Anda di halaman 1dari 16

UJIAN KASUS

ABSES PARU SINISTRA DENGAN TERDUGA TUBERKULOSIS PARU


KASUS BARU

OLEH :
ICHLAS ADHI PUTRA
C014182028

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Muh. Arif
DOSEN PEMBIMBING:
dr. Arif Santoso,Ph.D, Sp.P(K)

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
BAB 1

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl. Lahir : 25-05-1966
Agama : Islam
Alamat : Gowa
Rumah Sakit : RS Wahidin Sudirohusodo, Infection Center
RM : 899437

B. SUBJEKTIF
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama : Batuk
Anamnesis Terpimpin :

Pasien masuk dengan keluhan batuk-batuk sudah dialami sejak malu 1 bulan yang lalu
dan memberat sejak 3 hari yang lalu. Sebelumnya pasien dirawat inap di Balai Besar
Paru Provinsi Sulawesi Selatan selama 5 hari namun tidak ada perubahan dan diagnosa
community acquired pneumonia yang sudah perbaikan. Batuk disertai dengan lendir
agak kekuningan yang berbau busuk . Nyeri dada ada di sebelah kiri dan memberat saat
batuk . Batuk darah tidak ada . Riwayat batuk bercak darah ada. Sesak napas terkadang
ada. Demam tidak ada. Riwayat demam ada sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat
penurunan berat badan ada tapi pasien lupa. Riwayat keringat malam tidak ada.
Riwayat cepat lelah. Riwayat kontak dengan penderita Batuk lama tidak diketahui.
Riwayat merokok tidak ada. Riwayat minum obat anti tuberkulosis tidak ada . riwayat
hipertensi tidak ada . riwayat DM tidak ada.

C. OBJEKTIF
1. Deskripsi Umum
Sakit sedang / Gizi Kurang / GCS E4M6V5 (compos mentis)
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100 kali/menit, regular, kuat angkat
Pernapasan : 24 kali/menit, torakoabdominal
Saturasi : 94% tanpa modalitas
Suhu : 36.7oC

3. Head To Toe
Kepala
Bentuk : Normocephal
Simetris muka : Simetris kiri dan kanan
Deformitas : Tidak ada
Rambut : Hitam, sulit dicabut
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Kelopak mata : Edema palpebral (-/-)
Konjungtiva : Pucat (+/+)
Sklera : Ikterus (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor 2,5mm/2,5mm
Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Otorrhea : (-)
Pendarahan : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Rhinorrea : (-)
Mulut
Bibir : Pucat (+), Kering (-)
Gigi geligi : Caries (-)
Gusi : Perdarahan gusi (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-), tremor (-),hiperemis (-), bercak putih (-)
Leher
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
Kel. getah bening : Tidak ada pembesaran
Kaku kuduk : Negatif
Tumor : Tidak ada
Nodul : Tidak ada
Thoraks
Inspeksi : Asimetris, normochest, kiri lebih tertingggal dibanding kanan
Palpasi : Vokal fremitus menurun pada basal paru kiri, nyeri tekan ada, tidak
teraba massa, tidak ada krepitasi
Perkusi : redup pada hemithorax sinistra setinggi interkostal 5
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler ,menurun pada sinistra. ronkhi ada pada
hemithorax sinistra, wheezing tidak ada

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung ICS II sinistra, Batas kanan jantung ICS III linea
parasternalis dextra, Batas tidak kiri jantung ICS V linea
midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bising jantung tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, undulasi (-)
Lain-lain : Ascites (-)
Punggung :
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Nyeri ketok : (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Lain-lain : Tidak ada skoliosis
Extremitas
Edema pada dorsum pedis
Akral hangat
Palmar eritem (-)
Clubbing finger (-)
Alat Kelamin :Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum :Tidak dilakukan pemeriksaan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


3
WBC 26,1 x 10 /uL 4.00 – 10.00 /uL
6 6
RBC 3,47 x 10 /uL 3.50 – 5.50 x 10 /uL
HGB 9,6 g/dL 11.0 – 16.0 g/dL
HCT 29,1 % 40.0 – 50.0 %
MCV 84 fL 80.0 – 100.0 fL
MCH 27,6 pg 27.0 – 34.0 pg
MCHC 33 g/dL 31.0 – 36.0 g/dL
3 3
PLT 438 x 10 /uL 150 – 400 x 10 /uL
NEUT 70,6 % 52.0 – 70 %

LYMPH 16,9 % 20.0 – 40.0


2. Fungsi Hati dan Elektrolit

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL

Albumin 1,8 gr/dl 3.5-5.0 gr/dl


SGPT 90 /uL <38 /uL
SGOT 114 /uL <41 /uL
Natrium 126 135-146 mmol/l
Kalium 4.0 3.5-5.1 mmol/l
Klorida 102 97-111 mmol/l
3. Sputum

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL

BTA 1 negatif negatif


BTA 2 negatif negatif
BTA 3 negatif negatif
1. Radiologi (19/9/2019)

FOTO THORAX PA(23/10/2019)


KESAN :
TB Paru Lama aktif lesi luas disertai abses paru sinistra

E. ASSESMENT
-Terduga Tuberkulosis paru kasus baru disertai abses paru kiri
-Hipoalbuminemia
-Hiponatremia

F. PLANNING
 Cek Sputum BTA
 Tes Cepat Molekular
 Sputum Smear Gram
 Cek sensitivitas antibiotik
G. PENATALAKSANAAN
 Natrium Chlorida 0,9% infus 20 tpm
 Clindamisin 300 mg/8 jam/oral
 Paracetamol 500mg/8 jam/oral
 N-Acetylsistein 250 mg/8 jam/oral
 Ceftazidine 1 gr/ 8 jam/ oral
 Human Albumin 20% infus 100cc 10 tpm
BAB II
DISKUSI
ABSES PARU PARU PADA PASIEN TN.R

Pembahasan
Abses paru merupakan salah satu penyakit infeksi paru yang didefinisikan sebagai
kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi sel-sel mati atau cairan
akibat infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir
sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu
lobus atau lebih. 1
Kemudian pada pasien Tn.R, penyebab dari abses parunya disebabkan oleh
community acquired peneumonia yang sebelumnya didiagnosis di Balai Paru Prov. Sulsel,
namun setelah dirujuk ke RS Wahidin Sudirohusodo didiagnosa Tuberkulosis Paru Lama
aktif lesi luas setelah melakukan foto thorak terbaru. Berikut etiologi dari abses paru:

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu :


a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari spesimen
yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.
b. Kelompok bakteri aerob
Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi
- Staphillococcus aureus
- Streptococcus micraerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumoniae1,2,3,5
Abses sekunder adalah abses yang terjadi sebagai akibat dari kondisi lain. Seperti
contoh: Obstruksi bronkial (karsinoma bronkogenik); penyebaran hematogen
(endokarditis bakterial, IVDU); penyebaran infeksi dari daerah sekitar (mediastinum,
subphrenic).3
Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial
- Klebsiella pneumoniae
- Pseudomonas aeroginosa
- Escherichia coli
- Actinomyces species
- Nocardia species
- Gram negatif bacilli
c. Kelompok jamur (mucoraceae, aspergillus species), parasit, amuba,
mikobakterium1,2,3,5
Prevalensi tertinggi berasal dari infeksi saluran pernapasan dengan mikroorganisme
penyebab umumnya berupa campuran dari bermacam-macam kuman yang berasal dari
flora mulut, hidung, dan tenggorokan.
Faktor predisposisi terjadinya abses paru seorang pasien:
1. Ada sumber infeksi saluran pernafasan.
Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkitis, bronkiektasis dan kanker paru
yang terinfeksi.
2. Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu
Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, kanker esofagus,
gangguan ekspektorasi, dan gangguan gerakan sillia.
3. Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian gigi
yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi abses tergantung pada
posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju lobus medius atau segmen posterior
lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan menuju ke
segmen apikal lobus superior atau segmen superior lobus interior paru kanan, hanya
kadang-kadang aspirasi dapat mengalir ke paru kiri.4

Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi akibat
bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah periodontal
(jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gigi yang sampai ke saluran
pernapasan bawah akan menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki sistem pertahanan terhadap
infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang
menurun, seperti yang ditemukan pada seseorang yang tidak sadar atau sangat mengantuk
karena pengaruh obat penenang, obat bius, atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat pula
terjadi pada penderita gangguan sistem saraf.1,2,3
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus diafragma yang
akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.1
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada
orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah
mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis dan gangguan imunitas.1
Diameter abses bervariasi dari beberapa milimeter sampai kavitas besar dengan ukuran
5-6 cm. Lokalisasi dan jumlah abses bergantung pada bentuk perkembangannya. Abses paru
yang diakibatkan oleh aspirasi lebih banyak terjadi pada paru kanan (lebih vertikal) daripada
paru kiri, serta lebih banyak berupa kavitas tunggal. Abses yang terjadi bersamaan dengan
adanya pneumonia atau bronkiektasis umumnya bersifat multipel, terletak di basal dan tersebar
luas. Septik emboli dan abses yang diakibatkan oleh penyebaran hematogen umumnya bersifat
mulitipel dan dapat menyerang bagian paru manapun.5,6
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektoransikan ke
luar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke
rongga pleura sehingga terjadi empiema yang diikuti dengan terbentuknya fistula
bronkopleura.1,
Diagnosis

Diagnosis biasanya dibuat dengan foto thorax radiologi yang menunjukkan gambaran
kavitas yang disertai air fluid level didalamnya. Biasanya, dinding kavitas tebal dan tidak
teratur, dan terdapat infiltrat paru di sekitarnya. Infiltrat umumnya terlokalisasi di satu segmen
atau lobus paru, dan adenopati hilar tidak prominent. Jika ditemukan abses paru dengan lokasi
multipel lobus , hal ini menunjukkan terjadinya adanya gangguan mekanisme pertahan tubuh
penderita.7

Computed tomography-Scan (CT-Scan) lebih sensitif daripada foto thorax


konvensional karena dapat mendeteksi kavitas yang kecil, memberikan bukti untuk lesi
obstruksi endobronkial, dan membedakan abses paru dari air fluid level di ruang pleura. 7
Pada pasien tipikal rawan aspirasi dengan penyakit gingiva, dan dahak berbau busuk,
diagnosis terduga dapat dibuat, infeksi anaerob polimikroba dapat diasumsikan, dan terapi
dapat dimulai tanpa studi mikrobiologis. 7

Pewarnaan gram dahak pada pasien abses paru-paru menunjukkan banyak neutrofil dan
campuran flora dengan banyak bakteri yang berbeda secara morfologis. Kultur rutin, biasanya
menumbuhkan flora pernapasan normal. Karena ekspektorasi dahak terkontaminasi oleh flora
oral yang mengandung sejumlah besar anaerob. Pasien tanpa gejala klasik dan pasien dengan
abses paru sekunder harus memiliki pewarnaan gram dan biakan dahak untuk bakteri aerob,
mikobakterium, jamur, dalam beberapa kasus parasit. 7

Terapi

1. Terapi antibiotic

Dalam sebuah studi oleh Smith dengan 1650 kasus dari periode 1935 hingga
1945, ketika sulfonamid tersedia, laporan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
agen-agen ini pada dasarnya tidak berdampak pada penyembuhan abses paru-paru.
Selama bertahun-tahun, penicillin dianggap sebagai obat pilihan untuk infeksi anaerob
"di atas diafragma". Dalam beberapa dekade terakhir, bagaimanapun banyak flora
mulut anaerob, termasuk fusobacteria, Prevotella, spp., dan Bacteroides spp. non
fraglis, telah terbukti menghasilkan penisilinase. Penelitian prospektif telah
menunjukkan keunggulan clindamycin dibandingkan penisilin dalam pengobatan abses
paru-paru sebagaimana terjadi resolusi dahak busuk, dan tingkat kekambuhan. 7
Metronidazole yang digunakan sebagai monoterapi telah mengecewakan dan
memiliki efek lebih rendah daripada klindamisin. Metronidazole tidak aktif terhadap
mikroaerofilikstreptokokus dan beberapa kokus anaerob yang merupakan unsur khas
infeksi paru-paru anaerob. Metronidazol yang akan digunakan pada alkoholik harus
digunakan dengan hati-hati karena berpotensi untuk terjadi reaksi seperti disulfiram8
Agen lain yang dapat diprediksi berguna untuk pengobatan abses paru termasuk
kombinasi penisilin dengan inhibitor beta-lacatamase, karbapenem, dan kuinolon
dengan aktivitas anaerobik yang baik (moxifloxacin dan gatifloxacin). Satu studi telah
menunjukkan hasil yang sangat baik menggunakan IV diikuti oleh oral amoksisilin-
klavulanat. 9 Penelitian lain telah menunjukkan bahwa ampisilin sulbaktam sebanding
dengan klindamisin ditambah sefalosporin. Dua penelitian terbaru telah
mendokumentasikan kemanjuran untuk moxifloxacin. kuinolon dengan aktivitas yang
baik melawan anaerob dan spesies streptokokus yang umumnya terlibat dalam abses
paru-paru. Tetrasiklin tidak boleh digunakan karena resistensi luas pada banyak spesies
anaerob. 10

Terapi konservatif standar untuk abses paru-paru dengan bakteri anaerob adalah
clindamycin (600 mg IV pada 8 jam), yang menunjukkan, dalam beberapa uji klinis
superioritas terhadap penisilin dalam hal tingkat respons, durasi demam dan waktu
11
untuk resolusi dahak bau busuk. . Dosis oral amoksisilin-klavulanat untuk orang
dewasa adalah (per 625 mg tab (Klavulanat K 125 mg, amoksisilin trihidrat 500 mg),
per 1 gram tab (Kalvulanat K 125 mg, amoksisilin trihidrat 875 mg) setiap 8jam, 300
hingga 600 mg setiap 8 jam untuk klindamisin, dan 400 mg / hari untuk moxifloxacin .
7

Dianjurkan untuk mengobati abses paru dengan antibiotik spektrum luas, karena
flora polimikroba, seperti Clindamycin (600 mg IV setiap 8 jam) dan kemudian
dilanjutkan 300 mg PO stiap 8 jam atau kombinasi ampicilin /sulbactam (1,5-3 gr IV
stiap 6 h). 9Terapi alternatif adalah piperacilin / tazobactam 3,375 gr IV setiap 6 jam
atau Meropenem 1 gr IV setiap 8 jam. 12Untuk MRSA dianjurkan untuk menggunakan
linezolid 600 mg IV setiap 12 jam atau vankomisin 15 mg / kg BM setiap 12 jam. 13

Jawaban efektif untuk terapi antibiotik dapat dilihat setelah 3-4 hari, kondisi
umum akan membaik setelah 4-7 hari, tetapi penyembuhan total, dengan normalisasi
radiografi dapat dilihat setelah dua bulan. Jika tidak ada perbaikan kondisi umum atau
temuan radiografi, perlu dilakukan bronkoskopi karena beberapa faktor etiologi lain
dan ubah jenis antibiotik.Durasi pengobatan: Tidak ada durasi yang disepakati secara
umum untuk pengobatan abses paru-paru. Pasien sering dirawat selama 6 hingga 8
minggu atau lebih. Satu studi menggunakan clindamycin untuk mengobati abses
anaerob menunjukkan hasil yang sangat baik selama 3 minggu terapi (Murtaza,2015) .
Terapi antibiotik harus bertahan setidaknya sampai demam, dahak busuk dan cairan
abses telah sembuh, biasanya antara 5-21 hari untuk aplikasi antibiotik intravena dan
14
kemudian per aplikasi oral, total dari 28 hingga 48 hari Banyak penelitian
merekomendasikan foto thorax setiap minggu atau dua minggu sekali untuk melihat
perbaikan klini. Penghentian terapi dilakukan ketika foto thoraks sudah bersih atau
masih ada lesi residual kecil yang stabil.

Kegagalan pengobatan dan respons terhadap terapi.

Keluhan demam yang berkurang dan perubahan perasaan yang subjektif lebih baik
dalam beberapa hari awal terapi antimikroba. Defervesensi (keadaan dimana badan mulai
merasa kebih baik) dapat diharapkan dalam 7 sampai 10 hari. Demam persisten melebihi 2
minggu harus mengarah pada tes diagnostik untuk menyingkirkan komplikasi, obstruksi atau
keduanya (CT scan, bronkoskopi), bersama dengan kultur untuk patogen yang tidak biasa,
seperti jamur dan mikobakteri. (Murtaza,2015)

Ketika manajemen medis gagal, paling sering penyebabnya adalah sekunder dari efusi
pleura yang tidak terdrainase, obstruksi endobronkial yang disebabkan oleh neoplasma atau
benda asing, organisme resisten, atau ukuran kavitas besar (diameter> 8 cm). Foto thorax
umumnya menunjukkan perburukan dalam sekitar sepertiga dari pasien selama minggu
pertama pengobatan .

Waktu rata-rata untuk penutupan kavitas adalah 4 minggu, dan untuk infiltrat
membutuhkan waktu dua kali lebih lama penyembuhan . Perbaikan radiografi bisa lebih
lambat dari penyembuhan klinis. Dalam beberapa pasien dengan respon klinis yang membaik
dengan pengobatan, kavitas sembuh perlahan dan mungkin memakan waktu berminggu-
minggu atau berbulan-bulan untuk menghilang secara radiografi; sebagian kecil pasien sembuh
dengan kavitas residu. 7
TERDUGA TB PARU KASUS BARU PADA PASIEN TN.R
Pada pasien ini, didapatkan hasil foto TB Paru lama aktif lesi luas. Berdasarkan International
Standar Of Tuberculosis Care, pada poin standar 5, hasil BTA negatif dan hasil gen Xpert
MTB/RIF negatif , tetapi bukti bukti klinis mendukung ke arah TB, pengobatan anti TB harus
dimulai setelah dilakukan pengumpulan spesimen untuk pemeriksaan biakan.
Sementara pada pasien ini hasil BTA 3x negatif akan tetapi masih menunggu hasil dari tes
molekular cepat agar dapat dimulai pengobatan serta didiagnosis TB paru kasus baru . 15

HIPOALBUMINEMA PADA PASIEN TN.R


Pada pasien ini, didapatkan edema pada dorsum pedis. Hal ini disebabkan akibat keadaan
gizi buruk dimana intake makanan kurang baik pada pasien ini sehingga bermanisfestasi pada
keadaan hipoalbuminemia. Untuk dikoreksi, pasien ini diberi human albumin20% 100cc 10
tetes per menit intravena. 16
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing. 2009. Hal 2323-8
2. Kamangar, Nadar. Lung Abscess. Updated on [Aug 19, 2009] cited on Jan 3, 2013.
Available at URL: http://www.emedicine.medscape.com/article/299425-overview
3. Datin, Abhijit. Lung Abscess. Updated on [May 2, 2008] cited on Jan 3, 2013. Available
at URL: http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
4. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Airlangga University Press. 2005. Hal 136-40
5. Kumar, Vinay. Abbas, Abul. Robbins Basic Pathology, 8th edition. Philadelphia:
Saunders. 2007. Hal 515
6. Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. Imaging of Pulmonolgy Infection,
1st edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. Chapter 1
7. Murtaza M, Iftikhar HM, Muniandy RK, et al. Lung Abscess: Diagnosis, Treatment and
Mortality. International Journal of Pharmaceutical Science Invention. 2015;Vol.2
Is.2:37-41.
8. Hecht DW. Anaerobes: antibiotic resistance, clinical significance, and the role of
susceptibility testing. Anaerobe 2006;12:115-21. [PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
9. Fernandez Sabe N,Carratala J,Dorca J,et al.Efficacy and safety of sequential amoxicillin-
clavulanate in the treatment of anaerobic lung infections.Eur J Clin Microbiol Infect
Dis.2003;22:185-87.
10. Allewelt M, Schüler P, Bölcskei PL, et al. Ampicillin + sulbactam vs clindamycin +/-
cephalosporin for the treatment of aspiration pneumonia and primary lung abscess. Clin
Microbiol Infect 2004;10:163-70. [PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
11. Bartlett JG. How important are anaerobic bacteria in aspiration pneumonia: when should
they be treated and what is optimal therapy. Infect Dis Clin North Am 2013;27:149-55.
[PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
12. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society of
America/American Thoracic Society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007;44 Suppl 2:S27-72.
[PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
13. David MZ, Daum RS. Community-associated methicillin-resistant Staphylococcus
aureus: epidemiology and clinical consequences of an emerging epidemic. Clin
Microbiol Rev 2010;23:616-87. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
14. Takayanagi N, Kagiyama N, Ishiguro T, et al. Etiology and outcome of community-
acquired lung abscess. Respiration 2010;80:98-105. [PubMed] [Google Scholar] [Ref
list]
15. International Standard of Tuberculosis Care 2019.
16. Verena G, Ishwarlal J. Hypoalbuminemia. California Northstate Univeristy. 2018.

Anda mungkin juga menyukai