Anda di halaman 1dari 8

Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional.

Tidak
saja sebagai penyedia bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, penyerap tenaga
kerja, sumber mata pencaharian dan sumber devisa negara, pertanian juga berperan sebagai
pendorong pengembangan wilayah dan sekaligus pendorong pengembangan ekonomi kerakyatan.
Berbagai peran strategis tersebut sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi,
mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memelihara keseimbangan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Berbagai tujuan pembangunan pertanian diatas dalam perjalanannya mengalami berbagai
masalah. Permasalahan mendasar yang dihadapi sektor pertanian saat ini adalah:
Meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global.
Ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air.

Rendahnya status dan luas kepemilikan lahan (9,5 juta KK < 0,5 ha).

Lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional.

Keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani.

Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh.

Masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi.

Belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik.

Belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian.

Kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan diatas, pemerintah melalui kementerian pertanian


membuat rencana pembangunan pertanian tahun 2010-2014 dengan 4 (empat) target utama, yaitu:
1. Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan
Swasembada berkelanjutan yaitu pencapaian produksi kedelai sebesar 2,7 juta ton, gula
4,81 juta ton dan daging sapi 0,55 juta ton di tahun 2014.
Swasembada yaitu pencapaian produksi padi sebesar 75,70 juta ton dan produksi jagung 29
juta ton di tahun 2014, dengan dukungan utama perluasan lahan baru 2 juta ha selama 2010-2014
dan penyediaan pupuk sesuai kebutuhan selama 5 tahun.
2. Peningkatan diversifikasi pangan
Skor Pola Pangan Harapan mencapai 93,3 di tahun 2014.
Konsumsi pangan pokok beras menurun 3% per tahun.
3. Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor.
Industri hilir berbasis komoditas: beras, tepung lokal (mocaf, sagu, ganyong), jagung,
kedelai, buah-buahan, biofarmaka, sawit, kakao, karet, kopi, tebu, susu, mete, pakan ternak skala
kecil, pengolahan produk pangan fermentasi dan non fermentasi, derivasi produk.
Penciptaan iklim usaha yang kondusif melalui regulasi/deregulasi.
4. Peningkatan kesejahteraan petani.
Pendapatan per kapita pertanian Rp 7,93 juta di tahun 2014.
Rata-rata laju peningkatan pendapatan per kapita 11,10 persen per tahun.

Untuk mencapai rencana pembangunanpertanian periode 2010-2014 dirumuskan Tujuh Gema


Revitalisasi, yang meliputi Revitalisasi lahan, perbenihan dan perbibitan, infrastruktur dan sarana,
sumberdaya manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani, serta teknologi dan industri
hilir.Terkait dengan masalah perbenihan, ada pepatah yang menyatakan Siapa menguasai benih,
maka dia menguasai pangan, dan siapa menguasai pangan maka dia menguasai dunia. Kalimat
tersebut menunjukkan betapa benih menjadi faktor penentu dalam perubahan dunia. Idealnya,
yangmenguasai benih adalah pelaku utama pertanian, yaitu petani. Namun, pada saat ini
kenyataannya tidak demikian. Benih dikuasai segelintir kelompok yang memiliki modal, teknologi,
dan kekuasaan. Industri perbenihan raksasa yang didukung permodalan dan kemajuan teknologi
mampu menghasilkan berbagai jenis benih yang menguasai pasar. Terlebih lagi, kebijakan dan
program pemerintah yang mengatasnamakan swasembada pangan guna mencukupi konsumsi
pangan bangsa, justru membuat petani makin terjebak ke dalam pusaran arus pasar.

Pengertian dan Karakteristik


Benih bagi petani adalah kebutuhan dasar berproduksi. Benih merupakan inti pengembangan
pertanian jangka panjang. Benih yang berkualitas dengan harga yang ekonomis bagi petani akan
menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas usaha pertanian. Benih merupakan salah
satu input produksi utama bagi petani. Adalah tugas seorang petani untuk memelihara dan
menjadikan benih sebagai sumber makanan. Martabat seorang petani bergantung dari
kemampuannya untuk memelihara dan menghasilkan benih untuk kelangsungan hidup manusia di
dunia. Oleh karenanya, kedaulatan petani atas benih merupakan hak azasi yang harus dimiliki oleh
petani untuk menegakkan kedaulatan pangan.
Sementara bagi para elite penguasa, benih adalah simbol dari kekuasaan mereka. Soeharto pernah
diluncurkan varietas Pelita, Gus Dur muncul dengan benih padi varietas Sinta Nur, Megawati
dengan varietas Fatmawati. Dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono dikaitkan dengan padi
Supertoy. Pemerintah sebagai regulator perbenihan tentu memiliki peran penting untuk
mengarahkan kebijakan perbenihan agar benar-benar menyentuh persoalan yang berdampak
langsung pada pembangunan pertanian. Koordinasi yang baik dalam lingkup internal struktur
birokrasi, serta koordinasi dengan semua elemen yang terkait langsung dan tidak langsung dengan
pembangunan pertanian mutlak diperlukan. Kalangan BUMN industri produsen benih juga perlu
memaksimalkan tugas dan fungsi pelayanan publik, khususnya dalam penyediaan benih unggul
berkualitas. PT Sanghyang Seri misalnya, memiliki lahan/sawah untuk pembenihan yang paling
luas, fasilitas produksi dan pengolahan benih yang modern serta sarana penunjang seperti jaringan
bisnis yang tersebar (22 unit bisnis).

Sedangkan bagi pengusaha, benih adalah sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis. Dalam
hal ini perusahaan multinasional (multinational corporation/MNC) melihat benih sebagai bisnis
besar karena melibatkan jutaan petani sebagai pasar, dan kebutuhan jutaan penduduk. Perusahaan
transnasional seperti Dupont, Monsanto, Syngenta, Bayer, Limagrain, Dow Aventis dan Charoen
Phokphand kini berhasil merajai pasar benih dunia melalui akuisisi produsen-produsen benih skala
kecil. Data tahun 2008 menunjukkan bahwa 67 persen pasar benih dunia hanya dikuasai oleh 10
perusahaan.
Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang
besar yang disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis
Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia.
Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.
Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont,
Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global.
Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta,
dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.
Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu
perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone
(Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika).
Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih
dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.
Invasi benih perusahaan agribisnis transnasional yang masif sejak diberlakukannya revolusi hijau
di dekade 70-an telah menghilangkan kedaulatan petani dalam mengakses benih. Lebih dari 10.000
varietas padi lokal hilang sejalan dengan hilangnya kemampuan petani dalam menyilangkan dan
menghasilkan varietas padi lokal. Saking tergantungnya terhadap benih hibrida pemerintah bahkan
mengimpor benih hibrida yang di antaranya terinfeksi oleh virus dan harus segera dimusnahkan.

Di Indonesia, benih-benih lokal yang jumlahnya ribuan dan dulu dikuasai petani, secara sistematis
diambil oleh lembaga penelitian internasional seperti International Rice Research Institute (IRRI)
yang berpusat di Los Banos, Filipina. Lembaga ini hanya mengembangkan beberapa puluh
varietas unggul yang kemudian dengan kebijakan represif pemerintah, benih itu harus ditanam
petani. Dengan alasan untuk meningkatkan produktivitas, melawan kelaparan dunia dan
sebagainya.

Pada awalnya, petani tercengang dengan keajaiban benih hasil rekayasa, karena benih-benih baru
tersebut mampu meningkatkan produksi berkali lipat dan efisien dalam waktu produksi. Namun
kemudian petani dikenalkan berbagai macam sarana pertanian kimia pabrikan sebagai bagian dari
paket teknologi pertanian. Panen yang sebelumnya hanya didapat 1-2 kali dalam setahun
meningkat menjadi 3 kali. Petani diuntungkan pada awal sistem tersebut diberlakukan.
Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) menyatakan dalam rangka perlunya komunitas
pertanian beradaptasi terhadap perkembangan usaha pertanian dalam menghadapi berbagai
perkembangan teknologi baik di dalam negeri maupun dalam kancah internasional menyongsong
era pertanian baru.
Asbenindo mendorong pemerintah agar mempersiapkan regulasi dan program pelatihan penerapan
bioteknologi. Pemerintah tak perlu lagi alergi terhadap pengayaan bioteknologi lantaran teknologi
tersebut sudah merupakan kebutuhan di era pertanian saat ini. seluruh pemangku kewenangan
bidang pertanian harus mempersiapkan diri terhadap era pertanian bioteknologi. Pemerintah harus
siap menyusun regulasi, sementara petani dan pengusaha pertanian harus menyiapkan mental dan
paradigma budidaya. Pengembangan transgenik sudah merupakan kebutuhan kedepannya. Apabila
dunia pertanian nasional terus menolak terhadap bioteknologi. Indonesia akan tertinggal dari
negara lain. Saat ini, hampir semua negara maju mengembangkan bioteknologi untuk
mendongkrak produktivitas tanaman pertanian mereka

Negara-negara di Asia seperti China dan Jepang juga sudah lama mengaplikasikan teknologi
transgenik. beberapa perusahaan perbenihan di Indonesia sebenarnya sudah mengembangkan
teknologi transgenik untuk sejumlah varietas. Namun perusahaan-perusahaan multinasional dan
lokal tersebut masih khawatir untuk mempublikasikan kegiatan penelitian mereka ke publik.
Bioteknologi ini merupakan isu yang masih kontroversial bagi sebagian komunitas pertanian di
Indonesia.

Untuk situasi Indonesia, varietas transgenik yang sudah bisa diterapkan dalam skala luas adalah
jagung dan kedelai. Bahkan untuk tanaman hias dan aneka varietas hortikultura juga sudah ada
yang menggunakan teknologi transgenik.
Dalam empat tahun terakhir, telah terjadi peningkatan produksi pertanian yang disebabkan
dukungan varietas benih unggul dan bermutu. Pada tahun 2007 lalu, komposisi benih padi unggul
baru 39 persen dari total benih yang ada. Namun pada tahun 2009, komposisi benih unggul sudah
mencapai 62,8 persen. Sementara untuk jagung, pada 2009 benih unggulnya sudah mencapai 65,4
persen atau naik 30,4 persen dibandingkan komposisi 2007 (35 persen).

Kebutuhan benih transgenik sudah demikian penting mengingat umur tanaman di perkebunan
nasional sudah masuk masa pensiun, sehingga membutuhkan replanting atau peremajaan. Karena
itu perlu ditopang dengan suplai benih yang masif.
Apabila hanya mengandalkan pengoptimalan benih secara konvensional, justru akan mengancam
dunia pertanian nasional. Tanpa benih transgenik, hanya ada satu cara untuk meningkatkan
produksi, yaitu ekstensifikasi lahan. Benih transgenik adalah salah satu solusi tanpa perlu ekspansi
lahan besar-besaran.

Menurut Asbenindo, Indonesia tidak boleh terus-menerus menerapkan standar ganda terhadap
bioteknologi. Di satu sisi menolak, tapi di sisi lain menerima karena hampir separuh dari impor
kedelai nasional adalah produksi bioteknologi di negara asalnya.

Saat ini pemerintah sudah melepas sejumlah varietas yang bisa dikembangkan untuk penemuan
varietas baru. Varietas-varietas tersebut adalah padi non hibrida (223 varietas), padi hibrida (54
varietas), jagung hibrida (137), jagung komposit (49 varietas), kedelai (73 varietas), buah (553),
sayur (818 varietas), dan tanaman hias (109 varietas).
Ditinjau dari sejarahnya, bidang Teknologi Benih merupakan salah satu bidang yang masih muda
di dalam agronomi. Di Amerika tercatat baru berkembang sesudah Perang Dunia ke II, sedangkan
di Indonesia baru tumbuh pada tahun 1964. Dalam perkembangannya bidang Teknologi Benih di
dahului oleh bidang Analisis Benih. Stasiun Analisis Benih yang pertama didirikan di Saxony
(Jerman) lebih dari seratus tahun yang lalu yaitu sekitar tahun 1869. Stasiun lain juga telah cukup
tua terdapat di Kopenhagen dan Zurich.

Karena semakin pesatnya perdagangan benih antar negara dan adanya ketidakseragaman standard
pengujian benih pada masing-masing negara maka pada pertemuan antar laboratorium pengujian
benih di tahun 1921 berdirilah suatu organisasi The European Seed Testing Association.
Kemudian pada pertemuannya yang ke-empat tahun 1924 di Cambridge diresmikanlah The In-
ternational Seed Testing Association (ISTA) yang mempunyai semboyan Keseragaman dalam
pengujian. Organisasi ini beranggotakan negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Negara anggota menunjuk pejabat resmi yang mewakilinya dalam ISTA dan
pejabat ini mengajukan laboratorium mana dinegaranya yang diajukan sebagai laboratorium
anggota dalam ISTA yang harus mendapatkan persetujuan dari ISTA. Pertemuan-pertemuan ISTA
diselenggarakan setiap tiga tahun. Di mana biasanya diadakan pula suatu simposium yang
membahas kertas-kertas kerja dalam hubungannya dengan masalah benih. Hasil pertemuan
tersebut dipublikasikan dalam Journal of Seed Science and Technology. Pada tahun 1928
diadakan untuk pertama kalinya peraturan internasional dalam hal pengujian benih, yang mana
baru diterbitkan tiga tahun kemudian yakni pada tahun 1931.

Berbagai ketentuan senantiasa diberi kesempatan untuk ditinjau kembali di dalam pertemuan-
pertemuan ISTA. Tetapi hal ini sedikit banyak akan dapat menimbulkan keruwetan. Oleh karena
itu pada tahun 1974 diadakan sistematika baru dalam peraturan pengujian benih yang me-
misahkan antara peraturan dasar dan peraturan tambahan. Dalam peraturan dasar tercakup prinsip-
prinsip yang tidak mudah untuk diubah sedang dalam peraturan tambahan di muatkan penafsiran-
penafsiran atau aturan pelaksanaan yang lebih mudah untuk diubah bilamana diperlukan.Di
Indonesia, usaha pemerintah untuk mempertinggi produksi tanaman rakyat dilakukan melalui
Departemen Pertanian pada tahun 1905. Departemen Pertanian atau sekarang yang dikenal sebagai
kementerian pertanian melakukan usaha penyebaran benih unggul khususnya padi, mendirikan
kebun-kebun benih diberbagai tempat dan menyebarkan benih-benih hasil seleksi. Orientasinya
adalah memperbaiki varitas yang ditanam rakyat. Di Yogya (tahun 1924) diadakan kebun benih
Crotalaria, di Tosari (tahun 1927) kebun bibit kentang, di Krawang kebun benih padi, di Pacet
kebun benih sayuran, di Pasuruan terdapat kebun benih buah-buahan dan lain-lain. Pada taraf ini
usaha yang dilakukan hanya meliputi penyebaran benih dan produksinya. Dalam hal tanaman
pangan lebih banyak bersifat penyuluhan, sedang dalam hal tanaman sayuran dan industri sudah
lebih bersifat komersial. Bidang teknologi benih dapat lebih cepat dikembangkan apabila benih di
tempatkan sebagai sarana produksi yang bersifat komersial.

Pada tahun 1969 proyek benih mulai dirintis oleh Direktorat Pengembangan Produksi Padi
Direktorat Jenderal Pertanian Departemen Pertanian yang bertujuan untuk menjamin benih yang
bermutu tinggi secara kontinu. Dan pada tahun 1971 dibentuklah Badan Benih Nasional yang
mempunyai tugas pokok merencanakan dan merumuskan kebijaksanaan dibidang perbenihan.
Berbicara mengenai penggunaan benih, sebenarnya kesadaran petani kita untuk menggunakan
benih unggul sudah cukup tinggi. Tetapi hal ini masih harus ditingkatkan lagi dengan kesadaran
berbenih unggul yang bermutu baik dan benar, di mana pembinaannya melalui program Sertifikasi
Benih.
Agar sertifikasi benih benar-benar menemui sasarannya maka hendaknya dapat didasarkan atas
hasil-hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Kepentingan untuk memenuhi
perkembangan bidang teknologi benih yang berorientasi pada varitas unggul dan pada benih yang
baik dan benar, mendorong untuk diciptakannya suatu metoda, substrata, kondisi lingkungan, alat-
alat dan evaluasi yang serba terstandardisasi. Peranan teknologi benih khusus nya dalam pengujian
dapat menghasilkan suatu standard kualifikasi benih bagi berbagai tingkatan mutu benih. Standard
evaluasi untuk menentukan kualifikasi benih secara obyektif menjadi problema utama bagi
penelitian dan bidang Teknologi Benih di negara Indonesia.
Pada bulan Oktober 1992, sekitar 500 ribu petani di negara bagian Karnataka, India memulai
gerakan Satyagraha benih, yakni menentang pemberlakuan hak paten atas benih tanaman
pertanian. Mereka menuntut Pemerintah India menolak Dunkel Draft (rancangan perjanjian
Putaran Uruguay), terutama yang berkaitan dengan hak-hak paten atas benih yang merugikan
kehidupan petani di negara berkembang. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) saat itu belum
lahir, tetapi embrio untuk merundingkan rezim liberalisasi perdagangan internasional di bawah
Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) sudah matang.
Indonesia, hingga saat ini masih punya ketergantungan yang tinggi dengan benih impor. Kondisi
ini tentu berkebalikan dengan harapan masyarakat yang menginginkan kedaulatan pangan. Benih
untuk tanaman pangan baik beras, jagung, kedelai, kentang dan kacang tanah masih impor. Benih-
benih impor memiliki berbagai kelebihan, namun sulit dilakukan penangkaran oleh petani di dalam
negeri. Sebab itu, ibarat narkoba, tanaman pangan yang ditumbuhkan dari benih impor akan
membuat negara sangat tergantung secara terus menerus pada kebutuhan benih dari luar. Sebagai
contoh, untuk jagung 43 persen benih hibrida dipasok oleh perusahaan besar seperti Syngenta dan
Bayer Corp. Industri benih jagung hibrida di Indonesia masih dikuasai oleh PT DuPont. Sebagai
pemimpin pasar, dengan produk benih jagung hibrida merek Pioneer, DuPont menguasai market
share hingga 35%. Perusahaan yang memilki pasar utama di Jawa yang mencapai 80-82% ini
dalam 10 tahun telah memiliki 27 jenis varietas jagung hibrida yang sudah dikembangkan sebagai
hasil kerjasama dengan balai penelitian benih pemerintah.
Sementara itu, pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian
dan Pengembangan (Balitbang) punya Program Penelitian Pengkajian Pengembangan dan
Penerapan (Litkajibangrap) yang diperkuat mulai dari pengelolaan sumber daya genetik sampai ke
teknologi perbenihan.
Penguatan dalam program yang berjalan selama ini mencakup Bank Gen dan fasilitas
penyimpanan Sumber Daya Genetik (SDG) di Unit Pelaksana Teknis (UPT) komoditas,
karakterisasi dan evaluasi intangible value dari SDG lokal ke dalam teknologi. Penguatan program
pemuliaan termasuk juga membentuk konsorsium dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian
lain seperti BATAN, serta perluasan program diseminasi varietas ke daerah, termasuk penguatan
kapasitas penyediaan benih sumber bagi penangkar di daerah.
Pemerintah mengaku, melalui upaya ini, dalam hal varietas tanaman pangan saja, tidak kurang dari
244 varietas padi, 54 varietas jagung, dan 58 varietas kedelai telah dihasilkan. Sampai saat ini,
tingkat adopsi petani terhadap varietas unggul spesifik lokasi telah mencapai 90% untuk padi, 45%
untuk jagung, dan 80% untuk kedelai. Oleh karenanya, Kemeterian Pertanian memandang benih
dari varietas Produk Rekayasa Genetik (PRG) hanya merupakan salah satu potensi alternatif untuk
digunakan apabila memenuhi aspek keamanan hayati, tepat menjawab persoalan yang ada, dan
memberikan nilai keuntungan bagi petani.
Benih-benih varietas baru dari pemulia yang jumlahnya terbatas disampaikan kepada Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk diuji adaptasi bersama-sama dengan penyuluh dan
pemerintah daerah sehingga dapat dipilih varietas mana yang cocok dan disukai oleh petani. Hal
ini dilaksanakan mengingat areal pertanian di Indonesia yang bersifat spesifik baik lingkungan
fisik maupun preferensi masyarakat terhadap produknya. Dengan hasil ini, pemetaan terhadap
kebutuhan teknologi varietas yang cocok dapat dibangun dan penyampaian benih dari pemulia
tanaman ke penangkar lokal dapat dilakukan lebih cepat.
Tahun 2012 dibutuhkan sekitar 514 ribu ton benih tanaman pangan untuk mendukung swasembada
pangan hingga tahun 2014. Namun, baru setengahnya saja kebutuhan benih yang dapat disediakan
di dalam negeri, setengah lagi masih harus diimpor dari luar negeri.
Sebenarnya, Indonesia punya potensi untuk mencapai kemandirian atau bahkan kedaulatan dalam
perbenihan. Buktinya, Thailand dan Vietnam, dua negara di mana kita masih tergantung beras pada
mereka, mendatangkan benih jagung hibrida sebesar 1.360 ton pada tahun 2011 hingga Agustus
dari Jawa Timur. Bangsa ini punya kemampuan, hanya saja pemerintah tidak punya kemauan.
Politik anggaran di bidang riset pertanian sangat minim, sehingga riset acapkali dikerjakan secara
asal-asalan. Dalam beberapa kasus, peneliti atau periset pertanian kita justru banyak
mendapatkansupport dari pihak luar (Asing) ketimbang pemerintah sendiri.

Anda mungkin juga menyukai