Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

Saraf sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktifitas tubuh


manusia mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pengendali
atau pengatur kerja dan pusat pengendali tanggapan. Informasi dikumpulkan oleh
sistem sensorik, diintegrasikan oleh otak, dan digunakan untuk menghasilkan
sinyal ke jalur motorik dan autonom untuk mengontrol gerakan serta fungsi organ
viseral dan endokrin. Berbagai kegiatan ini dikontrol oleh neuron, yang saling
berhubungan untuk membentuk jaringan sinyal yang membentuk sistem motorik
dan sensorik. Selain neuron, sistem saraf mengandung sel neuroglia yang
memiliki beragam fungsi imunologis dan penunjang serta memodulasi aktivitas
neuron.1

Sindrom Guillain-Barre, juga dikenal dengan nama poli-neuritis infeksiosa


atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut,
progresif cepat, serta berpotensi fatal dan menyebabkan kelemahan otot serta
gangguan sensoris.2
Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan
arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk
demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan
dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.3
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat
menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika
Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-laki
dan wanita 3 : 2. Beberapa infeksi terlibat dalam perkembangan GBS. Sekitar
dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal
telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti yang
paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga
dilaporkan pada infeksi berikut yaitu Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus
influenzae, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.1 Data Rumah Sakit Cipto
2

Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010 – 2011


tercatat 48 kasus dengan jumlah kasus bervariasi per bulan. Tahun 2012, kasus
GBS di RSCM meningkat 10%.4
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang
cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada
beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya
mempunyai prognosa yang baik.5,6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik


akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai
3

dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan
cepat menjalar ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel
inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini
dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus (sitomegalovirus,
Virus Epstein Barr) atau campylobacter jejuni.7

2.2 Struktur dan Fungsi Normal Sistem saraf


Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan
informasi ke sel lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan
memanjang yang menerima informasi dari lingkungan atau dari neuron lain;
badan sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang panjangnya dapat mencapai
1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain. Sebagian
besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa
dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di
ganglion cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion
sensorik spinal mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu
tonjolan yang keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu
memanjang ke medula spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan
dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya.
Percabangan dendrit dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat
menerima ribuan masukan. Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di
sinaps, yakni suatu struktur khusus untuk menyalurkan informasi dari akson ke
otot, ke kelenjar atau ke neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di sepanjang
akson.1
Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin
terutama terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, seperti karet
yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian
membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi
terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi
akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls
pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan
4

kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin


menggangu perambatan potensial aksi.8

Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang


berasal dari susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik
selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi karena suatu sebab, toleransi
imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-imunopatologik yang
mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang dinamakan sel T itu
ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi lipopolisakarida.
Menurut teori yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh
proses imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang dianggap
imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka yang
dinamakan imunosupresor.5

2.3 Epidemiologi

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat
menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika
Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-laki
dan wanita 3 : 2. Beberapa infeksi terlibat dalam perkembangan GBS. Sekitar
dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal
telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti yang
paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga
dilaporkan pada infeksi berikut yaitu Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus
influenzae, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.1 Data Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010 – 2011
tercatat 48 kasus dengan jumlah kasus bervariasi per bulan. Tahun 2012, kasus
GBS di RSCM meningkat 10%.

2.4 Etiologi

Penyebab sindrom Guillein-Barre sampai saat ini belum diketahui


(idiotaptik) dan termasuk dalam kelompok penyakit autoimun. Akibat suatu
5

infeksi atau kedaan tertentu yang mendahului GBS akan timbul autoantibodi atau
imunitas seluler terhadap jaringan saraf perifer.6

2.5 Patofisiologi

Guillain-Barré syndrome ini memiliki beberapa subtipe yaitu:4

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)


dengan patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat
dipengaruhi baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler.
Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan
terdapat hiporefleksia atau arefleksia.

2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi


yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a,
GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai
adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi Campylobacter
jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.

3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme


yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal
sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada
sensoris.

4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana


antibodi imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a.
Miller Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang
memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan
arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan,
dan ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus.
6

5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana


kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya
pada kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada
kasus ini.

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena


hilangnya mielin, material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut
dengan demielinisasi. Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf
tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. Guillain–Barré syndrome
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari mielin dan menyerang beberapa
saraf.2,4

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.2 Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu neuropati
inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf
yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu organisme menular, seperti C. jejuni,
yang memiliki struktur dinding bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular
mimikri ini akan menciptakan antibodi anti-gangliosida yang akan menyerang
saraf.

2.6 Tanda dan Gejala


Gejala timbul secara progresif dan meliputi:2
1. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul
pertama-tama pada tungkai (tipe asenden) yang kemudian meluas ke
lengan serta mengenai nervus fasialis dalam 24 hingga 72 jam akibat
terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf anterior
2. Kelemahan otot yang pertama-tama terasa pada lengan (tipe descenden)
atau terjadi sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya
transmisi impuls melalui radiks syaraf anterior.
3. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada
bentuk yang ringan).
7

4. Parestesia yang kadang-kadang mendahului kelemahan otot, tetapi akan


menghilang dengan cepat; keluhan ini terjadi karena terganggunya
transmisi impuls melalui radiks syaraf dorsalis.
5. Diplegia yang mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) akibat
terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf motorik dan
terkenanya nervus kranialis III,IV, serta VI.
6. Disfagia atau Disartria dan yang lebih jarang terjadi, kelemahan otot yang
dipersarafi nervus kranialis XI (nervus aksesorius spinalis)
7. Hipotonia dan arefleksia akibat terganggunya lengkung refleks. Penegakan
diagnosa SGB, yaitu secara klinis, berbagai pemeriksaan penunjang lain
(LP, seroimunologi, dan neurofisiologi) yang dapat membantu dalam
penegakan diagnosa.

2.7 Diagnosis
Diagnosis GSB berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis yang spesifik,
disosiasi sito albuminik dan kelainan elektrofisiologis (EMG). 6 Kriteria klinik
yang dipakai secara luas dalam diagnosa SGB adalah kriteria Asbury, yaitu
sebagai berikut:3
Kriteria diagnosis
a. Kriteria yang harus ada
1. Kelemahan progresif lebih dari 1 anggota gerak
2. Hiporefleksia atau arefleksia
b. Menunjang diagnosa
1. Progresivitas sampai 4 minggu
2. Relatif simetris
3. Gangguan sensoris ringan
4. Katerlibatan saraf kranial (paling sering N VII)
5. Perbaikan dalam 4 minggu
6. Disfungsi autonom ringan
7. Tanpa demam
8. Protein LCS meningkat setelah 1 minggu
8

9. Leukosit LCS <10/mm3


10. Pelambatan hantar saraf
c. Meragukan diagnosa
1. Asimetris
2. Disfungsi BAB dan BAK
3. Leukosit LCS >50/mm2
4. Gangguan sensoris berbatas nyata
d. Mengeksklusikan diagnosa
1. Gangguan sensoris saja
2. Terdiagnosa sebagai polineuropati lain

2.8 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium6
Gambaran Laboratorium yang paling menonjol adalah peninggian kadar
protein dalam cairan otak > 0,5 mg % Tanpa diikuti peningkatan jumlah sel, Hal
ini disebut disosiasi sitoalbumin. Peninggian kadar protein dalam cairan otak
dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit, dan mencapai puncaknya setelah 3-
6 minggu. Jumlah sel mononuklear kurang dari 10 sel/mm3. Walaupun demikian
pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peningkatan jumlah protein dalam
sel. Imunoglobulin bisa meningkat, bisa timbul hiponatremi pada beberapa
penderita yang disebabkan oleh SIADH.
2. Pemeriksaan Elektromiografi6

Gambaran penderita GBS antara lain 1) Kecepatan hantaran saraf motorik


dan sensorik melambat, 2) Distal motor latensi memanjang, 3) Kecepatan
hantaran gelombang F melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen
proksimal dan radiks saraf.

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan: 6
1. Miastenia gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun
terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS
9

tetap kuat, sedangkan pada miastenia, otot mandibula akan melemah


setelah beraktivitas serta tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana pada GBS,
pupil masih reaktif, adanya arefleksia sedangkan pada infark batang otak
terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski.
3. Paralisis periodik: Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa
keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. Pada GBS,
terdapat paralisis umum yang mendadak dan dapat menyebabkan paralisis
otot respirasi.
4. Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan
kaleng yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai
dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia;
yang jarang terjadi pada pasien GBS.

2.10 Penatalaksanaan
Penanganan yang pertama bersifat supportif meliputi intubasi endotrakea
atau trakeotomi jika gangguan pada otot-otot pernapasan membuat pasien sulit
mengeluarkan dahak.2
Kaji dan atasi disfungsi pernafasan. Jika otot pernapasan melemah, lakukan
perekaman kapasitas vitas secara serial. Gunakan respirometer dengan mouthpiece
atau masker untuk bedside testing.2
Lakukan pemeriksaan gas darah arteri. Karena penyakit neuromuskular
menimbulkan hipoventilasi disertai hipoksemia dan hiperkapnia, awasi tekanan
parsial oksigen arterial (PaO2) yang bila berada dibawah 70 mmHg menandakan
gagal napas.2 Pilihan terapi farmakologi yang direkomendasikan adalah sebagai
berikut:3
Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam
waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/Kg. Dalam waktu 7-14 hari, dilakukan 3-5 kali plasma
exchange.6
10

Pengobatan dengan menggunakan imunoglubulin dapat bermanfaat untuk


GBS. Dosis imunoglobulin 0,4 gr/kg selama lima hari.6 Pemakaian kortikosteroid
pada GBS masih diragukan manfaatnya, namun ada yang berpendapat bahwa
pemakaian kortikosteroid pada fase dini mungkin bermanfaat.6

2.11 Prognosis
Kematian penderita GBS berkisar antara 2%-10% dengan penyebab
kematian karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru,
dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60 – 80%) sembuh secara sempurna
dalam waktu 6 bulan, sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan
dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.
Sekitar 3 – 5 % penderita mengalami relaps.6

BAB 3
KESIMPULAN
Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik
akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai
11

dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan
cepat menjalar ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel
inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Penyebab GBS
sampai saat ini belum diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok penyakit
autoimun akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahuluinya. Gejala
dini yang biasanya dirasakan adalah kelemahan otot yang simetris (tanda
neurologi utama), parestesia pada kaki dan tangan dengan kelemahan dari lengan.
Paralisis dari tungkai dahulu dan kemudian disusul dengan kelemahan dari
lengan. Paralisis dari tungkai dan lengan itu memperlihatkan tanda-tanda LMN.
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
eletromiografi. Pada umumnya pengobatan GBS meliputi plasma exchange,
Imunoglonulin, dan pemakaian kortikosteroid. Pemakaian kortikosteroid masih
diragukan manfaatnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ganong William F, Stephen J Mcphee. Patofisiologi Penyakit : Pengantar
Menuju Kedokteran Klinis edisi 5. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.
12

2. P. Kowalak Jennifer, William Wels, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam


Professional Guide To Pathophysiology. Penerbit EGC, J akarta, 2011.
3. Pinzon Rizaldy. Sindrom Guillan-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal
Kedokteran: Dexa Medica, Jakarta, 2007.
4. Iskandar Japardi, Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Di akses pada
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1958/1/bedahiskandar
%20japardi46.pdf .
5. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta,
2009.
6. Robbins, Cotran. Penyakit saraf perifer dalam Dasar Patologis Penyakit.
Penerbit EGC, Jakarta, 2010.
7. Kumar Penyakit Sistem saraf perifer dalam Buku Ajar Patologi Robbins
Edisi 7. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.
8. Sherwood Laurale. Fisiologi Neuron dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
sistem. Penerbit EGC, Jakarta 2010.

Anda mungkin juga menyukai