Anda di halaman 1dari 24

PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA

ILMU TERNAK PERAH

OLEH:
SITI MARYAM
1803511019
A

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERTAS UDAYANA
2020
Daftar Isi
HALAMAN SAMPUL ................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. PETERNAKAN INDONESIA ........................................................ 1
BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................... 5
A. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 5
BAB III PEMBAHASAN............................................................................ 7
1.2 PERKEMBANGAN SAPI DI INDONESIA .................................. 7
BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 21
A.KESIMPULAN ............................................................................ 21
B.SARAN ......................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 22

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. PETERNAKAN DI INDONESIA
Perkembangan peternakan sapi di Indonesia secara umum masih sangat
memprihatinkan. Sebagian besar produksi sapi diIndonesia hampir seluruhnya
diperoleh dari peternakan rakyat, sisanya dari impor.
PolapemeliharaanternakdiIndonesiaakantetap
didominasiolehusahapeternakanberskalakecildengan karakteristik sebagai
berikut:
1. Rata-rata kepemilikan ternak rendah
2. Ternak digunakan sebagai tabungan hidup
3. Ternak dipelihara dalam pemukiman padat penduduk dan dikandangkan di
belakang rumah
4. Terbatas lahan pemeliharaan sehingga pakan harus
dicaridikawasanyangseringkalijauhdarirumah

5. Usahabeternakdilakukansecaraturuntemurun

6. Jika tidak ada modal untuk membeli, peternak menggaduh


denganpolabagihasil(LPPM2015).
Perkembangan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari
sejarah yang berawal dari kebijakan pemerintah zaman Hindia Belanda.
Seiring dengan berjalannya waktu, dunia persusuan di Indonesia dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu :
Tahap I (periode
sebelumtahun1980)disebutfaseperkembangansapiperah.
TahapII(periode1980– 1997) disebut periode peningkatan populasi sapi
perah.
Tahap III (periode 1997 sampai sekarang) disebut periode stagnasi.

Pada Tahap I, usaha peternakan sapi perah pada awalnya

1
ditumbuhkan untuk memenuhi kebutuhan orang Belanda di Indonesia.
Pada mulanya usaha sapi perah diusahakan oleh warga non pribumi dan
diperkirakan baru tahun 1925 berdiri perusahaan sapi perah pertama
(Prawirokusuma, 1979 dalam Subandriyo dan Ardiarto, 2009). Sampai
dengan tahun 1980an, perkembangan peternakan sapi perah dirasakan
masih cukup lambat karena usaha ini masih bersifat sampingan oleh para
peternak.

Pada tahap II, pemerintah melakukan upaya pengembangan secara


intensif dan terencana untuk meningkatkan produksi dalam negeri dengan
3 paket kebijakan, yaitu : (1) pemerintah melakukan impor sapi perah
secara besar-besaran pada awal tahun 1980-an, yang bertujuan untuk
merangsang peternak agar lebih meingkatkan produksi susu sapi
perahnya, (2) melakukan program Inseminasi Buatan (IB) untuk
meningkatkan mutu genetik dan meningkatkan populasi, dan (3)
perbaikan
manajemenmelaluipaketkredit(Menmuda,Koperasi,PUSP,Banpres,PIRda
nMEE).Kebijakan tersebut diikuti keluarnya Surat Keputusan Bersama
(SKB) 3 menteri (Perdagangan dan Koperasi, Perindustrian, dan
Pertanian) pada tahun 1982, dan dimantapkan dengan INPRES No. 2
tahun 1985 tentang Industri Pengolahan Susu (IPS) wajib menyerap susu
produksi peternakan sapi perah rakyat, terkenal dengan bukti serap
susu(BUSEP).

Berbagaikebijakantersebutdiatastelahdinilaiberhasildenganindikato
r:(1)
populasisapiperahmeningkatdari94.000ekormenjadi325.000ekor,denganju
mlah impor 125.000 ekor, (2) produksi susu meningkat dari 25.000 ton
menjadi 382.000
ton,(3)rasioimporsusudibandingproduksidalamnegerimenurundari20:1men
jadi
2
2:1,(4)jumlahkoperasisusumeningkatdari11menjadi201buah,dan(5)IPSyan
g semulamasih berupa repackifigZUZUrecOmbifiemenjadi
industrififiiZHedprOduct.

Pada tahun 1988 BUSEP dihapus, dan sejak itu peternak sapi
perah menghadapi banyak tantangan. Hal ini tercermin hingga 2007
kontribusi susu dalam negeri hanya 25 persen dengan produk nasional 1,2
jt liter/hari, setelah kenaikan produksi susu yang cepat pada periode
1979-1984 (Soehadji, 2009). Sejak 1998, posisi tawar peternak terhadap
IPS sangat lemah, apalagi dalam menghadapi persaingan global. Selain
itu, peningkatan populasi sapi perah ditunjang oleh permintaan produk
olahan susu yang semakin meningkat dari masyarakat. Di samping itu,
pemerintah mencoba melalukan proteksi terhadap peternak rakyat dengan
mengharuskan Industri Pengolahan Susu (IPS) untuk menyerap susu dari
peternak.

Pada tahap III, populasi sapi perah mengalami penurunan dan


stagnasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh kejadian krisis ekonomi yang
melanda Indonesia. Di samping itu, pemerintah mencabut perlindungan
terhadap peternak rakyat dengan menghapus kebijakan rasio susu impor
dan susu lokal terhadap IPS (Inpres No.4/1998). Kebijakan ini sebagai
dampak adanya kebijakan global menuju perdagangan bebas
hambatan(barrier).

Berdasarkan kebijakan tersebut, maka peternak harus mampu


bersaing dengan produk susu dari luar negeri, baik dari sisi kuantitas
maupun kualitas. Seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di
Indonesia, berbagai permasalahan persusuan pun semakin bertambah
pula, baik permasalahan dari sisi peternak, koperasi, maupun dari industri
pengolahan susu. Sejak dilakukan impor sapi perah secara besar-besaran
dari Australia dan Selandia Baru pada awal tahun 1980-an, ternyata
produktivitas usaha ternak rakyat masih tetap rendah dan seolah jalan di
3
tempat, karena manajemen usaha ternak dan kualitas pakan yang
diberikan sangat tidakmemadai.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA
Sejak jaman dahulu manusia telah menggunakan susu sebagai
bahan pangan. Manusia mengambil susu dari hewan yang memiliki
kelenjar susu, seperti sapi, kuda dan domba. Masyarakat Indonesia
sendiri baru mengenal susu sapi dari para penjajah Hindia Belanda
pada abad ke 18. Tidak mengherankan apabila konsumsi susu sapi
masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-
negara lain.

Tren permintaan susu nasional diperkirakan akan terus


meningkat. Kebutuhan susu nasional terus naik lantaran pertumbuhan
populasi dan makin membaiknya kesadaran masyarakat akan
pemenuhan gizi, khususnya protein hewani (Agrina, 2014). Selain
itu, bertambahnya pendapatan rumah tangga akan mendorong
peningkatan konsumsi susu masyarakat sebagai sumber protein
hewan adalah 9,51 kg. Angka konsumsi susu nasional menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2011 konsumsi susu
penduduk Indonesia angka 14,26 kg/kapita/tahun, tetapi pada tahun
berikutnya kembali menurun menjadi 11,01 kg/kapita/tahun.
Konsumsi susu Indonesia tersebut jauh di bawah negara lain.
Malaysia, misalnya, tingkat konsumsi susu segarnya telah mencapai
36,2 kg, sementara Thailand 22,2 kg/kapita/tahun dan Philipina 17,8
kg/kapita/tahun (REPUBLIKA, 2 Juni2014).

Produk susu yang dikonsumsi masyarakat tidak terbatas pada


susu segar, tetapi juga produk susu yang telah diolah menjadi
berbagai bentuk turunan. Kajian profil konsumsi susu di Indonesia
menunjukkan bahwa susu segar hanya memberikan kontribusi

5
sebesar 17,9% dari total konsumsi susu nasional, sisanya sebesar
82,1% merupakan konsumsi susu bubuk (Tawaf et.al., 2009). Sejalan
dengan perkembangan teknologi, jenis susu yang dikonsumsi
masyarakat menjadi semakin beragam.

Kusmaningsih et al., (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2005


kebutuhan produk susu Indonesia mencapai 1,3 juta ton. Dari jumlah
kebutuhan susu Indonesia tersebut, 70% diantaranya harus diimpor dari
manca negara karena produksi domestik baru mencapai 0,4 juta ton.
Soehadji (2009) menyatakan bahwa setelah kenaikan produksi susu yang
cepat pada periode 1979- 1984, sampai dengan tahun 2007 dengan
produk nasional 1,2 juta liter/hari kontribusi susu dalam negeri hanya
25% darikebutuhan.

Menurut Agrina (2014), situasi populasi sapi perah di Indonesia


dalam lima tahun terakhir tidak menunjukkan perkembangan yang baik.
Bahkan dalam dua tahun terakhir, banyak peternak menjual sapi perahnya
sebagai sapi potong. Penyebabnya antara lain harga susu segar tak
kunjung meningkat, sementara harga pakan makin mencekik. Di sisi lain,
harga daging sapi sangat menggiurkan, bahkan dipercaya termahal di
dunia, karena pernah mencapai Rp 140.000/kg. Sampai sekarangpun
harga referensi yang pernah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 76.000/kg
tidak tercapai. Harga daging sapi hingga saat ini relatif stagnan pada
kisaran Rp 85.000/kg. Seorang profesional budidaya sapi perah di
Bandung, memperkirakan, Indonesia kehilangan 40 persen dari populasi
sapi laktasi dalam dua tahun terakhir. Diperkirakan kontribusi produksi
susu domestik terhadap pemenuhan kebutuhan susu nasional tinggal
10persen.

6
BAB III
PEMBAHASAN
1.2 PERKEMBANGAN SAPI PERAH DI INDONESIA
Sejak jaman dahulu manusia telah menggunakan susu sebagai
bahan pangan. Manusia mengambil susu dari hewan yang memiliki
kelenjar susu, seperti sapi, kuda dan domba. Masyarakat Indonesia
sendiri baru mengenal susu sapi dari para penjajah Hindia Belanda
pada abad ke 18. Tidak mengherankan apabila konsumsi susu sapi
masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-
negara lain.

Tren permintaan susu nasional diperkirakan akan terus


meningkat. Kebutuhan susu nasional terus naik lantaran pertumbuhan
populasi dan makin membaiknya kesadaran masyarakat akan
pemenuhan gizi, khususnya protein hewani (Agrina, 2014). Selain
itu, bertambahnya pendapatan rumah tangga akan mendorong
peningkatan konsumsi susu masyarakat sebagai sumber protein
hewan adalah 9,51 kg. Angka konsumsi susu nasional menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2011 konsumsi susu
penduduk Indonesia angka 14,26 kg/kapita/tahun, tetapi pada tahun
berikutnya kembali menurun menjadi 11,01 kg/kapita/tahun.
Konsumsi susu Indonesia tersebut jauh di bawah negara lain.
Malaysia, misalnya, tingkat konsumsi susu segarnya telah mencapai
36,2 kg, sementara Thailand 22,2 kg/kapita/tahun dan Philipina 17,8
kg/kapita/tahun (REPUBLIKA, 2 Juni2014).

Produk susu yang dikonsumsi masyarakat tidak terbatas pada


susu segar, tetapi juga produk susu yang telah diolah menjadi
berbagai bentuk turunan. Kajian profil konsumsi susu di Indonesia
menunjukkan bahwa susu segar hanya memberikan kontribusi
sebesar 17,9% dari total konsumsi susu nasional, sisanya sebesar
7
82,1% merupakan konsumsi susu bubuk (Tawaf et.al., 2009). Sejalan
dengan perkembangan teknologi, jenis susu yang dikonsumsi
masyarakat menjadi semakin beragam.

Kusmaningsih et al., (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2005


kebutuhan produk susu Indonesia mencapai 1,3 juta ton. Dari jumlah
kebutuhan susu Indonesia tersebut, 70% diantaranya harus diimpor dari
manca negara karena produksi domestik baru mencapai 0,4 juta ton.
Soehadji (2009) menyatakan bahwa setelah kenaikan produksi susu yang
cepat pada periode 1979- 1984, sampai dengan tahun 2007 dengan
produk nasional 1,2 juta liter/hari kontribusi susu dalam negeri hanya
25% darikebutuhan.

Menurut Agrina (2014), situasi populasi sapi perah di Indonesia


dalam lima tahun terakhir tidak menunjukkan perkembangan yang baik.
Bahkan dalam dua tahun terakhir, banyak peternak menjual sapi perahnya
sebagai sapi potong. Penyebabnya antara lain harga susu segar tak
kunjung meningkat, sementara harga pakan makin mencekik. Di sisi lain,
harga daging sapi sangat menggiurkan, bahkan dipercaya termahal di
dunia, karena pernah mencapai Rp 140.000/kg. Sampai sekarangpun
harga referensi yang pernah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 76.000/kg
tidak tercapai. Harga daging sapi hingga saat ini relatif stagnan pada
kisaran Rp 85.000/kg. Seorang profesional budidaya sapi perah di
Bandung, memperkirakan, Indonesia kehilangan 40 persen dari populasi
sapi laktasi dalam dua tahun terakhir. Diperkirakan kontribusi produksi
susu domestik terhadap pemenuhan kebutuhan susu nasional tinggal
10persen.

8
Tabel komsumsi produk turunan susu Per Kapita di Indonesia, 2009-2012.
2009 2010 2011 2012 2013
1 Susu Murni (Liter) 0,10 0,10 0,16 0,16 0,10
2 Susu Cair Pabrik (250 ml) 0,83 0,94 1,15 1,46 1,46
3 Susu Kental Manis (397 gr) 3,02 3,34 3,29 2,71 3,02
4 Susu Bubuk (Kg) 0,73 0,78 0,73 0,37 0,73
5 Susu Bubuk Bayi (400 gr) 1,20 1,20 1,36 1,41 1,41
6 Keju (Ons) 0,05 0,05 0,10 0,10 0,05
7 Hasil Lain dari Susu (Ons) 0,31 0,37 0,37 0,42 0,21
Sumber: FAOSTAT, data diolah

Diferensiasi produk susu yang diminta masyarakat juga tergambar


dari impor susu dan produk turunannya yang semakin beragam (Gambar
2). Jika diperhatikan lebih mendalam, masyarakat kita kurang menyukai
untuk mengkonsumsi susu segar dibandingkan dengan susu olahan.
Secara konsisten, produk susu yang banyak diimpor dari waktu ke waktu
adalah susu bubuk. Volume produk susu yang diimpor untuk mencukupi
kebutuhan masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu,
misalnya, pada tahun 2006 ke 2010 terjadi peningkatan kebutuhan
sekitar64,95%.

Impor susu dari beberapa negara dilakukan karena produksi dalam


negeri tidak mencukupi kebutuhan, walaupun berbagai upaya peningkatan
produksi sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Gap antara produksi dalam
negeri dengan kebutuhan riil masyarakat dapat dilihat pada (Gambar 3).
Upaya yang dilaksanakan memang dapat meningkatkan produksi. Namun
demikian peningkatan produksi susu domestik tidak dapat mengejar laju
peningkatan permintaan susu yang dipenuhi dari impor. Kesenjangan
kapasitas produksi dan permintaan susu dan produk turunannya terus
meningkat dari waktu ke waktu. Kusmaningsih et al., (2008) menyatakan
bahwa pada tahun 2005 kebutuhan produk susu Indonesia mencapai 1,3
juta ton. Dari jumlah kebutuhan susu Indonesia tersebut, 70% diantaranya
harus diimpor dari manca negara karena produksi domestik baru
mencapai 0,4 juta ton. Soehadji (2009) menyatakan bahwa setelah

9
kenaikan produksi susu yang cepat pada periode 1979- 1984, sampai
dengan tahun 2007 dengan produk nasional 1,2 juta liter/hari kontribusi
susu dalam negeri hanya 25% darikebutuhan.

Di tengah-tengah impor susu dan produk turunannya yang terus


meningkat, sebenarnya sejak akhir tahun 1980an, Indonesia juga telah
mengekspor produk susu dan turunannya ke berbagai negara. Namun
demikian volume dan nilai ekspor produk susu ini masih jauh dari
volume dan nilai impornya, sehingga pada hakekatnya Indonesia
merupakan fiet impOrter susu.

Hampir di sepanjang waktu, harga susu Indonesia lebih tinggi


dibandingkan dengan Australia dan Selandia Baru. Hanya pada tahun
1998 harga susu Indonesia di bawah dua negara tersebut karena
terjadinya pelemahan rupiah yang ekstrim terhadap dolar sebagai akibat
krisis ekonomi. Pada tahun 2008, disparitas harga susu Indonesia
terhadap Australia (446,3 US$/ton vs 404,3 US$/ton) dan Selandia Baru
(446,3 US$/ton vs 444,9 US$/ton) merupakan yang paling rendah. Hal ini
dipicu oleh terjadinya krisis pangan dunia. Krisis pangan dunia pada
tahun 2008 telah menyebabkan tergoncangnya harga susu. Walaupun
fluktuasi harga susu yang tinggi tampaknya masih akan terjadi dalam
beberapa tahun ke depan akibat terjadinya perubahan iklim global, namun
demikian terdapat kecenderungan bahwa harga susu di pasar
internasional terus mengalami peningkatan.

Komparasi antara nilai ekspor dan impor susu dan produk turunan
Indonesia diperlihatkan pada Gambar 6. Nilai importasi Indonesia atas
produk susu dan turunannya yang terus meningkat akan menguras devisa
negara. Nilai impor susu dan produk turunannya sempat turun pada tahun
2009 sehingga mencapai 946,4 juta US$. Pada tahun-tahun berikutnya
impor kembali naik. Pada tahun 2011 nilai impor mencapai 1.838 juta

10
US$ dan sementara ekspor hanya mencapai 123,5 juta US$. Dengan
demikian nilai devisa Indonesia yang terkuras untuk susu dan produk
turunanya mencapai 1.714,6 juta US$.

Berdasarkan data dan informasi, kesenjangan antara produksi susu


dan penyediaan dari tahun ke tahun semakin melebar. Untuk
memperkecil gap tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan
produksi dalam negeri dengan cara meningkatkan produktivitas dan
menambah populasi sapi perah sebagai penghasil susuutama.

Pengembangan industri sapi perah di Indonesia dipandang


mempunyai prospek strategis bagi pembangunan sumber daya manusia
(Bamualim, 2009) karena merupakan penghasil susu sebagai sumber
protein hewani. Wawasan pembangunan peternakan sapi perah dipandang
sebagai industri biologis yang dikendalikan oleh manusia dengan 4 aspek
(Soehadji, 2009), yaitu: (1) peternak sebagai subjek pembangunan yang
harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak
sebagaiobjekpembangunanyangharusditingkatkanproduksidanproduktivit
asnya,(3) lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan budidaya
yang harus diamankan, dan (4) teknologi sebagai alat untuk mencapai
sasaran pembangunan peternakan.

Menyadari nilai strategis pengembangan usaha sapi perah,


pemerintah
berupayakerasuntukmeningkatkanproduksidanproduktivitassususapi(Bam
ualim, 2009), yang sebagian besar berasal dari Peternakan Sapi Perah
Rakyat (PSPR). Menurut Subandriyo dan Adiarto (2009), ciri usaha
peternakan sapi perah rakyat adalah: (1) skala usaha kecil, motif produksi
rumah tangga, (2) dilakukan sebagai usaha sambilan (ZUBZIZtefice), (3)
menggunakan teknologi sederhana, (4) bersifat
padatkaryadanberbasiskananggotakeluarga,dan(5)kualitasproduknyaberva
riasi.
11
Perludiketahuibahwausahapeternakansapiperahtidaksecarameratamenyeba
rdi Indonesia.
Tabel 2. Populasi Sapi Perah di Indonesia Menurut Pulau 2011.

Pulau (ekor) Populasi (%)

Sumatera 2.388 0,40


Jawa 592.436 99,21
Bali+Nusa Tenggara 194 0,03
Kalimantan 365 0,06
Sulawesi 1.741 0,29
Maluku+Papua 11 0,00
Jumlah 597.135 100,00
Sumber: Pusdatin 2013, Statistik Pertanian 2013

Tabel2 menampilkansebaranpopulasisapiperahdi Indonesia


berdasarkan
surveinasionaltahun2011menurutkepulauan.Usahasapiperahberpusatdi
Pulau Jawa (99,21%).Menurut provinsi, populasi sapi perah terbesar
adalah Jawa Timur sekitar 296,3 ribu ekor atau 49,61 persen dari
total populasi sapi perah Indonesia. Provinsi lain yang memiliki
populasi sapi perah cukup besar adalah Jawa Tengah dan Jawa Barat
masing-masing 149,9 ribu ekor atau 25,11 persen dan 140 ribu ekor
atau 23,44 persen dari total populasi sapi perah Indonesia. Sementara
itu beberapaprovinsiseperti Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat tidak
dijumpai sama sekali sapi perah (PSPK, 2011). Selama 2005–2009,
trend pertumbuhan populasi sapi perah di Jawa Barat meningkat 5,72
persen, di Jawa Tengah meningkat 3,86 persen, dan di Jawa Timur
meningkat 15,61 persen.

Menariknya bahwa walaupun Jawa Tengah pertumbuhan


populasi sapi perahnya terendah, tetapi pertumbuhan produksi susu
segarnya mencapai 18 persen, jauh lebih tinggi dibanding
pertumbuhan di Jawa Barat dan Jawa Timur yang hanya tumbuh
12
masing-masing sebesar 4 persen dan 9 persen (Direktorat Ternak
Budidaya Ruminansia, 2010).

Harga susu hasil usaha sapi perah merupakan daya tarik bagi
peternak untuk meningkatkan usahanya. Hal ini misalnya disampaikan
oleh Kusmaningsih et.al., (2008) bahwa terdapat indikasi meningkatnya
gairah masyarakat Jawa Tengah untuk bangkit kembali melakukan
budidaya sapi perah sebagai dampak kenaikan harga susu internasional.
Dikemukakan oleh Kusmaningsih et.al., (2008) bahwa dari tahun 2002
hingga2003populasisapiperahdiJawaTengahberkurangdrastis(berkurangse
kitar 800 ekor), dan kemudian sampai tahun 2006 meningkat lamban atau
cenderung stagnan.

Perkembangan yang menggembirakan dilaporkan oleh DPKH


Provinsi Jateng (2012) bahwa populasi sapi perah di Jawa Tengah selang
kurun waktu 2007-2011 meningkat dari 115.158 ekor menjadi 149.931
ekor, sehingga meningkatkan produksi susu sebanyak 6.723.382
liter/tahun. Kenaikan produksi susu ini sehingga secara nasional tampak
bermakna. Namun demikian, estimasi produksi susu sapi perah individual
di Jawa Tengah ternyata sangat rendah (bervariasi antara 5,83 – 6,62
liter/ekor/hari) bila dibandingkan dengan potensi produksinya (>15
liter/ekor/hari).

Mempertimbangkan informasi di atas dapat ditegaskan bahwa


terdapat peluang untuk meningkatkan produksi sapi perah yang
seharusnya segera dapat diwujudkan. Meskipun kualitas genetik sangat
menentukan tingkat produksi ternak, tetapi dalam waktu yang relatif
sempit perbaikan pengelolaan pemeliharaan sapi perah termasuk pakan,
reproduksi, kebersihan ternak dan kandang, serta perlakuan terhadap
hewan (afiimal welfare) tampaknya akan lebih mudahditerapkan.

13
a. PELUANG PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI
PERAH DI INDONESIA
Beberapa pertimbangan yang diyakini mendukung sangat
besarnya peluang pengembangan sapi perah di Indonesia dengan
beberapa peluang antara lain:
1. Industri pengolahan susu (IPS) Tumbuh dan
Berkembang

Peluang pengembangan peternakan sapi perah masih terbuka


karena tingginya laju permintaan masyarakat akan susu dan
produk turunannya. Peluang ini ditangkap oleh beberapa pabrikan
yang berusaha mendapatkan nilai tambah dengan memproduksi
susu olahan.
2. Daya dukung pakan memadai

Ketersedian hijauan pakan ternak pada tahun 2011 dapat


menampung
5.337.535 Satuan Ternak (ST) yang berasal dari limbah pertanian,
rumput langan, dan rumput unggul.

3. Dukungan Kultur sosial budaya masyarakat di


sentraproduksi

Budaya masyarakat di sentra produksi sangat mendukung.


Masyarakat di beberapa kabupaten/kota di Jateng (Boyolali,
Banyumas, Wonosobo, Klaten, Semarang, Banyumas, Tegal,
dan Salatiga) secara turun temurun sudah terbiasa memelihara
ternak sapi perah secaratradisional

4. Keuntungan finansial usaha ternak sapiperah

Usaha ternak sapi perah memungkinkan peternak untuk


memperoleh pendapatan harian (menjual susu), bulanan
(menjual kotoran/pupuk organik), dan pendapatan tahunan

14
(menjual anak sapinya), serta menghasilkan energi untuk
memasak/penerangan dari pembuatan biogas berbahan baku
kotoran ternak.

5. Peningkatan konsumsi produk susu akibat


pendapatan masyarakat meningkat

Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak pada


peningkatan kesadaran pentingnya pemenuhan gizi seimbang
dan mengkonsumsi protein hewani, khususnya susu lebih
banyak.

6. Peluang peningkatan nilai tambah dari usaha


pengolahan susu skala kecil/menengah

Diversifikasi usaha dan kesempatan berusaha melalui


pengembangan industri susu skala kecil/menengah sangat
terbuka.

7. Dukungan modal usaha dengan bunga murah


dariperbankan

Komitmen pemerintah untuk mengembangkan usaha ternak


sapi perah cukup tinggi. Selain regulasi, pemerintah juga
memberikan fasilitas berupa subsidi bunga perbankan agar
peternak dapat mengembangkan usahanya.

8. Dukungan pengembangan usaha oleh CSR dariBUMN

Peternak juga dapat mengembangkan usahanya


dengan mengakses dana CSR dari perusahaan swasta dan
BUMN.

9. Bantuan langsung pada masyarakat (BLM) untuk peternak


sapiperah
15
Bantuan langsung masyarakat dapat berasal dari
pemerintah pusat melalui Ditjen Teknis, pemerintah
provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota.

10. Program asuransi induk ternak sapiperah

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah


mengembangkan asuransi induk ternak sapi perah.
b. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI OLEH USAHA SAPI
PERAH RAKYAT
1. Kondisi iklim yang kurangmendukung
Iklim tropis yang cenderung panas menyebabkan
performa, produksi dan reproduksi sapi perah mengalami
gangguan baik secara langsung maupun secara tidak langsung
karena menurunnya kualitas pakan dan berkembangnya
penyakit (McDowell, 1989).

2. Konsentrasi peternakan sapi perah di PulauJawa


Usaha ternak sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa
yang didiami oleh lebih dari 60 persen penduduk Indonesia
(Atmadilaga, 1989). Kondisi ini menyebabkan kompetisi
penggunaan lahan menjadi sangat tinggi, sehingga tidak
tersedia cukup lahan untuk menanam hijauan.

3. Skala usaha ternak sapi perah yangrendah


Skala usaha ternak sapi perah yang rendah (3–4 ekor)
per peternak (Suryahadi et al., 2007) menyebabkan
pendapatan rumah tangga dari sapi perah belum dapat
menjadi sebagai sumber pendapatan utama yang layak
bagipeternak.

4. Keterbatasan modal dan penguasaanteknologi


Lack Ofcapital afid techfiOlOgy (Atmadilaga, 1989)
menyebabkan peternak kurang mampu mengembangkan
16
usahanya dan berproduksi pada taraf optimum.

5. Dukungan pemerintah yang kurangmemadai


Dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi
perah di Indonesia di pandang belum memadai.

6. Kurangnya apresiasi terhadap multi fungsi usaha ternak


sapiperah
Apresiasi terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam
masyarakat dipandang kurang memadai. Sebagian besar
apresiasi hanya difokuskan pada aspek ekonomis semata.

c. Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Ternak

Usaha pembibitan sapi perah dibutuhkan alat dan mesin


peternakan serta kesehatan ternak antara lain:

1. Pada usaha ternak sapi perah rakyat (peternak), kelompok


peternak, dan koperasi peternak umumnya terdiri dari:

a. Alat pensuci hama

b. Alat pembersih kandang

c. Timbangan, pengukuran, dan pencatatan

d. Alat penerangan

e. Mesin pencacah rumput (chopper)

f. Identitas ternak seperti kalung, microchip, atau eartag g.


Transportasi h. CMT (california mastitis test)

i. Dipping cup

j. Milk can penampung susu

k. Gelas ukur

l. Cooling unit
17
m. Mesin pasteurisasi, mesin pendingin, dan mesin pengepak

n. Colostrometer (alat uji susu)

o. Mesin pemerah susu

p. Saringan

2. Alat, mesin, dan kesehatan ternak pada usaha sapi perah skala
perusahaan, pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau
pemerintah daerah kabupaten/kota umumnya terdiri dari:

a. Alat pensuci hama

b. Alat pembersih kandang

c. Timbangan, pengukuran, dan pencatatan

d. Alat penerangan

e. Mesin pencacah rumput (chopper)

f. Identitas ternak seperti kalung, microchip, atau eartag

g. Transportasi h. CMT (california mastitis test)

i. Dipping cup

j. Milk can penampung susu

k. Gelas ukur

l. Cooling unit

m. Mesin pasteurisasi, mesin pendingin, dan mesin pengepak

n. Colostrometer (alat uji susu)

o. Mesin pemerah susu

p. Saringan

q. Laboratorium

18
r. Tempat penyimpanan dan penanganan susu

s. Alat distribusi pakan

t. Alat pengolahan limbah

u. Alat pemotong tanduk dan kuku

v. Peralatan dan kesehatan ternak


e. Bangunan
Jenis bangunan pada usaha ternak sapi perah rakyat (peternak),
kelompok peternak, dan koperasi peternak umumnya terdiri dari: a. Enam
kandang utama yang masing-masing digunakan untuk: 1) kandang pedet
untuk minum susu, 2) kandang pedet lepas sapih, 3) kandang dara/muda,
4) kandang induk melahirkan, 5) kandang induk laktasi, dan 6) kandang
isolasi.

Usahaternak sapi perah di Indonesia sebagian besar masih relatif kecil, yaitu 1-3
ekor per peternak. Hal ini jelas bahwa usaha peternakan sapi perah dengan skala
kecil tidak akan ekonomis, karena pendapatan yang diperoleh hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Meskipun ada pula peternak yang
mempunyai skala usaha sedang (4-6 ekor) danskala usaha besar (>7 ekor), tetapi
jumlahnya masih relatif sedikit. Keanekaragaman skala usaha dipengaruhi oleh
perbedaan kondisisosialekonomi seperti : tingkat teknologi, kemampuan
permodalan, ketersediaan tenaga kerja, dan luas lahan yang dikuasai.

f. Tenaga Kerja
Sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang
terdiri dari kepala keluarga, istri dan anak-anak petani. Tenaga kerja yang
berasal dari keluarga petani merupakan sumbangan keluarga terhadap produksi
pertanian atau peternakan yang secara keseluruhan tidak pernah dibayar dengan
uang (Muryarto, 1989). Penggunaan tenaga kerja keluarga merupakan upaya
untuk memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga secara maksimal, karena dapat
19
menentukan basarnya pendapatan keluarga dalam usahaternak. Hal tersebut
dapat dipahami karena tenaga kerja luar keluarga merupakan tenaga kerja yang
harus dibayar. Penggunaan tenaga kerja keluarga akan mengurangi biaya
produksi yang harus dibayar berupa upah tenaga kerja, sehingga akan menambah
pendapatan bagi keluarga peternak. Akan tetapi untuk peternakan yang dalam
skala modern sudah memiliki tenaga kerja yang profesional yang bersala dari
luar negeri. Hal ini disebabkan SDM yang ada didalam negeri masih dalam taraf
relatih rendah.

20
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sejarah pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia telah
dimulai lebih dari satu abad yang lalu, yang merupakan tahap introduksi
pada jaman penjajahan Belanda. Peternakan sapi perah di Indonesia oleh
warga pribumi diawali oleh para pekerja perusahaan sapi perah milik
Belanda, sebagai usaha rumah tangga. Dalam perkembangannya, usaha
peternakan sapi rakyat didukung oleh importasi sapi perah dalam bentuk
hidup dan mani beku untuk meningkatkan produksi maupun meningkatkan
mutu genetik, membangun kelembagaan sapi perah dalam bentuk koperasi
dan non koperasi, serta dukungan kebijakan pemerintah misalnya
kebijakan ekualisasi berdasar SKB 3 Menteri (Menteri Perdagangan dan
Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian) dimana impor
bahan baku susu dipersyaratkan dengan bukti serap (BUSEP) susu segar
produksi dalam negeri. Untuk mendukung SKB, telah diterbitkan INPRES
2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan
PersusuanNasional.
Sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang
terdiri dari kepala keluarga, istri dan anak-anak petani. Akan tetapi untuk
peternakan yang dalam skala modern sudah memiliki tenaga kerja yang
profesional yang bersala dari luar negeri. Hal ini disebabkan SDM yang ada
didalam negeri masih dalam taraf relatih rendah. Alat yang digunakan masih
dalam taraf yang masih kurang. Permasalahan juga banyak yang harus
diselesaikan.

B. SARAN

Peternakan sapi perah di Indonesi masih sangat


memperihatinkan, dengan demikin diperlukan kesadaran
setiap komponen masyarakat dan pemerintah untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Dengan kerjasam keduanya
maka persoalan ini dapat diselesaikan dengan baik.

21
DAFTAR PUSTAKA
Ahyari, A. 1983. Manajemen produksi Perencanaan Sistem Produksi. Edisi
ke-3.BPFE. Yogyakarta.
Arikunto, S. 1998. Prosedur penelitian. PT Rineka Cipta. Jakarta
Atmadilaga, D. 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional Dan
Perusahaan Dalam Sistem Pemabngunan. Biro Research dan Afiliasi
Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.
Direktorat Jendral P2HP, 2011. Keragaan Database Kinerja Pengolahan &
Pemasaran Hasil Pertanian. Bekerjasama dengan PT Swastika Perdana.
Direktorat Ternak Budidaya Ruminansia, 2010
Epetanipet.go.id/blog/pengembangan-usaha-sapi-perah-di-
Indonesia-1598
Firman, A., 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah: Suatu Telaah Pustaka.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Firman, A dan R. Tawaf. 2008. Manajemen Agribisnis Peternakan : Teori
dan Contoh Kasus. Universitas Padjadjaran. Press.
Kusmaningsih, Susilowati, dan Dwiyanto, K. 2008. Prospek Dan
Pengembangan Usaha Sapi Perah Di Jawa Tengah Menyongsong MDG’s
2015. Prosiding Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju
Bebas-2020, Hlm:404-412. Puslitbang. Bogor
Murti. T. W, Purnomo dan S. Usmiati, 2009. Pasca Panen dan Pengolahan
Susu. Profil Usaha Sapi Peternakan Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
Subandriyo dan Ardianto. 2009. Sejarah Perkembangan Peternakan Sapi
Perah Dalam Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Di Indonesia Oleh
Santosa, Dkk. LIPI Press. Bogor.

22

Anda mungkin juga menyukai