Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Infeksi meningococcus dapat terjadi secara endemik maupun epidemik.


Secara klinis keduanya tidak dapat dibedakan, tetapi serogroup dari strain yang terlibat
berbeda. Kasus endemik pada negara – negara berkembang disebabkan oleh strain
serogroup B yang biasanya menyerang usia di bawah 5 tahun, kebanyakan kasus
terjadi pada usia antara 6 bulan dan 2 tahun. Kasus epidemik disebabkan oleh strain
serogroup A dan C, yang mempunyai kecenderungan untuk menyerang usia yang lebih
tua. Lebih dari setengah kasus meningococcus terjadi pada usia antara 1 dan 10 tahun.
Penyakit ini relatif jarang didapatkan pada bayi usia ≤ 3 bulan. Kurang dari 10%
terjadi pada pasien usia lebih dari 45 tahun. Di AS dan Finland, hampir 55% kasus
pada usia di bawah 3 tahun selama keadaan non-epidemik, sedangkan di Zaria, Nigeria
insiden tertinggi terjadi pada pasien usia 5 sampai 9 tahun.
Keadaan geografis dan populasi tertentu merupakan predeposisi untuk
terjadinya penyakit epidemik. Kelembaban yang rendah dapat merubah barier mukosa
nasofaring, sehingga merupakan predeposisi untuk terjadinya infeksi. Meningococcal
epidemik di daerah Sao Paulo dari 1971 sampai 1974 dimulai pada bulan Mei dan
Juni, yang merupakan peralihan dari musim hujan ke musim panas. African outbreaks
terjadi selama musim panas dari bulan Desember hingga Juni. Di daerah Sub-Saharan
Meningitis Belt (Upper volta, Dahomey, Ghana, dan Mali di barat, hingga Niger,
Nigeria, Chad, Sudan di timur) dimulai pada musim panas/winter dry season
(November - Desember), mencapai puncaknya pada akhir April – awal Mei, saat angin
gurun Harmattan berkepanjangan dan tingginya suhu udara sepanjang hari, diakhiri
secara mendadak dengan dimulainya musim penghujan. Walaupun terpaparnya
populasi yang rentan terhadap strain baru yang virulen mungkin merupakan penyebab
epidemik, beberapa faktor lain termasuk lingkungan yang padat penduduk, adanya
kuman saluran pernafasan pathogen lain, hygiene yang rendah dan lingkungan yang
buruk merupakan pencetus untuk terjadinya infeksi epidemik. Infeksi N. Meningitidis
semata – mata hanya mengenai manusia. Telah terbukti bahwa tidak didapatkan
adanya host antara, reservoar atau transmisi dari hewan ke manusia pada Infeksi N.
Meningitidis. Nasofarings merupakan reservoar alami bagi meningococcus¸ transmisi

1
dari kuman tersebut terjadi lewat saluran pernafasan (airbonedroplets), serta kontak
seperti dalam keluarga atau situasi recruit training.
Pada suatu studi yang dilakukan oleh Artenstein dkk, didapatkan bahwa
sebagian besar partikel dari droplet saluran nafas mengandung meningococcus.
Meningococcus bisa didapatkan pada kultur dari nasofaring dari manusia sehat,
keadaan ini disebut carrier. Hal tersebut dapat meningeal tergantung kepada
kemampuan dari kapsel polisakarida untuk menghambat aktivitas sistim komplemen
bakterisidal yang klasik dan menginhibisi phagositosis neutrophil. Aktivasi dari sistim
komplemen merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme pertahanan
terhadap infeksi N. meningitidis. Pasien dengan defisiensi dari komponen terminal
komponen (C5, C6, C7, C8 dan mungkin C9) merupakan resiko tinggi untuk terinfeksi
Neisseria (termasuk N. Meningitidis).
(Sumber : Irfannuddin ; Fisiologi Paramedis).
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 –
12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi
pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen,
kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif, perumahan padat
penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi yang
tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak
orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan Meningitis Bakterial Di
Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis
bakterialis pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens
meningitis pada bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi
dengan berat lahir normal. Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab
utama meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian
yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantaranya mengalami gejala sisa berupa
gangguan pendengaran dan defisit neurologis.
Meningiitis Tuberkulosis di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab
utama dari morbiditas dan kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens
tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun
penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang
buruk. Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena

2
morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada
anak terutama bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun
pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara
10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal
secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak
diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.
1.2 Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah agar
mahasiswa dapat memahami konsep serta mampu menerapakan Asuhan
Keperawatan pada pasien dengan kasus Meningitis di rumah sakit
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat mengerti serta memahami definisi dari Meningitis
b. Mahasiswa mengetahui etiologi terjadinya Meningitis
c. Mahasiswa dapat memahami anatomi fisiologi organ terkait
d. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis penyakit Meningitis
e. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi penyakit Meningitis
f. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari Meningitis
g. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang apa sajakah
yang dapat dilakukan pada pasien Meningitis
h. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan medis dari kasus
Meningitis
i. Mahasiswa dapat memahami proses pembuatan asuhan keperawatan
kasus Meningitis secara teoritis
1.3 Manfaat Penulisan
1. Memberi pengetahuan tentang konsep asuhan keperawatan dalam sistem
persyarafan meliputi pengertian, etilogi, patofisiologi, manifestasi klinis,
komplikasi, serta penatalaksanaanya.
2. Memberi pengetahuan tentang proses asuhan keperawatan dalam sistem
persyarafan meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, impementasi, serta
evaluasi.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Medis


2.1.1 Pengertian
Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai
lapisan piameter dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk
cairan serebrospinal (CSS). Peradangan yang terjadi pada Meningitis yaitu
membran atau selaput yang melapisi otak dan medula spinalis, dapat
disebkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang
menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak
(Wordpress. 2009)
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu
membran atau selaput yang melpaisi otak dan medula spinalis, dapat
disebabkan oleh berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur
yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak
(Black & Hawk.2005)
Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meningen otak dan
medula spinalis. Gangguan ini biasanya merupakan komplikasi bakteri
(infeksi sekunder) seperti Sinusiotis, Otitis Media, Pneumonia, Edokarditis
atau Osteomielitis. Meningitis bakterial adalah inflamasi arakhnoid dan
piameter yang mengenai CSS, Meningeotis juga bisa disebut Leptomeningitis
adalah infeksi selaput arakhnoid dan CSS di dala ruangan subarakhnoid
(Lippincott Williams & Wilkins.2012)
Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada
orang dewasa biasanya hanya terbatas di dalam ruang subaraknoid, namun
pada bayi cenderung meluas sampai ke rongga subdural sebagai suatu efusi
atau empiema subdural (leptomeningitis), atau bahkan ke dalam otak
(meningoensefalitis). (Satyanegara, 2010)
2.1.2 Etiologi
1. Bakteri
a. Pada orang dewasa, bakteri penyebab tersering adalah Diplococcus
pneumonia dan Neiseria meningitides, stafilokokus, dan gram
negative.

4
b. Pada anak-anak bakteri tersering adalah Hemophylus influenza,
Neiseria meningiditis dan Diplococcus pneumonia. (Satyanegara,
2010)
2. Transmisi infeksi
Meningococcal bakteri yang menyebabkan meningitis tersebar yang
biasanya melalui kontak dekat yang berkepanjangan. Penyebaran
dimungkinkan karena pasien berada dekat dari orang yang terinfeksi
melalui bersin, batuk, berbagi barang-barang pribadi seperti, sikat gigi,
sendok garpu, peralatan dll. Bakteri pneumokokus juga tersebar oleh
kontak dekat dengan orang yang terinfeksi, batuk, bersin dll. Namun,
dalam kebanyakan kasus hal ini hanya menyebabkan infeksi ringan,
seperti infeksi telinga tengah (otitis media). Orang-orang dengan
sistem kekebalan rendah yang dapat mengembangkan infeksi lebih
parah seperti meningitis.
3. Virus
Ada beberapa virus yang dapat menyebabkan meningitis. Vaksinasi
terhadap banyak virus ini telah menyebabkan penurunan kejadian
beberapa kasus meningitis. Contoh campak, gondok dan Rubela
(MMR) . Vaksinisasi tersedia bagi anak dengan kekebalan rendah
terhadap gondok, yang dulunya merupakan penyebab utama dari virus
meningitis pada anak-anak.
Virus yang dapat menyebabkan meningitis meliputi:
a. virus herpes simpleks-ini d. Echovirus
dapat menyebabkan genital e. Coxsackie
herpes f. Virus herpes zoster
b. enteroviruses-virus flu perut g. Campak
- ini telah menyebabkan h. Arbovirus
polio di masa lalu juga i. Influenza
bertanggung jawab atas j. HIV
c. Gondok k. Virus West Nile

5
4. Transmisi HIV
Infeksi virus meningitis dapat menyebar oleh kontak dekat dengan
orang terinfeksi dan yang terkena ketika orang bersin dan batuk.
Mencuci tangan setelah terkontaminasi dengan virus-misalnya, setelah
menyentuh permukaan atau objek yang memiliki virus di atasnya dapat
mencegah penyebaran.
5. Penyebab lain dari meningitis
Penyebab lain dari meningitis meliputi:
a. Meningitis jamur-disebabkan oleh Cryptococcus, Histoplasma
dan Coccidioides spesies dan melihat pada pasien AIDS
b. Parasit yang menyebabkan meningitis-termasuk contoh
meningitis eosinophilic yang disebabkan oleh
angiostrongyliasis
c. Organisme lainnya seperti tuberkulosis atipikal, sifilis, penyakit
Lyme, leptospirosis, listeriosis dan brucellosis, penyakit
Kawasaki dan Mollaret's meningitis
d. Mungkin ada tidak ada infeksi dan peradangan hanya meninges
menuju bebas-infektif meningitis. Hal ini disebabkan oleh
tumor, leukemia, limfoma, obat dan bahan kimia yang
diberikan spinally atau epidurally selama anestesi atau
prosedur, penyakit seperti Sarkoidosis, sistemik lupus
eritematosus dan penyakit dll.(News Medical Life Sciences &
Medicine)
2.1.3 Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di
organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus atau bakteri menyebar secara
hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringitis,
tonsilitis, pneuminoa, bronchopneumonia dan endokarditis. Penyebaran
bakteri atau virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ
atau jaringan yang ada didekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis
media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran
bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau
komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman kedalam ruang subaraknoid

6
menyebabkan reaksi radang pada pia dan arkhnoid, CSS (cairan
serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang
mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran
sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian
terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan
histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk
terdiri dari dua lapisan. Bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear
dan fibrin sedangkan dilapisan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrono-
purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan
meningitis yang disebabkan oleh bakteri.

7
2.1.4 Manifestasi Klinis
1. Neonates : menolak untuk makan, reflex menghisap kurang, muntah,
diare, tonus otot melemah, menangis lemah.
2. Anak-anak dan remaja : demam tinggi, sakit kepala, muntah,
perubahan sensorik, kejang, mudah terstimulasi, fotopobia, delirium,
halusinasi, maniak, stupor, koma, kaku kuduk, tanda kernig dan
brudzinki positif, dan ptechial (menunjukkan infeksi meningococal).
3. Ciri khas : penderita yang tampak sakit berat, demam akut yang tinggi,
kesadaran yang menurun (lethargi atau gaduh gelisah), nyeri kepala,
muntah dan kaku kuduk.
2.1.5 Komplikasi
Penyakit-penyakit yang dapat terjadi akibat dari komplikasi meningitis
antara lain:
a. Trombosis vena cerbral, yang menyebabkan kejang, koma, atau
kelumpuhan.
b. Efusi atau abses subdural, yaitu penumpukan cairan diruangan subdural
karena adanya infeksi karena kuman.
c. Hidrosefalus, yaitu pertumbuhan lingkaran kepala yang cepat dan
abnormal yang disebabkan oleh penyumbatan cairan serebrospinalis.
d. Ensefalitis, yaitu radang pada otak
e. Abses otak, terjadi karena radang yang berisi pus atau nanah diotak.
f. Arteritis pembuluh darah otak, yang dapat mengakibatkan infrak otak
karena adanya infeksi pada pembuluh darah yang mengakibatkan
kematian pada jaringan otak.
g. Kehilangan pendengaran, dapat terjadi karena radang langsung saluran
pendengaran.
h. Gangguan perkembangan mental dan intelegensi karena adanya retardasi
mental yang mengakibatkan perkembangan mental dan kecerdasan anak
terganggu. (Harsono. 2007)

2.1.6 Penatalaksanaan
1. Obat anti inflamasi
a. Meningitis tuberkulosa
- Isoniazid 10 – 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal
200 gr selama 1,5 tahun.
- Rifamfisin 10 – 15 mg/kg/24 jam oral, 1 kali sehari selama
1 tahun.

8
-Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu,
1 – 2 kali sehari, selama 3 bulan.
b. Meningitis bacterial, umur < 2 bulan
- Sefalosporin generasi ke-3
- Ampisilin 150 – 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 – 6 kali
sehari.
c. Meningitis bacterial, umur >2 bulan
- Ampisilin 150 – 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 – 6 kali
sehari
- Sefalosvorin generasi ke-3.
2. Pengobatan simtomatis
a. Diazepam IV 0,2 – 0,5 mg/kg/dosis, atau rectal 0,4 – 0.6
/mg/kg/dosis kemudian dilanjutkan dengan Fenitoin 5
mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
b. Turunkan demam dengan Antipiretik parasetamol atau salisilat
10 mg/kg/dosis sambil dikompres air.
3. Pengobatan suportif
a. Cairan intravena
b. Pemberian O2 agar konsentrasi O2 berkisar antara 30 – 50 %

2.2 Konsep Keperawatan


2.2.1. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan : riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat
pembedahan pada otak, cedera kepala
2. Pada neonatus : kaji adanya perilaku menolak untuk makan, refleks menghisap
kurang, muntah dan diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menagis lemah
3. Pada anak-anak dan remaja : kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang
diikuti dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi,
fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif atau maniak, penurunan kesadaran,
kaku kuduk, opistotonus, tanda kernig dan Brudzinsky positif, reflex fisiologis
hiperaktif, petchiae atau pruritus.
4. Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) : kaji adanya demam, malas
makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dangan merintih, ubun-ubun
menonjol, kaku kuduk, dan tanda kernig dan Brudzinsky positif.
Pemeriksaan Penunjang
1. Lumbal Pungsi:
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein,
cairan serebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.

9
2. Meningitis bacterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein
meningkat, glukosa menurun, kultur positif terhadap beberapa jenis bakteri.
3. Glukosa & dan LDH : meningkat.
4. LED/ESRD: meningkat.
5. CT Scan/MRI: melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel, hematom, hemoragik.
6. Rontgent kepala: mengindikasikan infeksi intrakranial.
7. Kultur Darah dan Kultur Swab Hidung dan Tenggorokan
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
2. Nyeri sehubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
a. Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal
b. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
c. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-hati
pada hipertensi sistolik
d. Monitor intake dan output
e. Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk
mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
f. Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
g. Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen
h. Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
a. Pantau berat ringan nyeri yang dirasakan dengan menggunakan skala
nyeri
b. Pantau saat muncul awitan nyeri
c. Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
d. Kompres dingin (es) pada kepala dan kain dingin pada mata
e. Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan
hati-hati
f. Berikan obat analgesic

10
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
a. Ukur suhu badan anak setiap 4 jam
b. Pantau suhu lingkungan
c. Berikan kompres hangat
d. Berikan selimut pendingin
e. Kolaborasi dengan tim medis : pemberian antipiretik
2.2.4 Implementasi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
a. Menyuruh pasien untuk bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa
bantal
b. Melakukan monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
c. Melakukan monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi
dan hati-hati pada hipertensi sistolik
d. Melakukan monitor intake dan output
e. Membantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Menganjurkan pasien
untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
f. Mmberikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
g. Melakukan monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen
h. Membeerikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel,
Antibiotika.

2. Nyeri sehubungan dengan adanya iritasi lapisan otak


a. Memantau berat ringan nyeri yang dirasakan dengan menggunakan skala
nyeri
b. Memantau saat muncul awitan nyeri
c. Mengusahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
d. Mengompres dingin (es) pada kepala dan kain dingin pada mata
e. Melakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut
dan hati-hati
f. Memberikan obat analgesic

11
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
a. Mengukur suhu badan anak setiap 4 jam
b. Memantau suhu lingkungan
c. Memberikan kompres hangat
d. Memberikan selimut pendingin
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis : pemberian antipiretik

2.2.5 Evaluasi
Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan berfokus
pada criteria hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan pedoman
pembuatan SOAP, atau SOAPIE pada masalah yang tidak terselesaikan atau
teratasi sebagian.

12
BAB 3
NURSING CONSIDERATION

Pasien Tn. S, usia 38 tahun dengan diagnosis Meningitis TB NRM : 415-75-09 pendidikan
SMA, karyawan swasta, menikah, agama Islam, alamat : Pulo Gebang, Jakarta Timur. Pasien
datang melalui IGD pada tanggal 17 September 2016 dengan keluhan pasien tidak mau
berbicara, kondisinya lemah. Dua (2) minggu sebelumnya pasien dirawat di RS Pasar Rebo
dengan diagnosis meningitis, kemudian pasien diperbolehkan pulang. Selang 2 hari, kondisi
pasien semakin lemah dan langsung dibawa ke IGD RSCM. Pengkajian dilakukan pada
tanggal 22 September 2016.
A. Pengkajian
1. Mode adaptasi fisiologis
a) Oksigenasi
1) Pengkajian perilaku
Pasien mengatakan kepala terasa pusing, terdapat batuk dan tidak berdahak.
Pemeriksaan fisik didapatkan data tidak sesak, tidak ada penggunaan otot
bantu napas, terpasang kanule terapi oksigen lt/m, Lubang hidung sebelah
kanan terpasang Nasogastrictube (NGT). Taktil fremitus normal, RR : 18 x /
menit: Suara napas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada
rhonki.. Palpasi : CRT < 2 detik, Nadi : 84 x / menit, nadi teraba kuat dan
reguler, TD = 110/70mmHg, riwayat Tuberkulosis (TB) sejak 2 bulan yang
lalu. Hasil laboratorium tanggal 23/9/2016: pH 7,455, PCO2: 42,7, PO2:
170,1, HCO3:30,2, sat O2: 99,6, BE: 6,3. Hasil pemeriksaan radiologi
tanggal 17/9/2016 Foto rongten Thorak: infiltrat kedua lapang paru, kesan :
TB paru.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : invasi kuman pada meningen
Stimulus kontekstual : riwayat TB
Stimulus residual : riwayat pekerjaan dan lingkungan
b) Nutrisi
1) Pengkajian perilaku
Sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjungtiva tidak pucat. Pada
daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Tidak ada kesan parese
otot wajah, bicara pelo tidak ditemukan. Kesadaran pasien somnolen, tubuh

13
pasien kurus, berdasarkan riwayat istrinya, BB pasien : 43 Kg dengan tinggi
161 cm. IMT: 16,4 kg/m2 (status gizi kurang). Pasien terpasang NGT dan
mendapatkan blenderized. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal
23/9/2016; Hb 12,0 g/dl, Ht 33,1%, Eritrosit 4,17 jt/ul, Leukosit 12,23 rb/ul,
Trombosit 285 rb/ul.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : invasi kuman pada meningen, penurunan kesadaran
Stimulus kontekstual : riwayat TB
Stimulus residual : riwayat pekerjaan dan lingkungan
c) Eliminasi
1) Pengkajian perilaku
Eliminasi urin : pasien terpasang kateter, urin berwarna kuning jumlah
kurang lebih 1800 cc/ hari. Pasien belum BAB sejak 7 hari terakhir. Hasil
pemeriksaan fisik abdomen didapatkan , abdomen datar, tidak terdapat asites
dan distensi abdomen, bising usus 4-5 x/menit ireguler, pada saat perkusi
terdengar bunyi hipertimpani pada kuadran kiri bawah, tidak teraba
pembesaran hati dan limpa, terdapat nyeri tekan pada kuadran kiri bawah
abdomen, teraba benjolan pada kuadran kiri bawah. Tidak ada gigi yang
tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, lidah
pasien kotor dan barwarna putih, pada anus tidak terdapat hemoroid.
2) Pengkajian Stimulus. Stimulus fokal : immobilisasi, penurunan peristaltik
usus
Stimulus kontekstual : kelemahan anggota gerak
Stimulus residual : riwayat TB
d) Aktivitas dan istrahat
1) Pengkajian perilaku
Pasien lebih banyak tidur, aktivitas terbatas dan dilakukan diatas tempat tidur
pasien. Kesan hemiparese ektremitas kanan 3333/3333 dan ekstremitas kiri
4555/ 5555. Skor barthel indeks 4, Activity Day Living (ADL) tergantung
total. Seluruh aktivitas dibantu oleh orang lain.
2) Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal : gangguan sirkulasi syaraf otak
Stimulus kontekstual : invasi kuman pada meningen
Stimulus residual : riwayat TB

14
e) Cairan dan elektrolit
1) Pengkajian Prilaku
Intake cairan yang diberikan melalui NGT kurang lebih 1800 cc/24 jam dan
pemberian cairan intravena dengan NaCl 500 cc/8 jam. Turgor kulit kering,
ascites tidak ada, pitting edema tidak ada. Tidak tampak ada oedema pada
ekstremitas atas maupun bawah. Pemeriksaan elektrolit Na: 130 mmol/l,
kalium: 4.69 mmol/ldan clorida: 86,1 mmol/l.
2) Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal : penurunan kesadaran
Stimulus kontekstual : invasi kuman pada meningen. Stimulus residual :
riwayat TB. h.
f) Fungsi neurologis
1) Pengkajian perilaku
Kesadaran somnolen, GCS E2M5V4, kaku kuduk didapatkan pada pasien,
laseg >70/>70, Kernig >135/>135, Pemeriksaan reflek fisiologis biseps
+2/+2. Trisep +2/+2, patella +2/+3 dan achilles +2/+2. reflek patologis
babinsky negatif. Pemeriksaan diagnostik CT scan Kesan: hidrocepalus.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : invasi kuman pada meningen
Stimulus kontekstual : riwayat TB
Stimulus residual : riwayat pekerjaan dan lingkungan
3) Mode Fungsi peran
a. Pengkajian prilaku
Sebelumnya pasien bekerja sebagai pegawai swasta dan dalam melakukan
semua aktivitas sehari-hari dilakukan dengan mandiri. Saat ini pasien
terbaring di atas tempat tidur, semua aktivitas dibantu oleh istri dan
keluarga, mulai dari mandi, makan, berpakaian dan eliminasi. Peran
sebagai kepala rumah tangga sementara ini diambil alih oleh istri pasien.
b. Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : perubahan peran, perubahan status kesehatan. Stimulus
kontektual : kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan.
Stimulus residual : invasi kuman pada meningen

15
4) Mode Interdependensi
a. Pengkajian prilaku
Istri dan keluarga pasien mendukung penuh kesembuhan pasien. Istri
pasien selalu menemai dan menjaga pasien selama dirawat di Rumah
Sakit. Tidak ada stimulus yang ditemukan.
B. Diagnosis Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan ketidakmampuan
pemenuhan intake nutrisi.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot dengan
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri
C. Tujuan keperawatan
Tujuan dari pelaksanaan intervensi keperawatan adalah mencapai perilaku adaptif
pada pasien. Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. S, tujuan dari perawatan yang
dilakuan adalah :
a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tidak terjadi gangguan
perfusi serebral yang ditunjukkan dengan status neurologis dengan kriteria pasien
mampu membuka mata dengan stimulus eksternal, berorientasi dengan baik,
berkomunikasi yang sesuai, mematuhi perintah, sadar akan bahaya, sadar akan
stimulus lingkungan. Perfusi jaringan serebral dengan kriteria tekanan darah
sistolik dan diastolik normal, tidak ada keluhan nyeri kepala,tidak ada demam,
kerusakan kognitif tidak terjadi.
b. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan kebutuhan nutrisi menjadi
seimbang ditunjukkan dengan status nutrisi berupa asupan nutrisi dancairan
dengan kriteria jumlah kalori yang dikonsumsi sesuai dengan totalkalori yan
dibutuhkan.
c. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pasien mampumelakukan
aktivitas sesuai dengan kemampuannya ditunjukan denganpeningkatan kekuatan
otot, mampu melakukan ambulasi.
d. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan terjadi penyembuhan luka
ditunjukkan dengan kriteria terbentuknya granulasi, tidak ada eksudat,serous, bau,
nekrosis, edema sekitar luka.

16
e. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tingkat pemahaman pasien
dan keluarga tentang kondisi penyakitnya meningkat ditunjukkandengan
menejemen kesehatan diri yang adekuat.
D. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
NIC :
a) Intervensi regulator : Manajemen edema serebral, dengan aktivitas antaralain
kaji adanya kebingungan, perubahan mental, keluhan dan atau pusing,
monitoring status neurologis, Kurangi stimulus lingkungan pasien, berikan
ketenangan, catat perubahan respon pasien terhadap rangsangan, pantau status
pernafasan: rentang, irama dan kedalaman pernapasan; PaO2, pCO2, pH dan
kadar bikarbonat, rencanakan perawatan untuk menyediakan waktu pasien
untuk istrahat, kaji pendengaran pasien melalui percakapan, Hindarkan fleksi
leher dan pinggul/lutut yang ekstrim, hindari valsalva manuver, berikan
pelunak feses (laxadin), posisikan pasien dengan ketinggian kepala 30 derajat
atau lebih, anjurkan keluarga/orang terdekat untuk berbicara dengan pasien,
hindarkan penggunaan cairan intra vena yang hipotonik, Pantau cairan
serebrospinal, pantau hasil laboratorium: osmolalitas serum dan urin, sodium
dan kadar kalium, pantau asupan dan pengeluaran cairan, pertahankan suhu
normal. Intervensi regulator : Promosi Perfusi Serebral, dengan aktivitasnya
antaralain konsultasikan dengan dokter untuk menentukan parameter
hemodinamik dan mempertahankan parameter hemodinamik dalam rentang
tersebut, pertahankan kadar serum glukosa dalam rentang normal,
konsultasikan dengan dokter untuk menentukan penempatan head of bed
(HOB) yang optimal (30 atau 45 derajat) dan pantau respon pasien terhadap
posisi kepalanya, pertahankan tingkat pCO2 pada 25 mmHg atau lebih besar,
berikan pengobatan terhadap nyeri (ketorolac 30mg), pantau hasil
laboratorium untuk perubahan oksigenasi atau keseimbangan asam-basa.
b) Intervensi regulator: Monitoring Neurologis, dengan aktivitas sebagai berikut
monitoring skor GCS, tingkat kesadaran, monitoring perilaku pasien (memori,
atensi, dan mood), monitor tanda vital (tekanan darah, temperatur, nadi dan
respirasi), catat adanya nyeri kepala.

17
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
NIC :
a) Intervensi regulator : Nutrition therapy dengan aktivitas sebagai berikut
mengontrol penyerapan makanan/cairan dan menghitung, monitor kalori dan
asupan nutrisi, tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan, atur diet yang diperlukan, ciptakan lingkungan yang
optimal, lakukan dan bantu pasien terkait dengan perawatan mulut sebelum
makan, membantu pasien posisi duduk sebelum makan, jika memungkinkan.
b) Intervensi regulator : Enteral tube feeding dengan aktivitas antara lain,
pasangkan nasogastric tube sesuai protokol, monitor adanya bising usus,
tinggikan kepala semifowler saat memberikan makan via NGT. Sedangkan
intervensi kognatornya adalah jelaskan prosedur kepada pasien.
3. Gangguan mobilitas fisik
NIC :
Intervensi regulator: Pengaturan posisi, exercise terapi:mobilisasi sendi, latihan
terapi: ambulasi. Dengan aktivitas sebagai berikut kaji kemampuan pasien
beraktifitas atau melakukan latihan, imobilisasi atau support bagian tubuh yang
bermasalah sesuai dengan kebutuhan, posisikan tubuh sesuai dengan alignment,
monitor integritas kulit, berikan ROM pasif sesuai kebutuhan, dan kolaborasi
dengan fisioterapi. Sedangkan intervensi kognatornya adalah instruksikan
pasien/keluarga untuk memposisikan tubuh dalam postur yang bagus dan sesuai
dengan bodi mekanik.
4. Kerusakan integritas kulit
NIC :
a) Intervensi regulator: Perawatan Luka dengan aktivitas ganti balutan, bersihkan
atau cukur rambut disekeliling daerah yang terluka, catat karakteristik dari
luka termasuk drainage, warna, ukuran dan bau, amati dasar luka, bersihkan
dengan normal saline, cuci atau bersihkan dengan sabun antibakteri sebagai
tambahan, gunakan balutan sesuai kondisi luka pasien, perhatikan
penyembuhan luka pada setiap penggantian balutan, gunakan teknik balutan
steril, ganti balutan apabila terdapat peningkatan jumlah eksudat, pertahankan
nutrisi pasien adekuat, amati perubahan pada luka secara teratur.
b) Intervensi regulator: Kontrol infeksi dengan aktivitas bersihkan lingkungan
setelah dipakai pasien lain, gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan,

18
cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan, gunakan universal
precaution dan gunakan sarung tangan selma kontak dengan kulit yang tidak
utuh, tingkatkan asupan nutrisi dan cairan, observasi dan laporkan tanda dan
gejala infeksi seperti kemerahan, panas, nyeri, tumor, catat dan laporkan hasil
laboratorium, wbc, gunakan strategi untuk mencegah infeksi nosokomial,
istirahat yang adekuat, ganti intravena line,sesuai aturan yang berlaku,
pastikan perawatan aseptik pada intravena line. Adapun intervensi kognator:
ajari pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi dan kalau terjadi melaporkan
pada perawat, instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat
berkunjungdan setelah berkunjung.
5. Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri
NIC :
a) intervensi kognator: Pengajaran: pendidikan kesehatan, Pemberian motivasi
dengan aktivitas yang terkait antara lain nilai tingkat pengetahuan dan hal yang
tidak diketahui pasien, tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari
informasi spesifik, pilih alat/strategi pembelajaran yang tepat, evaluasi
kemampuan pasien sesuai tujuan, libatkan keluarga/orang terdekat sesuai
kebutuhan, identifikasi kemungkinan penyebab, berikan informasi tentang
kondisi sesuai kebutuhan, berikan informasi pada keluarga/orang terdekat,
tentang perkembangan pasien, diskusikan perubahan gaya, hidup yang dapat
dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol proses terjadinya penyakit
pada pasien, diskusikan pilihan terapi/penatalaksanaan, ajarkan pada pasien
tentang tanda dan gejala yang dapat dilaporkan pada petugas, berikan
informasi tentang program rehabilitasi.

19
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Infeksi meningococcus dapat terjadi secara endemik maupun epidemik. Secara klinis
keduanya tidak dapat dibedakan, tetapi serogroup dari strain yang terlibat berbeda. Faktor
resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen spesifik yang
lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95 % terjadi
antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur.
4.2 Saran
Walaupun terpaparnya populasi yang rentan terhadap strain baru yang virulen
mungkin merupakan penyebab epidemik, beberapa faktor lain termasuk lingkungan yang
padat penduduk, adanya kuman saluran pernafasan pathogen lain, hygiene yang rendah dan
lingkungan yang buruk merupakan pencetus untuk terjadinya infeksi epidemik. Infeksi N.
Meningitidis semata – mata hanya mengenai manusia. Telah terbukti bahwa tidak didapatkan
adanya host antara, reservoar atau transmisi dari hewan ke manusia pada Infeksi N.
Meningitidis. Oleh karena itu, kita harus saling menjaga lingkungan agar tetap bersih
sehingga minim terjadinya infeksi.

20
REFERENSI

Harsono.(2007).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta:Gajah Mada University Press.

Lippincott Williams & Wilkins.2012. Pediatric Infection Disease Journal.USA

News Medical Life Sciences & Medicine.diakses dari :http://www.news


medical.net/health/Meningitis-Causes-%28Indonesian%29.aspx.

H.N, Amin dan Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc .Edisi Revisi Jilid 3. Jogjakarta : Mediaction

21

Anda mungkin juga menyukai