Anda di halaman 1dari 30

Bagian Ilmu KesehatanAnak REFERAT

Fakultas Kedokteran DESEMBER 2018


Universitas Haluoleo

MENINGITIS BAKTERI

Oleh:
Nurfitrah Wahyuni, S,Ked

Pembimbing
dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2018

1
MENINGITIS BAKTERI

Nurfitrah Wahyuni, dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

A. Pendahuluan

Meningitis bakterial adalah radang pada selaput otak yang dapat

disebabkan oleh bakteri, ditandai oleh peningkatan jumlah sel

polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal. Meningitis bakterial merupakan

salah satu kedaruratan medis yang harus segera ditegakkan diagnosisnya dan

terapi antibiotik yang tepat harus segera diberikan. Meningitis bakteri yang

tidak diterapi akan memberikan mortalitas mencapai 100% dan meskipun

dengan telah diberikan terapi yang optimum morbiditas dan mortalitas masih

dapat terjadi. 1,2,3

Meningitis bakteri masih merupakan masalah kesehatan berat diseluruh

dunia karena angka kecacatan tinggi (30-50%) dan angka kematian masih

tinggi (18-10%). Meningitis bakteri merupakan infeksi yang berbahaya dan

mengancam hidup dari sistem saraf yang membutuhkan perhatian medis

langsung.4

Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus influenzae

tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal

diseases/IPD). Insidens meningitis bakterialis di negara maju sudah menurun

sebagai akibat keberhasilan imunisasi Hib dan IPD. Kejadian meningitis

bakterial oleh Hib menurun 94%, dan insidensi penyakit invasif oleh S.

pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak usia 1 tahun menjadi

0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7 dilaksanakan. Di

1
Indonesia, kasus tersangka meningitis bakterialis sekitar 158/100.000 per

tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka

yang tinggi apabila dibandingkan dengan negara maju. Faktor predisposisi

tersering termasuk infeksi saluran nafas, otitis media, mastoiditis, trauma

kepala, hemoglobinopati, infeksi HIV, dan kelainan imunolgis lainnya.3,5

B. Definisi

Meningitis bakterial adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan

piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid.

Pada meningitis bakterialis, terjadi peningkatan jumlah sel polimorfonuklear

ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses inflamasi tidak terbatas

hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak (meningoensefalitis),

ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula spinalis, dan

kemungkinan penyebab infeksi ini dapat disebabkan oleh Pnumococcus,

Meningococcus, Hemophilus influenza, Staphylococcus, E.coli,

Salmonella.1,2

C. Epidemiologi

Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam epidemiologi

mencakup usia, etnik, musim, faktor pejamu dan pola resistensi antibiotic

regional antara pathogen yang mungkin. Insiden meningitis bakterial

meningitis di negara maju sudah menurun sebagai akibat adanya imunisasi

Hib dan IPD.3

Berdasarkan laporan Balitbangkes (2008) di Indonesia, Meningitis

merupakan penyebab kematian pada semua umur dengan urutan ke 17 (0,8%)

2
setelah malaria. Meningitis merupakan penyakit menular pada semua umur

dengan proporsi 3,2%. Sedangkan proporsi Meningitis merupakan penyebab

kematian bayi umur 29 hari- 11 bulan dengan urutan ketiga yaitu (9,3%)

setelah diare (31,4%), dan pneumoni (23,8%). Proporsi meningitis penyebab

kematian pada umur 1-4 tahun yaitu (8,8%) dan merupakan urutan ke-4

setelah Necroticans Entero Colitis (NEC) yaitu (10,7%). Di Indonesia,

dilaporkan bahwa Haemophilus influenzae tipe B ditemukan pada 33%

diantara kasus meningitis, 38% penyebab meningitis pada anak kurang dari 5

tahun. Di Australia pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan Neisseria

meningitis 2,1 kasus per 100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 – 4

tahun dan 15 – 19 tahun. Meningitis yang disebabkan Steptococcus

pneumoniae angka kejadian pertahun 10 – 100 per 100.000 populasi pada

anak < 2 tahun dan ada 3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia,

dengan angka kematian pada anak sebesar 15%, retardasi mental 17%, kejang

14% dan gangguan pendengaran 28%.6

Penyakit ini telah diketahui memiliki pola musiman, dimana meningitis

yang diakibatkan N. Meningitidis dan S.Pneumoniae memuncak pada bulan-

bulan musim dingin, H. Influenzae memperlihatkan penyebaran bifasik yang

memuncak pada permulaan musim dingin dan musim semi, dan

L.monocytogenes yang terjadi paling sering pada bulan-bulan musim panas.

Penjelasan atas pola musiman ini terletak pada cara penularan organisme,

meningokokus, pneumokokus, dan haemophilus yang menyebar melalui jalur

pernafasan, terutama pada bulan-bulan meningkatnya insidesi penyakit

3
pernapasan biasa, dan listeria didapat akibat klontaminasi melalui makanan

atau akibat berkontak dengan hewan ternak.5

D. Etiologi

Meningitis Bakteri memiliki gejala serangan yang cepat, teknik rutin

laboratorium biasanya dapat mengidentifikasi penyakit ini. Penyebab yang

paling umum yaitu Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitides,

Haemophilus influenza tipe B (Hib), kelompok B Streptococcus (GBS), dan

Listeria monocytogenes (Tabel I). Organisme ini menyebabkan lebih dari

80% bakteri meningitis akut pada anak-anak pada era 1970 dan 1980an.5

a. Haemophilus influenzae tipe B (Hib) adalah coccobacillus Gram-

negatif, dan manusia adalah host terbanyak. Hib umumnya

berkolonisasi di faring, terutama oleh isolate non-typeable (30-90%)

dan serotype non-b-type. Pada era preimunisasi , kejadian Hib

tingkatnya berkisar antara 3% dan 5% . Merupakan mikroorganisme

penyebab utama pada bayi dan balita yang ditemukan di dalamnya

saluran udara atas; padat, alasan banyak anak ke pusat kesehatan anak,

dan tinggal dengan seseorang dengan penyakit infasiv adalah faktor

yang terkait dengan tingkat carrier Hib dan penyakit yang lebih tinggi.

Pada tahun 1990, konjugasi vaksin Hib mulai diperkenalkan. Hal

tersebut hampir mengeliminasi meningitis Hib di Negara-negara yang

mengimplementasikannya dan mengurangi kejadian meningitis

sebesar 75 % dan 69% pada kejadian pneumonia. Berdasarkan data

survey dari Eropa yang merupakan negara rutin imunisasi Hib

4
melaporkan angka kejadian insidensi haemophilus turun menjadi 0,28

per 100.000 kejadian pada era post vaksinasi dibandingkan pada era

sebelum dilakukan imunisasi yaitu insidensi sebesar 16 per 100.000

kejadian. 7,8

b. S. Pneumoniae juga dikenal sebagai pneumococcus, adalah bakteri

Gram positif berbentuk lanset, mempunyai simpai polisakarida dan

dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, meningitis, dan

proses infeksi lainnya. S. Pneumoniae adalah penyebab terbanyak

pada penyakit invasif pada anak usia <2 tahun, dewasa dan pada host

yang imunokompresif. Seperti H. influenza, S. Pneumoniae menyebar

dari nasofaring ke sistemik. Berdasarkan data dari WHO pada tahun

2009 terdapat 17 per 100.000 populasi anak dengan kematian

mencapai 59 % dan merupakan penyebab moratalitas dan morbiditas

tertinggi. 9

c. Neisseria Meningitidis adalah penyebab utama ABM di dunia dan

diketahui menyebabkan penyakit endemik dan epidemi, dengan

kejadian terbesar penyakit pada anak-anak dan remaja. N.

meningitidis adalah kehidupan komensal manusia yang ada dalam

saluran pernapasan bagian atas. Pada nasofaring diperkirakan berkisar

antara 0,6% hingga 34% dan lebih tinggi pada remaja dan individu

yang tinggal di ruang yang penuh sesak dan terbatas. Diperkirakan

500.000 kasus penyakit meningokokus terjadi setiap tahun di seluruh

dunia dengan tingkat kematian kasus minimal 10%. Kejadian penyakit

5
endemik adalah 0,5-5 per 100 000 populasi. Setidaknya ada 13

serogrup terkenal N. meningitidis; Namun, lebih dari 90% penyakit

disebabkan oleh serogrup A, B, C, W-135, X, dan Y. 8

Tabel 1. Perkiraan Proporsi Organisme yang Menyebabkan Meningitis


Bakteri Berdasarkan Usia .4
Bakteri Usia
<1 1-<3 >3-35 3-9 10-18
Bulan Bulan Bulan Tahun Tahun
# + + + +

Streptococcus 1%- 14% 45% 47% 21%


pneumoniae 4%
Neisseria 1%- 12% 34% 32% 55%
meningitidis 3%
Group B 50%- 39% 11% 5% 8%
Streptococcus 60%
*
Listeria 2%- - - - -
monocytogene 7%
s
Escherichia 20%- - - - -
coli 30%
Bakteria Lain$ 4%- 35% 10% 16% 16%
12%
*Streptococcus agalactiae
#Data dari Gaschignard dkk (1) dan Heath dkk (2)
+
Data dari Nigrovic dkk (3)
$
Untuk anak-anak berusia ≥1 bulan, hal ini termasuk L monocytogenes dan E coli. Pada
kelompok usia 1 hingga <3 bulan, 32% bakteri lain yaitu Gram-negative basil

6
Tabel 2. Faktor Resiko Meningitis 4

Faktor Resiko Neonatus Faktor Resiko Pada Anak-Anak


Lahir prematur Aplenia (anatomic atau fungsional)
Berat badan rendah (<2.500 g) Defisiensi immunode utama
Chrioamnionitis Infeksi HIV
Endometritis Sel sabit anemia
Maternal Kelompok B Implan Koklea
Kolonisasi Streptococcus
Durasi lama pemantauan interauterine Kebocoran cairan Cerebrospinal
(>12 jam)
Pecah ketuban berkepanjangan Infeksi saluran pernapasan terakhir
Pengiriman traumatis Keberadaan di penitipan
Hipoksia janin Kekurangan penyusuan
Galactosemia Terkena kasus meningokokus atau
Haemophilus influenza meningitistipe B
Kelainan saluran kemih Trauma kepala penetrating
Saluran sinus dermal tulang belakang Saluran sinus dermal tulang belakang
Berpergian ke wilayah yang terkena endemic
meningococcal
Kekurangan imunisasi

Etiologi meningitis bakterialis pada tiap kelompok umur berbeda

karena tergantung pada lingkungan dan daya tahan tubuh. Jenis patogen

yang menyebabkan meningitis pada neonatus biasanya berasal dari flora

normal ibu, seperti Streptooccus dan E.Coli. Sementara Neisseria

meningitidis dan S. Pneumoniae adalah patogen utama yang mengenai

bayi yang lebih besar. Pada keadaan seperti imunodefisiensi, pasien dapat

terinfeksi oleh patogen pseudomona saeroginosa, staphylococcusaureus,

7
salmonella, atau staphylococus koagulase negatif, namun untuk kasus ini

jarang ditemukan.4,10

E. Patofisiologi

Meningitis terjadi akibat masuknya bakteri ke ruang subarakhnoid, baik

melalui penyebaran secara hematogen, perluasan langsung dari fokus yang

berdekatan, atau sebagai akibat kerusakan sawar anatomik normal secara

kongenital, traumatik atau pembedahan. Penyebaran hematogen merupakan

penyebab tersering, dan bisa terjadi pada adanya fokus penyakit lain

(misalnya, pneumonia, otitis media, selulitis) atau akibat bakterimia spontan.

Oleh karena patogen lazim menyebar melalui jalur pernafasan, peristiwa

awalnya adalah kolonisasi traktus respiratorius bagian atas.1,5

Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau

kontak langsung dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem

saraf pusat merupakan mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri

melakukan kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada sel epitel

menggunakan villi adhesive dan membran protein. Risiko kolonisasi epitel

nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi virus pada

sistem pernapasan atau pada perokok. Komponen polisakarida pada kapsul

bakterimembantu bakteri tersebut mengatasimekanisme pertahanan

immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri kemudian melewati sel

epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif terlindungi dari

respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang dimilikinya.2

8
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS)

melalui pleksus koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi

melalui kerusakan endotel yang disebabkannya. Bakteri akan bermultiplikasi

dengan mudah karena minimnya respons humoral komplemen CSS

Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi proses

inflamasi di meningen dan parenkim otak. Aktivasi inflamasi pada sel-sel

endotel tidak hanya menyebabkan invasi bakteri tetapi juga menghasilkan

regulasi molekul adhesi sebagai ICAM-1. Selanjutnya, molekul-molekul ini

mempromosikan proses multistep invasi leukosit. Leukosit, khususnya

kehadiran granulosit di CSF, adalah ciri diagnostik meningitis. Respons

inflamasi dini dan invasi bakteri tampaknya berkembang secara paralel dan

produk mengaktifkan leukosit seperti MMP dan NO dan lainnya yang

berkontribusi terhadap kerusakan pembuluh darah- otak dan pembuluh darah-

sawar CSF. Begitu bakteri telah memasuki ruang subarachnoidal, bakteri

bereplikasi, menjalani autolisis dan menyebabkan lebih lanjut peradangan.

Beberapa tipe sel tampaknya terlibat dan sel-sel endotel, makrofag

perivaskular dan sel mast kemungkinan memainkan peran penting pada

proses inflamasi. Pengenalan pola kekebalan molekul yang merupakan fungsi

dari CD14 dan LBP sebagai sensor dalam mengidentifikasi PAMP.

Pneumococcal PG dan LP dikenal oleh TLR2 sedangkan LPS, akan menarik

toxin pneumolysin pneumococcal, melalui sinyal dari TLR4. Sinyal TLR

disampaikan oleh protein adaptor intraseluler MyD88 di bagian ujung ke

9
berbagai macam sinyal termasuk NFkB dan MAP kinase mengarah ke respon

inflamasi yang cepat di meningitis 2

F. Manifestasi Klinis

Riwayat

1. Neonatus dan Bayi.

Manifestasi klinis bakteri meningitis neonatal umumnya tidak spesifik.

Gambaran klinis meningitis bakteri pada bayi dan anak-anak dapat halus,

variabel, tidak spesifik, atau bahkan tidak hadir. Pada bayi, mereka

mungkin termasuk demam, hipotermia, kelesuan, lekas marah, kurang

makan, muntah, diare, gangguan pernapasan, kejang, atau fontanella

menggembung. Di sebuah studi meningitis neonatal, demam atau

hipotermia adalah dicatat dalam 62% kasus.. Informasi penting untuk

memastikan termasuk factor meningitis (tabel 3), riwayat kelahiran,

trauma, anomali kongenital, dan riwayat ibu yang di infeksinya ditularkan

secara seksual (mengakui bahwa sering kali tidak ada riwayat yang

menunjukkan HSV genital ibu pada bayi yang terkena HSV).11

2. Anak yang lebih tua.

Presentase klinis meningitis pada anak yang lebih tua sering muncul

beberapa hari dan bisa saja mencakup riwayat progresif demam,

menggigil, kelesuan, iritasi, photophobia, tanda peningkatan TIK (nausea,

muntah, sakit pada bagian punggung, dan kekakuan leher) hipertensi

dengan bradikardi, apnea atau hiperventilasi, postur dekortikasi atau

10
deserebrasi, pupil anisokor, dan perubahan tingkah laku. Terkadang

tanda-tanda dan gejala yang muncul keras dan tiba-tiba, muncul pada

jangka waktu jam. Informasi riwayat yang penting untuk memperoleh

factor resiko meningitis (Tabel 1) dan pengobatan terakhir, termasuk

penggunaan antibiotic yang bisa mengganggu kemampuan untuk

mengisolasi pathogen dari darah atau kultur cairan cerebrospinal (CSF).


4,11,12

Pemeriksaan fisis

1. Neonatus dan bayi. Tanda-tanda vital dan kenampakan umum mesti

diperhatikan. Bayi yang terinfeksi biasanya tidak senang dipindahkan

maupun diperiksa. Fitur neorologis meningitis pada bayi termasuk

iritabilitas yang tidak dapat di konsolasi, kelesuan, rendahnya tone,

dan serangan. Kekakuan nuchal jarang terjadi. Ubun-ubun biasanya

penuh namun sering kali tidak menggembung. Refill kapiler yang

kurang dan kesulitan pernapasan dengan dengusan, takipnea dan

cuping hidung sering ditemukan. Bayi menjadi kurang aktif dan sering

nampak apatis dan tidak tertarik dengan sekelilingnya. Lingkar kepala

harus di ukur tiap harinya untuk memantau tingkat peningkatan

intracranial. 4

2. Anak yang lebih tua. Anak dengan meningitis biasanya mudah

marah dan lemah pada pemeriksaan fisik. Tanda-tanda vital termasuk

oksimetri nadi, harus didapatkan segera agar membantu mengevaluasi

hypovolemia, syok, dan peningkatan tekanan intracranial (ICP).

11
Lengkapan tritunggal (hipertensi, bradikardi, dan depresi pernafasan)

merupakan temuan akhir dari ICP yang meningkat. Meskipun tanda-

tanda ICP berikut ini tidak lazim, pasien harus diskreening terhadap

papilledema, diplopia, dan kelumpuhan saraf kranial. Skala Koma

Glasgow pediatrik dapat menjadi alat yang berguna untuk memantau

tingkat kesadaran pasien. Kekakuan nuchal, merupakan tanda

peradangan meningeal, di tampakkan ketika anak tidak mampu

melenturkan lehernya sehingga menyentuh dadanya, dan melalui

keberadaan Kernig atau tanda Brudzinski. Pada anak dengan keadaan

terlentang, tanda Kernig muncul ketika pinggul dan lutuk menekuk 90

derajat dan kaki tidak bisa diperpanjang perlahan lebih dari 135

derajat atau pasien menekukkan lututnya kearah yang berlawanan.

Tanda Brudzinki muncul ketika anak berada pada posisi terlentang

dan kelekukkan pasif pada leher menyebabkan kaki bengkok ke

pinggul dan lutut.4,11,12

Kejang pada meningitis bakterialis dapat berupa kejang fokal

ataupun general. Kejang biasanya didapatkan pada anak dengan

meningitis bakterialis yang disebabkan oleh S. Pneumoniae dan Hib

dibandingkan dengan meningitis karena meningokokus. Kejang yang

terjadi selama 4 hari pertama biasanya mempunyai prognosis yang

baik, sedangkan kejang yang berlanjut lebih dari 4 hari dan sulit untuk

diatasi mempunyai prognosis yang buruk. 13

12
G. Diagnosis

Diagnosis meningitis bakterialis tidak dapat ditegakkan berdasarkan

gejala dan tanda klinis saja. Gejala klinis dapat minimal atau bahkan tidak ada

dan sulit dibedakan dengan meningitis oleh sebab lain.14

H. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis meningitis bakteri ditegakkan melalui analisis CSS, kultur

darah, pewarnaan CSS, dan biakan CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal

harus dikerjakan pada setiap kecurigaan meningitis dan/atau ensefalitis. Pada

pemeriksaan darah, meningitis bakteri disertai dengan peningkatan leukosit

dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia,serta

gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak harus

dilakukan secepatnya untuk mengeksklusilesi massa, hidrosefalus, atau

edema serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal.1,11

13
Diagnosis definitif dari pemeriksaan cairan serebrospinal dan kultur.

Ketika dicurigai terjadi meningitis, maka pemeriksaan pungsi lumbal (lumbal

punture, LP) dan kultur harus dilakukan. Apabila ada anak datang dengan

keluhan kejang demam perlu dilakukan pungsi lumbal bila didapatkan :15

1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal

2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis

3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang

sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut

dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.

14
Tabel 4. Temuan cairan serebrospinal (CSS) pada berbagai gangguan sistem
saraf pusat.13
Protein Glukosa
Kondisi Tekanan Leukosit (/L) Ket.
(mg/dL) (mg/dL)
Normal 50-180 <4; 60-70% 20-45 >50 atau 75%
mmH2O limfosit, 30-40% glukosa darah
monosit, 1-3%
neutrofil

Meningis Biasanya 100-60.000+; 100-500 Menurun Organisme


bakterial meningkat biasanya beberapa dibandingkan dapat diliha
akut ribu; dominan PMN dengan pada pewarnaan
glukosa darah; Gram
biasanya <40
pada biakan

Meningitis Normal 1-10.000; biasanya >100 Menurun atau Organisme


bakterial atau PMN; tetapi sel normal dapat dilihat;
yang diobati meningka mononuklear dapat prapengobatan
sebagian mendominasi jjika dapat membuat
telah diobati CSS steri pada
sebelumnya dalam penyakit
waktu yang lama pneumokokal
dan
meningokokal,
tetapi antigen
dapat dideteksi

Meningitis Biasanya 10-500, PMN awal, 100-500, Umumnya Bakteri tahan


tuberkulosa meningkat; tetapi limfosi dan dapat <50; menurun asam dapat
dapat monosit lebih seiring waktu dilihat pada
rendah mendominasi tinggi bila tidak apus; organisme
karena kemudian apabila diobati dapat ditemukan
obstruksi terjadi pada
CSS pada obstruksi pemeriksaan
tahap CSS kultur dan PCR;
lanjut PPD, foto
rontgen postif

Jamur Biasanya 25-500; awalnya 20-500 <50; Budding yeast


meningkat PMN; sel penurunan dapat terlihat;
mononuklear seiring dengan organisme dapat
mendominasi waktu jika ditemukan pada
kemudian tidak diberi kultur; preparat
pengobatan tinta india dapat
positif atau
antigen dapat
positif pada
penyakit
kriptokokal

Meningitis Normal PMN awal; sel <200 Biasanya Enterovirus


viral atau atau sedikit mononuklearme normal; dapat dapat ditemukan
meningoense meningkat dominasi menurun dari CSS
falitis kemudian; jarang sampai 40 dengan biakan

15
lebih dari 1.000 sel pada beberapa virus yang tepat
kecuali pada penyakit virus aau PCR; HSV
eastern equine (15-20% dengan PCR
gondongan)

Abses Normal 0-100 PMN kecuali 20-200 Normal Profil dapat


(infeksi atau kalau robek ke sangat normal
parameninge meningkat dalam CSS
al)

Tabel 5. Perbandingan karakter CSS pada jenis meningitis yang berbeda2

Normal Bakterial Viral TB Fungal


Makrosopik Jernih, Keruh Jernih / Jernih / Jernih
tak opalesent opalesent
berwara
Tekanan Normal Meningkat Normal atau Meningkat Normal atau
meningkat menngkat
Sel 0-5/mm1 100- 5-100/mm3 5-1000/mm3 20-500/mm3
60.000/mm3
Neutrofil Tak ada >80% <50% <50% <50%
Glukosa 75% Rendah Normal Rendah (<50% Rendah (<80%
glukosa (<40% Glukosa darah) Glukosa Darah)
darah glukosa darah)
Protein <0,4 g/L 1-5 g/L >0,4-0,9 g/L 1-5 g/L 0,5-5 g/L
Lainnya Gram Positif PCR Kultur Kultur Positif Gram Negatif;
<90%; Kultur Positif <50% 50-80% Kultur Positif
Positif <80%; 25-50%
Kultur darah
Positif <60%

1. Tes Darah

Tes darah yang dapat dilakukan yaitu kultur darah dan hitung

lengkap sel darah terutama leukosit. Kultur darah dapat cukup penting

untuk mendeteksi bakteri penyebab dan membantu penegakan diagnosis

jika CSF kultur negatif atau tidak tersedia contoh bila ada kontraindikasi

dilakukan lumbal pungsi. Jumlah sel darah putih perifer (WBC)

kemungkinan tinggi pada bakteri meningitis, namun biasanya dalam

batasan normal serta kemungkinan pada neonates didapat hasil rendah.

16
Serum elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin, dan glukosa harus di

awasi untuk menilai adanya komplikasi yaitu Syndrome of Inappropriate

Antidiuretic Hormone (SIADH), Serum procalcitonin dan nilai protein C-

reaktif di butuhkan untuk membantu menegakan diagnosis meningitis

bakteri namun tidak bisa di andalkan untuk membedakan bakteri

meningitis atau virus meningitis. Namun, pengukuran serial protein C-

reaktif dapat menjadi alat pengganti untuk mengawasi respon klinis and

tampilan untuk potensi komplikasi.12

2. Pungsi Lumbal

Evaluasi CSF. Terkecuali dinyatakan kontraindikasi, pungsi

lumbal (LP) harus dilakukan pada anak yang diduga terkena bakteri

meningitis (gambar). Jika kontraindikasi LP ada, terapi antimkrobial tidak

boleh ditunda; kultur darah harus diperoleh dan antibiotik empirik harus

segera diberikan. Ketika diperoleh, CSF harus di evaluasi untuk

penghitungan CBC dengan WBC count, konsentrasi glukosa dan protein,

pewarnaan gram, dan kultur bakteri. Jika pasien tidak ditangani

sebelumnya dengan antibiotik, tipikal temuan CSF pada bakteri meningitis

mencakup WBC count meningkat, biasanya pada angka antara 1000-5000

sel/mm3 namun dapat juga didapatkan hasil <100 sampai >10.000 sel/mm3

neutrophilic pleocytosis (seringkali >1.000 WBC/μL) dan pada bakteri

meningitis akut didapatkan limfosit predominan dengan >50% selnya

limfosit atau monosit pada CSF, peningkatan protein, glukosa yang rendah

dan kultur positif bakteri pathogenic. Karena kemungkinan interpretasi

17
yang salah dari pewarnaan gram, terapi antimicrobial harus di persempit

berdasarkan pada hasil pewarnaan Gram; spectrum-luas empirik harus

terus dilanjutkan hingga hasil kultur diketahui. Tabel 5 menampilkan

parameter normal CSF berdasarkan usia dan temuan CSF umumnya

berdasarkan microbial yang dipilih penyebab meningitis.13

3. Neuroimaging

Scan Computed Temografi (CT) terhadap otak diperoleh untuk menilai

adanya komplikasi di intracranial seperti adanya edema, hidrosefalus,

infark dan identifikasi adanya focus parameningeal seperti sinusitis,

mastoiditis dan abses odontogenik. Local infeksi utamanya biasanya

disebabkan oleh bakteri pneumokokus mungkin membutuhkan terapi

bedah. Namun, temuan CT Scan yang tidak normal jarang terjadi pada

anak-anak tanpa temuan klinis dari defisit neurologis fokal, papilledema,

atau koma. Selain itu, CT Scan yang normal tidak menerangkan secara

lengkap apakah LP itu aman, anak yang secara klinis stabil yang diindikasi

bakteri meningitis dan tanpa tanda-tanda dari herniasi otak harus

menjalani dorongan LP. Jika CT Scan kepala di indikasikan, kultur darah

harus diperoleh terlebih dahulu dan antibiotic diberikan. LP harus

diberikan dengan segera setelah CT Scan jika tidak ada identifikasi

kontradiksi untuk dilakukan LP. Jika CT Scan tidak tersedia jangan

menunda pemberikan antibiotic apabila pada pasien telah menunjukan

manifestasi klinis dari meningitis. Oleh karena itu, CT Scan harus

18
digunakan dengan bijaksana pada anak-anak yang diindikasikan

meningitis bakteri.14

I. Diagnosis Banding

Virus, jamur, mycobacteria, dan parasite dapat terkadang menyebabkan

meningitis yang menirukan presentase bakteri meningitis. Ensefalitis, abses

intrakranial, penyakit riketsia, leptospirosis, perdarahan atau abses

retropharyngeal merupakan penyakit lain yang kemungkinan menyerupai

meningitis bakteri akut. Kondisi non-infeksi seperti peradangan vaskulitis

pusat system saraf netral autoin, penyakit Kawasaki, tumor otak, dan juga

reaksi obat juga dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial. Perhatian

seksama terhadap riwayat kesehatan, pemeriksaan CSF, tes selektif

laboratorium, dan penggunaan bijaksana neuroimaging harusnya membantu

membedakan diagnosis akhir ketika meningitis bakteri di kecualikan.11

J. Penatalaksanaan

Meningitis bakterialis adalah kegawatdaruratan medik. Pemilihan

antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena harus bersifat

bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS dengan

jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil

menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan

laboratorik. Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberiana antibiotik

ditunda lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan

meningkat secara bermakna.10

19
Meningitis bakteri merupakan penyakit infeksi akut yang dapat dengan

cepat menimbulkan kematian, oleh sebab itu dibutuhkan penanganan yang

cepat, tepat, dan akurat. Untuk itu membutuhkan penegakan diagnosis,

bakteri apa yang biasanya menginfeksi, dan antibiotik apa yang harus

berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien dan adanya penyakit mendasari

atau daktor resiko penyerta.2,3

Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik

jika hasil kultur sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri

penyebab, keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Namun

WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada

situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama

lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju menyarankan

terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan

haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotic pada meningitis

pneumokokal.14

20
Tabel 6. Terapi Empirik pada Meningitis Bakteri14

Tabel 7. Pilihan Terapi Pada Mikroorganisme Penyebab Meningitis Bakteri3

21
Gambar 1. Alogaritma tatalaksana meningitis bakterial14

Terapi Tambahan

Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan

dosispertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara

bermakna, terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat

menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung

dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial,

gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Penggunaan terapi

deksametason (0,6-0,8 mg/kg perhari, dibagi menjadi 2-3 dosis selama 2 hari)

22
dimulai tepat sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antobiotik. Hal

ini secara bermakna akan mengurangi insidensi gangguan fungsi pendengaran

dan defisit neurologis akibat meningitis. Sejumlah pakar berpendapat

pemberian dexamethasone harus dihentikan jika hasil kultur CSS

menunjukkan penyebab meningitis bakterialis bukan H. influenzae atau S.

pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian

dexamethasone apapun etiologi meningitis bakterialis yangditemukan.

Pemberian dexamethasone pada pasien meningitis bakterialis dengan sepsis

berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan. Pada penelitian lain,

pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan morbiditas

secara bermakna.2

Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati

gangguan autoimun atau inflamasi. Penggunaan kortikosteroid jangka

panjang (terutama dalam dosis tinggi) berhubungan dengan efek samping

serius pada berbagai sistem fisiologik tubuh, termasuk sistem imun. Efek

samping tersebut sebenarnya dapat diminimalisasi dengan cara memantau

kondisi pasien secara seksama dan menggunakan jenis kortikosteroid dengan

potensi dan dosis serendah mungkin.

Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan

ekspresi limfosit T, monosit, makrofag, eosinofil, mastosit, dansel endotelial.

Supresi sitokin bukan satu satunya efek kortikosteroid pada respons imun dan

anti inflamasi normal. Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi

sitokin anti inflamasi TGF-ß (Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid

23
juga mengganggu ekspresi molekul pengikat pada antigen precenting cell

serta menginduksi apoptosis. Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan

terhadap infeksi karena kortikosteroid dapat menghambat kerja sistem imun

normal dan menekan proses inflamasi. Gejala infeksi pada pengguna

kortikosteroid jangka panjang dapat menunjukkan gejala yang tidak khas

karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan reduksi respons inflamasi.

Untuk mencegah infeksi oportunistik pada pengguna kortikosteroid jangka

panjang, beberapa pakar menganjurkan memulai terapi kortikosteroid dengan

dosis dan potensi serendah mungkin tanpa mengabaikan efikasi. Sebelum

memulai terapi kortikosteroid jangka panjang, pemeriksaan darah lengkap

harus dilakukan sebagai data dasar. Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap

harus dilakukan setiap 3 bulan (selama pasien masih dalam terapi

kortikosteroid) untuk melihat adanya kemungkinan infeksi yang belum

bermanifestasi spesifik. Setiap pasien juga harus memiliki termometer pribadi

di rumah dan harus segera ke dokter bila suhu meningkat di atas 38°C.

American Collega of Rheumatology merekomendasikan vaksinasi

pneumokokus dan influenza pada pasien tersebut.2

K. Kriteria pasien dipulangkan

Pasien dapat dipertimbangkan untuk kembali ke rumah ketika mereka

stabil secara klinis dan neurologis, mampu mentolerir cairan enteral, dan

telah demam selama 24 sampai 48 jam. Dalam keadaan tertentu,

pelengkapan terapi antimikroba intravena dapat dengan aman dilakukan di

rumah. Kandidat untuk terapi infus dirumah harus memenuhi kriteria keluar

24
yang dinyatakan sebelumnya, telah menerima 5 sampai 7 hari terapi rawat

inap, dan memiliki pengasuh yang handal dengan akses langsung ke

transportasi dan telepon. Keuntungan terapi rumah termasuk menghindari

infeksi nosokomial, kembali ke lingkungan yang normal, dan pengurungan

biaya pengobatan.3

Evaluasi Lanjutan

Evaluasi pendengaran harus dilakukan sebelum keluar dari rumah

sakit atau segera sesudahnya. Tes ulang dilakukan jika evaluasi awal

menghasilkan hasil abnormal, dan layanan audiologinya harus digunakan

sebagaimana perlunya. Anak-anak dengan sisa gejala neurologis yang

nampak harus disertai rujukan yang tepat untuk terapi fisik, resiko, dan terapi

lainnya sehingga mereka memiliki potensi kesempatan untuk pemulihan

sebesar-besarnya. Bahkan bayi dan anak-anak yang nampaknya baik setelah

selesai terapi beresiko untuk keterlambatan kognitif dan perkembangannya.

Evaluasi rutin lanjutan biasanya dengan dokter perawatan primer dianjurkan

untuk memonitor perilaku, pengembangan, dan kemajuan akademik mereka.

Selanjutnya, bayi dan anak-anak mungkin memenuhi persyaratan untuk

layanan intervensi dini yang bersponsor dari negara. Anak-anak

menyelesaikan terapi antimikroba di rumah perlu tindak lanjut lebih lengkap,

sebaiknya dari dokter yang mengelola rawat inap mereka.3

25
L. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi akibat efek pengobatan yang tidak sempurna atau

pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang mungkin ditemukan adalah

vaskulitis, efusi subdural, gangguan elektrolit, meningitis berulang, abses

otak, kelainan neurologis, gangguan pendengaran, hidrosefalus, retradarsi

mental maupun epilepsi.1,9

a) Kehilangan pendengaran.

Kerusakan inflamasi ke koklea sel-sel rambut dapat menyebabkan tuli.

Semua anak yang telah mengalami meningitis harus memiliki audiologi

penilaian segera, sebagai anak-anak yang menjadi Tuli dapat mengambil

manfaat dari amplifikasi pendengaran atau aimplan koklea.

b) Vaskulitis lokal.

Ini dapat menyebabkan saraf kranial palsi atau lesi fokal lainnya.

c) Infark serebral lokal.

Ini dapat menyebabkan fokus atau kejang multifokal, yang selanjutnya

dapat menyebabkan untuk epilepsi.

d) Efusi subdural.

Sangat terkait dengan Haemophilus influenzae dan pneumokokus

meningitis. Ini dikonfirmasi oleh CT scan. Paling sembuh secara spontan

tetapi mungkin membutuhkan waktu yang lama pengobatan antibiotik.

26
e) Hidrosefalus.

Mungkin hasil dari gangguan resorpsi CSF (berkomunikasi hidrosefalus)

atau penyumbatan outlet ventrikular oleh fibrin (hidrosefalus yang tidak

berkomunikasi). Sebuah ventrikel shunt mungkin diperlukan.

f) Abses serebral.

Kondisi klinis anak memburuk dengan munculnya tanda-tanda alesi yang

menempati ruang angkasa. Suhu akan terus berfluktuasi. Ini dikonfirmasi

pada CT scan. Drainase abses diperlukan untuk penangan ini.

g) SIADH (Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone)

SIADH merupakan salah satu komplikasi tersering yang menyebabkan

hilangnya natrium dan menurunnya osmolalitas serum sehingga dapat

memperburuk edema serebral. 1,9

J. Prognosis

Meningitis bakteri yang tidak diobati biasanya berakhir fatal.

Meningitis pneumokokal memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%.

Pada sekitar 30% pasien yang bertahan hidup, terdapat sekuele defisit

neurologik seperti gangguan pendengaran dan defisit neurologikfokal lain.

Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah pasien

immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah

leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi

kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari

meningitis bakteri.1,13

27
Meningitis bakteri dapat menjadi penyakit yang berbahaya. Angka

kematian di segala usia anak berkisar dari kurang dari 5% sampai 15%,

tergantung pada patogen dan ketika pengawasan dilakukan. Prognosis pasien

dan hasilnya dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk usia, organisme yang

menginfeksi, beban bakteri, dan status klinis ketika antibiotik dimulai.Usia

yang lebih muda, beban bakteri yang lebih besar, dan tertundanya sterilisasi

CSF semuanya berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Penurunan

tingkat kesadaran pada tampilan dikaitkan dengan peningkatan risiko

kematian atau neurologis gejala sisa. Perkembangan kejang lebih dari 72 jam

setelah memulai antibiotik telah dikaitkan dengan kesulitan belajar.

Dibandingkan dengan Hib atau N meningitidis, infeksi disebabkan oleh S

pneumoniae dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk. Gangguan pendengaran

terjadi pada 20% sampai 30% dari anak-anak dengan meningitis

pneumokokus, sekitar 10% dengan meningitis meningokokus, dan sekitar 5%

dengan Hib meningitis. Tuna rungu juga berhubungan dengan glukosa CSF

kurang dari 20 mg / dL (1.1 mmol / L) pada saat diagnosis. Cedera vestibular

dapat mengakibatkan ataksia dan kesulitan untuk keseimbangan. Gejala sisa

neurologis lainnya termasuk kognitif dan perkembangan cacat, hemiparesis,

quadriparesis, kelumpuhan saraf kranial, epilepsi, kebutaan kortikal,

hidrosefalus, diabetes insipidus, dan disfungsi hipotalamus. Paresis umumnya

membaik dari waktu ke waktu dan dapat diatasi berbulan-bulan atau

bertahun-tahun setelah infeksi. 12

28
Daftar Pustaka

1. Saharso, D dan Hidayah, S.N. 1999. Infeksi Sistem Saraf Pusat dalam:
Soetomenggolo TS, Ismael S,Panyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Balai Penerbit
IDAI. Jakarta; Hal.. 339-351
2. Alam, A. 2011. Kejadian Meningitis Bakterial Pada Anak Usia 6-18 Bulan yang
Menderita Kejang Demam Pertama. Sari Pediatri 13(4): 293-298.
3. Swanson, D. 2015. Meningitis. American Academy of Pediatry 36(12):514-526.
4. Bell, W.E. 2006. Infeksi Bakteri dan Non Virus Lain dalam: Rudolph,A.M dkk. Buku
Ajar Pediatri RUDOLPH Vol. 3 Ed. 20. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta;
Hal. 2220-2202
5. Simanullang, R., Sarumpaet, S.M., Rasmaliah. 2015. Karakteristik Penderita
Meningitis Anak yang Dirawat Inap di RS Santa Elisabeth Medan. FKM USU.
Medan
6. Gentile A., dkk., 2017. Haemophilus Influenzae type B Meningitis : Is There A Re-
Emergence? 24 Years of Experience In A Children’s Hospital. Arch Argent Pediatr
115(3):227-233.
7. Agrawal S., dan Nadel S., 2011. Acute Bacterial Meningitis in Infants and Children.
Pediatric Drugs 13(6): 385-400
8. Meisky T., 2013. Faktor Kolonisasi Streptococcus Pneumoniaae Pada Nasofaring
Balita. Jurnal Media Medika Muda. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
9. Kim, K.S., 2010. Acute Bacterial Meningitis In Infants And Children. The Lancet
Infectious Disease 10(1):32-42
10. Kronman, M.P., dan Smith Sherilyn. 2015. Infectious Disease dalam Marcdante, K.J.
Nelson Essentials of Pediatrics 7th Edition. Elsavier Saunders. Canada; Hal.315-344
11. Ismael S, dkk., 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal. 1-16.
12. Tunkel. A.R., dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial
Meningitis. Clinical Infectious Disease 2004(39): 1267-1284.
13. Hoffman O. dan Weber J.R., 2014. Pathophysiology and Treatment of Bacterial
Meningitis. Therapoetic Advance in Neurological Disorders 2(6):401-412.

29

Anda mungkin juga menyukai