Anda di halaman 1dari 17

Journal Reading

KOMPLIKASI NEUROLOGIS PADA BAYI MUDA DENGAN


MENINGITIS BAKTERI AKUT

Oleh:

Shafira Aghnia 1840312281

Preseptor :
dr. Yorva Sayoeti, Sp.A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2018
KOMPLIKASI NEUROLOGIS PADA BAYI MUDA DENGAN
MENINGITIS BAKTERI AKUT

Mei-Hsin Hsu 1,2 | Jen-Fu Hsu 2,3 | Hsuan-Chang Kuo 1,2,4 | Mei-Yin Lai 2,3 | Ming-Chou Chiang 2,3 | Ying-Jui Lin 1,2 |
Hsuan-Rong Huang 2,3 | Shih-Ming Chu 2,3 | Ming-Horng Tsai 2,5*

ABSTRAK

Tujuan
Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kejadian, pengobatan, dan hasil komplikasi neurologis
pasca meningitis bakteri pada bayi muda.

Metode
Studi berdasarkan kasus ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif dari pelayanan tingkat
tersier di Taiwan yang pada tahun 2007 sampai 2016.

Hasil
Delapan puluh lima bayi muda berusia <90 hari dengan meningitis bakteri yang teridentifikasi
didapatkan 25 kasus (29,4%) lahir prematur. Streptokokus Grup B (GBS) dan Escherichia coli
menyebabkan 74,1% kasus yang yang teridentifikasi. Meskipun mayoritas kasus (90,6%)
awalnya menerima antibiotik yang sesuai dengan penyebab mikrobiologisnya, 65 pasien (76,5%)
pernah mengalami setidaknya satu komplikasi neurologis dengan median 6 hari (kisaran: 1–173)
setelah awitan meningitis bakteri. Komplikasi neurologis yang paling umum adalah kejang
(58,8%), diikuti oleh efusi subdural (47,1%), ventrikulomegali (41,2%), empiema subdural
(21,2%), hidrosefalus (18,8%), ventrikulitis (15,3%), periventrikular leukomalasia (11,8%), dan
ensefalomalasia (10,6%). Sembilan pasien (10,6%) meninggal (termasuk 4 pulang dengan
permintaan) dan 29/76 (38,2%) dari pasien yang sudah teratasi memiliki gejala sisa neurologis
utama saat keluar. 19 pasien (22,4%) menerima intervensi bedah
karena komplikasi ini. Setelah regresi logistik multivariate dilakukan, kejang awal (disesuaikan
dengan odds ratio [aOR]: 4,76, confidence interval 95% [CI]: 1,7-13,0, P = 0,002) dan syok
septik (aOR: 6.04; 95% CI: 1.35-27.0, P = 0,019) adalah prediktor independen untuk hasil akhir
yang tidak baik.
Kesimpulan
Komplikasi neurologis dan gejala sisa sering terjadi pada bayi muda
setelah meningitis bakteri. Pasien yang mengalami kejang dini atau syok septik bisa menjadi
prediktor awal hasil akhir yang tidak memuaskan dan membutuhkan pemantauan ketat.
Penelitian lebih lanjut tentang cara meningkatkan manajemen klinis dan outcome diperlukan.

PENDAHULUAN

Pengantar
Meningitis bakteri berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
neonatus (1, 2). Penyebab utama patogen penyakit ini adalah Grup B Streptococcus dan
Escherichia coli, yang menyebabkan 65-78% kasus, dengan angka kematian bervariasi dari 13
hingga 25% pada bayi cukup bulan dan prematur (2-6). Studi meningitis bakteri pada orang
dewasa telah menemukan bahwa sekitar tiga per empat pasien memiliki komplikasi intrakranial
yang serius, seperti hidrosefalus, empiema subdural, infark, dan ventrikulitis, yang berkontribusi
terhadap jangka panjang gejala sisa neurologis dan mortalitas akhir (7-11). Namun, studi tentang
insiden, spektrum komplikasi dan faktor prognostik pada bayi muda dengan meningitis bakteri
relatif jarang (12, 13).
Komplikasi neurologis pasca meningitis neonatus harus lebih menjadi perhatian
tenaga medis, karena dapat menyebabkan gangguan perkembangan saraf jangka panjang dan
mungkin membutuhkan intervensi bedah (7, 9). Selain itu, pengetahuan tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan prognosis yang buruk bisa bermanfaat dalam menentukan pasien
dengan strategi perawatan yang lebih agresif atau dengan pemantauan paling intensif, untuk
mengoptimalkan fungsional dan kemampuan perilaku normal pada neonatus, yang pernah
mengalami bakteri meningitis. Pada orang dewasa dan anak-anak, faktor risiko terkait
komplikasi neurologis dan gejala sisa telah teridentifikasi, seperti mikroorganisme spesifik,
derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi, dan presentasi awal kejang dan paresis (9, 10, 14–
17); Namun, kesimpulan dari studi ini pada bayi muda berbeda dan hanya beberapa studi kohort
berbasis populasi yang telah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
menelusuri kejadian, pengobatan, dan komplikasi neurologis secara besar-besaran dengan
metode kohort dari dua pusat medis di Taiwan dengan kasus meningitis bakteri akut.
METODE

Pasien, Desain Studi, dan Pengaturan


Semua pasien yang sebelumnya sehat berusia di bawah 3 bulan di Rumah Sakit Linkou dan
Kaohsiung Chang Gung dengan gejala neurologis setelah meningitis bakteri yang memenuhi
syarat dalam 10 tahun (Januari 2007-Desember 2016) dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Kedua rumah sakit tersebut, Likou dan Kaohsiung adalah pusat medis tingkat tersier di Taiwan
dengan lebih dari 10.000 pasien rawat inap anak setiap tahun. Linkou dan Kaohsiung adalah
rumah sakit terbesar di Taiwan Utara dan Selatan, Kasus-kasus diidentifikasi melalui database
yang berisi registrasi meningitis di rumah sakit dan hasil laboratorium mikrobiologi. Semua
pasien dipantau setidaknya selama 1 tahun oleh tim peneliti, yang kebanyakan adalah dokter
yang hadir, yang mengisi formulir laporan kasus yang berisi variabel dasar pasien dan evaluasi
mereka setelah awitan meningitis. Neonatus dengan gejala neurologis dan gejala sisa yang yang
disebabkan oleh gangguan perinatal yang sudah ada sebelumnya atau penyakit neurologis
dieksklusikan. Studi ini disetujui oleh dewan peninjauan dari institusi rumah sakit, dan lembar
persetujuan tidak digunakan karena semua catatan dan informasi pasien dianonimkan dan
diidentifikasi terlebih dahulu sebelum analisis.

Kriteria Diagnostik Klinis


Meningitis didefinisikan dengan adanya tanda-tanda klinis dengan kemungkinan infeksi bakteri
yang berat (berdasarkan World Health Organization) (18) dan kultur cairan serebrospinal (CSS)
positif untuk patogen bakteri atau kultur darah / polymerase reaksi berantai (PCR) / aglutinasi
lateks positif untuk bakteri patogen dengan jumlah leukosit CSS > 20 × 106 / L. Kejadian dengan
kultur CSS negatif juga dilaporkan oleh dokter jika hasil CSS menunjukkan setidaknya satu
marker meningitis bakteri pada individu (didefinisikan sebagai kadar glukosa darah <34 mg / dL
[1,9 mlol / L], rasio glukosa CSF terhadap glukosa darah <0,23, tingkat protein lebih dari 220
mg / dL, atau jumlah leukosit lebih dari 2.000 / μL) (9, 19) dan presentasi klinis sesuai dengan
meningitis bakteri.
Komplikasi neurologis didefinisikan sebagai gejala baru atau tanda-tanda kelainan neurologis
pada studi neuroimaging (Ultrasonografi transkranial, CT Scan , atau MRI) yang terjadi segera
setelah kejadian meningitis, atau dinilai dari klinis neonatologis yang secara langsung berasal
dari kejadian meningitis. Komplikasi neurologis termasuk:
1.) Kejang: Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan pasien secara klinis dengan gejala kejang
halus, seperti gerakan mata acak atau keliling, mengisap, bersepeda yang tidak biasa, atau
mengayuh gerakan kaki, dll. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) diatur dan anti-kejang
regular diberikan pada pasien dengan dugaan serangan kejang. Kejang diamati secara klinis dan /
atau ditemukan adanya pelepasan gelombang epileptiform yang abnormal pada EEG tanpa
adanya penyakit neurologis atau penyakit metabolisme.
2.) Ensefalopati pasca infeksi: neonatus yang mengalami perubahan kesadaran setelah stabilisasi
tanda-tanda vital yang berlangsung> 24 jam setelah timbulnya meningitis;
3.) Hidrosefalus dan / atau ventrikulomegali: didokumentasikan oleh USG transkranial setelah
awitan meningitis, dan dilihat pada neonatus tanpa patologi otak sebelumnya;
4.) Adanya infeksi fokal baru, termasuk subdural empiema, araknoiditis, ventrikulitis, dan
tulang belakang atau abses otak;
5.) Komplikasi neurologis lainnya termasuk neonatus dengan ensefalomalasia atau infark
serebral karena hipotensi.

Pengumpulan Data dan Follow Up Neurologis


Formulir catatan kasus digunakan untuk mengumpulkan data tentang demografi pasien, gejala
dan tanda saat masuk, temuan laboratorium saat masuk dan selama rawat inap, perjalanan klinis,
pengobatan dan temuan neurologis saat dipulangkan, dan hasil akhir. Setelah keluar, semua
pasien yang sembuh menjalani pemeriksaan neurologis yang dilakukan oleh ahli saraf, dan hasil
dinilai berdasarkan Pedatric Version of The Glasgow Outcome Scale (GOS-E Peds) (20) Hasil
yang baik didefinisikan dengan skor GOS-E Peds 5 (pemulihan baik) dan hasil yang tidak baik
didefinisikan dengan skor 1 (menunjukkan kematian) sampai 4 (kecacatan sedang). Selama fase
akut pasien ini, sonografi transkranial secara rutin dilakukan. Namun, CT Scan otak atau MRI
hanya dilakukan pada kondisi akut, kondisi klinis yang memburuk, serangan kejang, atau temuan
neurologis yang abnormal. Pada penelitian ini, semua kasus kematian di rumah sakit dan pasien
pulang atas permintaan dalam keadaan kritis termasuk dalam hasil yang buruk.
Analisis Statistik
Median dan proporsi digunakan untuk menggambarkan masing-masing variabel kategorik dan
kontinyu. Chi-square atau Uji Fisher digunakan untuk menguji secara statistik dan secara
signifikan perbedaan antara variabel-variabel kategori dengan <0,05. Statistik Kaplan-Meier
digunakan untuk menghitung tingkat komplikasi individu secara kumulatif serta gabungan dari
semua komplikasi atau kematian. Identitas pasien disensor saat meninggal dunia atau pada akhir
follow up. Untuk memprediksi hasil yang buruk saat pasien dipulangkan, regresi logistik
multivariat dilakukan. Demografi pasien, gejala klinis awal dan hasil laboratorium, dan
mikroorganisme penyebab dimasukkan ke dalam regresi logistik univariat, dan data dengan nilai
p <0,1 dimasukkan ke dalam model regresi logistik multivariat. Semua data diekspor ke Stata
versi 9.0 (Stata Corp., College Station, TX, USA) untuk analisis.

Ketersediaan Data
Semua data yang digunakan untuk analisis dalam laporan ini tersedia dan data yang dianonimkan
akan dibagikan atas permintaan dari peneliti yang terkualifikasi.

HASIL
Karakteristik Klinis Bayi Muda dengan Meningitis Bakteri Akut
Delapan puluh lima pasien yang berusia kurang dari 3 bulan dengan meningitis bakteri akut
diidentifikasi. Dua puluh lima (29,4%) lahir preterm (usia kehamilan <37 minggu). Kehamilan
rata-rata umur dan berat badan lahir masing-masing adalah 37,8 ± 3,3 minggu dan 2724 ± 541 g.
Sebanyak 44 kasus (51,8%) bakteri meningitis disebabkan oleh Streptococcus grup B (GBS), 19
kasus (22,4%) oleh E. coli, dan 16 kasus (18,8%) oleh bakteri lain. Total dari 6 pasien memiliki
hasil kultur CSS negatif tetapi memiliki setidaknya satu marker CSS individual dan gejala klinis
meningitis bakteri. Median usia saat diagnosis adalah 27 hari (kisaran, 3-180; Tabel 1). Sebelas
kasus (12,9%) memiliki riwayat demam maternal prenatal dan / atau korioamnionitis, dan tidak
satu pun dari mereka memiliki predisposisi penyakit neurologis atau gangguan perinatal.

Demografi dan manifestasi klinis pasien ini diringkas dalam Tabel 1. Enam puluh dua kasus
(72,9%) telah terjadi bakteremia bersamaan; semua kultur darah pasien menunjukkan patogen
yang sama seperti yang ada di CSS. Sebagian besar dari gejala-gejala ini adalah khas dari sepsis
neonatal, termasuk ketidakstabilan suhu (81,2%), gangguan pernapasan dan / atau apnea
(27,1%), dan intoleransi makanan (41,2%). Kejang muncul pada 27 pasien (31,8%) saat masuk.
Enam belas pasien (18,8%) mengalami syok septik segera atau dalam 24 jam setelah masuk, dan
18 pasien (21,2%) membutuhkan intubasi dan ventilator. Punksi lumbal dilakukan pada saat
pasien masuk. Tiga puluh empat pasien memburuk secara klinis dalam waktu 12 jam setelah
pemberian antibiotik empiris dan lumbal punksi awal, tetapi tidak satupun dari pasien tersebut
mengalami herniasi serebral transtentorial dengan pelebaran pupil atau postur abnormal.

Perburukan terdiri dari syok septik pada 16 pasien, kegagalan pernapasan pada 14 pasien,
serangan kejang baru pada 8 pasien dan penurunan tingkat kesadaran pada 4 pasien. Semua
pasien melakukan pemeriksaan sonografi kranial setelah meningitis bakteri, dan pencitraan
kranial pada 53 pasien (62,4%) dari 85 pasien, kebanyakan saat kejang dan letargi atau
iritabilitas.
Tabel 1. Faktor epidemiologi, kondisi komorbid, data klinis dan laboratorium

Komplikasi Neurologis
Komplikasi neurologis berkembang selama perjalanan klinis pada 65 dari 85 pasien (76,5%;
Tabel 2). Komplikasi neurologis yang paling umum adalah kejang (50, 58,8%), diikuti oleh efusi
subdural (40, 47,1%), ventrikulomegali (35, 41,2%), empiema subdural (18, 21,2%; Gambar 1),
dan hidrosefalus (16, 18,8%). Terjadinya komplikasi neurologis tidak terkait dengan
mikroorganisme penyebab, tatalaksana awal yang adekuat atau tidak adekuat, atau dengan
demografi pasien. Di antara komplikasi neurologis ini, empiema subdural, ensefalomalasia,
hidrosefalus, ventrikulomegali, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang secara signifikan
berhubungan dengan gejala sisa neurologis yang tinggi saat dipulangkan (Tabel 2).
Waktu untuk mendiagnosis semua komplikasi neurologis sejak awitan meningitis (sejak kultur
CSS diambil) dirangkum dalam Gambar 2. Median waktu dari awitan terjadinya sepsis sampai
terjadi gejala neurologis adalah 6 hari [kisaran, 0-169 hari; rentang interkuartil (IQR), 3–28 hari],
dengan gejala berbeda yang sangat berhubungan dengan awitan meningitis. Kejang merupakan
gejala neurologis dengan awitan paling dini (median waktu dari sepsis, 1 hari; kisaran: 0–32
hari), dan ensefalomalasia dan infark serebral (Gambar 3) seringkali merupakan yang terakhir
terdeteksi (median waktu sejak permulaan sepsis, 26 hari; IQR, 19-39 hari). Di antara 50
neonatus dengan kejang, tujuh pasien (14%) didapatkan kontrol yang buruk meskipun pemberian
obat antiepilepsi lebih dari 48 jam. Tiga puluh tiga pasien (38,8%) memiliki ketidakseimbangan
elektrolit, enam pasien memiliki diabetes insipidus, dan empat pasien mengalami syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH).

Tabel 2. Komplikasi neurologis pada bayi muda dengan meningitis bakteri akut
Gambar 1. Gambaran MRI pada anak laki-laki berusia 3 minggu dengan empiema
subdural GBS
Gambar 2. Waktu diagnosis berbagai komplikasi neurologis pada bayi muda dengan
meningitis bakteri akut
Gambar 3. Gambaran MRI dari anak laki-laki berusia 3 bulan dengan meningitis GBS
dan infark

Tatalaksana dan Hasil


Seluruh pasien menerima antibiotik empirik segera setelah kultur darah dilakukan; hampir dua
per tiga pasien menerima kombinasi ampisilin /penisilin dan cefotaxime (61.2%, 52/85), dan
yang lainnya menerima vancomycin dan ceftriaxone (5.9%, 5/85). Tujuh puluh tujuh (90.6%)
pasien menerima antibiotik yang adekuat secara mikrobiologis dalam 24 jam dari onset gejala.
Walaupun begitu, tatalaksana antibiotik dimodifikasi untuk 70.6% pasien, dan median durasi dari
tatalaksana antimikroba dalam menyebuhkan pasien adalah 22 hari (rentang 18-84 hari).

Sembilan belas pasien (22.4%) melewati prosedur operasi: drainase ekstraventrikular pada 11
pasien, shunt subdural-peritoneal pada 2 pasien, ventriculoperitoneal shunt pada 8 pasien untuk
tatalaksana hidrosefalus, dan 8 drainase subdural bilateral. Tujuh belas dari 19 pasien yang
dioperasi selamat, yang mana 13 (76.5%) diantaranya mengalami sekuele neurologis saat
dipulangkan. Kira-kira satu per tiga (6 pasien, 31.6%) dari pasien menerima operasi ulang,
dikarenakan infeksi dari shunt tersebut pada 3 pasien dan fungsi shunt yang tidak baik pada 3
pasien. Selama masa penelitian, prinsip utama tatalaksana untuk komplikasi ini adalah termasuk
intervensi surgikal dan protokol kontrol lebih lanjut.

Tiga puluh delapan mengalami hasil yang tidak baik (44.7%) ; Tabel 2) termasuk kematian pada
9 pasien (10.6%) yang mana empat diantaranya pulang paksa ketika masa kritis, empat
meninggal akibat gagal organ multipel setelah meningitis, dan satu meninggal setelah episode
lain bakteremia ketika masih mengkonsumsi antibiotik. Dua puluh sembilan dari 76 pasien yang
selamat, mengalami sekuele neurologis ketika dipulangkan (38.2%). Rasio hasil yang buruk
secara signifikan ditemukan pada pasien dengan komplikasi neurologis dibandingkan dengan
pasien tanpa komplikasi neurologis (55.4 vs. 10.0%, p <0.001). Tujuan kami adalah untuk
menentukan faktor prediksi yang signifikan dalam menentukan hasil akhir yang buruk. Kami
menemukan syok septik, gagal nafas yang memerlukan intubasi, ketidakseimbangan elektrolit,
dan kejang yang terjadi pada 3 hari pertama dari meningitis secara signifikan berhubungan
dengan rasio yag lebih tinggi dalam terjadinya hasil yang buruk (Tabel 3). Setelah regresi
logistik multivariat, kejang-kejang (adjusted odd ratio [aOR]: 4.76, 95% confidence interval
[CI]: 1.7-13.0, p = 0.002) dan syok septik (aOR: 6.04; 95% CI: 1.35 -27.0, p = 0.019) merupakan
prediktor independen untuk menentukan hasil yang buruk.

DISKUSI

Pertimbangan Menyeluruh mengenai Komplikasi Neurologis Setelah Meningitis pada Bayi


Penelitian saat ini menunjukkan bahwa komplikasi neurologis terjadi pada lebih dari 75% dari
kasus meningitis pada bayi dan dihubungkan dengan rasio tinggi dari hasil yang tidak baik.
Kejadian dari komplikasi neurologis pada bayi dengan meningitis dahulunya tidak berhubungan
dengan penyebab, keberhasilan pemberian antibiotik inisial, dan tempat tinggal pasien. Dengan
begitu, kami menyarankan untuk memonitor munculnya komplikasi neurologis dan melakukan
pencitraan kranial untuk mendeteksi pasien meningitis yang mengarah ke komplikasi neurologis.
Setelah regresi logistik multivariat, kami menemukan bahwa kejang-kejang dapat menjadi faktor
prediksi yang signifikan untuk menentukan hasil yang buruk (antara kematian atau sekuele
neurologis) ketika dipulangkan.

Penelitian kohort terbaru dengan populasi nasional menemukan bahwa insiden dari meningitis
pada bayi adalah 0.38 per 100 kelahiran hidup dan hal ini dihubungkan dengan rasio kasus fatal
yang signifikan yaitu 8%. Penelitian menyeluruh lain melaporkan terdapat 23% dari pasien yang
selamat mengalami kompliaksi serius pada sistem saraf pusatnya. Walaupun begitu, pada
penelitian saat ini , kami menemukan angka yang secara signifikan lebih tinggi dari komplikasi
neurologis di penelitian kohort kami, dan sampai angka 44.7% dari bayi mengalami sekuele
neurologis saat dipulangkan. Kami memikirkan bahwa populasi penelitian yang berbeda,
tatalaksana yang diberikan, dan definisi dari komplikasi SSP mungkin saja menyebabkan
perbedaan hasil ini. Selanjutnya, kelompok usia yang berbeda, penyebab yang berbeda, dan
komorbid dasar dan hasil. Sebuah ulasan menyimpulkan bahwa sekitar setengah dari pasien yang
selamat dari meningitis menderita neurologis fokal; namun, banyak penelitian yang diulas
merupakan penelitian yang dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu. Ketika dibandingkan dengan
laporan pada kelompok usia yang berbeda pada waktu baru-baru ini, kami menemukan
komplikasi neurologis dan sekuele terjadi pada 23-74% dari semua bayi (<3 bulan) dengan
meningitis, secara signifikan lebih tinggi pada bayi dibandingkan pada anak dan dewasa, kecuali
pada sebuah penelitian terhadap pasien alkoholisme ditemukan hasil yang buruk pada 58% kasus
meningitis akut dan 35% dari pasien tersebut meninggal.

GBS tetap menjadi paling banyak yang menyebabkan meningitis pada bayi < 3 bulan. Beberapa
penelitian telah mendokumentasikan bahwa profilaksis intrapartum pada ibu hamil dengan
kolonisasi GBS telah menurunkan angka insiden penyakit GBS onset awal; namun, hal ini tidak
memiliki efek signifikan terhadap penyakit GBS onset lambat. Dalam penelitian kohort kami,
GBS ditemukan pada lebih dari setengah kasus meningitis, banyak terdapat pada kasus onset
lambat (33 kasus, 84.6%) dan penelitian kami sebelumnya menemukan bahwa lebih dari
setengah dari kasus penyakit GBS pada neonatal intensive care unit menyebabkan meningitis.
Selanjutnya, kasus meningitis GBS pada bayi dilaporkan memiliki angka kematian 11.4%, dan
32% dari meningitis GBS memiliki kecacatan perkembanga neurologis. Walaupun beberapa
strain GBS resisten terhadap penisilin, yang berarti meningitis GBS jarang diatasi dengan tidak
adekuat, komplikasi neurologis tetap terjadi walaupun telah diberikan tatalaksana dengan waktu
yang efektif. Dengan begitu, monitoring secara agresif mengenai munculnya komplikasi
neurologis pada bayi sudah pasti diperlukan.

Faktor yang Memengeruhi Prognosis pada Komplikasi Neurologis


Sebuah penelitian kohort terbaru menemukan bahwa instabilitas suhu, kejang, dan angka protein
pada cairan serebrospinal yang lebih tinggi, dan meningitis pneumococcal dihubungkan dengan
komplikasi serius dari SSP. Kami menemukan bahwa kejang dalam 3 hari setelah onset dari
meningitis dapat dijadikan sebagai prediktor dari sekuele neurologis akhir, yang dapat dijelaskan
dengan bukti bahwa inflamasi parenkim otak yang parah dan akut, sebuah kontribusi penting,
dan faktor presipitasi dari kejang, dapat menyebabkan kerusakan neurologi lebih lanjut. Dengan
begitu, kita dapat mengidentifikasi neonatus dengan kejang perlu di follow-up dan intervensi
lebih lanjut. Hubungan antara tingginya protein cairan serebrospinal dan komplikasi SSP pada
penelitian ini bertentangan. Walaupun begitu, penelitian sebelumnya menunjukaan bahwa angka
protein cairan serebrospinal yang tinggi berhubungan dengan reaksi inflamasi yang lebih hebat
dan respon imun selama meningitis bakteri, yang berarti kerusakan parenkim otak yang lebih
hebat. Dengan begitu, sepertinya masuk akal bahwa angka protein CSS dapat menjadi dari hasil
yang kurang baik, walaupun hal ini tidak diperiksa pada penelitian kohort ini.

Pada penelitian saat ini, empiema subdural atau abses terjadi pada kurang lebih satu dari lima
bayi dengan meningitis bakteri, yang mana angka tersebut lebih tinggi persentasenya
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya menemukan empiema
subdural postmeningitis lebih dapat terjadi pada bayi dikarenakan patofisiologi yang unik pada
bayi. Pada penelitian ini, hanya hampir setengah (44.4%) dari pasien yang melakukan intervensi
neurosurgical untuk empiema dan tidak ada dari mereka yang menerima evakuasi surgikal.
Hampir seluruh pasien menerima tatalaksana antibiotik yang lama (median durasi 45 hari;
rentang: 24-73 hari) dan hanya satu pasien yang pada akhirnya meninggal. Pengalaman kami
sesuai dengan guideline baru-baru ini yang mengatakan bahwa 3-4 minggu antibiotik
direkomendasikan sejak empiema telah dievakuasi, dan sebuah hasil yang optimal dapat terjadi
dengan durasi yang lebih lama ketika pasien ditatalaksana secara konservatif.

Penelitian saat ini memiliki beberapa keterbatasan penting. Pertama, kami tidak secara rutin
melakukan follow- up pencitraan kranial, dan beberapa kerusakan saraf dapat saja terlewatkan,
termasuk efusi subdural asimtomatik dan empiema subdural subklinikal. Kedua, hampir seluruh
pasien dilakukan pungsi lumbal setelah insiasi antibiotik empiris dan beberapa dari mereka
memiki kultur CSS negatif. Kasus-kasus ini dimasukkan hanya ketika dokter yang merawat
termasuk di dalam database, dan selanjutnya pasien dengan kultur kurang terwakili. Selanjutnya
beberapa dari tatalaksana dan pilihan antibiotik mungkin saja berubah dalam kurun waktu 10
tahun periode penelitian. Dengan begitu, terdapat sedikit keterbatasan dari reabilitas kesimpulan.
Akhirnya, kami tidak memiliki follow-up jangka panjang dari pasien-pasien yang sembuh, dan
informasi mengenai perkembangan neurologis mereka juga tidak tersedia.

Tabel 3. Faktor risiko dari hasil akhir yang buruk (kematian atau gejala sisa neurologis
saat pulang) melalui analisis univariat dan multivariat

KESIMPULAN

Rata-rata tiga per empat bayi dengan meningitis bacterial akut mengalami komplikasi
neurologis walaupun telah diberikan antibiotik secara efektif, yang mana menunjukkan
pentingnya follow-up yang agresif. Hampir semua pasien menerima tatalaksana konservatif.
Sekuele neurologis terdapat pada persentase yang tinggi dari pasien yang sembuh, terutama pada
pasien yang membutuhkan intervensi surgikal. Kejadian yang lebih dini dari kejang dan syok
septik dapat menjadi prediktor dari hasil yang buruk. Dengan begitu, follow-up jangka panjang
dari kasus-kasus ini sangat diperlukan mengingat mereka merupakan kelompok yang rentan
mengalami kecacatan neurologis.

Anda mungkin juga menyukai