Anda di halaman 1dari 15

Referat

HIV(Human Immunodeficiency Virus)

Disusun oleh:

MUHAMMAD DAYU WARDANA 1102014166

Pembimbing:
dr.Linda Armelia . Sp. PD-KGH. FINASIM

PEMBELAJARAN JARAK JAUH

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................

BAB I.................................................................................................................................................

PENDAHULUAN.............................................................................................................................
BAB II...............................................................................................................................................

TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................................

2.1 Definisi.....................................................................................................................................

2.2 Epidemiologi............................................................................................................................

2.3 Struktur.....................................................................................................................................

2.4 Klasifikasi................................................................................................................................

2.5 Patogenesis...............................................................................................................................

2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................................................

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding...........................................................................................

2.8 Tatalaksana...............................................................................................................................

2.9. Pencegahan ……………………………………………………………………………...

2.10.Prognosis
…………………………………………………………………………………………………………
…………………..

BAB III..............................................................................................................................................

KESIMPULAN..................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................

BAB I

Pendahuluan

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah Orang Dengan HIV
dan AIDS (ODHA) pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV, yaitu
para pekerja seks dan pengguna NAPZA suntikan (Penasun), kemudian diikuti dengan
peningkatan pada kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dan
perempuan berisiko rendah. Saat ini dengan prevalensi rerata sebesar 0,4% sebagian
besar wilayah di Indonesia termasuk dalam kategori daerah dengan tingkat epidemi HIV
terkonsentrasi. Sementara itu, Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas,
dengan prevalensi HIV sebesar 2,3% (Permenkes, 2014). Prevalensi global HIV
meningkat dari 31,0 juta pada tahun 2002, menjadi 35,3 juta di tahun 2012, karena
orang-orang yang menggunakan terapi antiretroviral hidup lebih lama, sedangkan
insiden global telah menurun dari 3,3 juta pada tahun 2002, menjadi 2,3 juta pada
tahun 2012 (Maartens G et al., 2014). Pemahaman mengenai mekanisme infeksi,
perjalanan klinis infeksi HIV dan pentingnya peran reservoir infeksi dalam penularan
HIV diharapkan dapat terus menekan kejadian baru HIV di masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu spektrum penyakit yang
menyerang sel-sel kekebalan tubuh yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa
sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut. Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV, dan
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Fauci et al., 2009).

2.2.Epidemiologi

Kasus penularan AIDS pertama di Indonesia dilaporkan terjadi pada tahun 1987, kemudian
disusul dengan kasus-kasus berikutnya, sehingga pada tanggal 31 januari 1995 tercatat pengidap HIV
211 orang dan 69 penderita AIDS, 44 orang diantaranya meninggal. Data terakhir bulan Juni 1999
tercatat 88 mengidap HIV dan 26 penderita AIDS (sampai dengan 31 Agustus 1999). Serupa dengan
pola penyebaran dinegara lain, di Indonesiapun penyebaran HIV-AIDS pada awalnya terjadi diantara
orang-orang homo seks, kemudian muncul pada sekelompok kecil orang-orang yang berperilaku
resiko tinggi seperti pecandu obat narkotika dan para tuna susila. Namun pada perkembanganya saat
ini HIV-AIDS juga banyak dialami ibu rumah tangga dan juga anak-anak (Kementrian RI, 2016).
Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia semakin memprihatinkan. Indonesia kini dikategorikan
sebagai negara dengan tingkat endemi HIV-AIDS terkonsentrasi. Data Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan kondisi HIV-AIDS di dunia turun dari 40,3 juta pada
tahun 2005 menjadi tinggal 33,2 juta pada 2007. Berdasarkan laporan dari tahun ke tahun, kasus
AIDS di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang terus-menerus. Berdasarkan laporan Ditjen
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes RI juga dapat dilihat jumlah
kumulatif kasus AIDS di Indonesia sampai dengan akhir Juni 2011 sebanyak 26.483 kasus (Stratnas
Penanggulangan HIV-AIDS, 2011, Ditjen PP & PL, 2014).

2.3. Struktur
HIV adalah virus sitopatik, termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae. Genus Lentivirus. HIV berbeda dalam struktur dari retrovirus lainnya. Virion
HIV berdiameter ~100 nm, dengan berat molekul 9.7 kb (kilobase). Wilayah terdalamnya
terdiri dari inti berbentuk kerucut yang mencakup dua salinan genom ssRNA, enzim
reverse transcriptase, integrase dan protease, beberapa protein minor, dan protein inti
utama, seperti terlihat pada gambar 1.1. Genom HIV mengodekan 16 protein virus yang
memainkan peran penting selama siklus hidupnya (Li et al., 2016).

HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope
virus, gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran. Gp120 memiliki
afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada awal interaksi
dengan sel target, sedangkan gp41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi. Termasuk
retrovirus karena memiliki enzim reverse trancriptase, HIV mampu mengubah informasi
genetik dari RNA menjadi DNA, yang membentuk provirus.

2.4. Klasifikasi
Hingga kini dikenal dua tipe IV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan virus
klasik pemicu AIDS, didapatkan pada sebagian besar populasi di dunia. HIV-2
merupakan virus yang diisolasi pada binatang dan beberapa pasien di Afrika Barat.
Perbedaan keduanya terutama pada glikoprotein kapsul, dan virus HIV-2 umumnya
kurang patogenik serta memerlukan waktu lebih lama untuk memunculkan gejala dan
tanda penyakit (Maartens G et al., 2014).

2.5. Patogenesis
Gp120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab
pada awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp41 bertanggung jawab dalam proses
internalisasi. Termasuk retrovirus karena memiliki enzim reverse trancriptase, HIV mampu
mengubah informasi genetik dari RNA menjadi DNA, yang membentuk provirus. Hasil
transkrip DNA intermediet atau provirus
yang terbentuk ini kemudian memasuki inti sel target melalui enzim integrase dan
berintegrasi di dalam kromosom dalam inti sel target. HIV juga memiliki kemampuan
untuk memanfaatkan mekanisme yang sudah ada di dalam sel target untuk membuat kopi
diri sehingga terbentuk virus baru dan matur yang memiliki karakter HIV. Kemampuan
virus HIV untuk bergabung dengan DNA sel target pasien, membuat seseorang yang
terinfeksi HIV akan terus terinfeksi seumur hidupnya (Li et al., 2016).
Hingga kini dikenal dua tipe IV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan virus klasik
pemicu AIDS, didapatkan pada sebagian besar populasi di dunia. HIV-2 merupakan virus
yang diisolasi pada binatang dan beberapa pasien di Afrika Barat. Perbedaan keduanya
terutama pada glikoprotein kapsul, dan virus HIV-2 umumnya kurang patogenik serta
memerlukan waktu lebih lama untuk memunculkan gejala dan tanda penyakit (Maartens
G et al., 2014).
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, yaitu secara vertikal,
horizontal, dan seksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan
diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara
tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada kontak
seksual. Setelah sampai dalam sirkulasi sistemik, 4–11 hari sejak paparan pertama HIV
dapat dideteksi di dalam darah (Nasronudin, 2014).
Setelah masuk dalam sirkulasi sistemik manusia, sel target utama dari HIV adalah sel
yang mampu mengekspresikan reseptor spesifik CD4, seperti monosit-makrofag, limfosit,
sel dendritik, astrosit, mikroglia, Langerhan’s yang kebanyakan terlibat dalam sistem imun
manusia. Bila HIV mendekati dan berhasil menggaet sel target melalui interaksi gp120
dengan CD4, ikatan semakin diperkokoh ko-reseptor CXCR4 dan CCR5, dan kemudian
atas peran protein transmembran gp41 akan terjadi fusi membran virus dan membran sel
target. Proses selanjutnya diteruskan melalui peran enzim reverse transcriptase dan
integrase serta protease untuk mendukung proses replikasi (Maartens G et al., 2014;
Nasronudin, 2014).
Replikasi dimungkinkan melalui aktivitas enzim reverse transcriptase, diawali oleh
transkripsi terbalik RNA genomik ke DNA. Kopi DNA yang terbentuk berintegrasi ke
genom sel manusia untuk selanjutnya disebut proviral DNA. Komponen virus kemudian
disusun mendekati membran sel host, menembus membran keluar dari dalam sel sebagai
virion matur, yang potensial penyebab infeksi pada sel lain, bahkan mampu memicu infeksi
pada individu lain bila ditransmisikan. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi
hingga mencapai 108–109 virus baru. Selama proses replikasi, HIV dapat mengalami
perubahan karakter atau mutasi sehingga HIV yang beredar dalam sirkulasi tubuh otomatis
bukan merupakan populasi homogen, melainkan terdiri dari berbagai kelompok varian
sebagai spesies quasi. Variasi virus ini cenderung terus mengalami mutasi, terutama pada
tekanan selektif di lingkungan mikro yang penuh stresor. Hal ini dapat memicu strain
resisten terhadap obat maupun perubahan status imunologik (Levy, 1993).
Secara perlahan seiring waktu, limfosit T yang menjadi salah satu sel target HIV akan
tertekan dan semakin menurun melalui berbagai mekanisme, seperti kematian sel secara
langsung akibat hilangnya integritas membran plasma oleh karena infeksi virus, apoptosis,
maupun oleh karena respons imun humoral dan seluler yang berusaha melenyapkan virus
HIV dan sel yang telah terinfeksi. Penurunan limfosit T dan CD4 ini menyebabkan
penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen
menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke
stadium AIDS (Levy, 1993).

2.6. Manifestasi Klinis


Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Dalam
perjalanannya, infeksi HIV dapat melalui 3 fase klinis (Nasronudin, 2007).
Tahap 1: Infeksi Akut
Dalam 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi HIV, seseorang mungkin mengalami penyakit
seperti flu, yang dapat berlangsung selama beberapa minggu. Ini adalah respons alami
tubuh terhadap infeksi. Setelah HIV menginfeksi sel target, yang terjadi adalah proses
replikasi yang menghasilkan berjuta-juta virus baru (virion), terjadi viremia yang memicu
sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu. Gejala yang
terjadi dapat berupa demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, nyeri otot, dan sendi atau batuk.

Tahap 2: Infeksi Laten


Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi asimtomatik (tanpa gejala), yang umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun. Pembentukan respons imun spesifik HIV dan
terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten.
Meskipun pada fase ini virion di plasma menurun, replikasi tetap terjadi di dalam kelenjar
limfe dan jumlah limfosit T-CD4 perlahan menurun walaupun belum menunjukkan gejala
(asimtomatis). Beberapa pasien dapat menderita sarkoma Kaposi’s, Herpes zoster, Herpes
simpleks, sinusitis bakterial, atau pneumonia yang mungkin tidak berlangsung lama.

Tahap 3: Infeksi Kronis


Sekelompok kecil orang dapat menunjukkan perjalanan penyakit amat cepat dalam 2
tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non- progressor). Akibat replikasi virus
yang diikuti kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler karena banyaknya virus, fungsi
kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun dan virus dicurahkan ke dalam darah.
Saat ini terjadi, respons imun sudah tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan
tersebut. Limfosit T-CD4 semakin tertekan oleh karena intervensi HIV yang semakin
banyak, dan jumlahnya dapat menurun hingga di bawah 200 sel/mm 3. Penurunan limfosit
T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai
penyakit infeksi sekunder, dan akhirnya pasien jatuh pada kondisi AIDS.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan
gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.
Sekitar 50% dari semua orang yang terinfeksi HIV, 50% berkembang masuk dalam tahap
AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun, hampir semua menunjukkan gejala AIDS,
kemudian meninggal.

Gejala dan klinis yang patut diduga infeksi HIV adalah sebagai berikut (Kemenkes RI,
2012).
1. Keadaan umum, yakni kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar; demam
(terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5) yang lebih dari satu bulan;
diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan; limfadenopati
meluas.
2. Kulit, yaitu didapatkan pruritic papular eruption dan kulit kering yang luas;
merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan kulit seperti genital warts,
folikulitis, dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan
HIV.
3. Infeksi jamur dengan ditemukan kandidiasis oral; dermatitis seboroik; atau
kandidiasis vagina berulang.
4. Infeksi viral dengan ditemukan herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih
dari satu dermatom); herpes genital berulang; moluskum kontangiosum; atau
kondiloma.
5. Gangguan pernapasan dapat berupa batuk lebih dari satu bulan; sesak napas;
tuberkulosis; pneumonia berulang; sinusitis kronis atau berulang.
6. Gejala neurologis dapat berupa nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan
tidak jelas penyebabnya); kejang demam; atau menurunnya fungsi kognitif.

2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding

1. Anamnesis

Anamnesis yang mendukung kemungkinan infeksi HIV misalnya

 Lahir dari ibu dengan resiko tinggi


 Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi
 Penerima transfusi darah atau komponennya, lebih-lebih berulang dan tanpa uji tapis
HIV
 Penggunaan obat parenteral atau intravena dengan keliru (biasanyapecandu narkotika)
 Kebiasaan seksual yang keliru

Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit yang menular secara
seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh,adanya ensefalopati yang
menetap atau progresif, penyakit paru interstisial, keganasan sekunder, kardio-miopati dan
lain-lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik

menggunakan metode inspeksi, palpasi dan perkusi. Pemeriksaan HIV AIDS meliputi


antara lain :

Kondisi Umum
Diperhatikan atau inspeksi penampilan umum pasien tampak sakit dimulai dari ringan hingga berat. Jangan
lupa untuk mengecek pula tanda vital pasien

Suhu.
Demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila tidak
ada gejala lain. Demam kadang-kadang bisa menjadi tanda dari jenis penyakit
infeksi tertentu atau kanker yang lebih umum pada orang yang mempunyai sistem kekebalan
tubuh lemah .

Berat.
Pemeriksaan berat badan dilakukan karena kehilangan 10% atau lebih dari berat badan Anda
mungkin akibat dari sindrom  wasting, yang merupakan salah satu tanda-tanda
dari AIDS dan yang paling parah tahap terakhir infeksi HIV. Diperlukan bantuan tambahan gizi yang cukup
jika kehilangan berat badan.
Mata.
Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Hal ini terjadi lebih sering pada
orang yang memiliki jumlah CD4 kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL). Termasuk
gejala floaters, penglihatan kabur,atau kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala retinitis
CMV, diharuskan memeriksakan diri ke dokter mata sesegera mungkin. Beberapa dokter menyarankan
kunjungan dokter mata setiap 3 sampai 6 bulan jika jumlah CD4 anda kurang dari 100 sel per
mikroliter (MCL).

Mulut
Infeksi jamur dan luka mulut lainnya sangat umum terjadi pada penderita HIV.
P e m e r i k s a k a n   g i g i   s e t i d a k n y a d u a k a l i d a l a m setahun. Jika Anda beresiko
terkena penyakit gusi (penyakit periodontal), Anda perlu ke dokter gigi Anda lebih sering.

Kelenjar getah bening.


Pembesaran kelenjar getah bening (Limpadenopati) tidak selalu disebabkan oleh
HIV, namun pada kasus penderita HIV AIDS prevalensi dan faktor resikonya
menigkat

Perut.
Pemeriksaan abdomen mungkin menunjukkan hati yang membesar (hepatomegali) atau pembesaran
limpa (splenomegali). Gejala ascites, distensi abdomen juga sering terjadi pasien HIV AIDS
sehingga diperlukan pemeriksaan perkusi abdomen. Kondisi ini dapat disebabkan oleh infeksi
baru atau mungkin menunjukkan kanker. pemeriksaan perut biasanya juga dilakukan jika pasien
mengalami gejala-gejala seperti nyeri di kanan atas atau bagian kiri atasperut Anda.

Kulit.
Kulit merupakan masalah umum yang sering terjadi pada penderita HIV AIDS. Pemeriksaan
ini dapat mengungkap kondisi yang dapat diobati mulai dari adanya rash, ikterik, jaundice,
dermatitis seboroik hingga sarkoma kaposi.

3. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan laboratorium HIV dilakukan pada semua orang dengan gejala klinis yang mengarah
ke HIV/AIDS, dan dilakukan juga untuk menyaring HIV pada semua remaja dan orang dewasa
dengan peningkatan risiko infeksi HIV, dan semua wanita hamil (Permenkes, 2014).
Berikut jenis pemeriksaan laboratorium HIV (Fearon, 2005).
1. Tes cepat
Tes cepat hanya dilakukan untuk keperluan skrining, dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh
institusi yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1
maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu
tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan
oleh tenaga medis yang terlatih.
2. Tes Enzyme Immunoassay (EIA) antibodi HIV
Tes ini berguna sebagai skrining maupun diagnosis HIV (Gambar 1.2) dengan mendeteksi
antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2.
3. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit.
4. Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan antibodi HIV.
Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan untuk
pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak
tersedia.
c. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan.
Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood
Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang
diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling
awal pada umur 6 minggu.
5. Tes antigen p24 HIV
Tes antigen p24 dapat mendeteksi protein p24 rata-rata 10 hingga 14 hari setelah terinfeksi
HIV. Tes ini direkomendasikan oleh WHO dan CDC yang bertujuan untuk mengurangi waktu
yang diperlukan untuk mendiagnosis infeksi HIV.

2.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan HIV tergantung pada stadium penyakit dan setiap infeksi oportunistik
yang terjadi. Secara umum, tujuan pengobatan adalah untuk mencegah sistem imun tubuh
memburuk ke titik di mana infeksi oportunistik akan bermunculan. Sindrom pulih imun
atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) yang dapat muncul setelah
pengobatan juga jarang terjadi pada pasien yang belum mencapai titik tersebut.
Untuk semua penderita HIV/AIDS diberikan anjuran untuk istirahat sesuai kemampuan
atau derajat sakit, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan
mikronutrien untuk penderita HIV & AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis
dan psikososial, dan membiasakan gaya hidup sehat. Terapi antiretroviral adalah metode
utama untuk mencegah perburukan sistem imun tubuh. Terapi infeksi
sekunder/oportunistik/malignansi diberikan sesuai gejala dan diagnosis penyerta yang
ditemukan. Sebagai tambahan, profilaksis untuk infeksi oportunistik spesifik
diindikasikan pada kasus-kasus tertentu (Maartens G et al., 2014).
Prinsip pemberian ARV adalah menggunakan kombinasi 3 jenis obat yang ketiganya harus
terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly active
antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART
(antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia no 87 Tahun 2014 menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan
ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek, yaitu efektivitas, efek samping/ toksisitas,
interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat, sesuai tabel 1.5–1.7 (Permenkes, 2014).
a Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4
kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan
TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu
pengobatan kriptokokus.
b Dengan memperhatikan kepatuhan.

c Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif,
maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis
konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan
atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV
ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau
tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.
Setelah pemberian ARV diperlukan pemantauan dengan tujuan mengevaluasi
respons pengobatan, pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV jika
diperlukan, pemantauan sindrom pulih imun/IRIS, serta memantau apakah didapatkan
kegagalan terapi ARV untuk memulai terapi lini berikutnya.
2.9. Pencegahan
untuk mencegah penularan HIV. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), National
Institutes of Health,  dan sumber lainnya, penularan HIV dapat dicegah dengan: 

1. Hindari Penggunaan Narkoba

Hindari menggunakan narkoba, apalagi berbagi jarum suntik dengan orang lain. 

2. Jangan Menjadi Donor Bila Positif

Jika seseorang dinyatakan positif HIV, maka dirinya tidak diperbolehkan mendonorkan
darah, plasma, organ tubuh, atau sperma.

3. Praktik Seks yang Aman

Terapkan praktik seks yang aman. Misalnya, menggunakan kondom lateks untuk
mencegah penularan HIV. Selain itu, hindarilah untuk bergonta-ganti pasangan seks. 

4. Sunat Pada Pria

Terdapat beberapa studi dan bukti yang mengatakan bahwa, sunat pada pria dapat membantu
mengurangi risiko tertular HIV.

5. Hindari Kontak dengan Darah

Penularan HIV juga bisa dicegah dengan menghindari kontak dengan darah. Bila tak
memungkinkan, kenakan pakaian pelindung, masker, dan kacamata saat merawat orang yang
terluka.

2.10 Prognosis
Penderita HIV yang tidak mendapatkan penanganan, memiliki prognosis yang buruk, dengan tingkat
mortalitas > 90%. Rata-rata jangka waktu sejak infeksi hingga kematian adalah 8-10 tahun (tanpa
intervensi ARV)

BAB III
KESIMPULAN

Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh yang meliputi
infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut, dan
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. HIV sendiri adalah virus sitopatik, termasuk dalam
famili Retroviridae, dan sel targetnya adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor spesifik
CD4 yang kebanyakan terlibat dalam sistem imun manusia, sehingga manifestasinya meskipun
beragam pada akhirnya hadir sebagai infeksi sekunder/oportunistik akibat tertekannya sistem imun
oleh karena infeksi virus pada tahap lanjut. Penatalaksanaan HIV tergantung pada stadium penyakit
dan setiap infeksi oportunistik yang terjadi. Secara umum, tujuan pengobatan adalah untuk mencegah
sistem imun tubuh memburuk ke titik di mana infeksi oportunistik akan bermunculan. Strategi utama
yang dilakukan saat ini adalah penggunaan obat antiretroviral yang dapat menekan virus HIV dan
memperpanjang harapan hidup seorang ODHA. Cakupan tes HIV yang tinggi dan skrining aktif pada
populasi berisiko tinggi juga dapat menemukan orang dengan HIV/AIDS lebih awal dan menurunkan
penularan lebih lanjut dengan konseling perubahan perilaku dan intervensi medis yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z dan Djauzi S. 2014. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam Sudoyo AW, Setiyono B, Alwi I,
Simadibrata M, dan Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
2. Fauci AS and Lane HC. 2009. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and Related Disorders. In
Fauci AS, Braunwald E, Kasper D, et al. (Eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed.
New York: McGraw- Hill.
3. Fearon M. 2005. The Laboratory Diagnosis of HIV Infections. Can J Infect Dis Med Microbiol.
16(1):26-30.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV dan Terapi Antiretroviral. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Levy JA. 1993. Pathogenesis of Human Immunodeficiency Virus Infection.
6. Microbologial Review, 57(1):183-289.
7. Li G and Clercq ED. 2016. HIV Genome-Wide Protein Associations: a Review of 30 Years of
Research. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 80(3):679–731.
8. Maartens G, Celum C, Lewin SR. 2014. HIV Infection: Epidemiology, Pathogenesis, Treatment,
and Prevention. Lancet. 384(9939): 258–71.
9. Nasronudin. 2007. Diagnosis Infeksi HIV/AIDS. Dalam Barakhah J, Soewandojo E, Suharto Hadi S,
dan Astuti WD. HIV& AIDS. Surabaya: Airlangga University Press.
10. Nasronudin. 2014. Virologi HIV. Dalam Sudoyo AW, Setiyono B, Alwi I, Simadibrata M, dan
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
11. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral.
Peraturan Pemerintah no. 87 tahun 2014.
12. World Health Organizations. 2007. WHO Case Definitions of HIV For Surveillance and Revised
Clinical Staging and Immunological Classification of HIV-Related Disease in Adults and Children.
Available at: http://www.who.int/hiv/pub/ guidelines/HIVstaging150307.pdf

Anda mungkin juga menyukai