Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“PETERNAKAN SAPI PERAH DAN INDUSTRI PERSUSUAN DI


INDONESIA "

OLEH :
KELOMPOK 1

` Veni Kristanti San


Maria Virmaris Mesak
Umbu Padang Mananga Edi
Asri Bali Ate
Ichan Triana Emal
Maria Yuliana Surat Boli
Petrus Resi
Marselinus Aldo Nuban
Maria Karlina Ali
David Linghar Nawa Matara

FAKULTAS PETERNAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


PRODI PETERNAKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih, kami juga mengakui bahwa dalam
proses penulisan makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara
penulisannya. Namun demikian kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki. Dan oleh karenanya, saya dengan rendah hati dan dengan
tangan terbuka menerima masukan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan
dan penyempurnaan makalah ini dikemudian hari. Akhirnya kami sangat berharap,
makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Dan dapat memberikan
kontribusi yang positif serta bermakna dalam proses pembelajaran.
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar IsI
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Bab II Pembahasan
2.1 Perkembangan Sapi Perah di Indonesia
2.2 Peternakan Sapi Perah dan Industri Persusuan di Indonesia
2.3 Peran Organisasi Persusuan Dalam Mendukung Industri Persusuan di
Indonesia
2.4 Dampak Pasar Bebas Terhadap Industri Persusuan Nasional
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dapat dipastikan bahwa sapi perah asli dari Indonesia tidak ada. Keberadaan
sapi perah di Indonesia diawali sejak zaman penjajahan Belanda. Untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan susu bagi orang-orang Eropa, maka didatangkan sejumlah
sapi perah dari negeri Belanda. Disamping itu, orang arab, Pakistan dan India, yang
bekerja di perkebunan Pemerintah Hindia Belanda juga mendatangkan sapi Zebu dari
di negerinya. Permulaan abad ke 17, merupakan periode cikal bakal adanya
peternakan sapi perah di Indonesia.
Pemuliaan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak kontrolir Van Andel
yang bertugas di Kawedanan Tengger, Pasuruan (1891 – 1892) atas anjuran Drh.
Bosma mendatangkan sapi pejantan FH dari negeri Belanda. Disamping itu juga di
impor sapi-sapi pejantan Shorthorn, Aryrshire dan Jersey dari Australia. Sapi-sapi
pejantan impor tersebut dikawinkan/disilangkan dengan sapi-sapi lokal (Jawa,
Madura) dan ini merupakan landasan dari sapi Grati. Sedangkan kontrolir Schipper
yang didampingi Drh.Penning mengadakan “grading up” sapi-sapi lokal dengan
menggunakan sapi-sapi FH sebanyak 7 ekor dari negeri Belanda, dan bersamaan
waktu itu dilakukan pengebirian sapi-sapi lokal di daerah Salatiga, Bogolali dan
sekitarnya.
Atas anjuran para Dokter Hewan dan beberapa pegawai pamong praja,
pemerintah Belanda pada akhir abad ke 19 mulai mengusahakan sapi perah bibit
untuk diternakkan oleh rakyat di daerah-daerah pegunungan. Dengan demikian maka
mulailah memelihara sapi-sapi perah di daerah-daerah sekitar pegunungan Tengger,
Pasuruan, Malang, Salatiga, bandung dan Jakarta. Tetapi sayangnya bibit sapi-sapi
perah yang diternakan rakyat tersebut diatas tidak dapat berlangsung dengan lancer.
Pada permulaan abad ke 20 telah terdapat perusahaan sapi perah dipinggiran
kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, Kebanyakan perusahaan adalah milik bangsa
Eropah, Cina, India dan Arab. Hanya sebagian kecil milik penduduk asli. Bangsa
sapi perah yang ada ialah Fries Holland, Jersey, Ayrshire, Dairy Shorthorn
dan Hissar. Kemudian ternyata yang terus berkembang adalah Fries Holland. Bangsa
sapi Hissar masih terus diternakkan didaerah Sumatera bagian Utara dan
Daerah Istemewa Aceh. Tahun 1978 merupakan awal pencerahan bagi
berkembangnya industri persusuan di Indonesia dimana koperasi persusuan
dapat memainkan peranan yang lebih besar.
Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik
laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dibarengi dengan laju pertumbuhan
yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk saat ini memberikan dampak yang besar
terhadap peningkatan permintaan (demand) produk pangan masyarakat. Selain itu,
perkembangan masyarakat saat ini lebih ke arah yang lebih maju baik dari segi
pendapatan maupun tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya nilai gizi
pangan. Hal ini membuat masyarakat cenderung lebih meningkatkan konsumsi
pangan yang mengandung gizi tinggi. Salah satu produk pangan yang terus
mengalami peningkatan permintaan setiap tahunnya adalah susu. Peningkatan
tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi susu per kapita dari tahun ke tahun,
mulai dari 5,79 kg/kapita pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 6,8 kg/kapita pada
tahun 2005 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2009).
Tantangan yang dihadapi Indonesia terutama dalam bidang industri persusuan
yakni dengan diberlakukannya Perjanjian Kesepakatan Bersama Tentang Tarif dan
Perdagangan (GATT = General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 2005,
dimana dengan adanya kesepakatan umum ini Indonesia harus lebih giat dalam usaha
peternakan sapi perah karena dari kesekepakatan ini muncul dampak baik itu positip
maupun negatif.
Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu:
menceritakan sejarah perkembangan sapi perah di Indonesia, menjelaskan hubungan
antara peternakan sapi perah dan industri persusuan di Indonesia, mendeskripsikan
peran Organisasi Persusuan dalam mendukung Industri Persusuan di Indonesia dan
dapat mendeskripsikan dampak pasar bebas (GATT) terhadap Industri Persusuan
Nasional.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan Perkembangan Sapi Perah Di Indonesia
2. Peternakan Sapi Perah dan Industri Persusuan Di Indonesia
3. Peran Organisasi Persusuan dalam Mendukung Industri Persusuan Di
Indonesia
4. Dampak Pasar Bebas Terhadap Industri Persusuan Nasional.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Sapi Perah Di Indonesia
Secara umum, peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad
ke-19 yaitu dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking
shorthorn dari Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor
sapi-sapi Fries-Holland (FH) dari Belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di
Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi susu
tertinggi dibandingkan sapi jenis lainnya, tahun 1925 mulailah timbul perusahaan
sapi perah rakyat dengan jumlah kepemilikan ternak 10 ekor. Dalam
perkembangannya pada tahun 1940 jumlah perusahaan orang kampung menjadi 140
dengan populasi 1.800 ekor sapi perah dan produksi kurang lebih 8.000 liter per hari.
Pada tahun 1939 dilakukan import sapi pejantan muda FH dari negeri
Belanda sebanyak 22 ekor dan langsung dibawa ke Grati (Pasuruan). Keadaan ini
menunjukkan bahwa sapi Grati (Pasururan) adalah peranakan Friessian Holstein
(PFH) yang berderajat tinggi. Sangat disayangkan pada pembentukan sapi Grati
tersebut di atas tidak diikuti dengan seleksi, sehingga produksi susunya masih rendah
yaitu 2.482 liter/laktasi. Data dari tahun 1953 sampai 1965 ada kenaikan yang
melonjak, diduga sebagai akibat peningkatan rehabilitasi, terutama disekitar tahun
1958 dalam rangka Rencana Kesejahteraan Istimewa (RK I). Pada sekitar tahun 1957
telah diimport sapi perah Red Danish (warnanya seperti sapi Madura) yang
kemudian disilangkan dengan sapi Madura, hasilnya tidak memuaskan dan sisa
peranakkan Red Danish sekarang masing terdapat di pulau Madura. Pada tahun 1965
didatangkan FH Murni dari Belanda oleh PN. Perhewani sebanyak 1.000 ekor.
Salah satu kesukaran dalam memperoleh angka stastik sapi perah di
Indonesia ialah karena umumnya jarang dipisahkan dari angka umum populasi sapi.
Dari data populasi sapi perah yang berhasil dikumpulkan adalah seperti pada Tabel
3.1. Pengembangan sapi perah di Indonesia tertuang dalam kebijaksanaan
operasional peternakan dalam Repelita II (1974 – 1978) di muat dalam Program “
PengembanganUsaha Sapi Perah ” ( PUSP), namun realisasinya baru dilaksanakan
pada tahun terakhir Pelita II yang terdiri dari paket kebijaksanaan teknis dan paket
kebijaksanaan ekonomis.
Paket kebijaksanaan teknis terdiri: (a) perbaikan mutu genetik (melalui IB
atau impor bibit unggul), (b) perbaikan makanan ternak, (c) pengawasan kesehatan,
(d) pengawasan hygiene, (e) penyuluhan. Sedang kebijaksanaan ekonominya adalah:
(a) penyediaan kredit (KIK, KMKP), (b) bantuan teknis luar negeri (TA), (c)
intergrasi dengan industri pengolahan susu dan, (d) perbaikan tempat penampungan
dan pengembangan perkoperasian susu

Tabel 3.1 populasi sapi perah di Indonesia

No Kurun Waktu/Tahun Jumlah (Ekor)


1 Sebelum Merdeka (Hinggah Tahun 1945) 25.000
2 Setelah Merdeka (Hinggah Tahun 1945) 50.000
3 Pelita I (1969 – 1973) 70.000
4 Pelita I (1974 – 1978) 93.000
5 Pelita I (1979 – 1983) 198.000
6 Pelita I (1984 – 1988) 263.000
7 Pelita I (1989 – 1993) 350.729
8 Pelita I (1994 – 1998) 322.000
9 S/D Tahun 2002 358.300
10 2003 368.700

2004 364.062
11
12 2005 361.351
13 2006 369.008
14 2007 377.771
15 2011 590.000
16 2013 470.000
17 2015 518.649
18 2017 544.791
19 2019 561.061
20 2020 26.749
21 2021 578.579

Sesuai pidato pertanggungjawaban presiden / mandataris MPRRI (1983) di nyatakan


bahwa pembangunan peternakan dalam repelita lll di tujuan kan untuk meningkatkan
mutu genetik ternak. Untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh kebijaksanaan
meningkatkan penyuluhan, penyebaran bibit ternak, meningkatkan produksi dan
distribusi ransum dan pengadaan obat obatan serta vaksin.

Berdasarkan rencangan repelita lv bidang peternakan,pengem pengembangan


ternak perah khususnya produksi sapi perah mendapat prioritas utama. Dalam rangka
mewujudkan pulau Jawa sebagai pulau susu ( dairy island) diusahakan persilangan -
persilangan sapi lokal di Jawa untuk memperoleh keturunan sapi perah FH. Sasaran
yang hendak dicapai dalam repilita lv adalah mengurangi impor susu dengan cara
meningkatkan produksi dalam negeri secara bertahap dan berencana sehingga pada akhir
pelita lv 50% kebutuhan susu sudah dipenuhi dari produksi dalam negeri. Untuk dapat
mencapai sasaran tersebut diperlukan populasi sapi perah dengan produksi susu perekor
harus dapat ditingkatkan. Sasaran program ini selain mengurangi penggunaan devisa
untuk impor susu juga meningkatkan pendapatan petani peternak didalam negeri.
Menurut Firman (2007), seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan
agribisnis Persusuan di Indonesia dibagi menjadi 3 tahan perkembangan
1. Tahap l ( Periode sebelum tahun 1980) disebut perkembangan sapi perah
2. Tahap ll ( Periode 1980 - 1997) disebut periode peningkatan populasi sapi
perah
3. Tahap lll ( Periode 1997- Sekarang) disebut periode stagnasi

Menurut Ditjennak, konsumsi susu nasional tidak diimbangi dengan peningkatan


produksi susu nasional. Dimana konsumsi susu masyarakat Indonesia terus meningkat
dari 883.758 ton pada tahun 2001 menjadi 1.758.243 ton. Produksi susu yang tidak
berkembang dapat kita lihat dari jumlah populasi sapi yang relatif tetap (stagnant). maka
untuk meningkatkan produksi susu nasional pemerintah melakukan impor susu dari
beberapa negara pengekspor susu antara lain Australia Prancis dan Selandia baru

B Peternakan Sapi Perah dan Industri Persusuan Di Indonesia


Salah satu komponen dari subsektor peternakan yang memiliki banyak
manfaat dan berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis
persusuan. Kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah
Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis
persusuan. Selain itu, dari sisi permintaan, produksi susu dalam negeri masih belum
mencukupi untuk menutupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Saat ini produksi
dalam negeri baru bisa memasok tidak lebih dari 30% dari permintaan nasional,
sisanya 70% berasal dari impor.
Dilihat dari sisi konsumsi, sampai saat ini konsumsi masyarakat Indonesia
terhadap produk susu masih tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan
negara berkembang lainnya. Konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 8
liter/kapita/tahun itu pun sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung
susu. Konsumsi susu negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura rata-
rata mencapai 30 liter/kapita/tahun, sedangkan negara-negara Eropa sudah mencapai
100 liter/kapita/tahun. Seiring dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat dan
semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dapat dipastikan bahwa
konsumsi produk-produk susu oleh penduduk Indonesia akan meningkat.
Dari sisi kelembagaan, sebagian besar peternak sapi perah yang ada di
Indonesia merupakan anggota koperasi susu. Koperasi tersebut merupakan lembaga
yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan industri pengolahan susu.
Koperasi susu sangat menentukan posisi tawar peternak dalam menentukan jumlah
penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima peternak. Peranan
koperasi sebagai mediator perlu dipertahankan. Pelayanannya perlu ditingkatkan
dengan cara meningkatkan kualitas SDM koperasi serta memperkuat networking
dengan industri-industri pengolahan. Terkait dengan agribisnis susu, pada tahun 1983
Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri
Perdagangan dan Koperasi.
Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia mulai dirintis sejak Pelita
III (1979 – 1983). Pemerintah mengupayakan pembangunan peternakan sapi perah
secara terencana dengan mengimport sapi perah dalam rangka peningkatan populasi
dan mutu genetis untuk meningkatkan produksi susu di dalam negeri. Kira-kira 96%
dari jumlah populasi sapi perah yang ada di Indonesia saat ini (Tabel 3.1) terdapat di
Pulau Jawa. Usaha peternakan sapi perah di Indonesia dibedakan menjadi: (1) Usaha
Peternakan Sapi Perah Rakyat, (2) Perusahaan Peternakan Sapi Perah.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982
tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri,
usahatani sapi perah dibagi menjadi dua bentuk yakni :
Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha tani sapi perah yang
diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang
dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang
dari 20 ekor sapi perah campuran.
Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah
untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih
dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih
dari 20 ekor sapi perah campuran.
B. Peran Organisasi Persusuan dalam Mendukung Industri Persusuan Di
Indonesia
Berdasarkan lokakarya pada 19-21 Juli 1978 di Jakarta yang
dihadiri 14 koperasi primer persusuan, terbentuklah Badan Koordinasi Koperasi
Susu Indonesia (BKKSI), namun satu tahun kemudian (29-31 Maret 1979) dalam
lokakarya di Malang yang dihadiri 17 koperasi primer persusuan maka BKKSI
dibubarkan dan dibentuk Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai satu-
satunya koperasi sekunder persusuan tingkat nasional. Untuk menampung susu dari
peternak sapi perah yang akan disetor ke IPS, pada tahun 1981 dibangun empat buah
pabrik pengolahan susu (milk treatment/MT) dengan Penyertaan Modal
Pemerintah (PMP) tahap I yakni di Ujung Berung-Bandung; Boyolali;
Pandaan-Pasuruan dan Batu-Malang. Pada tahap II tahun 1989 GKSI menambah
fasilitas MT di Ujung Berung-Bandung dan Pandaan-Pasuruan.
Perlindungan dan peningkatan pemasaran susu dalam negeri, diberikan oleh
Pemerintah melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri
(Perdagangan/Koperasi, Perindustrian dan Pertanian) tanggal 21 Juli 1982 tentang
”pengembangan usaha peningkatan produksi, pengolahan dan pemasaran produksi
susu dalam negeri”. Untuk lebih memantapkan industri persusuan di Indonesia, pada
15 Januari 1985 pemerintah menerbitkan INPRES No.2 tentang “koordinasi
pembinaan dan pengembangan persusuan nasional.” Kekurangan produksi susu segar
dalam negeri merupakan peluang besar peternak susu untuk mengembangkan
usahanya. Namun demikian peternak masih menghadapi permasalahan, antara lain
yaitu rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak dan
mutu bibit yang rendah. Kekurangan tersebut selain mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan produksi susu juga berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan.
Selain itu mulai sulitnya lahan sebagai sumber rumput hijauan bagi ternak, tingginya
biaya transportasi, serta kecilnya skala usaha sebagaimana telah dikemukakan di
atas, juga menjadi penghambat perkembangan produksi susu domestik. Dalam hal
pemasaran susu dari peternak dalam negeri, keberadaan Inpres No 4/1998
mengakibatkan posisi industri pengolahan susu menjadi jauh lebih kuat
dibandingkan peternak karena industri pengolahan susu mempunyai pilihan untuk
memenuhi bahan baku yang dibutuhkan yaitu susu segar dari dalam negeri maupun
dari impor. Hal ini menyebabkan relatif rendahnya harga susu segar yang diterima
oleh perternak dalam negeri.
Permasalahan lain yang dihadapi peternak adalah besarnya ketergantungan
peternak terhadap industri pengolahan susu dalam memasarkan susu segar yang
dihasilkannya. Dengan absennya keberpihakan Pemerintah terhadap peternak, hal ini
menimbulkan kecenderungan bahwa harga susu segar yang diterima peternak relatif
rendah. Adanya pemberlakuan standar bahan baku yang ketat oleh kalangan industri
pengolah susu mendudukkan peternak sapi perah pada posisi tawar (bargaining
position) yang rendah. Lebih ekstrim lagi, keberadaan industri pengolah susu ini
dapat menyebabkan terbentuknya struktur pasar oligopsoni yang tentunya menekan
peternak. Selain harga susu yang sangat murah pada struktur pasar tersebut, tekanan
yang diterima peternak semakin bertambah dengan adanya retribusi yang
diberlakukan oleh kebanyakan Pemda di era otonomi daerah ini.
Pembentukan anggota koperasi bukanlah atas dasar akumulasi modal anggota
tetapi lebih banyak bersifat pemberian kredit ternak sapi dalam rangka kemitraan
dengan bantuan modal dari pemerintah. Status anggota koperasi hanya berfungsi
pada saat menjual susu segar dan pembayaran iuran wajib dan iuran pokok.
Industri Persusuan di Indonesia didukung oleh wadah atau organisasi pemasaran
yakni
1. Koperasi primer Persusuan
2. GKSI sebagai koperasi sekunder Persusuan
C. Dampak Pasar Bebas Terhadap Industri Persusuan Nasional.
Salah satu kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditi
susu lokal adalah upaya untuk melindungi peternak dan koperasi susu sapi perah
Indonesia, pada tahun 1998 terdapat instruksi Presiden No. 4 tahun 1998 yang
membuat kebijakan tentang susu impor. Instruksi tersebut dibuat berdasarkan
kesepakatan tiga menteri (Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan serta Koperasi)
yang berisi bukti serap susu nasional. Apabila IPS membeli susu impor maka
diwajibkan untuk membeli susu dari peternakan nasional. Jika IPS impor susu
sebanyak dua kilogram maka wajib membeli susu dari peternak atau koperasi
sebanyak satu kilogram.
Pada saat Indonesia akan memasuki era perdangan bebas (WTO/World Trade
Organization) pemerintah mencabut Instruksi Presiden No. 4 tahun 1998.
Pencabutan kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan proteksi dari pemerintah
terhadap para peternak nasional. Hal ini menyebabkan Industri Pengolahan Susu
(IPS) leluasa untuk membeli susu impor dari luar negeri. Selain itu, sejak bulan
November tahun 2008, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
No.145/PMK.011/2008 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor
Barang dan Bahan oleh Industri Pengolahan Susu untuk Tahun Anggaran 2008,
dengan nilai Rp 107 miliar untuk periode November-Desember 2008. Namun, pada
2009 pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Permenkeu (peraturan
menteri keuangan) No.19/PMK.011/2009 yang menetapkan tarif impor nol persen
untuk susu dan turunannya. Keputusan Menteri Keuangan tersebut akan
mempengaruhi usaha sapi perah lokal yang ada di sentra-sentra sapi perah, terutama
tingkat kesejahteraan dan daya saing produk susu terhadap susu impor.
Peraturan mengenai penghapusan tarif impor susu (sebesar 5%) tersebut
diterbitkan Departemen Keuangan berdasarkan Permenkeu No. 145/PMK.011/2008
tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan oleh
Industri Pengolahan Susu untuk Tahun Anggaran 2008, dengan nilai Rp 107 milyar
untuk periode November-Desember 2008. Sementara pada 2009, kebijakan ini tetap
dilanjutkan sesuai dengan UU No. 41 tentang APBN tahun 2009, untuk sektor
industri yang membutuhkan dalam rangka daya saing industri yang bersangkutan..
Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi IPS tersebut diduga memiliki efek
negatif terhadap para produsen susu lokal. Penurunan tarif impor susu dari luar
negeri diduga berpengaruh kuat terhadap posisi tawar koperasi peternak susu dengan
IPS, sehingga akan menyebabkan turunnya harga beli dari IPS yang
berdampak merugikan para peternak sapi perah lokal. Tantangan yang dihadapi
Indonesia, dengan diberlakukannya Perjanjian Kesepakatan Umum Tentang Tarif
dan Perdagangan (GATT = General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun
2005.
Dampak positif yang akan terjadi pada konsumen. Konsumen akan
menikmati produk-produk yang berkualitas lebih baik dengan harga yang
relatif lebih murah. Persaingan antara produk domestik yang tidak lagi diproteksi
dengan produksi import akan mengarah pada peningkatan efisiensi dan persaingan
kualitas yang menguntungkan konsumen.
Untuk mengatisipasi keadaan pasca GATT, menteri koperasi telah membuat
pernyataan yang disebarluaskan lewat media masa, khususnya mengingatkan
petani/peternak sapi perah di Indonesia untuk mengubah sikap dalam artian menata
manajemen usaha, bekerja secara profesional/efisien, disiplin dan berorentasi bisnis.
Pernyataan Menteri Koperasi terkait kondisi peternakan sapi perah rakyat
yang tergabung dalam koperasi masih sangat memprihatinkan, Hal ini
karena produktivitas sumberdaya manusia maupun ternak masih rendah, cara
berusaha seadanya, teknologinya tradisional, manajemennya lemah, kejujuran
dan disiplinnya rendah, sehingga kualitas maupun kuantitas susu yang dihasilkan
belum optimal dan tingkat harga yang diperoleh masih rendah.

BAB lll
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia tidak memiliki sapi perah asli, keberadaan sapi perah di Indonesia diawali
sejak zaman penjajahan Belanda. Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia
mulai dirintis sejak Pelita III (1979 – 1983).
Peternakan sapi perah di Indonesia dibedakan menjadi: 1). Usaha Peternakan
Sapi Perah Rakyat, dengan sasaran utama adalah: a) menjawab aspek pemerataan
kepemilikan ternak; b) perluasan lapangan kerja dan lapangan berusaha; c)
peningkatan pendapatan peternak, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah
pedesaan. 2). Perusahaan peternakan Sapi Perah, lokasi disekitar kota, memiliki ijin
usaha, pemilikan sapi sekurang-kurangnya 10 ekor sapi dewasa (laktasi dan kering).
Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) terbentuk berdasarkan
lokakarya pada 19-21 Juli 1978 di Jakarta yang dihadiri 14 koperasi primer
persusuan.Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) terbentuk sebagai satu-
satunya koperasi sekunder persusuan tingkat nasional menggantikan BKKSI.
Diberlakukannya Perjanjian Kesepakatan Umum Tentang Tarif dan Perdagangan
(GATT = General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 2005 merupakan
tantangan yang dihadapi Indonesia.

B. Saran
Berdasarkan penyusunan makalah kami dari kelompok 1 menyarankan bahwa untuk
pemberiaan produksi susu sapi, seiring dengan peningkatan aspek teknis, aspek
ekonomi juga harus ditingkatkan, apabila penerapan aspek teknis dan performans
produksi bisa berjalan dengan baik maka penerimaan juga dapat peningkat.sebab itu
salah satu peningkatan yang baik dalam menambah pendapatan berupa meningkatkan
manajemen pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA

Holland, Norman. 1986. The Dynamics Of Litera Rey Response. New York: State
University Press.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan
dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri, usaha tani sapi pera.
Presiden No. 4 tahun 1998 yang membuat kebijakan tentang susu impor.

Anda mungkin juga menyukai