1 Kelainan Afektif
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood) sebagai
gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus menerus
depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang yang sama,
karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis serangan
disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut bipolar.
Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh
pasien dan terpantau oleh orang lain. Termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan
marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan
hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa
bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda
dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan
fungsi vegetatif (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini
hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
2. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood dengan jalur
penurunan yang kompleks. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dalam keluarga
menunjukkan bahwa generasi pertama lebih sering 2 sampai 10 kali mengalami depresi berat.
3. Faktor psikososial
Depresi selalu diikuti oleh stres psikososial yang berat, terutama pada episode depresi
pertama atau kedua. Pengalaman masa kanak yang berat seperti kekerasan pada anak,
kehilangan orang tua, dan dukungan sosial yang buruk adalah stres yang paling umum yang
terjadi pada pasien depresi. Peningkatan bukti yang menyatakan bahwa stres dan trauma
dapat mengakibatkan gangguan sistem biologik pada depresi.1,2, Teori yang ada terkait
dengan hal tersebut adalah adanya perubahan biologi otak yang bertahan lama. Sehingga
perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitter dan system sinyal
intraneuron, termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak sinap dan
berdampak pada sinap dan hal tersebut dapat berdampak pada seorang individu berisiko
tinggi mengalami episode berulang, gangguan mood, sekalipun tanpa stressor.1
Semua orang dengan dengan pola kepribadiannya dapat mengalami depresi sesuai dengan
situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histrionik dan ambang
berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingnya dengan gangguan kepribadian
paranoid dan antisocial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik berisikko menjadi
gangguan depresi berat. Peristiwa stressful merupaka predictor terkuat untuk kejadian
episode depresi.1,2
Faktor psikodinamik pada depresi dikenal sebagai pandang klasik dari depresi dan
dituangkan kedalam teori yang ditemukan oleh Sigmund Freud dan dilanjutkan oleh Karl
Abraham. (1) gangguan hubungan ibu dan anak selama fase oral (10-18 bulan) merupakan
faktor predisposisi terhadap episode depresi berulang; (2) depresi dapat dihubungkan dengan
kenyataan atau bayangan kehilangan objek; (3) introjeksi merupakan bangkitan mekanisme
pertahanan untuk mengatasi penderitaan yang berkaitan dengan kehilangan objek.; (4) akibat
kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci dan cinta,
perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri Menurut Melanie Klein depresi termasuk
agresi kearah mencintai. Sedangkan Edward Bibring menyatakan bahwa depresi adalah suatu
fenomena yang terjadi ketika seseorang menyadari terdapat perbedaan antara ideal yang
tinggi dengan ketidakmampuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.2
4. Formulasi lain dari depresi
Depresi merupakan hasil penyimpangan kognitif spesifik yang menghasilkan kecenderungan
seseorang menjadi depresi. Postulat Aaron Beck menyatakan trias kognitif dari depresi
mencakup (1) pandangan terhadap diri sendiri berupa persepsi negatif terhadap dirinya (2)
tentang lingkungan yakni kecenderungan menganggap dunia bermusuhan terhadapnya (3)
tentang masa depan yakni bayangan penderitaan dan kegagalan.2
2.5 Manifestasi Klinis
2. Mood yang rendah.
Selama orang depresi memperlihatkan suasana perasaannya dengan mood yang rendah,
pengalaman emosional yang buruk selama depresi berbeda secara kualitatif dengan orang
yang mengalami kesedihan dalam batas normal atau rasa kehilangan yang dialami oleh orang
pada umumnya. Beberapa menyampaikannya dengan menangis, atau merasa seperti ingin
menangis, lainnya memperlihatkan respon emosional yang buruk.1,2
3. Minat.
Kehilangan minat pada aktivitas atau interaksi sosial yang biasanya ada merupakan salah satu
tanda penting pada depresi. Anhedonia juga memperlihatkan sebagai pembedanya, dan tetap
ada walaupun penderita tidak memperlihatkan mood yang turun. Kehilangan minat seksual,
keinginan, atau fungsi juga umum terjadi, dimana dapat menyebabkan masalah dalam
hubungan terdekat atau konflik rumah tangga.2,3
4. Tidur.
Kebanyakan pasien depresi mengalami kesulitan tidur. Hal yang klasik adalah terbangun dari
tidur pada pagi buta dan tidak dapat tidur lagi (terminal insomnia), tetapi tidur dengan
kelelahan dan frekuensi terbangun pada tengah malam (insomnia pertengahan) juga umum
terjadi. Kesulitan tertidur pada malam hari (insomnia awal atau permulaan) biasanya terlihat
saat cemas menyertai. Tetapi, hipersomnia atau tidur yang berlebihan juga bisa menjadi
gejala yang umum terjadi pada pasien depresi.2,4
5. Tenaga.
Kelelahan adalah keluhan yang sering disampaikan pada depresi, seperti sulit untuk memulai
suatu pekerjaan. Kelelahan dapat bersifat mental atau fisik, dan bisa berhubungan dengan
kurangnya tidur dan nafsu makan, pada kasus yang berat, aktivitas rutin seperti kebersihan
sehari-hari atau makan kemungkinan terganggu. Pada bentuk yang ekstrem dari kelelahan
adalah kelumpuhan yang dibuat, dimana pasien menggambarkan bahwa tubuhnya yang
membuat hal ini atau mereka seperti berjalan di air.2
6. Rasa bersalah.
Perasaan tidak berguna dan merasa bersalah dapat menjadi hal yang umum dipikirkan oleh
pasien yang dalam episode depresi. Pasien depresi sering salah menginterpretasikan kejadian
sehari-hari dan mengambil tanggung jawab kejadian negative diluar kemampuan mereka, ini
dapat menjadi suatu porsi delusi. Rasa cemas yang berlebihan dapat menyertai dan rasa
bersalah yang muncul kembali.1
7. Konsentrasi.
Kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengambil keputusan adalah hal yang sering dialami
oleh pasien depresi. Keluhan tentang daya ingat biasanya menyebabkan permasalahan pada
perhatian. Pada pasien lanjut usia, keluhan kognitif bisa salah didiagnosis sebagai dementia
onset dini.1
8. Nafsu makan/berat badan.
Kehilangan nafsu makan, rasa, dan nikmat dalam makan akan menyebabkan kehilangan berat
badan yang signifikan dan beberapa pasien harus memaksa dirinya sendiri untuk makan.
Bagaimanapun, pasien lainnya harus mendapatkan karbohidrat dan glukosa ketika depresi,
atau perlakuan sendiri dalam mendapatkan kenyamanan dalam makan. Tetapi, berkurangnya
aktifitas dan olahraga akan menyebabkan peningkatan berat badan dan sindrom metabolic.
Perubahan berat badan juga dapat berdampak pada gambaran diri dan harga diri.1,2
9. Aktivitas psikomotor.
Perubahan psikomotor, dimana terjadi perubahan pada fungsi motorik tanpa adanya kelainan
pada tes secara objektif, sering terlihat pada depresi. Kemunduran psikomotor meliputi
sebuah perlambatan (melambatnya gerakan badan, buruknya ekspresi wajah, respon
pembicaraan yang lama) dimana pada keadaan yang ekstrem dapat menjadi mutisme atau
katatonik. Kecemasan juga dapat bersamaan dengan agitasi psikomotorik (berbicara cepat,
sangat berenergi, tidak dapat duduk diam).1,2
10. Bunuh diri.
Beberapa ide bunuh diri, dimulai dari pemikiran bahwa dengan bunuh diri diharapkan
semuanya akan selesai bersamaan dengan rencana bunuh diri tersebut, terjadi pada 2/3 orang
dengan depresi. Walaupun ide bunuh diri merupakan hal yang serius, pasien depresi sering
kekurangan tenaga dan motivasi untuk melaksanakan bunuh diri. Tetapi, bunuh diri
merupakan hal yang menjadi pusat perhatian karena 10-15% pasien yang dirawat inap adalah
pasien yang matinya karena bunuh diri. Waktu resiko tinggi untuk terjadinya bunuh diri
adalah saat awalan pengobatan, ketika tenaga dan motivasinya mulai berkembang baik selain
gejala kognitif (keputusasaan), membuat pasien depresi mungkin bertindak seperti apa yang
mereka pikirkan dan rencanakan untuk bunuh diri.1
11. Gejala lain.
Kecemasan, dengan berbagai manifestasi klinis, adalah hal yang umum pada depresi. Mudah
marah dan perubahan mood yang cepat, berlebihan dalam kemarahan dan kesedihan, dan
frustasi juga mudah terganggu untuk hal kecil adalah yang sering terlihat. Variasi diurnal
mood, dengan kekhawatiran pada pagi hari, dapat muncul. Depresi sering menyebabkan
berkurangnya kepercayaan diri dan harga diri dengan pemikiran bahwa dirinya tidak berguna
didukung dengan keputusasaan. Depresi juga berhubungan dengan peningkatan frekuensi
sakit fisik, seperti sakit kepala, sakit punggung, dan kondisi nyeri kronis lainnya.1,2
12. Gejala pada orang tua
Gejala klinis depresi lanjut usia sedikit berbeda dengan usia yang lebih muda, sering hanya
gangguan emosi berupa apatis, penarikan diri dari aktivitas sosial, dan gangguan kognitif
seperti gangguan memori, gangguan konsentrasi.8
Perubahan pikiran
1. Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit mengungat
informasi.
2. Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.
3. Kurang percaya diri.
4. Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.
5. Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi.
6. Adanya pikiran bunuh diri.
Perubahan perasaan
1. Penurunan ketertarikan dengan lawan jenis dan melakukan hubungan suami istri.
2. Merasa bersalah.
3. Merasa sedih.
4. Sering menangis tanpa alas an yang jelas.
Perubahan pada kebiasaan sehari-hari
1. Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan Merasa bersalah.
2. Menghindari membuat keputusan.
3. Menunda pekerjaan rumah.
4. Penurunan aktivitas fisik
5. Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.
6. Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.
2.6 Diagnosis
DSM-IV-TR, membagi depresi menjadi tiga bagian besar : gangguan depresi mayor/ major
depressive disorder (MDD), distimia, dan depresi yang tidak terklasifikasikan.1
a. Episode depresi berdasarkan ICD-108
Kriteria Umum
1. Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu.
2. Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi kriteria untukepisode
hypomanic atau manik pada setiap saat dalam kehidupan individu.
3. Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental organik
Gejala Utama
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi individu, hadir untuk hampir
sepanjang hari dan hampir setiap hari, sebagian besar tidak responsif terhadap keadaan, dan
bertahan selama minimal 2 minggu.
2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan.
3. Penurunan energi atau kelelahan meningkat.
Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri.
2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan dan tidak tepat.
3. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh diri.
4. Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau berkonsentrasi, seperti
keraguan atau kebimbangan.
5. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis.
6. Gangguan tidur.
7. Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan perubahan berat badan yang
sesuai
DSM-IV-TR dan ICD-10, keduanya mengkategorikan tingkat keparahan depresi menjadi tiga
: ringan, sedang, dan berat (Tabel 4). DSM-IV-TR membagi tingkat keparahannya
berdasarkan efek yang dihasilkan depresi dalam hal sosial/pekerjaan dan tanggung jawab
individu dan ada atau tidaknya gejala psikotik. ICD-10, sebaliknya, membedakan tingkat
keparahan depresi berdasarkan jumlah dan jenis gejala yang diperlihatkan saat seseorang
menderita depresi. Penggunaan skala depresi sangat dianjurkan untuk menentukan derajat
keparahan.
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika
gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.
BAB III
PEMBAHASAN
Dari anamnesis dan pemeriksaan Status Mental pada pasien ditemukan gejala utama dari
episode depresif yaitu afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja) dan menurunnya aktivitas dan sudah dirasakan sejak 5 bulan yang lalu. Selain itu
pada pasien juga ditemukan gejala tambahan yaitu gagasan tentang rasa bersalah, pesimis
pada kehidupan selanjutnya, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang. Dari gejala di atas,
pasien telah memenuhi 3 dari 3 gejala utama episode depresi dan ditambah 4 dari gejala
lainnya sehingga dapat digolongkan ke dalam Episode Depresif Sedang (F.32.1). Disamping
itu, pasien juga mengalami gejala somatik yaitu jantung berdebar-debar dan sakit kepala saat
pasien memikirkan kematian anaknya atau saat keluhannya muncul. |Sehingga berdasarkan
PPDGJ-III pasien ini didiagnosis sebagai Episode Depresif Sedang Dengan Gejala Somatik
(F32.01).
Gangguan somatisasi sebagai diagnosis banding dapat disingkirkan karena keluhan pasien
hanya sakit kepala, bukan keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang meliputi
banyak organ yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik maupun
laboratorium. Walaupun gangguan ini bersifat kronis dan berkaitan dengan stress psikologis
yang bermakna, keluhan ini baru dirasakan berlangsung selama 5 bulan. Pasien mau
menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang
dapat menjelaskan keluhan-keluhannya. Sehingga ia menerima saran dokter untuk konsultasi
ke psikiater. Terdapat disabilitas sedang dalam fungsinya namun secara umum masih baik.
Pada pasien ini diberikan pengobatan farmakoterapi Fluoxetine karena obat ini merupakan
obat anti depresi, golongan SSRI. Hal ini sudah sesuai dengan pedoman terapi anti depresi.
Mengingat profil efek sampingnya, untuk penggunaan pada sindrom depresi ringan dan
sedang yang datang berobat jalan pada fasilitas pelayanan kesehatan umum, pemilihan obat
sebaiknya mengikuti urutan :
Step 1 : Golongan SSRI ( Fluoxetine, sertraline, paroxetine, Fluvoxamine, Duloxetine,
Citalopram )
Step 2 : Golongan trisiklik ( Amitriptyline, imipramine, clomipramin, tianeptine)
Step 3 : Golongan tetrasiklik ( Maprotiline, mianserin, amoxapine)
Golongan MAOI reversible (moclobomide)
Golongan Atypical ( Trazodone, mirtazepine, venlafaxine)
Fluoxetine merupakan anti depresi golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
dimana golongan SSRI merupakan lini pertama dalam menangani kasus depresi, mengingat
profil efek sampingnya sangat minimal sehingga meningkatkan kepatuhan minum obat dan
bisa digunakan pada berbagai kondisi medik, spektrum efek anti depresi luas, dan gejala
putus obat sangat minimal, serta “lethal dose” yang tinggi (>6000 mg) sehingga relatif aman.
Waktu paruh fluoxetine 12-48 jam, sehingga pemberian obat dapat dilakukan 1-2 kali/hari.
Dosis anjuran 20-40 mg/hari. Dimulai dengan terapi inisial dengan dosis minimum yaitu 10
mg/hari 2 kali sehari. Jika dalam pemantauan 2-3 hari terapi dianggap kurang dapat
memperbaiki keadaan pasien, maka dosis bisa dinaikkan secara bertahap hingga mencapai
dosis efektif. Dosis efektif dievaluasi setiap 1 minggu dan bila perlu dinaikkan hingga
mencapai dosis optimal. Dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi).
Kemudian diturunkan setiap 2 minggu hingga didapatkan dosis maintenance yang
dipertahankan 3-6 bulan. Kemudian dosis di tappering off (diturunkan setiap 1 minggu),
hingga akhirnya pemberian obat bisa dihentikan. Jika sindrom depresi kambuh lagi, proses
dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pada pasien ini juga diberikan Alprazolam 1 mg
sebagai anti ansietas dari golongan benzodiazepine . Alprazolam dapat meredakan gejala sulit
tidur dimana onset of action lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti depresi.
Prognosis pada pasien ini baik karena : gejala depresi episode sedang, tidak ada gejala
psikotik, fungsi keluarga stabil dan beberapa tahun sebelum sakit secara umum fungsi sosial
baik, tidak ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya, tidak pernah dirawat inap
karena depresi berat, tidak ada riwayat penyalahgunaan zat dan alkohol, tidak ada riwayat
lebih dari sekali episode depresi sebelumnya.