Anda di halaman 1dari 2

Nama : Sri Arum Wulansari

NIM : 19/446847/TP/12650
Dosen : Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc.
Mata Kuliah : Perdagangan Internasional

Tugas Perdagangan Internasional

1. Kasus kedaulatan impor


Kedaulatan pangan dapat terlihat dengan suatu negara mampu memenuhi ketersediaan,
keterjangkauan, kemerataan, dan keamanan pangan negara itu sendiri. Namun, meskipun
kedaulatan pangan sudah ditegaskan sebagai tujuan utama di sektor pertanian, krisis pangan
justru terus terjadi pada empat komoditas penting, yakni gula, kedelai, terigu, dan beras.
Mislanya importasi gula sudah mendekati 40% dari produksi gula nasional. Produksi nasional
yang sempat memuncak tahun 1995 sebesar 1,5 juta ton terus melorot ke level 808.000 ton pada
2005, lalu 748.000 ton tahun 2006, dan 608.000 ton pada tahun 2007. Sedangkan untuk
komditas kedelai pada tahun 2009 ternyata produksinya hanya 780.000 ton. Yang lebih
mengejutkan, angka ramalan II Badan Pusat Statistik menyebutkan, produksi kedelai 2010
hanya 454.850 ton. Padahal Indonesia optimis akan swasembada kedelai 2014.
Permasalahan-permasalahan tersebut sangat berkebalikan dengan tujuan Indonesia,
selain permasalahan tersebut, masalah impor terigu yang dibebaskan bea masuk sehingga terigu
dijual dengan harga yang sangat murah membuat subtitusi dengan menggunakan tepung mocaf
tidak tercapai. Produsen lokal, khususnya mocaf merugi karena harga mocaf lebih tinggi dari
terigu dan mocaf tidak menjadi pilihan lagi. Ketidakkonsistenan juga terjadi pada komoditas
beras. Ketika harga beras di pasar dunia melonjak ke level 700 dollar AS bahkan sempat
menyentuh 1.000 dollar AS per ton pada Maret-Mei 2008, pihak-pihak yang mendorong impor
beras tiba-tiba ingin untuk mengekspor. Kebijakan untuk memudahkan impor beras dan
membangun legitimasi bahwa Indonesia defisit beras dan butuh mengimpor beras tiba-tiba
digantikan kampanye ekspor. Tujuan swasembada tersebut tidak akan tercapai jika Indonesia
masih melakukan impor yang berlebihan. Melakukan impor hanya untuk memenuhi pihak-
pihak yang berkempentingan dengan menciptakan keadaan yang seakan-akan defisit padahal
baik-baik saja, kunci sukses yang harus dilakukan pemerintah agar tidak keliru membuat
kebijakan di bidang pangan adalah berpijak pada situasi terkini dan masalah nyata di lapangan.
Sumber : https://tekno.kompas.com/read/2011/10/14/03211917/indonesia.harus.berdaulat

2. Kasus peternak sekarat


Harga ayam broiler hidup anjlok ditingkat peternak, Asosiasi Peternak Ayam
Yogyakarta (Apayo) dan Perhimpunan Insan Perunggasan Indonesia (Pinsar) DIY akan
bagikan 5.000 ekor ayam gratis, Rabu (26/6/2019) pukul 14.00 WIB - selesai. Pembagian
tersebut direncanakan akan ada di empat titik, yaitu timur Balaikota, Taman Parkir Sriwedari,
Alun-alun Utara dan depan Gedung Pamungkas (timur Kridosono). Upaya tersebut dilakukan
supaya masyarakat tahu bahwa harga ayam di kandang tidak mencerminkan yang dibeli
masyarakat di pasar. Langkah tersebut juga sebagai wujud protes peternak. Para peternak pun
telah mengajukan surat ke Dinas Pertanian DIY yang memberitahukan bahwa peternak di DIY
dalam kondisi tidak baik bahkan sebagian tidak berani memelihara ayam. Hal ini dikarenakan
sejak September 2018 sampai saat ini, atau 10 bulan harga ayam hidup di kandang selalu
dibawah Harga Pokok Produksi (HPP) yang seharusnya ayam hidup Rp18.700/kg atau
karkasnya mencapai HPP Rp30.000/kg. Saat ini pedagang membeli dari peternak dengan harga
hanya Rp7.000-Rp8.000/kg dikarenakan over supplay. Padahal penjualan dari pedagang ke
masyarakat saat ini selalu diatas HPP yaitu Rp29.000-Rp30.000/kg. Seharusnya, dengan harga
tersebut masyarakat bisa membeli daging ayam jauh lebih murah dari saat ini. Kondisi tersebut
dan berdampak negatif bagi para peternak. Sehingga dengan harga yang tinggi maka
permintaan tetap sama padahal supply sangat berlebih dan dipihak peternak produksi pakan
mahal namun terjual dengan harga yang sangat murah.
Dari kasus pemerintaah harus menetapkan harga jual minimum untuk peternak.
Penetapan harga minimum atau harga dasar yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk
melindungi produsen. Hal tersebut membuat pedagang tidak membeli ayam dengan sangat
murah dan merugikan produsen. Untuk mengurangi supply ayam pemerintah harus membuat
suatu kebijakan agar dapat menaikkan harga ayam dan kesejahteraan peternak.
Sumber : https://www.konfrontasi.com/content/ekbis/kondisi-peternak-sekarat-harga-ayam-
anjlok-peternak-protes-dengan-bagikan-gratis-5000

3. Kasus Peternak dikebiri


Kondisi peternakan di Indonesia sangat memprihatinkan. Salah satu masalah yang
dihadapi peternak Indonesia adalah pembatasan DOC sesuai Surat Menteri Perdagangan No.
644/M-DAG/SD/4/14. Dengan pembatasan DOC, akses pada DOC oleh peternak ayam kecil
juga akan terbatas. Padahal, kebijakan menteri terebut ‘bermaksud’ untuk membela peternak
kecil. Tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan sudah jelas berbeda. Peternak kecil akan
merasa dirugikan karena mereka tidak memiliki akses pada sumber penghasilannya. Hanya
peternak besar yang akan diuntungkan, hanya praktik kartelisasi yang terus berjalan. Kartelisasi
betul-betul terjadi dengan terungkapnya 12 peternak besar yang bersepakat melakukan afkir
dini induk ayam guna mengurangi produksi DOC. Harga DOC pun langsung naik setelah afkir
dini 2 juta menjadi Rp 4.600-Rp 6.000. Pada gilirannya, harga daging ayam pasti naik dan
menjadi sumber rente bagi perusahaan besar. Pengadilan Komite Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) memutuskan kartel ini bersalah, 13 Oktober 2016. Kasus ini sebetulnya persis sama
dengan kasus surat No: 644/M- DAG/SD/4/14.
Sumber : https://www.krjogja.com/angkringan/opini/peternakan-dikebiri/

Anda mungkin juga menyukai