Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

NEURALGIA POSTHERPETIK

OLEH :
Thathmainnul Qulub C111 10 817
Michael D Salim C111 12 896
Fera M Patiung C111 12 918
Inzana C111 13 303
Erlangga Wana Arfaqiano C111 13 550

Pembimbing :
dr. Sri Parmani

Supervisor :
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa:


Thathmainnul Qulub C111 10 817
Michael D Salim C111 12 896
Fera M Patiung C111 12 918
Inzana C111 13 303
Erlangga Wana Arfaqiano C111 13 550
Judul Referat: Neuralgia Postherpetik
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 13 Juni 2017

Pembimbing :

dr. Sri Parmani

Supervisor :

dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................i

Halaman Pengesahan...............................................................................................ii

Daftar Isi.................................................................................................................iii

Daftar Tabel.............................................................................................................v

NEURALGIA POSTHERPETIK........................................................................1

A. Pendahuluan....................................................................................................1

B. Definisi...........................................................................................................2

C. Epidemiologi...................................................................................................2

D. Etiologi...........................................................................................................3

E. Patofisiologi....................................................................................................5

F. Faktor Risiko..................................................................................................7

G. Manifestasi Klinis.......................................................................................8

H. Diagnosis........................................................................................................9

I. Diagnosis Banding..............................................................................10

J. Pengobatan.....................................................................................11

K. Prognosis...............................................................................................13

L. Pencegahan...................................................................................................14

iii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Diagnosis Banding Neuralgia Postherpetik..............................................10

Tabel 2. Obat-obatan dalam terapi Neuralgia Postherpetik...............................13

iv
v
NEURALGIA POSTHERPETIK

A. Pendahuluan
Neuralgia postherpetik yang biasa dikenal dengan PHN (Postherpetic

Neuralgia) merupakan komplikasi dari herpes zoster yang didefinisikan

sebagai nyeri persisten setelah nyeri akut pada herpes zoster sembuh. Hal ini

terkait dengan gangguan aktivitas sehari-hari, sehingga kualitas hidup

berkurang.(1)
Kejadian dan prevalensi neuralgia postherpetik bervariasi tergantung

pada definisi yang digunakan, namun sekitar seperlima pasien herpes zoster

melaporkan beberapa rasa sakit pada 3 bulan setelah timbulnya gejala, dan

15% melaporkan rasa sakit pada 2 tahun setelah timbul gejala.(2)


Faktor risiko neuralgia postherpetik adalah usia yang semakin tua dan

tingkat keparahan pada gelaja prodromal, ruam, dan nyeri selama fase akut.

Kejadian juga meningkat di antara orang-orang dengan penyakit kronis

seperti penyakit pernafasan dan diabetes.(2)


Neuralgia postherpetik menyebabkan beban kesehatan baik pada

tingkat individu maupun masyarakat. Terkait dengan umur yang menjadi

faktor risiko, neuralgia postherpetik merupakan faktor penting dalam

perubahan dari fungsi aktivitas individu yang menjadi bergantung pada

perawatan tertentu. Karena pasien dengan neuralgia postherpetik dapat

mengurangi kualitas hidup, fungsi fisik, dan kesehatan psikologis.(2)


Dengan adanya erupsi, rasa sakit yang berlanjut selama 3 bulan atau

lebih didefinisikan sebagai neuralgia postherpetik. Rasa sakit yang

dirasakan dapat berupa rasa sakit yang sangat hebat dan dapat digambarkan

sebagai rasa terbakar ataupun menusuk.(3)

B. Definisi

1
Neuralgia postherpetik adalah kondisi nyeri neuropatik yang kompleks

dimana rasa sakit merupakan konsekuensi langsung dari respons terhadap

kerusakan saraf perifer yang terjadi setelah serangan herpes zoster. (2)
Neuralgia postherpetik didefinisikan secara konvensional sebagai nyeri

dermatomal yang bertahan setidaknya 90 hari setelah munculnya ruam herpes

zoster akut. Ambang batas minimal intensitas nyeri klinis yang signifikan,

biasanya skor 40 atau lebih tinggi (tapi kadang-kadang 30) pada skala Likert

mulai dari 0 (tanpa rasa sakit) hingga 100 (rasa sakit yang paling mungkin

terjadi).(2)

C. Epidemiologi
Dari data yang ada, insidensi PHN adalah 3-5 kasus per 1000 orang per

tahun. Dan dari penelitian yang dilakukan di United States 18% pasien dilaporkan

merasakan nyeri paling tidak selama 30 hari dan 10% merasakan nyeri selama 90

hari.(4)
Analisis data dari penelitian praktik umum inggris menunjukkan bahwa

kejadian PHN (seperti yang didefinisikan oleh rasa sakit pada 3 bulan) meningkat

dari 8% pada usia 50 sampai 54 tahun menjadi 21% pada usia 80 sampai 84 tahun.
(2)

Di Amerika Serikat frekuensi PHN 1 bulan setelah onset herpes zoster

adalah 9-14,3% dan pada 3 bulan sekitar 5%. Pada 1 tahun, 3% terus mengalami

sakit parah. (3)


Sebuah studi dari Islandia menunjukkan variasi dalam risiko PHN terkait

dengan kelompok usia yang berbeda. Tidak ada pasien yang lebih muda dari 50

tahun yang menggambarkan nyeri parah setiap saat. Pasien yang berusia lebih dari

60 tahun menggambarkan nyeri parah: 6% pada 1 bulan dan 4% pada 3 bulan

sejak awitan herpes zoster.(3)

2
Sebuah studi menjelaskan pasien herpes zoster yang mengalami PHN adalah

sebesar 43,9% di Amerika dan 19,5% terjadi di Asia.(5)

D. Etiologi

Neuralgia postherpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus

varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang

menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur

virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung

lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki

diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi virus yang terjadi

senantiasa pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken pox).

Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3),

biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di

ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus

kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus

kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.

Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari

reaktivasi infeksi virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam

tubuh seseorang). Virus ini bersifat laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf

wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan varicella (cacar air)

sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun bila

sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis.

Sekitar 90% orang dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium

serologik (diambil dari darah) ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster

sehingga menempatkan mereka pada kelompok resiko tinggi herpes zoster. Angka

3
insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2 hingga 3.4 per-1000

orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya bisa mencapai

lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan

mengalami NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko

perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun)

mencapai 10 kasus per-1000 orang pertahun, sementara NPH juga mencapai 50%

pada pasien-pasien ini dan mengalami nyeri yang berkepanjangan (dalam

hitungan bulan bahkan tahun). NPH sendiri menimbulkan masalah baru akibat

disability, depresi dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup.

Sekali NPH terjadi, akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.

E. Patofisiologi

Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam reseptor

saraf, yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosiseptor polimodal.

Mekanoseptor diaktivasi oleh stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh

serabut saraf A dan C, sedangkan termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal

yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut saraf C. Serabut saraf A dan C

merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron sensoris primer.

Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus secara

lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan mentransmisikan nyeri

tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf A bermyelin tipis dan mengalirkan

stimulus dengan cepat. Serabut saraf A merespons sentuhan ringan, suhu,

tekanan, serta nyeri bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai

4
dengan proporsi intensitas stimulus yang diterimanya. Neuralgia pascaherpetika

termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau

disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri neuropatik terjadi kerusakan saraf

perifer dan perubahan sinyal sistem saraf pusat, sehingga terjadi letupan potensial

aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang menurun, dan peningkatan respon

terhadap stimulus. Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan

pada setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan

neuralgia pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion

dorsalis menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan,

nekrosis dan kematian sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara

sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan

kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah

medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini

menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.

Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang

halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap

suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar.

Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga

timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak

menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya sebagian besar input

serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A

yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan superfi sial kornu

dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut

saraf A yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga

5
stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai

nyeri.1,5,8 Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang

menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa

alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari

serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah

glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat

diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan

istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik -amino-3-hidroksi-5-

metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik

glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium

sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat

glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang

berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran

yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion

magnesium yang selanjutnya menyebabkan infl uks kation-kation ke dalam sel

dan depolarisasi membran makin progresif. Neuralgia pascaherpetika juga dapat

terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris

baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun

sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran sel.

Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru.

Tunastunas baru ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak

mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan

terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul

transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan

6
terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap

suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan

menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan

spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya

nyeri konstan pada area tersebut.(6)

F. Faktor Risiko
Faktor resiko utama Neuralgia pasca Herpetika adalah pertambahan usia.

Kondisi ini jarang terjadi pada seseorang dengan usia kurang dari 50 tahun, akan

tetapi, diantara orang yang telah terkena infeksi herpes akut, neuralgia pasca

herpetika berkembang 20 persen pada usia 60 sampai 65 tahun dan paling banyak

lebih dari 30 persen pada usia lebih dari 80 tahun . risiko lain. : distribusi. di.

daerah. oftalmik, ansietas, depresi, wanita dan diabetes.(11)


G. Manifestasi Klinik
Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster. Kurang

dari seperempat pasien masih merasakan nyeri 6 bulan setelah lesi herpes zoster

muncul, bahkan ada yang masih merasakan nyeri setelah 1 tahun. Pasien

mengeluhkan nyeri seperti terbakar atau nyeri tumpul yang terus menerus dengan

atau tanpa nyeri tajam (seperti disayat) paroksismal. Keduanya dapat muncul

spontan dan dapat diperberat hanya dengan sentuhan ringan seperti kontak kulit

dengan pakaian atau seprai atau karena terkena hembusan angin (Allodynia).

Aktivitas fisik, perubahan suhu dan emosi dapat mengeksaserbasi nyeri. Kualitas

hidup pasien dapat sangat terpengaruh sampai mengalami depresi. (6)


Pada autopsi pasien dengan neuralgia pascaherpetika, terdapat atrofi kornu

dorsalis medula spinalis ipsilateral, sedangkan pada pasien pernah menderita

herpes zoster yang tidak mengalami neuralgia pascaherpetika tidak didapatkan

7
atrofi tersebut. Pada biopsi kulit, di tempat yang mengalami neuralgia

pascaherpetika terdapat penurunan densitas persarafan sensorium epidermal

dibandingkan dengan sisi kontralateralnya yang tidak mengalami neuralgia

pascaherpetika.(6)

H. Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan

gejala tipikal herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada

erupsi kulit, nyeri yang timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau

yang dikenal sebagai nyeri post herpetik. Nyeri ini sering digambarkan

sebagai rasa terbakar, tertusuk-tusuk, gatal atau tersengat listrik.(7,8,9)


b. Pemeriksaan Fisik
- Terlihat adanya raut wajah kesakitan pada saat serangan nyeri
- Pada inspeksi dapat ditemukan bekas ruam atau jaringan parut pada

area kulit sesuai dengan dermatom


- Di daerah dermatom atau area persarafan bekas ruam dapat

ditemukan hipestesi atau anestesi, alodinia atau hiperalgesia. Nyeri

biasanya dipicu oleh pergerakan atau perubahan suhu.

c. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis dari anamnesis

dan pemeriksaan fisik. Anamnesis yang mengarahkan adalah

riwayat ruam pada area kulit yang dirasakan nyeri. Derajat

keparahan nyeri saat ruam timbul, riwayat penyakit kronis,

penggunaan obat tertentu, aktivitas harian dan kondisi psikososial

dapat membantu untuk menentukan faktor resiko. Tipe nyeri yang

dirasakan merupakan tipe nyeri neuropatik. Waktu timbulnya nyeri

8
adalah lebih dari 1 bulan setelah resolusi ruam kulit. Pemeriksaan

fisis alodinia atau hiperalgesia pada bekas daerah ruam mendukung

neuralgia paska herpes.

I. Diagosis Banding
Tabel 1. Diagnosis Banding Neuralgia Postherpetik(10)

Nyeri neuropatik Riwayat trauma pada lokasi nyeri penting untuk


paska trauma membedakan dengan neuralgia paska herpetika

Berdasarkan lokasi yang sering, diagnosis banding neuralgia postherpetika yaitu :


a. Wajah

Lokasi nyeri unilateral, kualitas nyeri berdenyut, ada


Migren mual dan muntah, ada aura. Migren dengan aura :
gejala migrain disertai adanya gangguan visual
Lokasi nyeri unilateral seperti tersengat listrik,
singkat, serbatas pada daerah distribusi salah satu
Trigeminal
cabang atau lebih nervus trigeminal, dipicu oleh
neuralgia
stimulus ringan seperti membasuh wajah, bercukur,
berbicara
Hemikrania Lokasi nyeri dahi atau retrobulber, gejala autonom
paroksismal prominen
kronis
Nyeri kepala Lokasi nyeri unilateral, nyeri retro orbita, kualitas
cluster nyeri seperti di tusuk
Nyeri spontan di daerah telinga, dara lidah atau sudut
Neuralgia
rahang bawah ( daerah inervasi ramus aurikularis
glosofaringeal
nervus IX)
Sindrom tolosa Terdapat paralisis nervus kranialis III, IV dan V.
hunt

b. Dada

Sindrom Nyeri Pada pemeriksaan ditemukan trigger point


miofasial
Rasa terbakar, tertindih, mencengkram, dapat
Nyeri dada kardial
menyebar ke dagu atau lengan kiri.
Penyakit refleks Rasa terbakar pada daerah ulu hati ke dada, nyeri
gastro esofageal berhubungan dengan pola makan

9
J. Pengobatan
Saat ini tidak ada terapi modifikasi penyakit untuk neuralgia

postherpetik. Dengan demikian, pengobatan didasarkan pada kontrol gejala.

Karena rasa sakit bisa bertahan bertahun-tahun atau seumur hidup, obat

sering dibutuhkan dalam waktu lama. Penting untuk memantau efek

intervensi terhadap intensitas nyeri dan untuk memodifikasi atau

menghentikan perawatan yang tidak menghasilkan penghilang rasa sakit

yang cukup berarti atau memiliki efek buruk melebihi manfaatnya.

Percobaan acak terkontrol plasebo mendukung keefektifan beberapa agen

topikal dan oral.

Terapi topikal
Terapi topikal saja masuk akal untuk dipertimbangkan sebagai

pengobatan lini pertama untuk nyeri ringan. Kadang-kadang digunakan

dalam kombinasi dengan obat sistemik saat rasa sakit sedang atau parah,

walaupun data kurang dari uji coba secara acak yang membandingkan

kombinasi terapi topikal dan sistemik dengan terapi saja. Patch yang

mengandung 5% lidokain disetujui untuk pengobatan neuralgia postherpetik

di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, bukti untuk mendukung

kemanjurannya terbatas.
Krim Capsaicin 0.075% mungkin bisa membantu. Namun,

penggunaannya terbatas karena harus dioleskan empat kali sehari dan itu

menyebabkan rasa terbakar dan menyengat jangka pendek dan eritema saat

diterapkan. Sebuah meta-analisis dari empat percobaan terkontrol acak

(melibatkan total 1272 peserta) menunjukkan bahwa lempeng capsaicin

10
dengan konsentrasi tinggi (8%), bila diterapkan selama 30 sampai 90 menit

(setelah penerapan anestesi topikal), memberikan secara signifikan

Terapi Sistemik
Ada bukti untuk mendukung penggunaan antidepresan trisiklik dan

obat antiepilepsi gabapentin dan pregabalin untuk pengobatan neuralgia

postherpetic. Meta-analisis dari empat uji coba antidepresan trisiklik dengan

metode placebo terkontrol membuktikan efek obat untuk mendapatkan

penghilang rasa sakit yang bermakna dengan amitriptyline, desipramine,

atau nortriptyline.
Meskipun beberapa data percobaan klinis telah menyarankan bahwa

opioid (morfin dan oksikodon) efektif dalam neuralgia postherpetik,

tinjauan Cochrane yang lebih baru menyimpulkan bahwa tidak ada bukti

yang meyakinkan dan tidak bias mengenai manfaat oksikodon dalam

mengobati gangguan tersebut. Opioid, termasuk tramadol, harus Umumnya

dianggap sebagai obat lini ketiga untuk neuralgia postherpetik setelah

berkonsultasi dengan spesialis dan harus ditentukan hanya dengan tujuan

yang tepat.
Obat-obatan antiinflamasi asetaminofen dan nonsteroid umumnya

dianggap tidak efektif untuk nyeri neuropatik, walaupun belum dievaluasi

secara komprehensif dalam uji coba terkontrol secara acak. Obat antiviral

dan antagonis reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) tidak efektif dalam

menghilangkan neuralgia postherpetic.


Tabel 2. Obat-obatan dalam terapi Neuralgia Postherpetik (IASP,2015) (4)
Golongan Dosis per hari Durasi Pengobatan

11
Anti Depresan Trisiklik:
Amitriptilin 75 - 100 mg 3-6 minggu
Despiramin 160 250 mg 6 8 minggu
Nortriptilin 160 mg 8 minggu

Pregabalin 150 600 mg 4 13 minggu


Gabapentin 1800 3600 mg 7 8 minggu
Tramadol 50 100 mg 6 minggu
Opioid :
Oksikolon 60 mg 4 minggu
Morphine 240 mg 8 minggu
Kapsaicin 8% Single application 4 12 minggu
Krim kapsaicin 0.075% krim 6 minggu

K. Prognosis
Pasien harus diberi tahu tentang manfaat dan potensi efek samping

pengobatan, dan mereka harus memahami bahwa nyeri tidak akan segera

hilang dan penilaian ulang yang sering akan dibutuhkan. Jika pereda nyeri

tidak memadai, dosis harus ditingkatkan. Pemantauan pengobatan

diperlukan untuk menilai pereda nyeri, efek samping, kepuasan dengan

pengobatan, dan aktivitas hidup sehari-hari.


Sekitar 2 persen orang dengan herpes zoster akut dalam survei

praktek umum di AS mengalami rasa sakit selama lebih dari lima tahun.

Prevalensi nyeri berkurang seiring waktu berlalu setelah episode awal.

Setelah neuralgia postherpetik bertahan lebih dari satu tahun, sekitar 50

persen orang akan mengalami rasa sakit yang signifikan, dan 50 persen akan

sembuh atau menggunakan pereda nyeri dengan pengobatan pada rata-rata

follow up hingga dua tahun.

L. Pencegahan
Uji coba obat antiviral terkontrol plasebo untuk herpes zoster akut

telah menunjukkan bahwa mereka mengurangi keparahan rasa sakit dan

12
ruam akut, resolusi ruam yang cepat, dan mengurangi durasi rasa sakit.

Percobaan ini tidak dirancang untuk menilai kejadian neuralgia postherpetik

berikutnya. Dua uji coba secara acak telah menunjukkan bahwa

penambahan glukokortikoid sistemik terhadap obat antivirus selama fase

akut herpes zoster tidak mengurangi kejadian neuralgia postherpetik.

Percobaan lain menunjukkan tidak ada penurunan yang signifikan dalam

risiko neuralgia postherpetik setelah injeksi epidural methylprednisolone

dan bupivacaine, diberikan selain pengobatan standar (agen antivirus dan

analgesik) untuk herpes zoster akut. Dalam satu percobaan terkontrol

plasebo, amitriptilin dosis rendah, Dimulai segera setelah diagnosis herpes

zoster dan berlanjut selama 90 hari, secara signifikan mengurangi kejadian

nyeri pada 6 bulan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk

mengkonfirmasi temuan ini. Satu-satunya dokumentasi baik untuk

mencegah neuralgia postherpetik adalah pencegahan herpes zoster. Vaksin

VZV yang dilemahkan hidup telah tersedia sejak 2006; Awalnya

dilisensikan untuk orang yang imunokompeten berusia 60 tahun atau lebih

tapi sekarang disetujui untuk orang berusia 50 tahun atau lebih. Dalam uji

coba secara acak pada kelompok usia yang lebih tua, penggunaannya

mengurangi kejadian herpes zoster sebesar 51% dan kejadian neuralgia

postherpetik sebesar 66%. Pada pasien berusia 70 tahun atau lebih tua

dibandingkan dengan usia 60 sampai 69 tahun, vaksin tersebut kurang

efektif dalam mengurangi risiko herpes zoster (pengurangan 38%) namun

memberikan perlindungan serupa terhadap neuralgia postherpetik

(penurunan 67%) . Studi serupa yang melibatkan orang berusia 50 sampai

13
59 tahun menunjukkan bahwa vaksinasi mengurangi kejadian herpes zoster

sebesar 70%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hong MJ, Kim YD, Cheong YK, Park SJ, Choi SW, Hong HJ. Epidemiology

of Postherpetic Neuralgia in Korea: An Electronic Population Health

Insurance System Based Study. Vol: 95. Iksan, South Korea: Wonkwang

University; 2016. p.3304.

2. Johnson RW, Andrew SC, Postherpetic Neuralgia. The New England Journal

of Medicine. 2014. p.1526-7.

3. McElveen WA, Sinclair D. Postherpetic Neuralgia. MedScape. 2016.

4. International Association for the Study of Pain. Treating Herpes Zoster and

Postherptic Neuralgia. Vol 23. No.4. 2015. p.1.

5. Kawai K, Rampakakis E. Predictors of postherpetic neuralgia in patients with

herpes zoster: a pooled analysis of prospective cohort studies from

North and Latin America and Asia. International Journal of Infectious

Disease. Vol 34. 2015. p.126-131.

14
6. Regina, Wijaya L. Neuralgia Pascaherpetika.SMF Ilmu Kesehatan Kulit

kelamin.2012 : 39 (6).

7. Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago : The

Internet Journal of Orthopedic Surgery.

8. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and

Therapeutic Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine

Review. p102-111

9. Wijck Van, Albert J. M. Wallace, Mark. Herpes Zoster and Post-Herpetic

Neuralgia : 2010. World Institute of Pain. p3-4

10. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis

Neurologi. 2015.

11. Watson, Peter. "Postherpetic Neuralgia". American Academy of Family

Physician (2011): 301-303.

12. Wijaya L, Smf D, Kesehatan I. Neuralgia Pascaherpetika. 2012 :39 (6) : 416-

419.

13. Gupta R, Farquhar Smith P. Post Herpetic Neuralgia. British Journal of

Anaesthesia. 2012;12(4):181-185.

14. Portella A, de Souza L, Gomes J. Herpes-Zoster and Post-herpetic neuralgia.

Scielo [Internet]. 2013 [cited 7 June 2017];14(3):210-215.

15. Goldsmith L, Fitzpatrick T. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 8th

ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2012.

15
16. Rowland L, Louis E, Mayer S. Merritt's Neurology. 10th ed. Philadelphia:

Wolters Kluwer; 2000.

16

Anda mungkin juga menyukai