neoformans, Coccidia, Aspergillus fumigatus dan
Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim
saraf pusat ialah meningoensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan
timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.8
5. Riketsiosis Serebri
Rickettsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan
dapat menyebabkan ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul
nodul yang terdiri atas sel-sel mononuklear, yang terdapat pula di sekitar
pembuluh darah di dalam jaringan otak. Di dalam pembuluh darah yang
terkena akan terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala,
demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran dapat
menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar.8

2.4. PATOGENESIS
Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus akan menyebar dengan
beberapa cara:

8
1. Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau
organ tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke
organ lain.8
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum
ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian
menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis.
HSV-1 mungkin mencapai otak dengan penyebaran langsung sepanjang akson
saraf.7
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:
1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang
sedang berkembang biak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vaskular dan paravaskular. Sedangkan virusnya
sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten.2,8
Tingkat demielinasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron dan
aksonnya terutama dianggap menggambarkan ensefalitis “pascainfeksi” atau
alergi. Korteks serebri terutama lobus temporalis, sering terkena oleh virus
herpes simpleks; arbovirus cenderung mengenai seluruh otak; rabies
mempunyai kecenderungan pada struktur basal.2,7
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada sistem saraf pusat
tergantung dari virulensi virus, kekuatan teraupetik dan sistem imun dan agen-
agen tubuh yang dapat menghambat multiplikasi virus.8
Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan
binatang. Pada beberapa virus seperti varisella zoster dan CMV, pejamu
dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor resiko utama.3
9
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar sistem saraf pusat dan
menyebar baik melalui peredaran darah atau melalui sistem neural (virus
herpes simpleks, virus varisella zoster). Patofisiologi infeksi virus lambat
seperti subacute sclerosing panencephalitis sanpai sekarang ini masih belum
jelas. 7
Setelah melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan
respons inflamasi yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan
substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba). 8
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor
membran sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak.
Sebagai contoh, virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus
temporal medial dan inferior. 8
Patogenesis dari Encephalitis herpes simplex (EHS) sampai sekarang
masih belum jelas dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya
transmisi neural secara langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus
atau olfaktorius. 8
Virus HSV-I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah. Infeksi primer
biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya subklinis atau berupa
somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis
merupakan komplikasi dari reaktivasi virus. Pada infeksi primer, virus
menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian,
rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya
bermanifestasi sebagai herpes labialis. 8
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi
lengket.Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapat menyumbat
kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark.
Gejala-gejala neurologis timbul karena kerusakan jaringan otak yang terjadi.
Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma. 8

10
Gambar 1. Patogenesis Ensefalitis10

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai


yang berat. Mulainya sakit biasanya akut, walaupun tanda-tanda dan gejala
sistem saraf pusat sering didahului oleh demam akut non spesifik dalam
beberapa hari. Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik,
seringkali ditemukan hiperpireksia.8
Pada anak, manifestasi klinik dapat berupa sakit kepala dan
hiperestesia, sedangkan pada bayi dapat berupa iritabilitas dan letargi. Nyeri
kepala paling sering pada frontal atau menyeluruh, remaja sering menderita
nyeri retrobulbar. Biasanya terdapat gejala nausea dan muntah, nyeri di leher,
punggung dan kaki, dan fotofobia. Masa prodromal ini berlangsung antara 1-4
hari kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung
dari keterlibatan meningen dan parenkim serta distribusi dan luasnya lesi pada
neuron. Gejala-gejala tersebut dapat berupa gelisah, perubahan perilaku,

11
gangguan kesadaran, dan kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis
fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak.8
Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan sampai
meningen. Selain itu, dapat juga timbul gejala dari infeksi traktus respiratorius
atas (mumps, enterovirus) atau infeksi gastrointestinal (enterovirus) dan tanda
seperti exantem (enterovirus, measles, rubella, herpes simplex virus), parotitis,
atau orchitis (mumps atau lymphocytic choriomeningitis).2,8
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat
membantu diagnosis. Pada Japanese B encephalitis, semua bagian susunan
saraf pusat dapat meradang. Gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental,
tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan,
kelumpuhan dan nistagmus. Rabies memberi gejala pertama yaitu depresi dan
gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis.8,10
EHS dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut. Pada fase
awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari.
Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan
kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang
dan penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran
menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat
buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh
dengan gejala sisa yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan
hemiparesis. Beberapa kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf
cranial, kaku kuduk dan papil edema.7

2.6. DIAGNOSIS
Ensefalitis didefinisikan menurut konsensus dari International
Encephalitis Consortium, yaitu anak dengan ;
1. Ensefalopati (ditemukan beberapa atau semua dari gambaran berikut:
gangguan kesadaran, gangguan kognitif, perubahan perilaku, letargi,
berlangsung lebih dari 24 jam)
2. Disertai dengan dua atau lebih dari kriteria berikut:
12
a. Demam atau riwayat demam (≥38⁰C) dalam 72 jam sebelum atau
sesudah presentasi.
b. Kejang umum atau parsial yang bukan disebabkan oleh kelainan yang
sudah ada sebelumnya.
c. Pleositosis CSS (≥5leukosit/µl).
d. Onset baru dari defisit neurologi fokal.
e. Pencitraan abnormal yang mendukung ke arah ensefalitis.
f. Abnormalitas EEG yang konsisten dengan ensefalitis dan bukan
berhubungan dengan penyebab lain.
3. Dan tidak ada diagnosis atau penyebab alternatif lain yang teridentifikasi
4. Pemeriksaan penunjang11

Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk


menegakkan diagnosis ensefalitis :
a. Pencitraan/ radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum
melakukan lumbal punksi atau ditemukan tanda neurologis fokal.
Pencitraan mungkin berguna untuk memeriksa adanya abses, efusi
subdural, atau hidrosefalus.12
Pada CT-scan dapat ditemukan edema otak dan hemoragik setelah
satu minggu. Pada virus herpes didapatkan lesi berdensitas rendah
pada lobus temporal, namun gambaran tidak tampak tiga hingga empat
hari setelah onset CT-scan tidak membantu dalam membedakan
berbagai ensefalitis virus.12
MRI kepala dengan peningkatan gadolinium merupakan
pencitraan yang baik pada kecurigaan ensefalitis. Temuan khas yaitu
peningkatan sinyal T2-weighted pada substansia grisea dan alba. Pada
daerah yang terinfeksi dan meninges biasanya meningkat dengan
gadolinium.Pada infeksi herpes virus memperlihatkan lesi lobus
temporal dimana terjadi hemoragik pada unilateral dan bilateral.12

13
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus
(aktivitas lambat bilateral). Pada Japanese B encephalitis dihubungkan
dengan tiga tanda EEG: 1)gelombang delta aktif yang terus-menerus;
2)gelombang delta yang disertai spike (gelombang paku); 3)pola koma
alpha .Pada St Louis encephalitis karakteristik EEG ditandai adanya
gelombang delta yang difus dan gelombang paku tidak menyolok pada
fase akut. Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, apabila didapat lesi fokal pada pemeriksaan
EEG atau CT-scan, pada daerah tersebut dapat dilakukan biopsi tetapi
apabila pada CT-scan dan EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi
tetap dilakukan dengan melihat tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis
fokal tidak didapatkan maka biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus
temporalis yang biasanya menjadi predileksi Herpes simplex virus.12
b. Laboratorium
Biakan dari darah ,viremia berlangsung hanya sebentar saja
sehingga sukar mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour
srebrospinalis atau jaringan otak ; dari feces untuk jenis
enterovirus,sering didapatkan hasil positif.12
Analisis cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis (yang
didominasi oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm3 pada 95%
pasien. Pada 48 jam pertama infeksi, pleositosis cenderung didominasi
oleh sel polimorfonuklear, kemudian berubah menjadi limfosit pada
hari berikutnya. Kadar glukosa cairan serebrospinal biasanya dalam
batas normal dan jumlah ptotein meningkat. Polymerase chain
reaction (PCR) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
ensefalitis.12
Pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal biasanya positif lebih
awal dibandingkan titer antibodi. Pemeriksaan PCR mempunyai
sensitivitas 75% dan spesifisitas 100% dan ada yang melaporkan hasil
postif pada 98% kasus yang telah terbukti dengan biposi otak. Tes
PCR untuk mendeteksi West Nile virus telah dikembangkan di
14
California. PCR digunakan untuk mendeteksi virus-virus DNA.
Varicella herpes zoster dan Japenese B encephalitis dapat terdeteksi
dengan PCR.5,12

2.7. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari ensefalitis adalah:


1. Kejang demam
Bangkitan kejang akibat kenaikan suhu yang etiologinya belum
diketahui secara pasti. Kejang yang terjadi dapat berupa kejang
demam sederhana ataupun kompleks.8
2. Meningitis
Radang pada selaput otak yang disebabkan oleh multifaktorial.
Ditandai dengan sakit kepala, demam, perubahan kesadaran, kaku
kuduk, kernik sign (+), brudzinki sign (+), fotobia, dan bisa disertai
ruam pada meningococcal meningitis.8

2.8. PENATALAKSANAAN
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di
rumah sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari
penanganan tersebut adalah mempertahankan fungsi organ, yang caranya
hampir sama dengan perawatan pasien koma yaitu mengusahakan jalan
napas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau parenteral,
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
asam basa darah.12
Bila kejang dapat diberi diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB secara
intravena dilanjutkan fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres
dingin dapat diberikan apabila pasien panas. Apabila didapatkan tanda
kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi deksametason 1 mg/kgBB/hari
dilanjutkan pemberian 0,25-0,5 mg/kgBB/hari. Pemberian deksametason

15
tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial yang meningkat
atau keadaan umum telah stabil. 12
Mannitol juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB secara
intravena dalam periode 8-12 jam. Perawatan yang baik berupa drainase
postural dan aspirasi mekanis yang periodik pada pasien ensefalitis yang
mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorokan serta
adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. 12
Pada pasien EHS dapat diberikan adenosine arabinose 15
mg/kgBB/hari secara intravena diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian adenosine arabinose untuk EHS dapat
menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini acyclovir IV
telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat
pilihan pertama. Dosis acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
selama 10 hari.12

2.9. KOMPLIKASI & PROGNOSIS


Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan
kerusakan otak permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar,
masalah berbicara, kehilangan memori, atau berkurangnya kontrol otot.2
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi
spesifik, dan umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya
keterlibatan parenkim maka prognosisnya jelek dengan kemungkinan
defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatri, epileptik, penglihatan
atau pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan pada infeksi yang
disebabkan oleh HSV.7,8

2.10. PENCEGAHAN
Adapun tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
ensefalitis:
1. Imunisasi Campak

16
Vaksin campak adalah vaksin virus hidup yang dilemahkan.
Vaksin campak disuntikan secara subkutan pada lengan kiri atau
anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml. Vaksin ini dikontraindikasikan
untuk individu yang diduga mengalami gangguan respon imun karena
leukemia, limfoma atau yang mengalami penyakit immune deficiency.
Pada 15% pasien dapat mengalami demam ringan disertai kemerahan
selama 3 hari yang terjadi 8-12 hari setelah pemberian vaksin campak.
Imunisasi campak kedua diberikan pada usia 18 bulan dan tidak perlu
diberikan jika sudah mendapatkan MMR.13, 14
2. Imunisasi MMR
Imunisasi MMR (measles, mumps, rubella) merupakan imunisasi
yang digunakan dalam memberikan kekebalan terhadap penyakit
campak (measles); parotis epidemika (mumps); dan campak jerman
(rubella). Dalam imunisasi MMR, antigen yang dipakai adalah virus
campak strain edmonson yang dilemahkan, virus rubella strain RA
27/3, dan virus gondong. Vaksin disuntikkan secara subkutan atau
intramuskular. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9
bulan, maka vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan (minimal
interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan
vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR.13,14
3. Vaksin Japanese Encephalitis (JE)
Saat ini belum ditemukan obat untuk mengatasi infeksi Japanese
Encephalitis, sehingga diperlukan upaya untuk memutus rantai
penularannya melalui pemberian imunisasi sebagai tindakan preventif.
Japanese Encephalitis dapat dicegah dengan 3 dosis vaksin ketika akan
15
berpergian ke daerah dimana virus penyebab penyakit ini berada.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention, vaksin ini
dianjurkan pada orang yang akan menghabiskan waktu satu bulan atau
lebih di daerah penyebab penyakit ini dan selama musim transmisi.9
Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada
hari ke 0,7 dan ke 28. Untuk anak yang berumur 1–3 tahun dosis yang
17
diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Booster
diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml tiga
tahun kemudian. Virus Japanese Encephalitis dapat menginfeksi janin
dan menyebabkan kematian.16
4. Imunisasi Varicella
Imunisasi varicella merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit cacar air (varicella). Vaksin varicella
merupakan virus hidup Varicella zooster strain OKA yang
dilemahkan.8
Vaksin varicella dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik
pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur
lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
Vaksin ini dikontraindikasikan untuk individu yang sedang dalam
pengobatan kortikosteroid dosis tinggi, defesiensi imun, dan demam
tinggi. 17
5. Penyuluhan tentang Ensefalitis
Penyuluhan ensefalitis bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat terutama orang tua tentang bahaya ensefalitis dan
perlunya imunisasi sebagai salah satu langkah pencegahan terjadinya
ensefalitis.
6. Pengendalian nyamuk atau surveilans melalui penyemprotan
Adanya Japanese Encephalitis seiring masih banyaknya vektor di
berbagai daerah endemis. Upaya pengendalian terhadap spesies vektor
Culex dilakukan dengan penyemprotan sistem pengasapan (thermal
fogging) menggunakan insektisida.18
7. Indikasi sectio cesario jika ibu memiliki lesi aktif herpes untuk
melindungi bayi baru lahir
Mayoritas kasus infeksi herpes simpleks pada neonatus diperoleh
pada periode perinatal. Penularan infeksi bisa didapatkan pada
kelahiran secara pervaginam. Oleh karena itu, ibu yang terinfeksi

18
herpes simpleks virus diindikasikan untuk melahirkan secara sectio
caesarea.
Sepertiga bayi dengan infeksi HSV neonatus berupa ensefalitis.
Gejala ensefalitis berupa kejang (fokal atau generalisata), letargi,
iritabilitas, tremor, suhu tubuh tidak stabil, ubun - ubun menonjol dan
gejala piramidal. Prognosis jangka panjang bayi dengan ensefalitis
sangat jelek. Sekitar 505 penderita bertahan hidup disertai retardasi
psikomotor, spastisitas, kebutaan, korioretinitis atau gangguan belajar.19

19
BAB III

KESIMPULAN

Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang


disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit. Ensefalitis paling sering
disebabkan oleh infeksi virus. Gejala klinisnya sangat bervariasi dari yang
ringan sampai yang berat. Gejala-gejala tersebut dapat berupa gelisah,
fotofobia, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang. Kadang-
kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis,
hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak.
Upaya pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan imunisasi
campak, MMR, varicella dan vaksin Japanese B Encephalitis,
pengendalian terhadap spesies vektor Culex, dan persalinan secara sectio
caesarea bagi ibu yang memiliki lesi Herpes aktif.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee GM, Freidman JF, Ross-Degnan D, Hibberd PL, Goldmann DA.


Misconception about colds and predictors of health service utilization.
Pediatrics. 111:231-236. 2003. Diakses di
http://pediatrics.aappublications.org/content/111/2/231.full.pdf

2. Scott B Halstead. Arboviral Infections. In:Kliegman RM, Stanton BF, Geme


JW, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson textbook of pediatrics. 21 ed.
Philadelphia; Elsevier Inc: 2019. h. 7052-064.

3. WHO. A review of literature on healthy environment for the children in the


eastern mediterranean region: status of children lead exposure. 2005. Diakses
di http://www.emro.who.int/dsaf/dsa 516.pdf.

4. Kari IK, Liu W, Gautama IMK, Subrata IK, Xu ZY. Clinical profiles and
some associated factors of Japanese encephalitis in Bali. Paediatr Indonesia.
2006;46(1-2):13-9

5. Departemen Kesehatan RI. Japanese Enchpalitis berkolerasi dengan


banyaknya area persawahan, peternakan babi, dan burung rawa. 2017. Di
akses di www.depkes.go.id

6. Beig FK, Malik A, Rizvi M, Acharya D, Khare S. Etiology and clinic-


epidemiologycal profile of acute viral encephalitis in children of Western
Uttar Pradesh, India. Int J Infect Dis 2010; 141-6.

7. James SH, Kimberlin DW. Neonatal herpes simplex virus infection. Infect
DisClin North Am. 2015;29:391-3

8. Rudolph, Abraham M, et al. 2007. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Ed. 20. ECG:
Jakarta.

9. CDC (Japanese Encephalitis information page) http:


www.cdc.gov/japaneseencephalitis/vaccine/vaccineChildren.html

10. Dubischar KL, Kadlecek V, Sablan JB, Borja-Tabora CF, Gatchalian S, Eder-
Lingelbach S, et al. Immunogenicity of the inactivated Japanese encephalitis

21
virus vaccine Ixiaro in children from a Japanese encephalitis virus-endemic
region. Pediatr Infect Dis J. 2017 Sep;36(9):898–904.

11. Venkatesan A, Tunkel AR, Bloch KC, et al. Case definitions, diagnostic
algorithms, and priorities in encephalitis: consensus statement of the
international encephalitis cosortorium. Clin Infect Dis. 2013;57:1114-28.

12. Hay WW, Levin MJ, Sondherimer JM, Deterding RR, 2018. A Lange
Medical Book, Current Diagnosis & Treatment Pediatric, 24 edition, The
McGraw-Hill Medical Companies, Inc,

13. IDAI, 2017 Imunisasi Campak – Rubella (MR). [online]. Avaliable at:
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/imunisasi-campak-rubella-mr
[Accessed 17 Oktober 2019].

14. Centers for Disease Control and Prevention Recommendations of thee


Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).

15. Hui-Lan Chen, Jia-Kan Chang, Ren-Bin Tang. Current recommendations for
the Japanese encephalitis vaccine. 2015. Journal of the Chinese Medical
Association. p271-275

16. Hills SL, Walter EB, Atmar RL, Fischer M. Japanese encephalitis vaccine:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Recomm Rep. 2019. In press.

17. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri
2017,2 (1):43-7.

18. WHO. Vector Control for DBD and Other Mosquito-Borne Diseases. WHO
Technical Report Series. No.857:63.

19. Stankiewicz Karita, H. C., Moss, N. J., Laschansky, E., Drolette, L., Magaret,
A. S., Selke, S., … Wald, A. (2017). Invasive Obstetric Procedures and
Cesarean Sections in Women With Known Herpes Simplex Virus Status
During Pregnancy. Open forum infectious diseases, 4(4), ofx248.
doi:10.1093/ofid/ofx248

22

Anda mungkin juga menyukai