Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION

“ ASMA BRONKIAL“

PEMBIMBING
dr. Ni Made Chandra Mayasari, M.Biomed, Sp.A

OLEH:
Kurniawan Hidayat
015.06.0012

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KLUNGKUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan Case Based
Discussion dengan kasus “ Asma Bronkial ”.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan
klinik di bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Klungkung.Penulis mengucapkan
terimakasih kepada para dokter pendidik klinis yang menjadi tutor atau fasilitator yang
membimbing selama melaksanakan tugas ini, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan
bagi penulis.
Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
sehingga penulis menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan
laporan kasus.

Klungkung - Bali, 01 April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 5
2.1 Definisi Asma.................................................................................... 5
2.2 Epidemiologi Asma........................................................................... 5
2.3 Etiologi Asma.................................................................................... 5
2.4 Faktor Resiko Asma.......................................................................... 6
2.5 Patofisiologi Asma............................................................................. 6
2.6 Klasifikasi Asma................................................................................ 6
2.7 Manifestasi Klinis Asma.................................................................... 7
2.8 Diagnosis Asma................................................................................. 8
2.9 Penatalaksanaan Asma....................................................................... 10
2.10 Komplikasi Asma............................................................................ 11
2.11 Prognosis Asma............................................................................... 6
BAB III LAPORAN KASUS......................................................................... 13
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 24
BAB V KESIMPULAN.................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah inflamasi kronik dari saluran pernapasan yang menyebabkan obstruksi
saluran napas yang bersifat reversibel dan episodik. Inflamasi kronik tersebut merupakan
suatu reaksi reponsivitas berlebih dari jalan napas. Penyebab dari asma pada anak sendiri
belum diketahui secara pasti, namun faktor lingkungan, keturunan, dan genetik telah
dianggap memiliki kontribusi dalam etiologi asma pada anak.1
Asma telah menjadi masalah kesehatan global yang serius yang dapat terjadi pada
semua kelompok umur. Prevalensi asma bertambah di berbagai negara, terutama yang
terjadi pada anak-anak.2 Pada tahun 2012, menurut laporan dari Global Burden of Diseases
diperkirakan terdapat sebanyak 334 juta jiwa di seluruh dunia yang menderita asma. 3
Berdasarkan National Health Interview Survey, sejak tahun 2007, 9% anak berusia 0 – 17
tahun di Amerika menderita asma, sekitar 6.7 juta dari seluruh jumlah populasi anak. 4
Prevalensi asma di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti, namun hasil
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner
International Study on Asthma and Allergy in Children (ISAAC) tahun 1995, prevalensi
asma berkisar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 5,2%. 5 Beban
yang ditimbulkan dari penyakit asma antara lain adalah menyebabkan anak tersebut tidak
bisa beraktifitas seperti biasanya, membuatnya harus ijin dari sekolah, harus menjalani
perawatan di rumah sakit, terutama pada anak berusia 0-4 tahun.3
Meskipun asma adalah sebuah penyakit yang cukup membebani kehidupan seseorang,
terutama pada usia anak-anak, asma dapat dikendalikan apabila ditangani dengan baik.
Apabila asma dalam keadaan yang terkendali, gejala klinis yang dialami pasien umumnya
tidak sampai mengganggu kehidupan, dapat membaik hanya dengan pengobatan minimal
dan dapat mencegah terjadinya serangan berulang, sehingga pengobatan dan penanganan
bila diberikan secara efektif maka akanmeningkatkan kualitas hidup dan memperbaiki
kehidupan fungsional seseorang.2

1
1.2 Tujuan

1.2.1 Untuk mengetahui definisi Asma

1.2.2 Untuk mengetahui epidemiologi Asma

1.2.3 Untuk mengetahui etiologi dan faktor resiko Asma

1.2.4 Untuk mengetahui patofisiologi Asma

1.2.5 Untuk mengetahui manifestasi klinis Asma

1.2.6 Untuk mengetahui diagnosis Asma

1.2.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan Asma

1.2.8 Untuk mengetahui prognosis Asma

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma


Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) 2016, Asma adalah penyakit
heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan jalan napas kronis. Hal ini didefinisikan
oleh riwayat gejala pernafasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk yang
bervariasi dari waktu ke waktu dan masuk intensitas, bersama dengan keterbatasan aliran
udara ekspirasi2
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional asma
yaitu penyakit saluran respiratorik dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan
obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi asma
dapat beruba batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan
atau berulang, reversible, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya
timbul jika ada pencetus.7
2.2 Epidemiologi
Menurut Global Burden of Disease Study, sebanyak 334 juta orang di dunia
merupakan penderita asma. Survey International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) menyebutkan bahwa 14% dari anak- anak di dunia mengalami gejala
asma, dengan prevalensi tertinggi di Amerika Latin, Eropa, Amerika Utara, dan Afrika
Selatan.5 Secara global, prevalensi asma meningkat drastis dengan kenaikan sebesar 50%
setiap dekade.1
Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner
ISAAC tahun 1995, prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat
meningkat 5,2%.5 Anak berusia 0-17 tahun mempunyai prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang dewasa berusia di atas 18 tahun, 9,5% : 7,7 % selama periode
2008-2010. Dan wanita mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki
yaitu 9,2% dibandingkan dengan 7,7%.8,9
Prevalensi asma di Indonesia bervariasi di berbagai daerah. Hasil penelitian
menggunakan kuesioner ISAAC memperoleh prevalensi asma pada kelompok usia 6-7

3
tahun sebesar 3% di Bandung sampai 8% di Palembang. Pada kelompok usia 13-14 tahun,
prevalensi asma di Bandung sebesar 5,2%, di Jakarta sebesar 12,5%, dan tertinggi di
daerah Subang dengan prevalensi asma sebesar 24,4%.7
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Sampai saat ini etiologi asma masih belum jelas. Namun dicurigai asma terjadi karena hasil
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Secara umum, faktor risiko asma dibedakan
menjadi 2 kelompok, yaitu :1
1. Faktor genetik
A. Hiperreaktivitas
B. Atopi/ alergi bronkus
C. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
D. Jenis kelamin laki- laki
E. Ras/ etnik
2. Faktor lingkungan
A. Alergen didalam ruangan (tungau,debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
B. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
C. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
D. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
E. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
F. Ekspresi emosi berlebih
G. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
H. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
I. Exercise induced asthma
J. Perubahan cuaca
2.4 Patofisiologi
Kombinasi lingkungan dan faktor genetik pada awal kehidupan membentuk
bagaimana sistem kekebalan tubuh berkembang dan merespon terhadap paparan lingkungan.
Mikroba pada saluran pernafasan, aeroalergen, dan racun yang dapat mengiritasi saluran
udara bagian bawah dan mengakibatkan proses penyakit di paru- paru. Penyimpangan

4
respon imun dan respon perbaikan saluran udara menyebabkan penyakit ini menjadi
persisten.2

Gambar 2.1 Etiologi dan patogenesis dari asma.1

Paparan lingkungan terdiri atas aeroalergen, infeksi pernapasan akibat virus, dan
polutan udara (kimia maupun biologis) seperti asap rokok. Aeroalergen dapat berasal dari
dalam maupun luar ruangan. Menghindari paparan terhadap aeroalergen dapat mengurangi
eksaserbasi asma. Virus yang umumnya berperan dalam infeksi pernapasan berulang pada
masa anak-anak adalah rhinovirus, virus influenza, adenovirus, virus parainfluenza, dan
metapneumovirus. Polutan udara seperti asap tembakau, ozon, dan sulfur dioksida dapat
memperburuk peradangan saluran udara dan meningkatkan keparahan asma. Bau yang kuat,
udara kering dan dingin dapat memicu bronkokonstriksi ketika saluran udara teriritasi tetapi
tidak memperburuk peradangan atau saluran udara hiperresponsifitas. Keseluruhan paparan
lingkungan ini menimbulkan respon imun yang pada akhirnya menyebabkan proses
peradangan patogenik yang berkepanjangan dan terjadinya penyimpangan perbaikan dari
cedera yang terjadi saluran udara.2
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor

5
atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa. Limfosit T
mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th2
terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan
IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat maupun yang cell-mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul
MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I
pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cells/ APC yang utama
dalam saluran napas. Kemudian sel-sel tersebut berimigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di
bawah pengaruh GM-CSF. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju
daerah yang banyak mengandung limfosit. Di sana dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien asma atopik
dan non- atopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T- eosinofil sangat
penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh ditemukannya sel yang
mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma atopik. IL-5 merupakan sitokin
yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat keberadaannya pada mukosa saluran
respiratorik pasien asma berkorelasi dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.7

2.4.1 Inflamasi Akut dan Kronik


Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons alergi
fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi
cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE- spesifik
terutama sel mast dan makrofag. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia
serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik dan
enzim glikolitik dan heparin serta mediator seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin
dan oksigen reaktif. Mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran
respiratorik dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasdilatasi dan
kebocoran mikrovaskuler. Selama respons fase lambat dan selama berlangsung
paparan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratorik menghasilkan sitokin-sitokin

6
ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya sel lekosit pro inflamasi terutama
eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.

2.4.2 Remodelling Saluran Respiratori


Remodeling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi struktur
sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi berlebih
faktor pertumbuhan profibrotik/ transforming growth factors (TGF-b) dan proliferasi
serta diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodeling. Myofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-
faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot
polos saluran respiratorik dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah
vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks
molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran respiratorik secara
langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
Hipertrofi dan hyperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat.
Secara keseluruhan, saluran resporatorik pada asma memperlihatkan perubahan
struktur saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan
dinding saluran respiratorik. Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran
respiratorik yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang
menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan
inhalasi kortikosteroid. Beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran
respiratorik residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala,
hal ini mencerminkan adanya remodelling saluran napas.1,7

7
2.5 Patofisiologi Asma
2.5.1 Obstruksi Saluran Respiratorik
Obstruksi saluran repsiratorik yang disebabkan oleh inflamasi pada pasien asma
merupakan penyebab keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau
setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada
asma : batuk, sesak dan wheezing dan disertai hiperreaktivitas saluran respiratorik.
Batuk disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator
inflamasi dan terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan gejala tunggal
dari asma.
Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.
Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh
pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi seperti: histamin, triptase, prostaglandin D2 dan
leukotriene C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin
dari saraf eferen postganglion. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh
penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remodelling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori
serta deposisi matriks pada dinding akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan
lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, proein plasma yang keluar melalui
mikrovaskular bronkus dan debris selular.

2.5.2 Hipereaktivitas Saluran Respiratorik


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis
yang secara klinis palin relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang
bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum
diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas
(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan
kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah

8
peribronkal dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot
polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan
stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif
kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1).
Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol
garam hipertonik, adenosin tidak mempunyai efek langsung terhadap otot polos tapi
dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel- sel
lain pada saluran respiratorik. Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara histamin
didapatkan penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamine kurang dari 8 mg%.7

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan umur7

- Asma pada bayi- baduta (dibawah dua tahun)


- Asma pada balita (dibawah lima tahun)
- Asma pada usia sekolah (usia 5-11 tahun)
- Asma pada remaja (usia 12-17 tahun)

Klasifikasi berdasarkan Fenotipe7


Diklasifikasikan berdasarkan penampakan serupa dalam aspek klinis, patofisiologi dan
demografis.
1. Asma tercetus infeksi virus

9
2. Asma tercetus aktivitas
3. Asma tercetus allergen
4. Asma obesitas
5. Asma dengan banyak pencetus
Berdasarkan kekerapan timbul gejala7
1. Asma Intermitten
2. Asma persisten ringan
3. Asma persisten sedang
4. Asma persisten berat
Berdasarkan derajat kendali tatalaksana asma
Tujuan tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit. Berdasarkan tingkat
terkendalinya gejala asma, diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Asma terkendali = asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat asma atau
kualitas hidup baik.
b. Asma terkendali penuh :
o Tanpa obat pengendali : asma intermitten
o Dengan obat terkendali : asma persisten ringan sedang
c. Asma tidak terkendali

GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola
obstruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan,
klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat kesulitan dalam penentuan
etiologi spesifik dari

Tabel 1. klasifikasi asma berdasarkan GINA

10
PEF atau FEV1
Gejala/hari Gejala/malam
PEF variability
< 1x/minggu, asimtomatik
Derajat 1 ≥80%
dan nilai PEF normal ≤ 2 kali sebulan
Intermiten < 20 %
diantara serangan
Derajat 2 >1 kali perminggu, < 1 kali
≥ 80%
Persisten perhari, serangan > 2 kali sebulan
20%-30%
ringan mengganggu aktivitas
Derajat 3
Sehari sekali, serangan 60-80%
Persisten >1 kali perminggu
mengganggu aktivitas >30%
sedang
Derajat 4 Terus menerus sepanjang ≤ 60%
Sering
Persisten berat hari, aktivitas fisik terbatas >30%

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan PNAA

Table 3. Klasifikasi derajat serangan asma

2.7 Gejala Klinis

11
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak
yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa berat gejala
biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan
inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan
aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau
keluarganya dapat menunjang penegakan diagnosis.6

2.8 Diagnosis
Penegakan diagnosis asma sama seperti penyakit lainnya, yaitu dengan mengikuti
alur anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
1. Gejala seperti wheezing, batuk, sesak napas, dada seperti tertekan, dan produksi
sputum. Gejala- gejala ini timbul secara episodik atau berulang.
2. Variabilitas intensitas gejala yang bervariasi. Biasanya gejala lebih berat salam
malam hari atau dini hari.
3. Gejala yang dirasakan bersifat reversibel secara spontan atau dengan pemberian
obat pereda asma.
4. Faktor pencetus timbulnya gejala berupa: iritan (asap, suhu dingin, udara kering,
makanan/ minuman dingin, pengawet makanan, penyedap rasa, dll), alergen

12
(debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari), infeksi saluran napas
akut viral, aktivitas fisik (bermain, berlari, berteriak, menangis, tertawa
berlebihan).
5. Riwayat alergi pada pasien atau keluarga7
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat normal saat tidak ada gejala. Saat terjadi serangan
dapat terdengar wheezing saat ekspirasi (audible wheeze/ dengan stetoskop). Perlu
dicari gejala alergi lain pada pasien. Crackles dan wheezing inspiratoir bukan
merupakan gejala asma.2,7
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometri
Spirometri dilakukan sebagai evaluasi diagnostik semua pasien asma yang
berusia 5 tahun atau lebih, untuk melihat adanya obstruksi aliran udara.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan fungsi paru yang mengukur kecepatan
atau aliran udara yang dapat diinspirasi maupun dieskpirasi. Forced expiratory
volume saat detik pertama ekspirasi (FEV1) diukur dan dibandingkan dengan
seluruh udara yang dapat diekspirasi dengan paksa (forced vital capacitty
(FVC)). Rasio perbandingan FEV1/FVC yang menurun memastikan diagnosis
asma. (Normal dewasa: >0,75- 0,8, anak- anak: >0,9)
2. Peak flow meter (PFM)
PFM merupakan alat pengukur faal paru sederhana yang dapat digunakan di
rumah sebagai monitoring. Meskipun begitu spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena spirometer dinilai lebih akurat.
3. Uji reversibilitas dengan bronkodilator
Peningkatan > 12 % dari nilai dasar FEV 1 atau FVC menunjukkan obstruksi
aliran napas yang reversibel, sesuai dengan diagnosis asma. Tetapi respon
terhadap bronkodilator yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis asma.
4. Uji provokasi bronkus
Tes ini dilakukan untuk menilai ada tidaknya hiperresponsif bronkus dengan
menggunakan latihan jasmani, udara dingin, manitol atau methacholine.

13
Penurunan FEV1 > 20% atau PEFR >15% mengindikasikan hiperresponsif aliran
napas, sesuai dengan diagnosis asma.
5. Uji alergi dapat digunakan untuk menilai ada tidaknya alergi. Skin prick test,
Peningkatan kadar IgE atau uji alergi positif menyokong menegakkan diagnosis
asma.
6. Foto thorak pada pasien asma biasanya tidak didapatkan kelainan. Foto thorak
digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang tidak disebabkan oleh asma,
seperti gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronis, atau fibrosis kistik.2,10

14
2.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana jangka panjang asma pada anak bertujuan untuk mencapai kendali
asma dan mengurangi risiko serangan, penyempitan saluran respiratori yang menetap
dan efek samping pengobatan, sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang
anak secara optimal. Tatalaksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi
tatalaksana medikamentosa dan tatalaksana non-medikamentosa.7
2.7.1.1 Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma dengan cepat apabila sedang timbul.
Ketika serangan asma sudah teratasi dan sudah tidak menimbulkan gejala lagi,
maka pemakaian obat pereda dapat dihentikan. Obat-obatan ini juga digunakan
untuk pencegahan jangka pendek terhadap asma yang diinduksi oleh aktivitas.
Obat-obatan termasuk kedalam kategori ini adalah β2 agonis kerja
pendek/short-acting β2 agonist (SABA).
Obat pengendali digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini
digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik
kronik. Obat ini digunakan dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung
dari kekerapan gejala asma dan respon terhadap pengobatan. Obat pengendali
terdiri dari kortikosteroid inhalasi/inhaled corticosteroids (ICS), anti
leukotrien, kombinasi β2 agonis kerja panjang/long-acting β2 agonist (LABA),
teofilia lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.2,7

15
2.7.1.2 Cara Pemberian Obat
Idealnya obat asma diberikan secara inhalasi, yang dapat diberikan
menggunakan nebuliser, inhalasi dosis terukur/metered dose inhaler (MDI),
atau dry power inhaler (DPI). Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur,
kemampuan dan keadaan pasien serta mempertimbangkan efikasi obat,
keamanan, kenyamanan penggunaan, ketersediaan dan biaya. MDI dengan
spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada
pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping
minimal, serta biaya lebih murah. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali dalam menggunakan alat ini.
Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam orofaring sehingga
jumlah obat yang tertelan akan berkurang dan efek sistemik juga akan
berkurang. Sebaliknya, deposisi obat dalam paru lebih baik. Pemakaian spacer
juga akan mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian MDI. DPI seperti
diskhaler, swinghaler,turbuhaler, dan swinghaler memerlukan inspirasi yang
kuat sehingga umumnya tidak dianjurkan untuk anak-anak usia sekolah.
Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber, babyhaler, dan
autohaler sulit diperoleh, spacer dapat dibuat dari gelas plastik atau botol
plastik dengan volume 500 mL yang menurut penelitian sama efektifnya
dengan spacer konvensional.7,12,13
Tabel 2.1 Jenis Alat Inhalasi Sesuai Usia14
Umur Alat Inhalasi
< 5 tahun  Nebuliser dengan masker
 Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer : aerochamber, optichamber,
babyhaler
5 – 8 tahun  Nebuliser dengan mouth piece
 MDI dengan spacer
 Dry Powder Inhaler (DPI) : diskhaler, easyhaler, swinghaler, turbuhaler
> 8 tahun  Nebuliser dengan mouth piece
 MDI dengan atau tanpa spacer
 DPI : diskhaler, swinghaler, turbuhaler

2.7.1.3 Obat Pengendali Asma

16
a. Kortikosteroid Inhalasi/ Inhaled Corticosteroids (ICS)
ICS dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan merupakan obat
pengendali asma yang paling efektif. Pemberian ICS setara dosis busenoid 100
– 200 µg/hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki
fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan dosis ICS
400 µg/hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan
asma setelah berolahraga. Pada anak berusia > 5 tahun, ICS dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko
masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan
menurunkan serangana asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik
tidak digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus.
ICS memiliki efek samping lokal berupa kandidiasis oral dan disfonia.
Munculnya efek samping tersebut bersifat dose-dependent dan umumnya
terjadi pada individu yang menggunakan ICS dalam dosis yang tinggi. Efek
samping ini dapat diminimalisir dengan penggunaan MDI dengan spacer,
karena spacer akan mengurangi deposisi obat pada orofaring. ICS sebagai obat
pengendali asma tidak mempengaruhi tinggi badan dan densitas tulang, namun
demikian anak penderita asma yang mendapatkan ICS jangka panjang
(terutama dosis tinggi) perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan
berat badan) setiap tahun. ICS umumnya diberikan dua kali dalam sehari.1,7

Tabel 2.2 Dosis Berbagai Preparat ICS pada Anak dengan Asma2

b. Agonis β2 Kerja Panjang/ Long Acting β2-Agonist (LABA)

17
LABA digunakan sebagai obat pengendali asma dan tidak diindikasikan
untuk diberikan pada kondisi akut atau pada saat serangan asma. Dalam
pengendalian asma, LABA tidak digunakan sebagai obat tunggal melainkan
selalu bersama ICS. Kombinasi kedua preparat tersebut terbukti memperbaiki
fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Apabila ICS dosis
rendah tidak menghasilkan perbaikan pada anak dengan asma yang berumur >
5 tahun, maka kombinasi kedua preparat tersebut dapat diberikan.
Pemberian kombinasi ICS/LABA dalam satu kemasan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik dibandingkan ICS dan LABA dalam sediaan
terpisah. Kombinasi ICS/LABA juga dapat digunakan untuk mencegah spasme
bronkus yang dipicu olah raga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan SABA. Contoh obat golongan LABA adalah salmeterol &
folmoterol. Salmeterol memiliki onset yang lebih panjang dengan efek
bronkodilasi maksimal terjadi pada 1 jam setelah pemberian. Sedangkan onset
kerja formoterol adalah 5-10 menit . Kedua obat golongan LABA tersebut
memiliki efek yang bertahan lama, yaitu minimal 12 jam. Oleh karena itu,
kombinasi kedua obat tersebut cocok untuk diberikan pada pasien dengan
nocturnal asthma dan pada individu yang menggunaan SABA untuk mencegah
bronkospasme yang diinduksi oleh olahraga.1,7

c. Antileukotrien
Leukotrien adalah mediator proinflamasi yang menginduksi bronkspasme,
sekresi mukus, dan edema jalan napas. Antileukotrien terdiri dari antagonis
reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) atau biasa disebut Leukotriene
Receptors Antagonist (LTRA) dan inhibitor sintesis leukotrien. Obat golongan
LTRA adalah montelukast, pranlukast, dan zafirlukast. Obat golongan inhibitor
sintesis leukotrien adalah zileuton. Zileuton tidak dianjurkan untuk diberikan
pada anak usia < 12 tahun karena memiliki efek meningkatkan ezim hati pada 2
– 4% pasien dan berinteraksi dengan obat yang dimetabolisme oleh sitokrom
P450.

18
LTRA yang aman untuk anak menurut Food and Drug Administration
(FDA) adalah montelukast dan zafirlukast. Montelukast diberikan pada anak
usia ≥ 1 tahun dan diberikan 1x/hari. Zafirlukast diberikan pada anak usia ≥ 5
tahun dan digunakan 2x/hari. LTRA direkomendasikan sebagai pengobatan
alternatif untuk penderita asma persisten ringan dan sebagai terapi tambahan
bersama dengan ICS pada penderita asma persisten sedang. Antileukotrien
pada pasien asma memiliki efek bronkodilatasi yang bervariasi, mengurangi
gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, mengurangi inflamasi jalan
napas dan mengurangi eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma, namun secara umum tidak
lebih unggul dari ICS. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal,
efeknya lebih rendah dibandingkan dengan ICS. Kombinasi ICS-antileukotrien
dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis ICS.
Antileukotrien juga dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat
berolahraga (exercise induced asthma/EIA) dan obstructive sleep apnea
(OSA). Selain itu, antileukotrien dapat mencegah serangan asma akibat infeksi
virus pada anak balita. 1,7

d. Teofilin Lepas Lambat


Kombinasi ICS dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma
dan dapat menurunkan dosis ICS pada anak dengan asma persisten. Namun
teofilin lepas lambat sudah tidak dianjurkan sebagai first line agent pada anak
karena eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu dan teofilin
memiliki therapeutic window yang sempit sehingga pada penggunaan jangka
lama, kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas
lambat dapat berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi,
aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping terutama timbul pada pemberian
dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari. 1,7

e. Anti-Imunoglobulin E (Anti-IgE)
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu
mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Omalizumab diberikan secara

19
injeksi subkutan setiap 2 – 4 minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dini
ketika pemberian dosis pertama, tetapi juga dapat terjadi setelah pemberian
selama satu tahun. Omalizumab terbukti memperbaiki gejala pada asma
persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh alergi. Pemberian
omalizumab akan menurunkan kebutuhan ICS dan menurunkan angka
serangan asma. Omalizumab dianjurkan diberikan pada pasien > 12 tahun
dengan asma sedang – berat, memiliki riwayat hipersensitivitas pada perennial
aeroagents, dan tidak membaik dengan pemberian ICS maupun
corticosteroids (OCS). Omalizumab diberikan secara subkutan dengan dosis
sesuai dengan berat badan dan kadar IgE pada serum. Efek samping yang
pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. 1,7,15

f. Mast Cell Stabilizer


Cromolyn sodium dan nedocromul sodium merupakan mast cell stabilizer
yang berfungsi untuk mengendalikan proses inflamasi yang terjadi pada asma.
Selain itu, obat ini juga berfungsi untuk mencegah bronkospasme yang dipicu
melalui aktivitas. Obat ini menghambat degranulasi dari sel mast sehingga
mencegah pengeluaran dari mediator inflamasi.
Baik cromolyn sodium maupun nedocromul sodium lebih efektif daripada
plasebo dalam terapi profilaksis asma dan bronkospasme yang diinduksi oleh
olahraga. Kedua obat ini setara dengan ICS dosis rendah untuk pasien asma
kategori ringan-sedang, namun tidak lebih efektif dari ICS dosis sedang dan
dosis tinggi. Oleh karena itu, obat jenis ini lebih diindikasikan untuk asma
persisten ringan. Kedua obat ini digunakan 2-4x/ hari. Mast cell stabilizer
memiliki efek samping yang sedikit, dimana hanya terjadi pada 1 dari 10.000
pasien.16

2.7.1.4 Jenjang Tatalaksana Asma Jangka Panjang


Langkah awal sebelum menentukan jenjang tatalaksana yang akan
diberikan adalah menentukan klasifikasi kekerapan asma (intermiten, persisten
ringan, sedang atau berat) dan klasifikasi kendali asma (well controlled, partly
controlled, dan uncontrolled). Obat pengendali diberikan sesuai dengan

20
jenjangnya, sedangkan obat pereda diberikan pada semua jenjang bila ada
gejala atau serangan asma. Tatalaksana non medikamentosa dan pengobatan
penyakit penyerta juga dilakukan pada semua jenjang. Menurut Pedoman
Nasional Asma Anak tahun 2016 (PNAA 2016), tatalaksana asma jangka
panjang untuk anak usia > 5 tahun dibagi menjadi 4 jenjang sesuai dengan
klasifikasi kekerapan asma, sedangkan menurut Global Initiative for Asthma
(GINA) dibagi menjadi 5 jenjang. 2,7
a. Tahap 1
Terapi tahap 1 dianjurkan pada pasien dengan asma intermiten dan dengan
derajat kendali well controlled.
Anjuran: Obat SABA jika diperlukan.
Alternatif:
- Inhalasi SABA dengan kombinasi ipratropium bromida, SABA oral, atau
teofilin kerja pendek oral.
- ICS dosis rendah, dengan tambahan SABA jika diperlukan untuk pasien
pasien dengan faktor resiko eksaserbasi.
b. Tahap 2
Terapi tahap 2 dianjurkan pada pasien dengan asma persisten ringan.
Anjuran: Obat pengendali berupa ICS dosis rendah dengan SABA jika
diperlukan.
Alternatif: LTRA pada pasien pasien dengan intoleransi terhadap kortikosteroid
atau pada pasien asma yang disertai dengan rhinitis alergi.
c. Tahap 3
Terapi pada tahap 3 diindikasikan sebagai terapi awal pada anak dengan asma
persisten sedang atau anak yang tidak terkendali dengan terapi tahap 2.
Anjuran: kombinasi ICS dosis rendah dengan LABA sebagai obat pengendali
dan tambahan SABA sebagai obat pereda jika diperlukan.
Alternatif:
- Menaikkan dosis ICS menjadi dosis menengah.
- Kombinasi ICS dosis rendah dengan LTRA.
- Kombinasi ICS rendah dengan teofilin lepas lambat.

21
d. Tahap 4
Terapi pada tahap 4 diindikasikan sebagai terapi awal pada anak dengan asma
persisten berat atau anak yang tidak terkendali dengan terapi pada tahap 3.
Anjuran:
- Merujuk pasien kepada ahli
- Kombinasi ICS dosis sedang dengan LABA
Alternatif:
- Kombinasi ICS sedang dengan LABA atau dengan LTRA.
- Menaikkan dosis ICS dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan
sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian
ICS/LABA diberikan selama 6-8 minggu.
- Kombinasi ICS dosis tinggi dengan LTRA.
- Perbedaan tahap 4 tatalaksana jangka panjang menurut PNAA 2016 dan
GINA adalah berdasarkan PNAA 2016, tahap 4 merupakan tahap yang
paling akhir dimana dapat pula dipertimbangkan penggunaan anti
imunoglobulin E (omazulimab).
e. Tahap 5
Berdasarkan GINA, terdapat tahap ke 5 dalam tatalaksana jangka panjang asma
pada anak .
Anjuran: Merujuk kepada ahli dan pertimbangan pemberian add-on treatment,
yaitu obat yang dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan gejala yang
persisten meskipun sudah mendapatkan obat-obatan pengendali, yaitu :
- Tiotropium (golongan long-acting muscuranic antagonist) pada pasien
berumur ≥ 12 tahun dengan riwayat eksaserbasi meskipun sudah mendapat
terapi tahap 4.
- Omalizumab (golongan anti-immunoglobulin E) untuk pasien dengan asma
alergik sedang maupun berat dan tidak terkontrol dengan pengobatan tahap
4.
- Mepolizumab (golongan anti-interleukin-5) untuk pasien berumur ≥ 12
tahun dengan asma eosinofilik berat dan tidak terkontrol dengan pengobatan
tahap 4.

22
Alternatif: OCS dosis rendah.

Jika telah dilakukan terapi selama 2-3 bulan dan respon dari pasien tidak
adekuat, maka direkomendasikan untuk melakukan step up atau peningkatan
terapi ke tahap yang lebih tinggi. Jika telah dilakukan terapi dan gejala asma
menjadi terkontrol dan fungsi normal paru membaik selama 3 bulan, maka
dapat dilakukan step down atau penurunan terapi ke tahap yang lebih rendah.

2.7.2. Tatalaksana Serangan Asma


Serangan asma umunya mencermikan gagalnya tatalaksana asma jangka
panjang, dan atau adanya pajanan dengan pencetus dalam dosis besar. Asma dalam
serangan bersifat akut dan merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di unit
gawat darurat (UGD). Tujuan tatalaksana serangan asma adalah untuk mengatasi
penyempitan saluran respiratori secepat mungkin, mengurangi hipoksemia,
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, serta mengevaluasi dan
meperbarui tata laksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan. 7

2.7.2.1 Penilaian Derajat Asma dalam Serangan

23
Klasifikasi asma dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan,
yang terbagi menjadi asma serangan ringan-sedang, asma serangan berat, dan
asma dalam serangan dengan ancaman henti napas. Sehingga perlu dibedakan
antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat asma dalam
serangan (aspek akut). Kriteria untuk menentukan derajat keparahan serangan
asma pada anak telah dijelaskan sebelumnya pada sub-bab klasifikasi asma.
Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Keadaan tersebut harus segera diidentifikasi dan bila
didapatkan, dicatat di rekam medis, di antaranya adalah pasien dengan
riwayat :7,17
a. Serangan asma yang mengancam nyawa
b. Intubasi karena serangan asma
c. Serangan asma yang berlangsung dalam waktu yang lama
d. Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
e. Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
f. Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
g. Berkurangnya persepi tentang sesak napas
h. Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
i. Alergi makanan dengan gejala yang berat

2.7.2.2 Tahapan Tatalaksana Asma dalam Serangan


Tatalaksana serangan asma dibagi menjadi dua berdasarkan The Global
Initiative for Asthma (GINA), yaitu tatalaksana di rumah dan di fasilitas
pelayanan kesehatan (fasyankes)/IGD RS. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh
pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Pada tatalaksana di rumah, apabila
telah dilakukan inhalasi dua kali namun tidak memberikan respon yang baik,
maka dianjurkan untuk mencari pertolongan medis di klinik atau rumah sakit.2
a. Tatalaksana di Rumah 2,7,18
Semua pasien/orangtua pasien asma seharusnya diberikan edukasi
tentang bagaimana memantau gejala asma, gejala-gejala serangan asma dan

24
rencana tata laksana asma yang diberikan tertulis (asthma action plan, AAP).
Orangtua harus diedukasi mengenai jenis dan dosis obat asma serta kapan
orangtua harus segera membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Orangtua harus membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila
pasien mengalami serangan akut berat (sesak berat) dan memiliki faktor risiko
untuk mengalami serangan asma yang dapat mengancam nyawa seperti yang
telah dijelaskan di atas.
Jika tidak terdapat keadaan yang mengharuskan pasien untuk dibawa ke
fasyankes, dapat diberikan SABA, via nebuliser atau dengan MDI + spacer,
sebagai berikut :
 Jika diberikan via nebuliser
o Berikan SABA, lalu lihat responnya. Apabila gejala (sesak napas dan
wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
o Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali
lagi.
o Jika dengan 2 kali pemberian SABA via nebuliser belum membaik,
segera bawa ke fasyankes/UGD.
 Jika diberikan via MDI + spacer
o Berikan SABA serial via spacer dengan dosis 2-4 semprot. Berikan
semprotan pertama obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas
melalui sambungan untuk perlekatan ke wajah, antar muka
(interface) berupa masker atau mouthpiece. Lalu semprotan kedua,
dengan sebelumnya mengocok MDI, baru menyemprot ulang.
Pemberian semprotan hingga 4 kali berturut turut (1 siklus), setara
dengan 1 kali nebulisasi. Tunggu 30 menit, bila belum ada respons
berikan semprot berikutnya dengan cara yang sama.
o Jika membaik dengan dosis ≤ 4 semprot, inhalasi dihentikan. Jika
gejala belum membaik dalam 30 menit, berikan semprot berikutnya
dengan siklus yang sama
o Jika gejala tidak membaik dengan dosis 2 kali 2-4 semprotan, segera
bawa ke fasyankes/UGD.

25
Pemberian SABA via MDI dan spacer mempunyai efektivitas yang sama
dengan pemberian via nebuliser, dengan catatan:
 Pasien tidak dalam asma serangan berat atau ancaman henti napas
 Pasien dapat menggunakan MDI dengan spacer
 Sebaiknya menggunakan spacer yang baru atau sebelumnya dicuci
dengann air deterjen dan dikeringkan di udara kamar
 Bila tidak tersedia spacer, dapat digunakan botol atau gelas plastik 500 ml
sebagai pengganti spacer. 13,19
b. Tatalaksana Gawat Darurat di Fasyankes/UGD 2,7,18
 Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
waktu dan pemicu serangan, gejala untuk menilai keparahan serangan,
faktor yang meningkatkan risiko kematian, pengobatan yang telah
diberikan untuk serangan saat ini termasuk dosis dan alat inhalasi yang
dipakai, ketaatan, peningkatan dosis dan respons terhadap pengobatan.
 Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis meliputi tanda vital dan derajat serangan
(derajat kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan
darah, kemampuan bicara lengkap satu kalimat, retraksi dinding dada
dan wheezing), tanda komplikasi atau penyakit penyerta, serta tanda
dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab respiratory distress.
 Pemeriksaan penunjang
Periksa saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oxymetry.
Saturasi oksigen < 94% mengindikasikan pentingnya pemberian
oksigen, sedangkan saturasi < 90% merupakan tanda serangan berat
yang memerlukan tindakan yang agresif. Selain itu dilakukan
pemeriksaan spirometri bila tersedia. PEF atau FEV1 dinilai sebelum
diberikan terapi. Selanjutnya spirometri dilakukan satu jam setelah
pemberian terapi awal dan diperiksa berkala sampai respon terhadap
terapi komplit.

26
Analisa gas darah tidak rutin diperlukan dan hanya
dipertimbangkan jika FEV1 <50% prediksi, atau pada pasien dengan
asma serangan berat, atau pasien yang menetap atau memburuk dengan
terapi awal. Rontgen toraks juga tidak rutin dilakukan pada pasien
dengan serangan asma. Pemeriksaan ini dipertimbangkan pada serangan
berat atau jika dicurigai adanya komplikasi atau ada kondisi lain yang
menyertai dan/atau ada ancaman henti napas yang tidak membaik
dengan terapi. Kecurigaan ini perlu diperhatikan pada anak yang
disertai demam, tidak ada riwayat keluarga dengan asma, dan wheezing
unilateral.

SERANGAN ASMA
SERANGAN ASMA

 Nilai derajat serangan asma


  CariNilai derajat
riwayat asmaserangan asma
resiko tinggi
 Cari riwayat asma resiko tinggi

RINGAN SEDANG BERAT


 RINGAN
BicaraSEDANG
dalam kalimat  BERAT
Bicara dalam kata
  Lebih
Bicara dalamduduk
senang kalimat
daripada   Duduk
Bicarabertopang
dalam katalengan
 berbaring
Lebih senang duduk daripada  ANCAMAN HENTI NAPAS
 Gelisah bertopang lengan
Duduk
 ANCAMAN HENTI NAPAS
  Frekuensi
 berbaring
Tidak gelisah Gelisah napas meningkat Mengantuk/letargi
   Mengantuk/letargi
 Tidak gelisah
Frekuensi napas meningkat   Frekuensi napas meningkat Suara napas tak
Frekuensi nadi meningkat  terdengar
Suara napas tak
  Frekuensi
Frekuensi napas
nadi meningkat
meningkat   Frekuensi nadi
Retraksi jelas meningkat
terdengar

  SpO2
 Frekuensi nadi
Retraksi minimal meningkat Retraksi jelas
(udara kamar) < 90%
  SpO2
Retraksi minimal
(udara kamar): 90-95%   SpO2 (udara kamar)
PEF ≤ 50% prediksi < 90%
terbaik*
  SpO2 (udara kamar):
PEF > 50% prediksi 90-95%
terbaik*  PEF ≤ 50% prediksi terbaik*
 PEF > 50% prediksi terbaik*
TIDAK RESPONS SEGERA
TIDAK
atau RESPONS
MEMBURUK SEGERA
MULAI TERAPI AWAL
atau MEMBURUK
 MULAI TERAPI
Berikan AWAL
oksigen 1-2L/menit jika SpO2 < 94% 27
  Berikan oksigen 1-2L/menit jika SpO2 < 94%
Agonis β2 kerja cepat:
BILA DI IGD RUMAH SAKIT
 BILA DI IGD RUMAH SAKIT
 o Agonis β2 kerja cepat: Lanjutkan tatalaksana sesuai derajat
Via nebulizer atau via MDI dan spacer (4-10 semprot)  serangan
Lanjutkan tatalaksana sesuai derajat
o o Nebulisasi
Via nebulizer
dapatatau via MDI
diulang dan 3spacer
sampai (4-10
kali tiap 20 semprot)
menit
o dihitung
Nebulisasi dapat diulang sampai 3 kali tiap 20 menit Bila di serangan
fasyankes primer, segera
dari awal terapi dalam 1 jam Bila ke
di fasyankes primer, segera
rujuk rumah sakit
 β2Untuk nebulisasi ketiga
dan pratropium pertimbangkan kombinasi agonis
bromida
β2 dan pratropium bromida  Sambil menunggu
Nebulisasi lakukan
agonis terapi:
β2 kerja pendek dan
 Pada saat serangan Steroid sistemik  pratropium
Nebulisasi bromida
agonis β2 kerja pendek dan
 (prednisolone/prednisone):
Pada saat serangan Steroid1-2 sistemik
mg/kgBB/hari maksimal
 pratropium
Steroid bromida
sistemik
(prednisolone/prednisone): 1-2 mg/kgBB/hari maksimal
40mg peroral (bila tidak memungkinkan IV)  (prednisolone/prednisone):
Steroid sistemik 1-2
 40mg peroral (bila tidak memungkinkan
Hati-hati dalam penggunaan steroid sistemik* IV)
(prednisolone/prednisone):
mg/kgBB/hari maksimal 40mg1-2IV
 (pilihan
Hati-hati dalam
steroid penggunaan
lihat table)** steroid sistemik*
 mg/kgBB/hari
Berikan oksigen maksimal
2L/menit 40mg IV
(pilihan steroid lihat table)**
 Berikan oksigen 2L/menit

Lanjutkan terapi dengan agonis β2 kerja pendek jika diperlukan TIDAK RESPONS
Lanjutkan terapi dengan agonis β2 kerja pendek jika diperlukan TIDAK
atau RESPONS
MEMBURUK
nilai respons terapi dalam 1 jam berikutnya (atau lebih cepat)
nilai respons terapi dalam 1 jam berikutnya (atau lebih cepat) atau MEMBURUK
Membaik
Membaik Siapkan untuk rawat jalan
Penilaian sebelum dipulangkan  Siapkan untuk rawat
Obat pereda: jalan
lanjut sampai gejala reda/hilang
 Penilaian sebelum
Gejala membaik dipulangkan
  Obat pereda: lanjut sampai
Obat pengendali: dimulai, gejala reda/hilang
dilanjutkan/dinaikkan
  Gejala membaik
SpO2 > 94% (udara kamar)  Obat pengendali: dimulai, dilanjutkan/dinaikkan
sesuai dengan derajat kekerapan asma
  PEFSpO2 > 94% (udara
membaik, kamar)
dan 60-80% nilai  sesuaioral:
Steroid dengan derajat3-5
lanjutkan kekerapan
hari asma
 prediksi
PEF membaik, dan 60-80% nilai  Steroid oral: lanjutkan 3-5 hari
terbaik  Kunjungan ulang ke RS dalam 3-5 hari
prediksi terbaik  Kunjungan ulang ke RS dalam 3-5 hari
Tindak Lanjut
 Tindak
ObatLanjut
Pereda diberikan jika perlu
  Obat
Obat Pereda diberikan
pengendali: jikadengan
lanjutkan perlu dosis yang sesuai
  Obat pengendali: lanjutkan dengan
Evaluasi faktor resiko: identifikasi dandosis yang sesuai
modifikasi factor risiko bila memungkinkan
 Evaluasi faktor resiko: identifikasi dan modifikasi factor risiko bila memungkinkan
Bila tidak tersedia obat-obatan lain, gunakan ADRENALIN untuk asma yang berhubungan dengan
Bila tidak tersedia obat-obatan lain, gunakan ADRENALIN untuk asma yang berhubungan dengan
anafilaksis dan angioedema, dosis 10 ug/kg (0,01 ml/kg adrenalin 1:1000), maksimal 50 ug (0,5 ml)
anafilaksis dan angioedema, dosis 10 ug/kg (0,01 ml/kg adrenalin 1:1000), maksimal 50 ug (0,5 ml) **

Gambar Alur Tatalaksana Gawat Darurat Serangan Asma pada Anak di Fasyankes/ UGD Rumah Sakit 7

28
Gambar Alur Tatalaksana Gawat Darurat Serangan Asma pada Anak di Fasyankes/ UGD
Rumah Sakit (lanjutan)7
* Steroid sistemik hanya diberikan pada serangan asma. Hati-hati bila dalam 1 bulan terakhir
pasien sudah mendapat steroid oral/sistemik. Perlu dievaluasi apakah indikasi steroid
oral/sistemiksudah tepat, dan pikirkan kemungkinan pasien sudah mendapat obat pengendali.

**Tabel 2.3 Pilihan dan Dosis Steroid untuk Serangan Asma7


Nama Generik Sediaan Dosis
Metilprednisolon Tablet 4 mg, 8 mg 1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
Metilprednisolon suksinat Vial 125 mg, 500 mg 1-2 mg/kgBB, tiap 12 jam, tidak
injeksi melebihi 60 mg/hari
Prednison Tablet 5 mg 1-2 mg/kgBB/hari, tiap12 jam
Hidrokortison-suksinat Vial 100 mg 2-4 mg/kgBB/kali, tiap 6 jam

29
*
Pasien dengan asma serangan berat atau ancaman henti napas yang dirujuk ke rumah
sakit

injeksi
Deksametason injeksi Ampul 4 mg/ml,
Penilaian awal: 10 0,5-1 mg/kgBB – bolus, dilanjutkan 1
A: airway B: breathing C: circulation
mg/ml
Apakah ada: mg/kgBB/hari diberikan tiap 6-8 jam
Betametason injeksi Ampul 6 mg/ml 0,05
Mengantuk, letargi, suara – 0,1
paru mg/kgBB, tiap 6 jam
tak terdengar

 Tatalaksana Asma Serangan Ringan-Sedang YA


TIDAK

BERAT Tindakan awal pasien diberikan SABA HENTI


ANCAMAN lewatNAPAS
nebulisasi atau
 Bicara dalam kata Siapkan perawatan ICU
MDI dengan spacer, yang dapat diulang
 Duduk bertopang lengan
hingga 2 kali dalam 1 jam,
 Inhalasi agonis β2 kerja pendek
 Gelisah dengan pertimbangan untuk menambah  Oksigen
ipratropium bromida pada
 Frekuensi napas meningkat  Siapkan intubasi jika perlu
nebulilsasi
 Frekuensi nadi meningkat ketiga. Pasien diobservasi, apabila keadaan pasien membaik,
 Retraksi jelas
pasien dapat dipulangkan. Apabila pasien tidak membaik dengan 3 kali
 SpO2 (udara kamar) < 90%
 PEF ≤ 50% prediksi terbaik*
pemberian inhalasi agonis β2, dapat dipertimbangkan pemasangan jalur
parenteral.
Mulai terapi
Jika
 Inhalasi agonis β2 kerja respon
pendek baik, pasien
dan pratropium dipulangkan dengan diberikan obat
bromida
 Steroid IV pulang agonis β2 (inhalasi atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam
 Oksigen
selama
 Berikan Aminofilin IV 3-5 hari, dipakai jika perlu hingga tidak ada gejala. Diberikan

pula steroid sistemik oral berupa prednisolon atau prednison dengan


Jika memburuk,dosis
kelola1-2
sebagai serangan asma
mg/kgBB/hari dengan3-5
selama ancaman henti
hari, tanpa tappering off. Pemberian
napas dan pertimbangkan rawat ICU
steroid harus diperhatikan untuk mencegah pengulangan lebih dari 1
kali per bulan. Jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat
Nilai kondisi klinis berkala
Periksa pengendali,
spirometry/PEF obat
(satu jampengendali
setelah terapitetap
awal) dilanjutkan. Pasien kemudian
dianjurkan untuk kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk
dilakukan reevaluasi terhadap tatalaksana yang telah diberikan. Jika
obat
FEV1 atau PEF diberikan
60-80% dan dalam
FEV1 bentuk
atau PEF inhaler,
< 60% dansebelum
tidak pasien pulang, pastikan
terdapat perbaikan gejala
terdapat perbaikan gejala
teknik pemakaian inhaler sudah BERATtepat.
SEDANG
Lanjutkan tatalaksana dan
Pertimbangkan rawat Jika
jalan respon pasien buruk, pasien dirujuk (jika di fasyankes
evaluasi berkala
primer ke UGD RS) atau dirawat inap (jika di UGD RS). Dalam setting
di fasyankes primer, saat menunggu proses rujukan, tetap dilakukan
pemberian oksigen, nebulisasi agonis β2, dan pemasangan jalur
parenteral. Sedangkan dalam setting di UGD RS, jika pasien
didiagnosis mengalami serangan asma berat, maka dipersiapkan untuk

30
rawat inap. Jika ada ancaman henti napas, pasien harus segera dibawa
ke ICU.7

 Tatalaksana Asma Serangan Berat


Pasien dengan tanda dan gejala klinis yang memenuhi kriteria
asma berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang pertama kali
diberikan adalan agonis β2 dengan penambahan ipratropium bromida.
Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal, termasuk pada saat
nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan pemeriksaan rontgen
toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral. Jika terdapat
kontraindikasi terhadap pemberian steroid IV, dapat diberikan steroid
inhalasi dosis tinggi.
Dalam setting fasyankes primer, apabila ada ancaman henti napas,
yaitu gejala respiratory distress berat, dengan penurunan kesadaran, dan
suara napas tidak terdengar, segera siapkan untuk perawatan Pediatric
Intensive Care Unit (PICU). Sambil menunggu, berikan inhalasi SABA via
nebuliser, oksigen, dan siapkan intubasi jika perlu. Dalam setting UGD
RS, apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda henti napas, pasien
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Rontgen toraks dilakukan untuk
mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau
pneumomediastinum.7

c. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)


Oksigen yang telah diberikan saat pasien di UGD tetap diberikan. Setelah
pasien menjalani nebulisasi dengan agonis β2 sebanyak dua kali dalam satu
jam dengan respon parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi
agonis β2 dengan ipratropium bromida setiap 2 jam. Steroid sistemik seperti
prednison atau prednisolon juga diberikan dan dilanjutkan dalam 3-5 hari. Jika
dalam 12 jam klinis pasien membaik, maka pasien dipulangkan dan dibekali
obat seperti pasien ringan-sedang yang dipulangkan dari fasyankes
primer/UGD.7

d. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap7

31
 Pemberian oksigen diteruskan
 Jika ada dehidrasi dan asidosis, berikan cairan intravena dan koreksi
asidosisnya.
 Steroid intravena diberukan secara bolus, setiap 6-8 jam.
 Nebulisasi agonis β2 kerja pendek dengan ipratropium bromida dan
oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai
terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6
jam.
 Aminofilin diberikan secara IV dengan dosis :
- Bila pasien belum mendapatkan aminofilin sebelumnya, aminofilin
dosis inisial sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30
menit, dengan infusion pump atau mikroburet.
- Bila respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian
aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Jika pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan separuhnya, baik dosis inisial (3-4 mg/kgBB) maupun
rumatan (0,25-0,5 mg/kgBB/jam).
- Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10-20 mcg/ml.
- Pantau gejala intoksikasi aminofilin. Efek samping yang sering
adalah mual, muntah, takikardi, dan agitasi. Tokisistas yang berat
dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
 Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam
hingga mencapai 24 jam. Pemberian steroid diganti dengan pemberian
per oral, dan apabila diperlukan aminofilin diganti dengan pemberian
teofilin per oral.
 Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
obat pulang berupa agonis β2 inhalasi atau oral yang diberikan setiap 4-
6 jam selama 3-5 hari, dipakai jika perlu hingga tidak ada gejala.

32
Steroid oral dilanjutkan sampai pasien kontrol ke klinik rawat jalan
dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tatalaksana.
e. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif7
Pasien yang sejak awal masuk UGD sudah menunjukkan tanda-tanda
ancaman henti napas, langsung dirawat di ruang rawat intensif. Kriteria pasien
yang memerlukan ICU adalah
 Tidak berespon terhadap tatalaksana awal yang diberikan di UGD
dan/atau perburukan asma yang cepat.
 Adanya kebingungan, disorientasi, tanda lain ancaman henti napas atau
hilangnya kesadaran.
 Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap.
 Ancaman henti napas : hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2 < 60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg).

2.7.2.3 Medikamentosa untuk Serangan Asma


a. Agonis β2 Kerja Pendek (SABA)
Gejala asma ringan-sedang berespon dengan cepat terhadap pemberian
inhalasi SABA tunggal. SABA memiliki onset yang cepat dan durasi dari
efeknya dapat mencapai 4-6 jam. Oleh karena itu obat ini menjadi pilihan
utama bagi serangan asma ringan-sedang yang maupun sebagai premedikasi
untuk exercise induced asthma. SABA menyebabkan bronkodilatasi dengan
menginduksi relaksasi otot polos pada jalan napas, mengurangi permeabilitas
vaskular dan edema jalan napas, dan meningkatkan mucociliary clearance.
Contoh SABA adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol. Pada serangan
asma, SABA diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI dengan/tanpa
spacer, atau nebuliser dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respon
pasien. SABA diberikan dengan dosis terendah, frekuensi terkecil, dan hanya
diberikan jika diperlukan. Tremor dan takikardia sering dialami oleh pasien
yang mengginakan obat ini pertama kali, namun biasanya kemudian efek
tersebut dapat ditoleransi.1,7,20

b. Ipratropium Bromida

33
Ipratropium bromida memberikan efek dilatasi pada bronkus lewat
penurunan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas.
Pemberian kombinasi SABA dengan ipratropium bromida (antikolinergik)
pada inhalasi ke-3 saat serangan asma akan menurunkan risiko rawat inap dan
memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan pemberian agonis β2 saja.
7,20,21

c. Steroid Sistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan
mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua
jenis serangan. Steroid sistemik akan mengurangi inflamasi jalan napas. Jika
memungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama. Pemberian steroid
sistemik per oral sama efektifnya dengna pemberian secara IV, namun
pemberian secara per oral lebih murah dan tidak invasif. Perbaikan klinis
terjadi dalam waktu ± 4 jam setelah pemberian secara oral. Pemberian secara
IV dianjurkan pada pasien yang tidak dapat menelan obat, seperti pada pasien
yang terlalu sesak, muntah, atau memerlukan intubasi.
Steroid sistemik berupa prednisolon atau prednison diberikan secara per
oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40
mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa
tappering off. 7,20

d. Aminofilin IV
Aminofilin IV diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau
dengan ancaman henti napas yang tidak berespon terhadap dosis maksimal
inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik. Pemberian aminofilin pada terapi awal
akan meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, namun tidak mengurangi
gejala, jumlah nebulisasi, dan lama rawat inap.
Pemberian aminofilin IV harus hati-hati, karena aminofilin memiliki
rentang keamanan yang sempit dan efek samping berupa mual, muntah,
takikardi, dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia,

34
hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan dengan kadar
aminofilin pada serum yang tinggi.
Dosis yang direkomendasikan adalah dosis inisial bolus pelan 6-8
mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian dosis
rumatan secara drip 1 mg/kgBB/jam. Loading 1 mg/kgBB akan meningkatkan
kadar aminofilin serum 2 ug/ml. Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar
aminofilin serum adalah 10-20 ug/ml. Kadar aminofilin dalam serum diukur 1-
2 jam setelah loading dose diberikan.7

e. Magnesium Sulfat (MgSO4)


Injeksi MgSO4 dapat dipertimbangkan pada pasien dengan serangan
asma berat yang tidak membaik atau hipoksemia yang menetap setelah satu
jam pemberian terapi awal dengan dosis maksimal. Obat ini tidak rutin
digunakan untuk serangan asma, namun boleh digunaka sebagai alternatif
apabila dengan pemberian obat standar tidak ada perbaikan. Pemberian MgSO 4
dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka perawatan di RS.
MgSO4 tersedia dalam sediaan 20% (1g/5 ml), 40% (10g/25ml), atau 50%
(10g/20ml) dapat diberikan dengan bolus tunggal, bolus berulang, drip kontinu,
dan inhalasi. 7

Tabel 2.4 Cara Pemberian, Dosis, dan Lama Pemberian MgSO47


Cara Dosis Pengenceran Lama
Pemberian Pemberian
Bolus 20-100 mg/kgBB (max. 2 Dilarutkan 20 menit
tunggal gram) dalam dekstrose
Bolus 20-50 mg/kgBB/dosis 5% atau larutan 20 menit
berulang setiap 4 jam salin dengan
Drip Kecepatan 240-480 pengenceran 60 Berkelanjutan
kontinu mg/kgBB/hari mg/ml
Target kadar magnesium
4 mg/dl

f. Epinefrin/Adrenalin

35
Epinefrin digunakan apabila tidak tersedia obat-obatan lain. Epinefrin IM
diberikan sebagai terapi tambahan asma yang berhubungan dengan anafilaksis
dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB epinefrin 1:1000),
dengan dosis maksimal 500 ug (0,5 ml). Obat ini tidak diindikasikan untuk
serangan asma lainnya.7

g. Steroid Inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug atau 2-5 ampul
budenosid) dapat digunakan untuk serangan asma. Pemberian steroid inhalasi
dosis tinggi ini terbatas pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap
steroid sistemik.7

2.7.3 Tatalaksana Non-Medikamentosa


2.7.3.1 Menghindari Faktor Pencetus
Serangan asma dapat terjadi akibat dua faktor, yaitu kegagalan
farmakoterapi jangka panjang atau kegagalan menhindari faktor pencetus.
Faktor pencetus dapat menyebabkan keadaan yang tidak ada gejala menjadi
bergejala atau yang gejalanya ringan menjadi berat. Faktor risiko yang
berperan dalam kejadian asma pada anak dibagi menjadi dua, yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik hampir tidak dapat dimodifikasi.
Sedangkan faktor lingkunan masih dapat dimodifikasi. Faktor lingkungan
diklasifikasikan dalam beberapa kategori, antara lain alergen inhalasi (indoor
dan outdoor), iritan, kondisi komorbid, dan faktor lain.
Penghindaran faktor pencetus merupakan upaya utama dalam tatalaksana
asma. Dengan penhindaran faktor pencetus yang adekuat, kebanyakan asma
dapat dikendalikan walau terkadang tanpa obat asma. Peranan pajanan alergen
dalam perjalanan penyakit asma melalui dua proses yang bertingkat, yaitu
pajanan yang menyebabkan terjadinya sensitisasi dan pajanan pada individu
yang telah tersensitisasi akan menyebabkan berkembangnya asma. Gambaran
patologi asma terutama oleh karena sensitisasi alergen dan inflamasi atopi
adalah perubahan fibrotik jaringan di sekitar lumen jalan napas, hipertrofi dan

36
hiperplasia otot polos, hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, dan kerusakan
epitel jalan napas.2,7

2.7.3.2 KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)


Tujuan program KIE adalah memberikan informasi dan pelatihan yang
sesuai terhadap pasien dan keluarganya, untuk meningkatkan pengetahuan atau
pemahaman, keterampilan, kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan
asma, mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam
menghindari faktor pencetus, sehingga meningkatkan keteraturan terhadap
rencana pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya mampu
meningkatkan kemandirian dalam tatalaksana asma yang lebih baik.
Penerapan program ini dimulai saat pertama kali diagnosis ditegakkan,
berlangsung terus menerus, dan terintegrasi dalam setiap langkah tata laksana
asma. Program ini dilakukan di semua tempat pelayanan, seperti klinik, rumah
sakit, unit gawat darurat, sekolah, rumah, dan pusat-pusat keramaian. Selain
anak dan orangtua, KIE juga melibatkan dokter, perawat, apoteker, guru,
kelompok bermain, keluarga, dan masyarakat. Pelaksanaan KIE dilakukan
melalui ceramah, komunikasi/nasehat saat berobat, supervisi, diskusi, video
presentasi, brosur, chart, dan mendemonstrasikan penggunaan peak flow meter
(PFM), spirometer, alat terapi inhalasi, dan spacer.

2.10 Prognosis
Pada umumnya bila segera di tangani dan adekuat, prognosis asma adalah baik. Mortalitas
akibat asma sedikit nilainnya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000
kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Informasi
mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50
sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa
kanak-kanak.

37
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


1. Nama : An. I.P.D.P.P
2. Usia : 8 tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Klungkung
5. Agama : Hindu
6. Pendidikan : SD

38
7. Tanggal MRS : 25 Maret 2021
3.2 Anamnesis Pasien
a. Keluhan utama : Sesak
b. Riwaya penyakit sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD Klungkung dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas
dirasakan sejak 1 hari SMRS. Sesak disertai dengan bunyi mengi. Sesak tidak
membaik dengan perubahan posisi dan hanya membaik dengan penggunaan obat.
Sesak memberat saat dini hari. Sesak tidak disertai dengan bengkak pada wajah atau
kelopak mata, atau bengkak pada kedua tungkai. Menurut orangtuanya, pasien ini
bukan sesak yang pertama karena sebelum ini pernah mengalami sesak nafas dengan
keluhan yang hampir sama dan biasanya sering kambuh ketika memakan coklat, sosis
dan ice cream. Pasien dikatan alergi dingin. Sesak juga tidak disertai dengan kebiruan
pada telapak tangan, kaki atau biru pada mulut. Sesak mengganggu aktifitas. Pasien
dapat berbicara dalam penggalan kalimat. Nyeri dada disangkal. Pasien juga dikatakan
batuk sejak 1 hari SMRS. Batuk terus menerus dengan sedikit dahak tidak berwarna.
Dahak sukar dikeluarkan dan tidak berdarah. Mual dan muntah disangkal. Pasien pilek
sejak 1 hari lalu. Keluar hingusan berwarna bening, encer dan tidak berdarah. Pasien
juga bersin pada waktu pagi beberapa kali. Demam disangkal Pasien BAB dan BAK
lancar, tidak ada keluhan. Pasien 4 hari SMRS mengeluhkan sesak napas disertai
dengan bunyi mengi. Sesak tidak membaik dengan perubahan posisi dan pasien
dibawa ke IGD RSUD Klungkung di nebu di IGD RSUD Klungkung sesak pasien
membaik dan dipulangkan. Tetapi satu hari SMRS keluhan sesak muncul lagi. Ibu
pasien mengatakan pasien tahun 2019 dirawat di RSUD Klungkung dengan keluhan
sesak dengan penyakit Asma. Tahun 2019 sampai dengan 2021 pasien dikatan tidak
pernah sesak tetapi mncul lagi sesak 4 hari SMRS.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami sesak dan dirawat di RSUD Klungkung tahun 2018 dengan
riwayat Asma bronkial derajat sedang.
d. Riwayat penyakit keluarga
Kakek pasien ada riwayat keluhan seperti pasien dan dikatan oleh orang tua pasien
kakeknya asma.

39
e. Riwayat pribadi dan sosial
Pasien merupakan anak pertama, tinggal bersama orang tua.
f. Riwayat Pengobatan
1 hari SMRS pasien ke IGD RSUD Klungkug keluhan sesak membaik dengan nebul.
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Anak lahir cukup bulan, lahir normal di Bidan. Langsung menangis setelah lahir
dengan BB dan PB ibu pasien lupa.
h. Riwayat Imunisasi
- BCG 1x
- DPT 4x
- Hepatitis B 4x
- Polio 4x
- Campak 2x
Ibu pasien mengatakan Imunisasi pada pasien lengkap sampai umur 18 bulan.
i. Riwayat Nutrisi
0 - 6 bulan : ASI
6 - 24 bulan: Susu formula
7 bulan : Bubur
12 Bulan : makanan dewasa

j. Riwayat Tumbuh Kembang


1. Menegakan kepala : 3 bulan
2. Membalik badan : 4 bulan
3. Duduk : 6 bulan
4. Merangkak : 8 bulan
5. Berdiri : 10 bulan
6. Berjalan : 12 bulan
Pasien di sekolah peringkat 10 besar. Pasien tidak pernah tidak naik kelas di
sekolah. Pasien sudah bisa baca menulis dan menghitung. Pasien dapat berinteraksi

40
dengan teman dan lingkungan sekitar. Pasien makan minum memakai baju mandi
sendiri tanpa dibantu oleh orang lain.
k. Riwayat alergi
Riwayat alergi dingin coklat ice cream dan sosis.
3.3 Pemeriksaan Fisik Pasien
A. Status Present
 Keadaan Umum : Sakit Sedang
 Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
 Tanda Vital
1. Respiration Rate : 32x/menit
2. Denyut Nadi : 94x/menit regular kuat angkat
3. Suhu Aksila : 36.7 oC
4. SpO2 : 98 %
B. Status Gizi (Antropometri)
 Umur : 8 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Berat Badan : 26 kg
 Tinggi Badan : 125 cm
 BB/U : 96.29 %
 TB/U : 98.42 %
 BB/TB : 99.08 %

C. Status Generalis
Kepala : normochepali, ubun-ubun besar cekung (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek pupil (+/+), edema
peri-orbital (-/-), mata cowong, mata cekung (-/-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-)
THT :
Telinga : normotia, sekret (-)
Hidung : pernapasan cuping hidung (-),deviasi septum (-), perdarahan(-)

41
Tenggorokan : tonsil (T1/T1), faring hiperemia (-), bercak perdarahan pada
mukosa faring dan mukosa buccal (-).
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Toraks :
Pulmo
Inspeksi : bentuk normal, simetris kiri dan kanan,retraksi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), fremitus vocal simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru (+/+), ronkhi (+/+),
wheezing (+/+) ekpirasi
Cor
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba dengan satu jari kuat angkat
Perkusi : batas jantung masih dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), tidak tampak adanya massa, scar (-)
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Perkusi : timpani diseluruh regio abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), supel, hepatomegali (-), splenomegali (-)

Ekstremitas :

Superior Kanan Kiri


Akral Hangat Hangat
Edema (-) (-)
CRT < 2 detik < 2 detik
Inferior Kanan Kiri

42
Akral Hangat Hangat
Edema (-) (-)
CRT < 2 detik < 2 detik

3.4 Diagnosis Banding


1. Asma Bronkial derajat ringan sedang
2. Asma bronkial derajat berat
3. Pneumonia
4. Bronkiolitis
3.5 Pemeriksaan Penunjang
3.5.1 Laboratorium

Tanggal 25 April 2021

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Darah Rutin
Haemoglobin 14,7 g/dL 10,8 – 14,2
Leukosit 6,10 ribu/μL 3,5 – 10
Limfosit 42,3 % 18,0 - 48,3
MID 9,7 %
Neutrofil 48 % 39,3 - 73,7
Hematokrit 43,8 % 35 – 55
Eritrosit 5,3 Juta/ul 3,5 - 5,5
Index Eritrosit
MCV 80,4 fL 81,1 – 96
MCH 27,0 Pg 27,0 - 31,2
MCHC 33,6 % 31,5 - 35,0
Trombosit 373 ribu/μL 145 – 450

3.5.2 Foto Thorax AP ( 25 April 2021 )

43
Kesan :

- Tak tampak cardiomegaly

- Mengesankan gambaran pneumonia


3.6 Diagnosis Kerja
 Asma Bronkial derajat ringan sedang
 Pneumonia

3.7 Penatalaksanaan Pasien

- Infus D5 ¼ NS 20 tpm
- Ampicilin 4x 1 gr
- Gentamisin 1 x 200 gr
- Azitromisin 1 x 250 mg (puyer) 1x cth
- Nebu Combivent 1 ampul + NaCl 0.9 % s.d 4 ml @6 jam
- Paracetamol Sirup 3x 2 ¼ k/p

44
- Methylprednisolon 2x25 mg (IV)
- Erdostein 2x1 cth
3.8 Foll up pasien

No Tanggal Subjek Objective Assesment Planing

GCS : E4V5M6
1. 26/04/20 Sesak (+), - Asma - Infus D5 ¼ NS
21 batuk (+), HR: 96 kali/menit kuat angkat Bronkial 20 tpm
demam (-), serangan
RR : 32 x/menit - Ampicilin 4x 1 gr
muntah (-), ringan
makan (+), Suhu : 36.7oC sedang - Gentamisin 1 x
minum (+), 200 gr
Kepala : normochepali (+) - Pneumonia
BAB (+), BAK
- Nebu Combivent
(+) Mata : anemis (-), ikterus (-), -
1 ampul + NaCl
cowong -/-, reflek pupil +/+ - 0.9 % s.d 4 ml
\ @6 jam
isokor
- Paracetamol
THT : NCH (-), sekret (-)
Sirup 3x 2 ¼ k/p
Thorax: simetris, retraksi (-)
- Methylprednisolo
Cor : S1S2 tunggal, regular, n 2x25 mg (IV)
murmur (-) - Erdostein 2x1 cth
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki
+/+, Wheezing +/+ ekspirasi
Abdomen : distensi (-), bising
usus (+) normal
Ekstremitas : hangat (+), edema
(-), CRT < 2 detik.

GCS : E4V5M6
2. 27/04/20 Sesak (+) - Asma - Infus D5 ¼ NS
21 berkurang, HR: 90 kali/menit kuat angkat Bronkial 20 tpm
batuk (+), serangan
RR : 32 x/menit - Ampicilin 4x 1 gr
demam (-), ringan
muntah (-), Suhu : 36.4oC sedang - Gentamisin 1 x
makan (+), 200 gr
Kepala : normochepali (+) - Pneumonia
minum (+),
- Nebu Combivent
BAB (+), BAK Mata : anemis (-), ikterus (-),
1 ampul + NaCl
(+)
cowong -/-, reflek pupil +/+ - 0.9 % s.d 4 ml

45
isokor
\ @6 jam
THT : NCH (-), sekret (-)
- Paracetamol
Thorax: simetris, retraksi (-) Sirup 3x 2 ¼ k/p
Cor : S1S2 tunggal, regular, - Methylprednisolo
n 2x25 mg (IV)
murmur (-)
- Erdostein 2x1 cth
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki
+/+,
Wheezing +/+ ekspirasi
Abdomen : distensi (-), bising
usus (+) normal
Ekstremitas : hangat (+), edema
(-), CRT < 2 detik.

GCS : E4V5M6
3. 28/04/20 Sesak (+) - Asma - Infus D5 ¼ NS
21 berkurang, HR: 110 kali/menit kuat angkat Bronkial 20 tpm
batuk (+) serangan
RR : 28 x/menit - Ampicilin 4x 1 gr
berkurang, ringan
demam (-), Suhu : 36.5oC sedang - Gentamisin 1 x
muntah (-), 200 gr
Kepala : normochepali (+) - Pneumonia
makan (+),
- Nebu Combivent
minum (+), Mata : anemis (-), ikterus (-),
1 ampul + NaCl
BAB (+), BAK
cowong -/-, reflek pupil +/+ - 0.9 % s.d 4 ml
(+)
\ @6 jam
isokor
- Paracetamol
THT : NCH (-), sekret (-)
Sirup 3x 2 ¼ k/p
Thorax: simetris, retraksi (-)
- Methylprednisolo
Cor : S1S2 tunggal, regular, n 2x25 mg (IV)
murmur (-) - Erdostein 2x1 cth
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki
-/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising
usus (+) normal
Ekstremitas : hangat (+), edema

46
(-), CRT < 2 detik.

GCS : E4V5M6
4. 29/04/20 Sesak (-), - Asma - Infus D5 ¼ NS
21 batuk (-), HR: 84 kali/menit kuat angkat Bronkial 20 tpm
demam (-), serangan
RR : 26 x/menit - Ampicilin 4x 1 gr
muntah (-), ringan
makan (+), Suhu : 36.7oC sedang - Gentamisin 1 x
minum (+), 200 gr
Kepala : normochepali (+) - Pneumonia
BAB (+), BAK
- Nebu Combivent
(+) Mata : anemis (-), ikterus (-), -
1 ampul + NaCl
cowong -/-, reflek pupil +/+ - 0.9 % s.d 4 ml
\ @6 jam
isokor
- Paracetamol
THT : NCH (-), sekret (-)
Sirup 3x 2 ¼ k/p
Thorax: simetris, retraksi (-)
- Methylprednisolo
Cor : S1S2 tunggal, regular, n 2x25 mg (IV)
murmur (-) - Erdostein 2x1 cth
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki - BPL
--/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising
usus (+) normal
Ekstremitas : hangat (+), edema
(-), CRT < 2 detik.

BAB IV

ANALISIS KASUS PASIEN


47
Pasien dibawa ke IGD RSUD Klungkung dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas
dirasakan sejak 1 hari SMRS. Sesak disertai dengan bunyi mengi. Sesak tidak membaik dengan
perubahan posisi dan hanya membaik dengan penggunaan obat. Sesak memberat saat dini hari.
Menurut orangtuanya, pasien ini bukan sesak yang pertama karena sebelum ini pernah
mengalami sesak nafas dengan keluhan yang hampir sama dan biasanya sering kambuh ketika
memakan coklat, sosis dan ice cream. Pasien juga dikatakan batuk sejak 1 hari SMRS. Batuk
terus menerus dengan sedikit dahak tidak berwarna.
Pada pasien ini, penegakan diagnosis asma bronkial didapat dari anamnesis mengenai
keluhan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pasien ini dikatakan keluhan
utama yakni sesak. Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional
asma yaitu penyakit saluran respiratorik dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan
obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi asma dapat
beruba batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang,
reversible, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada
pencetus.7 Hasil anamnesis, didapatkan adanya Sesak nafas dirasakan sejak 1 hari SMRS. Sesak
disertai dengan bunyi mengi. Bukan sesak yang pertama karena sebelum ini pernah mengalami
sesak nafas dengan keluhan yang hampir sama dan biasanya sering kambuh ketika memakan
coklat, sosis dan ice cream. Memberat pada malam atau dini hari. Pasien juga dikatakan batuk
sejak 1 hari SMRS. Keluhan yang didapatkan dari anamnesis pasien sesuai dengan defini yang
disebutkan oleh PNAA tahun 2016.
Faktor risiko terjadinya Asma pada pasien dapat merupakan faktor genetik. Salah satu
anggota keluarga pasien memiliki riwayat asma, yaitu kakek pasien atau orang tua dari bapak
pasien pasien. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa asma pada keluarga dapat
meningkatkan faktor resiko untuk terjadinya asma.
Pemeriksaan fisis meliputi tanda vital dan derajat serangan (derajat kesadaran, suhu,
frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu kalimat, retraksi
dinding dada dan wheezing), tanda komplikasi atau penyakit penyerta, serta tanda dari kondisi
lain yang dapat menjadi penyebab respiratory distress. 2,7 Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan
pada pasien, ditemukan status present keadaan umum pasien masih tampak sakit sedang, nadi:
96x/menit, reguler, isi cukup, RR: 34x/menit, Tax: 37.7° C, BB: 26 kg, TB: 125 cm, BBI : 25 kg,

48
dan Status Gizi: 99% (Gizi baik ~ Waterlow). Pemeriksaan fisik kepala, mata, leher,
tenggorokan, ektremitas, genitalia eksterna, anus dan kulit juga dalam batas normal. Pemeriksaan
thorax pulmo pasien simetris, retraksi dinidng dada tidak ada, auskultasi didapatkan suara rhonki
pada basal paru dan suara whezing saat ekspirasi. Hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada
pasien mengarah pada diagnosis asma.
Pemeriksaan penunjang pada kasus asma spirometri, uji reversibilitas dengan
bronkodilator, uji provokasi bronkus, uji alergi, dan foto thoraks. 7 pada pasien dilakukan foto
thorax dan darah lengkap. Hasil foto thorax didapatkan gambaran pneumonia. Foto thorak pada
pasien asma biasanya tidak didapatkan kelainan. Foto thorak digunakan untuk menyingkirkan
penyakit lain yang tidak disebabkan oleh asma, seperti gagal jantung, penyakit paru obstruktif
kronis, atau fibrosis kistik.2,10
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu Infus D5 ¼ NS 20 tpm, Ampicilin 4x 1 gr,
Gentamisin 1 x 200 gr, Azitromisin 1 x 250 mg (puyer) 1x cth, Nebu Combivent 1 ampul +
NaCl 0.9 % s.d 4 ml @6 jam, Paracetamol Sirup 3x 2 ¼ k/p, Methylprednisolon 2x25 mg (IV)
, Erdostein 2x1 cth. Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian ß-agonis dengan
penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan
selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi ditambahkan obat antikolinergik.
Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat
serangan, karena penilaian derajat secara klinis dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.7

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

49
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien mengalami Asma Bronkial. penyakit saluran respiratorik dengan dasar inflamasi
kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi. Manifestasi asma dapat beruba batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang
timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memberat pada malam atau
dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus. Sampai saat ini etiologi asma masih belum
jelas. Namun dicurigai asma terjadi karena hasil interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan. Asma berdasarkan derajat serangan dibagi ringan sedang berat dan mengancam
nyawa. Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak
yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa berat gejala
biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan
inhalasi alergen. Pemeriksaan fisik saat terjadi serangan dapat terdengar wheezing saat
ekspirasi (audible wheeze/ dengan stetoskop). Perlu dicari gejala alergi lain pada pasien.
Crackles dan wheezing inspiratoir bukan merupakan gejala asma. Pemeriksaan penunjang
spirometri uji reversibilitas dengan bronkodilator uji provokasi bronkus foto thorak.
Penatalaksanaan Asma disesuaikan dengan derajat serangan asma.

DAFTAR PUSTAKA

50
1. Liu AH, Covar RA, Spahn JD, Sicherer SH. In: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF,
authors. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Vol. 2. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 1095-115.
2. Global Initiative for Asma (GINA). Global Strategy for Asma Management and Prevention. 2015
3. Global Asma Network. The Global Asma Report 2014.
http://www.globalasmareport.org/resources/Global_Asma_Report_2014.pdf
4. Yunita E. Diagnosis dan tatalaksana asma pada anak. Pontianak: SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU dr.
Soedarso; 2011.
5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengendalian penyakit asma. Indonesia: Departemen Kesehatan
RI; 2009.
6. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, authors. International
consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67:976-97
7. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto BD. Ikatan dokter Anak Indonesia: Pedoman Nasional Asma Anak.
Ed ke-2. Indonesia: UKK Pulmonologi PPIDAI; 2016.
8. Akinbami LJ, Moorman JE, Bailey C, Zahran HS, King M, Johnson CA, et al. Trends in asthma
prevalence, health care use, and mortality in the united states, 2001-2010. NCHS Data Brief. 2012
May;94:1-8.
9. Sondik EJ, Madans JH, Craver JM. National surveillance of asthma: united states 2001-2010. US
Department of Health and Human Services. 2012;3(35):1-58.
10. Meredith C, McCromack, MHS, Enright PL. Making the diagnosis of asthma. Respiratory care.
2008;53(5):583-592.
11. Graham LM. Classifying asthma. Chest 2006 07;130(1):13S-20S.
12. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG, Swingler GH. Randomised controlled trial of the efficacy of
a metered dose inhaler with bottle spacer for bronchodilator treatment in acute lower airway obstruction.
Arch Dis Child. 2007 Feb;92(2):142–6.
13. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG. 500-ml plastic bottle : An effective spacer for children with
asthma. Pediatr Allergy Immunol. 2002;13:217-22.
14. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O'Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev.
2000;10:527-35.
15. William C, Ill A, Szelfer S. New future and strategies to improve asthma control in children. J Allergy
Clin Immunol. 2015;136(4):848–59.
16. Kalister H. Treating children with asthma : a review of drug therapies. West J Med. 2001;174:415–20.
17. Georgopoulus D, Buchardi H. Ventilatory strategies in adult patient with status asthmaticus. EurRespir
Mon. 1988;8:45–83.
18. Wade A, Chang C. Evaluation and treatment of critical asthma sydrome in children. Clinic Rev Allerg
Immunol. 2015;48:66–83.
19. Cates C, Welsh E, Rowe B. Holding chambers (spacers) versus nebulisers for beta-agonist treatment of
acute asthma. The Chocrane database of systematic reviews. 2013;9:Cd000052
20. Fergeson J, Patel S, Lockey R. Acute asthma, prognosis, and treatment. J Allergy Clin Immunol. 2016;

51

Anda mungkin juga menyukai