Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fistula Vesiko Vagina banyak ditemukan di negara sedang berkembang
sebagai akibat persalinan yang lama maupun penanganan yang kurang baik. Di
negara maju Fistula Vesiko Vagina terbanyak disebabkan oleh tindakan operasi
histerektomi baik secara abdominal maupun transvaginal. (Sarwono, 2010)
Fistula Vesiko Vagina merupakan kasus yang tidak seorangpun
membayangkan akan terjadi pada dirinya. Penderitaan pasien, bukan hanya pada
fisik saja berupa mudahnya mengalami ISK, namun memiliki dampak psikososial
yang dirasakan lebih menyakitkan. Penderita merasa terisolasi dari pergaulan,
keluarga dan lingkungan kerjanya oleh karena senantiasa mengeluarkan urine dan
bau yang tidak sedap setiap saat. Tidak jarang suami akan meninggalkannya
dengan alasan tidak terpenuhinya kebutuhan biologis dengan wajar. (Sarwono,
2010)
Kasus Fistulla Obstetri seringkali dialami oleh para wanita dari kalangan
sosio ekonomi yang rendah dimana pada saat kehamilan dan persalinan tidak
mendapat pelayanan yang memadai sehingga persalinan berlangsung lama dan
terjebak pada persalinan kasip.
Kompresi kepala janin pada jalan lahir akan menyebabkan dinding vagina,
kandung kemih serta urethra mengalami nekrosis dan selanjutnya akan terjadi
fistula. Kehidupan masyarakat dengan tingkat sosio ekonomi yang rendah akan
menyebabkan gangguan kekurangan gizi yang menahun, akibatnya pada saat usia
reproduksi dan melahirkan kelak akan mengalami gangguan imbang janin dan
jalan lahir.
Pada kasus seperti ini apabila tidak mendapatkan pelayanan obstetri yang
memadai saat persalinan, penderita akan mengalami persalinan kasip.
Angka kejadian pasti di Indonesia sulit didapatkan oleh karena banyak
laporan hanya menggambarkan kejadian pada penderita yang datang ke Rumah
Sakit. WHO (1991) melaporkan angka kejadian di Afrika 55 – 80 per 100.000
kelahiran hidup. Di Ethiopia 90 % disebabkan oleh persalinan kasip.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1. Agar mahasiswa dapat memberikan asuhan kebidanan pada ibu post
fistuloraphy atas indikasi fistula vesiko vaginalis rawatan hari ke-5 dan 6
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian data subjektif pada ibu post fistuloraphy atas
indikasi fistula vesiko vaginalis di ruang Ginekologi Kebidanan RSUP Dr.
M. Djamil Padang
2. Melakukan pengkajian data objektif pada ibu post fistuloraphy atas
indikasi fistula vesiko vaginalis di ruang Ginekologi Kebidanan RSUP Dr.
M. Djamil Padang
3. Melakukan diagnosis pada ibu post fistuloraphy atas indikasi fistula vesiko
vaginalis di ruang Ginekologi Kebidanan RSUP Dr. M. Djamil Padang
4. Melakukan penatalaksanaan asuhan kebidanan pada ibu post fistuloraphy
atas indikasi fistula vesiko vaginalis di ruang Ginekologi Kebidanan
RSUP Dr. M. Djamil Padang
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana memberikan asuhan kebidanan pada ibu post fistuloraphy atas
indikasi fistula vesiko vaginalis rawatan hari ke-5 dan 6?
2. Bagaimana cara pengumpulan data Subjektif, Objektif, Assesment,
Planning, pada ibu post fistuloraphy atas indikasi fistula vesiko vaginalis
rawatan hari ke-5 dan 6 yang dituangkan dalam bentuk SOAP?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian
Fistula genitourinaria adalah terbentuknya hubungan antara traktus genitalis
dan traktus urinarius. Bentuk yang tersering adalah fistula vesikovaginal dan
fistula ureterovaginal.
Fistula vesikovaginal yaitu terbentuknya fistel atau lubang pada dinding
vagina yang menghubungkan kandung kemih dengan vagina, akibatnya urine
keluar melalui saluran vagina tanpa disadari. (Sarwono, 2010)

2.2 Etiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Fistula Vesiko Vagina antara
lain :

1. Komplikasi Obstetrik, yaitu terjadi karena persalinan.

a) Karena robekan oleh forceps, alat-alat yang meleset atau karena sectio
sesare
b) Karena nekrosis tekanan, dimana jaringan tertekan lama antara kepala
anak dan sympisis seperti pada persalinan dengan panggul sempit,
hydrocepalus atau kelainan letak. Kalau pembukaan belum lengkap dapat
terjadi fistula cervicalis atau fistel ureter, sedangkan pada pembukaan
lengkap biasanya terjadi fistula vesico vaginalis. Pengawasan kehamilan
yang baik disertai pimpinan dan penanganan persalinan yang baik pula
akan mengurangi jumlah fistel akibat persalinan.
Fistel karena perlukaan atau robekan terjadi segera setelah partus, sedangkan fistel
karena nekrosis (partus lama) terjadi 4-7 hari post partum.
2. Operasi Ginekologi, terjadi pada :

a) Karsinoma, terutama karsinoma servisis uteri


b) Karena penyinaran : baru timbul 2-5 tahun setelah penyinaran
c) Karena operasi ginekologis : pada histerektomi abdominal dan vaginal
atau operasi untuk prolaps dapat terjadi perlukaan vesika urinaria. Pada
histerektomi totalis dapat terjadi lesi dari ureter atau kandung kemih.

3. Fistula Traumatik, terjadi pada:

a) Pada abortus kriminalis


b) Perlukaan oleh benda-benda runcing, misalnya karena terjatuh pada benda
yang runcing.
c) Karena alat-alat : kateter, sonde, kuret

4. Penyebab lain yang jarang ditemukan seperti kondisi peradangan saluran


pencernaan, penyakit chronis, trauma yang berasal dari benda asing dan
kelainan kongenital

2.3 Gejala
Secara klinis gejala Fistula Vesiko Vagina mengalami inkontinen urine dan
tidak ada rasa nyeri. Komplikasi yang sering terjadi yaitu adanya iritasi pada
daerah perineum dan paha atas, dermatitis kronis, infeksi saluran kemih serta
penumpukkan kristal (Calculi pada buli-buli), amenorrhoe sekunder sebagai
akibat sentral oleh karena depresi berat dan endometritis. Juga dapat terjadi
striktura / stenosis vagina yang merupakan gejala yang sering bersamaan dengan
fistula.
Fistula sebagai akibat trauma obstetrik dapat timbul segera setelah persalinan
atau beberapa lama setelah persalinan, sedangkan fistula akibat tindakan operasi
ginekologi 5 - 14 hari pasca bedah.
Pada fistula yang kecil urine dapat merembes sedikit. Gejala paling sering
dari Fistula Vesiko Vagina adalah inkontinensia total involunter yaitu adanya
iritasi daerah vulva dan seringnya terjadi ISK. Trias gejala yang timbul setelah
tindakan pembedahan : sekret air kencing, nyeri perut dan kenaikan suhu badan
dapat dipastikan adanya Fistula Vesiko Vagina.

2.4 Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya fistula vesikovaginalis adalah:
a) Persalinan lama
b) Riwayat pelvic inflamatory disease
c) Endometriosis
d) Operasi pelvis
e) Keganasan pelvis
f) Infeksi diabetes
g) Perubahan anatomi pelvis -

2.5 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis fistula vesikovaginalis, yaitu :
1. Simple vesicovaginal fistulae
a) Ukuran fistula < 2-3 cm dan terletak supratrigonal
 Tidak ada riwayat radiasi atau keganasan
 Panjang vagina normal
2. Complicated vesicovaginal fistulae
a) Mempunyai riwayat radiasi sebelumnya
b) Terdapat keganasan pelvis
c) Vagina pendek
d) Ukuran fistula > 3 cm
e) Mengenai trigonum vesika urinaria

2.6 Diagnosis
Pada Fistula yang besar untuk membuat diagnosis tidaklah sulit oleh karena
dengan mudah dapat dilihat dan diraba, akan tetapi Fistula yang kecil sangat sulit.
Untuk itu diperlukan pemeriksaan tambahan antara lain :
1. Tes pewarnaan Urine (Test Metilen Biru)
Dilakukan jika dengan pemeriksaan Spekulum lokasi Fistel sukar ditentukan.
Beberapa kasa diletakkan dalam vagina, kemudian kandung kemih diisi dengan
metilen biru melalui kateter sebanyak 30-50 cc. Setelah 3 – 5 menit kasa dalam
vagina dikeluarkan satu per satu dengan mudah dapat terlihat adanya cairan
metilen biru dan sekaligus dapat mengetahui lokasi Fistula Vesiko Vagina.
2. Cara lain yang hampir sama yaitu ( Test Tampon Moir )
Disini digunakan untuk membedakan antara Fistula Utero Vagina yang kecil dan
Fistula Vesiko Vagina.
Caranya : 150 – 200 cc larutan metilen biru dimasukkan dalam kandung kemih,
sebelumnya sudah dimasukkan 3 tampon dalam vagina. Pasien kemudian disuruh
jalan-jalan selama 10-15 menit, kemudian tampon dikeluarkan. Jika tampon
bagian bawah basah dan berwarna biru maka kebocoran dari urethra. Jika bagian
tengah basah dan berwarna kebiruan berarti dari Fistula Vesiko Vagina. Jika
bagian atas yang basah tetapi tidak berwarna biru berarti dari ureter.
3. Endoskopi ( Cystoscopy )
Dapat membedakan lokasi dan ukuran Fistel serta derajat reaksi radang sekitar
Fistel. Banyak Fistel yang terjadi sesudah tindakan histerektomi dan lokasi
biasanya dibelakang cela intra uterin dan berhubungan dengan dinding anterior
vagina.
IVP dilakukan untuk membedakan Fistula Vesiko Vagina atau Obstruksi Ureter
dengan retrograde Pyelogram paling bermakna untuk menentukan adanya Fistula
Vesiko Vagina. Retrograde Pyelogram dilakukan jika pada IVP ditemukan
keadaan yang abnormal atau lokasi Fistula sukar ditentukan.

2.7 Prinsip dan Metoda Penanganan


Suatu fistula yang diketahui 3 – 7 hari sesudah operasi dapat diperbaiki
segera secara transabdominal atau transvaginal. Tetapi fistula yang diketahui
sesudah 7 – 10 hari postoperasi akan diobservasi sampai proses radang dan
indurasi hilang.
Suatu fistula postoperasi yang kecil dalam keadaan yang tenang dapat
sembuh, dengan drainase buli-buli selama 2-3 minggu. Ketika didiagnosis adanya
fistula vesikovaginal postoperasi, stent ureter segera dimasukkan dan dipasang
selama 2 minggu. Karena oedema, pemasangan ini bisa gagal dan diulangi
minggu berikutnya. Penyembuhan spontan fistula ureterovaginal dapat terjadi
dimana kontinuitas lumen ureter dan infralesi ureter normal.
Fistula yang kecil, berukuran < 2 mm, dahulu dilakukan fulgurasi atau
kauterisasi kimia dengan drainase buli-buli. Cara ini memiliki angka kegagalan
tinggi dengan tambahan perlukaan serta kerusakan pada jaringan sekitar.
Penanganan modern fistula persisten dengan pembedahan meskipun fistula
tersebut berukuran sangat kecil.
Tidak ada penanganan medikal yang dapat mengkoreksi fistula vesikovaginal
dan fistula ureterovaginal dengan memuaskan. Meskipun estrogen conjugated
(oral atau transvaginal) dapat memperbaiki jaringan vagina menjadi lebih lunak
dan lembut untuk persiapan reparasi fistula. Hal ini penting untuk wanita
postmenopause dan wanita dengan vaginitis atropik. Dapat juga diberikan
estrogen vaginal cream pada pasien hipoestrogenik. Estrogen vaginal cream
diberikan selama 4 – 6 minggu, dosis 2 – 4 gr saat tidur sekali per minggu.
Untuk mengurangi risiko cystitis, produksi mukus yang banyak, dan
terbentuknya batu buli-buli, maka urine diasamkan dengan diberikan Vitamin C
oral 3 x 500 mg per hari. Untuk higiene pribadi dan perawatan kulit, maka rendam
duduk dengan kalium permanganat. Untuk fistula yang kecil, dapat dilakukan
pemasangan katheter selama 4 – 6 minggu. Meskipun drainase dengan katheter
atau fulgurasi pada pinggir fistula jarang berhasil sebagai pengobatan fistula.

Prinsip Perbaikan dengan Pembedahan:

1. Waktu. Dianjurkan menunggu selama 3-6 bulan sampai infeksi dan udem
hilang. Penutupan dini saat diagnosis ditegakkan merupakan alternatif,
bilamana jaringan sekitar kering dan bebas infeksi. Fistula akibat radiasi
penutupan dilakukan sesudah 12 bulan.
2. Posisi yang tepat sangat diperlukan, dengan pasien biasa pada posisi
litotomi dorsal sedikit Trendelenburg’s. Sebagian besar fistula nampak
pada posisi ini. Pada beberapa kasus dengan posisi knee-chest, terutama
untuk lesi vaginal anterior dengan tarikan pada bagian belakang pubis.
Asisten pada kedua sisi diperlukan, dan paparan yang bagus didapat
dengan menggunakan retraktor Sims, Breisky, atau Wertheim .
3. Mobilisasi dan diseksi saluran fistula dan jaringan sekitar sangat penting.
Dianjurkan mengeksisi seluruh mukosa vagina untuk menutup saluran
fistula.
4. Penutupan dengan pembedahan dilakukan tanpa tekanan dan sebaiknya
diperhatikan kedua sisinya agar tidak terjadi tumpang tindih. Jika
kemudian tidak bisa dilakukan, interposisi jaringan flap mungkin dapat
dikerjakan. Penutupan buli-buli harus kuat, dan ini bisa diuji dengan
memasukkan larutan metilen biru atau susu steril ke dalam buli-buli.
5. Drainase buli-buli postoperasi lebih baik dipasang katheter suprapubis
selama 10-14 hari, dan keuntungan pemasangan katheter suprapubis
dibanding katheter uretra terutama pada penurunan risiko infeksi saluran
kencing, pasien lebih nyaman, dan pengosongan dini
6. Materi dan instrumen

Penggunaan lampu penerang, instrumen dan materi yang memadai sangat


dianjurkan. Instrumen yang diperlukan gunting Kelly, Allis forsep, pengait,
retraktor Sims, alat penghisap ukuran kecil dan bisturi dengan pegangan
panjang. Benang yang dipakai ukuran 3-0 atau 4-0 yang diserap tubuh dengan
jarum atraumatik. Gunakan jahitan interupted karena lebih hemostatik, dan dijahit
2 lapis.
Macam-macam benang yang diserap (absorbable) :
1) Catgut : diabsorbsi lengkap dalam 2 – 3 minggu
2) Polyglactin 910 (Vicryl) : diabsorbsi lengkap dalam 60 – 90 hari
3) Polyglycolic acid (Dexon) : diabsorbsi lengkap dalam 90 – 120 hari
4) Polydioxanone (PDS II) : diabsorbsi lengkap dalam 180 hari
2.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pre-operasi
a) Konseling pasien dan keluarga tentang keberhasilan operasi dan
kompliksainya
b) Persiapan fisik , dan laboratorium
c) Sebelum menentukan perencanaan penanganan, maka harus dapat
diidentifikasi dengan baik dan benar mengenai :
 Keadaan organ urogenital
 Lokasi, ukuran dan jumlah fistula
 Jaringan sekitar fistula dapat atau layak untuk penutupan fistula
 Fungsi uretra dan leher buli-buli
 Jika ada infeksi saluran kemih harus diobati dahulu dengan pemeriksaan
kultur urine dan tes sensitivitas. Sehingga dapat diberikan antibiotika yang
tepat karena adanya fistula penderita sering mengalami bakteriuri
d) Jika ada peradangan pada vagina dan proses inkrustasi pada pinggiran
fistula diperlukan perawatan khusus dengan pembilasan vagina dengan
mengunakan larutan asam laktat satu sendok dilarutkan dalam satu liter air
hangat 1 -2 kali sehari. Sedangkan pembilasan buli-buli dengan boorwater.
e) Diberikan injeksi IM 1 mg estradiolbenzoat setiap hari selama 1-2 minggu
dilanjutkan 2 minggu pasca bedah.
f) Iritasi kulit genitalia eksterna dan sekitarnya yang mengalami dermatitis
diberikan salep antibiotika dan setelah peradangan sembuh diberikan
perlindungan salep zinc

2. Penatalaksanaan operasi
a. Operasi transvaginal
Reparasi transvaginal memberikan keuntungan, perdarahan minimal,
morbiditas dan mortalitas rendah, waktu operasi lebih pendek, dan waktu
pemulihan post operasi lebih pendek. Pendekatan pervaginal mengurangi
manipulasi saluran pencernaan, mengurangi morbiditas khususnya pada pasien
dengan fistula karena radiasi.
Sebelum memulai operasi transvaginal harus terlebih dulu dilakukan seleksi
terhadap jenis fistula urogenital yang akan dioperasi .
Jenis fistula urogenital :
1) fistula urethrovaginal
2) fistula vesikovaginal
3) fistula vesikoservikal
4) fistula ureterovaginal
Penanganan dengan pendekatan transvaginal hanya dikerjakan pada jenis
fistula urethrovaginal , fistula vesikovaginal , fistula vesikoservikal dan tidak
dilakukan pada fistula ureterovaginal yang biasanya terjadi sebagai komplikasi
histerektomi.

b. Operasi transabdominal ( suprapubik )


Pendekatan yang biasa dipakai oleh ahli ginekologi adalah melalui vagina.
Terdapat beberapa fistula yang tidak bisa melalui perbaikan vagina. Jika pasien
dirujuk ke ahli urologi, pendekatan abdominal menjadi pilihan utama kecuali
fistula terletak di bagian yang sangat rendah dari vagina. Ada beberapa situasi
yang oleh seorang ahli ginekologi disarankan untuk dilakukan pendekatan
abdominal :
a) Kegagalan perbaikan berulang kali.
b) Diameter fistula lebih dari 4 cm
c) Daerah operasi sangat sempit, ada scar vagina.
d) Jika lubang fistula berdekatan dengan muara ureter, diperlukan
pemasangan ureter katheter, mobilisasi buli-buli.
e) Lubang ureter menutup puncak fistula.
f) Jika memerlukan ureteroneocystostomy
g) Pasien menginginkan untuk perabdominal
h) Kontraktur vesika sehingga diperlukan operasi tambahan membesar
kapasitas vesika dengan penambahan dari sigmoid, colon, atau ileum
Prinsip pendekatan abdominal untuk penutupan fistula sama seperti pada
pendekatan vagina. Dinding buli-buli harus dapat bergerak bebas, dan jahitan
penutup harus dua lapis dengan jahitan jelujur 3-0 poliglikolik atau kromik. Bila
lubang ureter menutup puncak fistula, dipasang stent ureter untuk mencegah
perlukaan pada ureter. Pada keadaan dimana ureter tepat di atas fistula, dilakukan
pemotongan dan pemasangan kembali jauh dari daerah penutupan. Pada kasus
dengan peradangan hebat atau minimalnya vaskularisasi perlu dilakukan
pembersihan sebelumnya, omental flap atau paravesical peritoneal flap dapat
membantu proses penyembuhan.

3. Penatalaksanaan pasca operasi


a. Luka operasi penutupan fistula pada dinding vagina dilindungi dengan
sofratule selama 24 jam pasca bedah untuk mencegah infeksi
b. Dipasang dauer katheter selama 2 minggu agar buli-buli tetap kering
sehingga buli-buli tidak teregang.
c. Buli-buli setiap hari dibilas dua kali dengan 50 ml larutan boorwater 3%
dan instilasi antibiotika (uronebacetin) 10 ml selama 30 menit, selama ini
dauer katheter diklem untuk sementara. Kantong penampung urin setiap
24 jam diganti yang baru .
d. Selama 7 hari post operasi bedrest total, kemudian mobilisasi ditempat
tidur miring kiri dan ke kanan dan setelah 12-14 hari boleh jalan
e. Pada hari ke-10 pasca bedah katheter diklem setiap 20 menit dan
berikutnya diklem lebih lama dan maksimal setiap 2 jam sekali, pada hari
ke-14 katheter dilepas. Jika penderita dapat kencing, maka penderita
disuruh mengosongkan buli-buli setiap 1 jam, kemudian bertahap setiap 2-
3 jam.
f. Proses penyembuhan luka operasi dipercepat dengan injeksi IM 5 mg
folikelhormon seminggu sekali
g. Jika selama 2-3 hari setelah katheter dilepas, kencing tidak bocor lagi
maka penderita dipulangkan dan kontrol 6 minggu kemudian
h. Disarankan tidak melakukan coitus selama 10-12 minggu setelah pulang
dari rumah sakit.

Komplikasi pasca operasi :


a. Ureter obstruksi, dapat berupa obstruksi karena terjahit atau terlipat akibat
jahitan di sekitar ureter. Dapat diketahui dengan evaluasi cystoskopi.
b. Perdarahan vesika, dapat terjadi akibat perlukaan mukosa vesika. Bekuan
dapat menyumbat katheter sehingga distensi vesika yang berlebihan
mengakibatkan jaringan yang baru dijahit terbuka. Bekuan ini dapat
dibersihkan dengan penghisap melalui uretra.
c. Infeksi , terjadi karena invasi kuman daerah genital, umumnya gram
negatip. Antibiotika profilaksis diberikan sebelum operasi.
d. Fistula terbuka, kegagalan penutupan fistula biasanya diketahui hari 7 –
10, penderita mengeluh ngompol kembali. Ganti katheter dengan ukuran
lebih besar memastikan urine dapat keluar dengan lancar, penutupan
spontan diharapkan dapat terjadi. Jika tetap bocor, dilakukan operasi ulang
setelah 3 bulan
e. Inkontinensia , pada vesika yang kontraktur terjadi gangguan pada
sfingter, meskipun fistula sudah tertutup baik, penderita tidak dapat
menahan kencing, urine keluar spontan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala :
Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman
karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan
dengan efek proses penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda :
Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri).
Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). Tekanan darah : hipotensi,
termasuk postural. Kulit/membran mukosa : turgor buruk, kering, lidah pecah-
pecah (dehidrasi/malnutrisi).
c. Integritas ego
Gejala :
Ansietas, ketakutan misalnya : perasaan tak berdaya/tak ada harapan. Faktor stress
akut/kronis misalnya : hubungan dengan keluarga dan pekerjan, pengobatan yang
mahal.
Tanda :
Menolak, perhatian menyempit, depresi.
d. Eliminasi
Gejala :
Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau berair. Episode diare
berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tak dapat dikontrol
(sebanyak 20-30 kali defekasi/hari); perasaan dorongan/kram (tenesmus); defekasi
darah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feses. Pendarahan per rektal. Riwayat
batu ginjal (dehidrasi).
Tanda :
Menurunya bising usus, tak adanya peristaltik atau adanya peristaltik yang dapat
dilihat di hemoroid, fisura anal (25 %), fistula perianal.
e. Makanan dan cairan
Tanda :
Anoreksia, mual dan muntah. Penurunan berat badan, tidak toleran terhadap
diit/sensitif : buah segar/sayur, produk susu, makanan berlemak.
Gejala :
Penurunan lemak, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa bibir
pucat; luka, inflamasi rongga mulut.
f. Hygiene
Tanda :
Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis menunjukan
kekurangan vitamin. Bau badan.
g. Nyeri dan kenyamanan
Gejala ;
Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri bawah (mungkin hilang dengan defekasi),
titik nyeri berpindah, nyeri tekan (atritis).
Tanda :
Nyeri tekan abdomen/distensi.
h. Keamanan
Gejala ;
Riwayat lupus eritematosus, anemia hemolitik, vaskulitis. Arthritis (memperburuk
gejala dengan eksaserbasi penyakit usus). Peningkatan suhu 39-40°Celcius
(eksaserbasi akut). Penglihatan kabur, alergi terhadap makanan/produk susu
(mengeluarkan histamine kedalam usus dan mempunyai efek inflamasi).
Tanda :
Lesi kulit mungkin ada misalnya : eritema nodusum (meningkat, nyeri tekan,
kemerahan dan membengkak) pada tangan, muka; pioderma ganggrenosa (lesi
tekan purulen/lepuh dengan batas keunguan) pada paha, kaki dan mata kaki.
i. Seksualitas
Gejala :
Frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual.
j. Interaksi sosial
Gejala :
Masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi. Ketidak mampuan aktif
dalam sosial.
k. Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala :
Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.

3.2 Diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan pre operasi :
a. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan. Interpretasi informasi.
b. Ketakutan/ansieatas berhubungan dengan krisis situasional, ketidak akraban
dengan lingkungan. Ancaman kematian; perubahan pada status kesehatan,
berpisah dengan sistem pendukung yang biasa.
c. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kondisi interaktif
diantara individu dan lingkungan, lingkungan eksternal, misalnya : struktur fisik.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi kulit yang rusak, trauma jaringan, statis
jaringan tubuh.

Diagnosa keperawatan post operasi :


a. Diare berhubungan inflamasi, iritasi atau mal absorbsi usus, adanya toksin,
penyempitan segmental lumen.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
banyak melalui rute normal (diare berat, muntah), status hipermetabolik,
pemasukan terbatas (mual).
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguanpenyerapan nutrisi, status hipermetabolik, secara medik masukan
dibatasi : takut makanan yang dapat menyebabkan diare.
d. Ansietas berhubungan dengan faktor psikologis/rangsang simpatis (proses
inflamasi), ancaman konsep diri, ancaman terhadap perubahan status kesehatan,
status sosioekonomis, fungsi peran, pola interaksi.
e. Nyeri berhubungan dengan hiperperistaltik, diare lama, iritasi kulit/jaringan,
ekskoriasi fisura perirektal, fistula.
f. Koping individu tak efektif berhubungan dengan stressor besar,
pengulangan periode waktu, proses penyakit yang tak diduga, kerentanan pribadi,
nyeri hebat, kurang tidur, istirahat, krisis situasi, tidak adekuat metode koping;
kurang sistem pendukung.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber.

3.3 Perencanaan/intervensi
a. Diare berhubungan dengan inflamasi, iritasi atau mal absorbsi usus,adanya
toksin, penyempitan segmental lumen.
Tujuan :
Diare dapat teratasi
Kriteria hasil :
1) Melaporkan penurunan frekuensi defekasi
2) konsistensi kembali normal
Intervensi Rasional

Observasi dan catat frekuensi defekasi, Membantu membedakan penyakit


karakteristik, jumlah dan faktor individu dan mengkaji beratnya
pencetus episode.

2) Tingkatkan tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur.


Rasional : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme
bila infeksi atau pendarahan sebagai kompikasi. Defekasi tiba-tiba dapat terjadi
tanpa tanda dan dapat tak terkontrol, penigkatan risiko inkontinensia/jatuh bila
alat-alat tidak dalam jangkauan tangan.
3) Buang feses dengan cepat. Berikan pengharum ruangan.
Rasional : Menurunkan bau tak sedap untuk menghindari rasa malu pasien.
4) Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare, misalnya : sayuran
segar dan buah, sereal, bumbu, minuman karbonat dan produk susu.
Rasional : Menghindarkan iritan meningkatkan istirahat usus.
5) Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap. Tawarkan minuman
jernih tiap jam; hindari minuman dingin.
Rasional : Memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan
rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara bertahan cairan mecegah kram
dan diare berulang.; namun cairan dingin dapat meningkatkan motilitas usus.
6) Berikan kesempatan untuk menyatakan frustasi sehubungan dengan proses
penyakit.
Rasional :. Adanya penyakit dengan penyebab tak terkethui sulit untuk sembuh
dan yang memerlukan intervensi bedah dapat menimbulkan reaksi stress yang
dapat memperburuk situasi.
7) Observasi demam, takikardia, letargi, leukositosis, penurunan protein serum,
ansietas, dan kelesuan.
Rasional : Tanda bahwa toksik megakolon atau perforasi dan peritonitis akan
terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik segera
Kolaborasi
8) Berikan obat sesuai indikasi : Antikolinergik contoh belladonna tinkur,
atropin, difenoksilat (Lemotil); anodin supositoria.
Rasional : Menurunkan motilitas/peristaltik GI dan menurunkan sekresi digestif
untuk menghilngkan kram dan diare. Catatan: Penggunaan dengan hati-hati pada
KPU kaena dapat mencetuskan toksik megakolon.
9) Antibiotik
Rasional : Mengobati infeksi supuratif lokal.
10) Bantu/siapkan intervensi bedah.
Rasional : Mungkin perlu bila perforasi atau obstruksi usus terjadi atau penyakit
tidak berespon terhadap pengobatan medik.

b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan


banyak melalui rute normal (diare berat, muntah), status hipermetabolik,
pemasukan terbatas (mual).
Tujuan :
Resiko tinggi kekurangan volume cairan tidak terjadi
kriteria hasil :
1) Mempertahankan volume cairan adekuat (membrane mulosa lembab, turgor
kulit baik, pengisian kapiler baik)
2) Tanda-tanda vital stabil
3) Keseimbangan masukan dan haluaran dengan urin normal dalam
konsentrasi/jumlah.
Intervensi :
1) Awasi masukan dan haluaran, karakter, dan jumlah faces; perkirakan
kehilangan yang tak terlihat, mis., berkeringat. Ukur berat jenis urine; observasi
oliguria.
Rasional : memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal dan
kontrol penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan.
2) Kaji tanda vital (TD, nadi, suhu)
Rasional : hipotensi (termasuk postural), takikardia, demam, dapat menunjukan
respon terhadap dan/atau efek kehilangan cairan.
3) Observasi kulit kering berlebihan dan membrane mukosa, penurunan turgor
kulit, pengisian kapiler lambat
Rasional : menunjukan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi.
4) Ukur berat badan tiap hari.
Rasional : indikasi cairan dan status nutrisi.
5) Pertahankan pembatasan per oral, tirah baring; hindari kerja
Rasional : kolon di istirahatkan untuk penyembuhan dan untuk menurunkan
kehilangan cairan usus.
6) Observasi pendarahan dan tes feses tiap hari unuk adanya darah samar.
Rasional : diet tak adekuat dan penurunan absorpsi dapat menimbulkan defisiensi
vitamin K dan merusak koagulasi , potensial resiko pendarahan.
7) Catat kelemahan otot umum atau disritmia jantung.
Rasional : kehilangan usus berlebihan dapat menimbulkan ketidakseimbangan
elektrolit misalnya : kalium, yang perlu untuk fungsi tulang dan jantung.
Gangguan minor pada kadar serum dapat mengakibatkan adanya dan gejala
ancaman hidup.
kolaborasi
8) Berikan cairan parenteral, transfusi darah sesuai indikasi.
Rasional : mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan
untuk memperbaiki kehilangan/anemia. Catatan : cairan mengandung natrium
dapat dibatasi pada adnya enteritis regional.
9) Awasi hasil laboraturium, contih elektrolit (khususnya kalium, magnesium)
dan GDA (keseimbanga asam-basa).
Rasional : menentukan kebutuhan penggantian dan keefektifan terapi.
10) Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : mengoptimalkan evaluasi.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


gangguan absorpsi nutrient, status hipermetabolik, secara medik masukan dibatasi
: takut makanan yang dapat menyebabkan diare.
Tujuan :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1) Menunjukan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai sasaran.
2) Hasil nilai laboratorium normal.
3) Tak ada tanda malnutrisi.
Intervensi :
1) Timbang berat badan tiap hari.
Rasional : memberikan informasi tentang kebutuhan diit/keefektifan terapi.
2) Dorong tirah baring dan/atau pembatasan aktifitas selama fase sakit akut.
Rasional : menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori
dan simpanan energi.
3) Anjurkan istirahat sebelum makan.
Rasional : menenangkan peeristaltik dan meningkatkan energi untuk makan.
4) Berikan kebersihan oral.
Rasional : mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.
5) Sediakan makanan dalam variasi yang baik, lingkungan yang
menyenangkan.
Rasional : lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih kondusif
untuk makan.
6) Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen, flatus (susu).
Rasional : mencegah serangan akut/eksaserbasi gejala
7) Catat masukan dan perubahan simtamologi
Rasional : memberikan rasa kontrol pada pasien dan kesempatan untuk memilih
makanan yang diingikan/dinikmati, dapat meningkatkan masukan kolaborasi
8) Pertahankan puasa sesuai indikasi.
Rasional : istirahat usus menurunkan peristaltic dan diare dimana menyebabkan
malabsorpsi/kehilangan nutrisi.
9) Mulai/tambahkan diit sesuai indikasi , misalnya : cairan jernih, makanan
yang dihancurkan, rendah sisa : tinggi, tinggi kalori dan rendah serat sesuai
indikasi.
Rasional : memungkinkan saluran usus untuk mematikan kembali proses
pencernaan, protein perlu untuk penyembuhan integritas jaringan. Rendah bulk
menurunkan respon peristaltik terhadap makanan.
10) Berikan obat sesuai indikasi (misalnya : vitamin B12)
Rasional : malabsorpsi B12 akibat kehilangan nyata fungsi ileum. Penggantian
mengatasi depresi sumsum tulang karena proses inflamasi lama, meningkatkan
produksi SDM/memperbaiki anemia.

11) Berikan nutrisi parenteral total. Terapi IV sesuai indikasi.


Rasional : program ini mengistirahatkan saluran GI sementara memberikan nutrisi
penting.
d. Ansietas berhubungan dengan faktor psikologis/ rangsang simpatis (proses
inflamasi), ancaman konsep diri, ancaman terhadap perubahan status kesehatan,
status sosioekonomis, fungsi peran, pola interaksi.
Tujuan :
Ansietas dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1) Menunjukan rileks.
2) Melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat ditangani.
Intervensi :
1) Catat petunjuk prilaku misalnya gelisah, peka rangsang, menolak, kurang.
Rasional : indikator derajat ansietas/stress misalnya : pasien dapat merasa tidak
terkontrol dirumah, kerja/masalah pribadi. Stress dapat terjadi sebagai akibat
gejala fisik kondisi, juga reaksi lain.
2) Dorong menyatakan perasaan. Berikan umpan balik.
Rasional : membuat hubungan terapeutik. Membantu pasien/orang terdekat dalam
mengidentifikasi masalah yang menyebabkan stress. Pasien dengan diare berat
dapat ragu-ragu untuk meminta bantuan karena takut terhadap staf.
3) Tingkatkan perhatian mendengar pasien.
Rasional : validasi bahwa perasaan normal dapat membantu menurunkan
stress/isolasi dan meyakini bahwa “saya satu-satunya’’.
4) Berikan informasi yang akurat dan nyata tentang apa yang dilakukan,
misalkan, tirah baring, pembatasan masukan per oral, dan prosedur.
Rasional : keterlibatan pasien dalam perencanaan perawatan memberikan rasa
kontrol dan membantu menurunkan ansietas.
5) Berikan lingkungan tenang dan istirahat.
Rasional : memindahkan pasien dari stress luar meningkatkan relaksasi;
membantu menurunkan ansietas.
6) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan perhatian, perilaku
perhatian.
Rasional : tindakan dukungan dapat membantu pasien merasa stress berkurang,
memungkinkan energy untuk ditunjukan pada penyembuhan atau perbaikan.
7) Bantu pasien untuk mengidentifikasi/memerlukan prilaku koping yang
digunakan pada masa lalu.
Rasional : perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah/stress
saat ini, meningkatkan rasa kontrol diri pasien.
8) Bantu pasien belajar mekanisme koping baru, misalnya, teknik mengatasi
stress, keterampilan organisasi.
Rasional : belajar cara baru untuk mengatasi masalah dapat membantu dalam
menurunkan stress dan ansietas, meningkatkan kontrol penyakit.
Kolaborasi
9) Beri obat sesuai indikasi : sedatif, misalnya, barbiurat (Luminal): agen
antiansietas, misalnya diazepam (Valium).
Rasional : dapat di gunakan untuk menurunkan memudahkan istirahat.
10) Rujuk pada perawat spesialis psikiatrik, pelayanan sosial, penasehat agama.
Rasional : dibutuhkan bantuan tambahan untuk meningkatkan control dan
mengatasi episode akut/eksaserbasi dengan belajar untuk menerima penyakit
kronis dan konsekuensinya serta program terapi.

e. Nyeri berhubungan dengan hiperperistaltik, diare lama, iritasi kulit/jaringan,


ekskoriasi fisura perirektal, fistula.
Tujuan :
gangguan rasa nyaman nyeri dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
2) Tampak rileks.
3) Mampu tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk melaporkan nyeri.
Rasional : mencoba untuk mentoleransi nyeri, dari pada meminta analgesik.
2) Kaji laporan/kram abdomen atau nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas
(skala 0-10). Selidiki dan laporkan perubahan karakteritas nyeri.
Rasional : nyeri kolik hilang timbul pada penyakit chron. Nyeri sebelum defekasi
sering terjadi pada KU dengan tiba-tiba, dimana dapat berat dan terus menerus.
Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menyebabkan penyebaran
penyakit/terjadinya komplikasi, misalnya fistula kandung kemih, perforasi, toksik
megakolon.
3) Catat petunjuk non verbal, misalnya : gelisah menolak untuk bergerak.
Berhati-hati dengan abdomen, menarik diri dan depresi. Selidiki perbedaan
petunjuk verbal dan non verbal.
Rasional : bahasa tubuh/petujuk non verbal dapat secara psikologis dan fisiologik
dan dapat digunakan pada hubungan petunjuk verbal untuk mengidentifikasi
luas/beratnya masalah.
4) Kaji ulang faktor-faktor yang meningkatkan atau menghilangkan nyeri.
Rasional : dapat menunjukan dengan tepat pencetus atau faktor pemberat ( seperti
kejadian stress, tidak toleran terhadap makanan) atau mengidentifikasi terjadinya
komplikasi.
5) Izinkan pasien untuk memulai posisi yang nyaman, misalnya : lutut fleksi.
Rasional : menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa kontrol.
6) Beri tindakan yang nyaman (misalnya : pijatan punggung, ubah posisi) dan
aktifitas senggang.
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan
meningkatkan kemampuan koping.
7) Berikan perawatan kulit, misalnya : salep sween, jel karaya, desitin.
Rasional : Melindungi kulit dari asam usus, mencegah ekskoriasi.
8) Observasi adanya fistula perianal.
Rasional : fistula dapat terjadi dari erosi dan kelemahan dinding usus
9) Observasi/catat distensi abdomen, peningkatan suhu, penurunan tekanan
darah.
Rasional : dapat menunjukan terjadinya obstruksi usus karena inflamasi, edema
dan jaringan parut.
Kolaborasi
10) Lakukan modifikasi diit sesuai resep, misalnya : memberikan cairan dan
meningkatkan makanan padat sesuai toleransi.
Rasional : istirahat usus penuh dapat menurunkan nyeri, kram.
11) Berikan obat sesuai indikasi; misalnya : analgesik.
Rasional : nyeri dapat bervariasi dari ringan sampai berat dan perlu penanganan
untuk memudahkan istirahat adekuat dan penyembuhan.
f. Koping individu tak efektif berhubungan dengan stressor besar,
pengulangan periode waktu, proses penyakit yang tak diduga, kerentanan pribadi,
nyeri hebat, kurang tidur, istirahat, krisis situasi, tidak adekuat metode koping;
kurang sistem pendukung.
Tujuan :
koping individu kembali efektif.
Kriteria hasil :
1) Mengkaji situasi saat ini dengan tepat.
2) Mengidentifikasi perilaku koping tidak efektif dan konsekuensinya.
3) Mengakui kemampuan koping sendiri.
4) Menunjukan perubahan pola hidup yang perlu untuk membatasi/mencegah
kejadian berulang.
Intervensi :
1) Kaji pemahaman pasien/orang terdekat dan metode sebelumnya dalam
menerima proses penyakit.
Rasional : tentang masalah saat ini. Ansietas dan masalah lain dapat
mempengaruhi penyuluhan/belajar pasien sebelumnya.
2) Tentukan stress luar, misalnya : keluarga, teman, lingkungan kerja atau
sosial.
Rasional : stress dapat mengganggu respon saraf otonomik dan mendukung
eksaserbasi penyakit. Meskipun tujuan kemandirianpada pasien tergantung
menjadi penambah stressor.
3) Berikan kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan bagaimanan penyakit
telah mempengaruhi hubungan, termasuk masalah seksual.
Rasional : stressor penyakit mempengaruhi semua area hidup dan pasien
mengalami kesulitan mengatasi perasaan lemah/nyeri sehubungan dengan
kebutuhan hubungan/seksual.
4) Bantu pasien mengidentifikasi keterampilan koping efektif secara individu.
Rasional : penggunaan perilaku yang berhasil sebelumnya dapat membantu pasien
menerima situasi/rencana saat ini untuk masa datang.
5) Berikan dukungan emosi : pertahankan bahasa tubuh yang tidak
menghakimi bila merawat pasien.
Rasional : mencegah penguatan perasaan pasien tentang menjadi beban.
6) Berikan periode tidur/istirahat tanpa gangguan.
Rasional : kelelahan karena penyakit cenderung merupakan masalah berarti,
mempengaruhi kemampuan mengatasinya.
7) Dorong penggunaan keterampilan menangani stress, misalnya teknik
relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi, latihan nafas dalam.
Rasional : memusatkan kembali perhatian, meningkatkan reaksasi dan
meningkatkan kemampuan koping.
Kolaborasi
8) Masukan pasien/orang terdekat dalam tim pertemuan untuk
mengembangkan program individual.
Rasional : meningkatkan kontinnuitas perawatan dan memampukan pasien/orang
terdekat untuk merasakan sebagai bagian perencanaan,memberikan mereka
perasaan kontrol dan meningkatkan kerja sama dalam program terapi.
9) Berikan obat sesuai indikasi : antipsikosis, agen antiansietas
Rasional : bantuan dalam istirahat psikologik/fisik. Menghemat energi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
10) Rujuk ke sumber sesuai indikasi, misalnya : pekerja sosial, perawat
psikiatrik, penasehat agama.
Rasional : dukungan tambahan dan konseling dapat membantu pasien/ orang
terdekat menerima stress khusus/area masalah
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber.
Tujuan :
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan dapat
teratasi.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan.
2) Mengidentifikasi situasi stress dan tindakan khusus untuk menerimanya.
3) Berpartisipasi dalam program pengobatan.
4) Melakukan perubahan pola hidup tertentu.
Intervensi :
1) Tentukan persepsi pasien tentang proses penyakit.
Rasional : membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan
belajar individu.
2) Kaji ulang proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor yang
menimbulkan gejala dan mengidentifikasi cara menurunkan faktor pendukung,
dorong pertanyaan.
Rasional : faktor pencetus/pemberat individu; sehingga kebutuhan pasien untuk
waspada terhadap makanan, cairan dan factor pola hidup yang dapat mencetuskan
gejala. Pengetahuan dasar yang akurat memberikan kesempatan pada pasien untuk
mengontrol penyakit kronis. Meskipun kebanyakan pasien tau tentang proses
penyakitnya sendiri, mereka dapat mengalami informasi yang telah tertinggal atau
salah konsep
3) Kaji ulang obat, tujuan, frekuensi, dosis dan kemungkinan efek samping.
Rasional : meningkatkan pemahaman dan dapat meningkatkan kerjasama dalam
program.
4) Ingatkan pasien untuk mengobservasi efek samping bila steroid diberikan
dalam jangka panjang, misalnya : ulkus, edema muka, kelemahan otot.
Rasional ; steroid dapat digunakan untuk mengontrol inflamasi dan
mempengaruhi remisi penyakit namun obat dapat menurunkan ketahanan terhadap
infeksi dan dapat menyebabkan retensi cairan.
5) Tekankan pentingnya perawatan kulit, misalnya teknik cuci tangan, dengan
baik
Rasional : menurunkan penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit/kerusakan,
infeksi.
6) Anjurkan menghentikan merokok
Rasional : dapat meningkatkan motilitas usus, meningkatkan gejala.
7) Penuhi kebutuhan evaluasi jangka panjang dan evaluasi ulang periodik.
Rasional : pasien dengan inflamasi penyakit usus beresiko untuk kanker
kolon/rektal dan evaluasi diagnostik teratur dapat diperlukan.
8) Rujuk ke sumber komunitas yang tepat, misalnya : perawat kesehatan
masyarakat, ahli diet, kelompok pendukung dan pelayanan sosial.
Rasional : pasien mendapat keuntungan dari pelayanan agen ini dalam koping
dengan penyakit kronis dan evaluasi pengobatan.
BAB IV
JURNAL

Abstrak
Latar belakang : fistula vesiko vaginalis merupakan bagian dari fistula vesiko
urogenital merupakansuatu keadaan ditandai fistel antara kandung kemih dengan
vagina yang menyebabkan rembesan urin keluar melalui vagina.Kasus : wanita
P3A0H3, 44 tahun, datang dengan keluhan terasa rembesan buang air kecil dari
kemaluan sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan muncul 7 hari setelah menajalani
operasi histerektomi 3 bulan yang lalu. Histerektomi dilakukan atas indikasi
mioma uteri dilakukan di Rumah Skit Swasta. Tanda vital dalam batas normal.
Pada pemeriksaan inspekulo tampak cairan urin menumpuk di fornix posterior.
Dilakukan prosedur tes methylene blue didapatkan hasil positif di puncak vagina
anterior 1 fistel dengan ukuran 1-1,5 cm. Pada pasien . dilakukan fistulorraphy
vesikovagina dengan teknik repair latzko dalam spinal anasthesi. Pembahasan :
Kasus fistula vesiko vaginalis biasa muncul di negara berkembang. Diantara
faktor predisposisi adalah disebabkan operasi histerektomi, selain itu trauma
persalinan dan komplikasi operasi daerah pelvik. Pemeriksaan Fisik dan
pemeriksaan tambahan secara konvensional atau minimal invasif seperti
sistoskopi, sistografi menggunakan zat kontras bisa membantu menegakan
diagnosa, menentukan lokasi, ukuran dan jumlah fistel. Pembedahan adalah terapi
andalan untuk fistula urogenital melalui transvagina atau trans abdomen.
Pendekatan terapi tergantung ilmu, pengalaman dan kolaborasi dengan ahli lain
bila dibutuhkan.
Kata kunci: fistula vesiko vaginalis, histerektomi, latzko

Abstract
Background : Vesica vagina fistula is a part of urogenital fistula wich condition
that present fistula between bladder and vagina and make urine mold through
vagina.Case Report: Woman P3A0H3, 44 years old, admitted with complaining
mold of urine from vagina since three months ago after seven days having surgery
procedure. Complaint appeared seven days after histerctomi procedure. The
procedure do as indication myoma uterus, the procedure has done in Private
Hospital. vital signs are normal. On Per Speculum examination, clearly see there
are fluids on fornix posterior. methylene blue tes has proceed and get the positive
result. Fistula is at the top anterior of vagina, about 1-1,5 cm. Surgery procedure
fistulorraphy vesica vagina with latzko technique under Spinal Anesthesia has
performed Discussion : Vesica vagina fistula usually occur in the development
country. Predisposition factors of it caused by histerectomi procedure, besides
trauma during labour and complication of pelvic surgery may also too. Physical
and additional specific examination conventionally or minimal invasive like
cystoscopy, cystography with contrast can obtain diagnose, determine the
location, size and number of fistula. Surgery is the mainstay therapy for urogenital
fistula through trans vagina or trans abdomen. Approaching depend on
knowledge, experience and collaboration with other expert if needed.
Keywords: Vesica vagina fistula, histerectomy, latzko

Pendahuluan
Fistula vesiko vaginalis merupakan hubungan abnormal antara vesikourinaria
dengan vagina yang menyebabkan urin keluar terus menerus melalui vagina. Di
Eropa dan Amerika Utara, fistula obstetrik telah ditemukan sejak seratus tahun
yang lalu dan mulai menghilang. Umumnya kasus ini merupakan efek samping
dari terapi bedah dengan radium dan sinar x yang dalam penatalaksanaan
keganasan pada daerah pelvis. Obstetrik fistula muncul akibatkan trauma
persalianan yang mengenai 50.000-100.000 wanita setiap tahun secara global.
Fistula obstetri merupakan suatu kondisi yang dapat dicegah dan diobati.
Faktor Predisposisi fistula obstetri kelahiran
prematur, akses yang terbatas ke pelayanan obstetri dan malnutrisi. Faktor lain
seperti kemiskinan, status sosial, pendidikan yang rendah sehingga penderita tidak
memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan. Prevalensi paling tinggi terdapat
pada masyarakat Afrika dan Asia.WHO memperkirakan ada sedikitnya 2.000.000
wanita hidup dengan fistula obstetri dan bertambah 50.000-100.000 setiap
tahunnya. Wanita-wanita ini membiarkan kondisinya tanpa penanganan
dikarenakan beberapa alasan: taraf pendidikan yang rendah bahwa masalah yang
mereka hadapi tidak dapat diperbaiki dan jarak yang harus ditempuh untuk
mencapai fasilitas. Wanita-wanita pada lingkungan yang sama juga tidak
memeriksakan keadaan mereka ke pusat pelayanan kesehatan meskipun tersedia
layanan kesehatan yang mendukung hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan
mereka untuk membayar pelayanan kesehatan. Rehabilitasi sosial dari wanita
yang telah repair fistula juga termasuk sebuah tantangan, dimana beberapa pasien
merupakan wanita miskin, diabaikan suami, atau pasangannya atau malah
tidakmemiliki kemampuan untuk menghidupi diri sendiri.

Laporan Kasus
Seorang wanita P3A0H3 usia 44 tahun datang ke poli Obstetri dan Ginekologi sub
bagian Uroginekologi RSUP M Djamil Padang pada tanggal 16 Juni 2014 dengan
keluhan terasa rembesan buang air kecil dari kemaluan sejak tiga bulan yang lalu.
Keluhan dirasakan hilang timbul, berbau pesing. Keluhan muncul tujuh hari
setelah operasi histerectomi tiga bulan yang di Rumah Sakit Swasta. Riwayat
keputihan ada hilang timbul. Riwayat demam tidak ada. Riwayat nyeri perut
bagian bawah tidak ada. Riwayat nyeri buang air kecil tidak ada. Riwayat infeksi
saluran kemih berulang tidak ada. Riwayat trauma daerah panggul tidaka ada.
Riwayat pengobatan radiasi tidak ada. Riwayat keganasan tidak ada. Pasien
mempunyai tiga orang anak, anak pertama berusia 26 tahun, kedua 23 tahun dan
ketiga usia 20 tahun. Sebelumnya pasienhisterectomi supravaginal atas indikasi
mioma uteri di Rumah Sakit Swasta 3 bulan lalu. Saat kontrol ulang pasien
dianjurkan rujuk ahli uroginekologi.
Pemeriksaan status generalis keadaan umum tampak sakit sedang kesadaran
komposmentis, frekuensi nafas 18 kali permenit, frekuensi nadi 86 kali permenit,
tekanan darah 110/70 mmHg, Suhu 36,9°C. Pada pemeriksaan genitalia tampak
vulva urethra tenang, tidak ada tanda inflamasi, tidak ada massa, tidak ada
laserasi. Dilakukan pemeriksaan inspekulo, tampak liang vagina tenang, tidak ada
tanda inflamasi, tidak ada masa, tidak ada laserasi, portio tenang. Tampak cairan
urin menumpuk di formix posterior. Dilakukan tes methylen blue, hasil (+) di
puncak vagina anterior, ukuran 1-1,5 cm jumlah fistula satu.
Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap, EKG, Ro thorax didapatkan dalam
batas normal. Pasien didiagnosa kerja dengan fistula vesikovagina. Pasien dirawat
di bangsal rawatan Ginekologi, dikonsul ke bagian Penyakit Dalam, bagian
Jantung, dan bagian Radiologi untuk toleransi operasi repair. Dilakukan
fistulorraphy vesikovagina dalam spinal anasthesi, pasien posisi lithotomi, repair
dilakukan dengan tehnik latzko. Terapi yang diberikan IVFD RL 8 jam/kolf,
injeksi Ceftriaxon 2x1 intravena dengan skin test, selama satu hari. Pasien anjuran
rawat selama 14 hari, pemasangan catheter threeway dan perawatan chateter
selama 14 hari. Vulva hygine dua kali sehari selama 14 hari. Terapi oral cefixime
2x200 mg peroral, betrix 1x500 mg peroral, asam mefenamat 2x500 mg peroral,
vitamin C 1x1000mg peroral.
Selama perawatan pasien tidak ada deman, tidak ada mual, tidak ada nyeri
berkemih tidak ada komplikasi pasca fitulorrhaphy. Pada hari ke 14 pasca
operasi, chateter threeway dilepas. Nyeri tidak ada, demam tidak ada.
Pemeriksaan genital luka operasi tenang. Pasien diobservasi selama 2-3 hari, tidak
ada rembesan urin dari kemaluan, pasien boleh pulang. Anjuran kontrol tiga
minggu pasca rawat inap.

Pembahasan
Telah dilaporkan satu kasus seorang pasien perempuan 44 tahun dengan diagnosis
fistula vesiko vaginalis. Diagnosis ditegakan berdasarkan adanya rembesan urin
keluar dari kemaluan. Berbau pesing. Pasien riwayat post operasi histerectomi
supravagina atas indikasi mioma uteri tiga bulan yang lalu. Gejalamuncul tujuh
hari pasca operasi. Penyebab fistula obstetrik sering akibat trauma persalinan,
selain itu fistula bisa muncul akibat tindakan histerektomi perabdomen sesuai
pada kasus ini.
Klasifikasi fistula urogenital secara umum
dikelompokkan dalam empat jenis; vesiko-uterina, vesiko-vaginal, urethro-vaginal
dan uretero-vaginal. Fistul bisa muncul di lokasi, jumlah, ukuran tertentu dan
penyulit lainnya. Kasus fistula vesikovaginal 75% muncul akibat komplikasi post
histerktomi transabdomen atau transvagina. Fistula bisa menutup spontan bila
ukuran kecil, jaringan sekitar yang tenang dan sikatrik minimal.
Kriteria diagnostik fistula vesiko vagina dengan mendapatkan anamnesa
menyeluruh faktor resiko munculnya fistula, pemeriksaan genital, dan tes
diagnostik spesifik. Tes diagnostik menggunakan tes methylen blue, memerlukan
beberapa kassa, catheter dan cairan metyhlen blue dengan cairan steril atau salin
0,9 % sebanyak 20-30 cc dimasukan ke buli-buli melalui catheter. Nilai rembesan
methylen blue di kassa yang sudah dimasukan kedalam liang vagina. Didapatkan
lokasi, ukuran, dan bila mungkin jumlah fistula.
Jika pemeriksaan ini tidak berhasil, tes diagnostik selanjutnya adalah dengan cara
cystoskopi. Kolaborasi pemeriksaan Cystoskopi dilakukan bersama dengan ahli
Urologi. Kegunaan Cystoskopi membantu memastikan lokasi anatomis yang pasti
dari fistula dan hubungan fistula vesikovagina dengan muara urethra. Pada pasien
ini tidak dilakukan karena lokasi yang jelas, ukuran yang cukup besar, tidak
multiple, tidak ada penyulit. Pada kasus fistul lebih proksimal atau multiple,
melibatkan kandung kemih atau leher kandung kemih dan pada kasus fistula
complex yang memerlukan penanganan lebih lanjut, ahli Urogenital Obstetri
Ginekologi akan berkolaborasi dengan ahli Urologi. Dan operasi repairdikerjakan
bersama.
Ada beberapa tehnik repair fistula vesiko vagina. Pada pasien ini dilakukan repair
fistula dengan menggunakan tehnik latzko dalam spinal anesthesi. Tehnik ini
efektif pada fistula vesikovaginal yang berada di puncak vagina. Dengan
melakukan exisi cirkular mukosa vagina yang sudah diinfiltrasi adrenalin di
sekitar muara fistula. Setelah mukosa vagina di exisi, dilakukan penjahitan di
muara fistul menggunakan vicril 3.0 tanpa tension, lalu dilakukan penjahitan
mucosa vagina. Penjahitan menjadi two layer. Penanganan pasca operasi
mempunyai peranan penting. Pengaturan cairan, pemberian analgetik manajemen
nyeri, pemasangan threeway catheter selama 14 hari, antibiotik profilak, vulva
hygiene, jumlah urin 2-3 Liter dalam satu hari untuk memastikan tidak ada
regangan kandung kemih. Pada hari ke 14 pasien anjuran threeway catheter
dilepas, dan dalam 2-3 hari tidak ada rembesan urin dari kemaluan, pasien boleh
pulang, kontrol tiga minggu post operasi. Pasien dianjurkan tidak coitus selam 2-3
minggu.
Pendekatan pembedahan fistula urogenital dilakukan secara per abdominal atau
per vaginam. Hal ini tergantung pada temuan lokasi fistula. Namun pembedahan
perabdominal mulai ditinggalkan dengan berkembangnya teknologi lapasrcopic
surgery. Penemuan lokasi yang akurat dilakukan dengan menggunakan
cystoendoskopi. Fistula yang berada lebih proksimal, melibatkan leher kandung
kemih, ureter, jumlah multiple, lokasi yang sulit diidentifikasiakan melibatkan
ahli Urologi menggunakan tehnik laparascopic surgery dalam penanganannya.
ANALISIS KELOMPOK
Fistula vesiko vaginalis marupakan keadaan yang ditandai antar kandung kemih
yang menyebabkan rembesan urine dan disebabkan akibat trauma persalinan.
Kondisi ini dapat dicegah dan diobati dengan melakukan pemfis untuk
pembedahan dan terapi antar kolaborasi. Maka dari itu askes pelayanan kesehtan
perlu memberikan layanan kesehatan yang mendukung untuk wanita yang
memiliki faktor predisposisi kemiskinan status sosial dan pendidkan yang rendah.
Sehingga penderita dapat memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan yang
tersedia.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pelayanan asuhan kebidanan pada ibu post fistuloraphy atas indikasi fistula
vesiko vaginalis harus sesuai dengan instruksi dokter. Asuhan yang diberikan
kepada ibu tersebut, seperti mengontrol keadaan umum ibu dan tanda-tanda vital,
menganjurkan ibu untuk bed rest total dan banyak minum air putih sesuai yang
diinstruksikan dokter, menganjurkan ibu untuk makan yang cukup dan
mengingatkan ibu untuk rutin minum obat yang diresepkan dokter.

5.2 Saran
Semoga dalam pembuatan makalah ini berguna bagi pembaca pada
umumnya dan khusunya berguna bagi penulis dalam memberikan Asuhan
kebidanan patologi pada ibu post fistuloraphy atas indikasi fistula vesiko
vaginalis. Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun, agar pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Josoprawiro M.J. 2002. Penanganan Fistula Urogenital dengan pendekatan
transvagina. urogeniklogi I. Rekonstruksi obstet dan genikol. FK-UI:
2. Junizaf. 2002. Fistula Vesiko Vagina, Urogenikologi I, Uroginikologi
Rekontruksi obstet dan genekol. FK-UI : Jakarta.
3. Kohli N, Miklos J.R. 2007. Managing Vesica-Vagina Fistula, Womens Healt
and Education Center- Urogynology : Boston
4. Pranata, A. 2007. Karakteristik Kasus Fistula
Urogenital di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik dan
RSUD dr. Pirngadi Medan. Tesis. FK-USU : Medan
5. Riley V.J. 2004. Vesikovaginal Fistula, available at Emedicine.
6. Santoso BI. 2002. Fistula Urogenital, Urogenikologi I, Uroginikologi
Rekonstruksi Obstet dan ginekol FK-UI : Jakarta.
7. Shobeiri SA, Chesson RR, Echols KT. 2011. Cystoscopy Fistulography: A new
technique for the diagnosis of vesikocervical Fistula
8. Tafesse B, Muleta M, Michael A.W, et al. 2006. Obstetric Fistula and its
Physical, Social and Psychological dimension : The Etiopian Scenario. Acta
Urologica. 23;4:25-31
9. Wall L.L, Arrowsmith S.D, Briggs N.D. 2006. Urinary Incotinence in the
Developing Word: the Obstetric Fistula, Comittee 12, available at
fistulafoundation.org
10. WHO. 2006. Obstetric Fistula.
11. Zmora O, Tulchinsky H, Eyal G, Goldman G, Klauster JM, Rabau M. 2006.
Gracilis Muscle Transposition for Fistulas Between the Rectum and Urethra or
Vagina. Disease of the Colon and Rectum

Anda mungkin juga menyukai