Oleh:
Preseptor :
dr. Yorva Sayoeti, Sp.A (K)
Mei-Hsin Hsu 1,2 | Jen-Fu Hsu 2,3 | Hsuan-Chang Kuo 1,2,4 | Mei-Yin Lai 2,3 | Ming-Chou Chiang 2,3 | Ying-Jui Lin 1,2 |
Hsuan-Rong Huang 2,3 | Shih-Ming Chu 2,3 | Ming-Horng Tsai 2,5*
ABSTRAK
Tujuan
Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kejadian, pengobatan, dan hasil komplikasi neurologis
pasca meningitis bakteri pada bayi muda.
Metode
Studi berdasarkan kasus ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif dari pelayanan tingkat
tersier di Taiwan yang pada tahun 2007 sampai 2016.
Hasil
Delapan puluh lima bayi muda berusia <90 hari dengan meningitis bakteri yang teridentifikasi
didapatkan 25 kasus (29,4%) lahir prematur. Streptokokus Grup B (GBS) dan Escherichia coli
menyebabkan 74,1% kasus yang yang teridentifikasi. Meskipun mayoritas kasus (90,6%)
awalnya menerima antibiotik yang sesuai dengan penyebab mikrobiologisnya, 65 pasien (76,5%)
pernah mengalami setidaknya satu komplikasi neurologis dengan median 6 hari (kisaran: 1–173)
setelah awitan meningitis bakteri. Komplikasi neurologis yang paling umum adalah kejang
(58,8%), diikuti oleh efusi subdural (47,1%), ventrikulomegali (41,2%), empiema subdural
(21,2%), hidrosefalus (18,8%), ventrikulitis (15,3%), periventrikular leukomalasia (11,8%), dan
ensefalomalasia (10,6%). Sembilan pasien (10,6%) meninggal (termasuk 4 pulang dengan
permintaan) dan 29/76 (38,2%) dari pasien yang sudah teratasi memiliki gejala sisa neurologis
utama saat keluar. 19 pasien (22,4%) menerima intervensi bedah
karena komplikasi ini. Setelah regresi logistik multivariate dilakukan, kejang awal (disesuaikan
dengan odds ratio [aOR]: 4,76, confidence interval 95% [CI]: 1,7-13,0, P = 0,002) dan syok
septik (aOR: 6.04; 95% CI: 1.35-27.0, P = 0,019) adalah prediktor independen untuk hasil akhir
yang tidak baik.
Kesimpulan
Komplikasi neurologis dan gejala sisa sering terjadi pada bayi muda
setelah meningitis bakteri. Pasien yang mengalami kejang dini atau syok septik bisa menjadi
prediktor awal hasil akhir yang tidak memuaskan dan membutuhkan pemantauan ketat.
Penelitian lebih lanjut tentang cara meningkatkan manajemen klinis dan outcome diperlukan.
PENDAHULUAN
Pengantar
Meningitis bakteri berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
neonatus (1, 2). Penyebab utama patogen penyakit ini adalah Grup B Streptococcus dan
Escherichia coli, yang menyebabkan 65-78% kasus, dengan angka kematian bervariasi dari 13
hingga 25% pada bayi cukup bulan dan prematur (2-6). Studi meningitis bakteri pada orang
dewasa telah menemukan bahwa sekitar tiga per empat pasien memiliki komplikasi intrakranial
yang serius, seperti hidrosefalus, empiema subdural, infark, dan ventrikulitis, yang berkontribusi
terhadap jangka panjang gejala sisa neurologis dan mortalitas akhir (7-11). Namun, studi tentang
insiden, spektrum komplikasi dan faktor prognostik pada bayi muda dengan meningitis bakteri
relatif jarang (12, 13).
Komplikasi neurologis pasca meningitis neonatus harus lebih menjadi perhatian
tenaga medis, karena dapat menyebabkan gangguan perkembangan saraf jangka panjang dan
mungkin membutuhkan intervensi bedah (7, 9). Selain itu, pengetahuan tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan prognosis yang buruk bisa bermanfaat dalam menentukan pasien
dengan strategi perawatan yang lebih agresif atau dengan pemantauan paling intensif, untuk
mengoptimalkan fungsional dan kemampuan perilaku normal pada neonatus, yang pernah
mengalami bakteri meningitis. Pada orang dewasa dan anak-anak, faktor risiko terkait
komplikasi neurologis dan gejala sisa telah teridentifikasi, seperti mikroorganisme spesifik,
derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi, dan presentasi awal kejang dan paresis (9, 10, 14–
17); Namun, kesimpulan dari studi ini pada bayi muda berbeda dan hanya beberapa studi kohort
berbasis populasi yang telah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
menelusuri kejadian, pengobatan, dan komplikasi neurologis secara besar-besaran dengan
metode kohort dari dua pusat medis di Taiwan dengan kasus meningitis bakteri akut.
METODE
Ketersediaan Data
Semua data yang digunakan untuk analisis dalam laporan ini tersedia dan data yang dianonimkan
akan dibagikan atas permintaan dari peneliti yang terkualifikasi.
HASIL
Karakteristik Klinis Bayi Muda dengan Meningitis Bakteri Akut
Delapan puluh lima pasien yang berusia kurang dari 3 bulan dengan meningitis bakteri akut
diidentifikasi. Dua puluh lima (29,4%) lahir preterm (usia kehamilan <37 minggu). Kehamilan
rata-rata umur dan berat badan lahir masing-masing adalah 37,8 ± 3,3 minggu dan 2724 ± 541 g.
Sebanyak 44 kasus (51,8%) bakteri meningitis disebabkan oleh Streptococcus grup B (GBS), 19
kasus (22,4%) oleh E. coli, dan 16 kasus (18,8%) oleh bakteri lain. Total dari 6 pasien memiliki
hasil kultur CSS negatif tetapi memiliki setidaknya satu marker CSS individual dan gejala klinis
meningitis bakteri. Median usia saat diagnosis adalah 27 hari (kisaran, 3-180; Tabel 1). Sebelas
kasus (12,9%) memiliki riwayat demam maternal prenatal dan / atau korioamnionitis, dan tidak
satu pun dari mereka memiliki predisposisi penyakit neurologis atau gangguan perinatal.
Demografi dan manifestasi klinis pasien ini diringkas dalam Tabel 1. Enam puluh dua kasus
(72,9%) telah terjadi bakteremia bersamaan; semua kultur darah pasien menunjukkan patogen
yang sama seperti yang ada di CSS. Sebagian besar dari gejala-gejala ini adalah khas dari sepsis
neonatal, termasuk ketidakstabilan suhu (81,2%), gangguan pernapasan dan / atau apnea
(27,1%), dan intoleransi makanan (41,2%). Kejang muncul pada 27 pasien (31,8%) saat masuk.
Enam belas pasien (18,8%) mengalami syok septik segera atau dalam 24 jam setelah masuk, dan
18 pasien (21,2%) membutuhkan intubasi dan ventilator. Punksi lumbal dilakukan pada saat
pasien masuk. Tiga puluh empat pasien memburuk secara klinis dalam waktu 12 jam setelah
pemberian antibiotik empiris dan lumbal punksi awal, tetapi tidak satupun dari pasien tersebut
mengalami herniasi serebral transtentorial dengan pelebaran pupil atau postur abnormal.
Perburukan terdiri dari syok septik pada 16 pasien, kegagalan pernapasan pada 14 pasien,
serangan kejang baru pada 8 pasien dan penurunan tingkat kesadaran pada 4 pasien. Semua
pasien melakukan pemeriksaan sonografi kranial setelah meningitis bakteri, dan pencitraan
kranial pada 53 pasien (62,4%) dari 85 pasien, kebanyakan saat kejang dan letargi atau
iritabilitas.
Tabel 1. Faktor epidemiologi, kondisi komorbid, data klinis dan laboratorium
Komplikasi Neurologis
Komplikasi neurologis berkembang selama perjalanan klinis pada 65 dari 85 pasien (76,5%;
Tabel 2). Komplikasi neurologis yang paling umum adalah kejang (50, 58,8%), diikuti oleh efusi
subdural (40, 47,1%), ventrikulomegali (35, 41,2%), empiema subdural (18, 21,2%; Gambar 1),
dan hidrosefalus (16, 18,8%). Terjadinya komplikasi neurologis tidak terkait dengan
mikroorganisme penyebab, tatalaksana awal yang adekuat atau tidak adekuat, atau dengan
demografi pasien. Di antara komplikasi neurologis ini, empiema subdural, ensefalomalasia,
hidrosefalus, ventrikulomegali, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang secara signifikan
berhubungan dengan gejala sisa neurologis yang tinggi saat dipulangkan (Tabel 2).
Waktu untuk mendiagnosis semua komplikasi neurologis sejak awitan meningitis (sejak kultur
CSS diambil) dirangkum dalam Gambar 2. Median waktu dari awitan terjadinya sepsis sampai
terjadi gejala neurologis adalah 6 hari [kisaran, 0-169 hari; rentang interkuartil (IQR), 3–28 hari],
dengan gejala berbeda yang sangat berhubungan dengan awitan meningitis. Kejang merupakan
gejala neurologis dengan awitan paling dini (median waktu dari sepsis, 1 hari; kisaran: 0–32
hari), dan ensefalomalasia dan infark serebral (Gambar 3) seringkali merupakan yang terakhir
terdeteksi (median waktu sejak permulaan sepsis, 26 hari; IQR, 19-39 hari). Di antara 50
neonatus dengan kejang, tujuh pasien (14%) didapatkan kontrol yang buruk meskipun pemberian
obat antiepilepsi lebih dari 48 jam. Tiga puluh tiga pasien (38,8%) memiliki ketidakseimbangan
elektrolit, enam pasien memiliki diabetes insipidus, dan empat pasien mengalami syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH).
Tabel 2. Komplikasi neurologis pada bayi muda dengan meningitis bakteri akut
Gambar 1. Gambaran MRI pada anak laki-laki berusia 3 minggu dengan empiema
subdural GBS
Gambar 2. Waktu diagnosis berbagai komplikasi neurologis pada bayi muda dengan
meningitis bakteri akut
Gambar 3. Gambaran MRI dari anak laki-laki berusia 3 bulan dengan meningitis GBS
dan infark
Sembilan belas pasien (22.4%) melewati prosedur operasi: drainase ekstraventrikular pada 11
pasien, shunt subdural-peritoneal pada 2 pasien, ventriculoperitoneal shunt pada 8 pasien untuk
tatalaksana hidrosefalus, dan 8 drainase subdural bilateral. Tujuh belas dari 19 pasien yang
dioperasi selamat, yang mana 13 (76.5%) diantaranya mengalami sekuele neurologis saat
dipulangkan. Kira-kira satu per tiga (6 pasien, 31.6%) dari pasien menerima operasi ulang,
dikarenakan infeksi dari shunt tersebut pada 3 pasien dan fungsi shunt yang tidak baik pada 3
pasien. Selama masa penelitian, prinsip utama tatalaksana untuk komplikasi ini adalah termasuk
intervensi surgikal dan protokol kontrol lebih lanjut.
Tiga puluh delapan mengalami hasil yang tidak baik (44.7%) ; Tabel 2) termasuk kematian pada
9 pasien (10.6%) yang mana empat diantaranya pulang paksa ketika masa kritis, empat
meninggal akibat gagal organ multipel setelah meningitis, dan satu meninggal setelah episode
lain bakteremia ketika masih mengkonsumsi antibiotik. Dua puluh sembilan dari 76 pasien yang
selamat, mengalami sekuele neurologis ketika dipulangkan (38.2%). Rasio hasil yang buruk
secara signifikan ditemukan pada pasien dengan komplikasi neurologis dibandingkan dengan
pasien tanpa komplikasi neurologis (55.4 vs. 10.0%, p <0.001). Tujuan kami adalah untuk
menentukan faktor prediksi yang signifikan dalam menentukan hasil akhir yang buruk. Kami
menemukan syok septik, gagal nafas yang memerlukan intubasi, ketidakseimbangan elektrolit,
dan kejang yang terjadi pada 3 hari pertama dari meningitis secara signifikan berhubungan
dengan rasio yag lebih tinggi dalam terjadinya hasil yang buruk (Tabel 3). Setelah regresi
logistik multivariat, kejang-kejang (adjusted odd ratio [aOR]: 4.76, 95% confidence interval
[CI]: 1.7-13.0, p = 0.002) dan syok septik (aOR: 6.04; 95% CI: 1.35 -27.0, p = 0.019) merupakan
prediktor independen untuk menentukan hasil yang buruk.
DISKUSI
Penelitian kohort terbaru dengan populasi nasional menemukan bahwa insiden dari meningitis
pada bayi adalah 0.38 per 100 kelahiran hidup dan hal ini dihubungkan dengan rasio kasus fatal
yang signifikan yaitu 8%. Penelitian menyeluruh lain melaporkan terdapat 23% dari pasien yang
selamat mengalami kompliaksi serius pada sistem saraf pusatnya. Walaupun begitu, pada
penelitian saat ini , kami menemukan angka yang secara signifikan lebih tinggi dari komplikasi
neurologis di penelitian kohort kami, dan sampai angka 44.7% dari bayi mengalami sekuele
neurologis saat dipulangkan. Kami memikirkan bahwa populasi penelitian yang berbeda,
tatalaksana yang diberikan, dan definisi dari komplikasi SSP mungkin saja menyebabkan
perbedaan hasil ini. Selanjutnya, kelompok usia yang berbeda, penyebab yang berbeda, dan
komorbid dasar dan hasil. Sebuah ulasan menyimpulkan bahwa sekitar setengah dari pasien yang
selamat dari meningitis menderita neurologis fokal; namun, banyak penelitian yang diulas
merupakan penelitian yang dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu. Ketika dibandingkan dengan
laporan pada kelompok usia yang berbeda pada waktu baru-baru ini, kami menemukan
komplikasi neurologis dan sekuele terjadi pada 23-74% dari semua bayi (<3 bulan) dengan
meningitis, secara signifikan lebih tinggi pada bayi dibandingkan pada anak dan dewasa, kecuali
pada sebuah penelitian terhadap pasien alkoholisme ditemukan hasil yang buruk pada 58% kasus
meningitis akut dan 35% dari pasien tersebut meninggal.
GBS tetap menjadi paling banyak yang menyebabkan meningitis pada bayi < 3 bulan. Beberapa
penelitian telah mendokumentasikan bahwa profilaksis intrapartum pada ibu hamil dengan
kolonisasi GBS telah menurunkan angka insiden penyakit GBS onset awal; namun, hal ini tidak
memiliki efek signifikan terhadap penyakit GBS onset lambat. Dalam penelitian kohort kami,
GBS ditemukan pada lebih dari setengah kasus meningitis, banyak terdapat pada kasus onset
lambat (33 kasus, 84.6%) dan penelitian kami sebelumnya menemukan bahwa lebih dari
setengah dari kasus penyakit GBS pada neonatal intensive care unit menyebabkan meningitis.
Selanjutnya, kasus meningitis GBS pada bayi dilaporkan memiliki angka kematian 11.4%, dan
32% dari meningitis GBS memiliki kecacatan perkembanga neurologis. Walaupun beberapa
strain GBS resisten terhadap penisilin, yang berarti meningitis GBS jarang diatasi dengan tidak
adekuat, komplikasi neurologis tetap terjadi walaupun telah diberikan tatalaksana dengan waktu
yang efektif. Dengan begitu, monitoring secara agresif mengenai munculnya komplikasi
neurologis pada bayi sudah pasti diperlukan.
Pada penelitian saat ini, empiema subdural atau abses terjadi pada kurang lebih satu dari lima
bayi dengan meningitis bakteri, yang mana angka tersebut lebih tinggi persentasenya
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya menemukan empiema
subdural postmeningitis lebih dapat terjadi pada bayi dikarenakan patofisiologi yang unik pada
bayi. Pada penelitian ini, hanya hampir setengah (44.4%) dari pasien yang melakukan intervensi
neurosurgical untuk empiema dan tidak ada dari mereka yang menerima evakuasi surgikal.
Hampir seluruh pasien menerima tatalaksana antibiotik yang lama (median durasi 45 hari;
rentang: 24-73 hari) dan hanya satu pasien yang pada akhirnya meninggal. Pengalaman kami
sesuai dengan guideline baru-baru ini yang mengatakan bahwa 3-4 minggu antibiotik
direkomendasikan sejak empiema telah dievakuasi, dan sebuah hasil yang optimal dapat terjadi
dengan durasi yang lebih lama ketika pasien ditatalaksana secara konservatif.
Penelitian saat ini memiliki beberapa keterbatasan penting. Pertama, kami tidak secara rutin
melakukan follow- up pencitraan kranial, dan beberapa kerusakan saraf dapat saja terlewatkan,
termasuk efusi subdural asimtomatik dan empiema subdural subklinikal. Kedua, hampir seluruh
pasien dilakukan pungsi lumbal setelah insiasi antibiotik empiris dan beberapa dari mereka
memiki kultur CSS negatif. Kasus-kasus ini dimasukkan hanya ketika dokter yang merawat
termasuk di dalam database, dan selanjutnya pasien dengan kultur kurang terwakili. Selanjutnya
beberapa dari tatalaksana dan pilihan antibiotik mungkin saja berubah dalam kurun waktu 10
tahun periode penelitian. Dengan begitu, terdapat sedikit keterbatasan dari reabilitas kesimpulan.
Akhirnya, kami tidak memiliki follow-up jangka panjang dari pasien-pasien yang sembuh, dan
informasi mengenai perkembangan neurologis mereka juga tidak tersedia.
Tabel 3. Faktor risiko dari hasil akhir yang buruk (kematian atau gejala sisa neurologis
saat pulang) melalui analisis univariat dan multivariat
KESIMPULAN
Rata-rata tiga per empat bayi dengan meningitis bacterial akut mengalami komplikasi
neurologis walaupun telah diberikan antibiotik secara efektif, yang mana menunjukkan
pentingnya follow-up yang agresif. Hampir semua pasien menerima tatalaksana konservatif.
Sekuele neurologis terdapat pada persentase yang tinggi dari pasien yang sembuh, terutama pada
pasien yang membutuhkan intervensi surgikal. Kejadian yang lebih dini dari kejang dan syok
septik dapat menjadi prediktor dari hasil yang buruk. Dengan begitu, follow-up jangka panjang
dari kasus-kasus ini sangat diperlukan mengingat mereka merupakan kelompok yang rentan
mengalami kecacatan neurologis.