Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN NEUROLOGI

REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
OKTOBER 2019
UNIVERSITAS HALU OLEO

STROKE

Oleh :

Ahmad Arief J.Bana, S.Ked

K1A1 13 002

Pembimbing :

dr. Irmayani Aboe Kasim, M.Kes, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
STROKE

Ahmad Arief J. Bana, Irmayani Aboe Kasim

A. Pendahuluan
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, strok
sekunder karena trauma maupun infeksi. Strok dengan defisit neurologik
yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak.
Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang
mengalami oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada
stroke disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa
trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai
anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak
tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau
perdarahan subrakhnoid. 1
B. Epidemiologi

Dari data South East Asian Medical Information Center (SEAMIC)

diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar terjadi di Indonesia yang

kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei,

Malaysia, dan Thailand. Dari seluruh penderita stroke di Indonesia , stroke

ischemic merupakan jenis yang paling banyak diderita yaitu sebesar 52,9%,

diikuti secara berurutan oleh perdarahan intraserebral, emboli, dan

perdarahan subarachnoid dengan angka kejadian masing-masingnya sebesar

38,5%, 7,2%, dan 1,4%.2

Di negara Asia khususnya Indonesia diperkirakan 500 ribu orang

mengalami stroke untuk setiap tahunnya. Dari jumlah kejadian tersebut,


didapatkan sekitar 2,5% meninggal dunia dan sisanya mengalami cacat

berat dan ringan. Stroke merupakan penyebab kecacatan yang serius dan

menetap nomor satu di seluruh dunia. Di Indonesia masalah stroke semakin

penting karena angka kejadian stroke di Indonesia merupakan terbanyak di

negara Asia.2

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018, prevalensi penyakit stroke di

Indonesia meningkat seiring dengan adanya pertambahan usia. Kasus stroke

tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan terjadi pada usia >75 tahun

(50,2%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun (0,6%). Prevalensi

berdasarkan jenis kelamin yaitu lebih banyak pada laki-laki (11,0%)

dibandingkan dengan perempuan (10,9%). Berdasarkan tempat tinggal,

prevalensi di perkotaan lebih tinggi (12,6%) dibandingkan dengan daerah

pedesaan (8,8%). Prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Timur

(14,7%) dan terendah diprovinsi Papua (4,1%).3

C. Anatomi
Otak memiliki berat sekitar 2,5% dari berat tubuh dan menerima

sekitar seperenam curah jantung dan seperlima oksigen yang dikonsumsi

oleh tubuh. Aliran darah ke otak berasal dari arteri carotis interna dan arteri

vertebralis yang terletak di dalam spatium subarachnoid. Arteri carotis

interna (ACI) dan percabangannya secara klinis memegang sirkulasi

anterior otak, sedangkan arteri vertebralis dekstra dan sinistra akan menyatu

pada batas caudal pons membentuk arteri basilaris dan memegang sirkulasi

posterior otak.4
Ketiga arteri di atas akan saling beranastomosis membentuk suatu

lingkaran berbentuk cincin yang disebut the circle of Willis (Circulus

arteriosus Willis).4

Gambar 1. Sirkulus Willisi.5

Karakteristik klinis pada infark didaerah arteri serebri anterior


meliputi : defisit motorik, dan sensorik kontralateral dimana bagian lengan
lebih ringan dibanding tungkai, deviasi mata dan kepala kearah lesi, afasia
motoriktranskortikal, gangguan perilaku, disartria.5
Lokasi perdarahan pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada basal

ganglia, thalamus, pons dan serebelum. Perdarahan di basal ganglia, berasal

dari arteri ascending lenticulostriate, cabang middle cerebral artery.

Perdarahan di thalamus berasal dari arteri ascending thalmogeniculote,

cabang posterior cerebral artery. Perdarahan di pons berasal dari arteri


paramedian, cabang arteri basilaris. Perdarahan di serebelum berasal dari

arteri posterior inferior serebri atau arteri anterior inferior serebri atau arteri

serebralis superior.6

Gambar 2. Lokasi tersering terjadinya hemoragik intracranial (A)


Basal Ganglia, (B) dan (C) Talamus, (D) Pons, (E) Cerebelum.6

D. Faktor Risiko

1. Yang tidak dapat dimodifikasi3,7

a. Usia

b. Jenis kelamin

c. Ras

d. Riwayat keluarga

e. Riwayat TIA/stroke

f. Penyakit jantug koroner

g. Fibrilasi atrium

h. Resiko penyumbatan arteri ekstrakranial (arteri karotis interna dan arteri

vertebralis) yaitu pada laki-laki dan kulit putih.


i. Resiko penyumbatan arteri intracranial (arteri basiler, arteri serebri

media, arteri serebri anterior, arteri serebri posterior) yaitu pada wanita

dan kulit berwarna

2. Yang dapat dimodifikasi3,7

a. Hipertensi

b. Diabetes Mellitus

c. Merokok

d. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan

e. Kontrasepsi oral

f. Bruit karotis asimtomatik

g. Hiperurisemia

h. Dislipidemia

E. Etiologi

Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah didalam

otak. Kasus stroke ini paling sering dikaitkan dengan tekanan darah tinggi

yang berlangsung secara terus menerus. Ada juga kasus dimana pembuluh

darah pada permukaan jaringan otak yang pecah. Kasus stroke ini dikaitkan

dengan penyakit pembuluh darah otak bawaan, misalnya aneurisma arteri

serebral atau malformasi arteriovenosa. Darah akan keluar dibawah ruang

arachnoid (ruang antara jaringan otak dan tengkorak) dan menekan jaringan

otak. Selain itu, pembuluh darah akan menyempit setelah terjadinya

pendarahan, yang ikut mengurangi laju aliran darah.8

Sedangkan pada Stroke Non Haemoragik (SNH), dapat dibedakan


menjadi stroke emboli dan thrombolitik. Pada stroke thrombolitik didapati
oklusi di lumen arteri serebal oleh thrombus. Pada stroke emboli
penyumbatan disebabkan oleh suatu embolus yang dapat bersumber pada
arteri serebral, karotis interna vertebrobasiler, arkus aorta asendens ataupun
katup serta endokranium jantung. Ateroklerotik dan berulserasi, atau
gumpalan thrombus yang terjadi karena fibrilasi atrium, gumpalan kuman
karena endokarditis bacterial atau gumpalan darah di jaringan karena infrak
mural. 9
F. Patofisiologi

F.1 Stroke Hemoragik

Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi.

Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan

perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih

sebesar 20 % adalah stroke hemoragik dan masing-masing 10% untuk

perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral.10

Perdarahan intracerebral terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini

diperkirakan terjadi akibat bocornya darah dari pembuluh yang rusak akibat

hipertensi kronis. Tempat predileksi antara lain thalamus,putamen,

serebellum, dan batang otak. Selain hipoperfusi, parenkim otak juga terkena

kerusakan akibat tekanan yang disebabkan oleh efek massa hematoma atau

kenaikan tekanan intrakranial (TIK) secara keseluruhan. Perdarahan

intracerebral memiliki tiga fase, yaitu perdarahan awal, ekspansi hematoma,

dan edema peri-hematoma. Perdarahan awal disebabkan oleh faktor-faktor

risiko di atas. Prognosis sangat dipengaruhi oleh kedua fase berikutnya.

Ekspansi hematoma, yang terjadi dalam beberapa jam setelah fase

perdarahan awal terjadi, akan meningkatkan TIK yang pada gilirannya akan
merusak BBB (Blood Brain Barrier). Peningkatan TIK berpotensi

menyebabkan herniasi. Kerusakan BBB ini menyebabkan fase berikutnya

yaitu pembentukan edema peri-hematoma. Fase terakhir ini dapat terjadi

dalam beberapa hari setelah fase pertama terjadi dan merupakan penyebab

utama perburukan neurologis, akibat penekanan bagian otak normal.10

Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar

permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang

subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh

rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous

malformation (AVM). Pendarahan subaracnoid mengakibatkan

vasokonstriksi akut, agregasi platelet, dan kerusakan mikrovaskular. Hal ini

mengakibatkan penurunan bermakna perfusi otak dan iskemia.10

F.2 Stroke Non Hemoragik

Gambar 3. Stroke Hemoragik dan Stroke Iskemik 11


Otak merupakan 2% dari berat badan tubuh total (sekitar 1,4 kg)
namun otak hanya menggunakan 20% dari oksigen tubuh dan 50% glukosa
yang ada didalam darah arterial. Otak sangat tergantung suplai darah dari
luar,sehingga anatomi pembuluh darah otak mempunyai struktur yang
mendukung tetap tersedianya darah pada otak.Otak mendapatkan suplai
darah dari dua arteri utama yaitu arteri karotis (kanan-kiri), menyalurkan
darah ke otak bagian depan atau disebut sirkulasi arteri serebrum anterior
dan sistem vertebrobasilaris menyalurkan darah ke bagian belakang otak
atau di sebut sirkulasi arteri serebrum posterior.
Keempat cabang arteri ini akan membentuk suatu hubungan yang
disebut sirkulus willisi. Apabila terjadi gangguan peredaran darah ke otak
akan menimbulkan gangguan metabolisme sel-sel neuron. Dimana sel-sel
neuron itu tidak mampu untuk menyimpan glikogen. Oleh karena itu, di
susunan saraf pusat untuk keperluan metabolisme sepenuhnya tergantung
dari glukosa dan oksigen yang terdapat di arteri-arteri yang menuju otak.
Maka hidup matinya sel-sel neuron dalam susunan saraf pusat sepenuhnya
tergantung dari peredaran darah arteri.11
G. Manifestasi Klinis

G.1 Stroke Hemoragik

a. Manifestasi Klinik Pendarahan Intracerebral

Meskipun pada beberapa individu, ICH terjadi saat beraktivitas atau

tekanan emosional tiba-tiba, kebanyakan ICH terjadi selama aktivitas rutin.

Gejala neurologis biasanya memperparah selama beberapa menit atau

beberapa jam. Tempat yang paling umum dari ICH adalah putamen, dan

presentasi klinis bervariasi menurut ukuran dan lokasi ICH. Gejala ICH

yang umum seperti sakit kepala, mual, dan muntah.10

Defisit neurologi fokal yang terjadi dapat diperkirakan dari daerah

otak yang terserang, yaitu seperti berikut.10

a. Hemisfer kanan Hemiparesis kiri, hipertesia kiri, penurunan

penglihatan pada mata kiri, afasia


b. Hemisfer kiri Hemiparesis kanan, hipertesia kanan,

penurunan penglihatan pada mata kanan

c. Serebellum Penurunan kedaran drastis, apneu, dan

kematian, ataksia ipsilateral, merot.

d. Putamen Hemiparesis kontralateral, hipesthesia

kontralateral, heminopsia homonym, afasia,

apraksia.

e. Thalamus Hemiparesis kontralateral, hipestesia

kontralateral, hemianopsia homonim, afasia,

miosis, kebingungan

f. Nucleus kaudatus Hemiparesis kontralateral, kebingungan

g. Batang otak Tetraparesis, merot, penurunan kesadaran,

miosis, instabilitas autonomic, ocular bobbing.

b. Manifestasi Klinis Pendarahan Subaracnoid

Kebanyakan aneurisma tidak memberikan gejala sama sekali

hingga pada saat aneurisma itu ruptur. Nyeri kepala yang tejadi mendadak

merupakan tanda khas untuk pendarahan subaraknoid. Pada sekitar 30%

pasien sakit kepala ini terjadi ipsilateral aneurisma yang rupture. Pasien

yang datang dengan sakit kepala khas seperti ini meskipun tidak memiliki

tanda deficit neurologis lain, namun memiliki kemungkinan terkena

pendarahan subarcnoid sebanyak 10-16%. Sekitar 5-15% pasien ini salah

diagnosis.10
Nyeri kepala pada pendarahan subaracnoid dapat disertai atau tidak

disertai dengan gejala lain seperti kaku kuduk akibat iritasi meningen,

hilang kesadaran sesaat, mual, muuntah atau deficit neurologis fokal,.

Sebaliknya, jika pasien dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar,

keluhan nyeri kepala mungkintidak trlaporkan. Sakit kepla pda beberapa

pasien muncul terlambat. Pada beberapa kasus, sakit kepala ini membaik

dengan pemberian obat anti nyeri. Satu dari lima pasien dengan pendarahan

intrcerebral melaporkan bahwa beberapa hari sebelumnya terdapat nyeri

kepala serupa dengan intesitas lebih rendah.10

Kaku kuduk hanya muncul 3-12 jam setelah rupture dan mungkin

tidak muncul sama sekali pada pasien dengan koma dalam atau dengan

pendarahan subaracnoid kecil. Nyeri punggung/atau tungkai dapat muncul.

Gejala ini disebabkan oleh iritasi radiks nervus lumbal sacral oleh darah.

Pada beberapa pasien, gejala dan tanda klinis ringan tersebut dapat terjadi

beberapa hari setelah rupture sesungguhnya terjadi.10

Pasien dengan pendarahan subaracnoid disertai paralisis nervus

okkulomatorius, nistagmus, dizziness, dan ataksia sangat digestif yang

diakibatkan oleh rupture aneurisma PcomA. Sementara itu, paraparesis dan

abulia terjadi pada rupture AcomP dan hemiparesis dan afasia menandai

rupture aneurisma MCA.10

G.2 Stroke Non Hemoragik

Manifestasi yang bisa ditimbulkan pada stroke iskemik diantaranya,


yaitu. Timbulnya hemiparesis, monoparesis, atau (jarang) quadriparesis,
Hemisensory defisit, kehilangan visual monokuler atau teropong, defisit
bidang visual, diplopia, dysarthria, droop wajah, ataxia, vertigo (jarang
diisolasi), nystagmus, aphasia, tiba-tiba terjadi penurunan tingkat kesadaran.
11,12

H. Pemeriksaan Penunjang

Rekomendasi Pemeriksaan Penunjang yang Segera harus Dilakukan13

a. Elektrokardiogram (EKG)

b. Pencitraan otak : CT non kontras atau MRI (ESO, dengan perfusi dan

difusi

c. Pemeriksaan labiratorium darah antara lain, hematologi rutin, gula

darah sewaktu, fungsi ginjal (ereum, kreatinin). Activated Partial

Thrombin Time (APTT), Phrotrombin Time (PT), INR. Pemeriksaan

laboratorium di ruang gawat antara lain gula darah puasa dan 2 jam

setelah makan, profil lipid, C-Reactive Protein (CRP), laju endap

darah, dan pemeriksaan atas indikasi seperti : enzim jantung (troponin

/ CKMB), serum elektrolit, analisis hepatik dan pemeriksaan elektrolit

I. Penatalaksanaan

I.1 Stroke Hemoragik

1. Terapi Umum

Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume

hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan

keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan

sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180

mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma

bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera


diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai

20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-

1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.10

Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala

dinaikkan 30°, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol

dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). Penatalaksanaan umum sama

dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan antagonis H2

parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran

napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum

luas.10

2. Terapi khusus

a Terapi pada perdarahan Intraserebri10,14

1) Terapi Farmakologi

(a) Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau

trombositopenia berat sebaiknya mendapat terapi penggantian

factor koagulasi atau trombosit.

(b) Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR

terkait obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan

walfarin, tetapi mendapat terapi untuk menggganti vitaminK-

dependent factor dan mengkoreksi INR, serta mendapat

vitamin K intravena. Konsentrat kompleks protrombin tidak

menunjukkan perbaikan keluaran dibandingkan dengan Fresh

Frozen Plasma (FFP). Namun, pemberian konsentrat


kompleks protrombin dapat mengurangi komplikasi

dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan sebagai

alternative FFP.

(c) Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi

sebagai berikut:Vitamin K 10 mg IV diberikan pada

penderita dengan peningkatan INR dan diberikan dalam

waktu yang sma dengan terapi yang lain karena efek akan

timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit

untuk meminimalkan risiko anafilaksis, FFP 2-6 unit diberikan

untuk mengoreksi defisiensi factor pembekuan darah bila

ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau

aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti pada kehilangan factor

koagulasi.

(d) Faktor VIIa rekobinan tidak mengganti semua factor

pembekuan, dan walaupun INR menurun, pembekuan bias

jadi tidak membaik. Oleh karena itu, factor VIIa

rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan sebagai

agen tunggal untuk mengganti antikoagulan oral pada

perdarahan intracranial. Walaupun factor VII a rekombinan

dapat membatasi perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa

koagulopati, risiko kejadian tromboemboli akan meningkat

dengan factor VIIa rekombinan dan tidak ada keuntungan

nyata pada pasien yang tidak terseleksi.


(e) Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan

intracranial dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih

tidak jelas dan dalam tahap penelitian.

(f) Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan

perdarahan intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic

intermittent compression selain dengan stoking elastis.

(g) Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH

subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk

pencegahan tromboembolin vena pada pasien dengan

mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari

pascaawitan.

(h) Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat

10-50 mg IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan

pemberian protamin sulfat perlu pengawasan ketat untuk

melihat tanda-tanda hipersensitif.

2) Terapi Pembedahan

(a) Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial

(1) Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis

herniasi transtentorial,atau dengan perdarahan

intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat

dipertimbangkan untuk penanganan dan Pemantauan

tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg


dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi

otak.

(2) Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus

dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan

tingkat kesadaran.

(b) Perdarahan Intraventikuler

Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant

tissue-type plasminogen activator (rTPA) untuk melisiskan

bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi

yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini

masih belum pasti dan dalam tahap penelitian.

3) Evakuasi hematom

(a) Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial,

kegunaan tindakan operasi masih belum pasti.

(b) Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami

perburukan neurologis, atau yang terdapat kompresi batang

otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel

sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah

secepatnnya. Tatalaksana awal pada pasien tersebut dengan

drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak

direkomendasikan.

(c) Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat

di 1 cm dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial


supratentorial dengan kraniotomi standar dapat

dipertimbangkan.

(d) Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal

menggunakan baik aspirasi streotaktik maupun endoskopik

dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih belum

pasti dalam tahap penelitian.

(e) Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan

segera dari perdarahan intrakranial supratentorial untuk

meningkatakan keluaran fungsional atau angka kematian,

kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat

meningkatkan faktor resiko perdarahan berulang.

(f) Pencegahan perdarahan intrakranial berulang

(g) Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko

pasien telah disusun untuk mencegah perdarahan berulang

keputusan tatalaksana dapat berubah karena pertimbangan

beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari

perdarahan awal, usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan,

terdapat alel E2 atau E4 apolipoprotein dan perdarahan mikro

dalam jumlah besar pada MRI.

(h) Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada

kontra indikasi medis, tekanan darah sebaiknya dikontrol

dengan baik terutama pada pasien yang

lokasiperdarahannyatipikal dari vaskulopati hipertensif.


(i) Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan

darah dapat dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau

<130/80 mmHg jika diabetes penyakit ginjal kronik.

(j) Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai

tatalaksana fibrilasi atrial nonvalvuler mungkin

direkomendasikan setelah perdarahan intrakranial lobar

spontan karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan

berulang. Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet

setelahperdarahanintrakranialnonlobardapat dipertimbangkan,

terutama pada keadaan terdapat indikasi pasti penggunaan

terapi tersebut.

(k) Pelanggaran konsusmsi alkoholberatsangat bermanfaat.

4) Rehabilitasi dan pemulihan

Mengingat potensi yang serius dari perdarahan

intrakranialberupa kecacatanyang berat,seriusdan kompleks,

semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara

multidisiplin. Jika memungkinkan, rehabilitasi dapat dilakukan

sedini mungkin dan berlanjut disarana rehabilitasi komunitas,

sebagai bagian dari program terkoordinasi yang baik antara

perawatan di rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah

sakit dengan perawatan berbasis rumah (Home care) untuk

meningkatkan pemulihan.

b Terapi Pada perdarahan subaraknoid6,12


1) Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess

(H&H) adalah sebagai berikut :

(a) Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin

(b) Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dan

nyaman, bila perlu berikan O2 2-3 L/menit.

(c) Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam

penilaian tingkat kesadaran).

(d) Pasanginfus diruang gawat darurat,usahakan euvolemia dan

monitor ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi

yang timbul

2) Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,

perawatan harus lebih intensif

(a) Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien

diruang gawat darurat.

(b) Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau

semiintensif Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan

napas yang adekuat perlu dipertimbangkan intubasi

endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila didapatkan

tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial.

(c) Hindari pemakaian obat-obatan sedative yang berlebihan

karena akan menyulitkan penialaian status neurologi.

3) Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA


(a) Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko

perdarahan ulang. Hipertensi berkaitan dengan terjadinya

perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik sekitar 140-160

mmHg sangat disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan

ulang pada PSA.

(b) Istirahat total di tempat tidur

(c) Terapi anti fobrinolitik (epsilon-aminocaproicacid: loading 1 g

IV kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma

tertutup atau biasanya disarankan 72 jam) untuk mencegah

perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis

tertentu.Terapi anti fobrinolitik dikontraindikasikan pada pasien

dengan koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke

iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam. Terapi

antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko

rendah terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien

dengan penundaan operasi. pada beberapa studi, terapi

antifibrinolitik dikaitkan dengan tingginya angka kejadian

iskemik serebral sehingga mungkin tidak menguntungkan

pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi

dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik denganobat-

obatan lain untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan.

(d) Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan

perdarahan ulang.
(e) Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji

coba. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan.

c Terapi Tambahan10,14

1) Laksansia (Pencahar) diperlukan untuk melunakkan feses secara

reguler.

(a) Analgesik

(1) Asetaminofen ½-1 gr/4-6 jam dengan dosis maksimal 4gr/4-

6 jam.

(2) Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/4-6 jam.

(3) Tylanol dengan kodein

(4) Hindari asetosal

(b) Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :

(1) Haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam

(2) Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau morfin sc atau

iv 5-10 mg/4-6 jam

(3) Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam

(4) Propofol 3-1 mg/kg/jam.

I.2 Stroke Non Hemoragik

STADIUM HIPERAKUT 1
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat
dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan
agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien
diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian
cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan
otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah
trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah
(termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan
dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada
keluarganya agar tetap tenang.

STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik
maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara
dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan
pasien yang dapat dilakukan keluarga.

Stroke Iskemik Terapi umum:


Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada
satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap
bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri
oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika
perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh,
dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid
1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral
hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan
atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang
nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-
3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80
mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai
kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual
dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan
darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220
mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥
130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit),
atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal
ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu
tekanan sistolik ≤90 mm Hg, diastolik ≤ 70 mmHg, diberi NaCl 0,9%
250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL
selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi,
yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-
20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥110 mmHg. Jika kejang,
diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100
mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin,
karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan
intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1
g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan
umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam
selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol);
sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau
furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti
aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA
(recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen
neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).
J. Prognosis
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan
yang terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok
ukur diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik,
disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis
jangka panjang setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan secara
signifikan dipengaruhi oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya,
dan penyakit arteri karotis yang menyertai. Pasien dengan TIA memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan TIA memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan stroke minor.
Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini sebesar 4,8 %
dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.15
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto I. Stroke:Gejala dan Penatalaksanaan. 2011. IDI: h:247-249

2. Laily SR. (2017). Hubungan Karakteristik Penderita dan Hipertensi

dengan Kejadian Stroke Iskemik. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 5 No.

1, hal 48-59.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Hasil Utama

Riskesdas 2018. Jakarta.

4. Winata H. (2017). Variasi Anatomi Circulus Arteriosus Willis. Jurnal

Kedokteran Meditek, Vol. 23 No. 6, hal 74-84.

5. Departemen Anatomi. Vaskularisasi otak. FK USU. 2012.

6. Mangastuti RS, Oetoro BJ, Sudadi. (2014). Penatalaksanaan Anestesi

pada Pasien Stroke Hemoragik. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada, Vol. 3 No. 2, hal 80–87.

7. An SJ, Kim TJ, Yoon BW. (2017). Epidemiologi, Risk Factors and

Clinical Features of Intraceerebral Hemorrhage. An Update. Journal of

Stroke, Vol. 19 No. 1, hal 3–10.

8. Fong WC. (2016). Stroke. Fakultas Kedokteran Rumah Sakit Queen

Elizabeth.

9. Pusparani S. Hubungan Antara Hipertensi dan Stroke Hemoragik Pada

Pemeriksaan CT Scan Kepala di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi

Surakarta. 2009

10. Yueniwati Y. (2016). Pencitraan Pada Stroke. Malang: UB Press, hal 23-

40.
11. Prima NJ. Strok Iskemik dan Strok Hemoragik.(Online:

http://www.obatjantungstroke.com/stroke-iskemik-hemoragik/) diakses 21

oktober 2019.

12. Jauch EC. Ischemic Stroke. (Online:

https://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview#showall)

diakses 23 oktober 2019.

13. Perdossi. (2011). Guideline Stroke. Jakarta

14. Steiner T, Salman RA, Beer R, et all. (2014). European Stroke

Organisation (ESO) Guidelines For The Management of Spontaneous

Intracerebral Hemorrhage. Helsinki University Central Hospital Research

Funds.

15. Fardillah AE, (2017), Karakteristik Tingkat Motivasi Pasien Mengikuti

Rehabilitasi Terhadap Status Fungsional Pasien Pasca Stroke Di Rumah

Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode September-Oktober 2017,

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Anda mungkin juga menyukai