BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN UMUM
II.1. Anatomi
Testis adalah organ genitalia pria yang terletak di skrotum. Ukuran testis
pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2,5 cm, dengan volume 15-25 ml berbentuk
ovoid. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat
pada testis. Di luar tunika albuginea terdapat tunika vaginalis yang terdiri dari 2
lapisan, yaitu lapisan viseralis yang langsung menempel ke testis dan di sebelah
luarnya adalah lapisan parietal yang menempel ke muskulus dartos pada dinding
scrotum. Otot kremaster yang berada di sekitar testis memungkinkan testis dapat
digerakkan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperature testis
agar tetap stabil. (2)
Secara histopatologis, testis terdiri atas ± 250 lobuli dan tiap lobules terdiri
atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel
spermatogonia dan sel Sertoli, sedang di antara tubuli seminiferi terdapat sel-sel
Leydig. Sel-sel spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel
spermatozoa. Sel-sel sertoli berfungsi member makan pada bakal sperma,
sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel-sel interstisial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormone testosterone. (2)
Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di tubuli seminiferi testis disimpan
dan mengalami pematangan/maturasi di epididimis. Setelah mature (dewasa) sel-
sel spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididimis dan vas deferens
disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel-sel itu setelah bercampur dengan
cairan-cairan dari epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, serta cairan prostat
membentuk cairan semen atau mani. (2)
Pada masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada
muskulus dartos masih belum banyak jaringan penyanggahnya sehingga testis,epididimis, dan
tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpluntir pada
sumbu funikulus spermatikus. Terpluntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio
testis ekstravaginal. (2)
Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan
kelainan sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi
sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan ini
tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi
epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis
dengan mudahnya bergerak di kantung tunikavaginalis dan menggantung pada
funikulus spermatikus. Kelainan ini dikenal sebagai anomali bellclapper. Keadaan
ini akan memudahkan testis mengalami torsio intravaginal. (2)
II.2. vaskularisasi
Testis mendapat darah dari beberapa cabang arteri, yaitu (1) arteri
spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, (2) arteri deferensialis
cabang dari arteri vesikalis inferior, dan (3) arteri kremasterika yang merupakan
cabang arteri epigastrika. Testis mendapat vaskularisasi dari arteria testikularis
dan kembali melalui anyaman vena yang berjalan ascenden pada funikulus
spermatikus yaitu pleksus Pampiniformis. Selanjutnya anyaman tersebut akan
menyatu membentuk vena testikularis. Vena testikularis kanan bermuara pada
vena kava inferior, sedangkan vena testikularis kiri bermuara pada vena renalis
kiri. (3)
Aliran limfatik berjalan menuju kelenjar limfe para aorta yang terletak
diantara vena renalis dan bifurkasio aorta. Persarafan testis berasal dari nervus
torakalis 10 dan 11. Sementara itu persarafan skrotum berasal dari nervus
lumbalis 1 melalui nervus iliolinguinalis untuk bagian ventral dan pangkal penis,
sedangkan untuk bagian perineal disarafi oleh nervus sakralis 2, 3, 4 melalui
nervus scrotalis posterior dan ramus perinealis nervus kutaneus femoralis lateralis.
(3)
Gambar.3 Pembuluh darah Testis (Orchis), Epididymis dan Funiculus spermaticus, dilihat
dari lateral. Arteri-arteri membentuk anastomosa.
II.3. EMBRIOLOGI
Pada minggu keenam kehidupan embrional, terjadi proliferasi epitel dinding
selom yang kemudian menebal membentuk krista genitalis. Daripadanya
dibedakan 2 bagian yaitu epitel germinativum di superfisialis dan blastema di
lapisan yang lebih profunda. Keduanya kemudian disebut gonad. Setelah minggu
ketujuh, dengan terdapatnya kromosom Y pada embrio, terjadi diferensiasi
menjadi testis. Lama kelamaan testis memisahkan diri dari lapisan epitelium oleh
adanya tunika albuginea yang berasal dari sel epitel germinativum (2).
Pada akhir bulan kedua testis dan mesonefros terletak di dinding posterior
selom. Bagian mesonefros mengalami regresi dan menjadi ligamentum yang
menggantung testis pada extremitas superior dan inferior serta pada dasar selom,
kecuali tubuli mesonefrisi yang berhubungan dengan testis tidak mengalami
regresi. Bulan kelima ligamentum menghilang dan testis sudah berada di sekitar
anulus inguinalis internus, bersandar pada prosesus vaginalis peritonei.
Bersamaan dengan itu bulbus genitalis yang akan menjadi scrotum juga terbentuk.
Akhirnya pada bulan ketujuh, testis, prosesus vaginalis, epididimis dan sebagian
duktus deferens sudah berada dalam kanalis inguinalis dan pada bulan kedelapan
kelainan sistem penyangga testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika
bergerak secara berlebihan (2).
Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara
lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat berenang), ketakutan,
latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, trauma yang
mengenai skrotum. Terpluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi
aliran darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemia. Pada
akhirnya testis akan mengalami nekrosis (4).
B2
Anomali bell clapper
Gambar 4. Kelainan penggantung testis sebagai penyebab terjadinya torsio testis, A. Normal,
B1 dan B2. Anomali bell-clapper, C. Torsio testis menyebabkan nekrosis testis(2).
BAB III
DIAGNOSIS TORSIO TESTIS
III.3.3. Trauma
Adanya trauma hebat yang mengenai skrotum dapat menimbulkan gejala
dan tanda klinis serupa dengan torsio testis. Timbul rasa nyeri, pembengkakan
skrotum dengan perabaan hangat (6).
III.3.4. Hernia skrotalis Inkarserata
Gejala dan tanda klinis yang menyerupai hernia skrotalis inkarserata di
dahului dengan anamnesis didapatkan benjolan yang dapat keluar dan masuk ke
dalam skrotum. (2)
III.4. KOMPLIKASI
Komplikasi pada torsio testis timbul sehubungan dengan terjadinya
gangguan vaskularisasi organ di bawah titik perputaran. Akibat gangguan tersebut
kemudian dapat terjadi :
1. Iskemik sampai nekrosis testis
2. Atrofi testis
3. Gangguan spermatogenesis (1,4).
Komplikasi tersebut dipengaruhi oleh lamanya terjadinya torsio sebelum
menerima penanganan yang sesuai . Selain itu dipengaruhi pula oleh derajat
perputaran yang dialami funikulus spermatikus (7).
BAB IV
PENATALAKSANAAN TORSIO TESTIS
IV. PENANGANAN
Penanganan torsio testis bertujuan sedapat mungkin mempertahankan testis
kecuali didapatkan keadaan gangren testis dan adanya riwayat tindakan yang
terlambat dilakukan. Pada prinsipnya setiap tindakan torsio testis adalah melepas
torsi yang dilanjutkan dengan melakukan fiksasi testis pada skrotum. Harus pula
selalu diingat bahwa torsio testis merupakan suatu keadaan darurat urologi (6,7,8).
Secara garis besar tindakan untuk melepaskan torsi dapat dikerjakan secara
manual dan dengan pembedahan (8).
IV.l. Detorsi Manual
Pada setiap kasus torsio testis harus selalu dicoba pada kesempatan pertama
untuk melakukan detorsi manual, kecuali nyata-nyata telah terjadi perlekatan
testis kedinding skrotum. Meskipun demikian keberhasilan detorsi manual tidak
menghilangkan indikasi untuk melakukan eksplorasi oleh karena reposisi manual
tidak menjamin kembalinya testis ke posisinya yang normal. Bahkan ada ahli
yang menyatakan bahwa tindakan ini hanya dapat dilakukan dengan persiapan
operasi (7).
Untuk melakukan detorsi manual mula-mula diberikan anestesi lokal secara
infiltrasi menggunakan xilokain HC1 1% 10-20 ml pada funikulus spermatikus
dekat anulus inguinalis eksternus. Setelah itu detorsi dilakukan dengan melakukan
pemutaran testis berlawanan dengan arah perputaran pada torsio. Dengan
demikian testis kanan diputar seperti gerakan melepas sekrup dan testis kiri
diputar seperti gerakan memasang sekrup (8).
Sebagaimana dikutip oleh Alif S, kadang-kadang hanya mengangkat testis
Sudah bisa terjadi reposisi, tetapi apabila belum berhasil maka dicoba memutar
testis kelateral dan apabila belum juga berhasil maka dicoba memutar ke medial(8).
Tindakan detorsi manual yang berhasil akan memberikan pemulihan segera
pemasokan darah ke testis. Hal ini jika dilakukan dengan tepat akan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah 14
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 30 Mei – 6 Agustus 2011
Torsio testis Marwin Tjandra (406107004)
IV.2.2. Orkidektomi
Setelah funikulus spermatikus dibebaskan secara tumpul, dilakukan
penjepitan pada vas deferens dan vasa. Kemudian testis dan epididimis
dikeluarkan, dipasang klem di sebelah proksimalnya. Selanjutnya vas deferens
dan kemudian vasa dipotong dekat dengan klem pertama dan dilakukan ikatan
pada vas deferens dan ikatan ganda pada vasa (8).
IV.3. PROGNOSIS
Prognosis torsio testis dipengaruhi oleh lamanya dan derajat dari torsio.
Lamanya torsio adalah saat timbul gejala pertama sampai saat pembedahan,
sedangkan derajat torsio adalah besarnya perputaran yang dialami testis dan
funikulus spermatikus (8).
Hubungan antara vitalitas dan lamanya torsio seperti tampak pada hasil
penelitian di Surabaya sebagai berikut :
Meskipun demikian batasan waktu tersebut tidak pasti oleh karena ternyata
dilaporkan adanya kasus yang masih vital setelah 24 jam bahkan setelah 5 hari.
Hal lain dilaporkan pada penelitian Saragih dkk dimana lamanya torsio dan
derajat torsi pada responden, tampak bahwa batasan waktu tidak mengikat dalam
memperkirakan prognosis torsio testis (9).
Menurut Sonde dan Lapides (1961) seperti dikutip oleh Saragih dkk, pada
percobaan anjing pada satu kali putaran akan bertahan sampai 12 jam, tetapi
sesudah 24 jam akan menyebabkan nekrosis dari testis yang bersangkutan.
Perputaran sempurna 3-4 kali (1080°-1440°) akan menyebabkan nekrosis testis
sesudah 2 jam. Hal ini akan sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Saragih dkk. Akan tetapi meskipun demikian terbukti bahwa derajat torsio
mempengaruhi vitalitas dan prognosis torsio testis (10).
BAB V
RINGKASAN
Insidensi torsio testis tidak dapat dipastikan, akan tetapi kejadian torsio
testis terdapat pada dua puncak usia yaitu masa pubertas dan masa bayi. Perlu
diingat bahwa torsio testis merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan bedah,
oleh sebab itu setiap keadaan akut di daerah skrotum hendaknya dipikirkan
kemungkinan suatu torsio testis terutama pada usia remaja.
Vitalitas testis sangat dipengaruhi oleh waktu antara pertama kali
timbulnya gejala hingga saat pembedahan dan juga dipengaruhi oleh derajat
perputaran yang dialami funikulus spermatikus dengan demikian maka setelah
diagnosis torsio testis ditegakkan harus segera dilakukan tindakan, bila tidak
diberikan terapi yang tepat dan cepat dapat timbul komplikasi berupa infark,
gangren dan bisa berakhir dengan atrofi testis.
Diagnosis torsio testis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik. Setelah diagnosis tegak, pada kesempatan pertama
selalu dicoba untuk dilakukan detorsi manual. Apabila detorsi gagal, harus segera
dilakukan tindakan pembedahan (operasi cito) dan bila berhasil diprogramkan
operasi elektif untuk dilakukan fiksasi. Testis yang masih vital dilakukan
orkidopeksi, tetapi bila vitalitas testis tidak dapat dipertahankan lagi dilakukan
orkidektomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong WD. Torsio testis. Dalam: Sjamshuhidayat R,eds. Buku ajar ilmu
bedah. EGC:2004.
2. Purnomo BB. Torsio testis. Dalam: Dasar-dasar urologi. EGC: 2007: 8,
145-148.
3. Ramli HM. Torsio testis. Dalam: Kedaruratan Non bedah dan bedah. Balai
pnerbit FKUI: 2002: 101-105.
4. Price SA, Wilson LM. Torsio testis. Dalam: Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit. EGC: 1997: 1153.
5. Andri P. Torsio testis. Dalam: Urologi untuk praktik umum (urologic voor
de algemene praktijk). EGC. 1996.
6. Spenser SS. Torsio testis. Dalam: Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah.
EGC: 1998: 578-0.
7. Sabiston DC, Kortz WJ. Torsio testis. Dalam: Buku ajar bedah. EGC: 1:
1994: 491-2.
8. Bratajaya. Torsio testis. Dalam: ilmu bedah dan teknik operasi. FK
UNAIR: 1998: 152-3.
9. Alif S. Torsio testis di RSUD Dr. Soetomo studi prospektif selama 2
tahun, Karya akhir, seksi urology UPF Ilmu Bedah FK UNAIR/RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, 1991.
10. Saragih E, Prayoga B, Muslim R. vitalitas pada torsio testis. Dalam:
Saragih E,eds. Kumpulan Naskah Ilmiah, RSDK/FK UNDIP. Semarang.
1987.