Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN

JOURNAL READING

“Viral meningitis: an overview”

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Klinik


Stase Ilmu Penyakit Saraf

Oleh:

Wiriatul Hasanah

019.06.0092

Pembimbing
dr. I Wayan Tunjung Sp. S

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK


SMF NEUROLOGY RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2024

1
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
segala limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Jurnal Reading yang
berjudul “Viral meningitis: an overview”
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan penjelasan
tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang menjalani
preklinik di RSUD Kota Mataram.

Mataram, 31 Januari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I ISI JURNAL 1


1.1 Pendahuluan 1
1.2 Epidemiologi 1
1.3 Manifestasi dan Gejala Klinis 5
1.4 Patogenesis 8
1.5 Family Piconaviridae 9
1.6 Managemen 15
1.7 Kesimpulan 17
BAB II KAJIAN JURNAL 18
2.1 Identitas Jurnal 18
2.2 Analisa PICO Pada Jurnal 18
BAB III KRITISI JURNAL19
BAB IV PENUTUP 24
4.1 Kesimpulan 24
DAFTAR PUSTAKA 25

iii
ABSTRAK

Meningitis adalah suatu kondisi serius yang memengaruhi sistem saraf pusat. Ini
adalah peradangan pada selaput meningen, yang merupakan selaput yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Meningitis dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, atau jamur. Banyak virus, seperti enterovirus, virus herpes,
dan virus influenza, dapat menyebabkan gangguan neurologis ini. Namun,
enterovirus telah ditemukan sebagai penyebab utama sebagian besar kasus
meningitis virus di seluruh dunia. Dengan beberapa pengecualian, manifestasi
klinis dan gejala yang terkait dengan meningitis virus serupa untuk agen penyebab
yang berbeda, yang membuatnya sulit untuk mendiagnosis penyakit ini pada tahap
awal. Patogenesis meningitis virus tidak didefinisikan dengan jelas, dan penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan perawatan kesehatan pasien dalam hal
diagnosis dan manajemen dini. Artikel ulasan ini membahas agen penyebab yang
paling umum, epidemiologi, gambaran klinis, diagnosis, dan patogenesis
meningitis virus.

iv
BAB I
ISI JURNAL

1.1 Pendahuluan
Meningitis adalah peradangan yang mempengaruhi tiga lapisan membran
pelindung yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang, yang disebut
meninges. Lapisan luar meninges disebut dura mater, diikuti oleh arachnoid mater
dan pia mater. Dua lapisan dalam (arachnoid dan pia mater) juga disebut
leptomeninges dan dipisahkan oleh ruang subarachnoid, yang berisi cairan
serebrospinal (CSF). Meningitis aseptik, juga dikenal sebagai penyakit virus yang
lambat, menjadi pembahasan yang menarik pada awal tahun 1950-an, ketika
dianggap sebagai masalah potensial untuk penyakit sistem saraf kronis. Bakteri
adalah agen penyebab meningitis yang paling umum. Namun, virus, jamur, dan
agen non-infeksius seperti obat-obatan juga dapat menyebabkan meningitis.
Patogen dapat mencapai CSF melalui penyebaran hema-togenous melalui dua
mekanisme utama: 1) dengan menginfeksi sel-sel kekebalan tubuh, yang pada
gilirannya membawa patogen ke sistem saraf, dan 2) dengan melintasi kapiler
darah dan masuk ke CSF sebagai patogen bebas. Istilah meningitis aseptik
digunakan untuk menggambarkan peradangan meninges yang disebabkan oleh
patogen selain bakteri penghasil nanah. Meningitis virus adalah jenis meningitis
aseptik yang paling umum dan biasanya menyerang anak-anak. Enterovirus (EV)
adalah agen penyebab meningitis virus yang paling umum, dengan perkiraan
75.000 kasus baru setiap tahunnya di Amerika Serikat. Di sini, kami memberikan
gambaran umum tentang meningitis virus dan agen penyebabnya yang paling
umum serta patogenesisnya. Kami juga membahas aspek epidemiologi, diagnosis,
dan manifestasi klinis penyakit ini.

1.2 Epidemiologi
Meningitis virus terjadi sepanjang tahun, tetapi paling sering terlihat pada
musim panas dan musim gugur. Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris
antara tahun 2011 dan 2014 menunjukkan bahwa kejadian meningitis virus

1
adalah 2,73 per 100.000, dengan jumlah kasus terbesar disebabkan oleh
enterovirus non-polio. Penelitian lain di Inggris menunjukkan bahwa kejadian
meningitis virus yang disebabkan oleh EV dan human parechovirus (HPeV) dua
kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan meningitis bakteri. Selain itu,
sebuah penelitian yang dilakukan di Denmark menunjukkan hal yang serupa
dengan enterovirus non-polio menjadi yang paling banyak ditemukan sebagai
agen penyebab. Mereka juga menunjukkan bahwa kejadian meningitis aseptik
menurun dengan bertambahnya usia (58,7 per 100.000 setelah lahir, 38,7 per
100.000 pada anak usia 6 bulan bayi, dan 15,6 per 100.000 pada anak berusia 5
tahun). (Tabel 1). Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan di Cina
menemukan bahwa meningitis virus yang disebabkan oleh EV-71 menyumbang
sekitar 55,2% dari gangguan neurologis. Di Afrika Selatan, anak-anak berusia
kurang dari 10 tahun merupakan 87,3% dari mereka yang terkena wabah
meningitis aseptik di mana patogen yang bertanggung jawab adalah
coxsackievirus A9. Di Australia (2001-2004), 56% dari pasien yang termasuk
dalam sebuah penelitian menderita meningitis virus, di mana E-30 (36,4%),
coxsackievirus-B (19,6%), dan EV-71 (13,1%) adalah virus yang paling sering
ditemukan. Agen virus yang baru-baru ini terdeteksi menyebabkan meningitis
dilaporkan dalam sebuah studi kasus pada seorang pria berusia 24 tahun dari
Jepang yang menderita meningitis aseptik yang disebabkan oleh SARS-CoV-2,
yang ditunjukkan dengan melakukan tes RT-PCR pada sampel CSF dari pasien.
Laporan kasus ini menunjukkan potensi neuroinvasif yang mungkin terjadi
SARS-CoV-2 dan potensinya untuk menyebabkan komplikasi sistem saraf pusat
seperti meningitis (Tabel 1 dan 2).
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi epidemiologi
meningitis virus di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) (Tabel 3).
Berdasarkan penelitian sebelumnya di wilayah Teluk antara tahun 2000 dan 2005,
37% kasus meningitis di Uni Emirat Arab (UEA) disebabkan oleh infeksi virus,
dengan tingkat kematian sebesar 3%. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa
anak-anak dan dewasa muda adalah kelompok usia yang paling banyak terkena
dampaknya. Dalam penelitian lain dari Kuwait, ditunjukkan bahwa 387 pasien

2
(terutama pasien anak-anak) menderita meningitis aseptik, dengan agen virus
yang paling umum adalah echovirus 9 (E-9), E-11 dan E-30, yang menyumbang
sebesar 24% dari kasus yang ada. Di Qatar, diperkirakan kejadian meningitis
virus dari tahun 2011 hingga 2015 adalah 6,4 per 100.000, dengan sebagian besar
kasus adalah anak-anak yang terinfeksi EV. Selain itu, sebuah penelitian selama
tiga tahun (2013-2015) di Mesir menunjukkan bahwa 573 dari 1337 kasus
meningitis (42,86%) disebabkan oleh infeksi virus. Selain itu, persentase yang
lebih tinggi dari meningitis virus dilaporkan di Yordania, mencapai 83% dari
semua kasus meningitis antara tahun 2001 dan 2004, dan 81% pada tahun 2014.
Dalam sebuah penelitian selama dua tahun di Gaza (2013-2014), 72% kasus
meningitis diklasifikasikan sebagai meningitis virus, yang sebagian besar
disebabkan oleh infeksi EV (35%). Sebuah penelitian lain di Palestina pada kasus
meningitis aseptik EV-positif menemukan bahwa kelompok usia yang paling
banyak terkena dampaknya adalah anak-anak berusia kurang dari satu tahun,
yaitu 64%. Selain itu, 58% kasus terdeteksi pada musim semi dan musim panas,
sementara 42% terdeteksi pada musim gugur dan musim dingin. Menurut
Kementerian Kesehatan Palestina, kejadian meningitis aseptik adalah 6,8 per
100.000 di Tepi Barat dan 247 per 100.000 di Jalur Gaza. Lebih lanjut, sebuah
penelitian di Lebanon menunjukkan bahwa 82,7% subjek penelitian didiagnosis
dengan meningitis virus, sementara hanya 17,3% yang didiagnosis dengan
meningitis bakteri. Di Mesir, dari 250 kasus meningitis yang dikonfirmasi, 17
kasus disebabkan oleh agen virus, dan virus yang paling sering ditemukan adalah
EV, virus herpes simpleks (HSV), dan virus varicella zoster (VZV). Penelitian
lain di Mesir yang dilakukan pada pasien anak dengan meningitis aseptik
menemukan bahwa 56% kasus disebabkan oleh EV.

3
Tabel 1. Epidemiologi meningitis virus pada anak-anak di seluruh dunia
Negara Tahun Jumlah kasus Insiden Penyebab umum Gejala umum

Denmak 1977-2001 1642 kasus 38.7 per Mumps dan non- -


100.000 polio enteroviruses
Fiji (south pacific) 2004-2007 12 (17.1%) - EV Demam

USA 2005-2011 7618 kasus - EV Demam dan


nyeri kepala
Cina 2013 74 (55.2%) - EV-71 Demam kejang
mioklonik
Inggris 2014-2015 703 kasus EV = 0.79 EV dan HPeV Kejang, iritabel
per 1000
HPeV =
0.04 per
1000

Tabel 2. Epidemiologi meningitis virus pada orang dewasa di seluruh dunia


Negara Tahun Jumlah kasus Penyebab umum Gejala umum

Yunani 2003-2006 36 (44.4%) EV, VZV, dan HSV-2 -

Korea selatan) 2008-2013 96 (54.2%) EV, VZV, Demam dan nyeri kepala

Itali 2002-2006 162 (80%) - Demam dan nyeri kepala

Inggris 2011-2014 638 (67%) Non-polio Nyeri kepala dan fotopobia


enterovirus
Finlandia 1999-2003 95 (66%) EV Nyeri kepala dan fotofobia

4
Tabel 3. Epidemiologi meningitis virus di wilayah MENA
Negara Tahun Jumlah kasus Penyebab umum Gejala umum

Jordania 1999 32 kasus E-9 dan Coxsackievirus Demam dan muntah


2001 474 kasus B4 Demam
2014 463 kasus - Demam
-
Mesir) 2007 17 (6.8%) EV dan HSV -
2010-2012 100 kasus EV Demam dan
meningeal sign
Kuwait 2003-2006 387 kasus E-9, E-11 dan E-30 Demam

UEA 2000-2005 34 (372%) - Demam dan kaku


leher
Qatar 2011-2015 411 (74.7%) EV Demam dan nyeri
kepala
Palestina 2013-2014 80 (62%) EV Demam dan muntah
2012-2015 356 kasus EV-B Demam dan nyeri
kepala

1.3 Manifestasi dan Gejala. Klinis


Meskipun etiologi meningitis dapat bervariasi, gejalanya biasanya serupa.
Faktanya, tanda dan gejala meningitis dapat mirip dengan penyakit lain seperti
ensefalitis atau abses otak, dan oleh karena itu, meningitis virus dapat salah
didiagnosis. Ada sejumlah faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan
kerentanan seseorang untuk tertular meningitis virus, termasuk imunitas yang
terganggu, usia, riwayat perjalanan, dan infeksi HIV. Selama lebih dari 100
tahun, meningitis dinilai dari adanya Brudzinski sign, Kering sign, atau kaku
kuduk, yang merupakan tes di samping tempat tidur yang paling terkenal yang
digunakan oleh dokter untuk menilai apakah pasien harus menjalani pungsi
lumbal. Brudzinski sign diidentifikasi ketika kekakuan leher yang parah
menyebabkan lutut dan pinggul menekuk ketika leher ditekuk. Kernig sign
diidentifikasi ketika ada resistensi atau rasa sakit ketika lutut pasien ditekuk
hingga sudut 90 derajat dan kaki diluruskan secara perlahan oleh dokter.
Meskipun tanda-tanda ini digunakan secara luas, penelitian telah menunjukkan

5
bahwa akurasi diagnostik dari penilaian fisik ini tidak berbeda secara signifikan
antara kasus meningitis dan kasus normal. Oleh karena itu, disarankan agar
pasien yang dicurigai menderita meningitis menjalani pungsi lumbal tanpa
memandang adanya meningeal sign. Pasien dengan meningitis biasanya
menderita demam, menggigil, sakit perut, nausea, dan sakit kepala. Manifestasi
lain dari penyakit ini termasuk napas pendek dan cepat, kehilangan nafsu makan,
leher terasa kaku dan nyeri, serta sensitivitas terhadap cahaya terang. Selain itu,
kesulitan dalam fokus atau berkonsentrasi serta penglihatan yang kabur juga
dapat dikaitkan dengan meningitis dan dapat berlanjut setelah pemulihan. Ruam
kulit juga diamati pada beberapa jenis meningitis dan dianggap sebagai tanda
akhir dari meningitis bakteri, di mana patogen dalam darah menargetkan sel-sel
kapiler, yang menyebabkan kerusakan. Anak-anak biasanya lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami komplikasi meningeal dan biasanya datang
dengan penyakit yang tidak spesifik, yang membuat meningitis lebih mungkin
untuk salah didiagnosis pada anak-anak.
Diagnosis meningitis dimulai dengan pemeriksaan fisik dan peninjauan
riwayat kesehatan pasien untuk mengetahui tanda-tanda yang disebutkan di atas.
Sebuah teknik pemeriksaan fisik yang baru-baru ini dan kurang dikenal yang
telah dikembangkan untuk menilai iritasi meningeal dikenal sebagai jolt
accentuation of headache. Sebuah tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Iguchi
dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa aksentuasi sentakan dapat digunakan
dalam keadaan darurat untuk menyingkirkan meningitis. Namun, sensitivitas dan
spesifisitas gabungan dari tes ini (masing-masing 65,3% dan 70,4%) dianggap
rendah, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai kegunaannya. Untuk
menguji agen etiologi, diperlukan pungsi lumbal dan pengumpulan CSF.
Prosedur ini dilakukan saat pasien dalam posisi berbaring atau duduk, dan jarum
berlubang disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid antara vertebra L3, L4 atau
L5, di mana CSF disedot. CSF kemudian diuji untuk menentukan jumlah sel
darah merah dan leukosit serta kadar glukosa dan protein. Jumlah sel biasanya
membantu dalam membedakan berbagai jenis meningitis. Sebagai contoh, jumlah
WBC yang tinggi (≥ 500 sel/μl) dengan proporsi neutrofil yang besar (>80%)

6
biasanya ditemukan pada meningitis bakteri. Lebih lanjut, pada meningitis
bakterialis, kadar glukosa CSF biasanya tidak melebihi (300 mg/dL), tetapi
penurunan rasio glukosa CSF/darah (<0,4), dan peningkatan kadar protein (1 g/l)
merupakan indikasi meningitis bakterialis. Selain itu, konsentrasi asam laktat (≥
4,2 mmol/l) dapat digunakan untuk membedakan antara meningitis virus dan
bakteri dengan spesifisitas 100%. Pewarnaan Gram dan kultur bakteri adalah alat
diagnostik utama untuk mengidentifikasi infeksi bakteri, dan meningitis virus
dicurigai ketika pewarnaan Gram dan kultur CSF negatif. Pada meningitis virus,
jumlah WBC biasanya berkisar antara 80 dan 100 sel/μl (pleocy- tosis), dengan
sebagian besar limfosit (>80%). Selain itu, kadar glukosa dan protein biasanya
tetap normal. Pleositosis umumnya dianggap sebagai kriteria penting untuk
diagnosis meningitis virus. Namun, sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa pleositosis sering tidak teramati pada kasus meningitis EV yang
melibatkan bayi (38% atau anak anak (39%), atau ketika pungsi lumbar
dilakukan pada tahap awal penyakit. Alasannya tidak diketahui, tetapi mungkin
dijelaskan oleh ketidakmatangan sistem kekebalan pada anak kecil. Adanya
pleositosis neutrofil biasanya merupakan indikasi meningitis bakteri daripada
meningitis virus. Namun, telah ditemukan bahwa 25% pasien dengan kelainan
SSP yang disebabkan oleh agen virus memiliki pleositosis neutrofil. Selain itu,
sebuah penelitian menunjukkan bahwa 47% subjek penelitian dengan meningitis
enterovirus memiliki pleositosis neutrofil.
Alat standar emas untuk diagnosis meningitis virus adalah polymerase chain
reaction (PCR), yang mendeteksi dan mengkuantifikasi DNA atau RNA virus
dalam CSF pasien. Sebuah studi tentang kasus meningitis EV positif pada pasien
anak menunjukkan bahwa pengujian sampel CSF dengan real time PCR (RT-
PCR) menghasilkan sensitivitas 100%, dibandingkan dengan sensitivitas hanya
38% ketika menggunakan kultur virus. Demikian pula, dalam sebuah studi kasus
meningitis positif HPeV, sensitivitas 100% dicapai dengan RT-PCR, sementara
kultur virus gagal mendeteksi virus. Sebuah laporan kasus baru-baru ini
menggambarkan bayi baru lahir berusia 9 hari yang dirawat di unit gawat darurat
dengan gejala demam dan iritabilitas yang tidak spesifik. Analisis molekuler (RT-

7
PCR dan sekuensing) menunjukkan bahwa pasien tersebut positif EV
(khususnya, E-25) dan didiagnosis meningitis virus. Namun, karena mendapatkan
CSF sulit, spesimen alternatif, seperti darah, usap tenggorokan atau hidung, atau
sampel tinja dapat digunakan sebagai gantinya, terutama dalam kasus-kasus yang
dicurigai sebagai infeksi EV. Di sisi lain, diagnosis virus mump, herpesvirus,
arbovirus, dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dapat dilakukan
dengan menggunakan tes serologis, meskipun hasilnya mungkin negatif pada
tahap awal penyakit. Oleh karena itu, sampel kedua harus diperoleh setelah dua
minggu dan diuji lagi untuk mengetahui keberadaan agen virus. Next generation
sequencing (NGS) baru-baru ini digunakan dalam sejumlah penelitian untuk
mendeteksi berbagai macam patogen, termasuk virus, kemungkinan penerapan
teknik ini sebagai alat diagnostik pada kasus meningitis masih belum jelas, dan
penelitian lebih lanjut diperlukan.

1.4 Patogenesis
Patogenesis meningitis virus dimulai ketika agen penyebab memasuki inang
melalui sekresi pernapasan atau melalui rute fecal-oral untuk menyebabkan
infeksi primer pada saluran pernapasan atau saluran pencernaan. Hal ini diikuti
oleh infeksi sekunder pada sistem saraf pusat, menyebabkan meningitis atau
masalah neurologis lainnya. Infeksi virus pada SSP dapat terjadi melalui
mekanisme yang berbeda, seperti infeksi epitel pleksus koroid, infeksi jaringan
limfoid, induksi peradangan dan kerusakan sawar darah-otak (BBB), dan infeksi
jalur saraf sensorik perifer (Gbr. 1). Setelah agen virus memasuki SSP,
peningkatan kadar kemoatraktan, neutrofil, sel T CD8, dan monosit terdeteksi,
yang mengindikasikan induksi respons imun . Satu studi yang menggunakan
model meningitis virus murine di mana tikus diinfeksi dengan virus limfositik
choriomeningitis (LCMV) menunjukkan peningkatan kadar IL-6 dan INF-γ
dalam CSF. Penelitian lain menunjukkan peningkatan kadar IL-1β (sitokin pro-
inflamasi) pada pasien dengan meningitis aseptik. Oleh karena itu, respon imun
inflamasi yang kuat diinduksi selama meningitis aseptik dan memainkan peran
penting dalam patogenesis penyakit ini. Namun, patogenesis meningitis aseptik

8
tidak dipahami dengan baik, dan sulit untuk dipelajari karena keterbatasan data.
Selain itu, hal ini dipersulit oleh fakta bahwa sebagian besar kasus meningitis
virus tidak terdeteksi, dan kasus-kasus fatal muncul sebagai sindrom ensefalitis
yang parah, bukan meningitis. Penelitian di bidang ini diperlukan untuk
mengembangkan dan meningkatkan intervensi terapeutik terhadap penyakit ini

Gbr. 1 Presentasi skematis dari ciri-ciri umum patogenesis meningitis virus

1.5 Family Picornaviridae


1.5.1 Enterovirus (EV)
Infeksi dengan EV dapat menyebabkan hasil klinis yang berbeda, seperti
penyakit pernapasan, hepatitis, pankreatitis, miokarditis, dan penyakit tangan,
kaki, dan mulut (HFM. Enterovirus dapat ditularkan melalui sekresi pernapasan
atau melalui rute fecal-oral. Mereka juga dapat mengalami penularan vertikal
dari ibu yang terinfeksi ke bayinya dengan melintasi plasenta atau melalui
menyusui. Ketika virus memasuki tubuh, virus bereplikasi terutama di sel
epitel nasofaring dan mukosa orofaring dan usus. Dalam kebanyakan kasus,
virus memasuki tubuh melalui rute oral-tinja hingga mencapai saluran
pencernaan bagian bawah (GI), di mana ia berikatan dengan reseptor spesifik
pada permukaan enterosit dan melintasi lapisan usus, mencapai Pactches of

9
Peyer, di mana ia melanjutkan replikasinya. Untuk pemahaman yang lebih baik
tentang patogenesis meningitis, penting untuk menyelidiki interaksi antara sel
yang terinfeksi EV dan perkembangan penyakit neurologis, karena setiap sel
menghasilkan respons yang berbeda saat terinfeksi. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa EV menginfeksi sel saraf yang berbeda, seperti sel glia
dan astrosit. Sebagai contoh, EV-71 dan coxsackievirus B telah terdeteksi pada
sel progenitor saraf yang belum berdiferensiasi pada tikus setelah infeksi.
Selain itu, galur EV-D68 mampu menginfeksi dan bereplikasi dalam garis sel
neuroblastoma manusia dan kultur neuron kortikal pascakelahiran, tetapi galur
non-neurotropik tidak. Selain itu, virus dapat mencapai aliran darah dengan
menginfeksi sel-sel kekebalan tubuh dan menyebabkan infeksi sekunder di
tempat lain, seperti jantung dan SSP. Penyebaran virus ini menyebabkan
komplikasi yang berbeda, seperti meningitis dan ensefalitis.
Coxsackievirus B, anggota spesies Enterovirus B, diketahui menyebabkan
meningitis dan gangguan neurologis lainnya. Rute yang diusulkan untuk
masuknya coxsackievirus ke SSP adalah melalui sel mononuklear yang
terinfeksi (Mac-3) yang dapat menembus BBB dan menginvasi pleksus koroid,
yang memungkinkan penyebaran virus ke dalam SSP. Hal ini menyebabkan
aktivasi kinase yang diatur oleh sinyal ekstraseluler 1 dan 2 (ERK-1/2), yang
kemudian mendorong replikasi virus di dalam leukosit, terutama sel T. Studi
lain menunjukkan bahwa virus ini bereplikasi dalam monosit, sel T, dan sel B
selama fase viremia dan bahwa tingkat kerentanan sel kekebalan terhadap
infeksi menghalangi tingkat keparahan kerusakan organ sekunder, seperti
menyebabkan meningitis parah setelah mencapai SSP. Lebih lanjut, analisis
jaringan otak yang diperoleh dari tikus yang lahir dari ibu yang diinokulasi
dengan coxsackievirus B4 menunjukkan tanda-tanda meningitis dan akumulasi
sel imun (terutama sel T) dan peningkatan sekresi sitokin inflamasi dan
kemokin (IL6, TNF-α, IFNα, dan MCP-1). Echovirus, seperti E-6, E-9, E-11,
E-13, E-19, dan E-30 juga termasuk dalam spesies Enterovirus B dan
umumnya diketahui terkait dengan meningitis virus pada anak-anak. Penelitian
yang berbeda telah menunjukkan bahwa echovirus menggunakan jenis integrin

10
khusus (α2 β1, very late antigen 2 [VLA- 2]) dan faktor pemercepat peluruhan
sebagai reseptor untuk menginfeksi sel inang yang menyebabkan meningitis
dan penyakit demam. Dalam sebuah penelitian oleh Lee et al. tentang
meningitis aseptik, ditemukan bahwa E-30 mempengaruhi protein triple
functional domain (TRIO), yang menyebabkan kerusakan saraf (Gbr. 2). E-30
dapat menyebabkan kerusakan saraf dengan memodulasi fungsi protein TRIO.
Pada jalur pertama, virus mempengaruhi fungsi domain faktor pertukaran
guanin 2 (GEFD2), yang menghasilkan aktivasi anggota keluarga Ras
homologi A (RhoA), protein pensinyalan GTPase. Hal ini mengaktifkan jalur
pensinyalan ROCK dan MLC. Rangkaian peristiwa ini mengarah pada
pembentukan aktin dan peningkatan kadar oksida nitrat, yang mengakibatkan
komplikasi SSP.
Enterovirus D68 (EV-D68) adalah anggota yang paling umum dari spesies
Enterovirus D yang ditemukan terkait dengan perkembangan meningitis
aseptik. EV-D68 dapat menyebabkan komplikasi SSP pada anak-anak,
umumnya meningitis dan kelumpuhan lembek. Patogenesis EV- D68 sangat
berbeda dari enterovirus lainnya, karena ini adalah virus pernapasan. Ketika
virus memasuki saluran pernapasan bagian atas (URT), virus ini berikatan
dengan reseptor asam N-asetilneuraminat α2,6-galaktosa yang ditemukan pada
permukaan sel epitel. Reseptor ini dominan di saluran pernapasan bagian atas
(URT), yang dapat menjelaskan penyebaran virus yang terbatas dan
perkembangannya yang jarang terjadi pada komplikasi neurologis, seperti
meningitis. Juga telah ditemukan bahwa virus ini berikatan dengan reseptor
seluler ICAM-5 / telencephalin, yang diekspresikan dalam dendrit dan
beberapa neuron, untuk masuk ke dalam sel. Selain itu, EV-D68 dapat
mencapai SSP melalui pengikatan pada reseptor fungsional saraf penciuman di
rongga hidung. Neuropatogenesis EV-D68 dan kemampuannya untuk
menginfeksi sel neuron dapat menyoroti hubungan potensial antara infeksi EV-
D68 dan meningitis aseptik.

1.5.2 Human Parekovirus Virus (HPeV)

11
HPeV dapat ditularkan dari orang ke orang melalui sekresi dan air liur,
yang terutama menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Namun, HPeV juga
dapat menyebabkan penyakit neurologis, seperti meningitis dan ensefalitis,
terutama pada anak-anak. HPeV-3 adalah jenis HPeV yang paling sering
dikaitkan dengan meningitis virus. Selain itu, telah ditemukan bahwa HPeV-3
A. Kohil et al menggunakan situs pengikatan reseptor RBS selain motif urutan
asam arginin-glisin-glutamat pada ujung karboksil VP (protein kapsid) yang
digunakan oleh serotipe HPeV lainnya. Hingga saat ini, tidak ada reseptor yang
telah diidentifikasi untuk HPeV-3 yang dapat menjelaskan tropisme yang
berbeda. Faktanya, kurangnya reseptor di saluran pernapasan mungkin
menjelaskan mengapa HPeV-3 umumnya menyebabkan meningitis dan sepsis
neonatal, sementara HPeV-1 menyebabkan penyakit pernapasan dan
gastrointestinal.

Gbr. 2 Echovirus 30 memengaruhi protein TRIO, yang menyebabkan


kerusakan saraf dan komplikasi SSP.
1.5.3 Family Herpesviridae
Anggota utama keluarga Herpesviridae yang dapat menyebabkan
meningitis termasuk human herpesvirus 1 dan 2 (HSV-1 dan HSV-2), virus
varicella-zoster (VZV), dan virus Epstein-Barr (EBV). Konsekuensi neurologis
utama dari HSV adalah ensefalitis dan meningitis. Semua virus ini diketahui
menyebabkan meningitis dan dapat menimbulkan infeksi laten pada neuron,

12
yang dapat diaktifkan kembali. Empat glikoprotein pada HSV-1 dan HSV-2
penting untuk masuknya virus (gB, gD, gH, dan gL); namun, pengikatan sel
dimediasi oleh hanya dua glikoprotein, gB dan / atau gC, yang berikatan
dengan heparan sulfat permukaan sel. Tiga reseptor seluler yang diketahui telah
diidentifikasi untuk HSV: 1) mediator masuknya virus herpes (HVEM), 2)
anggota superfamili imunoglobulin, dan 3) heparan sulfat yang dihasilkan oleh
isoform tertentu dari 3-O-sulfotransferase. HVEM hadir di permukaan berbagai
jenis sel, termasuk sel epitel dan neuron. Oleh karena itu, masuknya virus
melalui reseptor ini disarankan pada meningitis. Patogenesis EBV dimulai
ketika virus menginfeksi sel epitel orofaring. Kemudian menyebar ke jaringan
limfoid dan menginfeksi sel limfoid, terutama sel B. Pada populasi sel B yang
terinfeksi, virus dapat bersifat laten atau, lebih jarang, litik. Pada tahap laten,
virus terutama mengekspresikan EBNA (antigen nuklir Epstein-Barr) dan LMP
(protein membran laten). Virus ini juga dapat menginfeksi sel endotel
pembuluh darah di otak, menyebabkan infeksi laten. Ketika otak mengalami
stres, virus dapat diaktifkan dan ekspresi sitokin dan kemokin yang berbeda,
seperti IL-1, TNF-α, IL-12 dan IL18 meningkat, yang mengakibatkan respons
inflamasi.
1.5.4 Family Orthomyxoviridae
Virus influenza pada manusia sering menyebabkan pneumonia dan
sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), tetapi pada kesempatan yang
jarang terjadi, virus influenza dapat menyebabkan penyakit di luar pernapasan,
termasuk meningitis, ensefalitis, meningoencephali-tis, dan myelitis. Penelitian
telah menunjukkan bahwa virus influenza memasuki sistem saraf pusat melalui
jalur penciuman [90] dan saraf kranial lainnya. Biasanya, virus berikatan
dengan α2,6-linked sialic acid dan α2,3-linked sialic acid yang ditemukan pada
sel epitel saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Namun, sebuah penelitian
menunjukkan bahwa α2,6-linked sialic acid dan α2,3-linked sialic acid reseptor
juga ditemukan pada neuron korteks serebral dan batang otak. Secara kolektif,
hal ini dapat menjelaskan penyebaran virus influenza ke SSP, di mana virus ini
berpotensi menyebabkan berbagai sindrom neurologis, seperti meningitis.

13
1.5.5 Arbovirus
Beberapa arbovirus dari keluarga yang berbeda telah dikaitkan dengan
infeksi SSP dan perkembangan meningitis. Ini termasuk anggota keluarga
Flaviviridae (misalnya, virus West Nile, Togaviridae (misalnya, virus
ensefalitis kuda timur), dan Peribunyaviridae (misalnya, virus La Crosse).
Sebagian besar virus ini bersifat zoonosis dan ditularkan ke manusia melalui
arthropoda seperti nyamuk, kutu, dan lalat pasir. Arbovirus yang paling penting
yang terkait dengan komplikasi SSP adalah WNV. Dalam kasus arbovirus,
masuknya virus dapat terjadi melalui gigitan kulit dari artropoda yang
terinfeksi, yang mengakibatkan infeksi kelenjar getah bening regional, viremia,
dan menyebar ke sistem saraf pusat, yang menyebabkan meningitis.
Virus West Nile umumnya menyebabkan gangguan neuroinfeksi West Nile
(WNND), seperti meningitis aseptik, kelumpuhan, dan ensefalitis. Patogenesis
virus ini terutama bergantung pada replikasi virus di kelenjar getah bening
inang dan keratinosit kulit, yang mengakibatkan viremia primer. Virus
kemudian dapat menyebar ke lokasi sekunder seperti S S P setelah menembus
BBB. Infeksi SSP oleh WNV mengaktifkan Toll-like receptor 3, meningkatkan
konsentrasi TNF-α dan faktor proinflamasi lainnya, yang pada gilirannya
meningkatkan permeabilitas BBB dan menyebabkan kematian saraf. Oleh
karena itu, infeksi WNV dapat memicu perkembangan berbagai komplikasi
neurologis, termasukBeberapa arbovirus dari keluarga yang berbeda telah
dikaitkan dengan infeksi SSP dan perkembangan meningitis. Ini termasuk
anggota keluarga Flaviviridae (misalnya, virus West Nile [WNV]), Togaviridae
(misalnya, virus ensefalitis kuda timur), dan Peribunyaviridae (misalnya, virus
La Crosse). Sebagian besar virus ini bersifat zoonosis dan ditularkan ke
manusia melalui arthropoda seperti nyamuk, kutu, dan lalat pasir. Arbovirus
yang paling penting yang terkait dengan komplikasi SSP adalah WNV. Dalam
kasus arbovirus, masuknya virus dapat terjadi melalui gigitan kulit dari
artropoda yang terinfeksi, yang mengakibatkan infeksi kelenjar getah bening
regional, viremia, dan menyebar ke sistem saraf pusat, yang menyebabkan
meningitis. Virus West Nile umumnya menyebabkan gangguan neuroinfeksi

14
West Nile (WNND), seperti meningitis aseptik, kelumpuhan, dan ensefalitis.
Patogenesis virus ini terutama bergantung pada replikasi virus di kelenjar getah
bening inang dan keratinosit kuli, yang mengakibatkan viremia primer. Virus
kemudian dapat menyebar ke lokasi sekunder seperti S S P setelah menembus
BBB. Infeksi SSP oleh WNV mengaktifkan Toll-like receptor 3, meningkatkan
konsentrasi TNF-α dan faktor proinflamasi lainnya, yang pada gilirannya
meningkatkan permeabilitas BBB dan menyebabkan kematian saraf. Oleh
karena itu, infeksi WNV dapat memicu perkembangan berbagai komplikasi
neurologis, termasuk meningitis.

1.6 Manajemen
Meskipun pasien dengan meningitis virus biasanya tidak perlu dirawat di
rumah sakit, pengobatan harus diberikan, seperti antipiretik, antiemetik, dan
analgesik, yang dapat dikonsumsi di rumah. Namun, beberapa pasien, seperti
mereka yang menderita kejang, perlu berada di bawah pengawasan medis.
Meskipun kortikosteroid biasanya diberikan pada kasus-kasus yang dicurigai
sebagai meningitis bakteri untuk mengurangi efek inflamasi yang menyertai
penyakit ini, namun masih kurang bukti efektivitasnya terhadap meningitis virus,
dan masih diperlukan lebih banyak penelitian lebih lanjut. Pleconaril adalah obat
antivirus yang bertindak sebagai penghambat replikasi enterovirus dengan
menargetkan struktur kapsid virus. Obat ini dilisensikan sebagai terapi intranasal
untuk flu biasa, tetapi mencapai konsentrasi beberapa kali lipat lebih tinggi di
SSP, menjadikannya pengobatan yang potensial untuk penyakit yang
berhubungan dengan otak seperti meningitis. Tujuh penelitian telah menunjukkan
bahwa pleconaril memainkan peran penting dalam memperpendek perjalanan
gejala, terutama sakit kepala. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan plasebo. FDA
tidak menyetujui penggunaan obat secara oral karena obat ini menginduksi
aktivitas enzim CYP3A, yang mengakibatkan interaksi obat, terutama dengan
kontrasepsi oral.

15
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris, para peneliti menemukan
bahwa rata-rata lama rawat inap di rumah sakit adalah 4 hari untuk pasien dengan
meningitis virus dan sembilan hari untuk pasien yang mendapat terapi antivirus.
Mereka juga menyimpulkan bahwa penundaan dalam melakukan pungsi lumbal
dan perawatan yang tidak perlu dikaitkan dengan lama rawat inap di rumah sakit
dan morbiditas jangka panjang. Tidak ada pengobatan khusus yang diresepkan
untuk kasus meningitis aseptik, dan obat-obatan pendukung biasanya diberikan
untuk meminimalkan komplikasi penyakit seperti demam dan sakit kepala, dan
pemulihan penuh membutuhkan waktu 5 hingga 14 hari pada sebagian besar
kasus. Mengenai pengobatan HSV, sebuah penelitian menunjukkan bahwa terapi
antivirus pada pasien yang mengalami gangguan kekebalan tubuh dengan
meningitis yang diinduksi oleh HSV harus segera dimulai dan setiap penundaan
dalam pemberian pengobatan dapat menyebabkan perkembangan komplikasi
yang merugikan. Penggunaan asiklovir terhadap meningitis yang diinduksi HSV-
2 juga dievaluasi, dengan hasil yang lebih baik diamati pada pasien yang diobati.
Namun, seorang pasien mengalami kesulitan konsentrasi sebagai gejala
meningitis yang berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Baru-baru ini, obat
yang menjanjikan yang disebut asam psoromic (senyawa turunan lumut bioaktif)
telah ditemukan untuk menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2 dengan
menghambat protease dan polimerase DNA, yang membuatnya menjadi obat
yang memungkinkan untuk mengobati meningitis yang disebabkan oleh HSV.
Valacyclovir juga diuji dalam uji klinis untuk kemampuan penekanan
antivirusnya terhadap kekambuhan meningitis. Namun, pengobatan dengan
valasiklovir (dua kali sehari) tidak mencegah meningitis berulang dan tidak
direkomendasikan untuk tujuan ini. Beberapa vaksin telah dikembangkan untuk
beberapa virus seperti EV-71, dengan mempertimbangkan signifikansi klinisnya,
dan berbagai jenis vaksin EV-71 dirangkum dalam Tabel 4.
Baru-baru ini, vaksin partikel mirip virus EV-D68 (VLP) telah
dikembangkan. VLP terdiri dari baculovirus rekombinan yang mengekspresikan
protease 3CD dan prekursor P1. Uji klinis menunjukkan kemanjuran yang tinggi
dari vaksi ini [108]. Selain itu, V-7404 (penghambat polimerase virus) dan

16
DAS181 (sialidase) adalah obat yang baru dikembangkan untuk melawan EV-
D68. Analisis sistematis baru-baru ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus
meningitis virus memiliki hasil klinis jangka panjang yang baik dan bahwa
pasien dengan meningitis virus memiliki hasil yang lebih baik setelah keluar dari
rumah sakit dibandingkan pasien dengan ensefalitis virus.

Tabel 4 Jenis vaksin yang paling umum dikembangkan untuk melawan EV-
71
Jenis vaksin Komposisi Keuntungan
Virus-like particle SP70 epitope (EV-71) + CVA16 Sangat imunogenik dengan produksi
(VLP) struktural protein atau SP70 epitope (EV- antibodi penetral pada titer tinggi gen
71) + inti hepatitis B antigen EV71 P1 dan 3CDMenunjukkan
netralisasi genotipe
Recombinant Adenovirus (E1/E3 deleted) + EV71 P1 Mengurangi viral load dengan
vaccine and 3CD gen mengaktifkan IFN-γ, IL- 17, IL-4, dan
IL-13
Live attenuated Adenovirus (E1/E3 deleted) + EV71 P1 Menunjukkan aktivitas menetralkan
vaccine and 3CD gen terhadap A, B1, B4, C2, dan C4

1.7 Kesimpulan
Meningitis virus dianggap sebagai salah satu kondisi klinis paling umum
yang memengaruhi berbagai kelompok usia. Kondisi ini sering kali tidak
terdeteksi atau menyebabkan penyakit yang sembuh sendiri pada orang dewasa.
Namun, komplikasi yang parah dapat terjadi pada bayi dan anak- anak, termasuk
demam tinggi, keterbelakangan mental, dan bahkan kematian dalam beberapa
kasus. Banyak agen penyebab virus ditemukan yang berhubungan dengan
meningitis aseptik, seperti enterovirus, parekovirus, dan virus herpes. Oleh
karena itu, mengetahui agen penyebab paling umum yang bertanggung jawab

17
atas meningitis aseptik akan membantu dalam memahami penyakit ini dengan
lebih baik, dan karenanya memberikan dasar untuk pengembangan program
pencegahan dan pengendalian. Studi epidemiologi molekuler tentang meningitis
virus masih jarang dilakukan di banyak negara, termasuk di wilayah MENA.
Oleh karena itu, lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk memahami
etiologi dan patogenesis penyakit ini untuk mengembangkan intervensi terapeutik
baru yang akan membantu meningkatkan hasil.

BAB II

KAJIAN JURNAL
2.1 Identitas Jurnal
Penulis : Amira Kohil, Sara Jemmieh · Maria K. Smatti, Hadi M. Yassine.
Judul : Viral meningitis: an overview

Nama Jurnal : Department of Biomedical Sciences, College of Health Sciences,


QU Health, Qatar University, Doha, Qatar
Tahun Jurnal : 2020
Metode : Articel review
Doi : https://doi.org/10.1007/s00705-020-04891-1
Nomer Jurnal : -
Penerbit : -
Volume : -
Situs : -

2.2 Analisis PICO pada Jurnal


2.2.1 Population or problem
Jurnal ini merupakan jurnal review yang memaparkan problem
meningitis masih menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia. Oleh

18
karena itu penulis pada jurnal ini memberikan gambaran umum tentang
meningitis virus dan agen penyebabnya yang paling umum serta
patogenesisnya. Penulis juga membahas aspek epidemiologi, diagnosis,
dan manifestasi klinis penyakit ini.
2.2.2 Intervention
Tidak ada intervensi yang dilakukan pada jurnal ini.
2.2.3 Comparation
Tidak ada perbandingan intervensi yang dilakukan dalam jurnal
ini.
2.2.4 Outcome
Hasil yang diharapkan dalam jurnal ini ialah tenaga medis
khususnya dokter mendapat pemahaman dan pengetahuan terkait
meningitis terutama yang disebabkan oleh virus.

BAB III
KRITISI JURNAL

A. Judul
Judul jurnal pada telaah ini adalah “Viral meningitis: an overview”, yang
terdiri dari 10 kata dalam Bahasa Inggris, dimana dalam aturan penulisan karya
ilmiah, judul harus spesifik, ringkas, dan jelas terdiri atas 10-15 kata.
No Kriteria Judul Karya Ilmiah
: Kriteria Checklist Ket
1 Spesifik ✓ -
2 Menggambarkan isi jurnal ✓ -
3 Ringkas dan jelas ✓ -
4 Menarik ✓ -
5 Terdiri dari 10 – 15 kata. x 4 kata

B. Penyusun, tahun terbit, tempat publikasi dan international standard


serial number (ISSN)

19
No: Kriteria Checklist Ket
1 Penyusun ✓

2 Tahun terbit ✓

3 Tempat publikasi ✓

4 Identitas jurnal x Tidak ada nomer situs dan volume


jurnal

C. Abstrak
Dalam jurnal ini, abstrak dibuat secara singkat dalam Bahasa Inggris.
Namun, abstrak pada jurnal ini tidak megandung beberapa komponen IMRAD
(Introduction, Methods, Result, dan Discussion).
No: Kriteria Checklist Ket
1 Maksimal 250 kata ✓ -
2 Latar belakang ✓ -
3 Tujuan ✓ -
4 Metode x Tidak diperlukan
5 Hasil dan kesimpulan x Tidak diperlukan
6 Kata kunci (3-6 kata) x Tidak ada kata kunci

D. Pendahuluan
Pendahuluan yang baik menyajikan kriteria gambaran umum mengenai topik
No: Kriteria Checklist Ket
1 Latar belakang ✓ -
2 Tujuan ✓ -
3 Masalah ✓ -
4 Manfaat ✓ -

E. Metode penlitian
Jurnal ini merupakan article review yang mengumpulkan hasil penelitian
yang terkait pada fokus topik tertentu.
F. Hasil

20
Hasil yang baik menyajikan kriteria mengenai topik seperti pada tabel seperti
di bawah ini.
No: Kriteria Checklist Ket
1 Penyajian data (tekstuler, tabel, ✓ Jurnal sudah
grafik, gambar /foto) secara dilengkapi
tepat, jelas, singkat, dan relevan. gambar untuk
membantu
pembaca dalam
memahami isi
jurnal
2 Interpretasi data penelitian x -
secara
tepat, jelas, singkat, dan
informatif.
3 Analisis data : statistik dan non- x -
statistik (tepat dan akurat).

G. Pembahasan
Pembahasan yang baik menyajikan kriteria mengenai topik seperti pada tabel
di bawah ini
No: Kriteria Checklist Ket
1 Ulasan hasil berkaitan dengan x Tidak diperlukan
hipotesis (ditolak atau diterima)
2 Mengulas hasil penelitian x Tidak diperlukan
dengan hasil penelitian lain baik
yang pro
ataupun yang kontra.

H. Ucapan Terima Kasih


Tidak dituliskan dalam jurnal ini.

21
I. Daftar Pustaka
No Kriteria Judul Karya Ilmiah
: Kriteria Checklist Ket
1 Referensi relevan (minimal 20 ✓ -
buah, menimal 30% dari jurnal
ilmiah).
2 Sistem rujukan baru secara ✓ -
konsisten.
3 Sumber rujukan Pustaka terbaru ✓ -
(5 tahun terakhir).

J. Critical Apprisial Metode VIA


Dalam melakukan critical apprisial terdapat tiga parameter yang menjadi
ukuran yaitu validitas, important dan aplikabilitas. Adapun tingkat validitas sisi
important dan aplikabilitas dalam jurnal ini sebagai berikut (Arikunto, 1999;
Aschengrau, 2008):
1. Validitas
Artikel ini merupakan article review sehingga memiliki validitas yang
lemah. Berbeda dengan tinjauan sistematis dan meta-analisis, artikel ini tidak
memiliki metode pemilihan jurnal yang sistematis, tidak memiliki metode
critical appraisal dari setiap jurnal yang digunakan guna mengetahui kualitas
jurnal yang digunakan sebagai referensi, tidak memiliki kriteria inklusi dan
eksklusi, tidak membahas secara detail setiap jurnal/penelitian yang digunakan
(terkait sampel, usia, kriteria inklusi/eksklusi dsb).
2. Importance
Importance merupakan bagian untuk menentukan seberapa akurat hasil
penelitian. Artikel ini tidak memiliki meta-analisis guna mengetahui seberapa
homogen hasil dari setiap penelitian yang digunakan sebagai rujukan dalam
artikel ini. Selain itu, meta-analisis berguna untuk menentukan interval

22
kepercayaan yang digunakan sebagai acuan menentukan akurasi hasil
penelitian. Oleh karena itu, tingkat importance artikel ini tergolong lemah.
3. Applikabilitas
Applicabilitas adalah bagaimana kharakteristik hasil penelitiaan yang
digunakan untuk diterapkan pada kondisi yang sesungguhnya. Penilaian
aplikabilitas dalam jurnal dilakukan untuk menentukan kemungkinan
penerapan hasil pada pasien di skenario serta menentukan potensi keuntungan
dan kerugian pasien (Dragalin et all, 2001; Duarsa, 2020)
Sebuah article review (bukan tinjauan sistematis dan meta-analisis) tidak
cukup kuat digunakan sebagai dasar (evidence based) praktik klinis pada
pasien

K. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal


1. Kelebihan jurnal
Adapun beberapa kelebihan jurnal ini antara lain:
1. Jurnal ini telah menjelaskan secara cukup sistematis apa itu pengakit
meningitis virus terutama yang disebabkan oleh virus beserta dengan
gejala klinis, pemeriksaan hingga managemen yang diperlukan
2. Jurnal ini turut menampilkan gambar ilustrasi pada patogenesis
sehingga memudahkan pembaca dalam memahami isi jurnal.
3. Penjelasan yang digunakan dalam jurnal ini cukup lugas dan mudah
untuk dipahami.
2. Kekurangan Jurnal
Adapun beberapa kekurangan dalam jurnal ini adalah:
1. Dalam jurnal ini, tidak dijelaskan terkait dengan cara mendiagnosis
dan diagnosis banding dari penyakit insufisiensi meningitis, sehingga
membutuhkan referensi lain untuk melengkapinya.

23
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Meningitis virus dianggap sebagai salah satu kondisi klinis paling umum yang
memengaruhi berbagai kelompok usia. Kondisi ini sering kali tidak terdeteksi atau
menyebabkan penyakit yang sembuh sendiri pada orang dewasa. Oleh karena itu,
mengetahui agen penyebab paling umum yang bertanggung jawab atas meningitis
aseptik akan membantu dalam memahami penyakit ini dengan lebih baik, dan
karenanya memberikan dasar untuk pengembangan program pencegahan dan
pengendalian. Dalam jurnal ini telah dibahas secara spesifik mengenai meningitis
aseptik yang dapat memberikan pemahaman tambahan kepada tenaga kesehatan
terkait kondisi medis tersebut.

24
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Rineka Cipta:
Jakarta.

Aschengrau, A., Seage, G.R. 2008. Essential of Epidemiology of Public Health.


Jones and Bartlett Publishers, Inc: United States.

Duarsa, Arta B S. 2020. Uji Dianostik. PPT Bahan Ajar untuk Mahasiswa
Kedokteran Angkatan 2017. Mataram: Fakultas Kedokteran. Universitas
Islam Al Azhar.

Dragalin, V., Fedorov, V., Jones, B. and Rockhold. F. 2001. Estimation of the
Combined Response to Treatment Inmulticentre Trials. Journal of
Biopharmaceutical Statistics. 11(4), 275–295

25

Anda mungkin juga menyukai