Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEPTEBER 2019
UNIVERSITAS HALU OLEO

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

HIPERTENSI INTRADIALISIS

Oleh :

Ahmad Arief J.Bana, S.Ked

K1A1 13 002

Pembimbing :

dr. Tety Yuniarti Sudiro, Sp. PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

HIPERTENSI INTRADIALISIS

Ahmad Arief J. Bana, Tety Yuniarti Sudiro

A. Pendahuluan

Ginjal merupakan organ vital bagi manusia. Penyakit ginjal kronik

(Chronic Kidney Disease / CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang

progresif dan ireversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit

sehingga menyebabkan uremia End Stage Renal Disease (ESRD), yang

merupakan tahap akhir dari CKD yang ditunjukkan dengan

ketidakmampuan ginjal dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Bila

pasien berada pada tahap ESRD, terapi pengganti ginjal menjadi satu-

satunya pilihan untuk mempertahankan fungsi tubuh. Saat ini hemodialisis

merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan

jumlahnya dari tahun ketahun terus meningkat.Tujuan utama hemodialisis

adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan,

dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien CKD.

Hemodialisis terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa

metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung dapat memperpanjang


1
umur pasien.

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah masalah kesehatan dunia yang

berkembang sangat pesat. Sebanyak 10% dari populasi dunia terkena PGK
dan jutaan diantaranya meninggal setiap tahun karena pengobatan yang

tidak adekuat. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar, prevalensi

PGK berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%, sedangkan

menurut data dari Pernefri, di Indonesia terdapat 400 orang per juta

penduduk PGK stadium V. 2

Salah satu komplikasi intradialisis yang penting untuk dievaluasi

adalah komplikasi kardiovaskuler, karena menyebabkan peningkatan

morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis

rutin. Komplikasi kardiovaskuler merupakan penyebab kematian sebesar

44% baik pada pasien hemodialisis maupun pasien dengan dialisis

peritoneal di Indonesia. Komplikasi kardiovaskuler dapat berupa aritmia

jantung, sudden death, hipotensi intradialisis, dan hipertensi intradialisis. 2

B. Anatomi ginjal

Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting

dalam mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan

mempertahankan keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa berupa

urin akan meninggalkan ginjal menuju saluran kemih untuk dikeluarkan dari

tubuh. Ginjal terletak di belakang peritoneum sehingga disebut organ

retroperitoneal. Ginjal berwarna coklat kemerahan dan berada di sisi kanan

dan kiri kolumna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3.

Ginjal dexter terletak sedikit lebih rendah daripada sinistra karena adanya

lobus hepatis yang besar. Masing-masing ginjal memiliki fasies anterior,

fasies inferior, margo lateralis, margo medialis, ekstremitas superior dan


ekstremitas inferior. Bagian luar ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa, capsula

adiposa, fasia renalis dan corpus adiposum pararenal. Masing masing ginjal

memiliki bagian yang berwarna coklat gelap di bagian luar yang disebut

korteks dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih

terang. Medulla renalis terdiri dari kira-kira 12 piramis renalis yang masing-

masing memiliki papilla renalis di bagian apeksnya. Di antara piramis

renalis terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis.3,4

Gambar 1. Anatomi Ginjal.3

Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang

membawa darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui

hilum renalis. Secara khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri

menjadi lima cabang arteri segmentalis yang melintas ke segmenta renalis.

Beberapa vena menyatukan darah dari ren dan bersatu membentuk pola

yang berbeda-beda, untuk membentuk vena renalis. Vena renalis terletak

ventral terhadap arteri renalis, dan vena renalis sinistra lebih panjang,
melintas ventral terhadap aorta. Masing-masing vena renalis bermuara ke

vena cava inferior Arteri lobaris merupakan arteri yang berasal dari arteri

segmentalis di mana masing-masing arteri lobaris berada pada setiap

piramis renalis. Selanjutnya, arteri ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri

interlobaris yang berjalan menuju korteks di antara piramis renalis. Pada

perbatasan korteks dan medula renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi

arteri arkuata yang kemudian menyusuri lengkungan piramis renalis. Arteri

arkuata mempercabangkan arteri interlobularis yang kemudian menjadi

arteriol aferen. 3,4

Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron

yang masing-masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk

urin. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab itu, pada

trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan

jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron

biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya

tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap

penurunan fungsi faal ginjal. Setiap nefron memiliki 2 komponen utama

yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus (kapiler glomerulus) dilalui

sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus merupakan

saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan

dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler

glomerulus bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan


hidrostatik tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan dengan jaringan

kapiler lain.5

Gambar 2. Ginjal dan Nefron.3

Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh

glomerulus dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari

kapiler glomerulus masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk

ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus

proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle). Pada

ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang

asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki

kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus

distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga
urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian bergabung

membentuk struktur pelvis renalis. Terdapat 3 proses dasar yang berperan

dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan

sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah mengalir melalui

glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembus kapiler

glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi

glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin.

Setiap hari terbentuk rata-rata 180 liter filtrat glomerulus. Dengan

menganggap bahwa volume plasma rata-rata pada orang dewasa adalah 2,75

liter, hal ini berarti seluruh volume plasma tersebut difiltrasi sekitar enam

puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua yang difiltrasi

menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin dalam waktu

setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-tubulus

ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat

dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke

dalam plasma kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus.

Zat-zat yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi

diangkut oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung

untuk kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari,

178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui

pelvis renalis dan keluar sebagai urin. Secara umum, zat-zat yang masih

diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak

diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses
ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-

zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus

merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke dalam

tubulus ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi glomerulus dimana

hanya 20% dari plasma yang mengalir melewati kapsula Bowman, sisanya

terus mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus.

Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari plasma ke

lumen tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar

ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi. 5

Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya

dengan menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun

juga dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh,

mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah

merah. Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan

tubuh, konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potassium,

dan keseimbangan asam-basa dari tubuh. Ginjal menyaring produk-produk

sisa dari metabolisme tubuh, seperti urea dari metabolisme protein dan asam

urat dari uraian DNA. Dua produk sisa dalam darah yang dapat diukur

adalah Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin (Cr). Ketika darah

mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal memutuskan berapa banyak

air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan konsentrasi apa dari elektrolit-

elektrolit. Contohnya, jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan

olahraga atau dari suatu penyakit, ginjal akan menahan sebanyak mungkin
air dan urin menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika kecukupan air dalam

tubuh, urin adalah jauh lebih encer, dan urin menjadi bening. Sistem ini

dikontrol oleh renin, suatu hormon yang diproduksi dalam ginjal yang

merupakan sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan darah

tubuh. 5

C. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan metode yang digunakan untuk mengoptimalkan

fungsi ginjal yang mengalami kegagalan permanen. Hemodialisis adalah

proses dimana terjadi difusi partikel terlarut dan air secara pasif melalui satu

kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cair lainnya yaitu

cairan dialisat melewati membrane semi permiabel dalam dialiser. Dialiser

adalah tempat dimana proses hemodialisis berlangsung, tempat terjadinya

pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Dialisat adalah

cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal yang

dipompakan melewati dialiser ke darah pasien. Komposisi cairan dialisat

diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion normal dan

sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit

pasien ESRD. Dialisat dibuat dengan mencampurkan konsentrat elektrolit

dengan buffer (bikarbonat) dan air murni. Komposisi substansi dalam

dialisat sebagai barikut. 1


Tabel 1. Komposisi substansi konsentral dalam dialisat.1

Tujuan utama dari hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu

mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit

yang terjadi pada pasien CKD dengan ESRD. Hemodialisis efektif

mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara

tidak langsung bertujuan memperpanjang umur pasien. 1

D. Definisi

Hemodialisis dapat menurunkan tekanan darah (BP) pada sebagian

besar pasien penyakit ginjal tahap akhir (ESRD), namun beberapa pasien

dapat menunjukkan peningkatan tekanan darah yang paradoksal selama

hemodialisis. Peningkatan tekanan darah selama hemodialisis, disebut

hipertensi intradialisis, hipertensi intradialisis adalah apabila tekanan darah

saat dialisis 140/90 mmHg atau terjadi peningkatan tekanan pada pasien

yang sudah mengalami hipertensi pradialisis. Pasien juga dikatakan

mengalami hipertensi intradialisis jika nilai tekanan darah rata-rata (Mean

Blood Pressure/ MBP) selama hemodialisis 107 mmHg atau terjadi

peningkatan MBP pada pasien yang nilai MBP pradialisis diatas normal.

Namun, tidak ada definisi standar dari hipertensi intradialisis, disebabkan


karena patofisiologi kurang dipahami, dan konsekuensi klinis baru-baru ini

diselidiki. Studi klinis sebelumnya telah mendefinisikan hipertensi

intradialytic dengan cara berikut:6,7,13

1. Peningkatan rata-rata tekanan darah arteri (MAP) ≥ 15 mmHg selama

atau segera setelah hemodialisis.

2. Peningkatan tekanan darah sistolik (SBP)> 10 mmHg dari pra ke

postdialisis.

3. Tekanan darah melebihi nilai awal selama 4 sesi dialisis berturut-

turut.

4. Tekanan darah normal atau tinggi pada awal dialisis, diikuti oleh

peningkatan TD arteri rata-rata 15 mm Hg selama lebih dari dua

pertiga dari 12 sesi perawatan terbaru.

5. Hipertensi selama jam kedua atau ketiga hemodialisis setelah

ultrafiltrasi yang signifikan telah terjadi.

6. Peningkatan tekanan darah yang resisten terhadap ultrafiltrasi.

7. Memperburuk hipertensi yang sudah ada sebelumnya atau

perkembangan hipertensi de novo dengan agen stimulasi

erythropoietin.

E. Epidemiologi

Angka kejadian hipertensi intradialisis dilaporkan dalam jumlah yang

bervariasi. Penelitian kohort yang dilakukan di Amerika pada pasien PGK

yang menjalani hemodialisis didapatkan 12,2% pasien mengalami

komplikasi hipertensi intradialisis, sedangkan berdasarkan hasil penelitiann


lain menyatakan bahwa kejadian hipertensi intradialisis terjadi pada 5-15%

pasien PGK yang menjalani hemodialisis rutin. Di Indonesia masih belum

ada data pasti mengenai insidensi hipertensi intradialisis, penelitian yang

dilakukan di RSD dr. Soebandi Jember menujukkan bahwa 67,1% pasien

PGK stadium V mengalami komplikasi hipertensi intradialisis, Penelitian

lain juga dilakukan oleh Raka Widiana et al. (2011) di Denpasar

mendapatkan hasil yang berbeda pula, yaitu sebesar 48,1% dari 54 sampel

hemodialisis mengalami paradoxical post dialytic blood pressure reaction

(PDBP), 14,15

Data kohort menunjukkan bahwa respons yang diharapkan untuk

pengobatan hemodialisis adalah pengurangan TD sistolik sekitar 10–15

mmHg dengan BP menurun tajam selama satu jam per tama dan kemudian

menurun lebih lambat selama sisa durasi perawatan. Namun, ada spektrum

respons BP, dengan subkelompok yang terkenal bahkan menunjukkan

peningkatan BP selama perawatan. Sementara variabilitas BP sering terjadi

baik selama dan di antara perawatan hemodialisis pada sebagian besar

pasien hemodialisis, mengamati pola BP selama periode waktu yang lama

akan membantu mengidentifikasi pasien yang paling sering mengalami

hipertensi intradialitik. Satu studi kohort baru-baru ini mendefinisikan

hipertensi intradialytic sebagai peningkatan TD sistolik ≥ 10 mm Hg dari

sebelum ke pasca-dialisis untuk mengidentifikasi prevalensi fenomena ini

selama follow-up jangka panjang. Selama 6 bulan, hipertensi intradialytic

terjadi pada lebih dari 90% pasien setidaknya sekali.8


Persentase median perawatan di mana hipertensi intradialytic terjadi

selama periode 6 bulan dalam kelompok ini adalah 18% sehingga 50% dari

subyek mengalami hipertensi intradialytic di 18% dari perawatan atau

kurang, dan sisanya 50% mengalami hipertensi intradialytic di 18 % atau

lebih dari perawatan mereka. Hipertensi intradialitik terjadi pada setidaknya

31% dari perawatan di kuartil subyek yang paling sering mengalaminya.

Akhirnya, ada 9% dari subyek yang perubahan rata-rata dalam TD sistolik

dari pra-ke pasca-hemodialisis, ketika dinilai lebih dari 6 bulan, adalah

peningkatan setidaknya 10 mm Hg. Dalam studi kohort yang bahkan lebih

besar (n> 100.000) yang diperpanjang hingga 5 tahun, 10% juga tercatat

memiliki peningkatan rata-rata yang sama dalam TD sistolik minimal 10

mmHg. Untuk meringkas, frekuensi keseluruhan dimana fenomena ini

terjadi akan bervariasi dari kohort ke kohort melalui periode waktu yang

berbeda. Namun, jelas ada sebagian pasien yang mengalami hal ini secara

rutin. 8

F. Factor resiko9,10

1. Usia

Usia berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi intradialisis. Pada

pasien dengan usis lebih tua akan cenderung lebih mudah terjadi hipertensi

intadialisis. Hal ini berhubungan dengan teori patofisiologi hipertensi

intradialisis mengenai hilangnya obat anti hipertensi selama proses

hemodialisis dan adanya disfungsi endotel yang lazim pada usia lanjut,

maka usia lanjut berpotensi mengalami hipertensi intradialisis.


2. Interdialytic weight gain (IDWG)

Pada penelitian temukan bahwa setiap kenaikan 1% persentase IDWG

berhubungan dengan peningkatan 1,00 mmHg tekanan darah sistolik

predialisis dan Penurunan tekanan sistolik darah pascadialisis 0,65 mmHg,

sehingga diduga IDWG yang rendah lebih berpotensi memicu hipertensi

intradialisis.

3. Residual Renal function (RRF)

RRF merupakan parameter untuk menentukan fungsi ginjal yang

masih baik pada pasien gagal ginjal. RFF dapat dihitung dengan

menghitung jumlah produksi urin selama sehari jika berkemih. Kontrol

tekanan darah memburuk pada pasien dialysis, sebanding dengan Penurunan

RRF.

4. Lama menjalani hemodialisis

Hipertensi intradialisis serng terjadi pada pasien yang baru memulai

terapi hemodilisis, namun hipertensi intradialisis juga terjadi pada pasien

dengan lama dialysis yang panjang yaitu di atas 1 tahun.

5. Jumlah penggunaan obat anti hipertensi

Pasien yang mengonsumsi lebih banyak obat antihipertensi lebih

cenderung mengalami hipertensi intradialisis.

6. Kadar Hemoglobin

Anemia merupakan manifestasi yang sering dijumpai pada pasien

PGK. Hal ini disebabkan menurunnya hormone eritropoietin yang

merupakan stimulus produksi eritrosit.


7. Laju ultrafiltrasi

Laju untrafiltrasi merupakan kecepatan perpindahan cairan dari

kompartemen darah menuju kompatemen dialisat. Peningkatan laju

ultrfiltrasi >15l/h/kg berhubumgan dengan meningkatnya kejadian aktivasi

berlebihan dari saraf simpatis.

G. Etiopatofisiologi

Mekanisme terjdinya hipertensi intradialisis pada penderita yang

menjalani hemodialisis sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Banyak

factor yang diduga sebagai penyebab hipertensi intradialisis seperti volume

overload, aktivasi rennin angiotensi aldosteron system (RAAS) karena

diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, aktivasi berlebihan dari

sistem saraf parasimpatis, perubahan kadar elektrolit, viskositas darah yang

meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoetin (EPO), UF yang

berlebihan saat HD, obat antihipertensi tereksresikan saat HD dan adanya

disfungsi endotel.11

1. Volume overload

Volume overload diakui sebagai penyebab utama untuk hipertensi

berkelanjutan dan sulit dikendalikan pada pasien dialisis. Sebagai contoh,

infus volume ekspander selama hemodialisis untuk mempertahankan

perkiraan berat kering dapat berkontribusi pada hipertensi, sementara

pengangkatan cairan biasanya menormalkan tekanan darah. Untuk setiap

penurunan 5% dalam volume plasma, tekanan darah sistolik predialisis dan

postdialisis menurun masing-masing sebesar 1,50 mmHg dan 2,56 mmHg,


dengan efek yang lebih besar pada tekanan darah sistolik daripada tekanan

darah diastolik. Namun, pengurangan tekanan darah dengan ultra filtrasi

tidak linier dan spesifik untuk pasien. Karena perkiraan yang tidak tepat dari

berat kering pada pasien dialisis, serta kesulitan dalam mencapai tujuan

berat kering, beberapa penulis telah menyarankan bahwa hipervolemia itu

sendiri mungkin merupakan penyebab penting hipertensi intradialisis.

2. Peningkatan Output Jantung

Hipertensi intradialisis.mungkin disebabkan oleh peningkatan curah

jantung, terutama pada pasien dengan penambahan berat badan yang besar

dan dilatasi jantung. Para penulis melakukan ekokardiografi pada enam

pasien yang tidak responsif terhadap obat antihipertensi atau ultra fi ltrasi

dan mencatat peningkatan dalam indeks jantung rata-rata dari 3,8 L / mnt

menjadi 4,8 L / mnt dan dalam MAP dari 107 mmHg menjadi 118 mmHg

setelah pengangkatan cairan rata-rata 2,5 L. Dengan kelanjutan dari ultra fi

ltrasi, MAP dikurangi menjadi 90 mmHg. Hipotesis yang diajukan oleh para

penulis ini adalah bahwa pasien dengan kardiomiopati dan volume berlebih

pada awalnya pada ekstremitas turun dari kurva Frank-Starling. Dengan

ultra filtrasi awal, pasien bergeser ke kiri dan ke atas pada kurva. Indeks

jantung kemudian meningkat, menghasilkan peningkatan curah jantung dan

tekanan darah. Dengan ultra fi ltrasi tambahan, pasien bergerak menuruni

tungkai kurva yang menanjak dan tekanan darah menjadi normal.

Pengamatan yang menarik ini menunggu konfirmasi lebih lanjut.


Gambar 3. kurva Hukum Starling.11

3. Renin-Angiotensin System

Salah satu teori yang lebih umum diterima untuk hipertensi

intradialytic adalah ultra filtrasi yang mengakibatkan overshoot aktivasi

kontra-regulasi RAS, yang mengakibatkan stimulasi berlebihan produksi

renin dan angiotensin II. Sebagian besar, pasien dengan gagal ginjal

mempertahankan integritas fungsional RAS, yang ditunjukkan oleh

peningkatan renin sebagai respons terhadap penurunan volume. Peningkatan

renin mungkin terjadi pada mereka yang tingkat reninnya tinggi. Respon

renin terhadap ultra filtrasi, bagaimanapun, tumpul dan tidak konsisten di

antara semua pasien dialisis. Fellner mengamati bahwa pasien dengan

kelainan tubulointerstitial atau yang telah menjalani nefrektomi bilateral

lebih kecil kemungkinannya mengalami hipertensi intradialitik dan

berhipotesis bahwa ini mungkin disebabkan oleh penurunan aktivitas RAS

pada pasien ini.


4. Sympathetic Nervous System (SNS)

SNS memainkan peran penting dalam hipertensi di antara pasien

dialisis dan mungkin juga berkontribusi terhadap hipertensi intradialytic.

Campese et al. (14) menunjukkan bahwa pada tikus dengan 5/6

nephrectomy, tingkat turnover norepinefrin meningkat pada nuklei otak

yang terlibat dalam kontrol tekanan darah. Faktanya, selektif ginjal

mencegah baik hipertensi dan peningkatan tingkat pergantian norepinefrin

dalam inti hipotalamus.

Temuan serupa mungkin juga ada pada manusia. Sebagai contoh,

subyek manusia dengan penyakit ginjal kronis dan hipertensi menunjukkan

peningkatan aktivitas SNS perifer yang diukur dengan mikroneurografi.

Selain itu, peningkatan aktivitas ini menjadi normal setelah nefrektomi.

Beberapa telah mengusulkan bahwa kerusakan ginjal dapat mengaktifkan

jalur aferen ginjal, yang terhubung dengan struktur otak integratif, sehingga

meningkatkan aktivitas SNS dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah.

Koomans et al, menunjukkan peningkatan aktivitas simpatik

pada pasien dialisis. Temuan mereka terdiri dari peningkatan kadar

katekolamin plasma, perubahan cepat dalam konsentrasi plasma pada

perubahan postural, peningkatan sensitivitas terhadap norepinefrin, serta

peningkatan respons hipotensif terhadap inhibitor adrenergik seperti

clonidine, debrisoquine, atau total blokade otonom.


5. Zat Vasoaktif Lainnya

Tiga zat vasoaktif yang berperan penting dalam aktivitas simpatis,

vasokonstriksi perifer, dan kontrol tekanan darah (termasuk hipertensi

intradialitik potensial) adalah oksida nitrat, asimetrik dimetilarginin

(ADMA), dan endotelin-1 (ET-1). Nitric oxide adalah antagonis alami

katekolamin dan penghambatannya menghasilkan aktivasi simpatis. Nitric

oxide synthase hadir di area spesifik otak yang terlibat dalam kontrol

neurogenik tekanan darah. Dalam model hewan penyakit ginjal kronis,

ketersediaan oksida nitrat menurun karena penghambatan oleh ADMA,

penghambat endogen nitrit oksida sintase.

Peningkatan kadar ADMA menyebabkan peningkatan resistensi

pembuluh darah perifer dan tekanan darah, dan pada kenyataannya, ADMA

telah terbukti sebagai prediktor independen hipertrofi ventrikel kiri,

mortalitas kardiovaskular, dan semua penyebab kematian pada pasien

dialisis. Endothelin-1 adalah peptida vasokonstriktor, yang juga diproduksi

oleh sel endotel, yang bekerja pada otot polos pembuluh darah untuk

mengatur resistensi pembuluh darah perifer. Beberapa, tetapi tidak semua

penelitian menemukan konsentrasi ET-1 yang lebih tinggi pada pasien

hemodialisis hipertensi dibandingkan dengan subyek normotensi.

Raj et al, melakukan penelitian yang mengevaluasi peran oksida nitrat

dan ADMA dalam variasi tekanan darah intradialitik. Dua puluh tujuh

pasien hemodialisis dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan respons

tekanan darah selama dialisis. Kelompok 1 termasuk pasien dengan tekanan


darah stabil selama dialisis, kelompok 2 memiliki dialisisinduksi hipotensi,

dan kelompok 3 memiliki hipertensi intradialytic, didefinisikan sebagai

mereka yang normotensif atau hipertensi pada awal dialisis, tetapi

mengalami peningkatan MAP ≥15 mmHg selama dialisis. . Nitric oxide,

ADMA, dan ET-1 diukur. Hasil mengungkapkan bahwa tingkat oksida

nitrat tidak berkorelasi secara signifikan dengan perubahan MAP, dan kadar

ADMA tidak berbeda antara kelompok 2 dan 3. konsentrasi ET-1, namun,

secara signifikan menurun pada kelompok 2 dan meningkat pada kelompok

3. Keseimbangan antara oksida nitrat dan ET-1 karena itu dapat menjadi

kontributor penting untuk regulasi kompleks resistensi vaskular perifer,

tekanan arteri, dan hipertensi paradoks selama dialisis.

6. Perubahan Fluks Sodium, Kalium, dan Kalsium

Dialisat hypernatremic dapat digunakan untuk menghindari

kehilangan natrium yang berlebihan terkait dengan ultra filtrasi dan dapat

mencegah ketidakstabilan kardiovaskular. Namun, dialisis hypernatremic

dapat menyebabkan rasa haus, meningkatkan asupan cairan antara

perawatan dialisis, dan memperburuk hipertensi. Pada tikus, hipokalemia

relatif dapat merangsang sekresi renin terlepas dari perubahan status

volume. Masih belum diketahui apakah ini memiliki efek pada regulasi

tekanan darah pada manusia selama prosedur dialisis.

Peningkatan kalsium terionisasi selama prosedur dialisis secara teori

dapat meningkatkan kontraktilitas miokard, curah jantung, dan karena itu

tekanan darah. Demikian pula peningkatan kalsium terionisasi dapat


meningkatkan resistensi perifer dan melalui mekanisme ini meningkatkan

tekanan darah.

7. Penggunaan Erythropoietin

Prevalensi hipertensi pada pasien dialisis telah meningkat sekitar 20-

30% sejak meluasnya penggunaan erythropoietin rekombinan. Beberapa

mekanisme potensial telah diusulkan untuk hubungan ini, termasuk

peningkatan hematokrit, peningkatan viskositas, meningkatkan resistensi

pembuluh darah perifer, dan meningkatkan kadar ET-1.

Neff et al, menunjukkan bahwa transfusi pasien dialisis selama

periode 6-12 minggu menjadi hematokrit 50% menghasilkan peningkatan

resistensi pembuluh darah perifer dengan peningkatan tekanan darah yang

nyata dan terkait penurunan curah jantung. Pasien yang diobati dengan

erythropoietin dan peningkatan hematokrit diharapkan memiliki respons

hemodinamik yang serupa. Namun, pasien dialisis mungkin telah

melemahkan autoregulatori.

Respons terhadap peningkatan resistensi vaskular perifer dan curah

jantung mungkin tidak menurun. Peningkatan hematokrit juga dikaitkan

dengan peningkatan viskositas seluruh darah, dan ini bersama dengan efek

pressor langsung potensial dari erythropoietin selanjutnya dapat

meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan memperburuk

hipertensi. Akhirnya, reseptor erythropoietin telah ditemukan pada sel

endotel, sehingga stimulasi ET-1 dapat dihasilkan dari pengobatan

erythropoietin.
H. Manifestasi Klinik

Karakteristik klinis yang mengidentifikasi pasien yang menunjukkan

hipertensi intradialytic baru-baru ini telah dijelaskan dengan

membandingkan pasien yang tekanan darahnya naik> 10 mmHg rata-rata

lebih dari 3 sesi hemodialisis (HD) dengan pasien yang tekanan darahnya

tidak berubah dengan HD (−10 mmHg hingga 10 mmHg) atau yang SBPnya

menurun setidaknya 10 mmHg dengan HD. Rata-rata, peserta dengan

hipertensi intradialytic (dibandingkan dengan mereka yang tidak)

meningkatkan tekanan darah mereka +19 mmHg dengan HD, mereka lebih

tua, mereka memiliki berat kering yang lebih rendah, mereka diberi resep

obat antihipertensi dalam jumlah yang lebih besar, dan mereka memiliki

kreatinin serum yang lebih rendah. Dalam analisis terpisah dari 32.295 sesi

hemodialisis, pasien yang lebih tua atau Afrika-Amerika lebih cenderung

menunjukkan peningkatan SBP sebelum postdialisis, meskipun jumlah

ultrafiltrasi serupa. Di antara 1.748 pasien insiden hemodialisis, pasien

dengan peningkatan intradialytic > 10 mmHg dalam tekanan darahnya

memiliki bobot kering yang lebih rendah, kenaikan berat interdialytic yang

lebih rendah, mereka diberi resep obat antihipertensi yang lebih banyak, dan

mereka memiliki albumin serum yang lebih rendah jika dibandingkan

dengan pasien tanpa peningkatan tekanan darah intradialytic. Singkatnya,

hipertensi intradialitik tampaknya terjadi lebih sering pada pasien yang lebih

tua, pada pasien dengan berat badan lebih rendah dan pada mereka dengan

kreatinin serum atau albumin serum yang lebih rendah. Selain itu, pasien
yang menunjukkan hipertensi intradialytic tampaknya diresepkan lebih

banyak obat antihipertensi, tetapi peran agen spesifik masih harus

ditentukan.6

I. Penatalaksanaan

Hipertensi intradialisis merupakan kejadian yang terjadi saat sesi

hemodialiss. Tatalaksana yang tepat mengontrol hipertensi secara

keseluruhan bukan hanya saat hemodialisis. Terapi yang diberikan berbeda

dengan pasien yang yang mengalami hipertensi biasa. Beberapa mekanisme

yng manjadi penyebab hipertensi intradilisis bisa menjadi target utama dari

tatalaksana pasien tersebut. 12

Tabel 2. Tatalaksana hipertensi intradialisisi.12


Target terapi Manajemen

Control cairan dan kadar 1. Penyesuaian berat badan kering

natrium sebagai target hemodialisis

2. Pemberian obat antihipertesi untuk

membantu mencapai berat badan

kering

3. Peresepan secara individu dialisat

yang akan digunakan.

4. Menghindari durasi sesi hemidialisis

yang pendek

Terapi untuk disfungsi 1. Pemberian B-bloker generasi baru untuk


endotel memperbaiki disfungsi endotel

2. Menghambat sistem rennin angiotensin

aldosteron

3. Pemberian antihipertensi ACE-I dan

ARB

Menghindari aktivasi 1. Memperpanjang durasi hemodialiis

berlebih sistem saraf 2. Blok sistem saraf adrenergic dengan

simpatis a atau b bloker

3. Pertimbangkan denervasi saraf

simpatis ginjal pada pasien yang

resisten terhadap medikamentosa

Pemberian antihipertensi 1. Antihipertensi yang tereliminasi saat

dan terapi eritropoetin hemodialisis, diberikan setelah

hemodialisis

2. ESAs tidak diberikan secara intravena

sebelum hemodialisis

3. Penyesuaian frekuensi hemodialis dan

durasi tiap sesi hemodialisis.


DAFTAR PUSTAKA

1. Armiyati, Yunie. Hipotensi Dan Hipertensi Intradialisispada Pasienchronic

Kidney Disease (CKD) Saat Menjalani Hemodialisis Di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal Unimus. 2012.

2. Muharrom, Novail Alif., Suryono., Cicih Komariah. Hubungan Quick of

Blood dengan Kejadian Hipertensi Intradialisis pada Pasien Penyakit

Ginjal Kronik Stadium V di RSD dr. Soebandi Jember. Journal of

Agromedicine and Medical Sciences. 2018. Volume 4(1).

3. Snell, Richard S. Clinical Anatomy By Region 9th Edition. Lippincott

Williams & Wilkins: 2012.

4. Price S., Lorraine Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses

Penyakit Volume 2. 2012. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

5. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2016.

6. Inrig, Jula K. Intradialytic Hypertension: A Less-Recognized

Cardiovascular Complication of Hemodialysis. Am J Kidney Dis.. 2011.

7. Chazot, Charles., Guillaume Jean. Intradialytic Hypertension: It Is Time to

Act. Nephron Clinical Practice. 2010.

8. Buren, Peter Noel Van., Jula K. Inrig. Mechanisms and Treatment of

Intradialytic Hypertension. Blood Purif. 2016.


9. Inrig, Jula K.., et al. Relationship Between Interdialytic Weight Gain and

Blood Pressure Among Prevalent Hemodialysis Patients. Am J Kidney Dis.

2007.

10. Inrig, Jula K.., et al. Association of Blood Pressure Increases During With

2-Year Mortality in Incident Hemodialysis Patients: A Secondary Analysis

of the Dialysis Morbidity and Mortality Wave 2 Study. Am J Kidney Dis.

2009.

11. Chen, Joline., Ambreen Gul., Mark J. Sarnak. Management of Intradialytic

Hypertension: The Ongoing Challenge. Tufts-New England Medical

Center. 2006.

12. Georgianos, Panagiotis I., et al. Intradialysis Hypertension in End-Stage

Renal Disease Patients, Clinical Epidemiology, Pathogenesis, and

Treatment. American Heart Association,. 2015.

13. Jula K. Inrig, Antihypertensive Agents in Hemodialysis Patients: A Current

Perspective. University of Texas Southwestern Medical Center at Dallas,

Dallas, Texas,. 2010

14. Yunie Armiyati,. Hipotensi Dan Hipertensi Intradialisis Pada Hemodialisis

Di Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta. 2015

15. Jula K. Inrig, Intradialytic Hypertension: A Less-Recognized

Cardiovascular Complication of Hemodialysis. University of Texas

Southwestern Medical Center at Dallas, Dallas, Texas. 2010

Anda mungkin juga menyukai