Anda di halaman 1dari 34

SMF/ BAGIAN ILMU RADIOLOGI LAPORAN KASUS

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES JANUARI 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

BELL’S PALSY

Disusun oleh :

Elsye Yurike Lalupanda (2008020045)

Jessica Allo (2008020059)

Pembimbing :

dr. Dyah G. Rambu Kareri, Sp.KFR

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU RADIOLOGI
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1 Definisi.........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi................................................................................................3
2.3 Etiologi.........................................................................................................4
2.4 Patofisiologi.................................................................................................5
2.5 Gejala klinis.................................................................................................5
2.6 Klasifikasi....................................................................................................8
2.7 Diagnosis......................................................................................................9
2.8 Tatalaksana.................................................................................................12
2.9 Diagnosis Banding.....................................................................................17
2.10 Prognosis....................................................................................................17
BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................18
3.1 Anamnesis..................................................................................................18
3.2 Pemeriksaan Fisik......................................................................................20
3.3 Diagnosis....................................................................................................22
3.4 Daftar Masalah...........................................................................................22
3.5 Terapi.........................................................................................................23
3.6 Planning.....................................................................................................23
3.7 Prognosis....................................................................................................24
BAB 4 PEMBAHASAN.......................................................................................25
BAB 5 KESIMPULAN........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

ii
1

BAB 1

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologis paling umum

yang memengaruhi saraf kranial penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah

di seluruh dunia.[1] Pada tahun 1812, bell’s palsy diperkenalkan oleh Sir Charles

Bell, peneliti dari Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot

wajah. Kejadian sindrom ini terjadi sekitar 15-20 kasus per 100.000 orang setiap

tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam

mengganggap bell’s palsy sebagai serangan stroke sehingga perlu diketahui

penerapan klinis bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding kemungkinan

diperoleh dari klinis yang sama.[2,3]

Bell's palsy dapat menyebabkan kelemahan pada mulut sementara yang

signifikan dan ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata, yang menyebabkan

potensi cedera mata. Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh bell’s palsy cukup

kompleks, meliputi impairment berupa wajah tidak simetris dan kaku, serta dapat

terjadi kontraktur, disability berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari,

seperti gangguan berbicara dan ekspresi wajah, serta makan dan minum, handicap

berupa keterkaitan dalam profesi terutama dibidang entertainment, dan masalah

lainnya dapat berupa masalah pada psikologi penderita sehingga untuk

tatalaksananya dibutuhkan upaya pengobatan yang komprehensif, berupa

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi.[2]


2

Tujuan penatalaksanaan bell’s palsy adalah untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit,

meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan

kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Selain itu, pengobatan seharusnya

dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap

kelumpuhan saraf ini.[4] Rehabilitasi medik pada penderita bell`s palsy diperlukan

dengan tujuan membantu memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot

otot fasialis, dan mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot

otot fasialis sehingga penderita dapat kembali melakukkan aktivitas kerja sehari-

hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.[2]


3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau paralisis saraf fasialis perifer

unilateral yang bersifat akut dan penyebabnya idiopatik. Sindrom ini merupakan

penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah di seluruh dunia.[1,2]

2.2 Epidemiologi

Bell’s palsy terjadi pada sekitar 15-20 dari 100.000 orang per tahun dengan

40.000 kasus baru setiap tahunnya. Bell’s palsy diperkirakan menyebabkan sekitar

60-75% kasus paralisis wajah unilateral akut, dengan 63% kasus terjadi di sisi

wajah kanan. Di Indonesia, frekuensi terjadinya bell’s palsy sebesar 19,55% dari

seluruh kasus neuropati yang sering dijumpai pada usia 20-50 tahun. Angka

kejadian sindrom ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia setelah 60

tahun. Bell’s palsy dapat mengalami rekuren, dengan kisaran kekambuhan yang

dilaporkan 4-14%. Namun pemulihan total tanpa terapi dapat terjadi pada 60-80%

pasien. Kelumpuhan yang disebabkan oleh gangguan nervus kranialis yang paling

sering ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi kasus lebih banyak terlihat pada

usia pertengahan dan akhir, dengan usia rata-rata 40 tahun.

Tingkat insiden tertinggi pada mereka yang berusia 70 tahun dan lebih tua. Faktor

risiko termasuk diabetes, kehamilan, preeklamsia, obesitas, dan hipertensi.[1,3,5,6]


4

2.3 Etiologi

Penyebab bell’s palsy masih belum diketahui, meskipun kelainan tersebut

tampaknya polineuritis dengan kemungkinan etiologi virus, inflamasi, autoimun,

dan iskemik. Berikut ini adalah empat teori yang dihubungkan dengan etiologi,

yaitu :

1. Teori iskemik vaskular

Gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis dapat

menyebabkan kelumpuhan pada nervus fasialis secara tidak langsung.


[2]

2. Teori infeksi virus

semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa bell’s palsy

disebabkan karena adanya implikasi reaktivasi virus herpes simpleks

(HSV) tipe I dan virus herpes zoster dari ganglia saraf kranial.

Hipotesis bahwa HSV adalah agen etiologi pada bell’s palsy

menyatakan bahwa setelah menyebabkan infeksi primer pada bibir

(yaitu, luka dingin), virus berjalan ke akson saraf sensorik dan berada

di ganglion genikulata. Pada saat stres, virus teraktivasi kembali dan

menyebabkan kerusakan lokal pada mielin. Selain infeksi HSV,

kemungkinan etiologi lainnya adalah virus herpes zoster, penyakit

Lyme, sifilis, infeksi virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus,

human immunodeficiency virus (HIV), mycoplasma, inflamasi, dan


5

penyakit mikrovaskuler, seperti diabetes mellitus dan hipertensi. Bell’s

palsy juga diketahui terjadi setelah infeksi saluran pernapasan atas.[1]

3. Teori herediter

Kanalis fasialis yang sempit bisa terjadi karena faktor keturunan

sehingga merupakan predisposisi terjadinya paresis fasialis.[2]

2.4 Patofisiologi

Nukleus motoris nervus fasialis terletak diantara anterior dan lateral dari

nukleus abdusen. Nervus fasialis akan melintang melewati kanalis auditori

internal dengan nervus vestibulokoklearis. Setelah memasuki kanal, nervus

fasialis akan menikung tajam ke depan, kemudian ke bawah di sekitar batas

vestibulum telinga dalam untuk keluar melalui foramen stylomastoid. Dari

foramen stylomastoid, mereka membagi kanalis fasialis menjadi segmen labirin,

timpani dan mastoid. Segmen labirin (bagian proximal) memanjang dari fundus

kanalis auditori internal menuju ganglion genikulatum. Pada pintu masuk tersebut,

terdapat bagian tersempit dari kanalis fasialis yang merupakan lokasi yang rentan

terhadap terjadinya kerusakan sehingga apabila terjadi inflamasi dan edema,

misalnya akibat infeksi, menyebabkan bagian nervus fasialis yang berjalan pada

kanal-kanal sempit tersebut mengalami kompresi dan menimbulkan kerusakan.[1,5]

2.5 Gejala klinis

Gejala klinis yang tampak pada kelumpuhan perifer N.VII dapat

didiagnosa dengan inspeksi karena ciri khas yang dapat ditemukan berupa

kelumpuhan sisi wajah pada daerah yang sakit, hilangnya lipatan-lipatan di dahi
6

dan daerah wajah sisi yang sakit akan terlihat mencong. Gejala kelumpuhan

perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.[7]

a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus

Gejala berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi yang

menyebabkan sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat, makanan

berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi, tidak dapat menutup mata dan

mengerutkan kening pada sisi lesi. Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid,

LMN. Pengecapan dan sekresi air liur masih baik.[7]

b. Lesi setinggi diantara korda timpani dengan nervus stapedius (didalam

kanalis fasialis)

Gejala yang ditimbulkan berupa seperti poin (a) ditambah dengan

gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan gangguan salivasi.[7]

c. Lesi setinggi diantara nervus stapedius dengan ganglion genikulatum

Gejala yang ditimbulkan seperti poin (b) ditambah dengan gangguan

pendengaran yaitu hiperakusis.[7]

d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.


7

Gejala yang ditimbulkan seperti poin (c) ditambah dengan gangguan

sekresi kelenjar hidung dan gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).

e. Lesi di porus akustikus internus.

Gangguan yang ditimbulkan seperti poin (d) ditambah dengan gangguan

pada N.VIII.[7]

Lokasi kerusakan yang paling sering ditemui adalah kerusakan pada

tempat setinggi foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum.

Penyebab kerusakan setinggi genikulatum yang sering terjadi adalah herpes

zoster, otitis media perforata dan mastoiditis.[7]

Manifestasi Klinis Bell’s palsy:[8]

a. Gejala pada sisi wajah ipsilateral berupa :

 Kelemahan otot wajah ipsilateral

 Kerutan dahi menghilang ipsilateral

 Tampak seperti orang letih

 Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata

 Hidung terasa kaku

 Sulit berbicara
8

 Sulit makan dan minum

 Sensitif terhadap suara (hiperakusis)

 Salivasi yang berlebihan atau berkurang

 Pembengkakan wajah

 Berkurang atau hilangnya rasa kecap

 Nyeri di dalam atau disekitar telinga

 Air liur sering keluar

b. Gejala pada mata ipsilateral

 Sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral

 Air mata berkurang

 Alis mata jatuh

 Kelopak mata bawah jatuh

 Sensitif terhadap cahaya

c. Residual

 Mata terlihat lebih kecil

 Kedipan mata jarang atau tidak sempurna

 Senyum yang asimetri

 Spasme hemifasial pascaparalitik

 Otot hipertonik

 Sinkinesia

 Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas

 Otot menjadi lebih flaksid jika Lelah


9

 Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan

2.6 Klasifikasi

Klasifikasi Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann

dengan skala I sampai VI.[9]

 Grade I adalah fungsi fasial normal.

 Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut :

1. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.

2. Sinkinesis ringan dapat terjadi.

3. Simetris normal saat istirahat.

4. Gerakan dahi sedikit sampai baik.

5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.

6. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.

 Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karakteristik:

1. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.

2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat

ditemukan

3. Simetris normal saat istirahat.

4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.

5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.

6. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.


10

 Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai

berikut:

1. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.

2. Simetris normal saat istirahat.

3. Tidak terdapat gerakan dahi.

4. Mata tidak menutup sempurna.

5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.

 Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

2. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.

3. Tidak terdapat gerakan pada dahi.

4. Mata menutup tidak sempurna.

5. Gerakan mulut hanya sedikit.

 Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:

1. Asimetris luas.

2. Tidak ada gerakan.

2.7 Diagnosis

a. Anamnesis

Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan:[9]

 Kelumpuhan muskulus fasialis

 Tidak mampu menutup mata

 Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)


11

 Perubahan pengecapan (57%)

 Hiperakusis (30%)

 Kesemutan pada dagu dan mulut

 Epifora

 Nyeri ocular

 Penglihatan kabur

Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari

48 jam. Kebanyakan pasien mencatat paresis terjadi pada pagi hari.[9]

b. Pemeriksaan Fisik[9]

 Kelemahan yang melibatkan N VII menyebabkan kelemahan satu sisi

wajah. Pada lesi UMN (lesi supranuclear di atas nukleus pons), 1/3

wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan karena muskulus

orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi secara bilateral pada

level batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan lipatan datar

pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.

 Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan

lateralisasi pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan.

 Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat

datar.

 Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang

lumpuh.
12

 Manifestasi awal pada okular dapat berupa lagophthalmos, Corneal

exposure, retraksi kelopak mata atas, penurunan sekresi air mata,

hilangnya lipatan nasolabial dan terjadi erosi kornea.

 Nyeri pada auricular posterior menandakan hiperakusis pada telinga

ipsilateral yang paralisis, sebagai akibat dari Skelumpuhan sekunder

otot stapedius.

 Sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.

Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi

lidah yang lain tidak mengalami gangguan.

Skala UGO FISCH digunakan untuk mengevaluasi kemajuan motorik

penderita Bell’s palsy yang dinilai pada kondisi simetris atau asimetris antara sisi

sehat dan sisi sakit pada 5 posisi.

POSISI NILAI PRESENTASI (%) Skor


30, 50, 70, 100
Istirahat 20
Mengerutkan Dahi 10
Menutup Mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total

Pada keadaan normal jumlah kelima posisi wajah adalah 100 poin. Hasil

penilaian itu diperoleh dari penilaian angka presentase dikalikan dengan masing-

masing poin. Nilai akhirnya adalah jumlah dari 5 aspek penilaian tersebut.
13

Ada 4 penilaian dalam % untuk posisi Jumlah poin Derajat


tersebut
0% Wajah asimetri total, tidak <30 Buruk
ada gerakan volunteer.
30% Simetri wajah jelek, sudah 30-69 Cukup
ada perbaikan dimana fungsi
wajah lebih condong asimetri
total dari pada simetri normal.
70 % Simetrinya cukup. Perbaikan 70-99 Baik
parsial lebih nyata, dimana
fungsi motorik wajah lebih
condong ke arah simetri
normal daripada asimetri.
100 % Simetri komplit / normal 100 Normal

c. Pemeriksaan Penunjang

Bell’s palsy adalah diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

Pemeriksaan MRI kepala dan kontras dilakukan jika curigai adanya lesi sentral.

Pemeriksaan EMG dilakukan untuk menentukan tingkat kerusakan saraf.

Pemeriksaan darah rutin, ureum, kreatinin, dan gula darah untuk mengetahui

adanya penyakit lain yang memicu terjadinya Bell’s palsy.[9]

2.8 Tatalaksana

Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi N. VII dan menurunkan

kerusakan saraf. Pemberian pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4

hari onset.[9]

a. Medikamentosa[9]
14

 Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk

pengobatan Bells’ palsy.

 Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan

fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal.

 Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6

hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.

 Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari

selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800

mg oral 5 kali/hari.

 Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada

siang hari) dapat mencegah corneal exposure.

b. Non medikamentosa

 Rehabilitasi medik

Tujuan dilakukannya rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah

untuk mengurangi atau mencegah paresis menjadi bertambah dan

membantu mengatasi masalah sosial dan psikologi pasien.[10]

1 Program Fisioterapi

 Pemanasan

Berupa pemanasan superfisial dengan infra red dan

pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau

Microwave Diathermy.

 Stimulasi listrik

Pemberian stimulasi listrik bertujuan untuk menstimulasi


15

otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil

menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang

masih lemah. Misalnya faradisasi bertujuan untuk

menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi

otot baru, meningkatkan sirkulasi serta

mencegah/meregangkan perlengketan yang diberikan 2

minggu setelah onset.

 Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

Pemberian latihan gerak volunter otot wajah diberikan

setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5

detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat

sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup.

Massage bertujuan untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase

akut, Bell’s palsy diberi gentle massage secara perlahan

dan berirama. Gentle massage memberikan efek

menurunkan edema, memberikan relaksasi otot dan

mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi

Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter

otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek

mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe,

melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,

mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut

otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga


16

melepaskan perlengketan. Gerakan Massage diarahkan

keatas pada daerah wajah di area dagu, mulut, hidung dan

dahi selama 5-10 menit.

2 Program Terapi Okupasi

Terapi Okupasi memberikan latihan gerak pada otot wajah.

Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau

dalam bentuk permainan. Latihan ini dilakukan secara bertahap

dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan

penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan

minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,

latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.

3 Program Sosial Medik

Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari

pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan

tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu

mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk

sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak

berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu

dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau

melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa

kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat

penting untuk kesembuhan penderita.


17

4 Program Psikologik

Pada pasien dengan gangguan psikis yang sangat menonjol,

rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita

muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang

mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka sangat

diperlukan bantuan seorang psikolog.

5 Program Ortotik – Prostetik

Pemasangan “Y” plester dapat dilakukan dengan tujuan agar

sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester

diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit

yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika

dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita

setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk

mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan

mencegah terjadinya kontraktur.

6 Home Program

 Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20

menit

 Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan

menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat

 Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah

disisi yang sakit, minum dengan sedotan, mengunyah

permen karet
18

 Perawatan mata :

- Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari

- Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang

hari

- Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum

tidur

2.9 Diagnosis Banding

 Lesi UMN, seperti stroke, subdural hematoma, tumor otak akan

menunjukkan kelemahan pada sisi bawah wajah tetapi tidak pada sisi atas

wajah.[9]

 Lesi LMN seperti infeksi yang terjadi pada media otitis akut, koleastoma,

infeksi virus (HSV-1, CMV, DAN EBV), neoplasma, dan trauma.[9]

2.10 Prognosis

Prognosis untuk pasien dengan Bell’s palsy umumnya sangat baik.

Tingkat kerusakan saraf menentukan tingkat pemulihan. Dengan atau tanpa

pengobatan, kebanyakan orang mulai membaik dalam waktu 2 minggu setelah

timbulnya gejala awal (60-80%) dan dalam kurun waktu waktu 6 bulan pasien

dengan Bell’s palsy dapat mengalami pemulihan secara total atau sebagian fungsi

wajah. Beberapa orang mungkin dapat mengalami efek samping sedang hingga

berat. Dalam beberapa kasus, sisa kelemahan otot dapat berlangsung lebih lama

atau mungkin permanen.[5,11]


19

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis

a. Identitas Pasien

Nama : Tn. Sinyo

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 59 tahun

Status perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan PNS

b. Anamnesis

Keluhan Utama

Mulut mencong ke sebelah kanan


20

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli saraf dengan keluhan mulut mencong sebelah kanan

sejakk 1 hari yang lalu sebelum ke poli. Keluhan dirasakan saat bangun tidur.

Awalnya, pasien menyadari setelah melihat cermin dan pasien merasa mulutnya

mencong tertarik ke sebelah kanan. Pasien baru menyadari ternyata bukan hanya

mulutnya saja yang miring, tetapi dahinya yang kiri juga tidak ada kerutan saat

bercermin. Mata kiri pasien juga tidak dapat menutup dengan rapat sehingga

terasa agak pedih. Saat makan pagi, dirasakan makanan mengumpul di pipi

sebelah kiri. Pasien masih bisa merasakan rasa manis, asin, dan asam. Ketika

berkumur keluar air dari sisi kiri mulut, pasien juga tidak bisa bersiul.

Pendengaran tidak terganggu, masih mendengar sama kerasnya baik telinga kanan

maupun telinga kiri. Pasien bila tidur tidak dekat dengan jendela dan tidak

memakai kipas angin. Pasien sebelumnya habis mengunjungi hajatan di tempat

saudaranya malam hari.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya belum pernah mengalami sakit seperti ini. Riwayat

sakit telinga (-), riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes melitus (-), dan riwayat

trauma (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


21

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pekerjaan pasien adalah pensiunan PNS. Biaya pengobatan ditanggung

oleh BPJS

Anamnesis Sistem
A. Kepala : nyeri kepala (-)
B. Sistem Indera
Mata : pandangan ganda (-), penglihatan kabur (-),
kelemahan kelopak mata -/+, air mata keluar
(-), mata perih (-).
Hidung : mimisan (-), pilek (-), tersumbat (-)
Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar
cairan (-), nyeri telinga (-)
C. Mulut : senyum +/-, gusi berdarah (-), nyeri gigi (-)
D. Tenggorokan : sulit menelan (-), suara serak (-)
E. Sistem respirasi : sesak nafas (-),
F. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
G. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), gangguan
buang air besar (-)
H. Sistem muskulo skeletal : kesemutan ujung-ujung jari kaki (-), kram (-),
demam (-)
I. Sistem genitourinaria : BAK lancer BAB Lancar
J. Ekstremitas atas : luka (-),
K. Ekstremitas bawah : luka (-), bengkak (-)
22

L. Sistem integumentum : rasa gatal (-), mudah berkeringat (-)

Pekerjaan pasien adalah pensiunan PNS. Biaya pengobatan ditanggung

oleh BPJS.

3.2 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum : E4 V5 M6

b. Tanda vital : Tekanan darah : 120/70

Heart rate : 84 kali per menit

Respiration rate : 20 kali per menit

Suhu : 36,8 C

c. Pemeriksaan neurologis:

1. Kesadaran : E4 V5 M6

2. Fungsi luhur : Dalam batas normal

3. Fungsi sensorik: Gangguan sensorik wajah

4. Fungsi motorik : Gangguan N VII

5. Meningeal sign: Tidak dilakukan

6. Nervi Craniales : parese nervus fasialis sinistra perifer

Motorik : paralisis otot wajah sinistra


23

Sensorik : dalam batas normal

Sekretomotor : hiposekresi lakrimalis OS

Skala UGO FISH

N.VIII Persentase (%) :

Posisi Nilai Skor


0, 30, 70, 100

Istirahat 20 30 6

Mengerutkan dahi 10 30 3

Menutup mata 30 30 9

Tersenyum 30 30 9

Bersiul 10 30 3

Total 30

Tidak dilakukan
N.IX, X : Tidak dilakukan
N.XI : Tidak dilakukan
N.XII : Tidak dilakukan

Jantung
Inspeksi : Tidak dilakukan
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
24

Auskultasi : Tidak dilakukan


Pulmo
Inspeksi
Statis : Tidak dilakukan
Dinamis : Tidak dilakukan
Palpasi
Statis : Tidak dilakukan
Dinamis : Tidak dilakukan
Auskultasi
Kanan : Tidak dilakukan
Kiri : Tidak dilakukan
3.3 Diagnosis

Diagnosa klinis : paralisis otot wajah kiri, lagoftalmus okuli sinistra,


hiposekresi lakrimalis
Diagnosa topis : N. VII perifer setinggi foramen stilomastoideus
kiri
Diagnosis etiologi : idiopatik

Differential Diagnosis

 Lesi UMN, seperti stroke, subdural hematoma, tumor otak

 Lesi LMN seperti infeksi yang terjadi pada media otitis akut,
koleastoma, infeksi virus (HSV-1, CMV, DAN EBV), neoplasma,
dan trauma.

3.4 Daftar Masalah

Problem Rehabilitasi Medik


25

Impaiment : sudut mulut tertarik ke kanan, kelemahan otot motorik

wajah

Disability : susah makan

Handicap : pasien merasa malu dengan keadaannya

3.5 Terapi

a. Terapi Medikamentosa

- Metilprednisolon per oral 4-48mg/hari, dibagi 2 yaitu selama 3 hari

pertama dengan menggunakan tablet 16 mg, hari pertama 1x3 tablet,

hari kedua 1x2 tablet, hari ketiga 1x1 tablet. Lalu, diturunkan lagi

dosisnya menjadi 4 mg selama 3 hari. Hari pertama 1x3 tablet, hari

kedua 1x2 tablet, dan hari ketiga 1x1 tablet.

- Mecobalamin tablet 1500 mcg dibagi 2

b. Rehabilitasi Medik

- Program rehabilitasi medik dilakukan setiap hari selama 6 hari.

- Fisioterapi infrared wajah harian dengan gentle massage wajah kiri.

- Okupasi terapi dengan latihan penguatan otot-otot wajah. Latihan

penguat otot wajah dengan memberikan latihan menutup mata,

mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum, meringis.


26

Latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur,

latihan makan dengan mengunyah di sisi kiri, minum dengan sedotan

- Home program : tutup mata kiri saat tidur dan mandi, tetesi oculi

sinistra dengan air mata buatan

3.6 Planning

Planning edukasi

 Penjelasan mengenai penyakit agar pasien tidak cemas

 Penjelasan mengenai bagaimana melakukan latihan otot wajah

 Penjelasan mengenai bagaimana melindungi mata

3.7 Prognosis

Ad vitam : Bonam

Ad functionam: Bonam

Ad sanationam: Bonam
27

BAB 4
PEMBAHASAN

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau paralisis nervus fasialis perifer

unilateral yang bersifat akut dan penyebabnya idiopatik. Sindrom ini merupakan

penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah di seluruh dunia. Bell’s palsy

dapat terjadi pada semua usia, namun sindrom ini lebih sering dijumpai pada pada

usia 20-50 tahun. Pada kasus ini pasien adalah laki-laki berinisial S berusia 59

tahun.

Bell’s palsy terjadi karena adanya kerusakan pada nervus fasialis. Gejala

klinisnya sesuai dengan lokasi kerusakan pada jaras yang dilewati oleh nervus ini.

Jika lokasi kerusakan setinggi foramen stilomastoideus, maka gejala klinis yang

akan muncul adalah kelumpuhan otot wajah pada satu sisi wajah, yang

menyebabkan sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat, makanan

berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi, tidak dapat menutup mata, dan

mengerutkan kening pada sisi lesi. Kerusakan nervus fasialis setinggi diantara

korda timpani dengan nervus stapedius, gejala klinisnya sama dengan gejala di

atas, namun ditambah gejala gangguan pengecapan dan salivasi. Kerusakan

setinggi diantara nervus stapedius dan ganglion genikulatum, gejala klinisnya

diperburuk dengan gangguan pendengaran. Lesi setinggi ganglion genikulatum

diperburuk dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan air mata. Lesi setinggi

porus akustikus internus diperburuk dengan gangguan pada nervus

vestibulokoklearis. Salah satu lokasi kerusakan yang paling sering ditemui adalah

kerusakan setinggi foramen stilomastoideus. Pada kasus ini, Tn. S mengalami


28

gejala klinis yang sesuai dengan yang ditimbulkan akibat kerusakan jaras setinggi

foramen stilomastoideus.

Pada kasus dilaporkan pasien atas nama Tn. S datang dengan keluhan

mulut mencong ke sebelah kanan sejak 1 hari yang lalu. Pasien tidak dapat

menutup mata kirinya dengan rapat dan tidak dapat mengerutkan dahi bagian kiri.

Makanan mengumpul di pipi sebelah kiri saat makan dan ketika berkumur air

keluar dari sisi kiri mulut, pasien juga tidak bisa bersiul. Pasien masih bisa

merasakan rasa manis, asin, dan asam dan pendengaran tidak terganggu.

Pada pemeriksaan fisik dengan menggunakan skala Ugo Fisch didapatkan

hasil 30 yang menandakan adanya kelumpuhan sedang. Tatalaksana pada Tn. S

diberikan farmakoterapi berupa obat golongan kortikosteroid (metilprednisolon)

dan metilcobalamin. Obat golongan kortikosteroid yang efektif untuk pengobatan

Bells’ palsy. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan

fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal. Mecobalamin digunakan

untuk mengobati neuropati perifer untuk memperbaiki gangguan saraf yang

terjadi.

Terapi modalitas yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian terapi

IR (infrared). Terapi infrared memiliki efek pemanasan superfisial pada daerah

kulit yang diterapi sehingga dapat menimbulkan efek fisiologis yang diperlukan

untuk penyembuhan. Efek-efek fisiologis tersebut berupa mengaktifasi reseptor

panas superfisial di kulit yang akan merubah transmisi atau konduksi saraf

sensoris dalam menghantarkan nyeri sehingga nyeri akan dirasakan berkurang.


29

Terapi infrared juga memberikan perasaan nyaman dan rileks sehingga dapat

mengurangi nyeri karena ketegangan otot-otot superfisial. Selain itu terapi

okupasi juga diberikan pada pasien berupa latihan penguatan otot-otot wajah,

seperti latihan menutup mata, mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum dan

meringis.
30

BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu laporan kasus laki-laki berusia 59 tahun yang datang

dengan keluhan utama mulut mencong pada wajah sisi kanan yang dirasakan

sekitar 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan tidak dapat menutup mata kirinya

dengan rapat dan tidak dapat mengerutkan dahi bagian kiri. Makanan mengumpul

di pipi sebelah kiri saat makan dan ketika berkumur air keluar dari sisi kiri mulut,

pasien juga tidak bisa bersiul. Namun, pasien masih bisa merasakan rasa manis,

asin, dan asam dan pendengaran tidak terganggu. Pada pemeriksaan fisik

menggunakan skala Ugo Fisch didapatkan hasil 30 yang menandakan

kelumpuhan sedang.

Tatalaksana medikamentosa berupa obat golongan kortikosteroid dan

vitamin B12. Sedangkan, tatalaksana nonmedikamentosa yang diberikan berupa

Infrared pada foramen stylomastoideus kiri, massage oleh fisioterapi, terapi

okupasi, dan home program.


31

DAFTAR PUSTAKA

1. Taylor DC. Bell Palsy. Medscape Drugs Med.2019;

2. Adam OM. Bell’s Palsy. J Ilm Kedokt Wijaya Kusuma 2019;2071(1):137–

49.

3. Warner MJ, Hutchison J, Varacallo M. Bell Palsy. Treasure Isl. StatPearls

Publ.2020;

4. Munilson J, Edward Y, Triana W. Diagnosis Dan Penatalaksanan Bell ’ S

Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fak Kedokt

Univ Andalas 2016;2–7.

5. Baehr M, Frotsher M. Diagnosis Topik Neurologi Duus. 5th ed. Jakarta:

EGC; 2016.

6. Hargiani FX. Case Study Aplikasi Neuromuscular Taping Kasus Bell’s

Palsy pada Pengalaman Praktek Fisioterapi di Klinik Kineta Sidoarjo

Tahun 2018. J Ilm Fisioter 2019;2(01):10–4.

7. Dewanto G, dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. EGC. Jakarta:

2009.

8. Dahlar, Kurniawan. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Staf Medis Fungsional

Neurologi. Malang: Rsud Dr.Saiful Anwar/FKUB; 2010.


32

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis

Neurologi. Perdossi; 2016.

10. HA R. Disease of the Cranial Nerves. In: Rehabilitation on Medicine. New

York: Mc Graw Hill; 1971. page 429–31.

11. Bell’s Palsy. Natl. Inst. Neurol. Disord. Stroke2019;

Anda mungkin juga menyukai