Anda di halaman 1dari 21

Tinjauan Pustaka

Dialisis Peritoneal Pada Anak

Oleh : Muhammad Halil Gibran, S.Ked

Pembimbing :

dr. Selly Muljanto, Sp.A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Agustus, 2020
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD)

merupakan masalah kesehatan serius pada anak dengan morbiditas dan mortalitas

yang makin meningkat serta menimbulkan masalah sosial ekonomi yang

signifikan. Deteksi dan intervensi dini sangat penting untuk memperlambat

progresivitas penyakit dan menjaga kualitas hidup, namun pengobatan sering

terlambat karena kurangnya kesadaran masyarakat dan tenaga medis.1

Kejadian PGK di setiap negara berbeda dan diperkirakan lebih tinggi karena

banyak kasus yang tidak terdeteksi. The European Society for Pediatric

Nephrology and European Renal Association European Dialysis and Transplant

Association (ESPN/ERA-EDTA), the International Pediatric Peritoneal Dialysis

Network (IPPN), dan Australia and New Zealand (ANZDATA) Registries telah

mengidentifikasi secara khusus neonatus dalam kelompok bayi. Dijumpai 264

bayi yang menjalani dialisis kronik di 32 negara antara tahun 2000 dan 2011; pada

sekitar 18% bayi berusia < 2 tahun di Eropa Timur dan Barat serta 6,8% di

Australia dan Selandia Baru. Di Jepang, 8,6% bayi yang didialisis berumur <5

tahun. Di Indonesia belum ada data nasional tentang kejadian PGK. Tahun 2006

dan 2007 dijumpai 382 pasien PGK di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Jakarta.2 Data IRR 2016 mendapatkan pasien baru anak usia 1-14 tahun sebanyak

0,41%, turun dari 0,63% pada tahun 2015.2

1
3

Pengenalan CKD dini sangat penting karena berkaitan dengan pengelolaan

untuk mempertahankan kemampuan fungsional nefron tersisa selama mungkin,

sehingga penderita dapat hidup layak dan tumbuh maksimal. Kesulitan mengenali

penderita CKD dini karena klinis CKD baru terlihat bila fungsi ginjal atau laju

filtrasi glomerulus (LFG) < 50%, berupa nyeri kepala, lelah, kurang nafsu makan,

muntah, poliuria, dan gangguan pertumbuhan. Kecurigaan adanya CKD diperkuat

bila ada riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Peran tenaga kesehatan ataupun

dokter umum adalah mengenali secara dini penderita CKD dan kemudian

merujuknya ke dokter spesialis anak atau ke dokter konsultan ginjal anak agar

dapat ditangani seawal mungkin, sehingga dapat mencegah atau menghambat

progresivitas kerusakan ginjal.1

Saat ini dialisis peritoenal (PD) dan hemodialisis (HD) adalah dua modalitas

terapi pengganti ginjal utama di negasa asia namun proporsi pasien CAPD dan

HD sangat bervariasi di berbagai negara. Di Hong Kong sebagai contoh, lebih dari

80 % pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) menjalani CAPD. Pasien PGTA

uang menjalani PD juga banyak didapatkan di New Zealand, Korea dan

Singapura. Sebaliknya di Cina, Jepang dan Taiwan lebih dari 90% pasien PGTA

menjalani HD.3 Pelaksanaan hemodialisis pada anak membutuhkan tim yang

terdiri dari ahli ginjal, perawat, pekerja sosial, administrasi, dan ahli gizi yang

memiliki pelatihan dan keahlian dalam dialisis dan ilmu pediatri.4


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik5

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu keadaan kerusakan ginjal atau

LFG < 60 mL/menit/1,73m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih. Seorang anak

dikatakan menderita CKD jika terdapat salah satu dari kriteria di bawah ini:

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur

atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG yang bermanifestasi

sebagai satu atau lebih gejala:

a. Abnormalitas komposisi urin atau darah

b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan

c. Abnormalitas biopsi ginjal

2. LFG <60 mL/menit/1,73 m2 selama >3 bulan dengan atau tanpa gejala

kerusakan ginjal lain yang telah disebutkan. CKD diklasifikasikan menjadi 5

derajat dengan tujuan untuk pencegahan, identifikasi awal kerusakan ginjal,

dan penatalaksanaan seperti yang tercantum pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat CKD5

3
4

Nilai LFG dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:1

K x TB(cm)
LFG (mL /menit /1,73 m)=
Kreatinin Serum(mg/dL)

 K = konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1 tahun, K= 0,45

untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55 untuk anak sampai umur 13

tahun, K= 0,57 untuk anak perempuan usia 13-21 tahun, dan 0,70 untuk anak laki-laki

usia 13 – 21 tahun).

 TB = tinggi badan

Formula baru yang merupakan modifikasi formula Schwartz:

0,413 x TB(cm)
LFG (mL /menit /1,73 m)=
Kreatinin Serum(mg/dL)

2.2 Penatalaksanaan CKD dengan Peritoneal Dialisis

Saat ini peritoneal dialisis (PD) dan hemodialisis (HD) adalah dua

modalitas terapi pengganti utama dibanyak negara Asia namun proporsi pasien

PD dan HD sangan bervariasi diberbagai negara. Di Hongkong, lebih dari 80%

pasien CKD stage V menjalani PD. Pasien CKD stage V yang menjalani PD juga

banyak didapatkan di New Zealand, Korea dan Singapura. Sebaliknya, di Jepang,

Cina dan Taiwan pasien dengan CKD stage V menjalani HD.3

Di beberapa negara Eropa, HD lebih sering dilakukan untuk anak-anak di

atas usia lima tahun. HD tidak ditawarkan kepada anak-anak kurang dari 5 tahun
5
kecuali ada kontra-indikasi penting untuk PD. Untuk anak berusia lebih tua, HD

diterapkan jika berhenti dari program PD atau jika ada alasan medis (jarang) atau

psikososial (lebih sering) untuk tidak melakukan PD. Sebaliknya, PD ditawarkan

kepada anakanak terutama di bawah usia dua tahun atau beratnya kurang dari 10

kg. Sebuah studi Eropa multisenter telah menemukan bahwa prioritas pertama PD

adalah usia anak (30%), pilihan orang tua (27%), jarak dari unit (14%), pilihan

pasien (11%), kondisi sosial (7%), dan tidak dapat melakukan satu mode (6%).

Memilih mode dialisis, baik HD maupun PD, untuk anak membutuhkan

pertimbangan, di antaranya faktor-faktor lain dari kemungkinan dampak dari salah

satu mode dialisis pada pemeliharaan sisa fungsi ginjal (RRF), karena dampaknya

yang spesifik pada hasil pasien. Meskipun tidak ada konsensus umum, peritoneal

dialisis dikaitkan dengan kurangnya risiko kehilangan RRF.1,6

Indikasi absolut memulai dialisis pada anak meliputi anuria, gangguan

elektrolit berat, gangguan neurologis pada gagal ginjal (misalnya ensefalopati,

kejang, foot drop), perikarditis, diatesis perdarahan, mual berulang, gejala uremia

(muntah, kejang, penurunan kesadaran), volume berlebihan (hipertensi, edema

paru), atau kegagalan pertumbuhan meskipun terapi medis sudah tepat, dan

hipertensi. Efek samping uremia yaitu kelelahan dan kelemahan, disfungsi

kognitif, gangguan tidur, dan gejala gastrointestinal, merupakan indikasi relatif

untuk dimulainya dialisis.7,8 Tanda kelebihan cairan asidosis yang tidak dapat

dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena, dan indikasi biokimiawi


6
meliputi hiperkalemia (Kalium serum >7 mEq/L), ureum darah >200-300 mg/dL

atau kreatinin 15 mg/dL, dan bikarbonat plasma <12 mEq/L. Dialisis akut dapat

dilakukan dengan peritoneal dialisis ataupun hemodialisis. Umumnya dialisis pada

anak dilakukan dengan peritoneal dialisis, karena secara teknik lebih sederhana

dan lebih mudah dikerjakan, dan merupakan pilihan yang paling tepat untuk

penderita dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil. 5 Sebuah studi Eropa

multisenter telah menemukan bahwa prioritas pertama PD adalah usia anak (30%),

pilihan orang tua (27%), jarak dari unit (14%), pilihan pasien (11%), kondisi

sosial (7%). Memilih mode dialisis, baik HD maupun PD, untuk anak

membutuhkan pertimbangan, di antaranya faktor-faktor lain dari kemungkinan

dampak dari salah satu mode dialisis pada pemeliharaan sisa fungsi ginjal (RRF),

karena dampaknya yang spesifik pada hasil pasien.1

2.2.1 Dialisis Peritoneal pada Anak

Dialisis Peritoneal dapat menjadi pilihan utama dialisis untuk anak-anak

yang tinggal di negara berkembang seperti Indonesia. Terlepas dari kenyataan

bahwa dialisis ini lebih dapat ditoleransi pada bayi dan anak kecil, dialisis lebih

hemat biaya dibandingkan dengan hemodialisa.9 Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 812 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis

pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dialisis adalah tindakan medis pemberian

pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal sebagai bagian dari pengobatan pasien

gagal ginjal dalam upaya mempertahankan kualitas hidup yang optimal yang
7
terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis. Dialisis peritoneal merupakan

terapi pengganti ginjal dengan mempergunakan peritoneum pasien sebagai

membran semipermeabel, antara lain Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) dan Ambulatory Peritoneal Dialysis (APD). Sedangkan hemodialisis

adalah terapi pengganti fungsi ginjal yang menggunakan alat khusus dengan

tujuan mengeluarkan toksis uremik dan mengatur cairan elektrolit tubuh.10

Di Indonesia, biaya tahunan HD per pasien dapat mencapai 12.000 USD,

sedangkan biaya PD adalah sekitar 6.000 USD. Selain itu, PD memiliki

persyaratan yang lebih sederhana dalam hal tenaga medis dan fasilitas

dibandingkan dengan HD. Oleh karena itu, implementasi PD di negara

berkembang dapat meminimalkan kesenjangan antara permintaan dan pasokan

terapi penggantian ginjal (RRT) untuk anak-anak dengan penyakit ginjal stadium

akhir (ESRD).9

Tabel 2.2 Perbedaan peritoneal dialisis dengan hemodialis5


8

Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara hemodialisis dewasa dan

pediatrik. Misalnya, pada pediatrik, aliran darah dan hemodialyzer dipilih atas

dasar bahwa anak-anak dapat mentolerir 8% (maksimum 10%) total volume darah

mereka di sirkuit ekstrakorporeal berdasarkan perkiraan volume darah total 80

mL/ kg untuk bayi dan 70 mL/ kg untuk anak yang lebih tua. Jika sirkuit

hemodialisis terkecil yang tersedia melebihi volume kritis ini, dapat ditutupi

dengan larutan albumin manusia 4,5% atau darah donor untuk mencegah gejala

hipovolemia.8,11

Aliran darah bayi dan anak memiliki kaliber lebih kecil, kecepatan pompa

darah cenderung lebih cepat, dengan sasaran 8–10 mL/kg/menit, dibandingkan 3-5

mL/kg/menit untuk hemodialisis dewasa. Penggulung kepala pompa darah (blood

pump head rollers) harus disesuaikan dengan ukuran aliran dialisis, hemolisis

mekanik dapat terjadi jika aliran darah dewasa digunakan dalam mesin dialisis
9
yang disiapkan untuk saluran pediatrik. Untuk menghindari hipovolemia dan

hipotensi, pedoman dari Inggris merekomendasikan volume cairan yang dibuang

selama hemodialisis tidak melebihi 5% berat badan ideal anak.1211 Meskipun

terdapat perbedaan dengan orang dewasa, beberapa poin penting yang harus

diperhatikan, karena anak-anak memiliki area peritoneum yang lebih besar ke

permukaan tubuh pada saat prosuduralnya, omentektomi dalam pemasangan

kateter peritoneal dialisis dapat mengurangi potensi kerusakan kateter karena

obstruksi.4

2.2.2 Prosedur Peritoneal Dialisis Pada Anak

Pemasangan PD awal dilakukan dengan menggunakan kateter yang

dimasukkan ke dalam rongga peritoneum menggunakan teknik trocar.  Teknik ini

secara bertahap berkembang menjadi kateter peritoneum yang ditempatkan

dengan metode pembedahan, seperti yang dijelaskan oleh Palmer, Quinton, dan

Gray pada tahun 1964. Seiring perkembangan teknologi bedah, laparoskopi

menjadi metode pemasangan yang disukai, memungkinkan visualisasi langsung

posisi kateter dan adhesiolisis jika perlu.  Omentopeksi juga telah digambarkan

sebagai teknik untuk menghindari obstruksi kateter.  Dalam operasi ini, selama

laparoskopi, omentum dapat ditarik keluar dari panggul dan dijahit secara superior

sehingga tidak akan melibatkan kateter PD dan berkontribusi pada pembentukan

adhesi. Beberapa penelitian telah dipublikasikan tentang teknik menempatkan


10
kateter PD tanpa menggunakan laparoskopi.  Pendekatan peritoneoskopi

dimungkinkan, menggunakan perangkat yang jauh lebih kecil untuk

memvisualisasikan panggul.  Teknik yang sepenuhnya perkutan tanpa

menggunakan peritoneoskop juga telah digunakan oleh beberapa praktisi tanpa

bantuan fluoroskopi.  Metode yang lebih disukai untuk ahli radiologi intervensi

adalah melakukan penempatan perkutan dengan ultrasonografi dan panduan

fluoroskopik.12

Sebelum prosedur, pasien diwawancarai dan diperiksa untuk menentukan

apakah ada kontraindikasi potensial untuk pemasangan kateter PD atau tanda-

tanda peringatan bahwa pendekatan perkutan mungkin sulit. Kontraindikasi klinis

meliputi proses radang abdomen seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa, infeksi

klostridium saat ini, dan penyakit hati stadium akhir dengan asites. Kontraindikasi

anatomi utama untuk PD adalah hernia yang tidak diperbaiki yang berpotensi

meningkat dalam ukuran dengan penggunaan PD. Kontraindikasi anatomi relatif

meliputi adanya ostomi atau saluran makan. Pasien dengan riwayat operasi

abdomen kompleks dengan risiko tinggi untuk pembentukan adhesi akan lebih

baik dilayani dengan penempatan laparoskopi untuk memungkinkan visualisasi

langsung dan pengelolaan adhesi. Kulit pasien ditandai sebelum prosedur dan

tempat keluar kateter dipilih sedemikian rupa sehingga tidak tumpang tindih

dalam lipatan kulit.12 Terdapat indikasi renal dan non-renal dalam dialisis

peritoneal untuk modalitas RRT pada CKD dalam penatalaksanaan peritoneal


11
dialisis dalam mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa

seperti pada tabel 2.3 dan 2.4 dan sedangkan kontraindikasi dalam penatalaksaan

dialisis peritoneal dialisis seperti pada tabel 2.5. 13

Tabel 2.3 Indikasi Renal dan Non Renal Dialisis Peritoneal13

Tabel 2.4 Indikasi Non Renal Dialisis Peritoneal13

Tabel 2.5 Kontraindikasi Non Renal Dialisis Peritoneal13


12
Cairan PD (PDF) tersedia dalam konsentrasi glukosa monohidrat standar

1,5, 2,5, dan 4,25 g / dL dan berbagai konsentrasi elektrolit (Tabel 2.6).  Cairan

PD harus dihangatkan sampai suhu tubuh sebelum infus untuk menghindari

ketidaknyamanan dan meningkatkan transportasi zat terlarut.13

Tabel 2.6 Komposisi Cairan Dialisis Peritoneal13

Dalam mendapatkan ultra filtrasi yang lebih baik untuk memulai PD pada

kebanyakan pasien dengan cairan PD sebanyak 2,5 g/dL.  Konsentrasi glukosa

awal yaitu 1,5 g / dL mungkin lebih tepat pada pasien dengan jumlah cairan yang

berlebihan dan pada mereka yang secara hemodinamik yang tidak stabil. Cairan

PD dengan konsentrasi glukosa yang lebih tinggi dapat disubstitusi berdasarkan

jumlah cairan yang dikeluarkan dan parameter hemodinamik pasien.  Dengan

rejimen standar, jumlah rata-rata cairan berikut dapat dihilangkan selama periode

24 jam:13

(i) 2,5 liter dengan 1,5 g / dL glukosa,

(ii) 4,5 liter dengan 2,5 g / dL glukosa,

(iii) 8,5 liter dengan 4,25 g / dL glukosa.  


13
Berbagai jenis konsentrasi glukosa tersedia untuk digunakan dalam resep

PD akut (Tabel 7).13

Tabel 2.7 Konsentrasi Glukosa Dialisis Peritoneal13

 Cairan PD 1,5 g / dL mengandung 27,2 gram glukosa dalam kantung 2

liter.  Biasanya memberikan ultra filtrasi 50-150 mL per jam ketika

menggunakan volume pertukaran 2 liter selama 60 menit waktu pertukaran.  Ini

adalah cairan yang paling umum digunakan pada PD akut.

 2,5 g / dL cairan PD dapat memberikan UF 100-300cc per volume pertukaran 2

liter dan waktu pertukaran satu jam.  2 liter kantong 2,5 g / dL mengandung

45,4 gram glukosa.

 4,25 g / dL cairan PD mengandung 77,2 gram glukosa dalam 2 liter kantong

dan dapat meningkatkan UF 300400 cc / pertukaran.  Cairan hipertonik ini

biasanya digunakan pada pasien dengan volume berlebih seperti CHF.  Terus

menggunakan cairan 4,25 g / dL dapat menghasilkan penghilangan 7,2-9,6 L

per hari yang bisa sangat berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakstabilan

hemodinamik karena ultra filtrasi masif, dan kadar glukosa tinggi dari

hipertonik cairan peritonial dialisis merusak membran peritoneum.  Tingkat

ultra fluida ini biasanya tidak diperlukan dan seseorang dapat menggunakan
14
kombinasi konsentrasi glukosa untuk mencapai tingkat ultra fluida yang

diinginkan. 

2.2.3 Komplikasi Peritoneal Dialisis

Peritonitis merupakan komplikasi serius dari PD karena dapat langsung

berkontribusi pada mortalitas pada pasien PD. Selain itu, peritonitis adalah faktor

risiko paling penting dari kegagalan teknik PD. Oleh karena itu, International

Society of Peritoneal Dialysis (ISPD) merekomendasikan setiap program PD

untuk mengurangi insiden peritonitis menjadi lebih rendah dari 0,5 episode per

tahun yang berisiko. Beberapa faktor risiko untuk peritonitis telah diidentifikasi

seperti infeksi keluar-situs atau infeksi terowongan, kateter tunggal, kepatuhan

rendah, orientasi keluar-situs, dan kontaminasi.9

Beberapa penelitian dalam literatur telah melihat pengobatan PD pada anak-

anak dengan kebutuhan khusus. Dalam beberapa penelitian melaporkan

pengalaman tentang anak-anak retardasi mental yang menerima perawatan

PD.  Keterbelakangan mental dapat dianggap sebagai kontraindikasi atau

kontraindikasi relatif untuk pengobatan CPD karena risiko peritonitis yang lebih

tinggi disebabkan oleh kesulitan pasien dalam menjaga kebersihan dan kepatuhan

pribadi.14
15

Gambar 2.1 Komplikasi pemasangan PD pada anak7

Peritonitis terkait PD telah menurun sejak akhir 1980-an; Namun,

peritonitis tetap merupakan komplikasi utama dari PD dan alasan paling umum

untuk mengubah modalitas dialisis. Dalam meningkatkan hasil pada CKD pada

anak, tingkat kejadian peritonitis global adalah 0,46 episode per pasien-tahun,

sementara Studi Koperasi Transplantasi Ginjal Pediatrik Amerika Utara

menemukan 0,68 episode peritonitis per pasien-tahun pada anak yang diobati

dengan PD.15,16

Organisme yang menyebabkan peritonitis dan sensitivitas antibiotik

diketahui bervariasi menurut wilayah. Dengan demikian, International Society of

Peritoneal Dialysis (ISPD) merekomendasikan penggunaan antibiotik sesuai

dengan kondisi yang diketahui dari masing-masing daerah. Namun, ada relatif

sedikit artikel yang dipublikasikan tentang mikrobiologi, faktor risiko, dan hasil

peri-tonitis terkait PD pada anak-anak, terutama di negara-negara berkembang.

Selain itu, di antara mereka yang mengalami episode peritonitis, faktor-faktor


16
yang terkait dengan kegagalan teknik (TF) masih harus diselidiki.15,16

Dalam komplikasi mekanik, nyeri biasanya dialami di situs sayatan atau

mungkin terkait dengan manipulasi kateter selama prosedur.  Nyeri dapat

disebabkan oleh beberapa faktor seperti pH rendah cairan PD, suhu rendah, aliran

jet dari ujung kateter lurus, atau distensi jaringan di sekitar kateter.  Nyeri ini

dapat diminimalkan dengan infus cairan PD basa dengan penambahan natrium

bikarbonat dan dengan menaikkan suhu PDF dengan menghangatkan atau

memperlambat laju infus cairan.13

Komplikasi yang berkaitan dengan cairan dan elektrolit dapat dihindari

dengan pemantauan ketat terhadap perubahan berat badan pasien, pencatatan

rejimen dialisis yang berkaitan dengan frekuensi pertukaran dialisis, kekuatan

cairan osmotik yang digunakan, volume cairan dialisis yang digunakan per

pertukaran, dan ultra filtrasi.  Catatan asupan harian dan keluaran nonurinary

harus ditinjau setiap hari.  Hipernatremia biasanya disebabkan oleh efek filtrasi

dengan ultra filtrat yang terbentuk dengan konsentrasi natrium yang jauh lebih

rendah daripada plasma.  Hipernatremia biasanya dapat diatasi dengan

penggunaan cairan yang mengandung glukosa.  Asidosis laktat jarang terjadi

kecuali pada pasien dengan gagal hati terminal. Kadang-kadang, asidosis laktat

yang parah dapat disebabkan oleh iskemia usus yang sedang berlangsung dan

harus dikeluarkan pada kondisi klinis yang relevan.13

Hipervolemia dan Hipovolemia.  Perubahan volume dapat terjadi karena


17
penggunaan cairan hiperosmotik atau karena kegagalan ultra filtrasi.  Hal ini dapat

dikurangi dengan menyesuaikan resep dialisis atau dalam beberapa situasi

mungkin memerlukan penghentian sementara dialisis.  Hipervolemia akibat

kegagalan ultra filtrasi biasanya terlihat pada transporter terlarut

tinggi.  Kegagalan ultra filtrasi khusus ini dapat dilihat selama episode peritonitis

akut. Kehilangan albumin (hipoalbumin) terlihat karena kehilangan protein yang

tinggi dalam dialisat terutama selama episode peritonitis.  Kehilangan ini bisa

setinggi 10-20 gram sehari dan pasien mungkin memerlukan suplementasi protein

baik secara oral atau intravena.13


BAB III

PENUTUP

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu keadaan kerusakan ginjal

atau LFG < 60 mL/menit/1,73m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih. Penyebab CKD

pada anak usia <5 tahun yang paling sering adalah kelainan kongenital, misalnya

displasia atau hipoplasia ginjal, atau uropati obstruktif, sedangkan pada usia > 5

tahun penyebab tersering CKD adalah penyakit yang diturunkan seperti penyakit

ginjal polikistik atau penyakit didapat (glomerulonefritis). Manifestasi klinis yang

sering muncul berupa gangguan pertumbuhan, kelainan mineral dan tulang serta

anemia, hipertensi. Saat ini peritoneal dialisis (PD) dan hemodialisis (HD) adalah

dua modalitas terapi pengganti utama dibanyak negara Asia namun proporsi

pasien PD dan HD sangan bervariasi diberbagai negara. Indikasi absolut memulai

dialisis pada anak meliputi anuria, gangguan elektrolit berat, gangguan neurologis

pada gagal ginjal. Terlepas dari kenyataan bahwa PD lebih dapat ditoleransi pada

bayi dan anak kecil, PD lebih hemat biaya dibandingkan dengan HD. Indikasi

absolut memulai dialisis pada anak meliputi anuria, gangguan elektrolit berat,

gangguan neurologis pada gagal ginjal (misalnya ensefalopati, kejang, foot drop),

perikarditis, diatesis perdarahan, mual berulang, gejala uremia (muntah, kejang,

penurunan kesadaran), volume berlebihan (hipertensi, edema paru), atau

kegagalan pertumbuhan meskipun terapi medis sudah tepat, dan hipertensi.

16
24

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahman S. Tatalaksana hemodialisis pada anak dan bayi. Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Cerminan Dunia
Kedokteran. 2020; 47: 291-6.

2. Indonesian Renal Registry. 9th Report of Indonesian Renal Registry. 2016.


3. Yulianti M, Suhardjono, Kresnawan T, Harimurti K. Faktor-faktor yang
berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien continuous ambulatory
peritoenal dialysis (CAPD). FK UI. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2015;
2: 1-7.
4. Chand DH, Swartz S, Tuchman S, Valentini R, Somers MJG. Dialysis in
children and adolescents: the pediatric nephrology perspective. AM J Kidney
Dis. 2016; 69: 278-86.
5. Rachmadi D, Meilyana F. Hemodialisis pada anak dengan chronic kidney
disease. Maj Kedokt Indon. 2010; 59: 555-60.
6. Nongnuch A. Assanatham M, Panorchan K, Davenport A. Strategies for
preserving residual renal function in peritoneal dyalsis. Clin Kidney J. 2015;
8: 202-11.
7. Kaspar CDW, Bholah D, Bunchman, TE. A Review of Pediatric Chronic
Kidney Disease. Blood Purification. 2016; 41; 211–17.
8. Warady, B. A., Neu, A. M., & Schaefer, F. (2014). Optimal Care of the
Infant, Child, and Adolescent on Dialysis: 2014 Update. American Journal of
Kidney Diseases.2014; 64: 128-42.
9. Ambarsari CG, Trihono PP, Kadaritiana A, Tambunan T, Mushahar L,
Puspitasari HA, et al. Five-year experience of continuous ambulatory
peritoneal dialysis in children: a single center experience in a developing
country. Med J Indones. 2019; 28: 329-7.
10. Infodatin. Situasi penyakit ginjal kronis. Pusat Data Informasi Kementerian
Kesehatan RI. 2017.
11. Kaur, A., & Davenport, A. (2014). Hemodialysis for infants, children, and
adolescents. Hemodialysis International. 2014; 18: 573–82.
12. Al-Natour M, Thompson D. Pertinoeal D. Semin Intervent Radiol. 2016; 33:
3-5.
24

13. Ansari N. Peritoneal dialysis in renal replacement therapy for patients with
acute kidney injury. Inter J Nephro. 2011.
14. Aksu N, Yavascan O, Anil M, Kara OD, Bal A, Anil AB. Chronic peritoneal
dialysis in children with special needs or social disadvantage or both:
contraindications are not always contraindications. Perinoteal Dialysis J.
2012; 32: 424-30.
15. Fraser N, Hussain FK, Connell R, Shenoy MU. Chronic peritoneal dialysis in
children. International J Nephro Renovas Dis. 2015; 8: 125-37.
16. Ponce D. Moraes TP, Figueiredo AE, Berretti P. Peritonitis in Children on
Chronic Peritoneal Dialysis: The Experience of a Large National Pediatric
Cohort. Blood Purif. 2018; 45: 118-25.

Anda mungkin juga menyukai